VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
IRAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa pernyataan-pernyataan di dalam disertasi ini yang berjudul : Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian : Pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering (studi kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat), merupakan gagasan atau hasil karya ilmiah saya sendiri dengan arahan dan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas saya nyatakan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada perguruan tinggi lain. Data dan informasi yang digunakan bersumber dari berbagai instansi yang dapat ditelusuri dan hasil wawancara yang dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2007
Irawan Nrp P026010071
@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
IRAWAN Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi
: Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian: Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Nama Nomor Pokok Program Studi
: Irawan : P026010071 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota
Mengetahui: Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal ujian: 21 Februari 2007
Tanggal lulus: ....................................
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmatNYA penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul: " Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian : Pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering (studi kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)". Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. (Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. dan Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc. (Anggota Komisi Pembimbing), yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. (Ketua PS-PSL, SPs IPB) Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan motivasi dalam rangka penyelesaian studi. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian) dan Pengelola Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian, Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB dan berbagai dukungannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada pimpinan, peneliti, dan staf Balai Penelitian Tanah Bogor, dan terutama yang terkait dengan kegiatan Kerjasama ASEAN-MAFF Jepang atas dukungan dan bantuannya. Ucapan terima kasih yang setulusnya Penulis sampaikan kepada istri tercinta (Ny. Erna Julaeha, S.Pd.) dan kedua anak tersayang (Raissa W. Wisudawan dan Gilang Pribadi Irawan). Terakhir ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada seluruh keluarga atas segala budi baik dan do’anya. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala amal baik Ibu/Bapak semuanya. Amiin.
Bogor, Februari 2007 Irawan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat tanggal 28 Nopember 1958 sebagai putra kelima dari dua belas saudara dari Ayah Mayor A’ad (Almarhum) dan Ibu Titi (Almarhumah). Penulis memperoleh gelar kesarjanaan Bidang SosialEkonomi Pertanian (S1) dari Fakultas Pertanian IPB (1982) dan Magister Sains Ekonomi Pertanian (S2) dari Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor (1988). Selanjutnya pada September tahun 2001 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi S3 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) melalui Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Sejak akhir tahun 1982 penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak), Bogor. Beberapa topik penelitian yang pernah penulis terlibat di dalamnya antara lain : Kajian pengelolaan lahan untuk usahatani masyarakat transmigrasi (P3MT) kerjasama Puslitbangtanak dengan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1982-1984, Efisiensi penggunaan pupuk pada lahan sawah, kerjasama Puslitbangtanak dengan International Fertilizer Development Centre (IFDC) tahun 1984-1985, Efisiensi penggunaan pupuk fosfat pada lahan kering kerja sama Puslitabngtanak dengan IMPHOS (1990), Pengelolaan lahan kering berlereng kerjasama Puslitbangtanak dengan International Boards of Soil Research and Management (IBSRAM-ASIA Slopping Lands) tahun 1991-1999, Kajian Usahatani Konservasi dan Penetapan Kriteria Lahan Terdegradasi (APBN, 1992-1994), Studi Eksplorasi Potensi Pertanian DAS Mamberamo, Irian Jaya (RUT 1996), Kajian usahatani korporasi/Corporate Farming, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (tahun 2000), dan Multifungsi Pertanian, Kerjasama Puslitbangtanak dengan Sekretariat ASEAN-MAFF Jepang, tahun 2003-2006. Penulis menikah tanggal 22 Februari 1987 di Bandung dan telah dikarunia seorang putri (Raissa W. Wisudawan, 18 tahun) dan seorang putra (Gilang Pribadi Irawan, 17 tahun). Bogor, Februari 2007
DAFTAR ISI Prakata ....................................................................................................................... x Riwayat hidup ............................................................................................................ xi Daftar Isi ..................................................................................................................... xii Daftar Tabel ..............................................................................................................xiv Daftar Gambar ............................................................................................................xvi Daftar Lampiran ..........................................................................................................xix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1.2. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 1.3. Perumusan Masalah ........................................................................................ 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 1.6. Hipotesis ......................................................................................................... 1.7. Kebaruan Penelitian ......................................................................................... 1.8. Ruang lingkup Penelitian .................................................................................
1 4 12 13 14 14 15 15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Ekonomi Total ....................................................................................... 2.2. Multifungsi Lahan Pertanian .......................................................................... 2.3. Valuasi Ekonomi ............................................................................................ 2.4. Metode Valuasi Ekonomi ................................................................................ 2.5. Studi-studi Terdahulu ......................................................................................
18 22 27 30 40
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 3.2. Rancangan Penelitian ...................................................................................... 3.2.1. Jenis dan sumber data .............................................................................. 3.2.2. Responden penelitian ............................................................................... 3.2.3. Metode analisis data ................................................................................
44 46 46 47 49
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Alam ................................................................................................. 4.2. Penggunaan Lahan ........................................................................................ 4.3. Keadaan Sosial Ekonomi ................................................................................ 4.4. Karakteristik Responden ..................................................................................
56 61 65 75
V. ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN PERTANIAN DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN 5.1. Analisis Nilai Ekonomi Lahan Pertanian ......................................................... 81 5.1.1. Nilai ekonomi penghasil produksi pertanian dan sumber pendapatan......... 81 5.1.2. Nilai ekonomi fungsi penyedia lapangan kerja ......................................... 87 5.1.3. Nilai ekonomi fungsi stabilitas ketahanan pangan ..................................... 92 5.1.4. Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir ......................................................... 99 5.1.5. Nilai ekonomi fungsi pengendali erosi dan sedimentasi ...........................107 5.2. Pengetahuan Responden Mengenai Multifungsi Lahan Pertanian ....................117 VI. ANALISIS WTP, WTA DAN KONVERSI LAHAN PERTANAN 6.1. Kemauan Masyarakat untuk Membayar Jasa Lingkungan Pertanian ................125 6.1.1. Pendapat responden mengenai penyebab banjir .......................................125 6.1.2. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian ...............................128 6.1.3. Besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya .........................131 6.1.4. Model persamaan regresi fungsi WTP .....................................................135 6.1.5. Mekanisme dan alat pembayaran WTP....................................................139 6.2. Kemauan Petani untuk Menerima Pembayaran Jasa Lingkungan Pertanian .........................................................................................................142 6.2.1. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian ...............................143 6.2.2. Besaran WTA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya .......................151 6.2.3. Model persamaan regresi fungsi WTA.....................................................152 6.2.4. Bentuk dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diharapkan petani .....................................................................................................165 6.3. Fenomena konversi lahan pertanian dan kebijakan pengendaliannya ...............169 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan ..............................................................................................186 7.2. Implikasi kebijakan ........................................................................................188
7.3. Saran Penelitian Lanjutan.................................................................................188 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................190 LAMPIRAN ...............................................................................................................195
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Prioritas penelitian aspek multifungsi pertanian di beberapa negara ................... 26
2.
Jenis dan sumber data, serta metode analisisnya ................................................ 48
3.
Jenis dan jumlah responden penelitian ............................................................... 49
4.
Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah administratif (ha) ................................................................................................................... 58
5.
Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) ....................... 56
6.
Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah ......................................... 61
7.
Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS Citarik...... 65
8.
Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003 ............................................................. 67
9.
Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005 ............................................................. 68
10.
Luas lahan yang dikuasai petani berdasarkan penggunaannya (ha/kk) ............... 70
11.
Status penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik, 2003 .......... 71
12.
Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2003 (%) ............................... 73
13.
Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2005 (%) ................................ 73
14.
Karakteristik responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian..................... 76
15.
Karakteristik responden analisis WTP, Kabupaten Bandung, 2005..................... 78
16.
Karakteristik responden analisis WTA petani padi sawah .................................. 79
17.
Karakteristik responden analisis WTA petani lahan kering................................. 80
18.
Nilai padi dan palawija hasil lahan sawah di Sub DAS Citarik .......................... 83
19.
Nilai padi dan palawija hasil usahatani tegalan di Sub DAS Citarik.................... 86
20.
Sumber dan jumlah tenaga kerja pada usahatani padi sawah, Sub DAS Citarik .. 89
21.
Tinggi pematang dan genangan air pada lahan sawah, Sub DAS Citarik (cm) ....103
22.
Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir lahan sawah dan tegalan, Sub DAS Citarik 106
23.
Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan .........................................109
24.
Total nilai ekonomi lahan sawah dan lahan kering, Sub DAS Citarik ................110
25.
Nilai kini (PV) potensi manfaat yang hilang akibat konversi lahan pertanian dan nilai kini biaya usahatani apabila lahan tersebut tidak dikonversi, Sub DAS Citarik ...............................................................................................116
26.
Koefisien korelasi antara banyaknya aspek MFP yang diketahui responden dengan beberapa variabel yang dianalisis ...........................................................120
27.
Hasil analisis regresi pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian ...124
xiv
28.
Koefisien korelasi WTP dengan beberapa variabel yang dianalisis .....................133
29.
Hasil analisis regresi berganda model dugaan fungsi WTP .................................137
30.
Analisis finansial usahatani padi sawah, Kabupaten Bandung, 2005....................147
31.
Koefisien korelasi besaran WTA petani padi sawah dengan beberapa variabel yang dianalisis ....................................................................................................152
32.
Koefisien korelasi besaran WTA petani lahan kering dengan beberapa variabel yang dianalisis ....................................................................................................152
33.
Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani padi sawah ..................................157
34.
Biaya investasi penerapan teknik KTA pada lahan kering berbasis tanaman tahunan dan tanaman pangan semusim, Kabupaten Bandung, 2003.....................160
35. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani lahan kering ..................................163 36. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas pertama yang diharapkan petani padi sawah, Kabupaten Bandung ..............................................................166 37. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas kedua yang diharapkan oleh petani padi sawah, Kabupaten Bandung........................................................167 38. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani lahan kering berbasis agroforestri dan tanaman pangan semusim, Kabupaten Bandung, 2005 ...................................................................................168 39. Konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung, 2003 .....171 40. Rencana konversi lahan sawah yang tertuang dalam RTRW 2003.......................180
xv
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Halaman Kerangka pemikiran pendekatan penelitian ......................................................... 7 Pendekatan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian .................................... 10 Diagram pendekatan permasalahan ..................................................................... 13 Kategori nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian ........................................... 21 Lokasi penelitian Sub DAS Citarik, Jawa Barat................................................... 45 Diagram sebab akibat analisis fungsi stabilitas ketahanan pangan ...................... 51 Fluktuasi debit air Sungai Citarik, curah hujan dan rasio debit air harian maksimum/minimum Sungai Citarik ................................................................. 58 Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik (tahun 1969 dan 2000) ........................... 62 Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik ............................. 64 Distribusi penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik .............. 70 Jumlah desa dan keluarga korban bajir serta nilai kerugian akibat banjir di Kabupaten Bandung........................................................................................... 75 Jenis kerugian yang diderita responden akibat banjir, Kabupaten Bandung .......... 79 Potensi nilai hasil padi dan palawija yang hilang akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik ............................................................................................... 84 Potensi nilai produksi pertanian yang hilang akibat konversi tegalan di Sub DAS Citarik................................................................................................................ 86 Potensi kesempatan kerja yang hilang akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik................................................................................................................ 90 Potensi kesempatan kerja yang hilang akibat konversi tegalan Sub DAS Citarik .. 92 Diagram alir simulasi ketahanan pangan di wilayah Sub DAS Citarik ................. 95 Perkembangan produksi, konsumsi dan sefisit beras tanpa konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik, Jawa Barat ......................................................................... 95 Perkembangan produksi, konsumsi dan sefisit beras serta luas lahan sawah (ha) akibat konversi lahan, di Sub DAS Citarik ......................................................... 96 Ilustrasi dampak konversi lahan sawah terhadap penurunan kurva penawaran beras di masa mendatang .................................................................................... 98 Nilai ekonomi ketahanan pangan (KP) melalui pengendalian konversi lahan sawah, Sub DAS Citarik ..................................................................................... 98 Ilustrasi mengenai potensi daya sangga air lahan pertanian .................................102 Ilustrasi mengenai daya sangga air lahan sawah ..................................................102 Daya sangga air lahan sawah, tegalan dan kawasan terbangun .............................104 Potensi kehilangan daya sangga air dan biaya mitigasi banjir yang diperlukan akibat konversi lahan sawah dan tegalan yang berlanjut, Sub DAS Citarik..........107 Lahan sawah berteras mempunyai peran sebagai "filter" erosi tanah dari penggunaan lahan di atasnya ...............................................................................111
xvi
27. Potensi peningkatan erosi (ribu ton) dan sedimentasi akibat konversi lahan sawah yang berlanjut di Sub DAS Citarik ..........................................................111 28. Potensi biaya mitigasi erosi, sedimentasi dan kesuburan tanah yang diperlukan akibat konversi lahan sawah yang berlanjut, Sub DAS Citarik ............................113 29. Jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden berdasarkan statusnya, Kabupaten Bandung 2005 ..................................................................................119 30. Pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian berdasarkan jenis kelamin, Kabupaten Bandung 2005.....................................................................121 31. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian, Kabupaten Bandung 2005 ................................................122 32. Hubungan antara kelompok umur dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian, Kabupaten Bandung 2005 ................................................122 33. Hubungan antara jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden dan proporsi jumlah respondennya, Sub DAS Citarik 2005 ................................123 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
Penyebab utama banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 ...............126 Alternatif penanggulangan banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 126 Persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung......131 Hubungan antara nilai WTP dan persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005 .............................................................133 Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendapatan responden, Kabupaten Bandung 2005 .....................................................................................................134 Hubungan antara nilai WTP dengan jumlah kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005 ...................................................................................................134 Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendidikan responden, Kabupaten Bandung 2005 ...................................................................................................135 Dugaan fungsi WTP pada kelompok responden pendapatan tinggi dan rendah, dan proporsi nilai WTP terhadap kerugian akibat banjir .....................................139 Perbedaan nilai WTP kelompok pendapatan tinggi dan rendah berdasarkan nilai kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005 ................................................139 Cara pembayaran WTP yang dipilih responden, Kabupaten Bandung 2005 .......141 Institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian yang disarankan responden, Kabupaten Bandung 2005 .............................................142 Persepsi petani padi sawah mengenai jasa lingkungan lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005 .....................................................................................................145 Persepsi petani lahan kering mengenai jasa lingkungan lahan pertanian, Kabupaten Bandung, 2005 .................................................................................150 Hubungan antara luas sawah dan WTA petani padi sawah ...................................154 Hubungan antara pendapatan dan WTA petani padi sawah...................................154 Perbedaan WTA petani padi sawah yang untung dan yang tidak untung...............155 Hubungan antara luas sawah dengan WTA petani yang usahataninya menguntungkan dan merugikan ..........................................................................157
xvii
51. Proporsi WTA petani padi sawah terhadap biaya usahataninya ............................158 52. Diagram sebaran data WTA petani lahan kering berdasarkan luas lahan garapannya..........................................................................................................161 53. Hubungan antara ukuran keluarga dan WTA petani lahan kering ........................162 54. Hubungan antara luas lahan garapan dan WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim dan tanaman tahunan..................................................164 55. Nilai WTA petani lahan kering dan biaya investasi penerapan teknik KTA sistem terasering dan vegetatif ...........................................................................165 56. Ilustrasi dampak konversi lahan pertanian (sawah) terhadap pengurangan produksi dan peningkatan impor pangan ............................................................173
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Dokumen perizinan pelaksanaan kegiatan penelitian ..........................................195
2.
Karakteristik responden kajian WTP dan variabel yang dianalisis, Kabupaten Bandung, 2005 .................................................................................197
3.
Hasil padi dan jagung dari lahan sawah di Sub DAS Citarik, 2003 .....................198
4.
Hasil padi ladang dan palawija dari lahan kering di Sub DAS Citarik, 2003 .......199
5.
Kebutuhan tenaga kerja, sarana produksi, produktivitas dan keuntungan usahatani padi sawah, Sub DAS Citarik 2005.....................................................200
6.
Algoritma diagram alir Powersim ......................................................................201
7.
Nilai koefisien aliran permukaan pada berbagai penutupan lahan .......................202
8.
Lembaran kuesioner wawancara dengan petani di Ishibu Terraced Paddy Fields, Shizuoka, Tokyo, Jepang ....................................................................................203
9.
Narasi kwesioner mengenai pengetahuan multifungsi pertanian ..........................205
10. Uji beda nilai tengah mengenai pengetahuan multifungsi pertanian berdasarkan status, pendidikan dan umur responden ..............................................................206 11.
Pengantar dan pedoman penawaran (bidding) dengan responden.........................208
12.
Matriks korelasi Pearson analisis data WTP ........................................................211
13.
Analisis regresi kesediaan untuk membayar (WTP) dengan intercep...................214
14.
Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan luas sawah garapannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005 ...................................215
15.
Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan tingkat pendapatannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005..............................215
16.
Analisis regresi WTA petani padi sawah .............................................................216
17.
Statistik dan matriks korelasi kharakteristik petani padi sawah dan nilai WTAnya, Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, 2005 ..............................................218
18.
Statistik dan koefisien korelasi karakteristik petani lahan kering dan nilai WTAnya Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, 2005 ..............................................219
19.
Analisis regresi WTA petani lahan kering ...........................................................221
xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2001 Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai salah satu program prioritas utama Sektor Pertanian, kemudian pada tahun 2005 Kabinet Indonesia Bersatu mencanangkan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Tujuan RPPK antara lain meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun pedesaan, dan melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Kuantifikasi tujuan RPPK antara lain menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009), menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung (2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010). Mengingat hal itu upaya-upaya untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, dan tebu menjadi sangat penting agar ketahanan pangan tersebut betul-betul ditunjang oleh produksi pangan dalam negeri yang kuat. Kenyataan menunjukkan bahwa impor komoditas tersebut, termasuk beras masih belum dapat dihindari karena hasil produksi beras dalam negeri belum sepenuhnya
dapat
memasok
kebutuhan
konsumsi
nasional.
Bahkan,
dikhawatirkan volume beras impor di masa mendatang akan meningkat kembali, baik karena peningkatan laju kebutuhan pangan yang lebih tinggi daripada peningkatan produksinya, maupun karena kebijakan
perdagangan
yang
memandang impor pangan, khususnya beras lebih efisien karena harganya lebih murah. Sesungguhnya, meskipun negara masih mempunyai cadangan devisa
2
yang cukup untuk mengimpor beras dan kondisi pasar beras internasional relatif stabil, tetapi tidak ada yang dapat menjamin bahwa kedua faktor tersebut akan tetap berjalan dengan baik di masa mendatang. Krisis ekonomi yang masih menyisakan dampaknya yang kuat terhadap perekonomian nasional perlu diwaspadai akan dapat mengurangi cadangan devisa negara sehingga suatu saat nanti akan kesulitan mengimpor beras. Selain itu, pasar beras internasional mempunyai risiko terganggu stabilitasnya, misalnya karena musim kering berkepanjangan, kebanjiran, hama penyakit atau gangguan keamanan regional akibat perang. Oleh karena itu sepatutnya pemerintah mengamankan program ketahanan pangan dengan bertumpu pada produksi pertanian dalam negeri. Salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif, baik lahan sawah maupun lahan kering, karena beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Berdasarkan data statistik pada periode tahun 1981-1999 telah terjadi konversi lahan sawah sebesar 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi pencetakan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 ha/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada periode tahun 1999-2002 lahan sawah berkurang atau menyusut sebanyak 141.286 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai 187.720 ha/tahun,
sedangkan
pencetakan sawah baru hanya 46.434 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Fenomena tersebut menunjukkan adanya percepatan laju konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau fungsi lahan sawah yang sudah dikembangkan. Secara keseluruhan pada
3
periode 1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta ha, tetapi kemudian dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta ha atau 65%. Perubahan alih fungsi lahan pertanian tersebut lebih banyak didorong oleh orientasi ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA), tanpa memperhitungkan manfaat yang hilang atau kerugian yang mungkin terjadi akibat berkurang atau hilangnya fungsi lingkungan lahan pertanian. Hasil penelitian di Jepang (Yoshida 2001) menunjukkan bahwa nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dapat dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai valuasi ekonomi lahan pertanian untuk mendukung kebijakan pengelolaan SDA, khususnya lahan pertanian ke arah yang lebih bersifat ekosentrisme daripada antroposentrisme. Kebijakan pengelolaan SDA secara ekosentrisme dan antroposentrisme, sebagaimana pembangunan ekonomi dan penanganan masalah lingkungan hidup bukan sesuatu hal yang harus dipertentangkan, tetapi ekonomi dan lingkungan hidup perlu dipadukan dalam arus tengah pembangunan atau pembangunan berkelanjutan (Salim 2007). Apabila keterkaitan antara bidang ekonomi dan lingkungan (ekologi) diamati dan dicermati secara seksama, maka akan tampak bahwa keberlanjutan di kedua bidang tersebut akan saling mendukung dan saling menguntungkan (Notohadiprawiro 2006, Suparmoko dan Suparmoko 2000). Pendekatan multifungsi pertanian bukan hanya menilai manfaat hasil-hasil pertanian secara finansial dan berjangka pendek, tetapi juga menilai jasa lingkungan pertanian secara sosial (ekonomi lingkungan) dan manfaat jangka panjang.
4
1.2. Kerangka Pemikiran Teori ekonomi dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio). Berdasarkan hasil suatu studi terdapat perbedaan yang sangat nyata antara rasio persewaan lahan untuk sektor pertanian dengan sektor nonpertanian. Perbandingan nilai sewa lahan sawah untuk usahatani (padi atau palawija) dengan perumahan, industri dan kawasan wisata secara berturut-turut mencapai 1: 622, 1:500, dan 1:14 (Nasution dan Winoto 1996). Namun demikian kelemahan analisis ekonomi mengenai persewaan lahan tersebut hanya menilai manfaat penggunaan langsung yang bernilai pasar (marketable goods). Padahal suatu hamparan lahan pertanian selain mempunyai manfaat penggunaan langsung yang menghasilkan produk yang mempunyai harga pasar juga menghasilkan produk yang belum mempunyai harga pasar (non-marketable goods). Salain itu dalam analisis land rent tersebut belum diperhitungkan nilai kini (present value) dari hasil pertanian yang semestinya akan selalu diperoleh sepanjang masa (indefinite period of time) jika lahan tersebut tidak dikonversi serta adanya harapan peningkatan produktivitas dan harga lahan di masa mendatang. Demikian juga risiko ketidakpastian penghidupan para petani yang lahannya dikonversi akibat adanya perubahan sumber mata pencaharian belum diperhitungkan. Lahan pertanian juga mempunyai manfaat penggunaan dan manfaat bukan penggunaan (Munasinghe 1993, Yoshida 2001). Dengan demikian lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering selain berfungsi sebagai media budidaya atau sumber produksi hasil-hasil pertanian yang menjadi sumber pendapatan petani juga mempunyai fungsi lain yang menghasilkan jasa lingkungan atau mempunyai multifungsi yang manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Hasil jajak pendapat nasional (public opinion) di Amerika
5
Serikat tahun 1987 sudah menunjukkan 40% masyarakat Amerika Serikat meyakini bahwa usaha perlindungan terhadap pertanian sejalan dengan upaya perlindungan terhadap lingkungan (Reichelderfer 1990). Multifungsi lahan pertanian adalah berbagai fungsi lahan pertanian bagi lingkungan, baik yang dapat dinilai secara langsung melalui mekanisme pasar dari produksi atau jasa yang dihasilkannya maupun yang tidak secara langsung dapat dinilai berupa kegunaan yang bersifat fungsional bagi lingkungan, baik aspek biofisik, sosial-ekonomi, maupun budaya. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek biofisik, antara lain sebagai pengendali atau pencegah banjir, erosi, dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organik, pelestari keanekaragaman hayati, dan penyejuk udara. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek sosial-ekonomi antara lain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan, tempat rekreasi, dan penyangga atau stabilitas ketahanan pangan. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek budaya antara lain sebagai pelestari budaya pedesaan (Yoshida 2001). Manfaat fungsi lingkungan lahan pertanian tersebut mempunyai ciri sebagai public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar, sehingga pengambil manfaat dari hasil multifungsi tersebut kurang atau tidak menyadari telah memperoleh manfaat lain dari keberadaan lahan pertanian. Mengingat sifat public goods tersebut maka diperlukan valuasi ekonomi yang dapat menilai dan kebijakan untuk menginternalisasikan manfaat jasa lingkungan pertanian tersebut sehingga petani pun dapat menikmati jasa lingkungan
pertanian
yang
dihasilkannya.
Kebijakan
pertanian
tersebut
diperlukan karena mekanisme pasar hasil-hasil pertanian, seperti harga gabah tidak atau belum memperhitungkan nilai manfaat barang atau jasa lingkungan pertanian yang bersifat public goods tersebut. Valuasi ekonomi dan kebijakan
6
pertanian yang dimaksud perlu didukung oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai multifungsi pertanian. Pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap multifungsi pertanian akan melahirkan apresiasi yang baik juga terhadap jasa lingkungan pertanian. Selama ini karena pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap multifungsi pertanian masih kurang maka penilaian terhadap manfaat pertanian pun relatif rendah dari yang semestinya. Akibatnya petani hanya dihargai atas dasar nilai pasar dari komoditas pertanian yang dihasilkannya saja, sedangkan nilai manfaat jasa lingkungan yang dihasilkannya tidak atau belum diperhitungkan sehingga penghidupan petani tetap dalam keadaan termarjinalkan. Sebaliknya, pengelolaan pertanian yang didukung oleh pengetahuan, pemahaman dan apresiasi yang baik terhadap multifungsi pertanian akan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat luas sekaligus memelihara kualitas lingkungan hidup. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang multifungsi perftanian oleh petani akan menimbulkan rasa bangga (pride) karena bertani menjadi sumber amal-baik atau kebajikan mereka terhadap masyarakat luas. Demikian pula masyarakat luas yang mengetahui dan memahami multifungsi
pertanian
dengan
baik
akan
mendukung
usaha-usaha
pengembangan pertanian yang selaras dengan pelestarian lingkungan, misalnya pengembang perumahan atau investor sektor industri akan melestarikan fungsi resapan air dan fungsi lingkungan lainnya manakala harus melakukan konversi lahan pertanian untuk kawasan perumahan atau industri. Pejabat pemerintah akan konsisten mempertahankan rencana tataruang wilayah dan masyarakat hilir akan berpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungan di daerah hulunya. Secara diagram kerangka pendekatan pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
7
Multifungsi Pertanian (MFP)
Aspek Sosial-Ekonomi
Aspek Biofisik /Lingkungan
Valuasi ekonomi
Pengetahuan & Apresiasi MFP
Barang Privat
Jasa Lingkungan
Mekanisme Pasar
Kebijakan Pertanian
Kesejahteraan Petani dan Masyarakat
Kualitas Lingkungan
Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan penelitian Di sisi lain perlu disadari bahwa usaha pertanian juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain sebagai sumber gas methana (CH4) dan sumber pencemar perairan. Oleh karena itu perhatian terhadap multifungsi lahan pertanian yang bersifat positif perlu diimbangi dengan perhatian terhadap dampak atau ekternalitas negatifnya. Namun demikian, negara-negara yang memandang pentingnya sektor pertanian, terutama untuk ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan seperti Jepang lebih memprioritaskan untuk meneliti dan menilai multifungsi pertanian (eksternalitas positif) daripada dampak atau
8
eksternalitas negatifnya (Yoshida 2001, Yabe 2005). Salah satu alasannya adalah masih banyak aspek multifungsi pertanian yang sudah diketahui manfaatnya tetapi belum dapat dikuantifikasi nilainya, sementara di pihak lain terutama negara-negara maju (OECD) lebih banyak menyoroti dampak negatif pertanian (khususnya sawah sebagai sumber gas methana dan pencemaran air) tanpa memperhitungkan manfaat positifnya. Mengingat manfaat multifungsi lahan pertanian belum diinternalisasikan dalam perhitungan usahatani, maka diperlukan pendekatan valuasi ekonomi manfaat lingkungan lahan pertanian, sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dinyatakan bahwa selama ini harga hasil pertanian, seperti gabah hanya didasarkan pada besaran biaya produksi usahatani dan produktivitas saja, sedangkan manfaat lingkungannya, baik terhadap
aspek
biofisik
maupun
sosial-ekonomi
dan
budaya
belum
diperhitungkan. Hasil manfaat multifungsi pertanian mempunyai ciri sebagai barang umum (public goods) karena pihak pengambil manfaatnya sulit dibatasi, artinya selain petani juga masyarakat luas. Barang umum adalah barang atau jasa yang jika diproduksi produsennya tidak mampu mengendalikan siapa yang berhak memanfaatkannya. Permasalahan timbul karena produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut. Di pihak lain, konsumen mengetahui betul barang tersebut diproduksi dan produsennya tidak mempunyai kendali atas siapa-siapa yang mengkonsumsinya. Ciri-ciri utama barang umum adalah: non-rivalry (tidak ada ketersaingan) atau nondivisible yang berarti konsumsi seseorang terhadap barang tersebut tidak mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama, dan nonexcludable (tidak ada larangan) yang berati pada saat seseorang mengkonsumsi barang tersebut ia tidak bisa melarang orang lain untuk mengkonsumsi barang
9
yang sama (Matsumoto 2002, Suparmoko dan Suparmoko 2000). Derajat rivalitas dan eksklusivitas suatu barang atau jasa pada akhirnya menentukan apakah barang/jasa tersebut tergolong barang privat atau barang umum. Sifat barang umum juga ada yang benar-benar murni barang umum (dicirikan oleh sifat rivalitas dan eksklusivitas yang rendah) seperti biodiversitas, kemampuan lahan pertanian menyerap karbon dan menghasilkan oksigen, tetapi juga ada barang umum yang mempunyai sifat eksklusivitas, seperti lansekap dan cagar budaya setempat atau mempunyai sifat rivalitas dalam penggunaannya, seperti kemampuan lahan pertanian dalam memasok sumber air tanah. Mengingat lahan pertanian menghasilkan barang umum yang bersifat positif atau manfaat eksternal maka diperlukan analisis ekonomi lingkungan untuk merumuskan kebijakan pengelolaannya karena dalam kondisi adanya manfaat
eksternal tersebut mekanisme pasar
saja akan
gagal dalam
mengalokasikan sumberdaya alam secara efisien. Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan manusia dalam memanfaatkan SDA dan lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi SDA dan lingkungan dapat dipertahankan,
bahkan
ditingkatkan
untuk
penggunaan
jangka
panjang
(Suparmoko dan Suparmoko 2000). Apabila manfaat fungsi lingkungan tersebut diperhitungkan maka harga komoditas pertanian seharusnya lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku saat ini. Hal tersebut karena masyarakat juga seharusnya membayar manfaat fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh pertanian. Langkah ke arah tersebut dapat melalui sistem pembayaran jasa lingkungan pertanian dari masyarakat melalui kebijakan pemerintah.
10
Lahan Pertanian
Media Budidaya
Fungsi Lingkungan Biologi-Fisika-Kimia
Fungsi Lingkungan Sosek-budaya
Pemasok S. Daya Air
Pangan Serat (Sandang)
Pengendali erosi Pengendali banjir Pengendali longsor Penyejuk udara Penyerap sampah organik Penyerap karbon (CO2) Penghasil oksigen (O2)
Ketahanan pangan Penyedia lapangan
kerja Tempat rekreasi Pelestari budaya pedesaan/lokal
Keragaman hayati Barang privat
Barang Umum (public goods)
Petani
Masyarakat luas termasuk petani
Valuasi ekonomi : Menggunakan harga pasar
Valuasi ekonomi : Menggunakan harga non pasar
Nilai Ekonomi Total Lahan Pertanian
Gambar 2. Pendekatan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian Berdasarkan alasan itu maka sebenarnya petani layak mendapat bantuan khusus dalam mengelola usahataninya. Bantuan khusus tersebut dapat berupa
11
insentif ekonomi melalui mekanisme pasar atau kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan
pendapatan
dan
kesejahteraan
petani
dan
keluarganya.
Peningkatan kesejahteraan petani yang layak akan menjadi faktor penting dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Berdasarkan keterkaitan ekonomi dan ekologi bantuan khusus untuk pertanian pada dasarnya bukan hanya untuk petani tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, baik masyarakat di sekitar lahan pertanian, maupun masyarakat perkotaan, termasuk pelestarian kualitas lingkungan hidup. Berdasarkan uraian di atas maka keterkaitan hulu-hilir dari Gambar 1 dan Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Petani, sebagai masyarakat hulu menghasilkan jasa lingkungan melalui kegiatan usahataninya. Manfaat jasa lingkungan tersebut selama ini belum secara eksplisit dinilai dan dibayar oleh masyarakat yang menikmatinya. Manfaat jasa lingkungan pertanian akan berkurang atau hilang apabila petani tidak melakukan kegiatan usahatani. Oleh karena itu petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan pertanian karena melakukan kegiatan usahatani tersebut. Di sisi lain masyarakat hilir menikmati manfaat jasa lingkungan pertanian. Perbaikan usahatani di wilayah hulu akan berdampak positif terhadap kualitas lingkungan di wilayah hilirnya. Oleh karena itu
masyarakat
hilir
selayaknya
bersedia
untuk
berpartisipasi
dalam
pembangunan pertanian di wilayah hulu. Selain itu pembayaran jasa lingkungan oleh masyarakat hilir dapat mencegah eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya pertanian di wilayah hulu. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan pertanian antara hilir-hulu tersebut memerlukan adanya kebijakan pemerintah mengingat pihak swasta atau individu (mekanisme pasar) tidak mungkin akan melakukannya secara sukarela karena tidak memberikan keuntungan secara privat.
12
1.3. Perumusan Masalah Minat masyarakat pedesaan untuk menjadi petani semakin berkurang. Hal itu karena keuntungan dari usahatani kurang menarik yang dicirikan oleh rasio harga hasil-hasil pertanian dan inputnya semakin rendah. Sebagai contoh rasio harga gabah terhadap harga pupuk sekitar 105%, sementara rasio yang sama di Jepang mencapai 595%. Selain itu luas lahan pertanian yang dikuasai petani semakin sempit. Hasil Sensus Pertanian 2003 (ST2003) menunjukkan petani gurem dengan luas lahan garapan <0,3 ha mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau 56,5% dari seluruh RT pertanian. Sebagai perbandingan rata-rata luas lahan sawah garapan petani di Jepang 1,5 ha/KK. Berbagai kebutuhan uang tunai yang dihadapi para petani seringkali hanya dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan pertanian yang dikuasainya sehingga lahan garapan petani semakin sempit atau mereka menjadi buruh tani. Tahap selanjutnya adalah konversi lahan pertanian yang semakin dipercepat karena ada "lampu hijau" dari kebijakan tata ruang yang mengalokasikan lahan pertanian subur termasuk sawah irigasi untuk keperluan non-pertanian. Konversi lahan pertanian subur, terutama lahan sawah beririgasi yang sudah berlangsung dalam dua dasa warsa (1981-2002) seluas 2,2 juta ha mempunyai
pengaruh
terhadap
meningkatnya
jumlah
kemiskinan,
pengangguran, dan urbanisasi, menurunkan kualitas lingkungan hidup dan stabilitas ketahanan pangan, khususnya beras. Selain kapasitas produksi komoditas pertanian yang hilang, konversi lahan pertanian tersebut sekaligus menghilangkan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan dan berbagai prasarana (investasi) pertanian. Penyederhanaan pendekatan masalah penelitian sebagaimana uraian di atas disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang ingin ditelaah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
1. Berapakah nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian? 2. Apakah masyarakat mengetahui multifungsi lahan pertanian? 3. Bagaimana apresiasi masyarakat terhadap multifungsi lahan pertanian tersebut? 4. Bagaimana kebijakan mempertahankan lahan pertanian melalui instrumen nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian?
Perlu adanya pemahaman mengenai jasa lingkungan pertanian
Kemiskinan (+), Pengangguran (+), Urbanisasi (+), Ketahanan pangan (-), Kualitas lingkungan (-)
Akibat manfaat Jasa Lingkungan Pertanian tidak diperhitungkan
Akselerasi Konversi Lahan Pert
Kebijakan
Penguasaan lahan sempit
Kegagalan pasar
Rasio harga output/input rendah
Menjadi petani tidak menarik
Gambar 3. Diagram pendekatan masalah penelitian
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah melakukan penilaian ekonomi (economic valuation)
terhadap
beberapa
bentuk
multifungsi
lahan
pertanian
dan
merumuskan kebijakan alternatif untuk mempertahankan (preservasi) kawasan pertanian. Guna mencapai tujuan umum tersebut, secara spesifik tujuan penelitian adalah : 1.
Melakukan valuasi ekonomi lahan pertanian sebagai fungsi media budidaya pertanian atau penghasil barang yang dapat dipasarkan (marketable goods)
14
sebagai sumber pendapatan petani dan sebagai penghasil jasa lingkungan yang pada umumnya tidak mempunyai harga pasar (non-marketable goods). 2.
Mengkaji pengetahuan dan apresiasi masyarakat mengenai multifungsi lahan pertanian.
3.
Melakukan sintesa kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian
1.5. Manfaat Penelitian 1.
Informasi besaran nilai ekonomi manfaat multifungsi lahan pertanian dapat dijadikan bahan koreksi terhadap harga hasil pertanian, khususnya dalam penentuan harga dasar gabah yang saat ini kurang menarik bagi petani sebagai produsen.
2.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan pembangunan pertanian secara khusus dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara umum.
3.
Bagi masyarakat umum, hasil penelitian dapat dijadikan bahan pembelajaran mengenai fungsi lingkungan lahan pertanian yang selama ini lahan pertanian hanya dipandang sebagai media budidaya pertanian.
4.
Bagi IPTEK, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai patok duga (benchmark data) bagi penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.6. Hipotesis Terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1.
Nilai manfaat penggunaan langsung lahan pertanian selain berupa komoditas yang dapat dipasarkan, juga berbagai manfaat jasa lingkungan yang belum dapat dinilai berdasarkan mekanisme pasar. Besaran nilai manfaat jasa lingkungan tersebut dalam satuan moneter akan sangat berarti bagi petani jika dipertimbangkan sebagai salah satu penentu harga dasar hasil pertanian, khususnya gabah (padi).
2.
Konsep multifungsi pertanian relatif masih baru. Pengetahuan masyarakat mengenai multifungsi lahan pertanian relatif masih rendah yang dapat
15
dicirikan oleh terbatasnya aspek multifungsi pertanian yang diketahui oleh masyarakat. 3.
Kemauan masyarakat untuk membayar atau willingness to pay (WTP) jasa lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu (pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (status pekerjaan, tingkat pendapatan, nilai kerugian akibat banjir, dan kondisi lingkungan tempat tinggal).
4.
Kemauan petani untuk menerima pembayaran atau willingness to accept (WTA) jasa lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu (pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (luas lahan garapan, pendapatan, penerapan teknik KTA).
1.7. Kebaruan Penelitian Aspek kebaruan penelitian ini terletak pada topik atau objek kajian yakni multifungsi
pertanian.
Mengkaji
pertanian
dari
aspek
multifungsinya
sesungguhnya memandang keberadaan dan memahami fungsi pertanian secara holistik. Lahan pertanian bukan hanya berfungsi sebagai media budidaya atau usahatani tetapi lebih luas daripada itu. Lahan pertanian mempunyai fungsi yang dapat menghasilkan jasa lingkungan yang bermanfaat bukan hanya bagi petani tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Kemudian penggunaan pendekatan WTP dan WTA sebagai bentuk simulasi pasar dalam menilai manfaat jasa lingkungan pertanian, dari sisi masyarakat perkotaan (hilir) dan petani (hulu) merupakan hal yang baru dalam penelitian ini. 1.8. Ruang Lingkup Penelitian Tinjauan berbagai penelitian mengenai multifungsi pertanian di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan (Yoshida 2001, Chen 2001, Eom dan Kang 2001 dan
16
Suh 2001) menunjukkan bahwa masyarakat setempat di negara-negara tersebut sudah cukup banyak mengetahui dan memberikan apresiasi terhadap multifungsi lahan pertanian. Berbagai multifungsi pertanian yang sudah dikenal oleh masyarakat di ketiga negara tersebut mencakup : (1) Penyedia atau penghasil bahan pangan, (2) stabilitas atau penyangga ketahanan pangan, (3) penyedia lapangan pekerjaan, (4) sumber pendapatan, (5) penyedia atau pemasok cadangan air tanah, (6) pengendali banjir, (7) pengendali erosi dan sedimentasi, (8)
penyejuk
udara,
(9)
penyerap
sampah
organik,
(10)
pelestari
keanekaragaman hayati, (11) sebagai tempat rekreasi, (12) pelestari budaya masyarakat pedesaan, dan (13) penghasil atau emisi gas oksigen (O2) dan penyerap gas karbondioksida (CO2). Mengingat keterbatasan sumberdaya penelitian dan multifungsi pertanian merupakan sesuatu hal yang baru, penelitian ini tidak menilai seluruh multifungsi lahan pertanian tersebut, melainkan hanya menitikberatkan pada fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang merupakan sumber pendapatan petani (ekonomi), penyedia lapangan kerja (sosial), penyangga atau stabilitas ketahanan pangan (sosial-ekonomi), pengendali banjir, erosi dan sedimentasi (biofisik). Penggunaan lahan yang dikaji adalah lahan sawah dan lahan kering atau tegalan. Eksternalitas negatif lahan pertanian, khususnya sawah dan lahan kering belum diperhitungkan dalam penelitian ini. Selain mengacu pada alasan Yoshida (2001) dan Yabe (2005) bahwa bagi negara-negara agraris di wilayah pengaruh iklim munson lebih prioritas untuk mengetahui, menilai dan memberikan apresiasi terhadap multifungsi pertanian (ekternalitas positif) daripada menilai dampak negatifnya, juga saat ini sudah tersedia teknologi untuk mengurangi dampak negatif pengelolaan lahan pertanian terhadap lingkungan, seperti pertanian organik dan/atau LEISA (law external input sustainable agriculture), penggunaan
17
varietas padi tertentu dan penggenangan air sawah minimal dalam pengelolaan tanah dan air pada lahan sawah yang dapat mengurangi emisi gas methana. Selain itu, masih banyak multifungsi pertanian yang nyata bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi metode valuasinya masih belum berkembang, seperti manfaat lahan pertanian dalam menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbon dioksida (CO2), serta menjaga kelestarian budaya lokal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Ekonomi Total Manfaat SDA dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna (use values) dan nilai non-guna (non use values). Nilai guna ada yang bersifat langsung (direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai non-guna mencakup nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Apabila nilai-nilai ekonomi SDA tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total atau total economic values. Rumus nilai ekonomi total suatu SDA adalah sebagai berikut (Munasinghe 1993): NET = NG
+ NNG
NG = NGL + NGTL + NGP NNG = NK + NW dimana: NET = Nilai Ekonomi Total NG
= Nilai Guna; NNG = Nilai Non-Guna
NGL = Nilai Guna Langsung; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NGP = Nilai Guna Pilihan; NK
= Nilai Keberadaan; dan NW = Nilai Warisan.
