11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pentingnya Mekanisasi Pertanian di Indonesia Upaya swa-sembada pangan, khususnya beras pada beberapa tahun terakhir ini agaknya sulit untuk dipertahankan, mengingat produksi pangan mengalami penurunan. Hal ini antara lain disebabkan karena : 1. Berkurangnya areal pertanian / lahan produktif karena berubahnya fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Selama periode tahun 1983 -1993, luas lahan pertanian mengalami penurunan sekitar 1,l juta hektar dari total luas areal lahan pertanian 16,7 juta hektar (Pikiran Rakyat, 1997). Menurut Tejoyuwono (1995), alih fungsi lahan pertanian di Jawa semakin tinggi frekuensinya. Ini sejalan dengan kebutuhan dan pembukaan pemukiman baru, lahan industri, lapangan rekreasi, dan fasilitas pariwisata.
Diperkirakan antara 20.000
-
50.000 hektar lahan
pertanian per tahun berubah fungsi untuk kepentingan tersebut. Bila ha1 ini terus dibiarkan maka upaya intensifikasi pertanian akan terancam, produksi pertanian akan menurun
dan konsekuensinya hams ada
kompensasi atas menurunnya luas lahan sebagai sarana produksi pertanian yang paling utama tersebut. 2. Berkurangnya tenaga kej a dalam bidang pertanian. Hasil studi di beberapa daerah pertanian potensial di Jawa Barat menunjukkan bahwa secara umum kegiatan pertanian tidak menjadi usaha atau mata pencaharian pokok lagi. Mata pencaharian pokok yang
banyak diandalkan antara lain : Berdagang, pertukangan, buruh atau usaha non pertanian lainnya
(Lembaga Penelitian UNPAD, 1994).
Disamping itu data statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1994 hingga tahun 1997 telah terjadi penurunan tenaga kerja dalam bidang pertanian sebesar 15%, dari 40.071.850 orang menjadi 34.060.631 orang. Sedangkan tenaga kerja sektor industri manufaktur meningkat sebesar 27,67%, dari 8.784.295 orang menjadi 11.214.822 orang. Meningkatnya
jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur adalah karena adanya migrasi tenaga dari sektor pertanian ke sektor industri manufaktur tersebut, sejalan dengan berubahnya fungsi lahan dari fungsi untuk pertanian ke fungsi lahan untuk industri (Biro Pusat Statistik, 1994; 1997). 3. Upaya intensifikasi pada setiap periode musirn tanam sudah mengalami
titik jenuh, sementara tingkat intensitas tanam masih rendah disebabkan karena sulitnya pengairan, teknologi (bibit) dan perubahan struktur masyarakat (Suhaedi, 1988). Untuk mengantisipasi ha1 tersebut pengembangan sistem mekanisasi pertanian menjadi ha1 yang mutlak guna mendukung ketersediaan pangan yang aman dan meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia. Salah satunya adalah dengan penggunaan traktor tangan yang lebih intensif. Menurut Dudung (1993) tujuan mekanisasi pertanian di Indonesia antara lain : 1. Meningkatkan produksi pertanian dan peningkatan luas pertanaman.
2. Mendukung pola tanam dan pola panen serempak dalam rangka upaya
pengendalian hama terpadu. 3. Meningkatkan kesempatan kerja dan memperluas kesempatan berusaha
dalam bidang usaha pelayanan pengolahan tanah, perawatan tanaman dan penanganan pasca panen serta kerajinan pembuatan dan perbaikan alsin pertanian. 4. Menurunkan angka kehilangan pasca panen.
Dengan demikian secara umum mekanisasi pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian, meningkatkan pendapatan, meningkatkan citra (image), menghemat waktu kerja, menunjang pengembangan industri dan sektor ekonomi lainnya (Moens, 1978). Dalam implementasinya, pengembangan sistem mekanisasi pertanian di Indonesia seringkali dihadapkan pada kendala teknis, sosial dan ekonomi, antara lain seperti : 1. Keterbatasan dalam rancang bangun dan produksi alsin. 2. Keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia (dalam ha1 ini petani)
3. Keterbatasan dalam daya beli dan daya saing industri alat/mesin.
4. Kendala
dalam
aspek
kebijaksanaan,
penyerapan
oleh
petani,
permasalahan di tingkat produsen, permasalahan di tingkat instansi/dinas yang melakukan
bimbingan/penyuluhan serta sektor penunjangnya,
termasuk pembiayaan dan perkreditan. Disamping itu kebijaksanaan pokok bidang mekanisasi pertanian, hendaknya dapat menjawab beberapa permasalahan seperti :
a. Mekanisasi dikaitkan dengan masalah kesempatan kerja. b. Jenis, tingkat teknologi dan jumlah kebutuhan yang sesuai dengan struktur pertanian yang ada.
c. Masalah-masalah di bidang teknologi dan industri alat-alat pertanian. d. Sistem pendidikan dan penyuluhan kepada petani serta distribusi peralatan. e. Sinkronisasi kebijaksanaan dan kebersamaan langkah antar sektor /instansi. Menurut Soedjatmiko (1988), kebijakan pokok mekanisasi pertanian juga perlu memperhatikan beberapa faktor, seperti : 1. Kondisi di lapangan
2. Keragaman komoditi pertanian 3. Kondisi iklim dan cuaca
4. Peruntukan mesin (stationer atau mobile)
5. Konstruksi yang sederhana namun serba guna (misalnya : traktor tangan dapat juga digunakan untuk mengetam, menggerakkan pompa air, dan alat angkutan disamping untuk pengolahan tanah).
