Mengenang Malam Jahanam (1) http://teguhtimur.com/2007/09/29/mengenang-malam-jahanam-1/ 29 Saturday SEP 2007 POSTED
BY TEGUHTIMUR IN
BERITA, MALAM JAHANAM
Tulisan-tulisan berikut ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada para korban dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya. G30S PADA dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD). Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan – siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.
1
Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta. Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit. Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit. Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani 2
tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas. Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro. Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal. Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau. Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk 3
melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia. Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar emosinya.
4
Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-ubun. G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”. Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau. (Dari berbagai sumber).
5
Mengenang Malam Jahanam (2) Oleh: Harsutejo GESTAPU, GESTOK Gerakan 30 September merupakan nama “resmi” gerakan sesuai dengan apa yang telah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa “lebih ilmiah” bahwa G30S ya PKI. Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, telah menulis buku yang “menghebohkan” itu karena secara murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu, ketika dia menggunakan istilah netral ‘Gerakan 30 September’ selalu diikuti dalam kurung (GESTAPU). Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad 6
Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk tidak melakukan gerakan militer. Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, “..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak mati… Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi”. Mungkin sekali ini maksudnya setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum “yang tidak benar”. Dalam dokumen yang disebut “Dokumen Slipi” yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK (1968), “…1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok…”. Jika dokumen ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya. Sebenarnyalah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak militer sendiri. (Dari berbagai sumber).
7