Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : PELITA, 26 Agustus 1978
Nyak Abbas Acub :
Tukang ejek nomor wahid Oleh : Salim Said Pada umur 22 tahun, Nyak Abbas Acub menarik perhatian lewat filmnya “Heboh” (1954). Ditengahtengah sejumlah komedi konyol gaya sandiwara sebelum perang, Abbas tampil dengan sesuatu yang baru. Ia bertolak dari kehidupan nyata yang ada disekitarnya, suatu hal yang memang telah menjadi tradisi Perfini yang dirintis oleh almarhum Usmar Ismail. “Heboh” sekaligus menjadi suatu yang menolong Perfini yang saat itu dalam keadaan kesulitan keuangan. “Heboh” mengalami sukses komersiil di antara film-film Perfini yang mengalami kesulitan peredaran. Tapi Nyak Abbas yang sebenarnya baru tampil secara seutuhnya lewat film “Tiga Buronan” (1957). Apa yang masih samar-samar terlihat dalam “Heboh”, 3 tahun kemudian muncul dengan jelas pada “Tiga Buronan”. Ini adalah film tentang jagoan yang menghantui sebuah desa kecil. Matt Codet (Dimainkan oleh Bing Slamet) adalah kepala bandit itu. Ia garang terhadap korban-korbannya, galak terhadap anak buah serta cukup awas menghadapi alat negara. Tapi jagoan yang satu ini juga seorang manusia biasa. Ia bahkan jatuh cinta dengan anak salah seorang korbannya. Dan tali temali cerita itu semua dengan cara yang amat subtil ditampilkan oleh Abbas yang menulis cerita, skenario dan sekaligus menyutradarainya. Dengan cara yang tidak dibuat-buat, di akhir cerita, Matt Codet menyerah kalah kepada alat negara. Ternyata ia cuma manusia biasa yang takut mati, tapi selama ini berselubung di balik topeng kegarangan dan kegalakan. Nah, itulah ciri Abbas sejak itu: gemar membuka topeng kepalsuan yang banyak dipakai oleh sejumlah besar orang di sekeliling kita. Yang menarik ialah bahwa semua kegiatan ini dilakukan Abbas tidak dengan kepahitan atau kebencian. Orang-orang yang diejek dan dibongkar kepalsuannya tetap diperlakukannya secara manusiawi. Tidak dihinanya lebih dari semestinya. Matt Codet yang ternyata juga takut pada polisi pada akhir cerita tidak tampil secara menjijikan, melainkan menimbulkan belas kasihan kita. Nasib yang menimpa Matt Codet sebenarnya adalah nasib yang menimpa banyak diantara kita yang menjadi lupa diri dan berbuat anehaneh ketika lagi berkuasa dan tatkala rezeki datang lebih dari yang kita perlukan. Sesungguhnya tidak ada penemuan luar biasa yang dilakukan Abbas lewat film itu kecuali bahwa ia membuktikan bahwa ia seorang pengamat masyarakat yang baik. Ia tidak “mengarang” cerita sebagai yang banyak dilakukan oleh pembuat komedi kita yang lainnya. Yang Abbas lakukan adalah mengangkat kejadian-kejadian
nyata yang ditemui dalam hidup di sekitarnya dan di sekitar kita. Nasib yang menimpa Matt Codet, bagi saya, hampir tidak berbeda dengan nasib bekas Menlu Subandrio yang ketika jayanya bisa berbuat dan berkata apa saja. Di depan pengadilan ternyata ia cuma manusia kecil yang pernah bisa berbuat macam-macam hanya lantaran suatu kesempatan yang memang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Film “Tiga Buronan” dengan demikian adalah sebuah tontonan lucu yang juga memberi pelajaran lewat ejekan halus. Ejekan halus itu kita temui kembali dalam film “Matt Dower”. Dalam film yang agak kedodoran ini terlalu banyak yang ingin dikatakan Abbas lewat film ini, sehingga kita bisa sedikit bingung Abbas dengan jelas ingin mengejek tapi sekaligus mengasihani pahlawan. Tokoh Matt Dower atau Matt Dikape (dimainkan oleh S. Bagio) sebenarnya tidak lebih dari seorang setengah sinting. Suatu keadaan tertentu telah membuatnya tiba -tiba jadi hebat dan dipuja-puja. Pada mulanya Matt Dower tidak terbiasa dengan segala puji-puji itu. Kebiasaan kemudian membuat dia menerimanya. Tapi justru pada saat ia harus menikmati hasil “kepahlawanannya” ia justru dilucuti oleh kepala desa. Matt Dower sebenarnya sebuah tragikomedi. Lewat sejumlah saat-saat yang memancing ketawa dan sejumlah