6. Sedapat mungkin menggunakan komponen lokal untuk memudahkan dalam mendapatkan suku cadang.
7. Secara ekonomis layak untuk diaplikasikan.
2.2. Kondisi Mekanisasi Pertanian di Indonesia
Dari segi rancang bangun, keragaman alat/mesin yang ada di Indonesia masih terbatas.
Secara umum mesin-mesin pertanian yang
dihasilkan oleh kebanyakan industri di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Syaifuddin et al., 1989) : 1.Mesin pengolahan tanah dan pompa air. 2. Mesin pasca panen.
3. Pemanen dan alat/mesin pengolahan hasil pertanian. 4. Peralatan untuk pengawetanjpenyimpanan hasil pertanian.
Dari sekian banyak mesin pertanian yang dibuat, ada yang seluruhnya dibuat di Indonesia, ada pula yang masih berupa perakitan, seperti : Yanmar dan Kubota. Dalam mengembangkan sistem mekanisasi pertanian di Indonesia, ada beberapa kendala yang sexing dijumpai, yaitu : 1. Ukuran lahan yang kurang mendukung operasi alatjmesin pertanian. 2. Bentuk lahan yang tidak beraturan.
3. Kemiringan lahan. Hasil studi menunjukkan bahwa diperkirakan hanya sekitar 2.75% dari total lahan pertanian di Indonesia memungkinkan dapat diolah dengan menggunakan mesin pertanian sedangkan selebihnya diperlukan mesinmesin dengan rancangan khusus, namun ini akan membawa konsekuensi biaya yang mahal (Syaifuddin et al., 1989). 4. Latar belakang pendidikan petani.
D a b statistik menunjukkan bahwa dari total tenaga keja pertanian sebesar 40.071.850 orang, sekitar 40,60% hanya tamat SD, 31,36 % tidak tamat SD dan 17,02% tidak mengenyam pendidikan. Sisanya sempat mendapatkan pendidikan dari SLTE' hingga universitas, namun jumlahnya sedikit sekali (Biro Pusat Statistik, 1994).Rendahnya tingkat pendidikan ini diduga berdampak pada lambatnya mengadopsi teknologi, pengetahuan dan keterampilan khususnya yang berkaitan dengan peralatan d m mesinmesin pertanian. 5. Kuantitas dan mutu mesin pertanian.
Kebanyakan mesin pertanian yang digunakan di Indonesia diimport dari luar negeri (Jepang, RRC, Korea, Inggris, Jerman, Amerika d m Italia), sedangkan yang
diproduksi di dalam
negeri tidak seluruhnya
menggunakan komponen dalam negeri. Kemampuan kerja mesin yang diimpor tersebut baik, narnun harganya sangat mahal sehingga agak sulit untuk dirniliki petani.
Hambatan yang mash terjadi adalah masih
rendahnya produksi mesin pertanian akibat masih rendahnya daya beIi petani. Disamping kuantitas, unsur mutu produk pun temyata mash menjadi ganjalan bagi pengembangan produk mesin pertanian di Indonesia, mengingat kendala dalam penguasaan rancang bangun dan perekayasaannya.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau keragaman
produk mesin pertanian yang dihasilkan rnasih terbatas (Afandi, 1988). 6. MasaIah yang paling umum terjadi berkaitan dengan pengembangan
suatu produk, seperti :
(a). Kesulitan dalam pemasaran (b). Kelemahan dalarn proses produksi (c). Kendala kreativitas dan rekayasa
(d). Informasi Pasar yang belum memadai
7. Lemahnya daya beli petani. Nilai tukar produk pertanian dan
upah tenaga kerja pertanian yang
rendah, serta makin pesatnya laju impor produk pertanian merupakan beberapa faktor penyebab hambatan bagi pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia. Mekanisasi pertanian akan berkembang baik apabila ada peningkatan pendapatan petani. Menurut Sugiyanto (1988), harga mesin pertanian di Indonesia temyata masih lebih mahal bila dibandingkan dengan di negara lain di Asia, yang antara lain disebabkan : 1. Alat produksi dan pra sarana tidak sesuai
2. Pabrik memproduksi dengan kapasitas kecil 3. Bea masuk tinggi 4. Beban-beban tambahan (biaya tak terduga dalam rantai birokrasi)
5. Biaya transportasi dan tingkat suku bunga yang tinggi. Porter (1985) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk di pasaran dapat dilakukan dengan menerapkan dua strategi bersaing yang paling mendasar, yaitu : 1. Ciptakan keunggulan dalam ongkos (ongkos atau biaya produksi, biaya pemasaran, dan biaya lainnya yang lebih rendah atau minimum) 2. Ciptakan keunggulan karena keunikan yang dirniliki produk
2.3. Pemilihan, Pengujian dan Evaluasi Mesin Pertanian Menurut Moens (1978), dalam mekanisasi pertanian ada beberapa kriteria atau standar yang digunakan berkaitan dengan pemilihan,pengujian dan evaluasi mesin pertanian, yaitu : 1. Standar Agronomi dan biologi
2. Standar Organisasi 3. Standar Ekonomi 4. Standar Ergonomi
5. Standar Sosial Kriteria atau standar tersebut diperlukan untuk merumuskan setiap langkah dan tujuan operasi dalam bentuk yang dapat dikerjakan dan dapat diukur, serta untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Sedangkan
menurut Soebagyo (1978), prinsip dari pengujian alat/mesin pertanian ialah untuk menjawab pertanyaan : 1. Apakah mesin itu bekerja sebagaimana mestinya ? 2. Bagaimanakah kecepatan kerjanya pada kondisi lokal ?
