Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : PELITA MINGGU, 14 April 1991
Sikap Berkesenian Nyak Abbas Akub
Mencubit Tanpa Sakit, Menegur Tanpa Amarah DUNIA perfilman Indonesia, bulan lalu kehilangan lagi salah seorang putra terbaiknya. D ia adalah Nyak Abbas Akub, sutradara spesialis film komedi. Nyak Abbas Akub memang telah pergi, dalam istirahat yang panjang dan abadi. Namun, garis merah yang ia torehkan dalam peta perfilman Indonesia selamanya akan tetap tergurat. Sejarah tentulah mencatat bahwa suatu masa dalam perjalanan kehidupannya, dunia perfilman Indonesia pernah memiliki seorang sutradara bernama Nyak Abbas Akub. Memang, ia bukan seorang sutradara besar dalam artian pernah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang ia buat. Namun, keberadaan yang ia perlihatkan lewat film-filmnya, jelas merupakan kekhasan tersendiri yang membuatnya berbeda dari rekan seprofesinya. Selama kurang lebih 39 tahun malang-melintang dalam dunia perfilman, Nyak Abbas Akub telah membuat lebih dari 20 judul film yang seluruhnya berbentuk komedi. Dan hampir semuanya sukses dalam peredaran. Bahkan, dua diantaranya sempat meraih penghargaan Piala H. Antemas sebagai film Indonesia terlaris. Masing-masing “Koboi Cengeng” (FFI 1975) dan “Inem Pelayan Sexy” (FFI 1978). Itu juga ditunjukkannya dalam pembuatan film terakhirnya, “Boneka Dari Indiana”. Film yang segera beredar itu, tetap memiliki warna yang sama, komedi dan satire. Didukung oleh bintang-bintang seperti Didi Petet, Lidya Kandou, Meriam Bellina, Ami Priyono dan Ida Kusumah, “Boneka Dari Indiana” adalah potret diri Nyak Abbas sebelum meninggalkan dunia fana. BERBEDA dari kebanyakan sineas Indonesia, Nyak Abbas Akub sejak semula memang telah memilih jalur komedi sebagai bentuk ungkapan bagi filmfilmnya. Ada dua hal yang penting digarisbawahi dalam sikap berkeseniannya, yakni pertama, komitmennya yang tegas terhadap rakyat kecil, dan kedua, ketajamannya menangkap gejala sosial yang ada di lingkungannya. Kedua hal ini bukan hanya tercermin jelas dalam judul-judul filmnya, tapi juga dalam permasalahan, tokoh-tokoh yang ditampilkan, serta cara melihat persoalan. Komitmen terhadap rakyat kecil, terlihat pada judul-judul semacam ”Ginah”, “Cintaku Dirumah Susun”, atau “Inem Pelayan Sexy”. Demikian pula dengan tokohtokoh dari kelompok masyarakat bawah. Kalaupun kemudian tampil tokoh nonmasyarakat bawah, misalnya pengusaha atau sejenisnya, biasanya hanya bermotifkan kebutuhan untuk mempertegas karakterisasinya, atau masih dalam konteks hubungan protagonis-protagonis. Nyak Abbas Akub memang sangat berpihak pada kelompok masyarakat bawah lewat Inem , Ginah, Cintaku Dirumah Susun, bahkan Tiga Buronan . Itu terasa tegas dengan kecenderungan memenangkan kelompok under-dog itu dalam konflik yang dibangun.
Namun, penting dicatat, ‘kemenangan’ itu tidak selalu ditandai dengan adanya pihak yang dikalahkan, tapi justru muncul dalam wujud ‘kesadaran’. Tanpa kita sadari dan tanpa ditegaskan lewat pernyataan, Nyak Abbas Akub telah ‘mengamalkan’ secara baik jagoan ‘menang tanpa mengalahkan’ dalam film-filmnya.