Secara skematik pemilahan nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan disajikan pada Gambar 4. Sedangkan uraian dari masing-masing konsep nilai ekonomi tersebut adalah sebagai berikut: a. Nilai Guna Langsung (NGL) dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini. Nilai Guna Langsung
19
tersebut mencakup seluruh manfaat SDA dan lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari SDA dan lingkungan. b. Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) merupakan manfaat yang diperoleh secara mendasar dari fungsi pelayanan lingkungan hidup dalam menyediakan dukungan terhadap proses produksi dan konsumsi saat ini, misalnya nilai berbagai fungsi ekologi dalam hal daya serap alami terhadap pencemaran air atau daur ulang unsur hara. Dengan demikian Nilai Guna Tidak Langsung terdiri atas manfaatmanfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus-menerus memberikan konstribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh areal pertanian yang cukup luas memberikan manfaat langsung berupa hasil-hasil pertanian yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan selain itu kawasan pertanian tersebut memberikan kenyamanan udara, keindahan pemandangan, pengendali banjir, erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber air tanah baik bagi petani maupun masyarakat lainnya. c. Nilai Guna Pilihan (NGP) pada dasarnya bersifat bonus dimana konsumen mau membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan alasan yang sederhana yakni untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya di masa mendatang. Dengan demikian nilai guna pilihan meliputi manfaat SDA dan lingkungan yang tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan" demi kepentingan yang akan datang. d. Nilai Keberadaan (NK) muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk
20
menggunakannya. Dengan kata lain nilai keberadaan diberikan seseorang atau masyarakat kepada SDA dan lingkungan tertentu karena memberikan manfaat spiritual, estetika, dan budaya. Nilai keberadaan suatu SDA dan lingkungan tidak berkaitan dengan penggunaan oleh seseorang atau masyarakat, baik pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, tetapi semata-mata sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan SDA dan lingkungan sebagai obyek. Sebagai contoh nilai atau apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap keberadaan komodo (biawak besar). Masyarakat memberikan nilai terhadap komodo tersebut bukan untuk melihatnya, melainkan agar binatang tersebut tetap ada. e. Nilai Warisan (NW) adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDA dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya. Konsep nilai guna pilihan dan nilai bukan penggunaan masih bersifat rancu dan tumpang tindih. Konsep nilai ini dipandang perlu sebagai petunjuk saja, sedangkan dalam praktek perbedaan kedua konsep tersebut tidak penting mengingat yang utama adalah bagaimana menilai atau mengukur total nilai ekonomi (Munasinghe 1993). Nilai bukan penggunaan cenderung berkaitan dengan motif atau sifat dermawan, baik untuk lintas generasi atau warisan, atau pemberian individu, atau pandangan bahwa sesuatu mempunyai hak untuk ada. Tentu saja pengertian yang terakhir ada di luar teori ekonomi konvensional. Bahkan sifat kedermawanan tersebut sulit dinilai dan dianalisis dalam teknik biaya manfaat proyek (Munasinghe 1993).
21
Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian Nilai penggunaan
Nilai bukan penggunaan
Nilai Penggunaan Langsung
Nilai Penggunaan Tidak Langsung
Nilai Pilihan
Nilai Keberadaan
Hasil yang langsung dapat dikonsumsi
Manfaat fungsional
Nilai penggunaan langsung dan tidak langsung masa depan
°Komoditas °Pemasok air tanah °Biodivesitas °Bahan organik °Pengendali banjir °Konservasi habitat °Pencegah erosi dan longsor °Purifikasi udara dan air °Tempat rekreasi
Nilai Bukan penggunaan lainnya
Nilai dari pengetahuan mengenai keberlangsungan keberadaan lahan pertanian
°Habitat dan °Spesies langka
Semakin berkurang nilai atau manfaat nyata bagi individu Sumber : Munasinghe 1993 (Hal 22, dimodifikasi)
Gambar 4. Kategori nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi total SDA dan lingkungan terdiri atas tiga komponen, yakni nilai guna, nilai untuk masa datang dan nilai keberadaan. Ketiga nilai tersebut erat kaitannya dengan tiga ciri utama SDA dan lingkungan, yakni : 1. Tidak dapat pulih kembali: Suatu SDA dan lingkungan yang sudah mengalami kepunahan tidak dapat diperbaharui kembali. Apabila suatu SDA dan lingkungan sebagai suatu aset tidak dapat dilestarikan maka ada kecenderungan akan musnah. Konversi hutan atau lahan sawah menjadi permukiman atau kawasan industri termasuk yang sulit atau mustahil dapat dikembalikan sehingga tergolong bersifat irreversible.
22
2. Adanya ketidakpastian: Kejadian dan keadaan masa yang akan datang tidak dapat diprediksi secara sempurna. Sebagai contoh fenomena yang akan terjadi manakala ekosistem persawahan di seluruh Pulau Jawa rusak atau musnah tidak dapat diprediksi secara meyakinkan. Tetapi ada hal yang pasti bahwa akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila ekosistem persawahan tersebut mengalami kepunahan. 3. Sifatnya unik: Sering terjadi pembangunan suatu kawasan tidak jadi dilaksanakan atau dialihkan ke tempat lain dengan alasan untuk melestarikan SDA dan lingkungan tertentu. Kondisi tersebut terjadi apabila suatu SDA dan lingkungan tertentu mulai langka maka nilai ekonomi SDA itu akan tinggi karena didorong oleh pertimbangan untuk melestarikannya. 2.2. Multifungsi Lahan Pertanian Terminologi multifungsi pertanian mencuat sejak tahun 1994 dalam suatu agenda
pembahasan
mengenai
perdagangan
bebas
(free
trade).
Melalui
perdagangan bebas siapa yang paling efisien dalam memproduksi barang dan jasa, maka dialah yang menjadi pengekspor atau net-eksporter. Sebagian negara menyetujui konsep tersebut, tetapi karena efisiensi produksi tersebut lebih bersifat ekonomi finansial, bukan ekonomi sosial implikasi perdagangan bebas terhadap pertanian sangat besar karena pertanian mempunyai manfaat yang belum atau tidak bisa dinilai berdasarkan mekanisme pasar, yakni manfaat multifungsi pertanian. Mengingat hal itu para ahli lingkungan (ecologist) dan ekonom lingkungan (environmental economist), mengingatkan negaranya agar tidak sepenuhnya memberlakukan perdagangan bebas terhadap komoditas pertaniannya. Dalam agenda pasar bebas negara-negara di Asia diharapkan membuka pasar
23
domestiknya bagi perdagangan bebas, khususnya bahan pangan (hasil pertanian). Jepang, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara yang menolak penerapan pasar bebas secara penuh terhadap hasil-hasil pertanian atau bahan pangan. Konsep multifungsi pertanian juga dijadikan dasar penolakan Jepang, Korea Selatan dan RRC terhadap gerakan global yang diprakarsai negara maju (OECD) untuk melarang perluasan lahan sawah, khususnya di Asia (Yabe 2005). Negara maju berpandangan bahwa lahan sawah menjadi sumber pencemar dalam pemanasan global melalui emisi gas methana. Sebaliknya, Jepang dan sekutunya berpandangan dampak multifungsi pertanian (eksternalitas positif) jauh lebih tinggi daripada dampak negatifnya. Argumentasi penolakan perdagangan bebas berdasarkan pendekatan multifungsi pertanian oleh Jepang dan sekutunya semakin solid pada KTT Tingkat Menteri di Cancun (2003). Menurut Jepang dan sekutunya, kehawatiran negara maju dalam hal emisi gas methana dan pencemaran air dari lahan pertanian, khususnya lahan sawah dianggap berlebihan. Dampak pencemaran tanah dan air dari kegiatan pertanian dapat diatasi dengan sistem pertanian LEISA (low external input sustainable agriculture), atau penetapan batas maksimum residu pestisida pada tanah (Kurnia 2006), sedangkan mitigasi emisi gas methana pada lahan sawah dapat diatasi dengan teknik pengelolaan air yang tepat dan penanaman varietas padi tertentu (Setyanto et al. 2006). Teknik pengolahan tanah sawah sempurna dan pengairannya secara berselang atau "macak-macak" menghasilkan gas methana 70-77 kg/ha/mt sedangkan dengan pengairan tergenang secara terus menerus menghasilkan gas methana 164 kg/ha/mt. Varietas padi yang ditanam juga mempunyai potensi emisi gas methana yang berbeda. Penanaman padi sawah varietas IR64, Mamberamo dan Way Opu Buru dapat menurunkan emisi gas methana secara berurutan 60%, 35%, dan 38% dibandingkan dengan varietas padi
24
Cisadane. Di sisi lain hamparan padi sawah mampu menghasilkan oksigen (emisi O2) melalui fotosintesis 17,8 ton O2/ha dan menyerap karbondioksida 24,4 ton CO2/ha (Eom & Ho-Seong 2004). Perlindungan pasar beras domestik Jepang juga dikaitkan dengan multifungsi pertanian. Pandangan yang paling sederhana menyatakan secara nutrisi beras impor sama dengan beras hasil produksi dalam negeri, tetapi secara sosial-budaya dan lingkungan nilai beras impor dan beras hasil domestik berbeda. Kekurangan beras sesaat dapat diatasi dengan mengimpornya, tetapi manfaat lingkungan dari sistem persawahan, seperti sebagai penampung sumber air dan pemandangan yang indah tidak bisa diimpor (Oshima 2001). Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak output dan oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC 2001). Multifungsi merupakan suatu konsep kegiatan yang terkait dengan properti spesifik dari suatu proses produksi dan multiproduk yang dihasilkannya. Berkaitan dengan konsep multifungsi pertanian tersebut Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) telah menyusun dan melaksanakan proyek peran pertanian (ROA: Role of Agriculture) di negara-negara berkembang (FAO 2001). Konsep multifungsi dapat ditelaah sebagai karakteristik aktivitas ekonomi. Suatu karakteristik yang menjadikan suatu aktivitas ekonomi bersifat multifungsi antara lain output atau hasil atau dampaknya yang banyak atau multiple output. Output tersebut bisa bermanfaat atau positif, bisa juga negatif atau merugikan masyarakat.
Output tersebut juga bisa dinilai dengan harga pasar, karena ada
pasarnya; tetapi mungkin juga output tersebut tidak atau belum ada pasarnya. Pendekatan penelaahan ini dikenal dengan konsep positif dari multifungsi.
25
Pendekatan penelaahan lain adalah multifungsi sebagai konsep normatif. Multifungsi sebagai konsep normatif lebih menekankan pada "banyak-peran" atau "multiperan", seperti halnya peran lahan pertanian terhadap petani dan lingkungan. Aspek normatif dari multifungsi lebih menekankan pada masalah kebijakan, yakni bagaimana mempertahankan multifungsi dari suatu objek.
Namun demikian
penekanan pendekatan multifungsi dari konsep positif tidak berarti menghilangkan konsep normatifnya, terutama dalam menelaah multifungsi lahan pertanian.
Hal
tersebut karena lahan pertanian sebagai unit kegiatan ekonomi yang memproduksi bahan pangan, sandang (serat bahan pakaian) dan papan (kayu bahan perumahan) masih memberikan "banyak-peran" atau banyak fungsi bagi lingkungan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Selain di Jepang dan Korea Selatan penelitian mengenai multifungsi pertanian dilakukan juga di Norwegia dan Swiss (Tabel 1). Prioritas penelitian multifungsi pertanian di Swiss mencakup aspek pemandangan (lanskap) dan keanekaragaman hayati, sedangkan di Norwegia menekankan aspek ketahanan pangan. Penelitian multifungsi pertanian di Jepang dan Korea Selatan lebih diprioritaskan pada aspek mitigasi banjir, preservasi sumberdaya air dan ketahanan pangan. Berkaitan dengan konsep normatif multifungsi, Yoshida (2001) melakukan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mencakup perannya sebagai sumber produksi bahan pangan, pengendali banjir dan erosi, pengawet sumberdaya air, pencegah tanah longsor, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organik, penyegar dan pembersih udara, dan penyedia sarana rekreasi. Nilai atau manfaat multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mempunyai ciri sebagaimana karakteristik public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar, sehingga pengambil manfaat dari multifungsi tersebut
26
kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya bagi petani sebagai penyedia manfaat tersebut. Tabel 1. Prioritas penelitian aspek multifungsi pertanian di beberapa negara Aspek multifungsi
Jepang
Korea Selatan
Norwegia
Swiss
Lanskap
X
X
X
XXX
Biodiversitas
X
XX
X
XXX
Budaya lokal
X
X
X
X
Mitigasi banjir
XXX
XXX
Preservasi sumberdaya air
XXX
XXX
XX
XX
XXX
X
X
X
Ketahanan pangan Penyerapan TK lokal
X
Keterangan : XXX lebih utama atau prioritas daripada XX atau X Sumber : Yabe (2005) Berdasarkan hasil penelitian di Jepang (Yoshida dan Goda 2001) nilai multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di seluruh Jepang, seluas 4.100.000 ha mencapai US$ 68,80 x 109, dan dari jumlah tersebut sebesar US$ 30,33 x 109 adalah nilai ekonomi lahan kering berupa perbukitan dan gunung, seluas 2.200.000 ha.
Pada nilai tukar Rp 9.000/US$ nilai multifungsi lahan pertanian di Jepang
mencapai Rp 151.000.000/ha. Manfaat terbesar dari nilai ekonomi tersebut (90%) merupakan nilai fungsi lingkungan sebagai pengendali banjir, pemasok sumber air tanah, rekreasi dan kesenangan. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar apabila Pemerintah Distrik Nagoya di Jepang memberikan bantuan kepada petani sawah sebesar US $ 3.300 atau Rp 29,7 juta/ha/tahun (MAFF, 2001). Hasil penelitian di Korea Selatan (Suh 2001) menunjukkan masyarakat setempat sudah mengenal multifungsi lahan pertanian, baik yang bersifat positif, seperti sebagai penyedia bahan pangan dan stabilitas ketahanan pangan, pengendali erosi dan banjir, maupun yang bersifat negatif, seperti sebagai sumber pencemaran air dan
27
tanah. Kemudian Eom dan Kang (2001) menyatakan ada 30 fungsi sosial-ekonomi dan budaya dari pengelolaan/pemanfaatan lahan sawah yang dikenal masyarakat Korea Selatan. Berdasarkan hasil studi tersebut ada delapan fungsi lahan sawah yang mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, yakni sebagai pemasok bahan makanan (pangan), sumber air, pengikat emosi penduduk pedesaan, penyedia tempat atau media pendidikan lingkungan, tempat rekreasi dan pemandangan alam, penyegar udara, preservasi atau pelestarian ekosistem, dan pencegah erosi tanah. Sedangkan fungsi lahan sawah yang kurang mendapat apresiasi antara lain sebagai pengontrol pasar tenaga kerja, pembentuk atau pemersatu opini konvensional, dan penyedia tempat penguburan mayat. Kemudian Chen (2001) meneliti persepsi masyarakat mengenai jasa lingkungan lahan pertanian di Taiwan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat sudah mengenal jasa lingkungan lahan pertanian, terutama yang sangat penting adalah sebagai pencegah erosi, penyedia sumberdaya air, dan pengendali banjir. 2.3. Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif ("monetasi") terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai nonpasar (non market value). Oleh karena itu valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungan. Ada perbedaan antara valuasi ekonomi (economic valuation) dengan apraisal ekonomi (economic appraisal atau economic assessment) dimana yang disebut terakhir berkaitan dengan penilaian rencana investasi pada suatu kegiatan
28
ekonomi atau studi kelayakan investasi. Pada umumnya studi kelayakan investasi menilai biaya dan manfaat barang dan/atau jasa yang bersifat nyata (tangible) dan ada pasarnya (marketable good), baik dengan harga pasar atau harga bayangan (shadow price). Tujuan kegiatan apraisal ekonomi adalah untuk menentukan nilai atau manfaat dan kelayakan investasi berdasarkan kriteria pengambilan keputusan tertentu (Gittinger 1982). Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDA dan lingkungan yang efektif dan efisien. Hal tersebut karena valuasi ekonomi SDA dan lingkungan dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi SDA dan pembangunan ekonomi, sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat (tool) penting dalam upaya peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap SDA dan lingkungan. Valuasi ekonomi menggunakan satuan moneter sebagai patokan perhitungan yang dianggap sesuai. Walaupun masih terdapat keragu-raguan bahwa nilai uang belum tentu absah untuk beberapa atau semua hal, seperti nilai jiwa manusia tetapi pada
kenyataannya
pilihan
harus
diputuskan
dalam
konteks
kelangkaan
sumberdaya. Oleh karena itu satuan moneter sebagai patokan pengukuran merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan pengambilan keputusan. Ketidakhadiran pasar tidak berarti manfaat ekonomi suatu barang atau jasa tidak ada, oleh karena itu preferensi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat itu mau tidak mau harus menggunakan satuan moneter. Ketidakhadiran pasar memang akan membuat proses valuasi ekonomi SDA dan lingkungan menjadi lebih rumit, atau harus dilakukan melalui beberapa tahap.
29
Ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi SDA dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah : (1) satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan, (2) satuan moneter dari manfaat dan biaya SDA dan lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan, dan (3) satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif pilihan dalam memutuskan suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan SDA dan lingkungan (Suparmoko dan Suparmoko 2000). Alasan pertama dapat diartikan sebagai moneterisasi keinginan atau kesediaan seseorang untuk membayar bagi kepentingan lingkungan. Perhitungan ini secara langsung mengekspresikan fakta tentang preferensi lingkungan dari seseorang atau masyarakat. Hal sebaliknya juga pada seseorang atau masyarakat yang merasa kehilangan manfaat lingkungan, maka permasalahannya dapat disebut sebagai keinginan untuk menerima kompensasi kerugian yang diderita. Oleh karena itu berdasarkan alasan pertama tersebut satuan moneter dapat menunjukkan kepedulian yang kuat seseorang atau masyarakat terhadap SDA dan lingkungan. Alasan kedua berkaitan dengan masalah kelangkaan sumberdaya alam. Apabila ada suatu SDA atau jenis spesies tertentu yang menghadapi masalah kelangkaan akibat pembangunan akan dinilai tinggi yang terekspresikan dalam satuan moneter. Kemudian alasan ketiga berkaitan dengan aspek pengambilan keputusan dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan dimana satuan moneter dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.
30
2.4. Metode Valuasi Ekonomi Metode valuasi ekonomi SDA dan lingkungan secara umum dibagi ke dalam dua pendekatan (Turner et al. 1994, Navrud 2000, PSLH-UGM 2001), yakni valuasi yang menggunakan fungsi permintaan (demand approach) dan valuasi yang tidak menggunakan fungsi permintaan (non-demand approach). Valuasi ekonomi dengan pendekatan fungsi permintaan meliputi empat metode, yakni metode dampak produksi, metode respon dosis, metode pengeluaran preventif, dan metode biaya pengganti. Kemudian valuasi ekonomi yang tidak menggunakan fungsi permintaan meliputi metode valuasi kontingensi, metode biaya perjalanan, metode nilai properti, dan metode biaya pengobatan.
2.4.1. Valuasi ekonomi dengan pendekatan fungsi permintaan Metode dampak produksi Metode dampak produksi merupakan metode yang umum digunakan dalam valuasi ekonomi SDA dan lingkungan. Metode ini menghitung manfaat konservasi lingkungan dari sisi kerugian yang ditimbulkan akibat adanya suatu kebijakan proteksi. Metode ini menjadi dasar dalam pembayaran kompensasi bagi properti masyarakat yang dibeli oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, misalnya untuk membangun jalan bebas hambatan (tol), lapangan terbang, atau instalasi militer. Dalam hal ini kompensasi juga termasuk bagi para petani yang merelakan tanahnya untuk tujuan pembangunan, walaupun bentuk penggunaan lahan tersebut berupa cagar alam, hutan lindung atau lainnya yang mempunyai fungsi ekologis selain fungsi produksi.
31
Metode respon dosis Metode respon dosis menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau bahan polusi (polutan) tertentu terhadap kegiatan ekonomi atau kepuasan konsumen. Sebagai contoh tingkat pencemaran badan air akan mempengaruhi pertumbuhan makhluk air, baik ikan yang dibudidayakan maupun ikan liar, menurunkan manfaat kegunaan air, berbahaya bagi kesehatan manusia, dan lainlain. Dalam hal ini kompleksitas valuasi ekonominya berbeda-beda. Penurunan tingkat produksi perikanan dalam contoh yang dimaksud dapat dihitung baik dengan menggunakan harga pasar yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price). Tetapi valuasi ekonomi akan menjadi lebih kompleks jika dampak pencemaran tersebut ternyata mempengaruhi kesehatan manusia, termasuk risiko meninggal dunia.
Jika demikian maka valuasi ekonomi dampak pencemaran tersebut
memerlukan
estimasi
yang
menyangkut
nilai
kehidupan
manusia
seperti
pengurangan risiko sakit atau kemungkinan meninggal dunia, kemauan untuk membayar guna menghindari risiko sakit atau meninggal dunia akibat pencemaran. Dalam banyak hal terdapat kaitan yang erat antara metode ini dengan metode dampak produksi. Metode pengeluaran preventif Pada metode ini nilai lingkungan dihitung dari apa yang disiapkan oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) untuk upaya pencegahan kerusakan lingkungan seperti pembuatan terasering untuk mencegah erosi di daerah berlereng atau dataran tinggi. Metode yang terkait erat dengan pendekatan ini adalah metode perilaku menghindari risiko. Dalam metode ini nilai ekternalitas lingkungan dari suatu kegiatan pembangunan dihitung dengan melihat berapa biaya
32
yang disiapkan oleh seseorang atau masyarakat untuk menghindari dampak negatif dari lingkungan yang kurang baik, seperti pindah ke daerah lain yang kualitas lingkungannya lebih baik atau setara dengan biaya pindah. Metode pengeluaran preventif juga digunakan untuk menilai ekternalitas kepindahan tempat kerja karyawan suatu kantor atau perusahaan dimana biaya transportasi ke tempat kerja yang baru merupakan biaya ekternalitas. Metode biaya pengganti Valuasi ekonomi dengan metode ini didasarkan pada biaya ganti rugi aset produktif yang rusak, karena penurunan kualitas lingkungan atau kesalahan pengelolaan. Biaya ganti rugi tersebut diperlukan sebagai perkiraan minimum dari nilai peralatan yang dapat mengurangi polusi atau perbaikan pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum tersebut dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Sebagai ilustrasi yang umum digunakan adalah konversi hutan bakau untuk pembangunan. Jika suatu hutan bakau dikurangi, maka akan terjadi perubahan keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem perairan pantai yang dipengaruhi oleh hutan bakau. Namun dalam kenyataannya ternyata perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota air, tetapi juga menyangkut aspek lain, seperti siklus air dan unsur hara. Apabila pengurangan luas hutan bakau ternyata berdampak terhadap pengurangan unsur hara dan penurunan populasi udang tangkap, maka dengan menilai kerugian tersebut secara moneter akan diperoleh jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan.
33
2.4.2. Valuasi ekonomi dengan pendekatan bukan fungsi permintaan Metode valuasi kontingensi Metode valuasi kotingensi merupakan metode valuasi SDA dan lingkungan dengan cara menanyakan secara langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat SDA dan lingkungan yang mereka rasakan. Teknik metode ini dilakukan dengan survai melalui wawancara langsung dengan responden yang memanfaatkan SDA dan lingkungan yang dimaksud. Cara ini diharapkan dapat menentukan preferensi responden terhadap SDA dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar (WTP: willingness to pay) yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang. Guna memperoleh hasil yang maksimal dan mengenai sasaran, penerapan metode ini memerlukan rancangan dan pendekatan kuesioner yang baik. Ada empat pendekatan kuesioner yang dapat dipertimbangkan, yakni:
(1) pendekatan
pertanyaan langsung, (2) pendekatan penawaran bertingkat, (3) pendekatan kartu pembayaran, dan (4) pendekatan setuju atau tidak setuju. Pendekatan pertanyaan langsung digunakan dengan cara memberikan pertanyaan langsung berapa harga yang sanggup dibayarkan oleh responden untuk dapat memanfaatkan atau mengkonsumsi SDA dan jasa lingkungan yang ditawarkan. Pendekatan
penawaran
bertingkat
merupakan
penyempurnaan
dari
pendekatan pertanyaan langsung. Pendekatan ini dimulai dengan suatu tingkat harga awal tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti lalu ditanyakan kepada responden apakah harga tersebut layak. Jika responden menjawab "ya" dengan harga yang ditawarkan maka nilai harga tersebut dinaikan dan ditawarkan kepada
34
responden sehingga responden menjawab "tidak". Jawaban atau angka terakhir yang dicapai tersebut merupakan nilai WTP yang tertinggi dari responden. Hal sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu jika responden sudah menjawab "tidak" untuk tingkat harga pertama yang ditawarkan. Jika demikian maka harga tersebut diturunkan sampai responden menjawab "ya". Jawaban atau angka terakhir yang dicapai tersebut dianggap sebagai nilai WTP tertinggi. Nilai WTP dengan pendekatan ini dianggap sebagai nilai atau harga SDA dan lingkungan yang ditawarkan. Pendekatan kartu pembayaran digunakan dengan bantuan sebuah kartu berisi daftar harga yang dimulai dari nol sampai pada suatu harga tertentu yang relatif tinggi. Kemudian kepada responden ditanyakan harga maksimum yang sanggup dibayar untuk suatu produk atau jasa SDA dan lingkungan. Pendekatan setuju atau tidak setuju merupakan cara yang paling sederhana, terutama bagi responden karena responden hanya ditawari suatu tingkat harga tertentu kemudian ditanya setuju atau tidak setuju dengan harga tersebut. Pendekatan WTP dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan pertanian yang dapat dirasakan oleh masyarakat hilir yang biasa terkena banjir. Kondisi yang mendukung hal itu adalah kejadian banjir sudah bersifat rutin, masalah banjir tersebut belum bisa ditanggulangi dengan sistem penanganan banjir secara kuratif, sementara di sisi lain masyarakat korban bencana banjir menyadari kejadian banjir terkait dengan kualitas lingkungan di wilayah hulunya. Dalam kondisi seperti itu maka masyarakat akan memberikan respon positif terhadap upaya-upaya perbaikan lingkungan wilayah hulu, termasuk pertanian yang dapat mengurangi bahaya banjir. Selain itu penjelasan mengenai multifungsi pertanian semakin menguatkan respon
35
masyarakat hilir untuk berpartisipasi dalam pembayaran jasa lingkungan pertanian dalam bentuk pernyataan kemauan untuk membayarnya (WTP). Pendekatan WTA (Willingness to accept) secara prinsip sama dengan WTP, tetapi respondennya adalah masyarakat yang menyediakan atau menghasilkan jasa lingkungan. Pendekatan WTA tepat digunakan untuk mengetahui seberapa besar petani mau dibayar agar tetap bersedia mengelola dan mempertahankan lahan pertaniannya. Kondisi yang mendukung penggunaan teknik WTA untuk petani adalah petani dalam posisi yang "merugi", baik karena usahataninya tidak menguntungkan atau tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya atau karena terdesak oleh kegiatan pembangunan yang setiap saat akan mengkonversi lahan pertaniannya tetapi petani tersebut belum siap melepas lahannya karena berbagai hal, seperti tidak mempunyai keahlian lain untuk alih profesi atau harga tanahnya belum sesuai. Di sisi lain petani juga adalah pihak yang menyediakan jasa lingkungan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Metode valuasi kontingensi dengan survai WTP/WTA merupakan metode yang telah banyak digunakan. Metode CVM pernah digunakan untuk menilai WTP para turis terhadap SDA dan lingkungan National Park di Kenya (Navrud & Mungatana 1994), preservasi hutan hujan tropis (Rolfe et al. 2000), menilai kemauan masyarakat untuk membayar jasa pengelolaan sampah rumah tangga di Malaysia (Othman 2002), pengelolaan hutan di Malaysia (Othman 2004). Terlepas dari kelebihannya, ada beberapa kelemahan metode ini akibat bias yang ditimbulkannya. Ada lima sumber bias atau kesalahan yang dapat timbul pada metode ini (Shogen et al. 1994, Suparmoko dan Suparmoko 2000), yakni:
36
1.
Kesalahan strategi: kesalahan ini muncul akibat kesalahan strategi dalam mengungkap
informasi
yang
mengakibatkan
ketidaktepatan
persepsi
responden terhadap pertanyaan yang diajukan. 2.
Kesalahan titik awal: kesalahan ini terjadi pada pengungkapan informasi dengan menggunakan metode penawaran bertingkat disebabkan oleh kesulitan dalam penentuan berapa harga awal yang ditawarkan.
3.
Kesalahan hipotetis: bersumber dari dua hal, yakni responden tidak merasakan secara benar mengenai kharakteristik SDA dan lingkungan yang diuraikan oleh pewawancara dan responden memberikan respon yang tidak serius terhadap pertanyaan yang diajukan dan hanya menjawab seadanya.
4.
Kesalahan sampling: muncul karena ketidakjelasan dalam mendefinisikan populasi, tidak ada kesesuaian antara populasi yang menjadi sasaran dengan contoh yang diambil, pengambilan contoh tidak acak, atau jumlah contoh yang tidak mewakili.
5.
Kesalahan spesifikasi komoditas: terjadi karena responden tidak mengerti spesifikasi barang atau jasa SDA dan lingkungan yang ditawarkan. Kesalahan ini dapat diatasi dengan uraian yang jelas dan menggunakan kalimat yang sederhana, efektif dan mudah dimengerti atau dengan cara menggunakan alat bantu dan visualisasi, seperti foto, gambar, lukisan dan lainnya.
Metode biaya perjalanan Metode valuasi ini mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi terutama rekreasi di luar rumah. Asumsi yang digunakan adalah semakin jauh tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi akan
37
semakin menurun permintaan terhadap produk rekreasi tersebut. Para pemakai tempat rekreasi yang bertempat tinggal lebih dekat ke tempat rekreasi diharapkan lebih banyak meminta produk rekreasi karena biaya perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal lebih jauh dari tempat rekreasi tersebut. Dengan demikian mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih rendah akan memiliki surplus konsumen besar. Dengan demikian pendekatan biaya perjalanan dapat diterapkan untuk menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap rekreasi untuk suatu produk/jasa SDA dan lingkungan. Ada beberapa asumsi dasar dalam penggunaan metode ini (PSLH-UGM 2001), yakni: 1.
Para konsumen/responden memberikan respon yang sama terhadap perubahan harga tiket dan jumlah biaya perjalanan yang harus dikeluarkan;
2.
Utilitas selama perjalanan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi;
3.
Tempat-tempat rekreasi sejenis mempunyai kualitas yang sama dalam memberikan kepuasan kepada pengunjung;
4.
Pengunjung
dengan
tujuan
rekreasi
yang
banyak
telah
diketahui
sebelumnya; 5.
Tempat rekreasi belum mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak ada pengunjung yang ditolak;
6.
Para pengunjung yang berasal dari daerah yang berbeda dianggap mempunyai selera, preferensi dan pendapatan yang relatif sama. FAO (2001) menyatakan bahwa teknik atau metode biaya perjalanan dan
valuasi kontingensi pada dasarnya dapat digunakan untuk menilai barang (SDA dan lingkungan) yang sama, termasuk eksternalitas lahan pertanian.
38
Metode nilai properti Metode ini merupakan suatu teknik valuasi ekonomi terhadap SDA dan lingkungan berdasarkan pada perbedaan harga sewa lahan atau harga sewa rumah. Dengan asumsi bahwa perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas lingkungan maka selisih harga keduanya merupakan harga kualitas lingkungan itu sendiri. Pendekatan atau metode ini dikenal juga dengan pendekatan hedonik (Othman et al. 2006). Metode ini didasarkan atas kesanggupan seseorang untuk mebayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan sebagai cara untuk menduga secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya sehingga nilai perubahan kualitas lingkungan tersebut dapat ditentukan. Kesanggupan seseorang untuk membayar lahan, rumah atau properti lainnya tergantung pada karakteristik barang tersebut, artinya perubahan karakteristik akan mengubah WTP seseorang, sehingga kurva permintaannya juga berubah. Salah satu karakteristik lahan dan perumahan adalah kondisi lingkungan dimana lahan atau rumah tersebut berada yang dicerminkan oleh perbedaan harga atau sewanya. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar, yakni : (1) konsumen mengetahui dengan baik tentang karakteristik properti yang ditawarkan dan memiliki kebebasan untuk memilih alternatif lain tanpa ada kekuatan lain yang dapat mempengaruhinya, dan (2) konsumen mencapai atau merasakan kepuasan maksimum atas properti yang dibelinya dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya.
Oleh karena itu harga rumah atau tanah atau properti tersebut
merupakan fungsi dari struktur bangunannya, lingkungan sekitar atau tetangga dan kualitas lingkungan. Beberapa hal yang dapat dikaitkan dengan variabel struktur bangunan adalah bentuk, model, luas, dan lain-lain. Variabel lingkungan sekitar
39
mencakup akses ke kota, pusat pendidikan, keamanan, ketetanggaan dan lain-lain. Kemudian variabel kualitas lingkungan dapat berupa kualitas udara, kebisingan, suhu, dan lain-lain. Metode biaya pengobatan Metode biaya pengobatan digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas (kesehatan) akibat adanya perubahan yang menyebabkan seseorang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita yang antara lain meliputi : perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan, perawatan selama pasca penyembuhan, pelayanan kesehatan yang lain, dan obatobatan. Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung biasanya diukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya ini umumnya tidak termasuk biaya nilai rasa sakit yang diderita atau nilai penderitaan. Biaya pengobatan umumnya digunakan untuk menilai dampak polusi lingkungan seperti pencemaran udara terhadap morbiditas. Ada dua prosedur utama yang dapat dilakukan, yakni: (1) melalui efek marjinal dari polusi udara terhadap kesehatan, diturunkan dari fungsi kerusakan fisik yang dikaitkan dengan efek kesehatan tertentu, dan (2) biaya total (langsung dan tidak langsung) akibat polusi udara dihitung melalui taksiran biaya pengobatan terhadap biaya kesehatan dan nilai kehilangan waktu karena tidak bekerja.
40
2.5. Studi-studi Terdahulu Studi mengenai valuasi ekonomi lahan pertanian yang cukup intensif telah dilakukan di beberapa negara Asia antara lain di Jepang (Yoshida 2001, Goda 2001, Kato 2001), Korea Selatan (Eom 2001, Suh 2001), dan Taiwan (Chen 2001). Dalam sepuluh tahun terakhir ini masalah penanganan dan pemahaman mengenai multifungsi lahan pertanian, perbukitan dan pegunungan menjadi isu penting di Jepang. Ada tiga metode yang umum digunakan dalam studi valuasi ekonomi lahan pertanian di Jepang yakni replacement cost method (RCM), hedonic pricing method (HPM), dan contingent valuation method (CVM). Secara nasional pada 1995 metode RCM telah digunakan oleh Institut Penelitian Mitsubishi untuk menaksir manfaat ekonomi lahan padi sawah di Jepang. Saat itu taksiran nilai ekonomi lahan sawah mencapai US$ 67 x 109 untuk seluruh areal lahan sawah yang ada di Jepang. Kemudian pada tahun 2001 dengan menggunakan metode yang sama dan indikator teknis yang terbaru, dilakukan valuasi ekonomi kembali terhadap multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di Jepang. Hasilnya menunjukkan nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mencapai US$ 68,8 x 109
atau meningkat dari kondisi tahun 1995.
Indikator teknis yang digunakan antara lain kapasitas memegang air lahan sawah dan lahan kering, masing-masing 5,2 x 109 m3 dan 0,8 x 109 m3 untuk seluruh wilayah Jepang atau 1.793 m3/ha pada lahan sawah dan 444,4 m3/ha pada lahan kering. Kemampuan tanah memegang air tersebut merupakan multifungsi lahan pertanian untuk mengendalikan banjir, sehingga fungsi tersebut dinilai berdasarkan biaya penyusutan dan pemeliharaan suatu dam yang berfungsi untuk mengontrol pasokan air sebanyak itu. Kemudian kemampuan lahan pertanian memasok sumber air tanah diperkirakan sebesar 3,7 x 109
m3/tahun atau setara dengan 902,4
41
m3/ha/tahun dan indikator tersebut dinilai berdasarkan perbedaan antara harga air tanah dengan air PAM. Pada tahun 1991 Nishizawa et al. (1991) dalam Yoshida (2001) menggunakan metode HPM untuk menilai manfaat kesenangan lahan sawah di Jepang dengan taksiran nilai ekonomi sebesar US$ 120 x 109. Kemudian metode CVM pernah digunakan pada tahun 1997 untuk menilai multifungsi lahan sawah dan tahun 1999 untuk menilai multifungsi lahan kering di Jepang. Berdasarkan metode CVM nilai multifungsi lahan sawah di Jepang sekitar US$ 41 x 109 dan nilai multifungsi lahan kering sekitar US$ 35 x 109 (Yoshida 1999). Valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian dengan menggunakan metode CVM seperti yang dilakukan oleh Yoshida dan Goda (2001) di Jepang sangat ekstensif dan melibatkan banyak responden. Pengiriman kwesioner sebanyak 5000 buah melalui jasa pos kepada responden di seluruh Jepang yang terbagi dalam empat bagian wilayah survai (Jepang Utara, Kanto, Tengah dan Jepang Barat) menghasilkan 2.015 buah kwesioner yang dikembalikan oleh responden atau efektivitasnya 41,6%. Berdasarkan hasil survai dengan metode CVM tersebut diperoleh rata-rata tingkat kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) sebesar ¥ 72.633 atau setara dengan Rp 5,08 juta/rumah tangga/tahun. Besaran WTP tersebut ternyata dipengaruhi secara negatif oleh nilai awal penawaran (bid value) dan dipengaruhi secara positif oleh pengetahuan responden mengenai multifungsi lahan pertanian, jenis kelamin responden laki-laki, umur dan tingkat pendapatan responden. Penelitian valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian di Korea Selatan juga dilakukan dengan menggunakan metode RCM. Berbagai indikator teknis yang digunakan, seperti yang dilaporkan oleh Eom dan Kang (2001), antara lain kapasitas lahan sawah dan lahan kering untuk menyimpan air, masing-masing 2.376 m3/ha
42
dan 791 m3/ha, kapasitas lahan sawah dan lahan kering memasok sumber air tanah, masing-masing 4.685 m3/ha dan 846 m3/ha, dan perbedaan erosi tanah dari lahan kering dan lahan sawah sebesar 79,7 ton/ha/tahun. Agus et al. (2003) telah menghitung nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah seluas 157.600 ha di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat dengan menggunakan metode biaya pengganti (RCM). Nilai ekonomi manfaat lingkungan yang hilang jika diasumsikan terjadi konversi lahan sawah 30%, mencapai US$ 74.800.000 /tahun atau Rp 13.764.000 /ha/tahun. Nilai ekonomi tersebut terdiri atas nilai barang ekonomi (49%) dan nilai jasa lingkungan (51%). Manfaat lingkungan yang dinilai meliputi fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir, konservasi sumberdaya air, pengendali erosi, pengendali longsor, penyerap sampah organik, penyedia tempat rekreasi, dan penyejuk udara. Berdasarkan eksplorasi studi-studi terdahulu tersebut maka dalam penelitian ini digunakan metode penilaian RCM dan CVM. Metode RCM digunakan untuk menilai jasa lingkungan multifungsi pertanian, khususnya dalam hal mitigasi banjir, erosi dan pendangkalan sungai, serta penyangga ketahanan pangan. Kemudian CVM melalui pendekatan WTA dan WTP digunakan untuk menanyakan langsung kepada masyarakat (responden) mengenai pembayaran jasa lingkungan pertanian, sedangkan penilaian dengan harga pasar digunakan untuk menilai manfaat langsung dari hasil pertanian. Simulasi pasar dalam pendekatan WTP/WTA didasarkan pada manfaat multifungsi pertanian yang dihasilkan petani dan bersifat sebagai barang umum. Sementara itu kondisi menjadi petani bukan suatu pilihan yang menarik karena berbagai faktor. Apabila petani tidak melakukan aktivitas pertanian atau lahan pertanian hilang karena dikonversi maka manfaat multifungsi pertanian pun akan
43
hilang. Akibatnya petani dan masyarakat luas akan kehilangan berbagai manfaat tersebut, seperti manfaat privat bagi petani dalam bentuk pendapatan dan manfaat jasa lingkungan bagi petani dan masyarakat, seperti kesempatan kerja, penyangga ketahanan pangan, sumber air bersih, mitigasi banjir dan sebagainya. Agar semua manfaat itu tidak hilang maka petani diminta untuk tetap bertani pada lahan sawah atau melakukan konservasi tanah dan air pada lahan kering atau tidak mengkonversi lahan pertaniannya maka pendekatan WTA diajukan kepada mereka. Kemudian pada masyarakat hilir yang rutin terkena banjir diberi informasi dan pengetahuan mengenai berbagai penyebab banjir termasuk akibat dari hilang atau berkurangnya multifungsi pertanian. Selanjutnya kepada mereka diajukan suatu kondisi "seandainya" ada teknologi atau upaya yang dapat mengurangi bahaya banjir apakah mereka bersedia untuk membayar (WTP). Teknologi atau upaya yang dimaksud adalah pertanian atau mempertahankan lahan pertanian. Penjelasan lebih lanjut mengenai simulasi pasar dalam pendekatan WTP dan WTA disajikan pada Bagian 6.1.2 dan Bagian 6.2.1 serta Lampiran 11.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan: (1) konversi lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah tersebut relatif tinggi sebagai akibat perkembangan wilayah perkotaan, terutama untuk permukiman dan kawasan industri, (2) dewasa ini frekuensi banjir relatif sering terjadi dan menimpa penduduk di wilayah hilir Sub DAS tersebut, dan (3) Sub DAS tersebut menjadi lokasi penelitian Multifungsi Pertanian kerjasama Puslitbang Tanah dan Agroklimat dengan Sekretariat ASEAN - MAFF Jepang yang keluarannya antara lain berupa data teknis/biofisik yang dapat digunakan untuk tujuan valuasi ekonomi.
Lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 5. Sub DAS Citarik merupakan salah satu wilayah bagian atas DAS Citarum yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pemasok air bagi daerah hilirnya, serta sumber produksi pangan (bahan makanan). Berdasarkan ruang lingkup Proyek UPLDP (Ditjen Bangda 2003, DLH Kabupaten Bandung 2003 ) sebagian besar areal Sub DAS Citarik termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, yakni Kecamatan Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Cikancung, Paseh, Cileunyi, Cilengkrang, dan Cimenyan. Sebagian wilayah lainnya termasuk Kabupaten Sumedang, yakni Kecamatan Cimanggung, Jatinangor dan Tanjungsari. Keterkaitan lokasi penelitian dengan aspek multifungsi pertanian yang dikaji sangat relevan mengingat kebutuhan akan pangan (beras) sudah jauh melebihi kapasitas produksinya, kualitas lingkungan pertanian di lokasi akan berpengaruh terhadap wilayah di bagian hilirnya.
45
Gambar 5. Lokasi Penelitian Sub DAS Citarik, Jawa Barat (File tersendiri : Gambar 5 Bab III)
46
Penelitian dimulai pada pertengahan tahun 2004 dengan tahapan kegiatan mencakup: (1) persiapan dan proses perijinan, (2) studi literatur mengenai multifungsi lahan pertanian, (3) pengumpulan dan kompilasi data sekunder termasuk indikatorindikator teknis atau biofisik yang terkait dengan manfaat lingkungan lahan pertanian, (4) pengumpulan dan pengolahan data primer, (5) analisis data dan valuasi ekonomi manfaat multifungsi lahan pertanian, (6) penyusunan disertasi, dan (7) seminar hasil penelitian. Pada Januari 2006 atas undangan Pemerintah Jepang untuk menghadiri seminar Multifungsi Pertanian di Tokyo dilakukan juga kunjungan lapangan dan wawancara dengan pengurus kelompok tani padi sawah di Ishibu Terraced Paddy Field, wilayah Shizuoka. Dokumen perizinan dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan penelitian disajikan pada Lampiran 1. 3.2. Rancangan Penelitian 3.2.1. Jenis dan sumber data Data yang dikumpulkan terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi data indikator teknis atau biofisik sumberdaya lahan dan sosialekonomi antara lain meliputi penggunaan lahan, curah hujan, debit air sungai, erosi, produksi, penguasaan lahan dan harga hasil pertanian. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan publikasi instansi terkait, seperti peta tanah dan penggunaan lahan (skala 1:50.000) terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, laporan Upland Plantation and Land Development Project (Proyek UPLDP) Sub DAS Citarik (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung dan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri), Laporan Fase I Evaluasi Multifungsi Pertanian Lahan Sawah (Sekretariat ASEAN, Jakarta). Selain itu sebagian data aspek sosial-ekonomi wilayah diperoleh dari data Potensi Desa (Podes) hasil Sensus Pertanian 2003 (ST2003) dan data Podes hasil Sensus Ekonomi 2005
47
(SE2005). Kemudian data primer yang dikumpulkan langsung dari lapangan melalui wawancara adalah pengetahuan masyarakat mengenai multifungsi pertanian, kemauan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan lahan pertanian (WTP), dan kesediaan petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian sebagai kompensasi untuk tetap memelihara atau mempertahankan lahan pertanian (WTA). Jenis dan sumber data, serta metode analisisnya disajikan pada Tabel 2.