3. Apakah mudah dioperasikan d m dipelihara ? 4. Bagaimana pengaruhnya terhadap ekonomi ?
5. Apakah ketahanannya cukup atau mudah rusak ? Beberapa penelitian yang berkaitan dengan aspek pemilihan suatu produk, termasuk produk alat/mesin pertanian, antara lain dengan menggunakan metode proses analisis berjenjang atau Analytical Hierarchy Process (Setyo Pertiwi et. al., 1992), metode Pengambilan Keputusan dengan
Kriteria Majemuk (Tecle dan Yitayew, 1990), metode pembobotan faktor (Canada, 1971). Disamping itu metode pemilihan suatu produk dengan menggunakan basis komputer juga telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah model pemilihan produk (berupa disain) melalui analisis komparatif pada berbagai konteks pengamatan yang kompleks dan berjenjang (Kudang, 1993). Dalam proses pemilihan alternatif, pengambil keputusan seringkali dihadapkan pada kondisi ketidak-pastian dan ketidak-jelasan (fuzzy). Keadaan ini agaknya cukup menyulitkan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif pilihan yang terbaik terutama bila dalam persoalannya terkandung data yang sifatnya kualitatif. Schmoldt &. Center dan Verrna (1997) menyatakan bahwa model kualitatif memiliki sifat-sifat yang analog dengan model kuantitatif, dimana keduanya menghasilkan nilai peubah tertentu (dependent variable) melalui keterkaitan diantara peubah model. Hanya pada model kualitatif, peubah model harus dideskripsikan lebih umum. Sebagai contoh misalnya nilai untuk peubah kualitatif renakh, seakng,
meningkat atau statis harus dideskripsikan dengan lebih komunikatif hingga pola hubungannya dapat lebih dimengerti. Salah satu cara untuk memecahkan persoalan sistem yang komplek adalah dengan menggunakan teknik pemodelan fuzzy. Metode tersebut walaupun dalam aplikasinya cukup rumit namun mengacu kepada konsep bahwa metode pengambilan keputusan yang baik salah satunya dimaksudkan untuk mendapatkan keunikan dan konsistensi dalam mengambil keputusan.
Konsep fuzzy logic pertama kali dikembangkan oleh Zadeh pada tahun 1965 sebagai salah satu alternatif metode untuk menganalisis sistem pengetahuan sosial dan biologi yang komplek (Ambuel et.al., 1994). Konsep dasar ini dapat digunakan dalam menentukan pilihan alternatif terbaik berdasarkan metode Analisis Proses Bejenjang (AI-IP) dalam lingkungan fuzzy (disingkat dengan AHPficzzy). Metode ini didasarkan atas perbandingan berpasangan diantara alternatif pilihan yang ada, yang disusun menurut hirarki kriteria dan sub-kriteria dari masalah pemilihan altematif yang dihadapi (Gambar 2.1.). Alternatif terbaik terletak pada level 1dari hirarki. Data yang dianalisis dalam hirarki disajikan dalam bentuk angka minimum dan maksimum, yang mewakili data yang bersifat fuzzy.
LEVEL I
FOKUS
LEVEL 2
A FOKUS
KRlTERlA
LEVEL 3 SUBKRlTERlA
LEVEL X
ALTERNATIF KEPUTUSAN
Gambar 2.1. Sistem Hirarki untuk Model AHP Fuzzy
Dengan menggunakan proses fisifikasi dan defusifikasi, angka kisaran tersebut akan dibuat nilai optimumnya. Dengan demikian hasil akhir akan lebih obyektif (sesuai dengan apa yang diberikan oleh responden). Pengujian dan Evaluasi Mesin Pertanian sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian no.524/Kpts/Um/8/1976, dirnaksudkan untuk menjamin dan melindungi para pemakai dan produsen alat/mesin pertanian di dalam negeri, sedemikian rupa hingga pemakai akan mudah mendapatkan informasi yang tepat dalam memilih, mutu dan dan teknis serta pemakaian alatjmesin yang tepat. Sedangkan bagi produsen agar mudah dalam mendapatkan informasi teknis mengenai rancangan, modifikasi dan bimbingan pembuatan alat/mesin pertanian (Soebagyo, 1978). Menurut Wanders (1978), tujuan pengujian adalah untuk menyelidiki, mencoba atau membuktikan kinerja sehingga nilai suatu mesin dapat ditetapkan.