kenikmatan menyaksikan sejumlah perempuan cantik – juga suatu ciri Abbas lewat film-filmnya kita secara amat subtil dihadapkan pada suatu kenyataan ketika sang “pahlawan” begitu saja ditinggalkan di batas desa. Pak Lurah, yang sesungguhnya tidak punya andil apa-apa dala menewaskan Sapu Jagat, akhirnya diarak-arak sebagai pahlawan ketika Matt Dower terlunta -lunta dan terlupakan diluar batas desa. Adakah yang luar biasa disini? Bagi mereka yang tahu sejarah dan adat dunia, sekali lagi Abbas tidak mengarang yang aneh-aneh, ia cuma menceritakan apa yang ada di sekitarnya dan di sekitar kita semua. Sebagai seorang anak muda yang ikut dalam perang kemerdekaan sebagai tentara pelajar di Jawa Timur, dan sebagai pengamat sosial dan politik di masa awal pemerintahan “Orde Baru”, soal pahlawan-pahlawan bukan soal asing bagi Abbas. Semua kita tahu bahwa tidak semua yang menikmati sebuah perjuangan adalah orang yang sesungguhnya berhak untuk itu. Pak Lurah yang memiliki lembaga resmi mempunyai kesempatan dan kesiapan yang lebih untuk dinikmati hasil perjuangan melawan Sapu Jagat, ketimbang Matt Dower, orang yang sama sekali tidak sengaja menjadi “pahlawan” itu. Maka diamati dari segi sosiologis film Matt Dower ini juga bisa dinilai sebagai suatu studi tentang pembagian tugas antara pelopor suatu tujuan tertentu dan mereka yang nantinya kebagian bersibuk dalam situasi yang berhasil di capai itu. Secara halus bisa juga bisa diperoleh pendidikan dan nasehat dari film ini bahwa mereka yang menjadi pelopor harus bersiap-siap untuk dilupakan jika perjuangannya telah berhasil. Sebab selalu saja ada orang dengan kepandaian tertentu dan dengan lembaga yang siap akan mengambil alih peranan setelah suatu tahap perjuangan dicapai. Ini film “Matt Dower” dengan segala kekurangannya lantaran terlalu terikat pada suatu periode tertentu dalam sejarah politik kita – adalah sebuah tontonan yang baik sejumlah “Bekas Pahlwan” yang kabarnya kini ada sedikit frustasi. Nampaknya karena “Matt Dower” bisa ditafsirkan macam-macam itulah maka film ini tidak banyak kesempatan beredar. Kabarnya karena para pengedar film ngeri terhadap kritik-kritik tajam yang terlontar lewat film ini. Menurut dugaan saya, yang mengerikan para pengedar itu justru bukan inti ceritanya, tetapi dialog-dialog lepas yang banyak membumbui cerita ini. Adegan-adegan di Istana Munafik (dimainkan oleh Mansur Syah) memang amat mengingatkan kita pada suatu periode politik yang baru saja kita lewati ketika film itu dibuat pada tahun 1969. Bagi saya pribadi, adalah
adegan-adegan yang terlalu mencoba menyindir secara terbuka periode politik tertentu itu yang mengurangi mutu film ini. Abbas kelihatannya tidak bisa menahan luapan kreativitasnya, sehingga keutuhan filmnya menjadi terganggu. Pengalaman pahit dengan para pengedar itu bukannya tidak berbekas pada karya-karya Abbas selanjutnya. Perhatikanlah film “Koboi Cengeng” (1974) yang memperoleh sukses komersil itu. Film Abbas yang ini memang masih tetap istimewa, terutama karena keberhasilannya menciptakan suatu cerita koboi yang sama sekali lain dari yang biasa dihasilkan di Hollywood ataupun Italia. Ini sebuah parodi dengan disana-sini secara halus dan lucu masih nyerempet-nyerempet keadaan sekitar. Tapi Abbas yang kita kenal lewat “Tiga Buronan” dan “Matt Dower” sudah sulit ditemukan dalam film koboinya ini. Meski demikian film ini toh tetap tidak tergolong komedi konyol yang ketika itu bahkan hingga sekarang masih banyak dibuat orang di negeri ini. Dan lucunya pula, sudah konyol, film-film yang banyak dibikin itu tidak pula lupa mencoba memberikan pelajaran-pelajaran moral. Lewat film “Dracula Mantu” Abbas yang pengamat masalah sosial yang cermat itu tampil kembali. Tahun-tahun terakhir ini, tapi terutama ketika film Dracula itu dibuat, masalah penggusuran memang lagi menghantui sejumlah penduduk Jakarta. Yang masih hidup maupun yang telah kembali ke sisi