3.2.2. Responden penelitian Pengambilan responden untuk kegiatan survai dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana dan sengaja (simple random and purposive sampling). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja berdasarkan faktor kemudahan untuk dijangkau serta ketersediaan sumberdaya penelitian. Pemilihan rersponden untuk diwawancarai dilakukan secara acak sederhana. Responden penelitian terdiri atas petani padi sawah, petani lahan kering, peneliti, penyuluh dan birokrat pertanian, serta penduduk yang bermukim di wilayah rawan banjir (hilir). Jumlah responden untuk kajian pengetahuan multifungsi pertanian sebanyak 225 orang, termasuk di dalamnya 60 orang responden kajian WTA petani padi sawah dan 75 orang responden kajian WTA petani lahan kering, dan responden kajian WTP 80 orang. Dengan demikian seluruh responden penelitian adalah 305 orang (Tabel 3). Responden peneliti adalah para peneliti di BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Barat di Lembang. Responden penyuluh adalah para penyuluh pertanian lingkup Kabupaten Bandung dan fungsional penyuluh di BPTP Jawa Barat. Responden birokrat pertanian adalah pejabat struktural beberapa instansi lingkup Kabupaten Bandung dan para Kepala Seksi Pengelolaan Lahan dan Air Dinas Pertanian/Perkebunan yang mengikuti acara Pelatihan Pengelolaan Lahan dan Air, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air di Solo, Desember 2005 (24 orang). Responden petani padi sawah adalah para petani padi di Desa Cikancung Kecamatan
48
Cikancung dan Desa Narawita Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Responden petani lahan kering adalah para petani di Desa Ciluluk Kecamatan Cikancung dan Desa Nagrog Kecamatan Cicalengka.
Responden masyarakat hilir
adalah penduduk non-petani warga Kelurahan Andir Kecamatan Bale Endah dan Desa Lengkong Kecamatan Bojongsoang. Tabel 2. Jenis dan sumber data serta metode analisisnya No. ID
Data
Sumber/Metode analisis
1.NFPP
Penggunaan lahan, produksi dan harga hasil pertanian
Data sekunder dan data primer / Tabulasi/deskriptif
2.NFTK
Kebutuhan tenaga kerja pada usahatani padi sawah dan lahan kering tanaman pangan, upah kerja
Data sekunder dan data primer / Tabulasi/deskriptif
3.NFKP
Luas, produktivitas dan IP padi sawah dan padi ladang, jumlah penduduk dan konsumsi beras per kapita
Data sekunder/ Tabulasi dan Simulasi Powersim
Daya sangga air pada lahan sawah, lahan kering tanaman pangan, dan non-pertanian
Data sekunder/studi literatur
Biaya penyusutan dan operasional dam/bendungan
Data sekunder/ studi literatur dan konsultasi dengan pakar
Erosi tanah pada lahan kering, lahan sawah, dan penggunaan lahan lainnya
Data sekunder/ studi literatur
Sediment Delivery Ratio
Data sekunder/ studi literatur
Kandungan unsur hara pada tanah erosi
Data sekunder /studi literatur
6. PMMP
Pengetahuan masyarakat tentang multifungsi lahan pertanian
Data primer/tabulasi/deskriptif dan analisis regresi
7. WTP/ WTA
Kesediaan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan atau kesediaan petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian
Data primer /tabulasi/deskriptif dan analisis regresi
4.NFPB
5.NFPE
Data primer/observasi lapangan
Keterangan : NFPP = Nilai fungsi penghasil produksi pertanian yang dapat dipasarkan NFTK = Nilai fungsi penyerap tenaga kerja; NFPE = Nilai fungsi pengendali erosi dan sedimentasi NFKP = Nilai fungsi ketahanan pangan; PMPP = Pengetahuan mengenai multifungsi pertanian NFPB = Nilai fungsi pengendali banjir; WTP/WTA = Kemauan untuk membayar/menerima jasa lingkungan pertanian
49
Tabel 3. Jenis dan jumlah responden penelitian No
Jenis responen
Jumlah orang
Kajian
1
Petani / Padi sawah
60
WTA/PMMP*)
2
Petani / Lahan kering semusim
45
WTA/PMMP
3
Petani / lahan kering kebun campuran
30
WTA/PMMP
4
Birokrat pertanian
44
PMMP
5
Peneliti pertanian
16
PMMP
6
Penyuluh pertanian
30
PMMP
7
Penduduk/ Perumahan rawan banjir
80
WTP
Total
305
Catatan : *)PMMP = Pengetahuan mengenai multifungsi pertanian
3.2.3. Metode analisis data Metode valuasi ekonomi yang digunakan adalah metode biaya pengganti (replacement cost method/RCM) dan valuasi kontingensi (contingent valuation method/CVM) dengan pendekatan kesediaan masyarakat hilir untuk membayar jasa lingkungan pertanian (WTP) dan kesediaan petani (masyarakat hulu) untuk menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) agar tetap mempertahankan lahan pertanian. Alasan pemilihan metode RCM dan CVM sebagaimana disajikan pada Bagian 2.8 (khususnya hal 42-43), sedangkan asumsi dasarnya adalah (1) informasi dan manfaat mengenai jasa lingkungan pertanian dimengerti oleh responden, (2) harga penawaran mencerminkan preferensi individu responden mengenai perubahan kualitas lingkungan atau penyediaan jasa lingkungan, dan (3) kelemahan yang melakat pada metode WTP/WTA sebagaimana diuraikan pada halaman 36 dapat diminimalisir atau ditanggulangi selama pelaksanaan penelitian. Perhitungan valuasi ekonomi terhadap multifungsi pertanian dilakukan dengan pendekatan rumus matematik berikut:
50
1. Nilai ekonomi sebagai fungsi penghasil komoditas pertanian (NFPP) n
NFPP= ∑ (Ai x IPi x Pi x Hi) ................................................................... (1) i=1
Dimana: A = Luas lahan (ha), IP = Indeks pertanaman (%/th), P = Produktivitas (t/ha) H = Harga komoditas (Rp/t), I = Indeks komoditas 2. Nilai ekonomi sebagai fungsi penyedia lapangan kerja (NFTK) n
NFTK= ∑ (Ai x IPi x Ti x Wi)i ................................................................... (2) i=1
Dimana: T = Kebutuhan tenaga kerja usahatani (hok/ha) W = Upah kerja (rp/hok) 3. Nilai ekonomi sebagai fungsi ketahanan pangan, khususnya beras (NFKP) Qt = (A-k.A) t x Pt x IPt x R ....................................................................... (3) Dt = Ot x Ct ............................................................................................. (4) NFKP = Abs (Qt - Dt) x H ....................................................................... (5) Dimana: Q= produksi beras (ton), k= laju konversi sawah (%) R= rendemen beras (%) D = kebutuhan pangan/ beras (ton), O = jumlah penduduk (jiwa) C = konsumsi beras per kapita (kg/jiwa/tahun), H = harga beras (rp/kg) t = Indeks tahun Sebagai akibat konversi lahan sawah yang berlanjut maka perilaku peubah produksi beras akan mengikuti pola eksponensial negatif, sebaliknya perilaku peubah kebutuhan konsumsi akan mengikuti pola eksponensial positif karena pengaruh laju pertumbuhan penduduk. Guna mengetahui trend perbedaan antara produksi dan konsumsi
beras tersebut
dilakukan
simulasi
dengan
diagram
sebab
akibat
sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Diagram sebab-akibat tersebut menggambarkan bahwa produksi pangan tergantung kepada luas lahan dan teknologi pertanian. Luas lahan pertanian akan semakin berkurang sebagai akibat konversi lahan. Proses konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kebijakan pemerintah daerah. Teknologi
51
pertanian yang dimaksud adalah teknologi budidaya yang berpengaruh langsung terhadap produksi melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman (IP). Di sisi lain kebutuhan pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Semakin tinggi kebutuhan pangan dengan tingkat produksi yang semakin berkurang atau tetap maka akan semakin rendah status ketahanan pangannya, berarti semakin tinggi biaya diperlukan untuk mendatangkan pasokan pangan dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Pemecahan diagram sebabakibat tersebut menggunakan Program Powersim. Kebijakan Pemda + Luas Lahan Pertanian
+
Laju konversi Lahan
(-)
_
+
Pasokan luar daerah
Produksi Pangan
+
Swasembada pangan
+ + Teknologi Ketahanan Pangan _ _ + Konsumsi Per kapita
Kebutuhan Pangan +
+ Jumlah Penduduk
(+)
Laju Pertumbuhan Penduduk +
Gambar 6. Diagram sebab-akibat analisis fungsi ketahanan pangan
52
4. Nilai ekonomi sebagai fungsi pengendali banjir (NFPB) NFPB = ( Dp - Dnp ) x A x (Pd + Od + Hp) ..................................... (6) Dimana: Dp= Daya sangga air lahan pertanian (m) Dnp= Daya sangga air lahan non pertanian (m) A = luas lahan pertanian (ha) Pd= Biaya penyusutan dam (Rp/m3) Od= Biaya pemeliharaan dam (Rp/m3) Hp = Harga air baku (Rp/m3)
5. Nilai ekonomi (Rp) sebagai pengendali erosi dan sedimentasi (lNFPE) NFPE = (E_lk - E_ls) x A x SDR x Kd + Nh ..................................... (7) Dimana: E_lk= Erosi dari lahan kering (t/ha/th) E_ls= Erosi dari lahan sawah (t/ha/th) A =Luas areal sawah (ha) SDR= Sediment delivery ratio Kd=Biaya pengerukan sedimen (Rp/t) Nh = Nilai unsur hara yang hilang, diprediksi dengan persamaan: Nh = (E_lk - E_ls) x A x N x Pn; dimana N= kandungan atau proporsi unsur hara pada tanah tererosi dan Pn= harga unsur hara (Rp/t). 6. Nilai ekonomi total = NFPP + NFTK +NFKP + NFPB + NFPE .................... (8) Guna menghitung nilai kini (present value) dari kehilangan manfaat di masa depan akibat konversi lahan pertanian digunakan rumus present worth
dengan discount
factor (DF) 12%/th dan periode perhitungan selama 12 tahun (T0=2003 dan T12 =2015). Justifikasi penentuan DF tersebut didasarkan pada konsep opportunity cost of capital yang kisarannya untuk negara berkembang sekitar 8-15% dan yang umum dipilih adalah 12% (Gittinger 1982).
7. Pengetahuan masyarakat mengenai multifungsi lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda. Y = α0+ α1X1 + α2X2 + β1D1+ β2D2+ β3D3+ β4D4+ β5D5 ..............................(9) Dimana:
53
Y= Skor pengetahuan mengenai multifungsi lahan pertanian ( 0< Y ≤ 1) dimana nilai Y dihitung dari jumlah aspek multifungsi yang diketahui oleh responden tertentu dibagi dengan jumlah aspek multifungsi paling banyak yang diketahui dari seluruh responden. Hasil wawancara menunjukkan ada 8 aspek multifungsi pertanian yang diketahui oleh seorang responden dan angka 8 itulah sebagai pembagi untuk menghitung nilai Y tersebut. X1 = tingkat pendidikan responden (th), X2 = umur responden (th) D1 =dummy: 1 untuk responden peneliti, 0 untuk responden lainnya. D2 =dummy: 1 untuk responden penyuluh, 0 untuk responden lainnya. D3 =dummy: 1 untuk responden birokrat, 0 untuk responden lainnya. D4=dummy: 1 untuk responden petani padi sawah, 0 untuk responden lainnya. D5=dummy: 1 untuk responden laki-laki, 0 untuk responden wanita. (Hipotesis yang diuji : α1 dan α2>0; β1>0; β2, β3,β4,dan β5 <0) 8. Kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) jasa lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda sebagai berikut: WTP = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1P1+ β2P2+ β3P3+ β4P4+
γ1D1 + γ2D2 + γ3D3 ................................................................. (10) Dimana: WTP = kemauan responden untuk membayar jasa lingkungan pertanian (Rp). Xi= peubah kuantitatif terdiri atas : X1 = tingkat pendapatan (rp/th) (α1 >0) X2 = umur responden (th) (α2 >0) X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 >0) X4 = jarak dari rumah ke sungai (m) (α4 <0) X5 = nilai kerugian akibat banjir (Rp) (α5 >0) Pj = peubah dummy persepsi : P1=1 jika responden setuju dan memahami bahwa lahan sawah mempunyai fungsi dalam mengendalikan banjir, 0 jika sebaliknya (β1 >0).
54
P2=1 jika responden sependapat bahwa petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, 0 jika sebaliknya (β2 >0). P3=1 jika responden sependapat bahwa masyarakat hilir (perkotaan) merasakan manfaat jasa lingkungan pertanian dan oleh karena itu mereka seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut bagi masyarakat petani, 0 jika sebaliknya (β3 >0). P4=1 jika responden sependapat bahwa konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik seharusnya dilarang atau dikendalikan dan areal persawahan yang ada dijadikan sawah abadi, 0 jika sebaliknya (β4 < 0). Dk = peubah dummy status responden: D1 = 1 untuk responden pegawai negeri sipil (PNS), 0 untuk responden lainnya (γ1 > 0). D2 = 1 untuk responden pegawai swasta, 0 untuk responden lainnya (γ2 > 0). D3 = 1 untuk responden pengusaha/wiraswasta, 0 untuk responden lainnya (γ3 > 0). (D1, D2, dan D3 = 0 untuk responden yang mata pencahariannya tidak jelas (informal) atau sedang menganggur. 9. Kemauan petani padi sawah untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda. WTA = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1D1+ β2D2........................ (11) Dimana: WTA = kemauan responden untuk menerima pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian (rp). Xi = peubah kuantitatif: X1 = luas lahan garapan (ha) (α1<0) X2 = umur responden (th) (α2 > 0) X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 <0) X4 = jumlah anggota keluarga (orang) (α4 <0) X5 = tingkat pendapatan (rp/th) (α5 <0) Dj= peubah dummy: D1= 1 untuk responden yang mempunyai sumber pendapatan lain, 0 untuk sebaliknya (β1<0)
55
D2=
1
untuk
responden
yang
menyatakan
usahataninya
menguntungkan, 0 untuk sebaliknya (β2 <0)
10. Kemauan petani lahan kering untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi, dan regresi berganda.
WTA = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1P1+ β2D2+ β3D3+ β4D4 ... (12) Dimana:
WTA = kemauan petani lahan kering untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian (rp). Xi= peubah kuantitatif: X1 = luas lahan garapan (ha) (α1<0) X2 = umur responden (th) (α2 > 0) X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 <0) X4 = jumlah anggota keluarga (orang) (α4 <0) X5 = tingkat pendapatan (rp/th) (α5 <0) Dj = peubah dummy: D1=1 untuk responden petani lahan kering tanaman pangan, petani lahan kering kebun campuran (β1 >0).
0 untuk
D2=1 untuk responden yang sudah menerapkan teknik konservasi tanah dan air (teras bangku), 0 untuk responden lainnya (β2 <0). D3=1 untuk responden yang mempunyai sumber pendapatan lain, untuk responden lainnya (β3 <0) D4=1untuk responden yang menyatakan usahatani menguntungkan, 0 untuk responden lainnya (β4<0).
lahan
0
kering
Pengolahan dan analisis statistik mengacu pada Steel & Torrie (1980) mencakup korelasi Spearman mulai hal 272, korelasi Pearson mulai hal 550, dan Regresi berganda mulai hal 311, dengan menggunakan program EXCEL dan SAS V.6.12, sedangkan analisis simulasi dilakukan dengan menggunakan Program Powersim 2.5.
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Alam Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik merupakan salah satu Sub DAS di DAS Citarum, Propinsi Jawa Barat. Sub DAS Citarik dan beberapa Sub DAS lainnya, seperti Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Cisangkuy, dan Sub DAS Ciwidey merupakan wilayah hulu Sungai Citarum. Sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, antara lain sebagai sumber air baku, pengairan, pembangkit tenaga listrik, tempat rekreasi dan lain-lainnya. Di sepanjang aliran Sungai Citarum terdapat tiga bendungan (dam), yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Sebagian areal Sub DAS Citarik secara administratif terletak di Kabupaten Bandung dan sebagian lagi di Kabupaten Sumedang. Areal Sub DAS Citarik yang terletak di Kabupaten Bandung meliputi wilayah Kecamatan Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Cikancung, Paseh, Cileunyi, Cimenyan, dan Cilengkrang, sedangkan areal lainnya yang terletak di Kabupaten Sumedang meliputi wilayah Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan Cikeruh (DLH-Kab. Bandung 2003; Ditjen Bangda 2003). Luas wilayah Sub DAS Citarik berdasarkan kegiatan UPLDP (Upland Plantation and Land Development Project) yang dilaksanakan oleh Ditjen Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri adalah 35.210 ha yang sebagian besar (72,1%) berada di Kabupaten Bandung dan sisanya (27,9%) di Kabupaten Sumedang (Tabel 4). Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan air laut sekitar 55,3% luas wilayah Sub DAS Citarik berada pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl dan 44,7% luas wilayah berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Pada
57
ketinggian tempat tersebut suhu udara relatif sejuk, yakni rata-rata suhu bulanan tertinggi dan terendah 26,5oC dan 21,2 oC. Curah hujan tahunan dari tiga lokasi stasiun curah hujan (Paseh, Cicalengka, dan Rancaekek) berkisar antara 1.524 - 2.217 mm dengan rata-rata 1.802 mm. dengan tipe iklim E dan F menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson (Ditjen Bangda, 2003). Tipe iklim tersebut menunjukkan bahwa jumlah bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) dalam satu tahun sama atau lebih banyak daripada bulan basahnya (curah hujan > 100 mm/bulan).
Kemudian jika
didasarkan pada klasifikasi iklim F. Junghuhn yang menitikberatkan pada ketinggian tempat dan jenis tumbuhan yang hidup iklim Sub DAS Citarik tergolong
pada
Iklim
Sedang
dengan
ragam
tumbuhan
yang
dapat
dikembangkan meliputi padi, tembakau, teh, kopi, coklat, kina, dan sayursayuran. Curah hujan harian rata-rata paling rendah terjadi pada bulan September (1,7 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Januari (10,9 mm/hari). Curah hujan harian maksimum terendah terjadi pada bulan September (13,1 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Nopember (71,7 mm/hari). Kemudian dikaitkan dengan debit air Sungai Citarik ternyata debit air harian rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus (2,5 m3/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (39,8 m3/detik). Debit air harian maksimum terendah terjadi pada bulan Agustus (3,5 m3/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (62,9 m3/detik). Secara grafis fluktuasi curah hujan harian rata-rata dan maksimum, debit air harian rata-rata dan maksimum, dan rasio debit air maksimum/minimum Sungai Citarik disajikan pada Gambar 7. Rasio debit air harian maksimum/minimum berkisar antara 4,3 (Agustus) 46,5 (Oktober) dengan rata-rata 15,4. Tingginya rasio tersebut menunjukkan bahwa kondisi hidrologi Sub DAS Citarik sudah menurun.
58
Tabel 4. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah administratif (ha) Ketinggian tempat ( m dpl)
Kecamatan
500 - 1000
Jumlah
1000-1500
Cilengkrang
912
1.643
2.556
Cimenyan
704
1.219
1.923
Cileunyi
1.260
299
1.558
Cicalengka
3.494
2.052
5.547
Cikancung
1.403
1.412
2.814
Rancaekek
3.785
1.116
4.901
Paseh
1.531
2.415
3.946
Nagreg
381
178
559
Cikeruh
1.571
-
1.571
Tanjungsari
2.489
3.535
6.024
Cimanggung
1.955
1.856
3.811
19.486
15.724
35.210
Total
70
80
60
70
50
40
40 30
30
20
C H (m m /h r)
60
50
Debit_Mean Debit_Max CH_Mean CH_Max
20
10
10
0
0
O k No t p De s Ja n Fe b M a Ap r r M e Ju i n Ju Ag l s Se p
D e b it (m 3 /d e t)
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
A
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B
y = -9.0058Ln(x) + 30.45 R2 = 0.3355
Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Gambar 7. Fluktuasi debit air Sungai Citarik dan curah hujan (A) serta rasio debit air harian maksimum/minimum (B) Sungai Citarik Kondisi tanah di Sub DAS Citarik dicirikan oleh tiga jenis tanah utama, yakni Andosol, Latosol, dan Asosiasi. Penyebaran jenis tanah Andosol meliputi luas wilayah sekitar 48%, Latosol 31,5% dan Asosiasi 16,2%. Jenis tanah pada wilayah lainnya adalah Alluvial dan Regosol.
59
Jenis tanah Andosol menurut klasifikasi jenis tanah Pusat Penelitian Tanah dan FAO-UNESCO dicirikan oleh berat jenis tanah yang cukup ringan (kurang dari 0,85g/cc) atau lebih dari 60% bahannya terdiri atas bahan-bahan vulkanik. Jenis tanah Latosol dicirikan oleh solum tanah yang dalam ( lebih dari 150 cm) dan kadar liat lebih dari 60% (Sarwono 1987). Hasil kajian Proyek UPLDP menunjukkan kedalaman solum tanah di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Sekitar 63% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kedalaman solum tanah antara 60-90 cm, 34% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah lebih dari 90 cm dan 3% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah antara 30-60 cm. Bentuk wilayah Sub DAS Citarik dicirikan oleh kemiringan lereng yang berombak-bergelombang dan berbukit (8-45%). Lebih dari 66,8% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kemiringan lereng antara 8-45%. Wilayah yang relatif datar (< 8%) sekitar 18,0% dan sebagian wilayah lainnya mempunyai kemiringan lereng yang sangat curam atau lebih dari 45% (Tabel 5). Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor penentu besaran erosi. Semakin tinggi kemiringan lereng dan faktor -faktor lain bersifat konstan maka besaran erosi akan meningkat. Hasil kajian Proyek UPLD dengan metode USLE menunjukkan tingkat erosi sebelum kegiatan proyek di Sub DAS Citarik mencapai 293,3 ton/ha/tahun atau setiap tahun terjadi erosi tanah sekitar 8,9 juta ton. Tingkat erosi tanah di lokasi tersebut menurun setelah pelaksanaan proyek UPLDP selama empat tahun (2002) menjadi 71,3 ton/ha/tahun. Upaya penerapan konservasi tanah dan air di wilayah tersebut masih perlu ditingkatkan agar erosi tanah dapat ditekan sampai tingkat erosi yang dapat dirolerir atau diabaikan sekitar 13 ton/ha/th . Sebagaimana disajikan pada Tabel 6 lebih dari 50% wilayah Sub DAS Citarik masih menimbulkan erosi tanah pada kelas sedang sampai tinggi.
60
Tabel 5. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) Kecamatan
0-8%
Kemiringan lereng 8-25% 25%-45%
Jumlah >45%
Cilengkrang
-
920
1.107
529
2.556
Cimenyan
-
584
1.218
121
1.923
282
855
295
126
1.558
Cicalengka
1.149
2.004
1.736
1.216
6.106
Cikancung
43
1.397
850
523
2.814
Rancaekek
3.781
951
169
-
4.901
12
2.297
862
774
3.946
Cikeruh
356
865
156
193
1.571
Tanjungsari
378
2.128
2.370
1.148
6.024
Cimanggung
342
1.094
1.635
741
3.812
6.343
13.095
10.398
5.371
35.210
18,0
37,2
29,6
15,2
100,0
Cileunyi
Paseh
Jumlah Persentase
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
Tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air (KTA), baik berupa bangunan sipil teknis maupun vegetatif tingkat erosi di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Berdasarkan hasil prediksi Proyek UPLDP dengan metode USLE erosi pada usahatani lahan kering tanpa KTA di Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka masing-masing mencapai 558, 352, dan 316 ton/ha/tahun. Penerapan teknik KTA pada usahatani lahan kering di wilayah kecamatan yang sama dapat menekan erosi masing-masing 74%, 54%, dan 64% untuk Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka.
61
Tabel 6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah Kelas erosi tanah
Luas area Ha
%
I
( < 15 t/ha/th)
16.740
47,5
II
(15 - 60 t/ha/th)
10.094
28,7
III (60 -180 t/ha/th)
5.720
16,2
IV (180 - 480 t/ha/th)
2.226
6,3
433
1,3
35.210
100
V ( > 480 t/ha/th) Total Sumber: Ditjen Bangda (2003).
4.2. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik sangat dinamis. Perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut terus berlangsung sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Berdasarkan hasil analisis data citra satelit yang dituangkan dalam Peta Penggunaan Lahan skala 1:50.000 (Puslitbang Tanah dan Agroklimat 2001) penggunaan lahan utama tahun 1969 meliputi hutan (6.151 ha), kebun campuran (6.660 ha), permukiman (1.217 ha), sawah (9.675 ha), dan tegalan (2.666 ha). Kemudian pada tahun 2000 penggunaan lahan di wilayah tersebut berkembang yang dicirikan oleh berkurangnya proporsi areal hutan menjadi 4.073 ha (turun 33,8%), kebun campuran 2.890 ha (turun 56,6%), sawah 9.340 ha (turun 3,5%), sedangkan penggunaan lahan yang bertambah luas adalah permukiman menjadi 3.145 ha (naik 158,4%) dan tegalan menjadi 6.189 ha (naik 132,1%). Pada tahun 2000 sudah ada kawasan industri (639 ha) dan lokasi penambangan atau galian tanah (50 ha) (Gambar 8).
62
Gambar 8 file sendiri
63
Wahyunto et al.(2001) menganalisis perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik menggunakan data citra satelit berbagai periode waktu dan hasilnya menunjukkan konversi hutan menjadi tegalan dan kebun campuran yang terjadi pada tahun 1991-2000 mencapai 556 ha. Kemudian konversi lahan sawah, tegalan dan kebun campuran menjadi permukiman dan kawasan industri pada periode waktu tersebut mencapai 799 ha. Pada periode tahun 1991- 2000 sekitar 835 ha areal kebun campuran beralihfungsi menjadi perumahan, tanah galian dan kuburan cina. Pada tahun 1991-1998 di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung ada konversi lahan tegalan menjadi sawah sekitar 54 ha, tetapi di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang terdapat 131 ha sawah yang dikonversi menjadi tegalan. Perubahan lahan sawah menjadi tegalan dapat disebabkan oleh berkurangnya sumberdaya air, tetapi juga perubahan tersebut merupakan modus antara untuk merubah lahan sawah menjadi kawasan terbangun, seperti perumahan, kawasan industri, atau perkantoran. Proporsi areal sawah terus menurun hingga pada tahun 2003 menjadi 24,6% (BPS 2003), sementara itu proporsi areal tegalan meningkat menjadi 30,1%, perumahan dan permukiman menjadi 23,1%, kawasan industri dan perkantoran menjadi 4,5%. Perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian secara grafis disajikan pada Gambar 9. Tujuan peruntukan konversi lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering sebagian besar adalah untuk pembangunan perumahan atau industri. Sebagaimana disajikan pada Tabel 7 sekitar 71% dari luas lahan sawah yang dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, terutama kawasan industri dan perumahan. Sisanya (29%) dikonversi menjadi pertanian lahan kering. Demikian halnya konversi lahan kering;
74% dari luas lahan kering yang
dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, sedangkan 26% dijadikan
64
lahan sawah. Dengan demikian pada tahun 2003 tersebut di Sub DAS Citarik terdapat 868,4 ha lahan sawah dan 654,0 ha lahan kering
yang dikonversi.
Proporsi konversi lahan sawah dan lahan kering tersebut dibandingkan dengan total luas lahan masing-masing adalah 10,4% untuk lahan sawah dan 6,7% untuk lahan kering (tegalan dan kebun campuran). Apabila pertambahan penggunaan lahan tersebut diperhitungkan maka proporsi pengurangan bersih lahan sawah
%
dan lahan kering tersebut masing-masing mencapai 8,4% dan 4,1%.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1969
Lain-lain Kaw.Industri Permukiman Sawah Tegalan Keb. Campuran Hutan 1991
2000
2003
Gambar 9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik Berdasarkan wilayah administratif konversi lahan sawah yang relatif luas terjadi di Kecamatan Cikancung (317,7 ha atau 34,5%), Cimenyan (173,2 ha atau 18,8%), dan Nagreg (116,5 ha atau 12,6%). yang semuanya termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Kemudian konversi lahan kering paling luas terjadi di Kecamatan Cikancung (470,7 ha atau 70,8%) dan Nagreg (55,0 ha atau 8,3%).
65
Tabel 7. Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS Citarik, 2003
Penggunaan lahan 1. Sawah
Total konvers i lahan
Tujuan peruntukan konversi lahan (menjadi) Kawas an Perkantora Lahan Perum Kawasan ahan n Kering Industri Sawah
(ha) (%)
921,9
-
2. Lahan kering (ha) (%)
664,9
176,2 26,5
258,4 28,1 -
3. Penambahan (ha)
176,2
258,4
4. Pengurangan (ha)
745,7
406,5
Lainlain
203,9 22,1
413,4 44,8
8,7 0,9
37,5 4,1
156,6 23,5
328,1 49,3
1,0 0,2
3,0 0,5
360,5
741,5
9,7
40,5
Sumber : Data ST2003 (diolah)
4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi 4.3.1. Jumlah, pertumbuhan, dan penyebaran penduduk Berdasarkan Data Potensi Desa hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST2003) jumlah penduduk wilayah Sub DAS Citarik ada 732.721 jiwa. Laju pertumbuhan jumlah penduduk periode tahun 2003-2005 di lokasi tersebut relatif tinggi, yakni 10,5%/tahun sehingga pada tahun 2005 jumlah penduduk tersebut menjadi 887.890 jiwa (BPS 2005). Sebagai pembanding laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung pada periode tahun yang sama sekitar 6,1%/tahun. Penyebaran penduduk Sub DAS Citarik berdasarkan wilayah administratif secara berurutan paling banyak terdapat di Kecamatan Rancaekek, Paseh, dan Cicalengka Kabupaten Bandung. Namun demikian kepadatan penduduk paling tinggi secara berurutan terdapat di
Kecamatan Cileunyi dan Rancaekek,
Kabupaten Bandung, serta Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, Kabupaten Sumedang (Tabel 8). Pada tahun 2005 penyebaran dan kepadatan penduduk tersebut berubah. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan
66
Rancaekek, Cielunyi, dan Paseh, Kabupaten Bandung, sedangkan urutan kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi (Kabupaten Bandung), Jatinangor (Kabupaten Sumedang), dan Rancaekek (Kabupaten Bandung) (Tabel 9). Laju pertumbuhan jumlah penduduk Sub DAS Citarik yang tinggi sejalan dengan tingginya pertambahan jumlah kepala keluarga (KK) dari 195.877 KK (2003) menjadi 244.640 KK (2005) atau laju kenaikannya 12,4%/tahun. Sementara itu ukuran keluaga cenderung bertambah kecil, yakni menurun dari 3,8 jiwa/KK menjadi 3,7 jiwa/KK. Keluarga pertanian di DAS Citarik menurun dari 48,7% (2003) menjadi 43,8% (2005). Penurunan proporsi keluarga pertanian tersebut terjadi di seluruh kecamatan, kecuali di Kecamatan Rancaekek dan Paseh, Kabupaten Bandung. Di Kecamatan Rancaekek proporsi keluarga pertanian meningkat dari 44,2% (2003) menjadi 61,8% (2005), sedangkan di Kecamatan Paseh proporsi keluarga pertanian meningkat dari 47,2 menjadi 49,6%. Hal yang menarik adalah peningkatan proporsi keluarga pertanian di Kecamatan Paseh tersebut diikuti oleh penurunan proporsi keluarga miskin (Pra Sejahtera) dari 43,9% menjadi 29,3%.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di
Kecamatan Rancaekek dimana peningkatan proporsi keluarga pertanian yang tinggi diikuti dengan peningkatan keluarga miskin yang tinggi pula (8,7% menjadi 44,9%). Fenomena di wilayah lainnya menunjukkan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan peningkatan proporsi keluarga miskin terjadi di enam kecamatan (55%), seperti Kecamatan Cicalengka, Cikancung, dan Cileunyi dan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan penurunan proporsi keluarga miskin terjadi di tiga kecamatan (27%), yakni Kecamatan Cimanggung, Jatinangor, dan Tanjungsari (Tabel 8 dan Tabel 9).
67
Data tahun 2003 menunjukkan adanya korelasi positif antara proporsi jumlah keluarga pertanian dengan keluarga miskin dengan koefisien korelasi Peason (r) =0,4574 dan taraf nyata (α) 18% yang berarti 45,7% variasi proporsi jumlah keluarga miskin dapat dijelaskan oleh variasi proporsi keluarga pertanian. Fenomena serupa secara statistik tidak nyata pada tahun 2005 (r = -0,0771; α=83%) yang berarti variasi jumlah keluarga miskin di Sub DAS Citarik pada tahun 2005 tidak ada hubungannya dengan jumlah keluarga pertanian. Hal itu berarti peningkatan jumlah keluarga miskin berasal dari keluarga non-pertanian.
Tabel 8. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003 Kecamatan
Jumlah penduduk
Kepadatan penduduk
1
Cicalengka
(jiwa) 75.716
(jiwa/ha) 19,3
(KK) 21.630
(%) 46,0
(%) 20,9
2
Cikancung
58.474
18,4
14.776
48,4
25,2
3
Cilengkrang
31.807
10,3
8.311
67,5
61,9
4
Cileunyi
70.634
34,0
17.989
50,0
10,6
5
Cimenyan
65.554
18,4
18.041
46,3
18,3
6
Rancaekek
120.556
30,1
32.698
44,2
8,7
7
Nagreg
36.621
8,2
9.215
46,7
22,4
8
Paseh
95.729
20,4
22.653
47,2
43,9
9 10
Cimanggung Jatinangor
64.232 61.733
21,8 25,6
19.404 15.515
58,1 27,0
29,8 31,7
11
Tanjungsari
51.666
21,3
15.644
54,5
35,1
Rata-rata
66.611
20,7
17.807
48,7
28,1
No
Sumber: Data ST2003 (diolah)
Jumlah Keluarga Keluarga Keluarga pertanian Miskin
68
Tabel 9. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005 No
Kecamatan
Jumlah Kepadatan penduduk penduduk
Jumlah Keluarga Keluarga keluarga pertanian miskin
(jiwa/ha) 26,0
(KK) 21.974
(%) 43,6
(%) 32,3
1
Cicalengka
(jiwa) 89.860
2
Cikancung
67.347
18,7
16.891
46,2
35,9
3
Cilengkrang
35.336
11,4
10.249
63,3
36,2
4
Cileunyi
113.722
40,3
29.039
10,8
27,6
5
Cimenyan
83.748
23,5
21.659
43,9
27,2
6
Rancaekek
133.417
30,8
34.862
61,8
44,9
7
Nagreg
41.273
10,7
10.863
39,2
24,9
8
Paseh
107.598
23,1
28.367
49,6
29,3
9
Cimanggung
69.336
23,6
19.493
50,3
24,3
10
Jatinangor
82.008
31,7
24.220
24,2
34,9
11
Tanjungsari
64.238
26,4
18.223
48,7
20,5
Rata-rata
80.717
24,2
22.240
43,8
30,6
Sumber: Data Sensus Ekonomi /SE2005 (diolah)
4.3.2. Penguasaan sumberdaya lahan Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh petani terdiri atas lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Berdasarkan klasifikasi BPS status penggunaannya lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan bukan sawah, sedangkan lahan non-pertanian terdiri atas lahan perumahan (rumah dan pekarangan) dan lahan lainnya yang tidak digunakan untuk pertanian. Berdasarkan data Survai Pertanian-Potensi Desa (ST-Podes 2003) luas lahan yang dikuasai petani di Sub DAS Citarik 0,386 ha/KK, terdiri atas lahan pertanian (92,6%) dan lahan non-pertanian (7,4%) (Tabel 10). Luas penguasaan lahan tersebut cukup bervariasi antar wilayah kecamatan dengan kisaran antara 0,291 ha/KK di Kecamatan Jatinangor dan 0,587 ha/KK di Kecamatan Cileunyi dengan nilai CV 26,2%. Berdasarkan status penggunaannya lahan pertanian terdiri atas lahan sawah (48,3%) dan lahan bukan sawah
(51,7%). Lahan
69
pertanian bukan sawah tersebut berupa lahan kering untuk tanaman palawija, hortikultura, perkebunan atau kolam ikan. Proporsi jumlah petani berdasarkan jenis usahatani di Sub DAS Citarik terdiri atas petani padi (19,2%), palawija (18,95%), padi dan palawija (31,3%), hortikultura (8,9%), perkebunan (2,0%), perhutanan (4,0%), dan usaha pertanian lainnya, seperti perunggasan, perikanan, dan jasa pertanian (15,7%). Berdasarkan luas lahan yang dikuasainya sekitar 30,8% petani menguasai lahan kurang dari 0,1 ha dan hanya 1% petani yang menguasai lahan lebih dari 1,0 ha/KK, dan secara kumulatif 90% petani menguasai lahan kurang dari 0,75 ha/KK (Gambar 10). Status penguasaan lahan oleh keluarga pertanian di Sub DAS Citarik dapat dibedakan atas tiga golongan, yakni pemilik lahan, pemilik-penggarap lahan, dan penggarap-penyewa lahan. Berdasarkan Data Potensi Desa (ST2003) proporsi penguasaan lahan tersebut adalah pemilik lahan 31,3%, pemilik-penggarap lahan 43,5%, dan penggarap-penyewa lahan 24,2% (Tabel 11). Variasi status pemilik-penggarap lahan antar wilayah kecamatan relatif paling homogen (CV=17,7%) dibanding dengan pemilik lahan (CV=25,2%) dan penggarappenyewa lahan (CV=26,9%). Hal tersebut dapat dimengerti karena lahan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi keluarga pertanian dan menggarap lahan milik sendiri adalah status penguasaan lahan yang paling umum dimiliki petani dan paling kuat secara hukum.
70
Tabel 10. Luas lahan petani berdasarkan penggunaannya (ha/KK)
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimenyan Rancaekek Nagreg Paseh Cimanggung Jatinangor Tanjungsari Rata-rata %
Lahan Pertanian Bukan Subsawah total Sawah 0,135 0,136 0,270 0,143 0,240 0,383 0,075 0,239 0,314 0,442 0,114 0,556 0,144 0,343 0,487 0,334 0,009 0,343 0,095 0,320 0,415 0,188 0,113 0,301 0,109 0,198 0,307 0,147 0,119 0,265 0,078 0,198 0,276 0,172 0,184 0,356 44,6 47,9 92,5
Lahan Nonpertanian
Total
0,037 0,024 0,019 0,031 0,031 0,031 0,030 0,027 0,032 0,026 0,030 0,029 7,5
0,308 0,406 0,334 0,587 0,518 0,373 0,445 0,328 0,339 0,291 0,305 0,385 100,0
Sumber: Data ST2003 (diolah)
120 100
%
80 %-RTP
60
%_kumulatif
40 20 0 < 0,10
0,100,24
0,250,49
0,500,74
0,750,99
1,001,49
1,501,99
2,002,49
>= 2,5
Ha
Sumber : Data ST2003 (diolah)
Gambar 10. Distribusi penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik, 2003
Keterkaitan antar status penguasaan lahan tersebut cukup erat. Uji korelasi menunjukkan proporsi status pemilik lahan berkorelasi nyata negatif dengan pemilik penggarap (r= -0,6281 dan α= 5%), demikian pula antara status pemilikpenggarap dengan penggarap-penyewa (r= -0,5027 dan α= 14%), tetapi status
71
pemilik
lahan
tidak
berkorelasi
dengan
penggarap-penyewa.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa perubahan status penguasaan lahan berjenjang dari pemilik-lahan ke pemilik-penggarap dan dari pemilik-penggarap ke penggarappenyewa. Artinya peningkatan proporsi petani penggarap-penyewa umumnya berasal dari petani pemilik-penggarap, bukan dari petani pemilik lahan. Selanjutnya apabila para petani penggarap-penyewa tersebut tidak mampu lagi menyewa lahan maka mereka akan menjadi buruh tani. Hal ini diperkuat dengan relatif lebih kuatnya koefisien korelasi antara proporsi buruh tani dengan status penggarap-penyewa
(r= 0,3428) dibanding dengan status penguasaan lahan
lainnya (pemilik lahan r= -0,0211 dan pemilik-penggarap lahan r=-0,2670). Tabel 11. Status penguasaan lahan pertanian oleh petani, Sub DAS Citarik, 2003 Pemilik dan penggarap (%)
Penggarap/ penyewa (%)
No
Kecamatan
Pemilik Lahan (%)
1
Cicalengka
40,9
32,3
26,8
2
Cikancung
25,0
56,8
18,3
3
Cilengkrang
27,5
51,7
20,8
4
Cileunyi
31,0
37,0
32,0
5
Cimenyan
26,1
51,5
22,4
6
Rancaekek
33,3
36,3
30,4
7
Nagreg
24,0
41,2
34,8
8
Paseh
31,7
45,4
22,9
9
Cimanggung
20,9
47,4
31,7
10
Jatinangor
47,3
40,5
12,3
11
Tanjungsari
36,8
38,2
25,0
Rata-rata
31,3
43,5
24,2
Sumber: Data ST2003 (diolah) 4.3.3. Sumber mata pencaharian penduduk Secara garis besar sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik dibedakan atas sektor pertanian dan non pertanian. Atas dasar pengelompokkan tersebut jumlah penduduk yang sumber mata pencaharian utamanya dari Sektor
72
Pertanian mencapai 63,6%, sedangkan sisanya (36,4%) dari non-pertanian (UPLDP 1997 dalam Ditjen Bangda 2003). Sumber mata pencaharian dari pertanian dibedakan atas usahatani (on-farm) sebesar 38,6% dan non-usahatani (off-farm) sebesar 25,0%. Jenis usahatani terdiri atas tanaman pangan (60,3%), tanaman perkebunan (3,1%), ternak (30,8%), ikan (1,5%) dan kombinasinya (4,3%). Hasil studi yang sama menunjukkan pendapatan petani di Sub DAS Citarik mencapai Rp 3,8 juta/tahun. Sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik berubah sesuai perkembangan waktu. Berdasarkan Sensus Pertanian-Potensi Desa (BPS 2003) terlihat adanya penurunan peran sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian penduduk (Tabel 12 dan Tabel 13). Pada tahun 2003 peran sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama penduduk masih sekitar 50%, kemudian menurun menjadi 42,4%. Sumber mata pencaharian penduduk tahun 2005 dicirikan oleh meningkatnya peran sektor tersier, yakni perdagangan dan jasa yang mencirikan adanya perkembangan status wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di Kecamatan Cileunyi, Nagreg dan Tanjungsari.
73
Tabel 12. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2003 (%) Bidang usaha No
Kecamatan
Jasa dan lainnya 21,1 25,0
Pertanian
Galian
1 Cicalengka
47,7
0,0
6,2
2 Cikancung
45,7
4,1
12,5
12,6
25,1
3 Cilengkrang
69,2
0,0
13,6
8,5
8,7
4 Cileunyi
50,0
0,0
16,8
23,6
9,6
5 Rancaekek
41,7
0,0
33,3
8,3
16,7
6 Cimenyan
55,0
2,1
5,7
11,7
25,5
7 Nagreg
50,0
16,7
10,3
9,2
13,8
8 Paseh
51,0
8,3
14,3
10,0
16,3
9 Cimanggung
61,7
0,0
12,1
15,4
10,8
10 Jatinangor
27,2
0,0
18,2
18,2
36,4
11 Tanjungsari
55,6
0,0
0,0
20,6
23,8
50,4
2,8
13,1
14,5
19,2
Rata-rata
Industri Perdagangan
Sumber: Data ST2003 (diolah).