Sedangkan
evaluasi
adalah
langkah
selanjutnya untuk
mengetahui, menilai dan menetapkan nilai mesin yang diuji, tidak saja berdasarkan data mesin yang diperoleh akan tetapi juga berdasarkan keterangan di lapangan, baik yang menyangkut tanamannya, iklim, observasi secara visual dan pendapatan operator atau petani. Wanders (1978) juga mengemukakan bahwa dalam laporan pengujian mesin sebaiknya memuat tentang : 1. Sifat-sifat mesh
2. Keadaan yang mempengaruhi keadaan mesin 3. Prosedur pengujian yang dilakukan
4. Penyajian data pengujian
5. Data ekonomi 6. Kecocokan ekonomi dan kesimpulan
Moeljarno (1978) menyatakan bahwa evaluasi alat/mesin pertanian pada dasarnya dilakukan pada dua pihak, yaitu : pengusaha atau produsen alat /mesin dan pemakai, ditinjau dari kebutuhan dan keadaannya. Untuk mengevaluasi rancangan suatu alat/mesin pertanian diperlukan beberapa pengetahuan yang menjadi dasar evaluasi tersebut, seperti pengetahuan tentang ergonomi dan keselamatan kerja, ekonomi teknik dan sosiologi. Evaluasi penggunaan alat/mesin pertanian dari aspek ekonomi didasarkan atas kelayakan ekonomi atau kelayakan finansial. Perhitungan pada analisis kelayakan ekonomi menggunakan data harga harga bayangan (perkiraan), sedangkan analisis kelayakan finansial menggunakan data finansial yang diperoleh dari hasil pengamatan. Baik kelayakan ekonomi maupun kelayakan finansial, keduanya menggunakan beberapa indikator seperti : Ratio nilai sekarang pendapatan dengan nilai sekarang pengeluaran atau biaya (= Benejf Cost Ratio / BC Ratio), kemudian selisih nilai sekarang pendapatan dengan nilai sekarang pengeluaran (= Net Present Value/NPV), tingkat suku bunga pengembalian modal (= Infernal Rate of Return/lRR) d m periode pengembalian modal (Payback period). Suatu investasi dikatakan layak apabila nilai BC Ratio > 1, kemudian nilai NPV > 0 dan IRR > tingkat suku bunga yang berlaku (minimum attractive rate of return), serta periode pengembalian modal yang sesingkat mungkin.
Periode pengembalian modal juga dapat dilihat dari nilai pada titik impas (Break Even
Point / BEP). Penggunaan alat/mesin
pertanian akan
menguntungkan bila titik impasnya sesingkat mungkin. Evaluasi yang berkaitan dengan aspek ergonorni biasanya mencakup pengukuran tingkat kebisingan (noise), getaran mekanis (vibrasi), kesesuaian anthropometri rancangan yang dibuat, serta pembebanan yang mungkin terjadi karena penggunaan alatjmesin tersebut, misalnya : pengaruh berat, gas buang dan panas yang dihasilkan. Kebisingan adalah merupakan suara yang memiliki frekuensi dan
amplitude tertentu yang dapat menyebabkan gangguan atau interferensi pada fungsi pendengaran manusia dan lingkungan. Pada penggunaan alat/mesin pertanian, termasuk traktor tangan, bunyi atau suara yang dikeluarkan oleh mesin bisa saja mengganggu pendengaran untuk tingkat frekuensi dan lama waktu pendengaran suara tertentu bagi manusia yang mendengarkannya. Oleh karena itu faktor kebisingan dapat dijadikan tolok ukur kelayakan operasi atau unjuk kerja alat/mesin pertanian di lapangan.
Artinya
alatjmesin pertanian yang baik idealnya memiliki tingkat kebisingan yang masih dahm ambang batas yang bisa diterima dan tidak mengganggu fisik operator mtuk jangka waktu operasi tertentu. Untuk menentukan tingkat kebisingan yang dapat ditolerir atau tidak tergantung dari lama pendengaramya. Metode untuk menentukan tingkat kebisingan kontinyu yakni dengan menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh OSHA (1983) &.Sanders dan Mc Cormick (1987).
Tingkat kebisingan yang dijadikan dasar perhitungan adalah di atas 80 dB (A), untuk lama waktu pendengaran tertentu (Tabel 2.1). Metodc analisisnya adalah sebagai berikut : 1. Hitung nilai TDB mtuk suatu kondisi kerja dalam 1 hari (basis 8 jam), dengan formula : WA TDB = C(-)xlOO WI
dimana ;
TDB = Total dosis kebisingan WA = Waktu mendengar pada suatu tingkat kebisingan WI
= Maksirnum waktu yang diijinkan mtuk tingkat kebisingan tersebut
2. Konversikan nilai TDB ke nilai TWA (Rata-rata waktu terbobot
- 8 jam),
yaitu dengan menggunakan Tabel 2.2. 3. Tentukan kategori tingkat kebisingan yang dihasilkan rata-rata harian.
Tabel 2.1. Tingkat Kebisingan yang Masih Ditolerir Menurut OSHA TINGKAT KEBISINGAN dB (A)
xn
I
-- -
WAKTU PENDENGARAN YANG DIIJINKAN :WI (jam)
I
37
.,..-
I
Sumber : OSHA (1983) dalam Sanders and Mc. Connick (1987). Human Factors in Engineering and Design.M c Graw W Book Company.USA.