Tuhan. Barangkali untuk menghindari sensor yang bisa fatal, Abbas memilih mahluk halus sebagai tokoh-tokoh yang membawakan cerita -ceritanya. Lewat pilihan yang demikian Abbas sekaligus mengejek-ejek hobby terbaru kita sebagai bangsa yang lagi gemar dengan serba luar negeri. Lewat sejumlah kelucuan - lengkap dengan terminologi yang sehari-hari populer – Abbas akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong tokohnya yang tergusur itu. Cukup tajam ejaan Abbas: arwah-arwah pribumi yang tergusur itu akhirnya cuma bisa diselamatkan oleh Dracula yang berasal dari Eropa sana. Bahwa Abbas masih tertarik membuat film seperti “Dracula Mantu” yang lucu tapi dengan sentilan tajam, ini harus ditafsirkan bahwa semangat untuk tetap membuat komedi dari kenyataan shari-hari masih tidak mati di hati sutradara kelahiran Malang ini. Di tengah-tengah sensor resmi yang sangat berhati-hati dan para pengedar film yang punya kebiasaan untuk ngeri, tampilnya Abbas dengan “Dracula Mantu” saya kira merupakan pertanda bahwa harapan untuk kelahiran film yang tampil dengan masalah sehari-hari kita hingga kini belum mati setelah dimulai oleh almarhum Usmar Ismail 28 tahun silam. Bahkan Abbas mendapatkan hikmah dari sensor lewat film-filmnya yang sepintas lalu tidak lebih dari sebuah pancingan untuk menciptakan ketawa saja. Ketika hendak mengakhiri pembicaraan ini, tiba -tiba pada saya timbul ketakutan akan dituduh telah menyiapkan sebuah pujian panjang buat Abbas Akub yang kebetulan adalah sahabat karib saya. Sama sekali tidak demikian maksud saya. Ditengah-tengah pujian terhadapnya, suatu pujian yang saya yakin memang berhak diterimanya, sayapun sadar akan kelemahan Abbas. Sebagai seorang yang kreatif, bahaya besar yang mengancam Abbas adalah kurangnya control terhadap ide-ide yang ingin dikemukakannya. Ia adalah pengarang cerita, penulis skenario dan seorang sutradara senior. Dalam kedudukan sepenting itu maka yang bisa memperingatkannya cumalah seorang penulis kritik. Sayangnya peringatan dari kritikus baru bisa diperoleh jika film telah selesai. Tidak ada yang bisa dibuat lagi pada saat itu. Ada kelemahan ini yang mengurangi bobot film Matt Dower. Dan justru karena adanya control yang rapi itulah maka film Tiga Buronan itu menjadi sebuah film jernih, jelas, jenaka tapi juga jitu. Film Tiga Buronan dibuat Abbas ketika ia masih berusia 25 tahun, ketika ia masih meguru pada Usmar Ismail. Dalam umur
semuda itu, tatkala ia masih harus membuktikan kebolehannya di tengah-tengah sejumlah sutradara, bisa dibayangkan jika Abbas amat berhati-hati. Dan hasilnya memang luar biasa. Jika kini saya diminta memilih film Abbas yang terbaik. Tidak ragu-ragu saya menyebut Tiga Buronan. Bahkan dengan tidak malu-malu saya memilih film tersebut sebagai film komedi terbaik yang pernah dibuat di negeri kita. Yang terakhir ini tidak kita temukan dalam “Koboi Cengeng”. Ketika mengomentari film ini beberapa saat setelah memasuki peredaran, saya antara lain menulis: “Film ini, meskipun ada juga menyentil dosa di masyarakat (uang suap, amplop), pamrih “pendidikannya” tidak menonjol, selain propaganda buat ha, ha, ha. Tampak lebih ada keleluasaan seni melucu di dalamnya. Mungkin ini karena Koboi ringan tanpa beban, mungkin pula karena Nyak Abbas Acub yang pendiam itu punya kecenderungan untuk tidak perlu berteriak dalam menggurui ataupun dalam menarik ketawa”. (Tempo, 27 Juli 1974). Kurang jelas apakah karena situasi politik yang makin ketat – dibandingkan dengan keadaan politik pada saat pembuatan “Tiga Buronan” dan “Matt Dower “ – ataukah memang ada perubahan orientasi pada Abbas, maka film-filmnya kemudian menampakkan corak yang lain dari film-filmnya terdahulu. Saya melihat perubahan itu terjadi sejak “Koboi Cengeng”. Abbas memang masih tukang ejek yang setia, tapi sasarannya sudah berubah kepada yang lebih “aman” – yakni terhadap orang yang tidak mungkin menimbulkan resiko