Tabel 13. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2005 (%) Bidang usaha No
Kecamatan
1
Cicalengka
43,7
0,0
9,3
25,2
Jasa dan lainnya 21,8
2
Cikancung
46,8
1,6
13,7
13,0
24,9
3
Cilengkrang
63,3
0,0
14,5
11,5
10,7
4
Cileunyi
12,8
0,0
20,8
25,6
40,8
5
Rancaekek
44,2
0,0
38,5
9,5
7,8
5
Cimenyan
43,7
1,1
5,9
18,0
31,3
6
Nagreg
39,0
12,3
23,3
13,4
12,0
7
Paseh
49,6
8,3
16,7
11,9
13,5
8
Cimanggung
50,4
0,0
13,9
17,4
18,3
9
Jatinangor
24,4
0,0
19,0
22,0
34,6
10
Tanjungsari
48,5
0,0
0,0
24,8
26,7
Rata-rata
42,4
2,1
15,9
17,5
22,1
Pertanian
Sumber: Data SE2005 (diolah)
Galian Industri Perdagangan
74
4.3.4. Kejadian dan Bencana banjir Bencana banjir di Kabupaten Bandung, khususnya di wilayah Bandung Selatan seperti di Kecamatan Bale Endah, Bojong Soang, Dayeuh Kolot dan sekitarnya merupakan bentuk bencana alam yang selalu terjadi setiap tahun dan menimbulkan kerugian. Bencana banjir umumnya terjadi karena air Sungai Citarum dan anak-anak sungainya meluap akibat aliran permukaan yang melebihi kapasitas sungai-sungai tersebut. Aliran air permukaan meningkat dapat disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan dan berkurangnya areal resapan air atau kombinasi keduanya. Salah satu penyebab berkurangnya areal resapan air adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian tanpa diimbangi dengan pengendalian dampak lingkungan yang memadai. Pada periode tahun 2000 - 2005 bencana banjir di seluruh Kabupaten Bandung setiap tahunnya meliputi 6 sampai 14 kecamatan dengan rata-rata 9 kecamatan dan mencakup 15 sampai 63 desa dengan rata-rata 36 desa. Jumlah keluarga korban banjir tersebut berfluktuasi antara 6.669 sampai 23.970 KK dengan rata-rata 13.551 KK. Berdasarkan taksiran Dinas Sosial Kabupaten Bandung kerugian material akibat bencana banjir tersebut berkisar antara Rp 1,5 - 6,3 milyar dengan rata-rata Rp 3,3 milyar/tahun (Gambar 11). Daerah rawan bencana banjir di wilayah Bandung Selatan adalah Kecamatan Bale Endah, Dayeukkolot,
Solokanjeruk,
Rancaekek,
Cicalengka,
dan
Bojongsoang.
Berdasarkan nilai kerugian dan jumlah korban banjir tersebut dapat diperkirakan rata-rata beban kerugian tahunan masyarakat akibat banjir mencapai Rp 244.000/KK. Menurut pengamatan staf Dinas Sosial Kabupaten Bandung
Bencana
banjir tahun 2005 tercatat paling parah, khususnya yang melanda wilayah Kecamatan Bale Endah, Dayeuh Kolot, Bojongsoang dan sekitarnya. Kejadian banjir pada bulan Januari-Februari 2005 tersebut menyebabkan banyak
75
masyarakat yang harus mengungsi lebih dari 10 hari. Selain itu ada sekitar 80 buah perusahaan tekstil dan garmen yang tidak dapat beroperasi karena buruhnya menjadi korban banjir, aliran listrik (PLN) mati dan 30 buah pabrik
70
7.0
60
6.0
50
5.0
40
4.0
30
3.0
20
2.0
10
1.0
0
0.0
Rp Milyar
desa & 1000 KK
tersebut terendam air hingga 50 cm.
Desa KKx1000 Kerugian
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 11. Jumlah desa dan keluarga korban bajir serta nilai kerugian akibat banjir di Kabupaten Bandung Secara lebih spesifik hasil pengamatan petugas Kelurahan Andir mengenai kejadian banjir tahun 2005 menyatakan bahwa wilayah bencana banjir saat itu mencakup 11 RW (85%) dari 13 RW dengan korban berupa rumah (4.117 buah) atau 4.375 keluarga, bangunan masjid/madrasah (22 buah), sekolah dasar (5 buah), kantor kelurahan dan kantor RW (5 buah), GOR, dan areal sawah (40 ha). Ketinggian air saat banjir antara 50 cm sampai 300 cm. 4.4. Karakteristik Responden Responden penelitian terdiri atas tiga kelompok, yakni responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian, responden kajian WTP (willingness to pay), dan responden kajian WTA (willingness to accept). 4.4.1. Responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian Karakteristik yang diperkirakan menjadi sumber keragaman perbedaan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian adalah bidang keahlian,
76
tingkat pendidikan, umur dan jenis kelamin. Bidang keahlian atau pekerjaan responden terdiri atas peneliti (7,1%), penyuluh (13,3%), birokrat (19,5%), petani padi sawah (26,7%), dan petani lahan kering (33,4%). Secara umum tingkat pendidikan responden cukup beragam (CV=49,2%). Pendidikan responden peneliti paling tinggi dan paling homogen dengan rata-rata 16,8 tahun dan CV 6%. Pendidikan petani lahan kering paling rendah dan heterogen dengan ratarata 6,0 tahun dan CV 40% (Tabel 14). Berdasarkan jenjangnya rata-rata pendidikan peneliti dan birokrat setingkat sarjana (S1), penyuluh setingkat diploma, petani padi sawah dan petani lahan kering setingkat SD. Tabel 14. Karakteristik responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian Status responden
Jumlah
Pria
(Orang)
(%)
Rerata
Min
Mak
CV
Rerata
Min
Mak
CV
Peneliti
16
50,0
39,8
25
50
22
16,8
16
18
6
Penyuluh
30
76,7
46,6
35
58
14
13,3
9
16
16
Birokrat
44
61,4
44,0
27
54
14
15,6
12
18
10
Petani 1)
60
86,7
45,2
25
66
26
6,9
0
15
39
Petani 2)
75
93,3
45,2
25
71
27
6,0
0
12
40
225
80,0
44,8
25
71
23
9,9
0
18
49
Jumlah
Statistik Umur
Statistik Pendidikan formal
Sumber : data primer Catatan : Min=minimum (th), Mak=Maksimum (th), CV = Koefisien variasi (%) Petani 1) = Petani padi sawah; Petani 2) = Petani lahan kering
Umur responden masih tergolong usia produktif. Secara rata-rata umur responden peneliti relatif paling muda (39,8 tahun) dan responden penyuluh pertanian paling tua (46,6 tahun).
Sebaran umur responden birokrat dan
penyuluh pertanian relatif paling homogen (CV 14%) dibanding dengan peneliti atau petani (CV =
22 sampai 27%).
Proporsi responden pria secara
keseluruhan lebih dominan (80,0%) daripada perempuan, kecuali pada responden peneliti dimana proporsi prianya ada 50% dan responden birokrat dimana proporsi prianya ada 61,4%.
77
4.4.2. Responden analisis WTP Responden kajian WTP adalah warga masyarakat non-petani yang bertempat tinggal di wilayah yang sering terkena banjir di Kecamatan Bale Endah dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan formal, dan tingkat pendapatan disajikan pada Tabel 15. Umur responden termasuk golongan penduduk usia produktif (rata-rata berumur 50,1 tahun) dengan tingkat pendidikan formal tamat SLTP (lama pendidikan rata-rata 10,3 tahun). Pendidikan responden terendah adalah tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 25 orang (31,25%) dan tertinggi adalah magister (S2) sebanyak 9 orang (11,25%). Berdasarkan nilai C.V. sebaran pendidikan formal responden lebih beragam daripada sebaran umurnya. Pendapatan keluarga responden Rp 12,3 juta/tahun dengan kisaran antara Rp 1,8 juta - Rp 42,0 juta/tahun. Keragaman tingkat pendapatan responden tersebut dipengaruhi oleh sumber mata pencahariannya. Sumber mata pencaharian responden terdiri atas: (1) pegawai negeri yang mencakup PNS, ABRI dan pensiunannya (29%), (2) pegawai swasta yang mencakup karyawan pabrik atau perusahaan swasta (21%), (3) wiraswasta yang mencakup pedagang dan tukang (37%), dan (4) tidak menentu atau pekerjaannya tidak tetap seperti pengojeg sepeda motor (13%). Karakteristik lain responden WTP disajikan pada Lampiran 2. Nilai kerugian yang diderita responden akibat banjir cukup tinggi, yakni Rp 1,1 juta/keluarga dengan kisaran antara Rp 0,125 juta - Rp 10,0 juta. Keragaman nilai kerugian ini cukup tinggi. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya : (1) penaksiran nilai kerugian akibat banjir yang bersifat subyektif, dan (2) jenis kerusakan akibat banjir cukup beragam.
78
Tabel 15. Karakteristik responden analisis WTP, Kabupaten Bandung, 2005 Pendidik Pendapatan Kerugian Tinggi Peluang No Statistik an akibat genang terkena Umur Keluarga formal banjir *) an air banjir *) **) (th) (th) (Rp juta/th) (Rp juta) (Cm) 1
Minimum
27
6
1,8
0,125
10
0,10
2
Maksimum
71
16
42,0
10,000
250
1,00
3
Rata-rata
50,1
10,3
12,3
1,100
78,4
0,46
4
Std.Deviasi
11,8
3,4
6,3
1,340
73,8
0,25
5
C.V. (%)
23,6
33,0
51,4
122,0
94,0
54,2
Sumber : data primer Catatan : *) Kejadian banjir terahir; **) Dalam 10 tahun terahir
Jenis kerugian akibat banjir mencakup kerusakan rumah (27%), kehilangan atau kerusakan perabotan rumah tangga (lemari, kursi, meja, barang elektronik) dan kendaraan bermotor (52%), pekarangan rumah kotor oleh lumpur dan sampah (15%), kehilangan ternak (3%), dan terluka/sakit (3%), sebagaimana disajikan pada Gambar 12.
Tingginya kerugian akibat banjir tersebut cukup
beralasan mengingat genangan air saat banjir rata-rata mencapai 78 cm dengan kisaran 10 cm - 250 cm. Makna yang dapat ditangkap dari penaksiran nilai kerugian tersebut adalah responden menyadari betapa besarnya kerugian akibat banjir dan bagi sebagian masyarakat di wilayah itu kerugian akibat banjir diderita berulang kali, bahkan hampir setiap tahun. Pengalaman responden selama 10 tahun terahir menunjukkan bahwa rata-rata terkena banjir hampir setiap dua tahun sekali (peluang terkena banjir 0,46). Sembilan responden (11,25%) diantaranya menyatakan bahwa rumahnya selalu terkena banjir dan menderita kerugian setiap tahun.
79
3% 3% 15%
27% Rumah rusak Perabotan RT rusak Pekarangan kotor Ternak hanyut Luka/penyakit
52%
Gambar 12. Jenis kerugian yang diderita responden akibat banjir, Kabupaten Bandung, 2005 4.4.3. Responden analisis WTA Responden analisis WTA terdiri atas petani padi sawah dan petani lahan kering. Karakteristik petani padi sawah dicirikan oleh usia 45,2 tahun, pendidikan formal 6,9 tahun, pendapatan Rp 6,6 juta/tahun, ukuran keluarga 4,2 jiwa/KK, dan luas sawah garapan 0,606 ha. Tingkat pendidikan, pendapatan dan ukuran keluarga petani padi sawah relatif lebih seragam daripada petani lahan kering (Tabel 16 dan Tabel 17).
Tabel 16. Karakteristik responden analisis WTA petani padi sawah No
Statistik
Umur
Pendidikan formal
(th)
(th)
Pendapatan Keluarga per tahun (Rp juta)
Ukuran keluarga (Jiwa/KK)
Luas sawah garapan (Ha)
1
Minimum
25
0
2,4
2
0,140
2
Maksimum
66
15
16,6
7
3,000
3
Rerata
45,2
6,9
6,6
4,2
0,606
4
Std.Deviasi
12,0
2,7
3,0
1,0
0,553
5
C.V. (%)
26,7
38,6
46,5
23,8
91,2
Sumber : data primer
Berdasarkan uji nilai tengah pendidikan, ukuran keluarga dan pendapatan petani padi sawah berbeda nyata (α =10%) dengan petani lahan kering.
80
Pendidikan petani padi sawah (6,9 tahun) nyata lebih tinggi daripada petani lahan kering (6,0 tahun). Ukuran keluarga petani padi sawah (4,2 orang) nyata lebih banyak daripada petani lahan kering (4,0 tahun). Sebaliknya pendapatan petani padi sawah (Rp 6,6 juta/tahun) nyata lebih rendah daripada petani lahan kering (Rp 8,9 juta/tahun), sedangkan umur dan luas lahan garapan petani padi sawah tidak berbeda nyata dengan petani lahan kering. Tabel 17. Karakteristik responden analisis WTA petani lahan kering Umur
Pendidikan formal
Pendapatan keluarga per tahun
Ukuran keluarga
Luas lahan garapan
(th)
(th)
(Rp juta)
(Jiwa/KK)
(Ha/KK)
25
0
2,1
2
0,100
71
12
27,8
9
3,000
Rerata
45,4
6,0
8,9
4,0
0,627
4
Std.Deviasi
12,1
2,4
5,1
1,6
0,557
5
C.V. (%)
26,6
40,4
57,4
41,4
88,8
No
Statistik
1
Minimum
2
Maksimum
3
Sumber : data primer
Sumber pendapatan petani padi sawah terdiri atas usahatani atau on-farm (70,7%), non-usahatani atau off-farm (17,0%), dan non-pertanian atau out-farm (12,3%). Sumber pendapatan petani lahan kering terdiri atas on-farm (60,6%), off-farm (19,1%), dan out-farm (20,3%). Sumber pendapatan off-farm antara lain sebagai buruh tani dan kegiatan pasca panen, sedangkan kegiatan out-farm adalah mengojek, berdagang, dan buruh pabrik. Relatif lebih tingginya pendapatan petani lahan kering selain karena sebagian dari mereka mengelola usahatani agroforestri dengan tanaman tahunan (kayu-kayuan dan buah-buahan) yang masa perolehan atau panen hasilnya secara kebetulan tercatat pada saat penelitian (kejadian setahun sebelumnya), juga proporsi kegiatan non-usahatani petani lahan kering lebih beragam.
BAB V ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN PERTANIAN DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN
5.1. Analisis Nilai Ekonomi Lahan Pertanian 5.1.1. Nilai ekonomi penghasil produksi pertanian dan sumber perdapatan Lahan sawah di Sub DAS Citarik pada umumnya ditanami padi dengan rata-rata indeks pertanaman (IP) 171%/tahun. Kisaran IP padi tersebut antara 117-200%/tahun dengan variasi yang relatif kecil (C.V. =13,4%). Perbedaan IP padi pada lahan sawah antara lain disebabkan oleh ketersediaan air pengairan. Semakin tersedia air pengairan sepanjang tahun maka IP padi akan semakin tinggi. Hal itu dapat diamati di lapangan; misalnya rendahnya IP padi di Kecamatan Cikancung karena areal lahan sawahnya didominasi oleh sawah tadah hujan (83%). Sebaliknya di Kecamatan Paseh dan Cimenyan walaupun sarana pengairan teknis belum tersedia tetapi jenis lahan sawah di kedua kecamatan tersebut semuanya berpengairan pedesaan (Non-PU) dan tidak ada sawah tadah hujan, sehingga lahan sawah dapat ditanami padi selama dua musim tanam setiap tahun (IP=200%). Selain padi lahan sawah juga menghasilkan tanaman palawija yang diusahakan setelah pertanaman padi. Jenis palawija utama pada lahan sawah adalah jagung. Dalam areal yang relatif kecil petani juga mengusahakan sayuran pada lahan sawahnya. Indeks pertanaman (IP) jagung berkisar antara 8-58% dengan rata-rata 28%/tahun. Variasi IP jagung cukup tinggi (C.V.= 46,8%) dan keragaman tersebut antara lain disebabkan oleh faktor ketersediaan sumber daya air. Berdasarkan dua jenis tanaman tersebut (padi dan jagung) intensitas pengelolaan lahan sawah ditunjukkan oleh IP sebesar 198%/tahun.
82
Rata-rata produktivitas padi sawah di Sub DAS Citarik 5,33 ton/ha/musim tanam dengan variasi antar kecamatan relatif kecil (C.V. = 8,9%). Sementara itu rata-rata produktivitas jagung 4,01 ton/ha/musim tanam dan relatif lebih beragam antar kecamatan (C.V. =15,6%) (Lampiran 3). Mengacu pada Rumus Persamaan (1) dan data pada Lampiran 3 serta harga masing-masing komoditas maka nilai produksi padi dan palawija yang dihasilkan dari lahan sawah di Sub DAS Citarik dapat dihitung sebagaimana hasilnya disajikan pada Tabel 18. Nilai fungsi lahan sawah sebagai media budidaya atau penghasil bahan makanan mencapai Rp 177,8 milyar atau rata-ratanya Rp 15,80 juta/ha/tahun. Luas lahan sawah yang dikonversi tahun 2003 mencapai 921,9 ha. Oleh karena itu nilai produksi lahan sawah yang hilang akibat konversi lahan tersebut mencapai Rp 14,566 milyar. Potensi kehilangan nilai produksi lahan sawah tersebut akan semakin besar sejalan dengan sifat dampak kumulatif dan laju konversi lahan yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Lahan sawah yang sudah dikonversi sulit dikembalikan ke bentuk semula atau bersifat irreversible sehingga jumlah kumulatif luas lahan sawah yang dikonversi dalam beberapa tahun mendatang akan mengikuti fungsi eksponensial sesuai dengan laju konversi lahannya. Berdasarkan luas lahan sawah yang dikonversi tahun 2003 dan laju konversi lahan sawah tersebut pada tahun-tahun selanjutnya diasumsikan konstan (8,19%/tahun) maka besaran potensi kehilangan nilai produksi (NP hilang) akibat konversi lahan sawah yang berlanjut dapat diperkirakan sebagaimana disajikan pada Gambar 13.
83
Tabel 18. Nilai padi dan palawija hasil lahan sawah (11.250 ha) di Sub DAS Citarik, 2003 Padi Ton
Palawija Ton
Nilai Rp Milyar
No
Kecamatan
1
Cikancung
6.211
1.507
10,83
2
Cicalengka
10.505
767
16,71
3
Nagreg
10.056
1.288
16,49
4
Rancaekek
31.478
7.711
54,94
5
Cileunyi
10.492
1.212
17,09
6
Cilengkrang
2.510
381
4,17
7
Cimenyan
2.446
116
3,83
8
Paseh
20.982
715
32,64
9
Jatinangor
3.463
313
5,56
10
Cimanggung
5.250
576
8,52
11
Tanjungsari
4.219
600
6,97
107.611
15.184
177,77
Total
Sumber : BPS 2003 (diolah)
Berdasarkan Tabel 18 nilai produksi padi dan palawija hasil lahan sawah sekitar Rp 15,8 juta/ha/tahun. Apabila tidak ada upaya pengendalian konversi lahan sawah maka potensi nilai produksi yang akan hilang di Sub DAS Citarik berkisar antara Rp 14,6 - 128,6 milyar/tahun. Mengingat besaran nilai ekonomi tersebut merupakan perkiraan nilai masa mendatang (future value) maka konsep nilai kini (present value) dapat digunakan untuk menjumlahkan nilai ekonomi tersebut. Besaran nilai kini manfaat lahan sawah (discount factor 12%/tahun) sebagai penghasil
komoditas pertanian adalah Rp 421,7 milyar. Besaran
tersebut merupakan nilai kini dari manfaat ekonomi yang hilang akibat konversi lahan sawah yang dibiarkan berlanjut selama 12 tahun dengan luas kumulatif 8.142 ha. Nilai padi dan palawija yang dihasilkan lahan sawah merupakan output dari proses produksi yang didalamnya ada komponen tenaga kerja, modal, sarana produksi lainnya, dan keuntungan petani. Oleh karena itu untuk menghindari
84
perhitungan ganda (double counting) dengan nilai kesempatan kerja maka nilai produksi padi dan palawija tersebut dikurangi dengan nilai kesempatan kerja hasil analisis pada Bagian 5.1.2.
12000
140
10000
120
Ha
80 6000
60
4000
Luas sawah Konversi sawah NP hilang
40
2000
20
12
10
8
6
4
0
2
0
0
Rp Milyar
100
8000
Tahun ke:
Gambar 13. Potensi nilai hasil padi dan palawija yang hilang akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik Jenis usahatani dominan pada lahan kering tanaman pangan (tegalan) adalah padi ladang dan palawija (jagung, ubikayu, ubi jalar, kacang merah dan kedelai). Luas tanam, produktivitas dan produksi komoditas tersebut disajikan pada Lampiran 4. Proporsi sebaran usahatani padi ladang cukup luas di Kecamatan Cikancung (40%), Nagreg (21%) dan Cicalengka (19%). Usahatani jagung juga menyebar di seluruh kecamatan dengan proporsi areal paling luas ada di Kecamatan Nagreg (33,5%). Kemudian proporsi areal usahatani ubikayu paling luas terdapat di Nagreg, yakni 1.196 ha (35,6%). Intensitas pengelolaan lahan kering tanaman pangan relatif masih rendah dengan indeks pertanaman (IP) 121%/tahun. Hal itu berarti lahan kering tegalan hanya dikelola sekitar satu musim tanam saja untuk tanaman pangan dalam setahun. Kisaran IP pada lahan tegalan antar wilayah kecamatan cukup tinggi, yakni antara 13%- 260% dengan C.V. = 72,2%. Pengelolaan lahan kering tanaman pangan paling intensif terdapat di Kecamatan Cikancung (IP =260%)
85
dan Nagreg (IP=237%), sementara pengelolaan lahan kering yang kurang intensif terdapat di Kecamatan Cicalengka (IP = 13%), Cimanggung (IP =36%) dan Cileunyi (IP =64%). Beberapa faktor penyebabnya adalah ketersediaan sumberdaya air, tenaga kerja, dan modal usahatani. Variasi produktivitas tanaman pangan pada tegalan relatif kecil. Hal tersebut menunjukkan teknologi usahatani tanaman pangan pada lahan kering oleh petani di wilayah Sub DAS Citarik relatif homogen, terutama pada usahatani padi ladang (C.V.=9%) dan kacang merah (C.V. =11,8%).
Sementara itu
produktivitas ubi jalar antar kecamatan relatif paling beragam (C.V. = 29,1%). Berdasarkan Rumus Persamaan (1) dan data Lampiran 4 nilai ekonomi komoditas yang dihasilkan dari tegalan Sub DAS Citarik dapat dihitung sebagaimana hasilnya disajikan pada Tabel 19. Nilai komoditas pertanian yang dihasilkan dari tegalan seluas 9.846 ha adalah Rp 53,68 milyar. Nilai ekonomi tersebut diperoleh berdasarkan harga gabah Rp 1.525/kg, jagung Rp 900/kg, ubi kayu Rp 360/kg, ubi jalar Rp 650/kg, kacang merah Rp 2.325/kg, dan kedelai Rp 2.100/kg. Nilai ekonomi komoditas jagung memberikan kontribusi paling besar (33,2%), diikuti oleh ubikayu (26,4%) dan kacang merah (11,3%). Dengan demikian rata-rata nilai ekonomi lahan kering (tegalan) Sub DAS Citarik berdasarkan komoditas yang dihasilkannya adalah Rp 5,44 juta/ha/tahun. Berdasarkan luas lahan tegalan yang dikonversi tahun 2003 seluas 664,9 ha, maka nila manfaat produksi yang hilang akibat konversi lahan tersebut mencapai Rp 3,62 milyar. Apabila konversi lahan tegalan tersebut berlanjut dengan laju yang sama (konstan 6,7%/th) maka potensi kehilangan manfaat dari nilai produksi pertanian akan semakin besar sebagaimana disajikan pada Gambar 14. Manfaat nilai produksi pertanian yang hilang akibat konversi tegalan tersebut meningkat dari
86
Rp 3,62 milyar (tahun pertama), Rp 7,25 milyar (tahun kedua), Rp 11,35 milyar (tahun ketiga) dan Rp 37,76 milyar (tahun ke 12) dengan nilai kini (present value) Rp 119,2 milyar. Besaran tersebut merupakan kumulatif nilai kini manfaat produksi pertanian yang hilang akibat konversi lahan tegalan yang berlanjut selama 12 tahun dengan total luas tegalan yang dikonversi sekitar 6.930 ha. Tabel 19. Nilai padi dan palawija hasil usahatani tegalan di Sub DAS Citarik PadiLadang
Jagung
Ubikayu
Ubi jalar
Kacangmerah
Kedelai
Kecamatan
Rp Milyar
...........................Ton........................... Cikancung 1.512 2.847 Cicalengka 767 3.113 Nagreg 720 6.848 Rancaekek 56 Cileunyi 1.114 Cilengkrang 241 823 Cimenyan 1.383 Paseh 161 657 Jatinangor 564 Cimanggung 1.378 Tanjungsari 138 1.044 Total 3.539 19.827 Sumber: BPS, 2003 (diolah)
6.332 6.655 15.121 40 2.556 1.496 1.823 416 1.046 1.325 2.596 39.404
670 1.860 59 505 2.018 961 98 343 1.251 7.764
12000
1.681 1.685 42 507 599 260 7.775
50 50
40 35
10000
Ha
25
6000
20 15
4000
Rp Milyar
30 8000
10 2000
5
0
0 0 1 2
3 4
5
6 7
Tahun ke:
Nilai pasar
8 9 10 11 12 Luas LK Konversi LK NPLH hilang
Gambar 14. Potensi nilai produksi pertanian yang hilang akibat konversi tegalan di Sub DAS Citarik
7,58 11,49 16,62 0,06 2,06 3,15 4,60 2,22 0,95 2,04 2,90 53,68
87
5.1.2. Nilai ekonomi fungsi penyedia lapangan kerja Lahan pertanian, baik sawah maupun tegalan mempunyai fungsi sebagai penyedia lapangan pekerjaan baik pada kegiatan budidaya (on-farm), pasca panen (off-farm) maupun perdagangan dan distribusinya (out of farm). Fungsi tersebut sangat penting dalam menyerap angkatan kerja setempat (lokal) maupun wilayah (regional). Hasil wawancara dengan pengurus kelompok tani dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) menunjukkan bahwa secara akuntansi usahatani padi sawah masih menguntungkan dengan perbandingan antara penerimaan dengan biaya (R/C) sekitar 1,17 - 1,49 tergantung pada musim tanam (Lampiran 5). Nilai keuntungan usahatani padi tersebut akan semakin tinggi manakala status lahan garapannya berupa hak milik. Menurut pengalaman petani apabila sumberdaya air (pengairan) tersedia ada kesempatan untuk menanam padi selama tiga musim tanam dalam setahun, yakni Musim Hujan (Nopember/Desember Februari/Maret), musim kemarau pertama (MK1: Februari/Maret - Juni/Juli), dan musim kemarau kedua (MK2: Juli/Agustus- Oktober/Nopember). Namun demikian pada kenyatannya sulit sekali bagi petani untuk menanam padi sawah selama tiga kali musim tanam (panen) selama satu tahun. Pada umumnya praktek usahatani pada lahan sawah apabila sumber daya air masih memungkinkan adalah dua kali musim tanam padi ditambah dengan satu musim tanam palawija. Berbagai kegiatan usahatani padi sawah memerlukan curahan tenaga kerja, seperti perbaikan pematang, pengolahan tanah, tanam, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman, pengairan, panen dan pasca panen (penjemuran dan pengangkutan). Sumber tenaga kerja usahatani padi sawah adalah tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja upah. Secara umum semakin luas lahan sawah garapan akan semakin besar proporsi
88
penggunaan tenaga kerja upah. Jenis tenaga kerja terdiri atas tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita dan tenaga mesin. Alokasi penggunaan tenaga kerja tersebut sudah bersifat spesifik, misalnya tenaga pria berkaitan dengan kegiatan pengolahan tanah, pemupukan dan penyemprotan hama dan penyakit, pengairan dan pengangkutan; sementara itu tenaga wanita berkaitan dengan kegiatan tanam, penyiangan, dan panen. Tenaga mesin seperti traktor digunakan untuk pengolahan tanah dengan tenaga pria sebagai operatornya, sedangkan alat/mesin perontok gabah digunakan untuk panen dengan tenaga pria atau wanita sebagai operatornya. Demikian pula alat penyiangan padi sawah bisa dioperasikan oleh tenaga pria atau wanita. Usahatani padi sawah menyerap tenaga kerja 301,7 hari kerja pria (HKP)/ha/tahun (Tabel 20). Berdasarkan sumbernya tenaga kerja tersebut terdiri atas tenaga keluarga (31,4%) dan tenaga upah (68,6%), sedangkan berdasarkan jenisnya terdiri atas tenaga pria (61,5%) dan tenaga wanita (38,5%). Keperluan tenaga kerja untuk usahatatani tanaman palawija, khususnya jagung pada lahan sawah berkisar antara 50,3 - 61,0 HKP dengan rata-rata 57,2 HKP/ha. Penyerapan tenaga kerja tersebut relatif lebih tinggi daripada rekomendasi teknologi usahatani jagung sebesar 40,3 HKP/ha (BPTP 2005) atau hasil kajian Manti dan Hendayana (2005) sebesar 51,0 HKP/ha. Mengingat IP jagung pada lahan sawah 28% maka penyerapan tenaga kerja untuk usahatani jagung tersebut pada lahan sawah adalah 16,0 HKP/ha/tahun. Dengan demikian jumlah tenaga kerja yang dapat diserap pada usahatani lahan sawah adalah 317,7 HKP/ha/tahun. Berdasarkan Rumus Persamaan (2) dan tingkat upah Rp 28.000/HKP maka nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja mencapai Rp 8.895.600. Apabila hari kerja seorang pekerja tetap adalah 260 hari/tahun maka kesempatan kerja yang disediakan oleh satu hektar lahan sawah adalah 1,2 orang. Berdasarkan luas
89
lahan sawah yang dikonversi tahun 2003 maka kesempatan kerja yang hilang akibat konversi lahan sawah tersebut mencapai 1.106 orang. Kesempatan kerja yang hilang tersebut akan lebih besar apabila jenis-jenis pekerjaan lain (hulu-hilir) yang terkait dengan usahatani padi sawah diperhitungkan, seperti kegiatan pembuatan dan distribusi sarana produksi padi, distribusi dan penjualan gabah/beras, pengolahan makanan berbahan baku beras, dan lainnya. Tabel 20. Sumber dan jumlah tenaga kerja pada usahatani padi sawah, Sub DAS Citarik No
Sumber dan jenis tenaga kerja
Satuan
Jumlah
1
Tenaga kerja (TK) pria
HKP/ha/th
205,2
2
Tenaga kerja (TK) wanita
HKW/ha/th
128,7
3
Proporsi TK pria keluarga
%
42,2
4
Proporsi TK pria upah
%
57,8
5
Proporsi TK wanita keluarga
%
9,4
6
Proporsi TK wanita upah
7
Total TK setara pria
8 9
%
90,6
HKP/ha/th
301,7
Proporsi TK keluarga setara pria
%
31,4
Proporsi TK upah setara pria
%
68,6
Sumber: Data primer
Apabila konversi lahan sawah berlanjut maka potensi kesempatan kerja yang hilang tersebut akan meningkat dari 1.126 orang (tahun pertama), 2.254 orang (tahun kedua), 3.289 orang (tahun ketiga) dan 9.950 orang pada tahun ke 12 (Gambar 15). Hal itu juga berarti akan terjadi pengangguran di pedesaan atau gelombang urbanisasi apabila tidak ada penyerapan angkatan kerja oleh sektor lain di sekitar pedesaan. Bagi masyarakat, khususnya angkatan kerja di pedesaan hilangnya kesempatan kerja akibat konversi lahan sawah berarti tidak ada penerimaan upah. Berdasarkann nilai upah kerja yang berlaku potensi nilai upah yang hilang akibat konversi lahan sawah akan meningkat dari Rp 8,2 milyar (tahun pertama)
90
menjadi Rp 16,4 milyar (tahun kedua) dan Rp 72,4 milyar (tahun ke 12) dengan
12000
12000
10000
10000
8000
8000
6000
6000
4000
4000
2000
2000
0
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tahun ke:
Orang
Ha
nilai kini Rp 237,4 milyar.
Luas saw ah Konversi saw ah KK hilang
Gambar 15. Potensi kesempatan kerja (KK) yang hilang (orang) akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik Penyerapan tenaga kerja pada usahatani lahan tegalan dipengaruhi oleh jenis tanaman dan kondisi lahan. Sebagaimana disajikan pada analisis willingness to accept (WTA) pada Bab VI para petani mencurahkan tenaga kerja sebanyak 16 hari kerja/ha untuk pemeliharaan komponen konservasi tanah dan air yang dilakukan pada awal musim tanam. Selanjutnya curahan tenaga kerja untuk budidaya tanaman pangan pada lahan kering berdasarkan hasil kajian Prajitno et al. 2005 (www.bptp-jatim-deptan.go.id) adalah 116 HOK/ha. Besaran curahan kerja tersebut merupakan rata-rata dari usahatani tanaman pangan dengan pola tanam : padi ladang-jagung+ubikayu dan kacang tanahjagung+ubikayu. Dengan demikian kesempatan kerja pada lahan kering tanaman pangan adalah 132 HOK/ha/tahun. Oleh karena itu potensi upah kerja yang hilang akibat konversi lahan tegalan mencapai Rp 3.696.000/ha.
91
Berdasarkan luas tegalan yang dikonversi pada tahun 2003 (664,9 ha) maka kesempatan kerja yang hilang akibat konversi lahan tersebut mencapai 338 orang. Jumlah kesempatan kerja yang hilang tersebut akan meningkat sejalan dengan luas tegalan yang dikonversi pada tahun-tahun berikutnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa apabila konversi tegalan berlanjut dengan laju yang konstan seperti tahun 2003 dan tidak ada penyerapan angkatan kerja pedesaan oleh sektor lain atau kondisi lain tidak berubah maka pengangguran akan bertambah sebanyak 675 orang (tahun kedua) dan 3.176 orang (tahun ke 12) sebagai akibat hilangnya kesempatan kerja (Gambar 16). Secara nominal nilai ekonomi kesempatan kerja dalam bentuk upah kerja yang hilang tersebut sekitar Rp 2,1 milyar (tahun pertama) meningkat jadi Rp 4,2 milyar (tahun kedua), dan Rp 19,8 milyar (tahun ke 12) dengan nilai kini Rp 62,9 milyar. Berdasarkan analisis di atas maka dampak konversi lahan pertanian terhadap hilangnya kesempatan kerja tersebut perlu mendapat perhatian yang serius karena akan menimbulkan gelombang urbanisasi dan pengangguran terbuka di wilayah pedesaan. Di sisi lain kesempatan kerja yang bidang nonpertanian yang akan timbul akibat konversi lahan tersebut mungkin saja tidak tersedia bagi penduduk pedesaan yang umumnya petani dengan berbagai keterbatasannya, termasuk pengetahuan, pendidikan dan keahlian.
12000
7000
10000
6000 5000
8000
4000 6000
3000
4000
2000
2000
1000
0 0 1
2 3
4 5
6 7 8
Tahun ke:
Kes.kerja hilang (orang)
Lahan kering (ha)
92
0 9 10 11 12 Luas LK Konversi LK KKLH hilang
Gambar 16. Potensi kesempatan kerja yang hilang (KKLH) akibat konversi tegalan di Sub DAS Citarik 5.1.3. Nilai ekonomi fungsi stabilitas ketahanan pangan Ketahanan pangan adalah ketersediaan bahan makanan dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, dapat diperoleh dengan harga yang terjangkau pada waktu yang diperlukan. Pengertian tersebut mengindikasikan ada beberapa variabel terkait dengan ketahanan pangan, yakni jumlah (kuantitas), mutu (kualitas), harga, dan distribusinya (pemerataan). Dengan demikian ketahanan pangan suatu wilayah akan semakin baik apabila jumlah pangan yang tersedia mencukupi kebutuhannya, mutunya baik dalam arti aman dikonsumsi, harganya terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan pangan tersebut selalu tersedia setiap saat diperlukan. Analisis ketahanan pangan dalam penelitian
ini
hanya
memperhatikan
variabel
ketersediaan
dengan
menitikberatkan pada komoditas beras. Pertimbangan utamanya adalah ketersediaan merupakan salah satu faktor pra-syarat penting untuk tercapainya ketahanan pangan, selain itu beras merupakan pangan utama penduduk wilayah setempat.
93
Ketersediaan beras dipengaruhi oleh tingkat produksi dan konsumsi beras. Menurut Malian et al. (2004) produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya, impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil, dan harga beras domestik, sedangkan konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras domestik, impor beras tahun sebelumnya, nilai tukar riil dan harga jagung pipilan di pasar domestik, dan harga beras domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga dasar gabah, dan harga jagung pipilan di pasar domestik. Dalam analisis simulasi stabilitas ketahanan pangan hanya faktor produksi yang dipengaruhi oleh produktivitas, indeks pertanaman, rendemen beras, serta konsumsi yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita saja yang diperhitungkan. Kebutuhan beras untuk konsumsi masyarakat di wilayah Sub DAS Citarik dapat dipasok dari produksi beras setempat maupun dari wilayah lain melalui kegiatan
perdagangan
regional
atau
impor.
Pengadaan
beras
secara
swasembada memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan mengandalkan pasokan beras dari luar wilayah, antara lain : (1) kualitas dan keamanan beras yang dikonsumsi dapat diketahui dengan lebih baik, (2) proses distribusi beras lebih sederhana, (3) gejolak ketidak-pastian konsumen dapat ditekan sekecil mungkin, dan (4) memanfaatkan sumberdaya manusia dan lahan pertanian yang tersedia secara optimal. Pada tahun 2003 produksi beras wilayah Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung mencapai 63.570 ton. Sumber produksi beras tersebut berupa padi sawah (94,4%) dan padi ladang (5,6%). Kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk
wilayah
setempat
mencapai
91.590
ton.
Dengan
demikian
ketersediaan beras wilayah tersebut dicirikan oleh tingkat kecukupan beras 69% atau ketergantungan terhadap beras "impor" dari luar wilayah mencapai 31%.
94
Berdasarkan data tahun 2003 dilakukan simulasi untuk menganalisis perkembangan produksi dan kebutuhan (konsumsi) beras serta luas lahan sawah di Sub DAS Citarik. Diagram alir Powersim (Gambar 17) didasarkan pada rumus persamaan (3), (4), dan (5) dengan indikator dan asumsi berikut: (1) luas sawah tahun awal adalah keadaan tahun 2003, yakni seluas 11.250 ha, (2) laju konversi lahan sawah 8,19%/tahun, (3) pertumbuhan penduduk 10,6%/tahun dengan laju penurunan 0,25%/tahun, (4) produktivitas padi sawah 5,33 ton/ha dengan peningkatan 1%/th, (5) indeks pertanaman padi sawah 171%/tahun dengan peningkatan 1%/th, (6) luas areal tanam padi ladang/tegalan 1.153 ha, (7) produktivitas padi ladang 2,76 - 3,00 ton/ha dengan IP 100%/tahun, (8) konsumsi beras per kapita 125 kg/ha/tahun, (9) rendemen beras 63,2%, (10) persentase susut dan penggunaan gabah untuk tujuan non-konsumsi 5%, dan (11) periode simulasi mulai tahun 2003 sampai tahun 2015. Indikator dan asumsi tersebut berdasarkan pada data BPS dan hasil kajian Nainggolan (2006). Algoritma simulasi disajikan pada Lampiran 6 dan hasilnya disajikan pada Gambar 18, 19, dan 20. Perkembangan produksi dan konsumi beras tanpa adanya konversi lahan sawah sudah menunjukkan terjadinya defisit produksi terhadap konsumsi beras yang semakin besar (Gambar 18). Produksi beras meningkat dari 63.570 ton (tahun pertama) menjadi 80.100 ton(tahun ke 12), sedangkan pada periode yang sama kebutuhan beras untuk konsumsi meningkat dari 91.590 ton menjadi 270.700 ton. Dengan demikian terdapat peningkatan defisit produksi terhadap konsumsi beras dari 28.020 ton menjadi 190.000 ton. Hal tersebut terjadi karena peningkatan
jumlah
kebutuhan
beras
untuk
konsumsi
sebagai
akibat
pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi daripada peningkatan produksi beras yang bersumber dari produktivitas dan perluasan areal tanam melalui indeks pertanaman padi. Dalam kondisi tersebut sangat tidak mungkin untuk melakukan swasembada beras tanpa perluasan areal lahan sawah karena dengan hanya
95
intensifikasi diperlukan kanaikan produktivitas sebesar 48%/tahun untuk menyeimbangkan produksi dengan konsumsi beras. Kenyataan tersebut menunjukkan pentingnya mempertahankan lahan sawah yang masih tersedia dalam rangka penyediaan beras untuk mempertahankan ketahanan pangan pada tingkat 69% atau lebih bagi penduduk setempat.
300
12000
250
10000
200
8000
150
6000
100
4000
50
2000
Prod_brs Kon_brs Defisit Luas_sw h
12
8
10
6
4
0 2
0
0
Sawah (ha)
Beras (ribu ton)
Gambar 17. Diagram alir simulasi ketahanan pangan di wilayah Sub DAS Citarik
Tahun ke
Gambar 18. Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit beras (ribu ton) tanpa konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik, Jawa Barat Dampak konversi lahan sawah dengan laju yang sama (konstan) seperti tahun 2003 akan menyebabkan luas lahan sawah di Sub DAS Citarik menyusut dari 11.250 ha menjadi 4.035 ha (Gambar 19). Akibatnya terjadi penurunan produksi beras dari sekitar 63.570 ton (2003) menjadi 30.110 ton (2015).
96
Dibandingkan kebutuhan beras untuk konsumsi maka defisit ketersediaan beras akan meningkat dari 28.020 ton menjadi 240.590 ton. Apabila konversi lahan sawah terus berlanjut maka pada tahun 2015 lebih dari 89% kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk setempat akan tergantung pada pasokan beras
300
12000
250
10000
200
8000
150
6000
100
4000
50
2000
0
Sawah (ha)
Beras (ribu ton)
"impor" dari luar wilayah.
Prod_brs Kon_brs Defisit Luas-sw h
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tahun ke
Gambar 19. Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit beras (ribu ton) serta luas luas sawah (ha) akibat konversi lahan, Sub DAS Citarik
Penyediaan pangan dengan upaya swasembada beras di Sub DAS Citarik sudah relatif sulit dilakukan. Hal tersebut karena beberapa hal berikut: (1) pada saat ini (tahun 2003) ketergantungan terhadap pasokan beras luar wilayah sudah cukup tinggi (31%), (2) laju pertumbuhan penduduk tinggi (>8%/tahun), (3) produktivitas dan indeks pertanaman padi sawah sudah tergolong cukup tinggi sehingga sulit ditingkatkan lagi, dan (4) peluang perluasan areal sawah sangat kecil. Namun demikian upaya pengendalian konversi lahan sawah masih mempunyai manfaat untuk mempertahankan ketahanan pangan pada tingkat swasembada beras 69%. Sebaliknya apabila konversi lahan sawah dibiarkan terjadi maka status swasembada beras tersebut akan menurun sampai tingkat 11%.
97
Berdasarkan Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dihitung berkurangnya produksi beras akibat konversi lahan sawah seluas 921 ha pada tahun pertama mencapai 5.150 ton. Jumlah tersebut diperoleh dari produksi beras tanpa konversi lahan sawah (64.880 ton) dan produksi beras setelah konversi lahan sawah (59.730 ton). Angka (5.150 ton beras) tersebut merupakan jumlah pengadaan beras yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau masyarakat setempat pada tahun pertama untuk mempertahankan ketahanan atau swasembada pangan pada tingkat 69%. Nilai pengadaan beras tersebut pada harga beras Rp 4.000/kg setara dengan Rp 20,6 milyar atau Rp 22.366.992/ha. Besaran dan nilai kehilangan produksi beras untuk mempertahankan ketahanan pangan tersebut akan terus meningkat secara eksponensial karena sifat kumulatif dampak konversi lahan sawah yang terjadi setiap tahun. Ilustrasi dampak konversi lahan sawah terhadap penurunan produksi padi dan penawaran beras pada tahun-tahun berikutnya disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan ilustrasi tersebut, apabila tidak ada pengadaan beras dari luar wilayah keseimbangan penawaran dan permintaan beras akan menurun dari Q3, Q2, Q1 dan Q0 dengan harga keseimbangan pasar meningkat dari H1 ke H2. Mengingat beras adalah makanan pokok penduduk maka setiap kekurangan produksi atau pasokan harus segera diatasi dengan melakukan pengadaan dari luar wilayah, termasuk impor. Agar keseimbangan pasar stabil pada posisi kuantitas Q3 dan harga H1 maka jumlah beras yang harus dipasok dari luar wilayah harus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan konversi lahan sawah yang terus berlangsung dan peningkatan jumlah permintaan beras yang terus meningkat sebagai akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Sebagaimana disajikan pada Gambar 21 nilai pengadaan beras untuk mempertahankan ketahanan pangan tersebut meningkat dari Rp 20,6 milyar (tahun pertama)
98
menjadi Rp 40,1 milyar (tahun kedua) dan Rp 200,0 milyar (tahun ke 12) dengan nilai kini (present value) Rp 521,57 milyar. Besaran tersebut merupakan nilai kini yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau masyarakat setempat untuk pengadaan beras sebagai dampak berlanjutnya konversi lahan sawah sebanyak 8,19%/tahun agar ketersediaan beras stabil pada tingkat 69%. Fenomena tersebut, yakni pengadaan beras untuk mengurangi kesenjangan anatara produksi dan konsumsi harus dilakukan setiap tahun.