Tabel 2.2. Nilai Konversi TDB ke TWA
I
TDB
I
-- 400 *) Maksimum level yang diijinkan
TWA
-100
Sebagai contoh misalnya faktor getaran mekanis pada traktor tangan terpusat pada mesin yang merupakan sumber tenaga penggerak. Kerja mesin urnurnnya menghasilkan bunyi (suara) dan getaran mekanis karena adanya perubahan frekuensi atau tekanan udara maupun suara akibat adanya gesekan dan perubahan bentuk energi yang tejadi di dalam mesin (misalnya dari energi kimia menjadi energi kinetik atau gerak translasi, dari energi kinetik menjadi energi listrik, dsb.). Besamya getaran mekanis dalam traktor tangan harus dianalisis, mengingat pada suatu tingkat getaran yang melebihi batas yang diperkenankan akan mengganggu kepada manusia yang menggunakannya. Gangguan yang bisa terjadi karena pengaruh getaran mekanis hi, misalnya : Gangguan pada sistem peredaran darah, saraf, sakit pada otot, gangguan pada fungsi pendengaran d m otak. Pengukuran getaran mekanis pada penelitian unjuk kerja traktor tangan dilakukan dengan cara mengukur getaran yang ditimbulkan oleh traktor tangan dengan alat "Vibration Meter" pada berbagai tingkat putaran
mesin yang berbeda-beda, dengan kondisi mesin dalam keadaan stationer maupun operasional. Sensor getaran dalam ha1 ini diletakan pada rangka horizontal stang / kemudi traktor. Getaran yang ditimbulkan akan tercatat pada alat ukur dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan standar getaran mekanis yang dapat ditolerir. Untuk menentukan kesesuaian anthropometri suatu rancangan alat/mesin pertanian dapat digunakan data anthropometri dan biomekanik. Analisis dilakukan dengan cara mengukur posisi-posisi relatif dimensi alat atau mesin sesuai dengan pengukuran anthropometri. Data anthropometri hasil pengukuran anthropometri
dimensi tersebut kemudian dibandingkan dengan
standar
untuk
manusia
(operator).
Apabila
ukuran
anthropometri hasil pengukuran dimensi lebih kecil atau lebih besar dari ukuran anthropometri standar untuk manusia, maka rancangan alat atau mesin tersebut harus diperbaiki atau dirnodifikasi kembali agar dalam penggunaan nya tidak menirnbulkan masalah, terutama yang menyangkut kearnanan, kenyamanan, efektivitas dan efisiensi keja pemakainya. Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan evaluasi rancangan dari aspek ergonomi adalah faktor suhu lingkungan kerja. Suhu lingkungan keja pada saat mesin digunakan di lapangan akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologi dan fisiologi operator. Ada dua kutub suhu yang berpengaruh disini, yaitu : suhu udara di sekeliling tempat bekerja dan suhu yang dikeluarkan karena adanya proses pembakaran di dalam mesin. Untuk mengukur suhu tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan
alat
ukur
termometer
udara,
Heat
Stress
Monitor,
Micropsychrometer (alat ukur suhu bola basah dan bola kering). Pengukuran dilakukan pada udara ruang bebas dan juga pada udara didekat mesin (tempat dimana operator bekerja). Suhu terukur kemudian dibandingkan dengan kondisi ideal. Suhu lingkungan kerja yang berlebihan akan berdampak pada operator, misalnya : dehidrasi, kejang-kejang karena terlalu lelah (heat stroke). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bell et al. (1971) &. Bridger (1995), untuk lama kerja 8 jam per hari, suhu lingkungan kerja yang masih sesuai dengan kondisi fisik manusia adalah sekitar 30" C hingga 31" C dengan jenis pekerjaan yang ringan. Sedangkan untuk kerja yang berat suhu lingkungan maksimum berada di sekitar 25" C. Sementara itu OSHA merekomendasikan untuk jenis pekerjaan ringan, suhu lingkungan kerja yang dapat ditolerir adalah sekitar 32" C, sedangkan untuk pekejaan berat, suhu lingkungan kerja yang dapat ditolerir adalah sekitar 28,g0 C dengan kecepatan angin di atas 1,5 m/detik.
Hasil pengujian dan evaIuasi alat/mesin pertanian pada akhimya akan berguna bagi pengembangan rancang bangun alat/mesin tersebut pada tahapan selanjutnya. Tujuan akhir dari pengujian dan evaluasi alat/mesin itu sendiri adalah untuk mengetahui bagaimana cara mendapatkan suatu rancangan yang mampu memenuhi keinginan pemakai.