Selain lewat penokohan, keberpihakan Abbas Akub nampak pula pada setting cerita yang tidak jarang diikuti masalahnya. Lingkungan kumuh, kepolosan dan keluguan masyarakat kelas bawah, atau sikap hidup orang desa yang bersahaja, adalah ciri umum film-film Nyak Abbas. Tentu saja, Nyak Abbas tidak menariknya dalam konteks dikhotomi, namun lebih banyak disodorkan sebagai realitas, sehingga tidak jarang ia tertekan ‘tak memiliki visi’. Tetapi, justru itulah Nyak Abbas Akub. Ia jelas tidak seperti almarhum Syumanjaya misalnya, yang terasa sarat okikiran lewat “Si Doel Anak Modern” atau “Si Mamad” – yang juga berbentuk komedi satire. Bagi Nyak Abbas, yang terpenting bukanlah apa yang mesti ia sampaikan, tetapi bagaimana sesuatu itu disampaikan dan apakah orang bisa menerima atau tidak. Karenanya, seringkali apa yang hendak disampaikan, luput dari tangkapan pengamat, namun justru sampai secara efektif bagi penonton awam. Soalnya sederhana saja, visi itu adakalanya terwujud dalam bentuknya sendiri, atau mungkin hanya pada sepenggal dialognya. BERSAMAAN dengan keberpihakannya pada kelompok bawah, tak kalah penting adalah ketajaman Nyak Abbas menangkap gejala sosial di lingkungannya. Untuk hal ini, Nyak Abbas malah boleh dibilang tergolong pengamat sosial jeli. Hasil amatannya yang dituangkan dalam wujud film bukan sajaterasa tajam, tapi menyentuh pokok persoalannya. Dalam konteks ini, ia bukan hanya menyindir, tapi jarang mencemooh, bahkan menegur.
Hebatnya, tak ada orang marah atau tersinggung atau tersinggung atas semua cemooh maupun tegurannya. Ini ditandai dari tidak satu pun filmnya yang ‘berbenturan’, baik karena ‘ketajaman’ gunting Badan Sensor Film (BSF), atau terpaksa ditarik dari peredaran karena dinilai bertentangan dengan ketentuan yang ada. Padahal, seluruh film Nyak Abbas rata-rata sarat kritik sosial, bahkan tidak jarang menyangkut persoalan yang peka pada zamannya. “Tiga Buronan” misalnya, meskipun disajikan dalam bentuk komedi, jelas bukan film sembarangan. Film ini sangat bersifat politis. Mengisahkan tiga pelarian, film ini mengambl setting peristiwa pemberontakan Darul Islam (DI) yang pernah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam film ini, Nyak Abbas terasa betul mengejek kedua belah pihak (pemberontak dan yang diberontak). Meskipun pada akhirnya ia berpihak pada kebenaran (Mengalahkannya pemberontak), namun tesis bahwa rakyat kecil tetap menderita, ada atau tidak pemberontak itu, tetap saja mencuat. Artinya, ia tak mempersoalkan ada tidaknya kebenaran, karena toh rakyat tetap menderita. Demikian pula halnya “Inem Pelayan Sexy” yang notabene adalah kritikan tajamnya terhadap hipokrisi, bahkan kemiskinan yang terstruktur dalam tatanan masyarakat kita. Lewat film ini, Nyak Abbas na mpak sekali ingin memperlihatkan, betapa ketertindasan yang berlaku terhadap tokoh semacam Inem pada dasarnya bukan semata-mata karena sudah suratan takdir. Tapi, karena tatanan kehidupan masyarakatlah yang menjadikannya demikian. Jadi, pada film ini Nyak Abbas telah bicara soal kemiskinan strukturisasi. Kritik Nyak Abbas pernah pula merambah jauh ke hal-hal yang menyangkut masalah-masalah ekonomi. Pada Ginah , misalnya, Nyak Abbas jelas menunjukkan kritiknya pada praktek monopoli dalam dunia ekonomi. Ginah bercerita tentang seorang bakul jamu yang kemudian kaya mendadak karena kepentingan wajahnya yang menghantarkan ia menjadi model. Lewat kekayaan yang ia peroleh itu, Gina lalu mendirikan sebuah perusahaan jamu kelas industri raksasa. Tentu saja, sebagai konsekuensi pendirian industri jamu tadi, dibutuhkan bahan baku yang besar pula. Celakanya, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku itu, perusahaan jamu Ginah tak memikirkan sama sekali asal-usulnya. Yang penting, kebutuhan harus tercukupi. Alhasil, seluruh produksi