S3 Harga Rp
D
S2 S1
H2
S0 H1
0
Q0
Q1 Q2
Q3
Q-beras
100
250
80
200
60
150
40
100
20
50
0
Rp Milyar
Beras (ribu ton)
Gambar 20. Ilustrasi dampak konversi lahan sawah terhadap penurunan kurva penawaran beras di masa mendatang
Prod_K0 Prod_K1 Nilai_KP
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tahun ke:
Gambar
21.
Nilai ekonomi ketahanan pangan (Nilai_KP) melalui pengendalian konversi lahan sawah, Sub DAS Citarik
99
5.1.4.
Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir
Mitigasi (pengendalian) banjir lahan pertanian adalah kemampuan lahan pertanian untuk menahan air hujan sementara waktu selama dan sesaat setelah hujan terjadi. Air hujan yang jatuh ke lahan pertanian akan ditahan oleh kanopi atau tajuk tanaman (daun, dahan dan pohon), tergenang di permukaan tanah, dan/atau diserap oleh tanah melalui pori-pori tanah sehingga hanya sebagian kecil saja air hujan tersebut yang akan menjadi air aliran permukaan (run-off). Fenomena hujan yang jatuh kepada areal hutan memberikan gambaran yang sangat mudah untuk difahami. Hasil penelitian Asdak et al. (1998) menunjukkan hutan alami mempunyai daya intersepsi hujan dan aliran batang masing-masing 11,4% dan 1,4% dan sisa air hujan yang lolos (87,2%) akan terserap oleh serasah dan permukaan tanah. Tanaman palawija juga mempunyai daya intersepsi hujan yang berbeda tergantung pada jenis dan fase pertumbuhannya. Tanaman jagung dan kedelai mempunyai daya intersepsi hujan sekitar 3-9% pada fase pertumbuhan lambat dan 15-16% pada fase pertumbuhan cepat (Asdak 2002). Sebaliknya jika air hujan jatuh ke permukaan lahan terbangun seperti permukiman, kawasan industri, jalan dan jembatan maka sebagian besar air hujan tersebut akan segera menjadi air aliran permukaan karena tidak ada yang menahannya. Kemampuan lahan pertanian untuk menahan, menyerap dan menampung air hujan tersebut adalah daya sangga air. Ilustrasi mengenai hal tersebut disajikan pada Gambar 22. Besaran air hujan yang menjadi air aliran permukaan ditentukan oleh koefisien aliran permukaan, yakni persentase air hujan yang menjadi air aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jenis tanah, kemiringan lereng, curah hujan, intensitas hujan, dan jenis vegetasi. Secara umum koefisien aliran permukaan lahan hutan lebih kecil
100
daripada lahan pertanian dan koefisien air aliran permukaan lahan pertanian lebih kecil daripada lahan permukiman, kawasan industri, atau perkantoran dan jasa atau bisnis. Sebagaimana hasil kajian Chow (1964) nilai koefisien aliran permukaan dari berbagai bentuk penutupan lahan menunjukkan lahan-lahan terbangun seperti kawasan industri akan menghasilkan aliran permukaan sekitar 50 - 90% dari curah hujan tergantung pada kepadatan kawasan tersebut. Koefisien aliran permukaan pada wilayah pusat keramaian di perkotaan sekitar 70-95%, koefisien tersebut lebih tinggi daripada wilayah pusat keramaian di pedesaan (50-70%). Demikian halnya koefisien aliran permukaan pada jalan cukup besar, sekitar 70-95% tergantung kualitas jalannya (aspal atau tidak beraspal). Sebaliknya koefisien aliran permukaan pada wilayah yang belum dibuka seperti semak belukar dan taman relatif kecil, sekitar 10-30% (Lampiran 7). Sejalan dengan itu Khudori (2003) menyatakan untuk wilayah Bandung koefisien air aliran permukaan hutan sekitar 1%, daerah pertanian 20%, permukiman pedesaan dengan banyak pekarangan 30%, dan daerah bisnis perkotaan 80-90%. Di wilayah Kabupaten Bandung keofisien aliran permukaan meningkat
terus
sejalan
dengan
perkembangan
pembangunan
yang
mengkonversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Pada tahun 1960 koefisien aliran permukaan sekitar 32,5% dan meningkat menjadi 67,5% pada tahun 2003. Oleh karena itu dengan rata-rata curah hujan harian di wilayah Bandung 12,5 mm telah terjadi peningkatan volume air aliran permukaan dari 40,6 m3/ha/hari menjadi 84,4 m3/ha/hari. Dengan demikian potensi air aliran permukaan di wilayah Kabupaten Bandung dengan luas areal 3.073,7 km2 (307.370 ha) akan mencapai 25,9 juta m3/hari. Potensi air aliran permukaan tersebut akan lebih tinggi lagi apabila terjadi hujan maksimum yang dapat mencapai lebih dari 100 mm/hari sehingga volume air aliran sekitar 207,5 juta
101
m3. Volume air aliran permukaan tersebut jauh di atas kapasitas bendungan Saguling (15,6 juta m3) atau Cirata (34,5 juta m3), atau Jatiluhur (70,5 juta m3). Hamparan lahan sawah dapat dipandang sebagai kumpulan kolam-kolam alami yang dapat berfungsi sebagai dam-dam kecil yang mampu menampung dan menahan air hujan sebelum mengalir secara perlahan ke hilir (laut) melalui badan-badan air, seperti sungai, situ, dan danau. Fungsi lahan sawah tersebut akan semakin penting pada wilayah-wilayah yang intensitas curah hujannya cukup tinggi karena kemampuannya untuk mencegah terjadinya debit air aliran permukaan maksimum yang dapat menjadi penyebab banjir di wilayah hilirnya. Kemampuan lahan sawah untuk mengendalikan banjir atau daya sangga air dipengaruhi oleh luas areal dan perbedaan tinggi pematang dengan tinggi muka air genangan sebelum hujan. Peran tajuk padi dan daya serap tanah pada lahan sawah dalam menahan air hujan relatif kecil. Hal tersebut karena luas total permukaan daun padi relatif kecil dan kadar air tanah relatif dalam keadaan tetap jenuh. Tinggi pematang sawah di lokasi penelitian berkisar antara 16,2 - 21,5 cm dengan rata-rata 18,0 cm. Sementara itu tinggi genangan air pada lahan sawah sekitar 4,2 cm (Tabel 21). Oleh karena itu rata-rata daya sangga air lahan sawah sekitar 13,8 cm. Pada areal satu hektar (10.000 m2) daya angga air hujan lahan sawah tersebut adalah 1.380 m3/ha. Tinggi pematang merupakan salah satu faktor yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan daya sangga air lahan sawah. Variasi tinggi pematang sawah sangat dipengaruhi oleh kebiasaan petani dalam mengelola usahatani. Petani yang biasa membudidayakan ikan pada lahan sawahnya (mina-padi) cenderung membuat pematang sawah lebih tinggi, bahkan di beberapa tempat ada pematang sawah yang diperkuat dengan tembok dan lebih tinggi. Ilustrasi mengenai hal ini disajikan pada Gambar 23.
102
Gambar 22 dan 23 (pada File tersendiri: Gambar 22 dan 23 Bab V)
103
Jika dibandingkan dengan daya sangga air lahan sawah di Korea Selatan dan Jepang, besaran daya sangga air lahan sawah di lokasi penelitian jauh lebih rendah. Di Korea Selatan daya sangga air lahan sawah mencapai 2.376 m3/ha (Eom & Kang 2001). Tingginya daya sangga air lahan sawah di kedua negara tersebut antara lain karena relatif tingginya pematang sawah. Sebagai gambaran tinggi pematang sawah di Ishibu Terraced Paddy Field, wilayah Shizuoka sekitar 26 - 40 cm. Tabel 21. Tinggi pematang dan genangan air pada lahan sawah, Sub DAS Citarik (cm) Ulangan tinggi pematang Lokasi Pengukuran 1. Ds. Narawita /Cicalengka
1 17,8
2 18,4
3 17,2
Ratarata 17,8
2. Ds. Cikancung
19,4
17,5
16,5
17,8
3. Ds. Cilengkrang
21,5
16,2
18,3
18,7
4. Ds. Bojongloa/Rancaekek
17,5
15,8
19,6
17,6
5. Ds. Cibeunying/Cimenyan
18,0
18,8
17,8
18,2
18,8
17,3
17,9
18,0
Rata-rata
1. Ds. Narawita /Cicalengka
Ulangan tinggi air genangan Ratarata 2 3 1 3,5 0,0 4,0 2,5
2. Ds. Cikancung
3,0
4,5
5,0
4,2
3. Ds. Cilengkrang
4,0
5,2
0,0
3,1
4. Ds. Bojongloa/Rancaekek
6,5
7,0
8,6
7,4
5. Ds. Cibeunying/Cimenyan
2,5
4,0
5,3
3,9
Rata-rata 3,9 4,1 4,6 Perbedaan tinggi pematang dengan genangan air (cm)
4,2 13,8
Nama Lokasi
Sumber: Data primer (hasil pengukuran lapangan)
Daya tampung air hujan beberapa bentuk penggunaan lahan telah dikaji oleh Agus et al. (2003). Hasil penelitian tersebut menunjukkan lahan hutan mempunyai daya sangga air paling tinggi (15,1 cm), kemudian lahan perkebunan
104
(11,4 - 12,5 cm) dan kebun campuran (11,5 cm). Terkait dengan penilaian ini hasil peneltian tersebut yang digunakan adalah daya sangga air pada lahan tegalan (4,8 cm) dan kawasan terbangun (2,0 cm) sebagaimana disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan daya sangga air terebut apabila terjadi konversi lahan sawah menjadi tegalan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan jumlah air yang dapat ditampung setinggi 9,0 cm (13,8 cm - 4,8 cm) atau 900 m3/ha. Apabila konversi lahan sawah tersebut menjadi kawasan
terbangun,
terutama
permukiman
dan
daerah
industri
maka
kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian yang hilang tersebut setara dengan 1.180 m3/ha (13,8 cm - 2,0 cm x 10.000 m2). Demikian halnya jika terjadi konversi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun akan menghilangkan kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan 280 m3/ha.
10.0
DSP (Cm)
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 Sawah
Tegalan
Kws.terbangun
Penggunaan lahan
Gambar 24. Daya sangga air lahan sawah, tegalan dan kawasan terbangun (Sumber : Agus et al. 2003) Di sisi lain kehilangan sumberdaya air tersebut menyebabkan hilangnya salah satu sumber air baku yang dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi air bersih. Belakangan ini sumber air baku di berbagai tempat termasuk di Wilayah Bandung Selatan semakin langka, sehingga terjadi krisis air bersih. Oleh karena itu kehilangan sumber air baku sebagai akibat konversi lahan pertanian yang
105
menurunkan daya sangga air pada lahan pertanian tersebut sangat penting dan relevan untuk dinilai. Penilaian terhadap air baku tersebut dapat dilakukan dengan melihat besaran pajak pengambilan air baku untuk pengolahan air bersih seperti yang dilakukan oleh Perusahaan Air Minum (PAM/PDAM). Mengacu pada hasil penelitian Wahyunto, dkk. (2001) sebagian besar lahan sawah dan tegalan di Sub DAS Citarik dikonversi menjadi lahan terbangun maka dalam penilaian ini diasumsikan konversi lahan sawah dan tegalan tersebut menjadi lahan terbangun berupa permukiman dan kawasan industri. Pada kondisi ekstrim dimana seluruh lahan sawah di Sub DAS Citarik (11.250 ha) dikonversi menjadi kawasan terbangun, sementara keadaan lain tidak berubah (citeris paribus) maka dapat dihitung volume air yang tidak bisa lagi ditampung oleh lahan pertanian sebanyak 13,3 juta m3. Demikian juga apabila seluruh tegalan di Sub DAS Citarik (9.846 ha) dikonversi menjadi kawasan terbangun, citeris paribus, maka volume air yang tidak bisa ditampung lagi oleh lahan pertanian sekitar 2,7 juta m3. Pada kondisi yang paling ekstrim, yakni seluruh lahan sawah dan tegalan dikonversi menjadi kawasan terbangun maka jumlah volume air yang tidak bisa ditampung di wilayah Sub DAS Citarik akan mencapai 16,0 juta m3. Secara teoritis fungsi mitigasi banjir lahan sawah dan tegalan tersebut dapat diganti dengan membuat waduk atau bendungan yang dapat menampung air aliran permukaan yang tidak dapat ditampung oleh lahan pertanian tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut maka digunakan bendungan Saguling sebagai prototipe untuk menampung air aliran permukaan manakala konversi lahan sawah dan tegalan tersebut dibiarkan terus terjadi. Bendungan Saguling merupakan bendungan yang paling dekat dengan wilayah Sub DAS Citarik, berjarak sekitar 40 km dari Kota Bandung dan dibangun pada tahun 1985. Kapasitas bendungan Saguling sekitar 15,65 juta m3.
106
Berdasarkan kapasitas tampung, besaran biaya konstruksi dan masa pakainya rata-rata biaya penyusutan bendungan Saguling Rp 2.655/m3/tahun dan biaya pemeliharaannya Rp 50/m3/tahun (Agus et al. 2003). Mengacu pada Rumus Persamaan (6) dan data-data tersebut maka nilai fungsi mitigasi banjir lahan sawah dan tegalan dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir lahan sawah dan tegalan, Sub DAS Citarik Luas
Netto daya sangga air (m3)
Jeni lahan
Nilai fungsi mitigasi banjir
Ha
Per ha
Total per jenis lahan
Sawah
11.250
1.180
13.275.000
40,22
Tegalan
9.846
280
2.756.880
8,35
Rp milyar
Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir areal lahan sawah dan tegalan masingmasing sebesar Rp 40,22 milyar dan Rp 8,35 milyar. Dengan demikian nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir lahan sawah Rp 3.575.400/ha dan tegalan Rp 848.400/ha. Pada tahun 2003 konversi lahan sawah dan tegalan masing-masing 921,9 ha dan 664,9 ha; oleh karena itu manfaat yang hilang dari nilai mitigasi banjir lahan pertanian tersebut minimal sebesar Rp 3,86 milyar/tahun. Apabila konversi lahan sawah dan tegalan tersebut berlanjut dengan proporsi yang sama (konstan) maka potensi daya sangga air (DSA) lahan pertanian yang hilang akan semakin tinggi dan hal itu berarti biaya mitigasi banjir yang diperlukan juga akan meningkat (Gambar 25). Kapasitas daya sangga air yang hilang akibat konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun akan meningkat dari 1,3 juta m3 (tahun pertama), 2,5 juta m3 (tahun kedua) dan 11,4 juta m3 (tahun ke 12) dengan biaya mitigasi banjir yang diperlukan mencapai Rp 3,9 milyar (tahun pertama), Rp 7,7 milyar (tahun kedua) dan 34,4 milyar (tahun ke 12) dengan nilai kini (present value) sebesar Rp 112,28 milyar.
107
Nilai biaya mitigasi banjir berdasarkan konsep DSA tersebut hanya merupakan pendekatan dengan pertimbangan intensitas curah hujan tidak melebihi DSA lahan sawah. Apabila curah hujan melebihi DSA lahan sawah maka volume air aliran permukaan akan lebih besar dan biaya mitigasi banjirnya akan meningkat. Hasil pengamatan data curah hujan Station Cipaku/Paseh selama 47 tahun (1950-1996) menunjukkan peluang terjadinya hujan dengan intensitas 100 mm cukup tinggi, terutama pada bulan Januari (90%), Februari (83%), Maret (92%), April (90%), Nopember (85%), dan Desember (94%) (Ditjen Bangda, 2002). Pada curah hujan 100 mm atau lebih maka volume air aliran
36 33 30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 0
16000 14000 12000 Ha
10000 8000 6000 4000 2000 0
Rp M atau Juta M3
yang perlu dikendalikan untuk mitigasi banjir akan bertambah sekitar 200 m3/ha.
LP-Kon DSA-Hil Biaya-Mit
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Tahun ke:
Gambar 25. Potensi kehilangan daya sangga air (DSA-Hil: juta m3) dan biaya mitigasi banjir yang diperlukan (Biaya-mit : Rp Milyar) akibat konversi lahan sawah dan tegalan yang berlanjut (LP-Kon: ha), Sub DAS Citarik 5.1.5. Nilai ekonomi fungsi mitigasi erosi dan sedimentasi Sebagaimana daya sangga air, besaran erosi pada berbagai bentuk penggunaan lahan juga berbeda-beda. Pada penggunaan lahan yang ekstrim seperti hutan, erosi tanah yang terjadi akan sangat minimal atau kecil sekali. Hal tersebut karena pada lahan hutan terdapat tajuk (kanopi) yang bertingkat, serasah yang tebal menutupi permukaan tanah, dan kapasitas infiltrasi tanah
108
yang tinggi. Dengan demikian permukaan tanah pada lahan hutan sangat terlindung dari daya rusak butiran air hujan maupun air aliran permukaan, sehingga erosi pada lahan hutan primer umumnya kurang dari 3 ton/ha/tahun (Agus et al. 2005). Dengan perkataan lain hutan merupakan bentuk penggunaan lahan yang mempunyai daya pengendali erosi tinggi. Sebaliknya daya pengendali erosi usahatani tanaman pangan semusim pada lahan kering berlereng dan tanpa teknik KTA relatif rendah karena erosinya relatif tinggi. Sebagaimana hasil kajian Proyek UPLDP erosi pada usahatani tanaman pangan semusim pada lahan kering berlereng di Sub DAS Citarik berkisar antara 198,5 557,7 ton/ha/tahun. Hal tersebut karena permukaan tanah pada usahatani tanaman pangan semusim rentan terhadap daya rusak butiran air hujan dan air aliran permukaan. Proses erosi pada lahan sawah sangat berbeda dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Erosi pada lahan sawah tidak tergantung pada intensitas curah hujan karena genangan air pada petakan sawah berfungsi sebagai pelindung permukaan tanahnya. Kegiatan pengolahan tanah merupakan penyebab terjadinya erosi pada lahan sawah. Namun demikian pada hamparan lahan sawah yang berteras petakan-petakan sawah dapat berfungsi sebagai filter atau penyaring tanah sehingga butiran tanah yang terdispersi atau sedimen yang terbawa air sebagian besar akan terdeposisi pada petakan-peatakan sawah yang ada dibawahnya. Demikian halnya jika air irigasi yang masuk ke petakan sawah mengandung lumpur (sedimen) ternyata butiran tanah yang keluar dari petakan sawah tersebut jauh lebih kecil daripada yang masuk. Hal ini sudah diteliti oleh Kundarto et al. (2002). Sedimen yang masuk ke petakan sawah melalui air irigasi selama dua musim tanam mencapai 9,61 ton/ha, tetapi erosi yang keluar dari petakan sawah hanya 1,37 ton/ha atau daya saring petakan sawah tersebut mencapai 85,7%.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa butiran tanah
109
(sedimen) yang mengendap pada petakan sawah jauh lebih besar daripada sedimen yang keluar dari petakan tersebut. Foto pada Gambar 26 memberikan ilustrasi peran petakan sawah sebagai penyaring sedimen. Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan telah diteliti oleh Sutono et al. (2003). Penelitian tersebut menggunakan model penduga erosi USLE di wilayah hulu DAS Citarum (Daerah tangkapan air Saguling). Erosi pada lahan sawah relatif kecil (0,33 ton/ha/tahun) dan masih dapat dibandingkan dengan erosi pada hutan (0,13 ton/ha/tahun). Erosi pada tegalan yang umumnya berupa usahatani tanaman pangan semusim, kebun campuran dan semak belukar masing-maisng 22,02; 8,40; dan 1,12 ton/ha/tahun (Tabel 23). Kemudian hasil penelitian Rasid (2005) menyimpulkan erosi dari areal permukiman di wilayah Sub DAS Cikapundung Hulu, Bandung sekitar 13,8 ton/ha/th. Fenomena tersebut menunjukkan jika lahan sawah semakin luas dikonversi akan semakin besar potensi erosinya, kecuali lahan sawah tersebut dikonversi menjadi hutan. Tabel 23. Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan No Penggunaan lahan
ton/ha/th
1 Hutan
0,13
2 Sawah
0,33
3 Semak belukar
1,12
4 Kebun Campuran
8,40
5 Tegalan
22,02
Sumber : Sutono et al. (2003)
Tujuan konversi lahan sawah sebagaimana disajikan pada Tabel 6 (Bab IV) adalah untuk dijadikan lahan kering (28%) dan kawasan terbangun (72%). Namun demikian perubahan fungsi lahan sawah ke kawasan terbangun biasanya melalui tahapan pengeringan, pemberaan dan perataan tanah terlebih dahulu yang berpotensi meningkatkan laju erosi tanah. Oleh karena itu dalam perhitungan Rumus Persamaan (7) diasumsikan perubahan lahan sawah
110
menjadi lahan kering menyebabkan tambahan erosi tanah sebesar 71,3 ton/ha/th (Bab IV). Dengan demikian tambahan erosi tanah yang akan terjadi akibat seluas 921,9 ha lahan sawah dikonversi adalah 65.427 ton. Salah satu dampak erosi tanah yang dirasakan oleh masyarakat non-petani adalah pendangkalan sungai akibat sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi di Sungai Citarum bagian hulu sudah sedemikian rupa sehingga menjadi salah satu penyebab utama banjir di wilayah tersebut, seperti di Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Ciparay dan sekitarnya. Tambahan erosi sebesar 65.427 ton/tahun akibat konversi lahan sawah akan semakin meningkatkan jumlah sedimentasi dan pendangkalan pada badan sungai. Pendugaan jumlah sedimen dari tingkat erosi tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan konsep SDR (sediment delivary ratio). SDR adalah perbandingan antara massa sedimen yang "terekspor" keluar dari suatu DAS dengan total massa sedimen yang tererosi. Nilai SDR yang digunakan pada Rumus Persamaan (7) sebesar 0,32 mengacu pada hasil kajian Asdak (2002) dimana
besaran
nilai
SDR
tersebut
tergolong
moderat.
Rasid
(2005)
menggunakan SDR 0,55 untuk kajian di Sub DAS Cikapundung, Bandung. Dengan demikian tambahan sedimentasi yang akan timbul akibat konversi lahan sawah seluas 921,9 ha/tahun diperkirakan mencapai 20.937 ton/tahun. Erosi tanah dan sedimentasi pada badan air akan terus meningkat sejalan dengan laju konversi lahan sawah yang tidak terkendalikan, sebagaimana disajikan pada Gambar 27. Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah pendangkalan sungai adalah dengan kegiatan pengerukan.
Pada tahun 1994-2002 kegiatan
pengerukan Sungai Citarum telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Proyek Pengelolaan Wilayah Sungai (PWS) Citarum pada ruas badan Sungai Citarum
111
dari Nanjung - Sapan sepanjang 29 km. Jumlah sedimen yang dikeruk selama periode tersebut mencapai 6,6 juta m3.
700
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
600 400 300 200
Ribu ton
500
Kon.saw ah Erosi Sedimen
100
11 2
10
8
6
4
0
2
0
Ha
Gambar 26. Lahan sawah berteras mempunyai fungsi sebagai "filter" erosi tanah dari penggunaan lahan di atasnya
Tahun ke
Gambar 27. Potensi peningkatan erosi (ribu ton) dan sedimentasi (ribu ton) akibat konversi lahan sawah (ha) berlanjut di Sub DAS Citarik
112
Berdasarkan informasi hasil wawancara dengan Bagian Perencanaan PWS Citarum, Bandung (2005) biaya rata-rata pengerukan Sungai Citarum ruas badan sungai tersebut meningkat dari Rp 4.000/m3 (tahun 1994-1996), Rp 5.500/m3 (tahun 1997-1999) dan Rp 8.050/m3 (tahun 2000-2002). Dengan demikian satuan biaya pengerukan dengan menggunakan kapal keruk (dredger) untuk tahun selanjutnya (tahun 2003-2005) diperkirakan sekitar Rp 10.100/m3. Dengan demikian tambahan sedimentasi pada sungai tersebut memerlukan biaya pengerukan sekitar Rp 211,5 juta/tahun. Dampak lain dari kejadian erosi adalah berkurang atau hilangnya kesuburan tanah. Kesuburan tanah yang berkurang secara terus menerus dan tidak diperbaiki pada dasarnya sama dengan hilangnya lahan pertanian yang subur dan hal itu sulit untuk dipulihkan (irreversible). Dampak terhadap kesuburan tanah bersifat privat, tetapi dampak hilangnya hamparan lahan pertanian subur akan dirasakan oleh masyarakat sekitar, seperti hilangnya kesempatan berusaha pada lahan tersebut. Penilaian terhadap berkurangnya kesuburan tanah dan hilangnya lahan pertanian subur didekati dengan nilai unsur hara tanah yang terbawa oleh erosi. Hasil penelitian Kurnia et al. (1997) menunjukkan kadar unsur hara yang terbawa oleh tanah tererosi adalah N 1,407%; P 0,195%; dan K 0,331%. Pada tingkat tambahan erosi tanah yang terjadi akibat konversi lahan sawah sebesar 70,97 ton/ha/th maka unsur hara yang hilang setara dengan 998 kg N, 138 kg P, dan 235 kg K. Nilai unsur hara tersebut setara urea, SP36 dan KCl mencapai Rp 6.018.013/ha/th. Dengan demikian kerugian akibat konversi lahan sawah seluas 921,9 ha dalam bentuk hilangnya lahan pertanian subur diperkirakan mencapai Rp 5,550 milyar, sehingga nilai fungsi lahan sawah seluas 921,9 ha sebagai pengendali erosi dan sedimentasi adalah Rp 5,761 milyar atau Rp 6.247.376/ha.
113
Apabila konversi lahan sawah tersebut dibiarkan berlanjut setiap tahun dengan laju yang konstan maka biaya mitigasi erosi, sedimentasi dan kesuburan tanah yang diperlukan setiap tahun berkisar antara Rp 2,0 - Rp 5,8 milyar/tahun dengan nilai kini (present value) Rp 25,99 milyar (Gambar 28).
1000
Konversi sawah (ha)
7.0
800 700
6.0
600
5.0
500 400
4.0
300
3.0
200
2.0
100 0
Biaya mitigasi (Rp milyar)
8.0
900
Konversi_sw h Mitigasi_ESHr
1.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 28. Potensi biaya mitigasi erosi, sedimentasi dan kesuburan tanah yang diperlukan akibat konversi lahan sawah, Sub DAS Citarik Berdasarkan semua fungsi yang dinilai maka nilai ekonomi total lahan sawah, sesuai dengan Rumus Persamaan (8) mencapai Rp 47.991.476,/ha/tahun dan lahan kering Rp 6.300.360,-/ha/tahun (Tabel 24). Nilai ekonomi lahan sawah terdiri atas nilai produksi padi dan palawija yang menjadi sumber pendapatan petani (14,4%),
nilai kesempatan kerja (18,5%), nilai stabilitas
ketahanan pangan (46,6%), nilai mitigasi banjir (7,5%), dan nilai mitigasi erosi dan sedimentasi sungai (13,0%). Nilai ekonomi lahan kering terdiri atas nilai produksi pertanian yang menjadi sumber pendapatan (27,9%), nilai kesempatan kerja (58,7%), dan nilai mitigasi banjir (13,5%). Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah selain memberikan manfaat ekonomi sebagai sumber pendapatan kepada petani juga menghasilkan jasa lingkungan bagi masyarakat dengan nilai manfaat yang lebih besar. Demikian juga lahan kering, nilai manfaat jasa lingkungannya
114
hampir seimbang dengan nilai ekonomi privat yang langsung dirasakan oleh para petaninya.
Tabel 24. Total nilai ekonomi lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik (Rp/ha/th) %
Sumber pendapatan
Lahan Sawah 6.906.178
2
Penyerap tenaga kerja
3
Stabilitas ketahanan pangan/beras
4 5
%
14,4
Lahan kering 1.755.960
8.895.600
18,5
3.696.000
58,7
22.366.922
46,6
Td
Mitigasi Banjir
3.575.400
7,5
848.400
Mitigasi erosi dan sedimentasi
6.247.376
13,0
Td
47.991.476
100,0
6.300.360
No
Multifungsi
1
Total
27,9
13,5
100,0
Catatan : Td = tidak dinilai
Pada tingkat produktivitas padi sawah setara dengan 9.337 kg GKG /ha/tahun
(indeks
memperhitungkan
pertanaman seluruh
nilai
gabungan jasa
198%/th)
lingkungan
lahan
dan
dengan
sawah
tersebut
dikembalikan kepada petani maka harga gabah seharusnya ditingkatkan menjadi Rp 4.400/kg GKG atau Rp 2.625 lebih tinggi daripada harga pasar. Dikaitkan dengan rencana Pemerintah untuk memberikan subsidi kepada sektor pertanian (RAPBN 2007) sebesar Rp 12,9 trilyun yang diperkirakan sekitar 80% untuk lahan sawah atau Rp 10,320 trilyun berupa HPP, subsidi benih padi, HET pupuk dan bunga KKP maka rata-rata subsidi tersebut pada tingkat produksi padi nasional 51 juta ton GKG adalah Rp 202/kg. Secara kuantitas perhatian Pemerintah dalam bentuk subsidi tersebut relatif masih lebih kecil dari nilai manfaat jasa lingkungan pertanian. Di sisi lain dengan kebijakan impor beras dan tarif impornya Rp 430/kg maka secara finansial Pemerintah memperoleh penerimaan Rp 430 milyar untuk setiap 1 juta ton beras impor. Apabila nilai jasa lingkungan lahan sawah tersebut 50% saja yang diperhitungkan untuk dikembalikan kepada petani maka tambahan harga gabah
115
tersebut adalah Rp 1.338/kg di atas harga pasar atau total harganya menjadi Rp 3.063/kg GKG. Pada tingkat harga gabah tersebut penerimaan usahatani padi sawah akan mencapai Rp 31.280.300,-/ha/tahun dan dengan biaya usahatani sebesar Rp 9.700.000,-/ha/tahun akan diperoleh pendapatan usahatani sebesar Rp 21.580.300,-/ha/tahun. Tingkat pendapatan tersebut setara dengan Rp 1.798.360,-/ha/bulan atau Rp 899.179,-/bulan bagi petani pemilik penggarap lahan sawah dengan luas 0,5 ha. Pendapatan usahatani padi sawah dengan luas 0,5 ha tersebut sudah lebih tinggi daripada kisaran upah buruh pabrik tekstil (status pekerja menikah beranak satu) di Majalaya tahun 2006 (Rp 620.000 - Rp 671.000/bulan) atau indikator Kemampuan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Bandung sebesar Rp 742.554/bulan. Demikian juga untuk lahan kering. Pada tingkat produktivitas lahan kering yang ditanami palawija setara dengan 5.640 kg jagung pipilan/ha/th (IP 121%/th) dan 50% nilai jasa lingkungannya diperhitungkan sebagai tambahan manfaat bagi petani maka seharusnya petani dapat menikmati harga jual jagung sebesar Rp 806,-/kg di atas harga pasar. Artinya apabila harga jagung di tingkat petani beradasarkan harga pasar adalah Rp 900/kg maka petani berhak memperoleh harga jagung tersebut senilai Rp 1.706,-/kg. Nilai jasa lingkungan lahan sawah dan lahan kering tersebut akan lebih tinggi lagi apabila hasil multifungsi lahan pertanian yang lain dinilai, seperti penyegar (mitigasi panas) suhu udara, penyerap sampah atau bahan organik, penyedia oksigen dan penyerap karbon dioksida. Apabila nilai kini manfaat jasa lingkungan pertanian yang diperkirakan hilang akibat konversi lahan pertanian dan biaya usahatani yang diperlukan untuk mempertahankannya dihitung maka diperoleh gambaran sebagaimana disajikan pada Tabel 25. Nilai kini manfaat yang hilang akibat konversi lahan sawah seluas 8.142 ha sebesar Rp 1.264,07 milyar, sedangkan nilai kini biaya usahatani yang
116
diperlukan jika lahan sawah tersebut tetap dikelola adalah Rp 574,43 milyar. Demikian juga pada lahan kering, nilai kini manfaat yang hilang akibat konversi lahan tegalan seluas 6.066 ha mencapai Rp 195,67 milyar sedangkan nilai kini biaya usahataninya Rp 186,06 milyar. Biaya usahatani lahan kering terdiri atas biaya budidaya Rp 3,61 juta/ha/tahun dan biaya investasi penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa teras bangku (70%), teras gulud (20%) dan vegetatif (10%) sebesar Rp 4,678 juta/ha. Berdasarkan data Tabel 25 dapat dinyatakan bahwa konversi lahan sawah akan menimbulkan lebih banyak kerugian berupa hilangnya nilai manfaat multifungsi atau jasa lingkungan dibandingkan dengan besaran biaya yang diperlukan untuk mengelola usahataninya dengan perbandingan 2,2:1. Artinya satu unit biaya privat yang dikeluarkan oleh petani pada usahatani lahan sawah akan menghasilkan 2,2 unit satuan manfaat jasa lingkungan. Pada lahan kering tegalan perbedaan antara nilai kini manfaat jasa lingkungan yang diperkirakan hilang akibat konversi lahan dengan biaya usahatani yang diperlukan untuk mempertahankannya relatif kecil. Hasil analisis ini mendukung gagasan perlunya upaya untuk mempertahankan lahan sawah, sebaliknya lahan kering tegalan boleh menjadi pilihan pertama untuk dikonversi untuk keperluan non-pertanian. Tabel 25. Nilai kini (PV) potensi manfaat yang hilang akibat konversi lahan pertanian dan nilai kini biaya usahatani apabila lahan tersebut tidak dikonversi, Sub DAS Citarik Jenis lahan
Deskripsi Luas lahan dikonversi selama 12 tahun (ha) Nilai kini biaya usahatani (Rp milyar) Nilai kini potensi manfaat yang hilang (Rp milyar)
Sawah
Lahan kering
8.142
6.066
574,43
186,06
1.264,07
195,67
Selanjutnya implikasi kebijakan yang terkait dengan harga gabah adalah penetapan harga dasar gabah tidak cukup dengan hanya memperhatikan harga
117
beras di pasar internasional (FOB di Bangkok), harga sarana produksi (pupuk urea), dan inflasi, tetapi sudah sepantasnya memperhitungkan manfaat jasa lingkungan yang dihasilkan oleh lahan sawah. Sebagai perbandingan dapat ditelaah kebijakan harga gabah atau beras di Jepang. Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani di Ishibu Terrace Paddy Field, Suzuoka, Tokyo (Lampiran 8) petani menjual gabah ke pedagang setempat seharga ¥285/kg atau Rp 22.800/kg, sedangkan harga beras di pasar swalayan sekitar ¥ 350-400/kg atau Rp 30.000/kg. Pada waktu yang sama harga pupuk ¥ 48/kg dan bahan bakar (bensin) ¥ 116/liter. Dengan demikian nilai jual satu kilogram gabah di Jepang lebih dari nilai/harga 5 kg pupuk atau dua liter bahan bakar. Dalam hal ini Jepang telah memanfaatkan issu lingkungan hidup melalui konsep multifungsi pertanian sebagai salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam melindungi petani dan pertaniannya.
Perlindungan terhadap pertanian
adalah sama dengan perlindungan terhadap kualitas lingkungan. Pendekatan tersebut berhasil dilaksanakan karena masyarakatnya sangat mendukung kebijakan pemerintah, misalnya dalam bentuk sifat nasionalis yang tinggi untuk mengkonsumsi jenis beras Japonica, bersedia membayar harga beras yang hampir 10 kali lipat lebih mahal daripada harga beras internasional, dan memahami peran pertanian bagi lingkungan yang lebih luas.
5.2. Pengetahuan Responden Mengenai Multifungsi Lahan Pertanian Rumusan pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk menggali pengetahuannya mengenai multifungsi lahan pertanian adalah sebagai berikut: "Selain berfungsi sebagai media budi daya tanaman yang menghasilkan komoditas pertanian, seperti padi/beras, sayuran, buah-buahan sebagai bahan makanan dan serat sebagai bahan pakaian, lahan pertanian mempunyai multifungsi bagi lingkungan hidup. Menurut Bapak/Ibu, apa saja multifungsi lahan pertanian bagi lingkungan hidup tersebut?" (Contoh kuesioner disajikan pada Lampiran 9)
118
Jawaban responden atas pertanyaan tersebut cukup beragam berkisar dari satu sampai delapan aspek multifungsi pertanian. Secara umum responden peneliti relatif lebih banyak mengetahui multifungsi pertanian dibanding responden lainnya. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan para peneliti yang relatif lebih tinggi daripada pendidikan responden lainnya; selain itu bidang keahlian peneliti di bidang pertanian dituntut untuk terus ditingkatkan. Seperti disajikan pada Gambar 29 secara umum responden peneliti mengetahui hampir 4 aspek multifungsi pertanian. Jumlah tersebut relatif lebih tinggi daripada responden penyuluh (2,6), birokrat (2,4), petani padi sawah (1,8) dan petani lahan kering (2,0). Berdasarkan uji beda nilai tengah (t-test) pengetahuan responden peneliti berbeda nyata dengan responden lainnya pada taraf α 10%. Pengetahuan multifungsi pertanian antara penyuluh dan birokrat tidak berbeda nyata pada taraf α 10%, tetapi pengetahuan multifungsi pertanian kedua kelompok responden tersebut dengan petani berbeda nyata pada taraf α 10%. Pengetahuan multifungsi pertanian antara responden petani padi sawah dan petani lahan kering tidak berbeda nyata pada taraf α 10% (hasil uji nilai tengah disajikan pada Lampiran 10). Tingkat pengetahuan responden tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat Korea Selatan dan Taiwan mengenai hal yang sama. Berdasarkan hasil penelitian di Korea Selatan (EOM dan Kang 2001, Suh 2001) setidaknya ada 30 aspek multifungsi lahan sawah yang dikenal masyarakat Korea Selatan, baik yang bersifat positif maupun yang negatif. Kemudian Chen (2001) menyatakan bahwa masyarakat umum dan masyarakat pertanian di Taiwan telah mengenal 10 multifungsi lahan pertanian dan yang paling banyak diketahui masyarakat adalah fungsi pengendali banjir, penyedia sumberdaya air, dan pencegah erosi.
119
Ragam aspek multifungsi pertanian yang diketahui responden, khususnya penyuluh, birokrat dan petani relatif terbatas sebagai sumber pendapatan, penyedia lapangan pekerjaan, dan pemasok sumberdaya air, sedangkan sebagian responden peneliti sudah mengetahui fungsi lahan pertanian sebagai pengendali banjir dan erosi tanah, mitigasi suhu atau penyegar udara, tempat rekreasi dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity).
Sebagian kecil
responden peneliti dan birokrat menyebutkan dampak negatif pertanian, seperti sumber pencemaran badan air dan emisi gas methane. 5
Multifungsi (aspek)
4
3,9
3
2,6
2,4 1,8
2
2,0
1
0 Peneliti
Penyuluh
Birokrat
PetSwh
PetLkr
Status Responden
Gambar 29. Jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden berdasarkan statusnya Walaupun multifungsi pertanian merupakan suatu pengetahuan yang baru tetapi para petani telah mengetahui sekitar dua aspek multifungsi pertanian. Jumlah aspek multifungsi yang sudah diketahui oleh para petani tersebut sekitar 50%, 73% dan 79% dari jumlah aspek multifungsi pertanian yang diketahui masing-masing oleh responden peneliti, penyuluh dan birokrat pertanian. Jumlah aspek multifungsi pertanian yang sudah diketahui oleh responden peneliti lebih banyak daripada responden lainnya. Hal itu terkait dengan bidang keahlian,
120
pengetahuan dan wawasan para peneliti yang berkaitan dengan IPTEK pertanian. Secara statistik jumlah aspek multifungsi pertanian yang diketahui responden mempunyai korelasi nyata positif dengan statusnya sebagai peneliti dan penyuluh pertanian, tetapi berkorelasi nyata negatif dengan statusnya sebagai petani (Tabel 26). Artinya dibandingkan terhadap rata-rata pengetahuan mengenai jumlah aspek multifungsi pertanian para peneliti dan penyuluh relatif lebih baik, sebaliknya untuk para petani. Kemudian jenis kelamin mempunyai koefisien korelasi nyata negatif. Berdasarkan jenis kelamin, pengetahuan responden pria (nilai dummy 1=pria dan 0= wanita) nyata lebih rendah daripada wanita (taraf α 10%). Secara rata-rata responden pria hanya mengenal 2,2 aspek multifungsi pertanian, sementara responden wanita mengetahui 2,6 jenis (Gambar 30). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh sifat wanita yang lebih peduli terhadap lingkungan, tetapi juga dapat disebabkan oleh proporsi responden wanita yang relatif rendah, yakni hanya 20% dari seluruh sampel. Tabel 26. Koefisien korelasi antara banyaknya aspek MFP yang diketahui responden (SCRMFA) dengan beberapa variabel yang dianalisis T_hitung/ Variabel
ρ
P-value
Keterangan
Peneliti
0,1940
2,953 *)
Penyuluh
0,1927
2,933 *)
Birokrat
0,0915
1,372
Korelasi Spearman Korelasi Spearman Korelasi Spearman
Petani sawah
-0,2148
-3,284 *)
Korelasi Spearman
Petani lahan kering
-0,1597
-2,416 *)
Korelasi Spearman
Jenis kelamin
-0,1142
-1,717 *)
Korelasi Spearman
Umur
-0.1257
0,0598 +) Korelasi Pearson
0,4299
0,0001 +) Korelasi Pearson
Tingkat Pendidikan
Keterangan: *) nyata pada α 10% (DB = 223), +) P-value
121
Faktor lain yang berkorelasi nyata terhadap pengetahuan responden tentang aspek multifungsi pertanian adalah tingkat pendidikan dan umur responden. Secara statistik tingkat pendidikan responden berkorelasi positif yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden pengetahuan mengenai aspek multifungsi pertanian akan semakin tinggi juga, sebagaimana disajikan pada Gambar 31. Walaupun kecenderungannya semakin tinggi tingkat pendidikan responden akan semakin banyak aspek multifungsi pertanian yang akan diketahuinya tetapi pada tingkat pendidikan SLTA (12 tahun) aspek multifungsi pertanian yang diketahui sudah hampir sama dengan pengetahuan responden berpendidikan sarjana (16-18 tahun). Hal itu karena seseorang bisa saja mengetahui lebih banyak tentang sesuatu tanpa harus meningkatkan pendidikannya terlebih dahulu.
3.0
Multifungsi (aspek)
2.6 2.2 2.0
1.0 Pria
Wanita Jenis Kelamin
Gambar 30. Pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian berdasarkan jenis kelamin
122
Multifungsi (aspek)
3.5 3.0
2.8
2.7
2.5 2.0
1.8
1.7
1.5 1.0 NonSD
SD-SLP
SLTA
PT
Tingkat pendidikan
Gambar 31. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian Secara statistik berdasarkan koefisien korelasi pengetahuan responden yang lebih tua tentang aspek multifungsi pertanian akan lebih sedikit daripada responden yang lebih muda, sebagaimana disajikan pada Gambar 32.
Ada
kecenderungan multifungsi pertanian paling banyak diketahui oleh responden pada kelompok umur 40-49 tahun. Hal tersebut diduga ada kaitannya dengan terminologi multifungsi pertanian yang masih tergolong relatif baru sehingga umumnya dikenal oleh generasi usia muda.