Menurut Fulkerson (1995), ada beberapa ha1 yang harus diperhatikan oleh produsen alat/mesin terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan pemakainya, antara lain yaitu : 1. Ketersediaan produk (waktu siklus dari pesanan diterima hingga produk
tersebut dibayar) 2. Biaya atau ongkos produk dan proses 3. Mutu produk
4. Keragaman proses (adaptasi terhadap kemungkinan adanya perubahan) 2.4. Metodologi Rekayasa Nilai
Penelitian yang berkaitan dengan aspek pemilihan produk dengan orientasi pemilihan atas dasar fungsi dan nilai produk telah lama dirintis, namun pengembangan lebih lanjut baru pada era tahun 90'an. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang berkaitan dengan penerapan metodologi rekayasa nilai (Value Engineering). Penelitian ini mulai dikembangkan sekitar tahun 1947 dan bertitik tolak dari adanya upaya untuk meningkatkan mutu dan kinerja suatu produk tanpa hams mengeluarkan biaya yang besar dengan didasarkan atas penetapan fungsi dari produk tersebut. Menurut Miles (1972), fungsi pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai kegunaan atau manfaat yang diberikan produk kepada pemakai untuk memenuhi suatu atau sekurnpulan kebutuhan tertentu. Metode rekayasa nilai yang berkaitan dengan
pengidentifikasian fungsi dari suatu
produk
pertama
kali
dikembangkan oleh Lawrence D. Miles. Konsep dasarnya adalah bagaimana
memperoleh suatu produk dengan persediaan material dan peralatan yang terbatas tetapi dapat memenuhi fungsi produk yang diharapkan. Disini tercermin adanya sejumlah ha1 penting, yaitu : 1. Penggunaan ongkos yang serendah-rendahnya. 2. Adanya fungsi yang andal.
3. Adanya fungsi yang mampu memenuhi kebutuhan. 4. Dibatasi oleh waktu dan tempat.
5. Terpenuhinya mutu yang pokok dari suatu produk. Rekayasa nilai dalam ha1 ini dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang bersifat kreatif dan sistematis yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu (Miles, 1972). Tujuannya adalah untuk memberikan lebih banyak fungsi kegunaan produk (fkngsi utilitas) bagi pemakai dengan ongkos pemenuhan fungsi yang lebih murah
(Kolarik, 1995). Pendekatan kreatif dalam rekayasa nilai dimaksudkan untuk mendapatkan hasil perancangan alat yang inovatif. Sedangkan pendekatan sistematis dalam ha1 ini adalah untuk mengidentifikasikan fungsi-fungsi tertentu yang diperlukan dalam perancangan maupun analisis suatu alat, menetapkan nilai-nilainya serta mengembangkan alternatif untuk melakukan fungsi tersebut dengan biaya yang minimum. Menurut Heller (1971), rekayasa nilai adalah merupakan aplikasi sistematik dari pendekatan-pendekatan yang ada dengan langkah-langkah : 1. Mengidentifikasi fungsi produk atau jasa 2. Menetapkan nilai untuk fungsi tersebut
3. Mencoba memberi fungsi dengan total biaya yang terendah tanpa
menurunkan nilai sebelumnya (tanpa degradasi nilai) Karakteristik dari rekayasa nilai antara lain : a. Berorientasi kepada fungsi Proses rancangan dimulai dengan
mengidentifikasikan fungsi yang
dibutuhkan. Menurut Miles (1972), identifikasi suatu fungsi dapat dilakukan dengan menggunakan kata kej a (verb) d m kata benda (noun). Sebagai contoh misalnya : Apakah fungsi cangkul ?
Fungsi cangkul dapat dinyatakan dengan kata
kej a dan kata benda, yaitu : untuk "Mengolah Tanah". Fungsi dalam ha1 ini terbagi atas :
1. Fungsi Utama, yaitu fungsi yang merupakan tujuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu sistem (misalnya dalam suatu produk).
2. F u n-~ s iPendukung, yaitu fungsi yang memberikan dukungan atau pelengkap fungsi utama agar kinej a (performance) sistem tersebut bisa lebih baik.
3. Fungsi Yang- Tidak Dibutuhkan, yaitu fungsi yang tidak dibutuhkan atau fungsi yang sebenarnya tidak diperlukan oleh suatu sistem dalam melaksanakan keja. b. Pendekatan sistematik c. Multi disiplin atau menggunakan berbagai disiplin ilmu/keahlian. d. Berorientasi pada siklus hidup produk. e. Fola pikir kreatif.