bahan baku jamu dari petani yang biasanya untuk memasok kebutuhan para bakul jamu, diborong perusahaan Ginah. Ini tentu saja memukul para bakul jamu itu. Apalagi, sebagian bahan baku itu kemudian dilempar lagi ke pasar dengan harga yang lebih mahal dibanding yang biasa mereka beli dari petani. Para bakul jamu tentu saja gulung tikar satu-persatu. Di akhir cerita, Ginah dilukiskan sadar. Ia kemudian memutuskan menjual pabrik jamunya dan kembali menjalani hidup sebagai bakul jamu kuat seperti sediakala. DALAM kaitannya dengan sikap berkesenian itu, bukan suatu kebetulan jika Nyak Abbas memilih bentuk komedi bagi film -filmnya. Paling tidak, ini sudah nampak sejak awal lewat film pertamanya, “Heboh” (1954). Sudah menjadi kelaziman, kritik yang tajam atas suatu persoalan atau keadaan, akan jauh lebih mungkin diterima – bahkan oleh mereka yang dikritik – jika disampaikan lewat gaya humor. Sebaliknya, kritik yang meskipun tidak terlalu tajam, cenderung akan ditolak – bahkan dicurigai – jika disampaikan secara langsung. Adagium ini nampaknya dipahami betul oleh Nyak Abbas. Karenanya, tidak ada cara lain kecuali memilih bentuk komedi. Kenyataannya, Nyak Abbas berhasil
dengan baik. Hampir tak pernah ada yang tersinggung karenakritikannya, meskipun sebaliknya hampir pula tak pernah ada yang memberi catatan khusus atas kritikannya. Sebagai contoh, Ginah bisa disebut salah satunya. Sangatlah tidak bisa dipungkiri, praktek monopoli yang dikritik Nyak Abbas dalam film ini, sebenarnya menyangkut banyak pihak. Tapi, sejauh ini, kita tak pernah mendengar ada yang bereaksi atas film itu. Itu sungguh berbeda dengan pengalaman Arifin C Noer lewat film “MatahariMatahari” atau “Petualang-Petualang”, misalnya – yang terpaksa menghadapi tajamnya gunting sensor karena kritikannya yang tajam. Tapi, yang seperti itu jelas tak terjadi pada Ginah, Inem, atau Tiga Buronan . Mengapa bisa terjadi?. Itu karena Nyak Abbas membalutnya dengan bungkus komedi tadi. Ketika kritik itu disampaikan, orang masih sempat tertawa, dan kening sedang tak berkerut. Dengan bentuk pendekatan seperti ini, orang baru sadar belakangan kalau ia dikritik. Saat kesadaran muncul, waktu untuk bereaksi sudah terlambat, sehingga terpaksa diam saja, karena kalau bereaksi, malah mengundang persoalan baru. Alasan lain yang juga melatarbelakangi Nyak Abbas memilih bentuk komedi adalah sikap keberpihakannya pada rakyat kecil – yang kaya akan hal- hal lucu, konyol, satire dan segala peristiwa-peristiwa yang komis. Tapi mereka merupakan potensi besar sebagai penonton film Indonesia. Lumrah rasanya kalau Nyak Abbas memilih bentuk itu, karena untuk sementara bentuk demikianlah yang paling cocok. Nyak Abbas memang berusaha mensejajarkan antara bentuk ungkap dengan realitas audiens yang menjadi sasarannya. Paralel dengan ini adalah kesederhanaan. Dalam hal cerita, film-flm Nyak Abbas Akub seluruhnya menggunakan struktur bertutur linear, kendatipun tidak selamanya terikat hukum sebab-akibat yang jelas. Namun, dengan pola seperti ini, ia menjadi lebih mudah dimengerti. Setidaknya, seba tas jalinan cerita yang disodorkan. Dengan penampilan pendiam, orang mungkin tak percaya kalau Nyak Abbas Akub sering kali mencubit, menegur, bahkan mengejek. Tapi semuanya disampaikan Nyak Abbas tanpa ingin menyakiti, ia menegur tanpa amarah, mengejek tanpa terasa melecehkan. Dan sebaliknya, malah terasa menyenangkan. Kini Nyak Abbas Akub telah tiada, dan perfilman Indonesia mungkin masih akan lama lagi baru melahirkan orang seperti dia. Sejauh ini belum ada tanda -tanda lahirnya sineas semacam dia, yaitu seorang sineas yang sederhana, memiliki sikap dan pendirian teguh, tak punya ambisi macam-macam, tidak neko-neko, mampu tetap eksis hingga akhir hayatnya, namun tetap dihormati. Kita memang merindukan orang semacam dia!