3.0 Multifungsi (aspek)
2.3
2.4
2.4 2.0
2.0
1.6
1.0
0.0 < 30 th
30-39 th
40 - 49 th
50-60 th
> 60 th
Kelompok umur
Gambar 32. Hubungan antara kelompok umur dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian Tanpa memperhatikan status dan variabel sosial-ekonomi responden hubungan antara jumlah aspek multifungsi pertanian yang diketahui dengan
123
proporsi jumlah respondennya disajikan pada Gambar 33. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah responden yang mengetahui lebih banyak aspek multifungsi lahan pertanian semakin rendah. Sekitar 66% responden hanya mengetahui 1-2 aspek multifungsi pertanian. Hal itu semakin menguatkan hipotesis bahwa multifungsi pertanian merupakan suatu pengetahuan yang baru
%Responden
dan belum banyak diketahui oleh masyarakat.
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
8
Jumlah MFP yang Diketahui Responden (aspek)
Gambar 33. Hubungan jumlah aspek multifungsi pertanian yang diketahui responden (MFP) dan proporsi jumlah respondennya (%Responden)
Analisis
model
dugaan
fungsi
pengetahuan
responden
mengenai
multifungsi pertanian sebagaimana Rumus Persamaan (9) disajikan pada Tabel 27. Model dugaan tersebut dapat menjelaskan keragaman jumlah aspek multifungsi pertanian yang diketahui responden sebesar 84,1%. Pada tingkat ketelitian 90% (α =0,1%) ada 5 buah dari 8 variabel bebas (62,5%) dalam model yang mempunyai pengaruh nyata terhadap keragaman variabel tidak bebas, yakni jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden (dalam satuan rasio). Berdasarkan model tersebut secara statistik pengaruh status responden sebagai peneliti dan penyuluh pertanian tidak berbeda nyata dengan nol, sedangkan status responden birokrat dan petani padi sawah berpengaruh nyata negatif. Artinya pengetahuan aspek multifungsi pertanian antara petani lahan kering (sebagai dummy tandingan atas semua status responden tersebut)
124
dengan peneliti dan penyuluh pertanian tidak berbeda nyata, sebaliknya pengetahuan petani lahan kering lebih baik daripada birokrat dan petani padi sawah. Fakta statistik tersebut memang masih perlu kajian lebih lanjut. Hal yang menarik adalah pengaruh faktor pendidikan (PDKTH) terhadap pengetahuan
multifungsi
pertanian
bersifat
kuadratik.
Hal
ini
dapat
diinterpretasikan bahwa semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pengetahuannya, tetapi pada tingkat pendidikan tinggi tertentu pengetahuan mengenai multifungsi pertanian tersebut tidak selalu meningkat. Hasil statistik ini sesuai dengan analisis deskriptif sebagaimana disajikan pada Gambar 31 di atas.
Tabel 27. Hasil analisis regresi model pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian, 2005 Analisis Sidik Ragam Sumber Keragaman
DB
Model Error U_Total
8 217 225
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
19,340 3,665 23,005
Nilai_F
2,417 0,017
RMSE = 0,130 Dep.Mean= 0,283 R2 = 0,841 C.V. = 45,88
Peluang > |F|
143,156
0,0001
Adj. R2 = 0,835
Nilai parameter dugaan Variabel
DB
Koefisien Regresi
Standar Error
T_hitung
Peluang > |T|
PENELITI
1
0,0857
0,0064
1,329
0,1853
PENYULUH
1
-0,0536
0,0414
-1,295
0,1969
BIROKRAT
1
-0,1025
0,0515
-1,991
0,0477
PETSWH
1
-0,0426
0,0229
-1,863
0,0638
UMUR
1
0,0015
0,0006
2,496
0,0133
SEX
1
0,0119
0,0233
0,512
0,6095
PDKTH
1
0,0334
0,0067
5,001
0,0001
PDKTH2
1
-0,0008
0,0004
-1,755
0,0806
Variabel tak bebas : SCRMFA (rasio jumlah aspek MFP)
BAB VI ANALISIS WTP, WTA DAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN 6.1. Kemauan Masyarakat untuk Membayar Jasa Lingkungan Pertanian Kajian mengenai kemauan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan pertanian (WTP) mencakup lima aspek, yakni (1) pendapat responden mengenai penyebab banjir, (2) persepsi responden mengenai multifungsi pertanian, (3) besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (4) model persamaan regresi WTP, dan (5) mekanisme dan alat pembayaran WTP. 6.1.1. Pendapat responden mengenai penyebab banjir Menurut
responden
penyebab
banjir
yang
selalu
melanda
lokasi
perumahan mereka cukup beragam. Sebagian besar responden (57%) menyatakan penyebab banjir adalah pendangkalan Sungai Citarum dan anakanak sungainya. Pendangkalan sungai tersebut diyakini sebagai penyebab utama banjir karena adanya penumpukan atau pembuangan sampah oleh penduduk (52%) dan adanya lumpur atau erosi tanah (48%). Banjir juga terjadi karena wilayah resapan air hujan di wilayah bagian hulu sungai sudah berkurang atau rusak, sebagaimana dinyatakan oleh 26% responden. Penyebab banjir lainnya adalah penyempitan badan sungai (12%) dan pengelolaan sungai yang kurang tepat (5%) (Gambar 34). Penyempitan badan sungai terjadi akibat tumbuh dan
berkembangnya
bangunan
di sepanjang sepadan sungai,
sedangkan pengelolaan sungai dinilai kurang tepat oleh responden karena kegiatan pelurusan badan sungai yang mengakibatkan debit dan arus air sungai mengalir semakin cepat dan melebihi kapasitas daya tampung Sungai Citarum. Saat diminta pendapatnya mengenai cara penanggulangan banjir di wilayah
tersebut
para
responden
mengajukan
berbagai
alternatif
penanggulangan banjir sebagaimana disajikan pada Gambar 35. Sebagian
126
besar responden (59%) menyatakan bahwa pengerukan sungai merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan bahaya banjir Sungai Citarum. Cara pengendalian banjir tersebut sudah menjadi salah satu pilihan dan sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Kegiatan pengerukan Sungai Citarum telah dilakukan sejak tahun 1994 oleh Proyek Pengembangan Wilayah Sungai (PPWS) Citarum, Bandung.
57
26 12
ga i
M an ag
Pe ny e
em en
su m pi ta n
rb ai an R
es ap
su n
ng
ng er ku ra
su n an ng ka l Pe nd a
ai
5
ga i
% Responden
60 50 40 30 20 10 0
70 60 50 40 30 20 10 0
59
bu at an
da m
7
Pe m
su ng ai
12
Pe na ta an
hi ja ua n
18
Pe ng
Pe ng er uk an
Pe ny ul uh an
24
su ng ai
%Responden
Gambar 34. Penyebab utama banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005
Gambar 35. Alternatif penanggulangan banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 Selama periode tahun 1994-2002 PPWS Citarum telah melakukan pengerukan Sungai Citarum sepanjang 29 km dari Sapan ke Nanjung dan telah
127
mengeruk sedimen sebanyak 6,6 juta m3 dengan menghabiskan dana sekitar Rp 35,6 milyar. Namun demikian banjir di Bandung Selatan akibat meluapnya air Sungai Citarum tetap saja terjadi, termasuk kejadian banjir yang cukup parah pada Januari - Februari 2005. Penanggulangan banjir dengan cara pengerukan sungai diyakini bukan pemecahan masalah banjir secara tuntas dan sistematis, tetapi lebih bersifat "kuratif" dan reaktif terhadap permasalahan banjir. Kegiatan pengerukan sungai tersebut perlu diimbangi dengan cara-cara lain yang bersifat pencegahan lebih dini, seperti halnya penghijauan, konservasi tanah dan air, penataan ruang dan lahan, dan penegakkan hukum. Sebanyak 24% responden juga mengajukan perlunya penyuluhan yang di dalamnya termasuk aspek penegakkan hukum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah ke badan sungai. Pembuangan sampah ke badan sungai juga dipercayai responden sebagai penyebab utama terjadinya pendangkalan sungai. Kemudian penanggulangan banjir melalui kegiatan penghijauan yang di dalamnya termasuk aspek konservasi tanah dan air diajukan oleh 18% responden. Bagi masyarakat perkotaan atau hilir kegiatan penghijauan tidak termasuk alternatif pengendalian banjir yang utama, hal itu karena efektifvitasnya dinilai kurang baik, yakni dampak jangka pendeknya tidak efektif. Selain itu berbagai program penghijauan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah, seperti GNRHL masih belum dirasakan manfaatnya dalam pengendalian banjir oleh masyarakat wilayah hilir. Alternatif pengendalian banjir lainnya yang diajukan oleh responden adalah penataan sungai (12%) dan pembuatan dam atau bendungan (7%). Penataan sungai termasuk pelebaran sungai dengan cara membongkar bangunan liar di sepanjang sepadan sungai, pelurusan sungai, sedangkan pembuatan dam atau bendungan dimaksudkan sebagai penampung air berlebih pada musim hujan dan sebagai tandon air pada musim kemarau.
128
6.1.2. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian Guna mengetahui persepsi responden mengenai multifungsi lahan pertanian, khususnya sawah diajukan empat butir pernyataan berikut: P1: Lahan sawah mempunyai kapasitas untuk menahan atau menampung air hujan sementara waktu, sekaligus menyaring air aliran permukaan sebelum air itu mengalir ke hilir melalui sungai, sehingga dapat mengurangi bahaya banjir dan pendangkalan (sedimentasi) di wilayah hilir. Jika di suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) banyak areal persawahan yang dikonversi maka bahaya banjir di wilayah hilirnya akan semakin besar. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).
P2:Kemampuan lahan sawah untuk mengendalikan banjir dan erosi merupakan salah satu bentuk jasa lingkungan yang dihasilkan oleh para petani. Oleh karena itu adalah pantas jika para petani mendapat imbalan (insentif) atas jasa lingkungan yang dihasilkan tersebut. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak). P3: Manfaat jasa lingkungan lahan sawah berupa pengendalian banjir dan erosi yang dihasilkan oleh para petani dirasakan pula oleh masyarakat luas yang ada di wilayah hilir (perkotaan). Oleh karena itu masyarakat hilir suatu DAS seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak). P4: Luas lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah Sub DAS Citarik, seperti di Kecamatan Cikancung, Cicalengka, Cileunyi, Cimenyan, dan Rancaekek terus berkurang karena dikonversi menjadi lahan non pertanian. Kegiatan konversi lahan sawah tersebut mengakibatkan hilang atau berkurangnya wilayah resapan air sehingga frekuensi dan intensitas banjir di bagian hilir, seperti di Kecamatan Bale Endah dan Dayeuhkolot terus meningkat. Mengingat hal itu kegiatan konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik seharusnya dicegah atau dilarang melalui kebijakan
129
pemerintah, bahkan dijadikan lahan sawah abadi. Apakah responden sependapat dengan pernyataan tersebut? (Ya atau tidak).
Pendapat responden atas ke-empat pernyataan tersebut diberi nilai satu jika sependapat ("ya") dan nol jika tidak sependapat, dengan interpretasi sebagai berikut: P1=1 atau "ya",
artinyai responden setuju bahwa lahan pertanian khususnya sawah
mempunyai fungsi lingkungan dalam pengendalian banjir dan erosi, P1=0 jika sebaliknya. P2=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, khususnya lahan sawah, P2=0 jika sebaliknya. P3=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa masyarakat perkotaan merasakan manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dan oleh karena itu mereka seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut, P3=0 jika sebaliknya. P4=1 atau "ya", artinya responden sependapat bahwa konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik seharusnya dilarang dan areal persawahan yang ada dijadikan areal sawah abadi, P4=0 jika sebaliknya.
Rangkuman pendapat responden terhadap ke-empat pernyataan tersebut disajikan pada Gambar 36.
Sebanyak 90% responden sependapat dan
memahami bahwa lahan sawah mempunyai jasa lingkungan sebagai pengendali banjir dan erosi. Ilustrasi bagaimana petakan sawah dapat menahan dan menampung air hujan sementara waktu sebelum mengalir ke bagian hilir, dan peran petakan sawah dalam menyaring tanah yang terbawa erosi dari wilayah hulunya dapat dengan mudah dimengerti oleh sebagian besar responden. Namun demikian sebagian responden (10%) tidak sependapat mengenai hal tersebut dengan bererapa alasan, diantaranya : kejadian banjir di wilayah perumahan responden tidak selalu ada kaitannya dengan keberadaan sawah di
130
wilayah hulu Sub DAS Citarik, kejadian banjir di lokasi mereka lebih banyak disebabkan
oleh
pembuangan
sampah
oleh
orang-orang
yang
tidak
bertanggungjawab, kejadian banjir juga akibat penggundulan hutan dan kesalahan bertani di wilayah hulu, banjir juga terjadi akibat curah hujan yang terlalu lebat, dan adanya bangunan liar di sepanjang sepadan atau bantaran sungai. Terkait dengan pendapat responden tersebut sebenarnya ada benang merah antara kejadian banjir dengan aspek yang dikaji. Perubahan penggunaan lahan termasuk di dalamnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri di wilayah Bandung Bagian Selatan, seperti Cikancung, Rancaekek, Cicalengka, Majalaya, Solokan Jeruk, dan Banjaran yang merupakan bagian hulu dari daerah-daerah rawan banjir seperti Bale Endah dan Dayeuh Kolot telah mengurangi wilayah resapan air sehingga daya sangga air secara keseluruhan di wilayah tersebut berkurang; sementara intensitas curah hujan tahunan relatif tidak berubah. Sebagian besar responden (88%) sependapat bahwa petani pantas memperoleh imbalan atas jasa lingkungan yang dihasilkannya. Sebanyak 12% responden menolak pernyataan P2 tersebut dengan dua alasan, yakni para petani sudah memperoleh keuntungan dari usahataninya dan jasa lingkungan tersebut bersifat alami yang sudah ada sejak dahulu kala. Selanjutnya pernyataan P3 ditolak oleh 26% responden. Beragam alasan penolakan yang dikemukakan responden adalah pembayaran jasa lingkungan tersebut harus menjadi tanggungjawab pemerintah karena masyarakat sudah dibebani pajak dan pungutan, keterbatasan sumberdana atau pendapatan, dan petani sudah memperoleh
keuntungan
dari
usahataninya.
Namun
demikian
proporsi
responden yang mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian cukup besar (74%) dan responden yang bersedia membayar jasa lingkungan lahan sawah ada 66%. Para responden tersebut pada umumnya mensyaratkan
131
agar kewajiban pembayaran jasa lingkungan pertanian tersebut diimbangi oleh adanya jaminan pengendalian banjir yang paripurna. Selanjutnya terkait dengan kemungkinan adanya kebijakan pemerintah yang melarang atau membatasi konversi lahan sawah untuk tujuan penetapan kawasan sawah abadi didukung oleh mayoritas responden (96%). Besarnya proporsi responden yang mendukung upaya ke arah tersebut setidaknya mencerminkan pentingnya pengendalian konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik. Sementara itu alasan penolakan yang dikemukakan oleh sebagian responden (4%) terkait dengan aspek kebebasan hak pemilik lahan yang dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, termasuk menjual atau mengkonversinya.
120 % Responden
100
96
90
86 74
80
Ya
60
Tidak
40 20
26 10
14 4
0 P1
P2
P3
P4
Aspek yang ditanyakan
Gambar 36. Persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005
6.1.3. Besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Kisaran nilai WTP antara nol sampai Rp 80.000 dengan rata-rata dan mediannya Rp 15.819 dan Rp 12.000/KK. Sekalipun sudah ada nilai batas atas dan proses penawaran (bidding) secara berjenjang (Lampiran 11) variasi atau keragaman nilai WTP tersebut cukup tinggi. Dikaitkan dengan kajian persepsi mengenai multifungsi pertanian sebagian responden berubah sikap atau tidak konsisten dalam hal kemauan untuk
132
membayar jasa lingkungan. Responden yang pada awalnya mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian (setuju terhadap pernyataan P3) ternyata tidak bersedia untuk membayar jasa lingkungan tersebut. Proporsi responden yang WTP-nya lebih besar dari nol ada 66,3% atau menurun 7,8% dari proporsi responden yang mendukung pernyataan P3 tersebut. Responden yang semula mendukung pernyataan P3 tetapi tidak bersedia membayar mengajukan alasan karena keterbatasan kemampuan atau pendapatannya. Alasan tersebut dapat dimengerti mengingat sebagian responden mempunyai sumber mata pencaharian tidak tetap, bahkan menganggur. Apabila yang diperhatikan hanya responden yang bersedia membayar (WTP>0) maka kisaran nilai WTP
Rp 5.000 - Rp 80.000 dengan rata-rata, median, dan modusnya
secara berurutan Rp 23.877,- Rp 17.000,- dan Rp 12.000/KK. Tingkat keragaman datanya (CV) juga menurun dari 116% menjadi 69,8%. Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP dilakukan analisis korelasi sebagaimana disajikan pada Tabel 28. Pada taraf α =10% dapat diketahui bahwa variabel dummy P1 - P4 (persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah), tingkat pendapatan, jarak rumah ke sungai, dan nilai kerugian akibat banjir berkorelasi nyata dengan nilai WTP. Nilai WTP dipengaruhi nyata positif oleh persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, khususnya dalam hal pengendalian banjir dan erosi. Pernyataan P1 sampai P4 dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui pemahaman responden mengenai multifungsi lahan sawah. Apabila responden menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan P1 maka besar kemungkinan ia akan menolak pernyataan-pernyataan berikutnya (P2 sampai P4). Sebaliknya jika responden menyatakan sependapat dengan pernyataan P1 atau P2 maka ada kecenderungan ia akan merespon pernyataan berikutnya secara positif juga. Konsisten atau tidaknya tanggapan kualitatif responden terhadap pernyataan P1
133
sampai P4 pada akhirnya teruji saat ditanya apakah ia bersedia membayar jasa lingkungan lahan sawah secara kuantitatif dengan sejumlah uang tertentu. Ada konsistensi antara respon positif responden terhadap pernyataan P1, P2, dan P3 dengan nilai WTP, sedangkan respon positif terhadap pernyataan P4 diikuti oleh penurunan nilai WTP-nya (Gambar 37). Tabel 28. Koefisien korelasi (ρ) WTP dengan beberapa variabel yang dianalisis Variabel P1 (dummy)
T_hitung/ p_value Keterangan 0,3909 3,751 *) Korelasi Spearman
P2 (dummy)
0,4531
4,489 *)
Korelasi Spearman
P2 (dummy)
0,2577
2,356 *)
Korelasi Spearman
P4 (dummy)
0,3056
2,835 *)
Korelasi Spearman
-0,1548
0,1703 +)
0,4679
0,0001 +)
Korelasi Pearson Korelasi Pearson
-0,2720
0,0147 +)
Korelasi Pearson
0,4955
0,0001 +)
Korelasi Pearson
ρ
Umur Pendapatan Jarak rumah ke sungai Nilai kerugian
Keterangan : *) Nyata pada taraf α=10%, +) p_value Sumber: data primer
20000
19364
WTP (Rp)
19000 18000
18341 17576 16435
17000 16000 15000 14000 P1=1
P2=1
P3=1
P4=1
Persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian
Gambar 37. Hubungan antara nilai WTP dan persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung, 2005
Tingkat pendapatan dan nilai kerugian akibat banjir berpengaruh nyata positif terhadap nilai WTP. Kecenderungan hubungan antara pendapatan dengan nilai WTP seperti model kuadratik (Gambar 38). Hal itu dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang akan semakin tinggi pula besaran
134
WTP-nya tetapi dengan peningkatan kenaikannya yang semakin berkurang. Sementara itu hubungan antara nilai kerugian akibat banjir dengan besaran WTP cenderung bersifat eksponensial positif (Gambar 39). Hal ini menunjukkan responden sangat responsif untuk meningkatkan nilai WTP manakala perkiraan nilai kerugian akibat banjir akan semakin besar.
30000
26154
25400
18 - 24
> 24
WTP (Rp)
25000 18667
20000 15000
10833
10000 3188
5000 0
<6
6 - 12
12 - 18
Pendapatan keluarga (Rp juta/th)
Gambar 38. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendapatan responden, Kabupaten Bandung 2005
40000 35000
31000
31167
1,5 - 2,0
> 2,0
WTP (Rp)
30000 25000 20000 15000
13983
15318
0,5 - 1,0
1 - 1,5
10500
10000 5000 0 < 0,5
Nilai kerugian (Rp juta)
Gambar 39. Hubungan antara nilai WTP dengan kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005 Selanjutnya secara grafis dapat ditunjukkan bahwa nilai WTP mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat pendidikan responden dimana semakin tinggi pendidikan responden nilai WTP-nya cenderung meningkat (Gambar 40).
135
Hal ini dapat dimengerti karena tingkat pendidikan mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat pendapatan, yakni responden yang pendidikannya tinggi cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang relatif besar juga.
25000 18818
WTP (Rp)
20000
20333
13650
15000 10560 10000 5000 0 SD-6
SLTP-9
SLTA-12
PT-16
Tingkat pendidikan
Gambar 40. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendidikan responden, Kabupaten Bandung 2005 Sementara itu variabel jarak rumah dengan sungai berkorelasi negatif terhadap nilai WTP. Hal itu berarti nilai WTP responden yang jarak rumahnya dengan sungai relatif jauh maka nilai WTP-nya cenderung lebih rendah. 6.1.4. Model persamaan regresi fungsi WTP Analisis regresi untuk menduga fungsi WTP menggunakan model regresi berganda sebagaimana Rumus Persamaan 10. Guna melihat keeratan hubungan antar berbagai variabel penjelas WTP dilakukan analisis korelasi yang hasilnya disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan matriks korelasi tersebut dapat diketahui bahwa variabel dummy mengenai persepsi responden (P1, P2, P3, dan P4) ada yang saling berkorelasi nyata (α=10%), yakni antara P1 dengan P2 dan P4. Keterkaitan antara variabel P1, P2 dan P4 tersebut adalah suatu hal yang perlu terjadi secara konsepsional, karena menunjukkan responden yang sudah memahami adanya jasa lingkungan lahan sawah, maka ia akan berpendapat bahwa petani lahan sawah pantas atau wajar untuk memperoleh imbalan atas jasa lingkungan yang dihasilkannya karena jasa lingkungan
136
tersebut dinikmati juga oleh masyarakat luas. Kemudian pada tahap pemikiran lebih lanjut responden tersebut akan mendukung terhadap adanya gagasan pelarangan konversi lahan sawah atau gagasan pembuatan (pencanangan) sawah abadi. Selanjutnya variabel umur berkorelasi nyata dengan tingkat pendidikan, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Korelasi antar variabel kharakteristik responden tersebut dapat dimengerti karena fenomena tersebut sudah umum terjadi. Sebelum variabel P1 dan umur tersebut dipertimbangkan untuk tidak dianalisis dalam model regresi WTP terlebih dahulu dilakukan analisis regresi berganda berdasarkan hasil kajian korelasi dan kecenderungan hubungan parsial antara WTP dengan beberapa variabel penjelasnya (seperti pada Gambar 38, 39, dan 40). Hasil analisis regresi berganda tersebut disajikan pada Lampiran 13.
Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 13) dapat diketahui bahwa model dugaan fungsi WTP tersebut dicirikan oleh nilai R2 sebesar 59,8% yang berarti secara bersama-sama variabel bebas model regresi dapat menjelaskan keragaman nilai WTP sebanyak 59,8%. Mengingat adanya gejala multikoliniariti maka variabel P1 atau P4, umur, dan pendidikan dikeluarkan dari model.Selain itu model regresi dugaan tersebut mempunyai intercep yang tidak berbeda nyata dengan nol. Oleh karena itu model regresi dugaan WTP perlu dilakukan dengan setting intercep sama dengan nol (melalui titik awal). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan analisis dugaan model WTP yang hasilnya disajikan pada Tabel 29. Hasil analisis tersebut memberikan model regresi dugaan fungsi WTP yang lebih baik daripada hasil sebelumnya. Tujuh dari sepuluh (70%) variabel bebas dalam model mempunyai koefisien regresi yang nyata berbeda dengan nol
(α=10%). Secara bersama-sama
variabel bebas dalam model dapat menjelaskan variasi nilai WTP sebesar 76,2%.
137
Tabel 29. Hasil analisis regresi berganda model dugaan fungsi WTP Analisis Sidik Ragam Sumber Keragaman
DB
Jumlah Kuadrat
Model Galat Total/UC
10 70 80
34025818005 10650431995 44676250000
Root MSE Dep Mean C.V.
12334,87 15818,75 77,98
Kuadrat Tengah 3402581800 152149028
R-square Adj R-sq
F_Value
Prob>F
22,36
0,0001
0,7616 0,7276
Nilai parameter dugaan Variabel P2
DB
Koefisien dugaan
1
11427
Galat Baku 4741,765
T_Value 2,410
Prob > |T| 0,0186
P3
1
8826,954
3356,980
2,629
0,0105
P4
1
-11999
6054,220
-1,982
0,0514
PNS_D
1
7323,009
4973,543
1,472
0,1454
SWASTA_D
1
6898,914
5331,423
1,294
0,1999
WRSWTA_D
1
5209,321
4683,396
1,112
0,2698
INCOME
1
1056,968
230,783
4,580
0,0001
JARAK
1
-32,823
10,424
-3,149
0,0024
EXPLOSS
1
-19273
6985,960
-2,759
0,0074
EXPLOSS2
1
12022
2914,268
4,125
0,0001
Catatan : EXPLOSS = nilai harapan kerugian akibat banjir (peluang banjir x nilai kerugian)
Ada tiga variabel bebas yang bertanda negatif dalam model yang berarti bersifat menurunkan nilai WTP, yakni jarak rumah ke sungai, persepsi responden mengenai pentingnya pelarangan konversi lahan sawah, dan pengaruh linear kerugian akibat banjir. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang rumahnya jauh dari sungai cenderung tidak akan mau membayar jasa lingkungan pertanian terkait dengan pengendalian banjir (WTP=0), atau nilai WTP kelompok masyarakat yang tinggal jauh dari badan sungai relatif akan kecil. Demikian pula responden yang berpandangan (mempunyai persepsi) bahwa pentingnya pelarangan atau pengaturan konversi lahan sawah melalui kebijakan pemerintah maka masalah pembayaran jasa lingkungan menjadi kurang relevan karena sepenuhnya akan ditanggulangi oleh pemerintah.
138
Hubungan antara nilai kerugian dengan nilai WTP bersifat kuadratik dengan koefisien linearnya bernilai negatif dan koefisien kuadratiknya bernilai positif. Koefisien linear bernilai negatif dapat diartikan bahwa nilai WTP akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai kerugian akibat banjir yang diderita responden. Sebaliknya koefisien kuadratik bernilai positif dapat diartikan bahwa pada tingkat kerugian besar tertentu nilai WTP cenderung akan meningkat,
sebagaimana disajikan pada Gambar 41. Berdasarkan
gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai kerugian yang sensitif adalah sebesar Rp 0,75 juta dimana mulai dari nilai kerugian tersebut besaran WTP responden meningkat. Selanjutnya, kecenderungan proporsi besaran WTP terhadap nilai kerugian akibat banjir menurun dari 14,3% ke 1,2% sejalan dengan peningkatan kerugian akibat banjir sampai nilai Rp 1,5 juta. Pada tingkat kerugian yang lebih besar dari Rp 1,5 juta proporsi besaran WTP tersebut akan meningkat lagi dari 1,3% menjadi 2,3%. Secara umum rata-rata proporsi besaran WTP terhadap nilai kerugian adalah 3%. Perbedaan relatif antara nilai WTP kelompok responden pendapatan tinggi (rata-rata Rp 17,0 juta/tahun) dengan pendapatan rendah (rata-rata Rp 7,7 juta/tahun) berdasarkan nilai kerugian banjir menyerupai fungsi parabola (Gambar 42). Makna gambaran tersebut adalah pada tingkat kerugian akibat banjir
yang besar tertentu kedua kelompok responden yang beda
pendapatnnya cenderung akan "berkorban" relatif sama, dicirikan oleh rendahnya perbedaan nilai WTP tersebut (kurang dari 20%).
WTP_T
40000
8
WTP_R
30000
6
20000
4
10000
2
0
0
Proporsi (%)
3. 00
%
10
2. 50
12
50000
2. 00
60000
1. 50
14
1. 00
16
70000
0. 50
80000
0. 13
Rp
139
Kerugian akibat banjir (Rp juta)
Gambar 41. Dugaan fungsi WTP pada kelompok responden pendapatan tinggi (WTP_T) dan rendah (WTP_R) serta proporsi WTP terhadap kerugian banjir
Beda WTP T-R (%)
140 120 100 80 60 40 20
0. 13 0. 25 0. 50 0. 75 1. 00 1. 25 1. 50 1. 75 2. 00 2. 25 2. 50 2. 75 3. 00
0
Kerugian akibat banjir (Rp juta)
Gambar 42. Perbedaan nilai WTP kelompok pendapatan tinggi dan rendah berdasarkan nilai kerugian banjir (%) 6.1.5. Mekanisme dan alat pembayaran WTP Mekanisme pembayaran WTP yang umum dipilih oleh responden (karakteristik responden disajikan pada Bagian 4.4.2. hal 77-79) adalah melalui tagihan pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB) dan harga gabah atau beras (Gambar 43). Sebanyak 37% responden yang bersedia membayar jasa lingkungan pertanian memilih SPPT-PBB sebagai alat untuk pembayarannya. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan melalui PBB dipandang sederhana dan mudah. Selain itu pembayarannya dilakukan setahun sekali. Apabila suatu saat
140
pemerintah memberlakukan kebijakan pembayaran jasa lingkungan pertanian, khususnya sawah maka variasi pembayaran dapat disesuaikan dengan nilai kekayaan (luas tanah, kualitas bangunan, dan jenis perumahan) yang dikuasai masyarakat hilir. Nilai SPPT-PBB rumah dan pekarangan yang dibayar oleh penduduk di lokasi penelitian berkisar antara Rp 15 - Rp 340/m2. Sebidang lahan kering seluas 250 m2 (Kelas A36) yang belum ada bangunan di atasnya tetapi hanya ditanami pisang dan ubikayu mempunyai nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp 15.000/m2 atau nilai keseluruhannya Rp 3.750.000,-. Besaran nilai jual kena pajak (NJKP) adalah 20% dan nilai PBB atas lahan tersebut adalah 0,5% dari NJKP atau Rp 3.750,- (Rp 15/m2). Tarif PBB lahan kering akan meningkat sesuai dengan kelas lahannya.
Misalnya lahan kering Kelas A26 (dekat dengan
prasarana jalan atau aksesibilitasnya baik) dengan luas yang sama (250 m2) mempunyai NJOP Rp 50 juta sehingga tarif PBB-nya menjadi Rp 50.000 atau Rp 200/m2. Apabila pada lahan kering tersebut terdapat bangunan permanen (Kelas A09) seluas 100 m2 maka tarif PBB-nya akan bertambah sebesar Rp 35.000,atau total tarif PBB (bumi dan bangunannya) menjadi Rp 85.000,- (Rp 340/m2). Pada tingkat pemilikan lahan untuk bangunan dan pekarangan sekitar 120 m2 dan luas bangunannya 60 m2 dengan kualitas bangunan setengah permanen nilai PBB yang menjadi tanggungan warga setempat sekitar Rp 32.200,/KK/tahun. Dengan demikian rata-rata nilai WTP responden untuk jasa lingkungan pertanian berdasarkan hasil penelitian ini sekitar 49,1% dari tarif PBB yang berlaku saat ini. Mekanisme pembayaran WTP jasa lingkungan pertanian melalui harga gabah/beras dipilih oleh 35% responden. Mekanisme ini sulit dilakukan mengingat tidak mungkin melakukan disparitas harga gabah/beras antar masyarakat perkotaan dan pedesaan atau antar daerah tanpa melihat kualitas
141
atau faktor lainnya. Namun demikian pilihan responden terhadap mekanisme pembayaran cara ini mempunyai makna bahwa harga gabah/beras seharusnya mampu memberikan insentif yang menarik bagi para petani dan responden (masyarakat perkotaan) bersedia membayar harga beras relatif lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku dengan tujuan untuk membayar jasa lingkungan pertanian.
10%
37%
18%
Tarif PBB Harga gabah/beras Rekening PLN/PAM Donasi/Sosial
35%
Gambar 43. Cara pembayaran WTP yang dipilih oleh responden, Kabupaten Bandung 2005 Mekanisme lain yang mendapat perhatian 18% responden adalah melalui rekening listrik (PLN) atau air bersih (PAM/PDAM). Cara ini dipilih responden karena sifat pembayarannya bulanan sehingga relatif tidak akan memberatkan masyarakat. Kemudian pilihan terakhir cara pembayaran WTP dapat dilakukan secara tidak berkala, seperti halnya sistem bantuan sosial atau bencana alam (donasi) khusus untuk membantu para petani selama belum mandiri untuk mengelola lahan pertaniannya. Terkait dengan pengelolaan dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, khususnya
sawah sebagian besar
responden
(39%) sangat
mempercayai Pemerintah Daerah (Pemda), termasuk di dalamnya Dinas Pertanian yang bertanggungjawab terhadap kemajuan sektor pertanian (Gambar 44). Kemudian 31% responden menyarankan agar dibentuk badan khusus yang
142
menangani masalah pengembangan sawah abadi, sejenis Badan Otorita Sawah Abadi. Dana yang berasal dari masyarakat perkotaan sebagai WTP jasa lingkungan lahan pertanian, baik melalui rekening PBB, PLN, PAM/PDAM atau cara lainnya dihimpun dalam rekening khusus yang dikelola oleh Badan Otorita dan kemudian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani.
7% 11% Pemda 39% 12%
Badan khusus Pem. Pusat LSM Lainnya
31%
Gambar 44. Institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian yang disarankan responden, Kabupaten Bandung 2005 Pendapat responden mengenai institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan pertanian mengisyaratkan peran Pemerintah Pusat termasuk di dalamnya Departemen Pertanian dan LSM kurang dipercaya. Hal ini dapat dimaknai bahwa saat ini masyarakat juga sudah memahami iklim otonomi daerah dimana pembangunan pertanian harus dicanangkan oleh Pemda setempat, bukan oleh Pemerintah Pusat, apalagi LSM. 6.2. Kemauan Petani untuk Menerima (WTA) Pembayaran Jasa Lingkungan Pertanian Analisis mengenai kemauan petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian mencakup empat aspek, yakni (1) persepsi responden mengenai multifungsi pertanian, (2) besaran nilai WTA dan faktor-faktor yang
143
mempengaruhinya, (3) persamaan regresi fungsi WTA petani padi sawah dan petani lahan kering, dan (4) mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diharapkan petani. Karakteristik responden WTA dijelaskan pada Bagian 4.4.3 mulai hal 79. 6.2.1. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian Guna mengetahui persepsi petani dan sekaligus untuk menyampaikan informasi mengenai jasa lingkungan lahan pertanian kepada petani padi sawah disampaikan tiga buah pernyataan berikut: P1:
Lahan
pertanian,
khususnya
sawah
mempunyai
fungsi
dalam
mengendalikan banjir dan erosi tanah. Petakan-petakan sawah dapat berfungsi sebagai dam-dam kecil yang menahan dan menampung air hujan sebelum mengalir ke hilir, dan sekaligus menjadi penyaring air aliran permukaan dari wilayah yang berada di atasnya sehingga butiranbutiran tanah yang terbawa erosi dapat mengendap pada petakanpetakan sawah. Oleh karena itu jika areal sawah dalam suatu wilayah semakin sempit maka cenderung akan menimbulkan banjir dan erosi tanah (pendangkalan sungai) di bagian hilirnya. Dengan demikian manfaat adanya usahatani padi sawah akan dirasakan oleh masyarakat yang ada di bagian hilir atau penduduk di perkotaan. Apakah Bapak/Saudara setuju dengan pernyataan tersebut? P2: Selama ini hasil pertanian lahan sawah yang dinilai oleh masyarakat melalui mekanisme pasar terbatas pada bentuk produksi, seperti beras atau palawija, sementara jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti untuk mengendalikan banjir dan erosi tanah belum atau tidak diperhitungkan. Mengingat adanya jasa lingkungan lahan sawah tersebut, maka para petani padi sawah pantas mendapatkan imbalan jasa lingkungan tersebut. Apakah
144
Bapak/Saudara menginginkan pembayaran jasa lingkungan lahan sawah tersebut? P3: Menurut Bapak/Saudara apakah berusahatani padi sawah di daerah ini masih menguntungkan? Jika "Ya", mengapa cukup banyak sawah yang dialihfungsikan ke bentuk penggunaan lain? Rangkuman persepsi responden atas ketiga pernyataan tersebut disajikan pada Gambar 45. Sebagian besar responden (97%) menyatakan sependapat bahwa lahan sawah mempunyai manfaat lingkungan dalam pengendalian banjir dan erosi (P1), sedangkan 3% responden tidak menyampaikan pendapatnya karena belum memahami terhadap apa yang ada di dalam pernyataan maupun ilustrasi yang disampaikan. Setelah responden mengerti atas penjelasan mengenai manfaat lingkungan lahan sawah dalam mengendalikan banjir dan erosi, ada beberapa responden yang serta merta mengajukan dua fungsi lingkungan lahan sawah, yakni sebagai sumber air tanah dan pemberi kenyamanan atau keindahan lingkungan. Mengenai pembayaran jasa lingkungan lahan sawah (P2) ternyata tidak semua petani mengharapkannya, setidaknya bagi 27% responden. Alasan utamanya adalah hal itu sebagai ibadah dan amal baik bagi kepentingan masyarakat dengan mengharap balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Ada nuansa kebanggaan dan kebahagiaan yang terbersit dari para responden manakala mereka mengetahui dan menyadari bahwa berusahatani padi sawah bukan hanya bermanfaat bagi penghidupan diri dan keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat luas.
145
% Responden
120 100
97 78
73
80
Ya
60 40
27
20
Tidak 22
3
0 P1
P2
P3
Pernyataan
Gambar 45. Persepsi petani mengenai jasa lingkungan lahan sawah, Kabupaten Bandung, 2005 Berusahatani padi sawah ternyata masih menguntungkan. Pendapat tersebut dinyatakan oleh 78% responden. Kriteria menguntungkan bagi petani tidak selalu terkait dengan aspek analisis finansial (nilai hasil usahatani lebih besar daripada biayanya), tetapi dikaitkan juga dengan cukup-tidaknya hasil usahatani tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun secara finansial usahatani padi sawah menguntungkan tetapi jika hasilnya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga maka usahatani tersebut dianggap tidak menguntungkan. Faktor-faktor yang menyebabkan usahatani padi merugi adalah karena mahalnya harga sarana produksi padi seperti pupuk dan obat-obatan (30%), upah kerja mahal (16,3%), lahan sawah sempit (20%), dan sebaliknya harga gabah yang rendah (20%). Sementara alasan produktivitas padi sawah rendah dinyatakan oleh 13,7% responden. Kecukupan hasil usahatani padi sawah untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani dinyatakan oleh 73,2% responden, sedangkan 26,8% lainnya menyatakan usahatani padi sawah tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Kelompok petani yang disebutkan terakhir masih tetap bertahan mengusahakan padi sawahnya karena ada sumber pendapatan lain
146
(60%) seperti menjadi buruh tani, anggota keluarga menjadi buruh pabrik, atau ada bantuan keuangan dari sanak-keluarga. Alasanya lainnya adalah karena tidak ada alternatif lain (40%). Dalam kondisi seperti itu ternyata tidak serta merta petani berniat akan menjual lahan sawahnya. Mayoritas petani (82,9%) menyatakan tidak berniat akan menjual lahan sawahnya, setidak-tidaknya dalam waktu dekat. Alasannya adalah karena sawah sebagai sumber utama penghidupan (55,3%), petani tidak mempunyai keahlian lain (18,4%), sawah untuk warisan anak (15,8%), dan petani merasa tenang (10,5%). Sementara itu 17,1% petani yang berniat akan menjual sawahnya dilatarbelakangi oleh kerugian bertani, harga tanah meningkat, dan keinginan untuk alih profesi. Secara finansial usahatani padi menguntungkan, baik pada lahan sawah sempit (< 0,5 ha) maupun sawah luas (>1,0 ha), sebagaimana disajikan pada Tabel 30. Hanya saja jika dikaitkan dengan penguasaan lahan sawah sebagian besar responden kurang dari 0,5 ha maka hasil usahatani padi tersebut relatif kecil, yakni sekitar Rp 295.000/bulan. Apabila biaya tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan maka pendapatan usahatani padi tersebut meningkat menjadi Rp 450.000/bulan. Nilai tersebut masih lebih kecil daripada upah minimum Kabupaten Bandung. Menurut responden usahatani padi sawah dengan status hak milik dan luasnya tidak kurang dari 0,75 ha sudah menguntungkan. Status penguasaan sawah oleh responden terdiri atas pemilik (90%) dan penggarap (10%), sedangkan berdasarkan luasannya 20% responden menguasai sawah kurang dari 0,250 ha, 58,3% responden menguasai sawah kurang dari 0,5 ha, 86,7% responden menguasai sawah kurang dari 1,0 ha, dan 13,3% responden menguasai sawah antara 1,0 - 3,0 ha.