Rekayasa nilai bertujuan untuk menyeimbangkan biaya kinerja untuk mendapatkan nilai yang semaksimal mungkin. Nilai yang dimaksud di atas, menurut Miles (1972) dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi hubungan sebagai berikut :
Selanjutnya nilai pada fungsi hubungan di atas dapat dinyatakan dengan angka indeks yang disebut dengan Nilai Indeks Rekayasa Rancangan (NIRR). Biaya dalam ha1 ini menyangkut jumlah uang, waktu, tenaga dan lain lain, yang diperlukan untuk memperoleh suatu produk baik berupa barang atau jasa, sedangkan harga ialah jumlah uang, waktu atau tenaga terkecil yang dibutuhkan untuk memenuhi suatu fungsi. Nilai dalam pengertian rekayasa nilai didefinisikan sebagai kegunaan suatu barang atau jasa, yang dapat dinyatakan dalam nilai guna, nilai estetika, nilai tukar dan nilai biaya. Sedangkan kineja (performance) dalam ha1 ini didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh dari fungsi-fungsi suatu produk sedemikian rupa dapat memenuhi kepuasan dan keinginan pemakai. Fungsi yang diidentifikasikan dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu : (1) Survey dan (2) Fokus pada panelis. (Fowler, 1990). Menurut Heller (1971), ada empat jenis nilai yang terkait yang dalam rekayasa nilai bang disebut juga dengan nilai ekonomi), yaitu :
1. Nilai guna (use value), yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar
kegunaan produk akibat terpenuhiiya suatu fungsi, yang umurnnya tergantung dari sifat dan mutu produk. 2. Nilai estetika (esteem value), yaitu nilai yang menunjukan seberapa besar
kemampuan produk untuk memuaskan pemakai yang memilikinya (biasanya dari sudut pandang nilai keindahan dari kinerja produk tersebut). 3. Nilai tukar (exchange value), yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar
pemakai untuk berkorban dalam mendapatkan produk. 4. Nilai biaya (cost value), yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar total
biaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk serta memenuhi semua fungsi yang diinginkan. Usaha untuk mendapatkan nilai yang maksimum dapat dilakukan dengan cara : 1.Menurunkan biaya sementara kinerja tetap 2. Meningkatkan kinerja sementara biaya tetap
3. Meningkatkan kinerja sekaligus menurunkan biaya
Rekayasa
nilai
menekankan
peningkatan
fungsi
yang
akan
meningkatkan nilai, dan bukan menekankan hanya pada pengurangan biaya saja. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Guiltinan dan Gordon (1994) bahwa untuk memberikan kepuasan kepada pemakai, ada 8 dimensi
yang harus dipenuhi dalam suatu fungsi produk, yaitu :
1. Kinerja produk (performance) 2. Penampakan produk (feature) 3. Keterhandalan (reliability)
4. Kesesuaian dengan standar (conformance)
5. Umur pakai (durability) 6. Kemampuan dalam pelayanan puma jual (serviceability)
7. Nilai estetika (esthetic) 8. Reputasi
Pada dasarnya ada lima tahapan rencana kerja yang dapat dilakukan pada metode rekayasa nilai, yaitu : 1. Tahapan Informasi (Information Phase).
Pada tahapan ini sernua informasi yang ada
hubungannya dengan
perancangan produk seperti : spesifikasi, keinginan pemakai dan berbagai ,
aspek yang terkait dengan proses rancang bangun produk.
2. Tahapan Kreatif (Creative Phase).
Tahapan ini menyangkut proses pembmgkitan ide-ide kreatif yang berkaitan dengan pencarian segala macam bentuk altematif yang memungkinkan
dapat
memecahkan
segala
persoalan
dengan
rnenggunakan berbagai teknik kreativitas. 3. Tahapan Andisis (Analysis Phase)
Dalam tahapan ini semua informasi yang sudah diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik kreativitas yang ada sehingga didapatkan beberapa alternatif pernecahan masalah yang terbaik.
4. Tahapan Pengembangan (Development Phase).
Tahapan pengembangan mencakup proses pengembangan dan penelitian lebih lanjut atas alternatif terbaik yang terpiIih sedemikian rupa akan didapatkan rancangan usulan baru baik berupa gambar maupun prototipe yang lebih baik dari rancangan semula, dengan memperhitungkan biaya dan kinerja yang dapat ditampilkan. 5. Tahapan Rekomendasi (Recommendation Phase).
Tahapan ini merupakan tahapan usulan atau saran terutama kepada pihak yang terlibat langsung dengan proses perancangan produk. Saran yang diberikan dapat berupa model atau prototipe baru atau dapat pula berupa usulan perbaikan (modifikasi) dari produk yang telah dibuat sebelumnya. 2.5. Metode Analisis Faktor
Metode analisis faktor adalah merupakan suatu metode umum statistik multivariat yang bertujuan untuk menganalisis variansi maksimum dan mereproduksi korelasi dari serangkaian peubah pengamatan. Disamping itu metode ini juga bertujuan untuk mereduksi peubah yang banyak menjadi beberapa peubah tertentu yang memiliki pengaruh kuat atau dominan dimana peubah-peubah tersebut direpresentasikan oleh apa yang disebut dengan faktor. Dasar model analisis faktor yang bertujuan memaksimumkan reproduksi korelasi antar peubah tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk model persamaan berikut (Dillon dan Goldstein, 1984).
dimana :
... n
i
=1,2
Xi
= Peubah
Fi
= Faktor kesamaan ke j
Ui
= Faktor
Aij
= Koefisien faktor kesamaan
bi
= Koefisien faktor unik
ke i
unik ke i
Faktor-faktor yang dimaksud di atas dapat disimpulkanjdiperoleh dari peubah-peubah yang diobservasi dan dapat diperkirakan sebagai kombinasi linier diantara peubah tersebut (Norusis, 1990). Tiap n peubah dari model di atas digambarkan secara linier menurut faktor kesamaan (common facfor) dan faktor unik (uniquefacfor), dimana faktor kesarnaan menerangkan
korelasi diantara peubah dan tiap faktor unik menjelaskan sisa variansi termasuk error dari peubahnya (Maruli, 1985). Koefisien dari faktor yang dimaksud selanjutnya biasa disebut dengan istilah "Loading Factor". Reduksi peubah yang diperoleh dengan menggunakan model analisis faktor ini dapat diterangkan melalui contoh gambar berikut :
t""-i
X7 dan X4
7
X2, X5 dan X8
1
Gambar 2.2. Pengelompokan Peubah Dalam Analisis Faktor
Tahapan analisis yang dilakukan dalam analisis faktor adalah sebagai berikut :
1. Menentukan jumlah kasus yang diteliti, yaitu sebanyak m buah, dan juga menentukan jumlah n peubah yang akan diobservasi.