serius bagi sang sutradara – dan lebih ringan cara menyampaikannya. Film “Ateng Minta Kawin”, misalnya, juga sebuah ejekan yang cukup “sadis” terhadap orang yang jatuh cinta. Ketika menonton film ini terbayang oleh saya bahwa di sebuah sudut Abbas berdiri terkekeh melihat orang yang jatuh cinta tak alang kepalang. Kejadian yang biasanya menimbulkan daya khayal seorang penyair untuk menciptakan syair cinta yang hebat, bagi Abbas cuma cukup untuk menimbulkan ketawa geli. Masih dalam “Ateng Minta Kawin”, kepalsuan-kepalsuan manusia yang lazim dilakukan dengan sadar untuk gengsi, secara halus dan lucu tapi tanpa tedeng alingaling dibongkar oleh Abbas. Lihatlah bahwa baik ayah Vivi (dimainkan oleh Edy Sud) maupun ibu Ateng (dimainkan oleh Titiek Puspa) sesungguhnya saling mengingini. Tapi lantaran gengsi, macam-macamlah ulah mereka. Ternyata dengan cara yang konyol mereka juga saling mencari kesempatan untuk mendekati yang lainnya. Sampai-sampai Edy Sud menyamar dan dikejar hansip. Tidak banyak yang harus diperkatakan mengenai film “Tiga Cewek Badung”. Ini film dibuat ketika serial Five Crazy Boys sedang populer di Indonesia : Tidak bisa disangsikan bahwa Abbas menimba ilhamnya banyak dari film buatan Perancis itu. Tapi toh film ini cukup memancing ketawa dengan cara yang tidak vulgar. Ini suatu eksperimen Abba s yang nampaknya ia tidak teruskan. Terbukti kemudian ia membuat “Inem Pelayan Sexy” yang sukses komersil itu. Ketika mengomentari film ini lebih dari setahun yang lalu, saya antara lain menulis : Sebagai tukang ejek nomor satu, Abbas memang mempunyai pengamatan yang tajam. Dialog-dialog ditulisnya dengan pas dan tepat. Tingkah laku para babu, tuan dan nyonya serta anak-anak mereka digambarkanya dengan baik. Bahkan pengetahuan Abbas mengenai sosiologi kabar angin patut dibanggakan. Perhatikan adegan nyonya-nyonya bersibuk membicarakan kabar perkawinan tuan Bronto dengan babu Inem. Berita itu bersumber pada nyonya Cokro. Melewati sejumlah nyonya – yang menyebarkan berita lewat telepon – berita yang sama tiba kembali pada sumbernya”. (Tempo, 9 April 1977). Untuk apa sebenarnya Abbas membuat Inem ini? Nah, sebagai tukang sindir, yang jadi sasaran Abbas disini adalah tuan-tuan yang munafik dan nyonya -nyonya
yang sok jago. Lihatlah bagaimana Abbas memperolok-olok tuan Cokro (dimainkan oleh Aedy Moward) yang mencur i-curi kesempatan untuk mengintip Inem dan menjawil pipi sang babu ketika sang nyonya lagi lengah. Dan itu tuan Bronto (dimainkan oleh Abdul Jalal) betapa ia diperolok-olok oleh Abbas lewat penggambarannya pada adegan sang tuan jatuh cinta kepada si babu (dimainkan oleh Doris Cellebaut). Lewat film itu Abbas sebenarnya ingin pula berkata bahwa babubabu itu kalau mendapat kesempatan yang sama ia juga bisa bertingkah sama dengan nyonya-nyonya itu. Tapi pada kesempatan yang sama babu itupun jadi sasaran ejeka n Abbas ketika bekas babu itu tiba-tiba seara amat bersemangat berpidato mengenai rakyat miskin, wabah penyakit dan sebagainya. Mendadak jadi nyonya – setelah melepas status babu – kebiasaan nyonya -nyoyapun ditirunya. Barangkali Abbas ingin berkata : “Nah, siapa saja yang berstatus nyonya, penyakitnya kan sama saja”. Ini cuma dugaan seorang yang belum berkesempatan berpengalaman dengan nyonya, apalagi dengan nyonya-nyonya. Film “Karminen” kelihatannya dibuat tidak dengan serius. Dari film itu ada ketawa, ta pi sumbernya tidak terlalu dalam. Datangnya terutama dari tingkah laku sesaat para pemain yang kebetulan berasal dari sebuah grup lawak. Masih tetap ada pesan – tentang seorang yang bosan di kota lalu kembali ke desa – tapi pesan itu seperti di cari-cari saja. Nah, apa boleh buat, bintang besar macam Toshiro Mifume toh tidak selalu bermain dalam film serius karya Akira Kurosawa. Sekali-sekali ia juga “terpaksa” main untuk keperluan-keperluan non rohaniah, bukan? Babbas juga punya hak untuk berbuat demikian, saya kira.