147
Tabel 30. Analisis finansial usahatani padi sawah (dua musim tanam), Kabupaten Bandung, 2005 Komponen biaya
Satuan
Kelompok A
Kelompok B
Rata-rata
Biaya tenaga kerja (TK)
Rp/ha/th
7.062.044
8.788.556
7.925.300
- TK keluarga
Rp/ha/th
1.977.372
2.812.338
2.394.855
- TK upah
Rp/ha/th
5.084.671
5.976.218
5.530.445
Biaya saprodi
Rp/ha/th
2.241.388
2.961.614
2.601.501
Total biaya (C)
Rp/ha/th
9.303.431
11.750.170
10.526.801
Hasil padi (GKG)
Kg/ha/th
9.220
9.453
9.337
Nilai jual padi (R)
Rp/ha/th
17.471.900
17.062.665
17.267.283
Pendapatan
Rp/ha/th
8.168.469
5.312.495
6.740.482
Rasio R/C 1,88 1,45 Keterangan : Kelompok A berdasarkan rata-rata luas sawah 1,600ha Kelompok B berdasarkan rata-rata luas sawah 0,300 ha Sumber: data primer
1,64
Usahatani padi pada sawah yang sempit relatif kurang efisien dibanding dengan usahatani padi pada sawah yang lebih luas. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan tenaga kerja (TK) dan sarana produksinya (saprodi). Sebagaimana disajikan pada Tabel 30 (di atas) perbedaan efisiensi penggunaan TK dan saprodi masing-masing mencapai 24,4% dan 32,1%. Sedangkan produktivitas padi pada sawah sempit hanya 2,5% lebih tinggi daripada produktivitas padi pada sawah luas. Selain itu para petani yang menguasai lahan sawah sempit cenderung memperoleh harga jual padi yang relatif lebih rendah. Salah satu penyebabnya petani tersebut memerlukan uang tunai dalam waktu segera sehingga posisi tawarnya lemah. Para responden tidak memungkiri adanya kenyataan bahwa cukup luas areal sawah yang sudah beralihfungsi menjadi pabrik dan perumahan. Berbagai penyebab utama konversi lahan sawah menurut responden adalah desakan aspek sosial-ekonomi (34,8%), kebijakan pemerintah daerah (26,1%), alih profesi (15,2%), tanah guntai atau absentia (10,9), dan lain-lain (13,0%). Desakan
148
sosial-ekonomi yang mendorong petani menjual lahan sawahnya adalah adanya kebutuhan uang tunai yang cukup besar untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, melamar pekerjaan bagi anak, dan bagi umat Muslim menunaikan ibadah haji. Fenomena konversi lahan sawah di lokasi penelitian dipercepat juga oleh kebijakan pemerintah setempat yang mengijinkan berbagai pihak melakukan pembangunan kawasan pabrik atau perumahan pada areal persawahan. Demikian juga pembangunan perkantoran dan utilitas di wilayah Bandung Selatan banyak mengkonversi lahan sawah produktif. Kegiatan pembangunan fisik yang mengkonversi lahan sawah tersebut telah meningkatkan harga pasar tanah sawah sehingga semakin merangsang petani pemilik sawah untuk menjual sawahnya. Kondisi tersebut memunculkan pula minat alih profesi sebagian petani responden (15,2%) ke sektor lain, seperti menjadi pedagang. Beberapa kasus yang ditemukan di lapangan ternyata alih profesi petani tersebut tidak selalu berhasil dan sebagian mereka kembali menjadi buruh tani atau penggarap lahan sawah milik orang lain. Motivasi lain petani menjual sawah adalah untuk memperoleh lahan sawah yang lebih luas di tempat lain. Hasil penjualan sawah yang terletak di pinggir jalan raya dapat dibelikan pada lahan sawah yang lebih luas di tempat lain (lebih ke arah pedesaan) dengan rasio mencapai 1:2 atau lebih. Dalam situasi dimana lahan sawah sudah dikelilingi bangunan pabrik, perumahan, jaringan jalan, dan bangunan perkantoran, serta suasana bertani sudah kurang kondusif yang dicirikan oleh meningkatnya harga pupuk dan obatobatan, serta upah tenaga kerja maka para petani padi sawah dihadapkan pada beberapa pilihan, seperti tetap bertahan bertani padi sawah di lokasi tersebut, menjual sawahnya kemudian membeli lahan pertanian di tempat lain, atau menjual sawahnya dan beralih profesi. Berdasarkan fenomena tersebut dan informasi besaran biaya usahatani padi yang telah diketahui dilakukan simulasi
149
WTA kepada para petani. Unsur biaya usahatani yang dijadikan sebagai bahan penawaran (bidding) kepada petani adalah biaya tenaga kerja dan biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan). Hasil kajian WTA disajikan pada Butir 6.2.3. Pernyataan yang serupa dengan P1 dan P2 di atas dikemukakan juga kepada responden petani lahan kering. Redaksi pernyataan untuk petani lahan kering adalah sebagai berikut: P1: Lahan pertanian mempunyai fungsi dalam mengendalikan banjir dan erosi tanah. Petakan-petakan sawah dapat berfungsi sebagai dam-dam kecil yang menampung dan menahan air hujan sebelum mengalir ke hilir. Demikian juga lahan kering yang dikelola dengan baik, melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang tepat dan selalu ada tanamannya (tidak bera) dapat meresapkan air hujan sebelum mengalir ke hilir, sekaligus menekan erosi tanah. Oleh karena itu jika areal sawah dalam suatu wilayah semakin sempit atau lahan keringnya tidak dikelola dengan baik maka cenderung akan menimbulkan banjir dan erosi tanah (pendangkalan sungai) di bagian hilirnya. Dengan demikian apabila para petani menerapkan teknik konservasi tanah dan air maka manfaatnya akan dirasakan pula oleh masyarakat yang ada di bagian hilir atau penduduk di perkotaan. Apakah Saudara setuju dengan pernyataan tersebut? P2: Selama ini hasil pertanian yang dinilai oleh masyarakat melalui mekanisme pasar terbatas pada bentuk produksi, seperti beras, jagung, kacangkacangan, buah-buahan dan lain-lain; sementara jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti untuk mengendalikan banjir dan erosi tanah belum atau tidak diperhitungkan. Mengingat adanya jasa lingkungan lahan pertanian, maka para petani yang menerapkan teknik KTA dengan benar
150
dan mengelola usahataninya dengan baik layak untuk mendapatkan imbalan jasa lingkungan pertanian tersebut.
Apakah Saudara setuju
dengan pernyataan tersebut?
Rangkuman pendapat responden lahan kering terhadap kedua pernyataan di atas disajikan pada Gambar 46. Seluruh responden, baik petani lahan kering berbasis tanaman tahunan atau agroforestri (AG) maupun petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (LP) sependapat dengan pernyataan P1. Selain memahami bahwa usahatani lahan kering yang dikelola dengan baik dapat mengendalikan banjir dan erosi, para responden juga menyebutkan beberapa fungsi lingkungan lahan pertanian, seperti pencegah longsor, penyegar udara (mitigasi suhu udara), sumber air bersih, dan penyedia lapangan pekerjaan.
% Responden
120 100 80
Ya
60
Tidak
40 20 0 P1
P2
P1
P2
AG
AG
LP
LP
Pernyataan dan Jenis responden
Gambar 46. Persepsi petani lahan kering mengenai jasa lingkungan lahan pertanian, Kabupaten Bandung 2005 Demikian halnya dengan masalah pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian, seluruh responden petani lahan kering menginginkan adanya imbalan atas jasa lingkungan pertanian tersebut. Para petani memahami bahwa dampak positif penerapan terasering dan penghijauan pada lahan kering akan dirasakan juga oleh masyarakat hilir (perkotaan).
151
6.2.2. Besaran nilai WTA dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Guna mengetahui hubungan atau keterkaitan antara kharakteristik responden dengan kemauan untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan pertanian digunakan analisis korelasi. Hasil analisis korelasi untuk petani padi sawah dan lahan kering masing-masing disajikan pada Tabel 31 dan Tabel 32. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah mempunyai hubungan yang erat dengan luas sawah, pendapatan, pendidikan dan untung-tidaknya berusahatani. Tanda koefisien korelasi yang negatif untuk peubah luas sawah, pendapatan dan kondisi menguntungkan (dummy) dapat diartikan bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah akan semakin kecil apabila sawah garapannya relatif luas, pendapatannya tinggi atau usahatani padi tersebut menguntungkan petani. Dengan perkataan lain petani padi sawah tidak akan menuntut atau mengharapkan pembayaran jasa lingkungan apabila lahannya cukup luas, pendapatannya tinggi dan usahatani padi tersebut menguntungkan. Sebaran nilai WTA petani lahan kering mempunyai korelasi yang erat dengan luas lahan kering, jumlah anggota keluarga dan penerapan teknik KTA teras bangku (dummy). Semua tanda koefisien korelasi tersebut negatif yang dapat diartikan bahwa besaran nilai WTA petani lahan kering akan menurun apabila lahan kering garapannya luas, jumlah anggota keluarganya banyak, dan petani sudah menerapkan tekni KTA berupa teras bangku. Kelangkaan tenaga kerja pada usahatani lahan kering sangat dirasakan oleh petani sehingga keberadaan tenaga kerja keluarga sangat diperlukan. Petani lahan kering yang sudah menerapkan teras bangku mempunyai persepsi tidak akan memperoleh bantuan lagi, itulah yang menyebabkan nilai WTA mereka relatif lebih kecil dibanding WTA petani lainnya.
152
Tabel 31. Koefisien korelasi besaran WTA petani padi sawah dengan beberapa variabel yang dianalisis Variabel
t-Hitung/ p_value
ρ
Keterangan
1. P1 (Persepsi)
-0,0378
-0,288
Korelasi Spearman
2. P2 (Persepsi)
-0,0263
-0,200
Korelasi Spearman
3. P3 (Persepsi)
0,0338
0,258
Korelasi Spearman
-0,3475
-2,822
0,0951
0,728
-0,0202
0,8783
0,0105
4. Untung (dummy)
*)
Korelasi Spearman
0,0800
+)
Korelasi Pearson Korelasi Pearson
-0,4511
0,0003
+)
Korelasi Pearson
9. Luas sawah
-0,3814
0,0025
+)
Korelasi Pearson
10. Pendapatan
-0,5964
0,0001
+)
Korelasi Pearson
5. Ada pekerjaan lain 6. Umur 7. Tingkat pendidikan 8. Luas sawah 2
Catatan : *) nyata pada taraf α 10%, +) p_value
Tabel 32. Koefisien korelasi antara besaran WTA petani lahan kering dengan beberapa variabel yang dianalisis t-Hitung/ Variabel
ρ
p_value
Keterangan
1. D_TP (dummy )
0,1059
0,910
2. D_TB (dummy )
-0,1712
-1,484
3. Untung (dummy)
-0,0803
-0,688
Korelasi Spearman
4. Ada pekerjaan lain
0,0369
0,316
Korelasi Spearman
5. Luas lahan kering
-0,4321
0,0001
+)
Korelasi Pearson
6. Luas lahan2
-0,3213
0,0049
+)
Korelasi Pearson
0,0084
0,9427
7. Pendidikan
-0,0558
0,6339
+)
Korelasi Pearson
8. Jumlah anggota keluarga
-0,3451
0,0026
+)
Korelasi Pearson
9. Pendapatan
-0,1488
0,2075
+)
Korelasi Pearson
7. Umur
Korelasi Spearman
*)
Korelasi Spearman
Korelasi Pearson
Catatan : *) nyata pada taraf α 10%, +) p_value
6.2.3. Persamaan regresi fungsi WTA Secara parsial telah diketahui bahwa besaran nilai WTA petani padi sawah berkorelasi nyata dengan luas sawah garapan, pendapatan dan keuntungan usahatani padi tersebut. Kemudian WTA petani lahan kering berkorelasi nyata dengan luas lahan garapan, dummy penerapan teras bangku, dan ukuran
153
keluarga. Selanjutnya untuk mengetahui model dugaan fungsi WTA atas beberapa kharakteristik petani tersebut dilakukan analisis regresi berganda secara terpisah antara petani padi sawah dan petani lahan kering. Analisis regresi berganda didahului dengan eksplorasi data melalui pendekatan diagram sebaran data. Petani padi sawah Diagram sebaran data WTA berdasarkan luas sawah dan pendapataan disajikan masing-masing pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Berdasarkan diagram tersebut dapat diperkirakan bahwa hubungan antara WTA dengan luas sawah bersifat linear negatif. Selanjutnya untuk menduga fungsi hubungan tersebut dibuat diagram sebaran data WTA berdasarkan kelas luas sawah (Gambar
47).
Pengelompokkan
luas
sawah
dilakukan
dengan
mempertimbangkan nilai statistik deskriptifnya (kisaran, standar deviasi, ratarata). Berdasarkan diagram tersebut ada kecenderungan bahwa hubungan antara nilai WTA petani padi sawah dengan luas sawah garapannya menyerupai garis lurus dengan arah negatif. Apabila pengaruh faktor-faktor lain dianggap konstan maka sawah garapan seluas 1,5 ha sudah cukup bagi petani untuk berusahatani padi tanpa perlu memperhitungkan atau menuntut pembayaran jasa lingkungan. Demikian halnya hubungan antara nilai WTA dengan tingkat pendapatan sebagaimana
disajikan
pada
Gambar
48
menunujkkan
petani
yang
berpenghasilan tinggi nilai WTA-nya rendah. Dengan asumsi pengaruh faktorfaktor lain bersifat konstan nilai WTA akan rendah dan menurun apabila pendapatan petani cukup tinggi, yakni lebih dari Rp 12,5 juta/tahun
154
3.5
WTA (Rp juta/ha)
3.0
2.8
2.8
2.5 2.0
1.7
1.5 1.0 0.2
0.3
1,0 - 1,5
> 1,5
0.5 0.0 < 0,25
0,25-0,50
0,50 - 0,75 Luas saw ah (ha)
Gambar 47. Hubungan antara luas sawah dengan WTA petani Sesuai dengan hasil analisis korelasi, petani yang usahatani padi sawahnya menguntungkan nilai WTA-nya lebih rendah daripada petani yang usahatani padi sawahnya tidak menguntungkan (merugi). Perbedaan nilai tengah WTA antara kedua kelompok usahatani padi sawah tersebut disajikan pada Gambar 49. Secara statistik perbedaan nilai WTA petani yang usahatani padinya menguntungkan (Rp 1,8 juta/ha) berbeda nyata dengan WTA petani yang usahatani padinya tidak menguntungkan (Rp 3,1 juta/ha) (taraf α 10%).
4.0
3.4
WTA (Rp juta/ha)
3.5 3.0 2.5 1.8
2.0
1.5
1.5 0.7
1.0
0.5
0.5 0.0 <5
5 - 7,5
7,5 - 10,0
10 - 12,5
> 12,5
Pendapatan (Rp juta/th)
Gambar 48. Hubungan antara pendapatan dengan WTA petani padi sawah Hasil pendugaan model WTA dilakukan dengan analisis regresi berganda (Rumus Persamaan 11) dan hasilnya disajikan pada Lampiran 16. Berdasarkan lampiran tersebut dapat diketahui bahwa pada Model 1 terdapat beberapa
155
variabel bebas yang koefisien regresinya tidak berbeda nyata dengan nol, seperti luas lahan, tingkat pendidikan, umur dan jumlah anggota keluarga; padahal beberapa variabel lainnya ada yang sangat nyata, seperti pendapatan dan dummy adanya pekerjaan lain. Demikian juga pada Model 2 dan Model 3 masih ada indikasi yang serupa sebagai akibat gejala multikoliniaritas antar beberapa
WTA (Rp juta/ha)
variabel bebas.
3.5 3.0 2.5 2.0
3.1
1.8
1.5 1.0 0.5 0.0 Menguntungkan
Tidak menguntungkan Usahatani Padi
Gambar 49. Perbedaan WTA petani padi sawah yang untung dan tidak untung Berdasarkan hasil regresi Model 3 dan sesuai dengan analisis korelasi maka pendugaan fungsi WTA petani padi sawah hanya terdiri atas empat variabel termasuk intercep, sebagaimana disajikan pada Tabel 33. Keragaman nilai WTA petani padi sawah dapat dijelaskan oleh model kuadratik terhadap luas sawah garapan pada taraf α = 0,0001 dengan R2 sebesar 32,17%. Dalam model tersebut kelima variabel bebas seluruhnya mempunyai kontribusi yang nyata dalam menjelaskan keragaman nilai WTA. Berdasarkan tanda koefisien regresi variabel luas sawah dapat dinyatakan bahwa besaran WTA akan menurun secara nyata apabila luas sawah garapannya meningkat, kemudian penurunan WTA tersebut akan terkoreksi semakin kecil apabila peningkatan luas sawah semakin besar. Besaran WTA petani juga akan menurun atau rendah apabila usahatani padi sawah itu
156
menguntungkan. Kedua hal tersebut masuk akal karena petani dengan lahan garapan sempit relatif lebih sulit memenuhi kebutuhan hidup keluarganya walaupun secara finansial usahatani padi tersebut menguntungkan. Di sisi lain tidak jarang petani padi sawah menghadapi kerugian, baik karena faktor alam, budidaya maupun harga; tetapi kriteria rugi bagi petani juga adalah hasil usahatani tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya karena lahan garapan sempit dan kesempatan kerja terbatas. Secara diagram model penduga nilai WTA petani padi sawah disajikan pada Gambar 50. Berdasarkan gambar tersebut WTA petani yang usahatani padinya menguntungkan (WTA_U) lebih rendah daripada WTA petani yang usahatani padinya merugi (WTA_R). Arah kurva WTA yang negatif terhadap luas sawah mengindikasikan bahwa jumlah pembayaran jasa lingkungan yang diminta petani akan semakin rendah per satuan luasnya apabila petani menggarap sawah yang relatif luas. Selanjutnya pada Gambar 51 disajikan proporsi rata-rata besaran WTA petani padi sawah terhadap biaya usahataninya. Biaya usahatani per satuan luas bervariasi sesuai dengan luas sawahnya (Tabel 30). Pada sawah yang relatif sempit biaya usahatani padi sekitar Rp 12,2 juta/ha/th (IP 200%), tetapi biaya usahatani tersebut menurun sampai sekitar Rp 9,1 - Rp 9,6 juta/ha pada lahan sawah yang lebih luas. Biaya usahatani tersebut belum termasuk sewa lahan dan bunga modal. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa besaran WTA petani padi sawah relatif kecil, yakni sekitar 5,5%-24,8% dari total biaya usahataninya.
157
Tabel 33. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani padi sawah
Sumber Keragaman
DB
Analisis sidik ragam Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-value Prob > F
Model
3
47,6856
15,8952
Error
56
100,5527
1,7956
Total terkoreksi 59
148,2383
2
R = 0,3217; Adj. R2 = 0,2853; Variabel
DB
Dugaan parameter
INTERSEP LUAS LUAS2 D_UNTUNG
1 1 1 1
4,1556 -3,1199 0,7354 -0,9417
8,852
0,0001
C.V. = 62,73
Galat baku 0,5030 1,1068 0,3661 0,4081
T-value 8,262 -2,819 2,009 -2,308
Prob > |T| 0,0001 0,0067 0,0494 0,0247
Catatan : Variabel tak bebas adalah WTA
4.0 3.5 Rp juta/ha
3.0 2.5
WTA_R
2.0
WTA_U
1.5 1.0 0.5
0. 25 0. 50 0. 75 1. 00 1. 25 1. 50 1. 75 2. 00 2. 25 2. 50 2. 75 3. 00
0.0
Luas saw ah (ha)
Gambar 50. Hubungan antara luas sawah (ha) dengan WTA petani yang usahataninya menguntungkan (WTA_R) dan merugikan (WTA_R)
158
14
30
12
25
WTA Proporsi (%)
10
20
8 15
%
Rp juta/ha
Biaya_UST
6 10
4
3
2. 5 2. 75
0 2 2. 25
0 1 1. 25 1. 5 1. 75
5
0. 25 0. 5 0. 75
2
Luas saw ah (ha)
Gambar 51. Proporsi WTA petani padi sawah terhadap biaya usahataninya
Petani lahan kering Berbeda dengan petani padi sawah, seluruh responden petani lahan kering menginginkan adanya pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian (WTA>0). Hal tersebut terutama apabila mereka diminta untuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahataninya. Teknik konservasi tanah dan air pada lahan kering dapat berupa sistem terasering seperti teras bangku dan teras gulud atau sistem vegetatif, seperti strip rumput. Berdasarkan pengalaman petani yang sudah menerapkan dan perkiraan petani yang bersedia akan menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada usahatani lahan kering, diperoleh informasi bahwa penerapan sistem teras bangku memerlukan biaya investasi sekitar Rp 4,9 juta/ha pada lahan kering tanaman pangan dan Rp 5,2 juta/ha pada lahan kering tanaman tahunan (Tabel 34). Penerapan teras gulud memerlukan biaya sekitar Rp 4,0 - 4,2 juta/ha dan teknik vegetatif sekitar Rp 2,0 - 3,5 juta/ha. Perbedaan biaya penerapan sistem terasering sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, terutama kemiringan lereng dan kedalaman solum tanah.
159
Biaya penerapan teknik konservasi tanah dan air meliputi upah tenaga kerja dan bahan/material. Proporsi biaya upah tenaga kerja sekitar 73%-94% untuk sistem terasering dan 51%-79% untuk sistem vegetatif. Proporsi biaya bahan/material mencapai 6%-27% untuk sistem terasering dan 21%-49% untuk sistem vegetatif. Bahan atau material penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa bambu, kayu, batu, bibit rumput, dan bibit tanaman konservasi. Besaran biaya investasi tersebut menjadi salah satu kendala utama sebagian besar petani untuk menerapkan teknik KTA pada lahan kering. Selain
memerlukan
biaya
investasi
penerapan
teknik
KTA
juga
memerlukan biaya pemeliharaan, seperti memperbaiki teras atau guludan dan bangunan terjunan yang rusak, mengembalikan tanah yang terperangkap pada saluran teras, menyulam rumput penguat teras, dan lain-lainnya. Biaya pemeliharaan teknik KTA sekitar Rp 345.000/ha untuk sistem terasering dan Rp 210.000/ha untuk sistem vegetatif. Biaya pemeliharaan tersebut pada umumnya untuk biaya upah tenaga kerja. Sekalipun biaya pemeliharaan tersebut relatif kecil tetapi bagi petani menjadi kendala untuk memelihara komponen teknik KTA, khususnya teras dan rumput penguat teras. Kedua tolok ukur biaya yang diperlukan dalam penerapan teknik KTA pada lahan kering menjadi acuan untuk melakukan simulasi WTA seandainya para petani tersebut diminta untuk menerapkan teknik KTA, baik sistem terasering maupun vegetatif. Pendugaan WTA petani lahan kering diawali dengan analisis korelasi dan diagram sebaran data. Sebagaimana hasil analisis korelasi di atas besaran nilai WTA berbanding terbalik dengan luas lahan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang berarti semakin luas lahan garapan, semakin besar pendapatan petani dan semakin banyak anggota keluarga maka besaran nilai WTA akan semakin kecil. Demikian pula petani yang saat ini sudah menerapkan teras bangku besaran
160
WTA-nya akan lebih rendah daripada mereka yang belum menerapkannya. Maknanya semakin mandiri petani maka semakin kecil tuntutan imbalan pembayaran jasa lingkungannya.
Tabel 34. Biaya investasi penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan kering berbasis tanaman tahunan dan tanaman pangan semusim, Sub DAS Citarik 2003 Usahatani lahan kering
Tenaga Kerja (TK)
Nilai Upah TK
Alat & Material
Total Biaya
HOK
Rp juta
Rp juta
Rp juta
274,6
4,9
0,3
5,2
(94)
(6)
(100)
187.0
3.1
1.2
4.2
120,0
(73) 1,8
(27) 1,7
(100) 3,5
(51)
(49)
(100)
4,4
0,5
4,9
(90)
(10)
(100)
179.0
3.3
0.7
4.0
75,0
(82) 1,6
(18) 0,4
(100) 2,0
(79)
(21)
(100)
A. Agroforestri/kebun campuran 1. Teras bangku (%) 2. Teras gulud (%) 3. Vegetatif (%) B.Tanaman Pangan Semusim 1. Teras bangku
223,3
( %) 2. Teras gulud (%) 3. Vegetatif (%) Keterangan : HOK = hari orang kerja Sumber: data primer
Sebagai langkah diagnosa gejala multikoliniaritas pada Lampiran 17 dapat diketahui bahwa variabel luas lahan berkorelasi nyata dengan status responden (D_TP atau D-KC), jumlah anggota keluarga, proporsi pendapatan luar usahatani, dan pendapatan. Oleh karena itu dalam pendugaan model WTA petani lahan kering variabel-variabel yang disebutkan terakhir dikeluarkan dari model persamaan regresi. Berdasarkan diagram data WTA dan luas lahan garapan (Gambar 52) ada kecenderungan hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat non-linear,
161
yakni kuadratik. Kemudian berdasarkan tanda dan besaran absolut koefisien regresinya dapat diketahui bahwa besaran nilai WTA akan semakin kecil apabila luas lahan garapan meningkat dan pada luasan lahan tinggi tertentu akan dicapai WTA minimum tetapi kemudian WTA tersebut akan meningkat lagi seiring dengan peningkatan luas lahan garapan. Demikian juga hubungan antara besaran nilai WTA dengan jumlah anggota keluarga sebagaimana disajikan pada Gambar 53 bersifat tidak linear. Berdasarkan tanda dan besaran koefisien regresinya dapat dinyatakan bahwa nilai WTA pada mulanya meningkat sampai dicapai nilai WTA maksimum pada ukuran keluarga tertentu dan kemudian nilai WTA tersebut menurun kembali seiring dengan peningkatan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan uji nilai tengah besaran nilai WTA petani lahan kering dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 6 berbeda nyata dengan WTA petani yang jumlah keluarganya hanya 2 orang. Hal ini menunjukkan keberadaan tenaga kerja keluarga sangat diperlukan untuk mengelola usahatani lahan kering. Kondisi tersebut ada kaitannya dengan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya lahan kering.
6.0
5.4
WTA (Rp juta/ha)
5.0 3.6
4.0
2.8
2.8
1,00-1,50
>=1,50
2.7
3.0 2.0 1.0 0.0 < 0,50
0,50 - 0,75
0,75 - 1,00
Luas garapan (ha/KK)
Gambar 52. Diagram sebaran data WTA petani lahan kering berdasarkan luas lahan garapannya
162
Hasil analisis model regresi berganda fungsi WTA petani lahan kering atas beberapa variabel yang dianalisis disajikan pada Lampiran 18. Model tersebut dapat menjelaskan 43,6% variasi besaran nilai WTA Petani lahan kering. Namun demikian tanda koefisien regresi variabel dumy keuntungan usahatani tidak relevan dan tidak signifikan maka variabel tersebut dikeluarkan dari model.
6.0 WTA (Rp juta/ha)
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 2
3
4
5
6
>6
Ukuran keluarga (orang/KK)
Gambar 53. Hubungan antara ukuran keluarga dan WTA petani lahan kering Atas dasar pertimbangan itu model dugaan fungsi WTA petani lahan kering dimodifikasi dan hasilnya disajikan pada Tabel 35. Model dugaan tersebut nyata pada α 0,0001 dengan R2 sebesar 43,6%. Pada taraf α 10% ada beberapa variabel dengan koefisien regresi yang nyata atau berpengaruh terhadap variasi model. Variabel-variabel tersebut adalah jenis tanaman (dummy D_TP=1 tanaman pangan dan 0 untuk tanaman perkebunan atau agroforestri), penerapan teras bangku (dummy D_TB=1 untuk yang sudah menerapkan dan 0 untuk lainnya), jumlah anggota keluarga, pendapatan dan luas lahan garapan. Berdasarkan tanda koefisien regresi variabel D_TP yang positif dapat dinyatakan bahwa WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim, -citeris paribus lebih tinggi daripada petani kebun campuran. Hal itu dapat dikaitkan dengan intensitas pengelolaan lahan kering tanaman pangan semusim yang relatif lebih tinggi daripada usahatani kebun campuran. Nilai WTA petani yang
163
sudah menerapkan teras bangku lebih rendah daripada petani yang belum menerapkannya.
Hal ini ada kaitannya dengan
harapan
petani untuk
memperoleh bantuan finansial untuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air, termasuk teras bangku. Tingkat pendidikan petani lahan kering cenderung berpengaruh negatif terhadap besaran WTA (α 15%). Hal ini sangat menarik karena dapat dijadikan indikator bahwa peningkatan pendidikan petani lahan kering akan berperan terhadap perkembangan penerapan teknik konservasi tanah dan air tanpa harus ada bantuan finansial secara penuh dari pemerintah atau pihak lain. Tabel 35. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani lahan kering Sumber Keragaman Model Error C Total
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
10 64 74
151,012 195,378 346,391
15,101 3,053
R2 = 0,436; C.V. = 40,31 Koefisien Variable DB Regresi INTERCEP D_TP D_TB PDK JML_AK D_PKEL INCOME INCOME2 LUAS LUAS2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7,594 1,108 -0,765 -0,135 -0,357 -0,552 0,239 -0,007 -4,968 1,372
F_value Prob > F 4,947
0,0001
Standard Error T_value Prob > T 1,1799 0,4375 0,4577 0,0867 0,1418 0,5735 0,1445 0,0057 1,2087 0,4663
6,436 2,534 -1,673 -1,564 -2,519 -0,964 1,660 -1,295 -4,110 2,943
0,0001 0,0137 0,0992 0,1228 0,0142 0,3386 0,1017 0,1999 0,0001 0,0045
Catatan : variabel tak bebas = WTA
Hal yang menarik juga pengaruh luas lahan garapan terhadap nilai WTA petani lahan kering. Tanda negatif koefisien linear variabel luas lahan dengan nilai absolutnya lebih besar daripada koefisien kuadratiknya menunjukkan bahwa
164
besaran WTA bergerak menurun dengan cepat sejalan dengan peningkatan luas lahan, tetapi
kemudian meningkat kembali pada besaran luas lahan tinggi
tertentu. Secara diagram model penduga kuadratik nilai WTA atas variabel luas lahan dengan mengasumsikan pengaruh variabel lain bersifat konstan (citeris paribus) disajikan pada Gambar 54.
7.0
Rp juta/ha
6.0 5.0 4.0
WTA_TP
3.0
WTA_AG
2.0 1.0
2. 5
2. 2
2. 0
1. 8
1. 6
1. 3
0. 9
0. 5
0. 1
0.0
Luas lahan (ha)
Gambar 54. Hubungan antara luas lahan dan WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (WTA_TP) dan tanaman tahunan (WTA_AG) WTA petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim (WTA_TP) lebih tinggi daripada petani lahan kering berbasis tanaman tahunan (WTA_AG). Pada luas lahan garapan sekitar 1,5 ha nilai WTA petani agroforestri sekitar Rp 1,4 juta/ha dan petani tanaman pangan semusim Rp 2,1 juta/ha. Dikaitkan dengan biaya investasi yang diperlukan untuk menerapkan teknik KTA pada lahan kering nilai WTA petani tersebut sekitar 44%-132% bagi penerapan sistem terasering atau 74%-220% bagi penerapan sistem vegetatif dan kisaran rataratanya 56%-165% tergantung pada luas lahannya (Gambar 55). Pada luas lahan garapan
antara 1,75-2,0
ha/petani
insentif
minimal yang
dapat
menggerakkan petani untuk menerapkan teknik KTA adalah sekitar 45% dan 74% dari kebutuhan biaya investasinya masing-masing dengan sistem terasering (teras bangku atau teras gulud) dan sistem vegetatif. Relatif tingginya proporsi
165
insentif minimal untuk menerapkan sistem vegetatif ada kaitannya dengan relatif rendahnya investasi untuk penerapan teknik KTA tersebut dan kurang diminati petani karena menanam rumput, sebagai contoh- belum tentu memberikan manfaat langsung bagi petani karena mereka tidak memiliki ternak.
7.0 6.0
Rp juta/ha
5.0 WTA
4.0
Biaya_T 3.0
Biaya_V
2.0 1.0
2. 5
2. 2
2
1. 8
1. 6
1. 3
0. 9
0. 5
0. 1
0.0
Lua lahan (ha)
Gambar 55. Nilai WTA petani lahan kering dan biaya investasi penerapan teknik KTA sistem terasering (Biaya_T) dan vegetatif (Biaya_V)
6.2.4. Bentuk dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani Bentuk insentif yang diharapkan petani sebagai pembayaran jasa lingkunan pertanian cukup beragam. Dalam simulasi WTA ada delapan jenis pembayaran jasa lingkungan pertanian yang sangat diharapkan petani padi sawah agar mereka tetap bertahan sebagai petani (Tabel 36). Empat jenis pembayaran jasa lingkungan yang dominan diharapkan oleh petani adalah berupa bantuan saprodi, jaminan harga gabah, perbaikan sarana irigasi, dan tunjangan khusus bagi petani. Sarana produksi usahatani padi (saprodi) yang dapat dijadikan sebagai bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian adalah pupuk, obat-obatan, dan benih padi. Mekanismenya dapat berupa penurunan harga beli khusus bagi
166
petani sekitar 25-45% dari harga pasar, sedangkan benih padi dapat berupa natura sebanyak 20 kg/ha. Jaminan harga hasil pertanian, khususnya gabah sangat diharapkan oleh sekitar 30% responden. Para petani mengetahui adanya harga dasar gabah tetapi harga pembelian oleh pedagang gabah selalu lebih rendah daripada harga dasar tersebut. Menurut petani jaminan harga gabah sebaiknya bersifat perbandingan terhadap harga pupuk (misalnya urea) dengan kisaran antara 1,52,0 artinya harga 1 kg gabah setara dengan harga 1,5 - 2 kg pupuk urea. Bantuan yang terkait dengan sarana irigasi adalah pengerukan saluran irigasi sekunder dan terssier. Sedangkan tunjangan khusus yang dimaksud petani adalah seperti gaji bagi pegawai. Analogi para petani adalah mereka membantu pemerintah dalam menyediakan bahan makanan bagi masyarakat luas atau penduduk, apalagi usahatani padi juga bermanfaat bagi kelestarian kualitas lingkungan hidup. Tabel 36. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas pertama yang diharapkan petani padi sawah, Kabupaten Bandung Jumlah responden Bentuk pembayaran jasa lingkungan % 1. Berupa sarana produksi padi
29
48,3
2. Berupa jaminan harga gabah
18
30,0
3. Berupa perbaikan saluran irigasi
3
5,0
4. Berupa tunjangan khusus
3
5,0
5. Berupa alat-mesin pertanian
2
3,3
6. Berupa penghapusan PBB
2
3,3
7. Berupa penyuluhan pertanian
1
1,7
8. Lain-lain
2
3,3
60
100
Jumlah Sumber : data primer
Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas berikutnya yang diharapkan petani padi sawah ada delapan jenis (Tabel 37). Empat jenis pembayaran jasa lingkungan yang paling umum berupa pelayanan sosial
167
(23,6%), tunjangan khusus (16,4%), dan bantuan alsintan (14,57%). Pelayanan sosial yang dimaksud petani adalah sejenis bantuan jaring pengaman sosial (JPS) khususnya untuk kesehatan dan pendidikan anak petani. Bantuan alatmesin pertanian terutama berupa traktor pengolahan tanah dan alat pemanen padi (thresher) yang dapat dikelola oleh kelompok tani. Tabel 37. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas kedua yang diharapkan petani padi sawah, Kabupaten Bandung Jumlah responden
%
1. Berupa pelayanan sosial
13
23,6
2. Berupa tunjangan khusus
9
16,4
3. Berupa alat-mesin pertanin
8
14,5
4. Berupa perbaikan saluran irigasi
7
12,7
5. Berupa sarana produksi padi
6
10,9
6. Berupa penghapusan PBB
5
9,1
7. Berupa jaminan harga gabah
5
9,1
8. Berupa penyuluhan pertanian
2
3,6 100
Bentuk pembayaran jasa lingkungan
Jumlah
55
Catatan : Lima orang responden tidak memberi jawaban
Bentuk kebijakan yang terkait dengan penyuluhan pertanian dan penghapusan PBB ternyata kurang mendapat perhatian atau tidak populer bagi petani padi sawah. Hal itu mungkin sekali para petani sudah memperoleh media pengganti penyuluhan pertanian berupa media massa, baik media cetak maupun elektronik sehingga petani tidak terlalu sulit untuk memperoleh informasi dan mengikuti perkembangan teknologi pertanian. Penghapusan PBB (pajak bumi dan bangunan) sebagai bentuk bantuan atau subsidi tidak populer bagi petani karena selain nilainya relatif kecil, juga petani sepertinya tidak memperoleh apaapa. Besaran tarif bersih PBB yang harus dibayar untuk tanah sawah sekitar Rp 14 - 32 /m2 tergantung kelas lahannya, tanah darat tanpa bangunan di pedesaan sekitar Rp 15 - 51/m2, sedangkan tanah darat yang ada bangunannya sekitar Rp
168
35 - Rp 235/m2. Dengan demikian tarif PBB lahan sawah seluas satu hektar sekitar Rp 235.000/tahun; nilai tersebut lebih kecil daripada manfaat jasa lingkungan lahan pertanian yang diharapkan oleh petani. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan oleh petani lahan kering antara lain berupa sarana produksi pertanian (saprotan) dinyatakan oleh 53,3% petani agroforestri dan tanaman pangan semusim dan berupa uang tunai yang dinyatakan oleh 16,7% petani agroforestri dan 26,7% petani tanaman pangan semusim (Tabel 38).
Bentuk pembayaran jasa lingkungan berupa
saprotan yang utama bagi petani lahan kering berbasis tanaman tahunan adalah bibit tanaman dinyatakan oleh 62,3% responden dan pupuk (37,7%), sedangkan bagi petani lahan kering berbasis tanaman pangan semusim adalah pupuk (58,5%) dan benih (41,5%).
Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian
berupa kebijakan pengendalian harga input dan hasil pertanian lahan kering, serta penyuluhan pertanian kurang diminati petani lahan kering. Tabel 38. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani lahan kering berbasis agroforestri (AG) dan tanaman pangan semusim (LP), Kabupaten Bandung, 2005 Bentuk pembayaran jasa lingkungan
AG
LP
Jumlah responden
%
Jumlah responden
%
1. Berupa saprotan
16
53,3
24
53,3
2. Berupa modal/tunai
5
16,7
12
26,7
3. Berupa penurunan harga saprotan
4
13,3
3
6,7
4. Berupa kenaikan harga hasil pertanian
2
6,7
4
8,9
5. Berupa penyuluhan
3
10,0
2
4,4
30
100,0
45
100,0
Jumlah
Berdasarkan hasil analisis WTP dan WTA jasa lingkungan pertanian sebagaimana diuraikan di atas dapat dihitung potensi nilai total WTP dan WTA.
169
Jumlah penduduk di sembilan kecamatan yang sudah terbiasa kena banjir dan potensial terkena banjir berdasarkan pemantauan Dinas Sosial Kabupaten Bandung sekitar 79.409 kepala keluarga. Dengan demikian potensi nilai total WTP jasa lingkungan pertanian sekitar Rp 829 juta/tahun, sedangkan potensi nilai total WTA petani lahan sawah (pada tingkat konversi lahan sawah 922 ha) adalah Rp 1.936 juta dan WTA petani lahan kering (pada tingkat konversi lahan kering 665 ha) adalah Rp 2.860 juta. Besaran nilai total WTP tersebut sekitar 17,3% dari nilai total WTA. Walaupun proporsi WTP tersebut kecil tetapi hal itu sangat bermakna apabila dikaitkan dengan upaya pelestarian lingkungan huluhilir yang kompleks. Selain itu pembayaran jasa lingkungan (WTP) terhadap suatu fungsi, seperti halnya mitigasi banjir pada dasarnya sama dengan memelihara fungsi-fungsi lingkungan lainnya.
6.3. Fenomena Konversi Lahan Pertanian dan Kebijakan Pengendaliannya 6.3.1. Fenomena konversi lahan pertanian Konversi atau alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan sawah menjadi lahan non-pertanian merupakan persoalan yang dilematis. Sebagian dari konversi lahan pertanian merupakan proses yang sulit dihindari, misalnya untuk memenuhi
kebutuhan
lahan
permukiman,
industri,
perdagangan,
dan
infrastruktur lainnya. Secara nasional konversi lahan sawah pada periode 19812002 mencapai 2.190.673 ha atau 65% dari seluruh areal lahan sawah baru yang dicetak dan dikembangkan pada periode tersebut. Dengan demikian selama 21 tahun tersebut rata-rata konversi lahan sawah mencapai 104.318 ha/tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa (53,4%), sisanya di Luar Jawa (46,6%). Kecenderungan (trend) konversi lahan pertanian, khususnya sawah adalah meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1987-1991 konversi
170
lahan sawah di Jawa sekitar
22.200 ha/tahuh (Rusastra dan Budhy 1997),
kemudian meningkat menjadi 56.000 ha/tahun pada periode 1992- 2002 (Sutomo 2004). Peningkatan laju konversi lahan sawah di luar Pulau Jawa lebih cepat lagi, yakni dari 34.748 ha/tahun pada periode tahun 1981-1999 menjadi 123.003 ha/tahun
(periode
1999-2002)
atau
peningkatannya
lebih
dari
350%.
Dibandingkan dengan luas baku lahan sawah laju konversi lahan sawah pada periode tersebut adalah 1,68%/th di Jawa dan
2,98%/th di luar Jawa, atau
secara nasional 2,42%/th. Secara nasional tujuan konversi lahan sawah tersebut adalah untuk perumahan (49,0%), industri (8,2%), perkantoran (14,5%), dan lain-lain (28,3%), sedangkan di Jawa konversi lahan sawah umumnya untuk industri (65%), perumahan (30%), dan penggunaan lainnya (5%) (Nasoetion 2003, Widjanarko et al. 2001).
Dengan demikian laju konversi lahan sawah tersebut telah
mengalami percepatan atau akselerasi yang sangat menghawatirkan akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Dampak negatif laju konversi lahan sawah (2,42%/th) yang bersinergi dengan laju pertumbuhan penduduk (1,41,5%/th) akan sangat fatal terhadap upaya penyediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri mengingat laju peningkatan produktivitas padi sawah, indeks pertanaman, dan penerapan teknologi pasca panen padi yang relatif masih rendah. Pada tahun 1990-2002 keragaan sub-sektor pertanian tanaman pangan, khususnya padi sawah dicirikan oleh laju peningkatan produktivtas dan IP padi sawah masing-masing 0,40% dan 0,95% per tahun, sedangkan kadar atau rendemen beras relatif konstan sekitar 61-63%. Selain itu konversi lahan sawah, baik di Jawa maupun di luar Jawa terjadi pada daerah-daerah sentra produksi yang tanahnya subur dan berjaringan irigasi teknis. Berdasarkan data Potensi Desa (ST2003) konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat mencapai 61.916 ha dan sekitar 6.522 ha (10,5%) terjadi di
171
Kabupaten Bandung. Proporsi konversi lahan sawah tahun 2003 di Provinsi Jawa Barat 5,2% dari total luas sawah atau 7,2% dari luas sawah beririgasi. Sementara di Kabupaten Bandung proporsi konversi lahan sawah tersebut lebih tinggi, yakni 11,2% dari total luas sawah atau 17,0% dari luas sawah beririgasi. Tujuan konversi lahan sawah baik di tingkat Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten Bandung relatif serupa: sebagian besar bagi peruntukan nonpertanian, terutama perumahan, industri dan prasarana lainnya (Tabel 39). Tabel 39. Konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung, 2003 Deskripsi Luas sawah
Jawa Barat ha %
Kabupaten Bandung ha %
1.192.953
100,0
58.409
100,0
Sawah irigasi
858.520
72,0
38.443
65,8
Sawah non-irigasi
334.433
28,0
19.966
34,2
Sawah dikonversi Tujuan konversi menjadi :
61.916
5,2*
6.522
11,2*
a. lahan kering
17.599
28,4
1.877
28,8
b. perumahan
21.009
33,9
1.991
30,5
c. kawasan industri
12.361
20,0
616
9,4
d. perkantoran
7.738
12,5
760
11,7
e. prasarana lainnya
3.209
5,2
1.279
19,6
Sumber : diolah dari data ST2003. Keterangan *) persentase terhadap total luas sawah.
Fenomena konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik relatif sama polanya dengan konversi lahan sawah lingkup kabupaten atau provinsi. Berdasarkan hasil analisis data citra Wahyunto et al. (2001) menunjukkan bahwa pada tahun 1969 lahan sawah di Sub DAS Citarik ada 9.675,4 ha (36,6 % dari luas wilayah Sub DAS), kemudian meningkat menjadi 10.127 ha (38,3%) pada tahun 1991, tetapi menyusut kembali menjadi 9.340 ha (35,4%) pada tahun 2000. Dengan demikian selama 9 tahun tersebut terjadi konversi lahan sawah seluas 787 ha atau rata-rata 87,4 ha ( 0,3%) per tahun. Kemudian pada tahun
172
2003 konversi lahan sawah meningkat menjadi 921,9 ha. Dengan demikian laju konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik mengalami percepatan karena konversi lahan sawah selama 39 tahun (periode 1969-2000) hanya sekitar 50,7 ha/th. Konversi lahan sawah di lokasi penelitian sebagian besar (64%) menjadi lahan permukiman dan kawasan industri, khususnya terjadi pada tahun 1991, 1998, dan 2000. Sebagian lagi (36%) lahan sawah dikonversi menjadi lahan kering (tegalan), terutama terjadi pada tahun 1991 dan 1998 (Wahyunto, etl al. 2001). Dampak konversi lahan pertanian bukan hanya terhadap hilangnya potensi produksi hasil-hasil pertanian, tetapi juga hilangnya kesempatan kerja, menurunnya ketahanan pangan regional atau nasional dan kualitas lingkungan hidup. Hal yang perlu dicermati adalah dampak negatif konversi lahan tersebut bersifat tidak balik (irreversible) atau permanen, kumulatif, dan progresif. Misalnya, fungsi pengendali banjir, erosi dan sedimentasi dari hamparan lahan sawah yang dikonversi pada suatu wilayah tidak bisa diganti dengan mecetak dan mengembangkan lahan sawah baru di tempat lain. Penggantian fungsifungsi lingkungan tersebut secara artifisial mungkin saja dapat dilakukan dengan biaya tertentu yang jika diperhitungkan secara finansial akan berakibat berubah atau berkurangnya kelayakan investasi yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah tersebut menjadi lahan non-pertanian. Besaran atau magnitude hilangnya potensi hasil padi dan palawija, serta kesempatan kerja akibat konversi lahan sawah bersifat kumulatif dan progresif dengan laju pertumbuhannya seperti pola eksponensial positif.