2. Membuat matrix data awal dengan ukuran matrix (m x n) 3. Menstandarisasikan matrix data awal ke dalam bentuk baku atau bentuk normal (data dinormaliiasikan), dengan menggunakan persamaan :
dimana Xn= Nilai data normal; Xij = Nilai data; Xr = Nilai rata-rata dan o = Standar deviasi
Catatan : untuk analisis yang menggunakan program komputer, misahya '
SFSS atau SAS, biasanya data tidak usah distandarisasikan terlebii dahulu oleh karena program sudah secara otomatis memproses data yang tidak
4. Menghitung matrix korelasi antar peubah.
5. Menghitung nilai karakteristik
faktor (eigen value) dan vektor
karakteristik (eigen vektor) dari matrix korelasi. 6. Menghitung atau menetapkan "Gmdness offit" sedemikian rupa diperoleh
faktor dan komunalita. 7. Rotasi faktor untuk mendapatkan faktor akhir 8. Intrepretasi hasil faktor akhir
Untuk menentukan berapa faktor yang akan diidentifikan sebagai faktor
yang
mendominasi,
ditentukan
dengan
nilai
karakteristik
("EigenValue"). Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan
jumlah faktor yang akan mendominasi adalah dengan menetapkan nilai eigen value > 1 (Norusis, 1990). Apabila dari hasil analisis faktor diperoleh jumlah faktor cukup banyak dan faktor tersebut perlu dibatasi lagi hingga jumlah tertentu, maka penentuan jumlah faktor dapat juga dilakukan dengan menetapkan persentase variansi tertentu secara subjektif (Dillon dan GoIdstein, 1984). Dalam penelitian ini nilai karakteristik atau eigen value nya ditetapkan
1,5 dan apabila faktor yang diperoleh masih banyak (misalkan
lebih besar dari 5 faktor dengan jumlah peubah dalam faktor lebih dari 4 peubah ), maka nilai persentase variansi yang ditetapkan untuk penelitian ini adalah sebesar 5%. Arrinya hanya faktor-faktor dengan persentase variansi yang lebih besar dari 5% yang akan dipilih sebagai faktor yang dominan. Sedangkan untuk menentukan peubah dalam faktor yang dominan ditentukan berdasarkan nilai faktor 2 0,5.
Ada beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam mereduksi peubah dengan menggunakan analisis faktor, yaitu : 1. Dalam menginterpretasikan solusi akhir analisis faktor seringkali dijumpai
suatu peubah yang sama termuat dalam beberapa faktor yang berbeda sehingga menyulitkan dalam interpretasinya. Untuk mengatasi masalah ini matrix faktor awal (initial statistic) selanjutnya dirotasikan untuk menyederhanakan dan memudahkan dalam menginterpretasikan solusi akhir. Teknik rotasi faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rotasi Varimax, yaitu metode rotasi faktor yang umum digunakan untuk memudahkan interpretasi. Contoh faktor yang akan diinterpretasikan sebelum dan sesudah dirotasi adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3. Rotasi Faktor untuk Memudahkan Interpretasi Hasil Analisis 2. Mengingat peubah yang dianalisis dan jumlah responden yang hams
ditetapkan dalam analisis faktor biasanya cukup besar (lebih dari 10 peubah), maka perlu dilakukan pengujian untuk menentukan apakah metode analisis faktor tersebut layak digunakan atau tidak. Tolok ukur yang dapat menunjukan bahwa metode analisis faktor tersebut layak digunakan ialah dengan menghitung :
a. Nilai ukuran kedekatan contoh (sample) KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) dengan rumus :
KMO =
X i*j Zrq2 2
Ci,jCro
+c~+,c~,;
dimana : rij = koefisien korelasi sederhana antara peubah i dan j aij = koefisien korelasi parsial antara peubah i dan j
Ukuran KMO yang baik adalah mendekati nilai 1. Menurut Kaiser
(1974) c&. Norusis (1990), nilai KMO yang berkisar diantara 0,90
-1
menyatakan bahwa analisis faktor sangat baik sekali digunakan, i diantara 0,80 - 0,90 menyatakan baik, nilai KMO sedangkan ~ l aKMO antara 0,70 - 0,80 menyatakan dapat diandalkan, kemudian nilai KMO antara 0,60 - 0,70 rata-rata dan nilai KMO antara 0,50
- 0,60
adalah
sedang. Untuk nilai KMO dibawah 0,50 maka penggunaan analisis faktor sebaiknya dihindari. b. Uji Bartlett yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa matrix korelasi dalam analisis faktor tersebut adalah matrix identitas. Bila hasil uji Bartlett tersebut menunjukan angka yang besar sementara sigrufikansinya kecil, maka penggunaan metode analisis faktor dapat dipertimbangkan (layak untuk digunakan).