Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : KOMPAS MINGGU, 26 April 1992
Mengenang Nyak Abbas Akub SETAHUN lalu, 14 Februari 1991, perfilman Indonesia kehilangan putra berbakat, Nyak Abbas Akub dalam usia 59 tahun. Sutradara kelahiran Malang – Jatim ini berpulang karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Mendadak, dunia film komedi terasa sepi, sepeninggal Nyak Abbas. Rentang karirya selama hampir 40 tahun, membuahkan 40 judul film yang hampir seluruhnya berjenis komedi. Artinya, Nyak Abas memang konsisten menangani film komedi. Dari karya -karya komedi terbaiknya, dapat dilacak gaya penyutradaraan, wawasan dan kecenderungan-kecenderungan, sehingga deretan karyanya akan terus menjadi kekayaan dunia film nasional. Untuk mengenang kepergian Nyak Abbas dan membicarakan karyanya, sesuatu yang langka terjadi saat ia masih hidup, maka Kine Klub DKJ mengadakan pekan retrospeksi film-filmnya, mulai 29 April – 3 Mei di TIM Jakarta. Pekan retrospeksi akan memutar lima karya terbaik Nyak Abbas; “Tiga Buronan”, “Koboi Cengeng”, “Inem Pelayan Sexy”, “Cintaku Dirumah Susun”, dan “Boneka Dari Indiana”, ditutup diskusi dengan pembacara Arifin C. Noer dan Dr. Salim Said. SIAPA sebenarnya Nyak Abbas? Di tahun 1952, Nyak Abbas mulai berguru pada Usmar Ismail, sutradara dan pendiri studio Perfini. Setahun kemudian, Usmar menyerahkan tugas padanya untuk menggarap film komedi “Heboh” yang ternyata sukses komersial. Atas dorongan Usmar, kemudian Nyak Abbas memperdalam ilmu penyutradaraannya di UCLA, AS. Di kalangan para sutradara film Indonesia, Nyak Abbas Akub dikenal berpenampilan sederhana, mengenakan kaos oblong warna putih, dan berlanjut dalam sikap kesenimannya. Ia jarang sekali melemparkan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia film yang digeluti. Bahkan sebagai sutradara yang menekuni jenis komedi, ia tak mengesankan orang yang suka melucu. Pendeknya, ia banyak berekspresi melucu lewat karyanya, daripada mengobrol omongan. Selama berguru di Perfini, Nyak Abbas nampaknya amat terkesan oleh dua karya komedi Usmar: “Krisis” (1953) dan “Lagi-Lagi Krisis” (1955), yang meledak dipasaran. Dua film ini cukup unik, sarat kritik sosial, subyek kelucuannya tidak hanya dalam karya film, namun juga berkait dengan persoalan-persoalan yang hidup di masyarakat saat film itu diproduksi. Hasilnya, kelucuannya lebih bisa dinikmati oleh mereka yang mengenal konteks zamannya. Dalam karya -karya Nyak Abbas, ada kecenderungan mengembangkan bentuk komedi demikian, selain ada kelucuan-kelucuan spontan yang bisa segera memancing tawa penonton. Kritik sosial yang ‘kontekstual’ itu, terutama diucapkan lewat dialog, mau tak mau membawa implikasi humor yang ‘tinggi’. Namun, Nyak Abbas bukannya tak menyadari. Ia lalu mewarnai karya karyanya dengan erotisme : munculnya wanita-wanita cantik, sexy, walaupun ini barangkali cuma berpangkat seorang babu atau penjual jamu, suatu warna yang jelas tak ada dalam kedua film komedi Usmar. Meski erotisme yang ditampilkan Nyak
Abbas tak sampai berlebihan, tapi terasa bahwa ia bermaksud menggunakannya sebagai imbangan atas humor ‘tinggi’ nya itu. Yang paling menarik adalah mencatat kecenderungannya untuk mempertemukan orang kaya dan miskin. Lebih tepat, mempertemukan kaum yang telah mapan dengan orang-orang pinggiran: antara majikan dengan pelayan (Inem Pelayan Sexy, Boneka Dari Indiana), antara penjual jamu dan pengusaha (Semua Karena Ginah), antara portir hotel dengan para bos (Kipas-Kipas Cari Angin), dan sebagainya. Pertemuan antara orang-orang yang berbeda status sosialnya itu berlangs ung akrab, bisa berdiaolog atau malah saling bercanda, serta jauh dari penggambaran kontras tentang perbedaan kelas di mayarakat. MAKA, ramuan humor yang ‘tinggi’ warna erotisme, pertemuan antartokoh yang mapan dengan kelompok pinggiran, selain lelucon-lelucon spontan lainnya, bisa dilihat sebagai usaha Nyak Abbas untuk memadukan porsi humor buat semua orang. Apalagi, pada dasarnya humor Nyak Abbas terasa mengejek tanpa menyakiti hati mereka yang menjadi sasaran ejekannya. Ia ingin merangkul sebanyak mungkin penonton dari kemajemukan publik film nasional. Terbukti secara pukul rata, hasil pemasaran film-filmnya tidak mengecewakan. Di samping menyutradarai, Nyak Abbas sekaligus menggagas cerita dan penulis skenario dari karya -karyanya. Ia cukup punya posisi tawar-menawar dengan produser dan berlaku selektif dalam berproduksi. Ia juga selalu terlibat langsung dalam pemilihan pemain, dan mengawasi proses produksi sampai selesai. Maka, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kontribusinya terhadap hasil akhir film cukup besar, yang secara diam-diam telah menempatkan dirinya sebagai sutradara pencipta, seorang auteur. Di tangannya film adalah alat ekspresi: kesempatan mengucapkan gagasan, memberik kesaksian sosial. Kenyataan ini mempertegas kesadaran, kebanyakan film komedi Indonesia cuma berupa film banyola. Catatan ini memang tidak berpretensi mengupas keseluruhan karya Nyak Abbas Akub secara mendalam. Untuk keperluan itu dibutuhkan studi serius. Mudahmudahan pekan retrospeksi film Nyak Abbas Akub ini dapat dijadikan titik tolak melakukan studi mendalam itu. Saya ingin menyudahi catatan pendek ini dengan pemahaman bahwa sebagai seorang seniman film, Nyak Abbas tidak memandang dirinya sebagai ‘yang berdiri mendahului masyarakat seraya memberikan pesan-pesan’. Sama sekali tidak. Ia justru berbahagia dengan peran seorang ‘penjaja minuman segar’ di tengah-tengah ‘masyarakat pembelinya’, berkarya dengan enak, tanpa dibebani membawa misi tertentu. Ia mencintai dunianya dan dapat hidup dari dunia yang dicintainya. Nya k Abbas patut dikenang sebagai seniman yang telah jadi.