Sebagai contoh Gambar 56 menyajikan ilustrasi
dampak konversi lahan sawah terhadap penurunan produksi dan peningkatan impor pangan (beras) yang bersifat eksponensial. Diasumsikan pada kondisi awal (T0) terdapat keseimbangan antara produksi atau supply (Qs) dan kebutuhan konsumsi atau permintaan (Qd). Jika
173
pada tiga tahun berikutnya terjadi konversi lahan sawah masing-masing seluas K1, K2, dan K3 (ha/th) dan produktivitas sawah tersebut sebesar P1, P2, P3 (t/ha) maka potensi produksi padi yang hilang pada masing-masing tahun tersebut adalah tahun pertama : (P1xK1) ton, tahun kedua : (P1xK1+ P2xK2) ton, dan tahun ke tiga : (P1xK1+ P2xK2 + P3xK3) ton. Dengan demikian dampak kehilangan produksi padi bersifat kumulatif.
Nilai/Kuantitas (produksi, impor)
Tinggi Qs=Qd IM k1 Qs1
k1+k2 k2
k1+k2+k3 Qs2<
k3
Qs3<<
Rendah T0 Tn
T1
T2
T3
T4
Waktu
Gambar 56.Ilustrasi dampak konversi lahan pertanian (sawah) terhadap penurunan produksi pertanian/beras (TP) dan peningkatan impor pangan (IM) (Sumber: diadaptasi dari Irawan et al. 2005)
Sifat progresif dampak negatif konversi lahan tersebut semakin dipercepat karena konversi lahan bersifat "menular", yakni manakala sebagian lahan sawah dalam suatu hamparan lahan pertanian sudah dikonversi menjadi kawasan terbangun, seperti permukiman atau industri maka cepat atau lambat hamparan lahan pertanian di sekelilingnya akan terkonversi juga sebagai akibat permintaan lahan dan harga tanah yang meningkat. Dalam kondisi tertentu lahan pertanian tersebut mungkin saja tidak dikonversi, tetapi karena lingkungannya suah tidak
174
kondusif untuk pertanian maka lahan tersebut menjadi kurang bermanfaat, seperti bera atau idle. Di sisi lain selalu ada peluang untuk menerapkan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas tanah dari waktu ke waktu (dalam ilustrasi di atas dapat berlaku P3>P2>P1) sehingga potensi kehilangan produksi pertanian tersebut di masa depan sebenarnya akan lebih besar lagi. Konsekuensi sifat dampak tersebut terhadap ketahanan pangan, jika tidak ada upaya untuk menanggulanginya dalam waktu yang tepat akan terasa seperti "mendadak" atau "meledak" pada suatu saat. Hal itu karena penurunan total produksi atau pasokan (suppy) pangan bersifat eksponensial negatif, sedangkan peningkatan permintaan dapat bersifat eksponensial positif sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk. Mengacu pada Gambar 56 tersebut pada tahun awal (T0) ketahanan pangan dalam keadaan stabil (supply/Qs= demand/Qd). Pada tahun berikutnya Qs menurun akibat konversi lahan sawah sebesar K1, sementara Qd meningkat atau setidak-tidaknya konstan. Pada T3 konversi lahan pertanian sudah berlipat ganda yang berakibat pada penurunan produksi (TP) dan pasokan (Qs) pangan. Pada kondisi tersebut ketahanan pangan hanya dapat distabilkan melalui pengadaan pangan impor yang jumlahnya akan meningkat secara eksponensial. Ilustrasi pada Gambar 56 juga dapat digunakan untuk menjelaskan dampak konversi lahan pertanian, khususnya sawah terhadap kualitas lingkungan. Kegiatan konversi lahan sawah akan mengakibatkan berkurangnya areal resapan air sehingga daya sangga air wilayah tersebut akan menurun. Tanpa pengendalian dampak lingkungan yang tepat berkurangnya areal resapan air dan menurunnya daya sangga air suatu wilayah akan menimbulkan bencana banjir pada musim hujan dan kekurangan sumber air bersih pada musim kemarau. Konversi lahan sawah menjadi permukiman akan meningkatkan erosi
175
tanah, baik erosi yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan pra-konstruksi dan konstruksi pembangunan perumahan maupun erosi dari areal permukiman. Mengingat dampak konversi lahan pertanian, khususnya sawah terhadap lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas maka diperlukan kajian lingkungan berupa analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) untuk setiap rencana kegiatan konversi lahan tersebut. Analisis dampak konversi lahan pertanian, khususnya sawah sejalan dengan kriteria dampak penting suatu rencana kegiatan yang dirumuskan dalam Keputusan Kepala Bapedal No 56/tahun 1994. Menurut peraturan tersebut kriteria dampak penting yang mungkin timbul dari suatu rencana kegiatan ditentukan oleh faktor-faktor : (1) jumlah manusia yang terkena dampak, (2) luas wilayah sebaran dampak, (3) lamanya dampak berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan yang akan terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik tidaknya dampak atau sifat irreversible (KepKaBapedal 1994).
6.3.2. Kebijakan pengendalian konversi lahan Secara teoritis mekanisme pasar merupakan kelembagaan yang paling efisien dalam mengatur alokasi sumberdaya, tetapi ada pengecualian untuk sumberdaya lahan.
Strategi pengendalian konversi lahan pertanian dengan
pendekatan mekanisme pasar sangat sulit diterapkan. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama: mekanisme pasar yang terjadi tidak murni bersaing sempurna, misalnya informasi rencana pemanfaatan ruang tidak bisa diakses oleh semua pihak dengan kemudahan yang sama, sehingga alokasi sumberdaya lahan yang diserahkan pada mekanisme pasar semata akan menimbulkan ketidakadilan. Kedua: dalam jangka pendek mempertahankan eksistensi lahan pertanian secara finansial umumnya tidak ekonomis jika dibandingkan dengan pemanfaatannya untuk aktivitas non-pertanian, seperti
176
perumahan, industri dan perdagangan. Ketiga: sifat sumberdaya lahan yang mempunyai implikasi ekternalitas kepemilikan, seperti jika seseorang menjual sebidang lahan pertanian lalu dibangun menjadi pabrik, maka dengan sendirinya lahan pertanian di sekitar lokasi tersebut akan terpengaruh oleh konversi lahan tersebut. Salah satu pengaruhnya akan terjadi peningkatan harga tanah yang merangsang masyarakat untuk menjual lahan yang dimilikinya. Keempat: lahan pertanian merupakan sumberdaya yang sarat dengan nilai, adat dan budaya masyarakat agraris yang apabila diintervensi oleh dominasi mekanisme pasar sebagai instrumen kelembagaan alokasi sumberdaya akan menimbulkan berbagai bentuk konflik yang merugikan masyarakat tersebut. Kelima : lahan pertanian mempunyai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan baik terhadap lingkungan biofisik maupun sosial-ekonomi. Manfaat multifungsi atau jasa lingkungan pertanian bukan hanya dinikmati oleh petani tetapi juga oleh masyarakat luas. Manfaat jasa lingkungan pertanian pada umumnya bersifat sebagai public good dan nilai manfaat tersebut belum dipertimbangkan dalam mekanisme pasar. Mengingat hal tersebut maka pengendalian konversi lahan pertanian tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, tetapi harus ditempuh melalui pengembangan sistem kelembagaan non-pasar, yakni melalui regulasi, kebijakan dan implementasi pelaksanaan tata ruang yang dilandasi visi jangka panjang dimana zonasi dalam penataan ruang tersebut secara cermat mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan (biofisik) secara
proporsional.
Sejalan
dengan
argumentasi
tersebut
pemerintah
sebenarnya telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian dan menata berbagai kawasan.
177
Selain UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), dasar kebijakan pertanahan adalah UU No. 5 tahun 1960, yakni Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk : (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; (2) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara manusia dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan (3) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara manusia dengan perbuatan hukum terhadap bumi, air, dan ruang angkasa. Dengan demikian pada dasarnya asas "negara menguasai" adalah negara menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur peruntukan, persediaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Selanjutnya undang-undang yang lebih spesifik mengenai penataan ruang adalah UU No. 24 tahun 1992, yakni Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) yang mengamanatkan penataan ruang diselenggarakan dengan berasaskan pada pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Tujuan penataan ruang adalah: (1)
terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dan
berlandaskan
Wawasan
Nusantara
dan
Ketahanan
Nasional,
(2)
terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan (3) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Kemudian undang-undang tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU No. 12 Tahun 1992) mengamanatkan bahwa perubahan peruntukan budidaya tanaman menjadi keperluan non-pertanian harus memperhatikan produksi tanaman (bahan
178
pangan) secara nasional atau swasembada pangan. Selanjutnya undang-undang mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No 23 tahun 1997) dan undangundang tentang Pemerintahan Daerah (UU No 34 tahun 2004) yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup akibat konversi lahan pertanian yang tidak terkendali seharusnya menjadi perhatian setiap pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Berkenaan dengan lahan pertanian, khususnya budidaya padi pada lahan sawah irigasi teknis, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan sawah ke non pertanian, baik pada tingkat Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presidan dan Keputusan Menteri, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan tanah dan Penyelenggaraan penatagunaan tanah, yang bertujuan (Pasal 3) untuk mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW, sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW,
dan
menjamin
kapastian
hukum
untuk
menguasai
dan
memanfaatkan tanah yang sesuai dengan RTRW. b.
Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 tahun 1989 yang diperbaharui menjadi Keppres No. 98 tahun 1998 tentang Kawasan Industri yang antara lain menegaskan bahwa pembangunan kawasan industri tidak menggunakan lahan sawah atau lahan pertanian yang subur.
c.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri: SE Mendagri No. 590 tanggal 24 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa penyediaan lahan untuk kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan lahan pertanian ke non pertanian agar tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan.
179
d.
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas selaku Ketua BKTR kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 5334 tanggal 29 September 1994 tentang efisiensi pemanfaatan tanah bagi pembangunan perumahan yang secara umum menyatakan bahwa pembangunan kawasan perumahan tidak dilakukan di atas tanah sawah beririgasi teknis.
e.
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5417 tanggal 4 Oktober 1994 dan Surat Menteri Dalam Negeri No. 474 tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian yang subur dan berpengairan teknis. Dengan demikian pada dasarnya sejumlah peraturan perundang-undangan
untuk mengendalikan atau mencegah konversi lahan pertanian ke non-pertanian, mulai tingkat Undang Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), dan Peraturan atau Surat Keputusan setingkat menteri telah tersedia. Apabila dikaji lebih lanjut maka instrumen utama pengendalian konversi lahan pertanian adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan mekanisme pemberian izin lokasi atas rencana kegiatan dan/atau usaha. Oleh karena itu penegakan hukum dalam pelaksanaan RTRW dan konsistensi dalam pemberian izin lokasi rencana kegiatan dan/atau usaha memegang peranan penting dalam kebijakan penataan kawasan pertanian, termasuk di dalamnya pengendalian konversi lahan pertanian. Salah satu teladan yang perlu menjadi perhatian berbagai pihak yang terkait adalah ternyata konversi lahan sawah merupakan salah satu agenda legal dan direncanakan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota). Dalam suasana pemerintahan otonomi daerah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)
180
menjadi tujuan utama pemerintah daerah. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian untuk berbagai aktivitas perekonomian dijadikan pilihan utama untuk meningkatkan PAD dalam waktu cepat.
Hasil kajian Winoto (2005)
menunjukkan sekitar 3,1 juta hektar sawah beririgasi teknis sudah dialokasikan untuk dikonversi sebagaimana tertuang dalam RTRW kabupaten/kota tahun 2003, bahkan di Propinsi Jawa Barat rencana konversi lahan sawah tersebut mencapai 60,15% dari luas baku sawah beririgasi (Tabel 40). Tabel 40. Rencana konversi lahan sawah yang tertuang dalam RTRW 2003 Pulau
Total luas sawah % Ha
Sawah beririgasi Ha %
Sawah beririgasi yang akan dikonversi Ha %
Sumatra
2.036.690
22,88
1.621.910
22,17
710.230
43,79
Jawa dan Bali
3.933.370
44,18
3.391.250
46,36
1.669.600
49,23
Propinsi Jawa Barat
1.109.560
12,46
1.094.320
14,96
658.220
60,15
Kalimantan
1.253.130
14,08
877.930
12,00
58.360
6,65
Sulawesi
982.410
11,03
858.140
11,73
414.250
48,27
NTT dan Maluku
566.100
6,36
499.050
6,82
180.080
36,08
Papua
131.520
1,48
66.460
0,91
66.460
100,00
Indonesia 8.903.220 Sumber : Winoto 2005
100,0
7.314.740
100,0
3.098.980
42,4
Konversi lahan pertanian akan sangat sulit dikendalikan manakala pemerintah sendiri sudah merencanakan melakukan hal tersebut. Oleh karena itu salah satu prasyarat yang diperlukan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian adalah melakukan revisi RTRW tersebut. Selanjutnya, penetapan zonasi lahan-lahan pertanian pada RTRW yang direvisi perlu memperhatikan berbagai fungsi dan manfaatnya secara seimbang, baik dari aspek sosialekonomi, budaya, ketahanan pangan nasional, maupun lingkungan biofisik. Berbagai pandangan para ahli mengenai perlunya lahan pertanian yang dilindungi, seperti lahan sawah abadi, lahan sawah konversi terbatas, dan sejenisnya perlu ditindak lanjuti. Pendekatan multifungsi pertanian sangat sejalan
181
dengan upaya ke arah itu dimana penilaian terhadap hamparan lahan pertanian dilakukan secara holistik, tidak hanya aspek finansial, tetapi sosial-ekonomibudaya dan lingkungan. Namun demikian menuju pengembangan lahan pertanian abadi memerlukan waktu dan proses, antara lain menyamakan pandangan adanya manfaat dan perlunya jasa lingkungan lahan pertanian, baik di tingkat produsen (masyarakat petani), konsumen, investor (pengusaha), maupun birokrat, teknokrat dan aparat pemerintah secara keseluruhan (tidak terbatas pada Sektor Pertanian). Sebagai salah satu teladan dapat ditelaah pengalaman pengendalian konversi lahan sawah di Vietnam. Konversi lahan pertanian, khususnya sawah untuk keperluan industri sedang dan sudah berkembang di Vietnam. Salah satu upaya pengendalian konversi lahan sawah untuk industri dilakukan zonasi industri secara ketat. Berdasarkan zonasi tersebut maka konversi lahan sawah hanya terjadi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Dalam hal ini
para petani yang lahannya dikonversi
menjadi zona industri akan memperoleh kompensasi dari pengembang (investor).
Besaran kompensasi bagi petani diserahkan kepada mekanisme
pasar atau musyawarah antara investor dengan para petani dan Pemerintah berperan sebagai fasilitator bagi kedua pihak dalam penentuan biaya kompensasi tersebut. Dalam hal ini Pemerintah juga membuat acuan mengenai komponen biaya kompensasi dalam rangka konversi lahan pertanian. Seperti yang dilaporkan oleh ADB (Asian Development Bank) di Provinsi Vinh Phuc dan Ha Tay, Vietnam komponen kompensasi konversi lahan sawah yang ditetapkan oleh pemerintah setempat yakni Provincial People Committee dan District People Committee mencakup nilai hak atas tanah, tanaman, tunjangan biaya hidup petani, tunjangan perubahan sumber mata pencaharian petani, dan bonus proses pembebasan atau penyerahan lahan tepat waktu. Sebagai contoh nilai
182
kompensasi lahan pertanian yang menjadi zona industri di Propinsi Vinh Phuc (tahun 2003) sekitar Rp 104.000/m2. Selain membayar kompensasi kepada petani pihak investor juga harus membayar biaya konversi lahan pertanian kepada pemerintah setempat, berupa biaya perizinan konversi lahan, asuransi, pajak tanah, dan pajak infrastruktur. Status penguasaan tanah oleh investor tersebut berupa hak sewa atau leasing (http:// www.vinhphuc.gov.vn/ubnd/ubnd/ vbpq/0105so302.html: 8 Desember 2006). Guna memperkecil dampak negatif konversi lahan pertanian yang memang terjadi pada zona industri Pemerintah Vietnam menerapkan berbagai kebijakan antara lain berupa pajak yang bertujuan untuk mengurangi biaya sosial akibat konversi lahan, seperti pengangguran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi peningkatan pengangguran di pedesaan
melalui
pendidikan,
pelatihan,
dan
peningkatan
keterampilan
masyarakat pedesaan, meminta pihak investor untuk merekrut atau menyerap angkatan kerja yang menjadi "korban" konversi lahan pertanian (bukan hanya petani tetapi juga penduduk yang kehilangan mata pencaharian), dan mendorong masyarakat untuk bekerja di sektor non-pertanian, termasuk bekerja di luar negeri. Terkait dengan konversi lahan pertanian, khususnya di lokasi penelitian, dan umum di ndonesia, berikut ini adalah usulan kebijakan yang dapat dilakukan secara bertahap, yakni jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek: Meningkatkan apresiasi multifungsi pertanian kepada masyarakat luas termasuk petani, pengembang (investor), masyarakat perkotaan dan aparat pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Para petani yang mengetahui dan memahami multifungsi pertanian akan bangga terhadap profesinya. Mereka akan
183
menyadari bahwa melalui pertanian mereka menghasilkan berbagai jasa lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Manakala para petani meminta
bantuan
pemerintah
terkait
dengan
pengembangan
usahatani
sesungguhnya bantuan itu bukan subsidi tetapi bagian dari hak mereka sebagai penyedia jasa lingkungan pertanian dan manfaat bantuan untuk pertanian bukan semata-mata untuk petani, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Selain itu perlu dimengerti oleh semua pihak bahwa perubahan atau pengalihan hak penguasaan atas lahan pertanian melalui transaksi jual-beli, sewa-pakai atau waris bukan sesuatu hal yang dilarang, bahkan transaksi atas lahan tersebut merupakan hak azasi manusia yang dilindungi undang-undang. Berbeda dengan transaksi jual-beli lahan maka perubahan fungsi atau konversi lahan pertanian harus mengacu pada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Para pengembang (investor) yang memahami fungsi lingkungan lahan pertanian akan berusaha mengganti fungsi-fungsi lingkungan lahan pertanian yang hilang atau berkurang akibat dikonversi menjadi areal perumahan atau kawasan industri dengan penuh tanggungjawab. Masyarakat perkotaan yang mengetahui dan memahami multifungsi pertanian akan menyadari pentingnya pertanian untuk lingkungan sehingga mereka akan memberi dukungan terhadap berbagai program yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan pertanian, bahkan diharapkan akan bersedia membayar jasa lingkungan pertanian, baik melalui pajak atau mekanisme lain. Aparat pemerintah yang memahami multifungsi
pertanian
diharapkan
akan
menyusun,
melaksanakan,
dan
menegakkan peraturan perundang-undangan pengendalian konversi lahan pertanian secara tegas dan konsisten.
184
Jangka menengah: Strategi pencegahan konversi lahan pertanian dengan menyusun atau merevisi peraturan perundang-undangan yang masih lemah terkait dengan pengendalian konversi lahan pertanian (baik tingkat UU, PP, Keppres, dan/atau Peraturan Daerah), terutama dalam aspek sanksi atas pelanggaran. Kemudian sosialisasi peraturan perundangan kepada masyarakat luas secara lebih menyeluruh dan penegakkan supremasi hukumnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan insentif dan disinsentif bagi penguasa/pemilik tanah. Aplikasi
pembayaran
jasa
lingkungan
pertanian
bagi
petani
mulai
dipertimbangkan. Di sisi lain perlu ada pajak progresif atas penguasaan lahan pertanian yang terlantar. Izin konversi lahan pertanian perlu diimbangi dengan kewajiban untuk mengurangi dampak lingkungannya, termasuk mempertahankan fungsi-fungsi lingkungan lahan pertanian yang tidak bisa dipindahlokasikan. Secara ekonomi kompensasi yang dibayarkan oleh pengembang yang melakukan konversi lahan pertanian harus dapat mengendalikan kerugian yang potensial terjadi, baik terhadap petani yang lahannya dikonversi maupun masyarakat luas. Kompensasi terhadap konversi lahan bukan hanya membayar harga tanah tetapi juga menjamin kehidupan petani dan memelihara kualitas lingkungan menjadi lebih baik. Dewasa ini pemerintah daerah (kabupaten dan kota) mempunyai kesempatan yang baik untuk merumuskan Perda yang mengatur pengendalian konversi lahan pertanian dengan memanfaatkan ilmu ekonomi lingkungan sehingga konversi lahan pertanian selain dapat dijadikan sebagai sumber PAD juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas
lingkungan
melalui
mekanisme
insentif/disinsentif.
Di
sisi
lain
keberadaan lahan pertanian yang mempunyai fungsi wilayah resapan air dan mitigasi banjir bagi wilayah hilirnya dapat dijadikan sumberdaya pengikat
185
hubungan hilir-hulu dalam konteks pembayaran jasa lingkungan. Sebagai contoh Pemerintah
Kabupaten
Bandung
dapat
mengajukan
pembayaran
jasa
lingkungan pertanian kepada Pemerintah/masyarakat Kota Bandung terkait dengan penyediaan air baku yang bersumber dari daerah tangkapan air yang berada di wilayah Kabupaten Bandung. Jangka panjang: Mewujudkan lahan pertanian yang dilindungi, baik lahan sawah maupun lahan kering dengan tujuan utama untuk ketahanan pangan nasional dan perlindungan kualitas lingkungan. Upaya-upaya ke arah penetapan lahan sawah abadi yang sudah menjadi bahan pemikiran berbagai pihak, perlu ditindak lanjuti dengan berbagai langkah dan kegiatan, seperti identifikasi lahan sawah utama dengan mempertimbangkan tingkat produktivtas dan indeks pertanaman (IP), status pengairan, skala atau luas hamparannya, dan fungsi lingkungannya. Berbagai fungsi lingkungan lahan pertanian yang harus dipertimbangkan mencakup fungsi resapan dan penyimpan air hujan, wisata dan keindahan panorama, pelestarian budaya masyarakat pedesaan, dan ketahanan pangan nasional.
BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan Kesimpulan hasil penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Lahan pertanian selain berfungsi sebagai penghasil komoditas pertanian juga menghasilkan jasa lingkungan. Nilai jasa lingkungan lahan sawah dan lahan kering masing-masing 85,4% dan 72,1% dari nilai ekonomi totalnya. Hal ini menunjukkan sistem usahatani lahan sawah menghasilkan jasa lingkungan yang jauh lebih tinggi daripada nilai padi yang dihasilkannya. Konversi lahan sawah akan lebih banyak mendatangkan kerugian dalam bentuk hilangnya berbagai manfaat jasa lingkungan daripada biaya untuk mengelolanya.
Oleh
karena
itu
konversi
lahan
pertanian
untuk
pembangunan sarana dan prasarana sebaiknya memprioritaskan lahan kering daripada lahan sawah. 2. Mengingat jasa lingkungan pertanian disediakan oleh petani sedangkan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat yang lebih luas maka selayaknya petani memperoleh pendapatan atas jasa lingkungan pertanian tersebut. Apabila 50% dari nilai jasa lingkungan lahan pertanian dapat dikembalikan kepada petani dan diperhitungkan dalam penentuan harga hasil pertanian maka petani layak memperoleh harga gabah dan jagung masing-masing Rp 1.338/kg dan Rp 806/kg di atas harga (pasar) yang berlaku. 3. Sebagian besar (74%) responden masyarakat perkotaan mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian dan proporsi responden yang benar-benar menyatakan nilai pembayarannya positif (WTP>0) ada 66%. Temuan empirik ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan
187
mempunyai perhatian dan kepedulian yang cukup tinggi terhadap fungsi pertanian bagi lingkungan. 4. Nilai kesediaan masyarakat perkotaan untuk membayar jasa lingkungan pertanian
(WTP)
Rp
15.819/keluarga/tahun
dengan
mekanisme
pembayaran melalui tarif PBB. Variasi nilai WTP tersebut dipengaruhi oleh pemahaman terhadap multifungsi pertanian, tingkat pendapatan, jarak rumah ke badan sungai, dan nilai kerugian akibat bajir. 5. Nilai kesediaan petani padi sawah untuk menerima pembayaran jasa lingkungan petanian (WTA) Rp 2,1 juta/ha atau 19% dari biaya usahatani yang diperlukan. Variasi nilai WTA tersebut dipengaruhi oleh luas lahan garapan dan profitabilitas usahatani. Petani dengan luas lahan sawah 1,5 ha atau pendapatannya lebih dari Rp 12 juta/tahun cenderung tidak akan mempersoalkan pembayaran jasa lingkungan pertanian. 6. Nilai WTA petani lahan kering Rp 4,3 juta/ha setara dengan 44% atau 74% dari biaya investasi yang diperlukan bagi penerapan teknik KTA sistem terasering atau sistem vegetatif. Variasi nilai WTA petani lahan kering dipengaruhi oleh luas lahan garapan, jenis tanaman yang diusahakan, dan jumlah anggota keluarga. Nilai WTA petani lahan kering turun sampai 50% jika luas lahan garapan sekitar 1-1,5 ha. 7. Jenis pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani adalah dalam bentuk penyediaan sarana produksi pertanian, jaminan harga jual hasil pertanian, perbaikan jaringan irigasi. Selain itu petani juga mengharapkan kebijakan dalam bentuk jaminan pendidikan dan kesehatan keluarga petani, dan tunjangan khusus bagi petani.
188
7.2. Implikasi Kebijakan 1.
Pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebaiknya tidak sepenuhnya menyerahkan alokasi sumberdaya lahan pertanian, khususnya sawah kepada mekanisme pasar karena lahan sawah menghasilan jasa lingkungan yang cukup besar dan dampak konversinya bersifat irreversible, kumulatif dan progresif.
2.
Kebijakan
pengendalian
konversi
lahan
pertanian
berdasarkan
pertimbangan nilai manfaat multifungsi pertanian perlu dimulai dari tahapan sosialisasi dan diseminasi mengenai pengetahuan dan pemahaman multifungsi pertanian kepada masyarakat (petani, pengembang, pejabat pemerintah, LSM, dan siswa sekolah) agar ada kesepahaman bahwa membangun pertanian adalah juga menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkanketahanan nasional. Selanjutnya perlu disusun Perda tentang pengendalian konversi lahan pertanian, khususnya sawah yang memuat sanksi, baik perdata (berupa denda finansial yang dihitung berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi lingkungan) maupun pidana, kemudian dalam jangka panjang perlu adanya penetapan zona atau kawasan pertanian yang dilindungi yang diikuti dengan penerapan sistem pembayaran jasa lingkungan pertanian. 3.
Rencana konversi lahan pertanian seharusnya dipandang sebagai kegiatan yang potensial menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung melalui Bupati Kabupaten Bandung dapat menetapkan atau memberi masukan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup bawa rencana kegiatan konversi lahan pertanian termasuk yang wajib AMDAL. Hal itu sesuai dengan ketetapan
189
Pasal 4 Peraturan Menteri Negara LH No 11 tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib AMDAL. 7.3. Saran Penelitian Lanjutan 1.
Penelitian mengenai multifungsi pertanian perlu dikembangkan lebih lanjut, baik dari aspek multifungsi, metode analisis, maupun skala lokasinya (DAS, regional atau nasional). Multifungsi pertanian dalam aspek biofisik (lingkungan biologi-fisik-kimia), seperti keanekaragaman hayati, sumber emisi oksigen, penyerap karbon, mitigasi suhu udara, dan aspek sosialekonomi-budaya, seperti pengendali urbanisasi, pelestari budaya lokal merupakan aspek-aspek multifungsi pertanian yang perlu diteliti lebih lanjut.
2.
Metode penilaian manfaat multifungsi pertanian, baik indikator teknis (technical assessment) maupun nilai ekonomi (economic valuation) yang saat ini dikembangkan oleh pakar multifungsi pertanian di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan lainnya masih terbuka untuk diperdebatkan dan diuji kesahihannya sesuai dengan kondisi spesifik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. 571 hal. Asdak C, Jarvis FG, van Gardingen P., Fraser A. 1998. Rainfall Interception Loss in Unlogged and Logged Forest Area of Central Kalimantan, Indonesia. J.Hydrol. (206):237-244. [BPTP] Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2005. Usahatani Jagung. Rekomendasi Teknologi Spesifik Lokasi. WWW.pustakadeptan.go.id/agritech/sltg0403.pdf [3 September 2005]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Sesus Pertanian (ST) 2003. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Sesus Ekonomi (SE) 2005. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001 2004. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. 93 hal. [DLH-Kab Bandung] Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. 2003. Laporan Evaluasi Kegiatan Proyek UPLDP Sub DAS Citarik-Kabupaten Bandung tahun 2000-2002. Bandung. 85 hal. [Ditjen-Bangda] Direktorat Jendral Pembangunan Daerah. 2003. Evaluasi Pelaksanaan UPLDP Sub DAS Citarik Tahun Pelaksanaan 2000, 2001, dan 2002 (versi Bahasa Indonesia). Jakarta. 135 hal. Chen M. 2001. Evaluation of Environmental Services of Agriculture in Taiwan. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan. hlm 169-189. Chow Ven Te. 1964. Handbook of Applied Hydrology, a Compedium of WaterResources Technology. McGraw-Hill Book Co. New York. Eom KC & Seong-Ho Y. 2004. Public benefit from Paddy Soil. The Journal of Korea Society of Soil science and Fertilizer. 26 (4) :314-333. Eom KC & Kang KK. 2001. Assessment of Environmental Multifunctions of Rice Paddy and Upland Farming in The Republic of Korea. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan. hlm 37-48. Agus F, Watung RL, Suganda H, Talaohu SH, Wahyunto, Sutono S, Setyanto A, Mayrowani H, Nurmanaf AR, Kundarto. 2003. Assessment of Environmental Multifunctions of Paddy Farming in Citarum River Basin, West Java, Indonesia. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. hlm 1-28. [FAO] Food and Agriculture Organisation. 2001. ROA Project Publication No. 2: Expert Meeting Proceedings. Rome, Italy. 70 hal. [FFTC] The Food and Fertilizer Technology Center. 2001. International Seminar on Multifunctionality of agriculture. 17-19 October 2001. Tsukuba, Ibaraki. Japan (summary of the paper presentations).
191
Field BC. 1994. Environmental Economics An Introduction. McGRAW-HILL,INC. (Inter.Edition). Singapore. Gittinger JP. 1982. Economic Analysis of Agricultural Project. (Edi series in economic development). UI-Press - John Hopkins. Jakarta. 445 hal. Goda M. 2005. New Roles of Agriculture. In Mat Akhir A. (Ed). Evaluation of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. hlm 1-10. Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT, Dixon JA. 1983. Environment, Natural Systems and Development : An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. 337 hal. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi dampak, pola pemanfaatannya dan faktor determinan. Forum Agro Ekonomi 23 (1) :1-18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Manti I dan Hendayana R. 2005. Kajian kelayakan ekonomi rakitan teknologi usahatani jagung. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8 (1): 55-66. Matsumoto R. 2002. Concept of Multifunctionality of Agriculture. Document No 1. Second Experts Meeting of the ASEAN-JAPAN Project on Multifunctionality of Paddy Farming and Its effects in ASEAN Member Countries. 7-9 August 2002. Ha Noi. MAFF-Japan. Kasryno F. 1999. Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Menuju Era Globalisasi. Di Dalam Rusastra, I.W. dkk. (Eds). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelambagaan Pertanian. Buku I. Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. hlm 29 - 41. [KepKaBapedal] Keputusan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Republik Indonesia. Nomor : Kep-056 Tahun 1994. Jakarta. Khudori. 2003. Perlunya Penyelamatan http://www.kompas.com [ 10 April 2003].
Ruang
Terbuka
Hijau.
[KKBP] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) Indonesia. Jakarta. 56 hal. Kundarto M, Agus F, Maas A, dan Sunarminto BH. 2003. Neraca air, erosi tanah, dan Transport Lateral hara NPK pada sistem Persawahan di Sub DAS Kali Babon, Semarang. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. hlm 223-238. Kurnia U. 2006. Pencemaran pestisida pada tanah dan pengendaliannya. Jurnal Sumberdaya Lahan. 1 (1): 10-19. Kurnia U, Sinukaban N, Suratmo FG, Pawitan H, dan Suwarjo. 1997. Pengaruh Teknologi Rehabilitasi Lahan terhadap Produktivitas Tanah dan Kehilangan Hara. Jurnal Tanah dan Pupuk 15: 14-17. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah. Bogor. [MAFF] Ministry of Agriculture, Forestry and Fishery Japan. 2001. Compact Disk mengenai Multifungsi Pertanian (dalam Bahasa Inggris/ Tidak Dipublikasikan). Malian AH, Mardianto S, Ariani M. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi dam harga beras serta inflasi bahan makanan. Jurnal Agro Ekonomi 22 (2): 119-146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
192
Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank. Washington, D.C. Nainggolan K. 2006. Ekonomi Politik Perberasan Nasional. Makalah Diskusi Politik Beras dalam Membangun Ketahanan Pangan. Himpunan Alumni IPB. 14 Januari 2006. Bogor. 9 hal. Nasoetion LI dan Winoto J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial-Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. hlm 64-82. Nasoetion LI. 2003. Konversi lahan pertanian: Aspek hukum dan implementasinya. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm 41-55. Navrud S. 2000. Strengths, weaknesses and policy utility of valuation techniques and benefit transfer methods. Invited paper for the OECD-USDA workshop The Value of Rural Amenities: Dealing with Public Goods, Non-market Goods and Externalities, Washington D.C., June 5-6, 2000. Department of Economics and Social Sciences, Agricultural University of Norway. Navrud S. & Mungatana ED. 1994. Environmental Valuation in Developing Countries: The Recreational Value of Wildlife Viewing. Ecological Economics 11:135-151. Notohadiprawiro T. 2006. Konsep sempit lingkup pertanian kendala berat bagi pembangunan nasional. Jurnal Tanah dan Lingkungan. UGM Press 6 (1) 6370. [OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2001. Multifunctionality: Towards an Analitycal Framework. Paris. 159 p. Oshima S. 2001. Multifunctionality of agriculture: viewpoint of consumer's activity. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan. hlm 19-36. Othman J. 2002. Benefits valuation of improved residential solid waste management service in Malaysia. Journal of Environmental Economics and Management 25:182-206 Othman J, Bennet J, Blamey R. 2004. Environmental values and resource management options: a choice modelling experience in Malaysia. Environment and Developmnet Economics 9 (6) :802-824 Othman J, Md Nor NG, Othman R. 2006. "Welfare impacts of air quality changes in Malaysia: The Hedonic Pricing Approach". Jurnal Ekonomi Malaysia 42:109134. Poerbandono, Basyar A, Agung B, Harto, dan Rallyanti P. 2006. Evaluasi Perubahan Perilaku Erosi DAS Citarum Hulu. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan 2 (1): 15-22. [Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Peta Penggunaan dan Konversi Lahan (dalam bahasa Inggris). Kerjasama ASEAN-MAFF Japan. Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
193
[PSLH UGM] Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. 2001. Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan. Edisi I. Yogjakarta. Indonesia. Rasid I. 2005. Pemodelan Spasial Zonasi Erosi Menggunakan Pendekatan Morgan (Studi Kasus di Sub DAS Cikapundung Hulu). [Tesis]. Departemen Teknik Lingkungan, ITB. Bandung. Reichelderfer K. 1990. Environmental protection and agricultural support: Are tradeoffs necessary?. In Allen (Ed.) Agricultural Policies in A New Decade. Annual Policy Review. Resource for the Future. Washington D.C. hlm 201 - 230. hlm 201 - 230. Rolfe J, Bennett J, Louviere J. 2000. Choice modeling and its potential application to tropical rainforest preservation. Ecological Economics 35: 290-302. Rusastra IW dan Budhi GS. 1997. Konversi lahan pertanian dan strategi antisipatif penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian 16 (4):107-113. Salim E. 2007. Ekonomi Dalam Lingkungan. http://www.Kompas.com [24 Februari 2007] Sarwono H. 1987. ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 218 hal. Setyanto P, Boer R, & Bakar RA. 2006. Evaluation of Methane Emission Mitigation Option from Rice Field in Java. In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi, and M.O. Adnyana (Eds). Rice Industri, Culture and Environment: Proceeding International Rice Conference. AARD Jakarta-IRRI The Phillippines. Pp:219231. Shogen JF, Shin SY, Hayes DJ, Kliebenstein JB. 1994. Resolving difference in willingness to pay and willingness to accept. American Economic Review 84(1) 255-270. Steel RGD and Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company. New York. USA. 633 p. Sudjana 1989. Metoda Statistika (Ed. Ke 6). Penerbit TARSITO. Bandung. 501 hal. Sudaryanto T. 2003. Konversi lahan dan produksi pangan nasional. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. pp.57-65. Suh DK. 2001. Social and Economic Valuation of the Multifunctionality Roles of Paddy Farming. International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 1719 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan. hlm 151-168. Suparmoko M dan Suparmoko MR. 2000. Ekonomika Lingkungan (Edisi Pertama). BPPE. Yogjakarta. 365 hal. Sutomo S. 2004. Analisis Data Konversi dan Prediksi Kebutuhan Lahan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Round Table II Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta, 14 Desember 2004. Sutono S, Tala'ohu SH, Sopandi O dan Agus F. 2003. Erosi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. hlm 113133. Turner RK, Pearce D, Bateman I. 1994. Environmental Economics: An Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf.
194
Wahyunto, Abidin MZ, Priyono A, Sunaryo. 2001. Studi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Di dalam F.Agus, Uk. Kurnia, dan A.R. Nutmanaf (Peny.) Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm 39-63. Widjanarko BS, Pakpahan M, Rahardjono B, Suweken P. 2001. Aspek pertanahan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian (sawah). Di dalam F. Agus, U. Kurnia, dan A. R. Nurmanaf (Peny.). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm 19-28. Winoto J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Makalah utama pada Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi:. Jakarta. 13 Desember 2005. Yabe M. 2005. Multifunctionality from View Point of Economics and Its Related Reseach Activities. In Mat Akhir A. (Ed). Evaluation of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. hlm 11-31. Yoshida K. 2001. An Economic Evaluation of the Multifunctional Roles of Agriculture and Rural Areas in Japan. Technical Bulletin 154. August 2001. FFTC. Taipei. Yoshida K & Goda M. 2001. Economic Evaluation of Multifunctional Roles of Agriculture in Hilly and Mountanious Areas in Japan. Proceeding International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan. hlm 191-200. Yoshida K. 1999. Contingent Valuation Approach on the Environmental Benefits from Agriculture in the Less-Favored Areas. Q.Jur. of Agric.Econ. 53 (1):4548.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
195
Lampiran 1. Izin penelitian dari SPs-IPB dalam rangka penyusunan disertasi
196
Lampiran 1. (lanjutan) Izin pengumpulan data dari Pemda Kabupaten Bandung
197
Lampiran 2. Karakteristik responden kajian WTP dan variabel yang dianalisis, Kabupaten Bandung, 2005 Variabel
N
Rata-rata
Standar Deviasi
Jumlah
Minimum
P1
80
0,9000
0,3018
72,0000
0
1,000
P2
80
0,8625
0,3465
69,0000
0
1,000
P3
80
0,7375
0,4427
59,0000
0
1,000
P4
80
0,9625
0,1911
77,0000
0
1,000
WTP
80
15819
17667
12655
UMUR
80
50,0625
11,8303
4005,0000
PDK_D
80
0,4375
0,4992
35,0000
0
1,000
PDK_L
80
0,5625
0,4992
45,0000
0
1,000
PNS_D
80
0,2875
0,4554
23,0000
0
1,000
SWASTA_D
80
0,2125
0,4116
17,0000
0
1,000
WRSWTA_D
80
0,3875
0,4902
31,0000
0
1,000
TTETAP_D
80
0,1125
0,3179
9,0000
0
1,000
INCOME
80
12,3337
6,3391
986,7000
1,800
42,000
JARAK
80
123,6250
136,4838
9890,0000
10,000
750,000
PEL_BJR
80
0,4575
0,2479
36,6000
0,100
1,000
TG_AIR
80
78,4375
73,7580
6275,0000
10,000
250,000
LOSS
80
1,0997
1,3411
87,9800
0,130
10,000
0 27,00
Maximum
80000 71,000
Definisi variabel dan satuannya: - P1 s/d P4 = variabel dummy pendapat responden (1 = Ya, 0 = Tidak) - WTP = variabel kesediaan untuk membayar jasa lingkungan (Rp/responden) - UMUR = variabel umur responden (tahun) - PDK_D = variabe dummy (1= pendidikan formal sampai dengan 9 tahun, 0= lainnya) - PDK_L = variabel dummy ( 1= pendidikan formal di atas 9 tahun, 0 = lainnya) - PNS_D = variabel dummy (1= status pekerjaan PNS, ABRI atau pensiunannya, 0=lainnya) - SWASTA_D = variabel dummy (1= status pekerjaan swasta, 0 =lainnya) - WRSWTA_D = variabel dummy (1=status pekerjaan wiraswasta, 0 = lainnya) - TTETAP_D = variable dummy (1= status pekerjaan tidak tetap, 0=lainnya) - INCOME = variabel pendapatan (Rp juta/tahun) - JARAK = variabel jarak rumah ke sungai (m) - PEL_BJR = variabel peluang terkena banjir - TG_AIR = variabel tinggi genangan air saat banjir (cm) - LOSS = variabel nilai kerugian akibat banjir (Rp juta/responden).
Lampiran 3. Hasil padi dan jagung lahan sawah di Sub DAS Citarik, 2003
No
Kecamatan
Luas Sawah ha
IPPadi %/th
Produktivitas Padi kw/ha
Hasil Padi Ton/th
IPJagung %/th
Produktivitas Jagung kw/ha
Hasil Jagung Ton/th
1
Cikancung
949
117
56,2
6.211
38
41,3
1.507
2
Cicalengka
1.030
182
56,0
10.505
18
41,4
767
3
Nagreg
1.197
154
54,6
10.056
26
41,4
1.288
4
Cileunyi
1.088
174
55,4
10.492
26
42,9
1.212
5
Cilengkrang
283
167
53,1
2.510
33
40,8
381
6
Cimenyan
221
200
55,3
2.446
12
43,6
116
7
Paseh
1.904
200
55,1
20.982
8
46,9
715
8
Jatinangor
392
171
51,8
3.463
29
27,4
313
9
Cimanggung
608
176
50,6
5.250
24
41,5
576
10
Tanjungsari
725
150
39,8
4.219
30
28,0
600
Jumlah
8.360
169
52,8
76.133
24
39,5
7.474
13,9
8,9
36,6
15,6
C.V. (%)
198
Lampiran 4. Hasil padi ladang dan palawija dari lahan kering tanaman pangan di Sub DAS Citarik, 2003
Padi ladang Hasil Produksi kw/ha ton
Luas ha
Jagung Hasil kw/ha
Produksi ton
Luas ha
Ubikayu Hasil kw/ha
Produksi ton
1.512
690
41,3
2.847
520
121,8
6.332
-
29,4
767
752
41,4
3.113
527
126,3
6.655
506
293
24,6
720
1655
41,4
6.848
1.196
126,4
15.121
-
-
-
260
42,9
1.114
200
127,8
80
30,2
241
202
40,8
823
119
-
-
-
317
43,6
1.383
60
26,8
161
140
46,9
-
-
-
206
59
23,5
138
332
Kecamatan
Luas ha
Cikancung
560
27,0
Cicalengka
261
Nagreg Cileunyi Cilengkrang Cimenyan Paseh Jatinangor Cimanggung Tanjungsari Jumlah C.V. (%)
87
27,7
241
1.399
27,0
3.780
9,0
Luas ha
Kacang Merah Hasil Produksi kw/ha ton -
Luas ha
Ubi jalar Hasil Produksi kw/ha ton
-
67
33,2
1.681
182
102,2
420
40,1
1.685
-
-
2.556
10
42,0
42
5
117,5
59
125,7
1.496
111
45,7
507
48
105,2
505
143
127,5
1.823
140
42,8
599
187
107,9
2.018
657
32
130,0
416
63
41,3
260
106
90,7
961
27,4
564
120
87,2
1.046
-
-
50
24
41,6
98
41,5
1.378
121
109,5
1.325
50
10,0
100
34,3
343
207
60,5
1.251
925
85,0
7.764
373
28,0
1.044
373
69,6
2.596
-
-
4.927
39,5
19.771
3.351
115,2
39.364
1.300
42,1
16,4
17,9
11,8
*) 4.775
100,0
670
29,1
Keterangan : Hasil = Produktivitas; *) Kedelai (tidak diperhitungkan pada baris Jumlah dan C.V.)
199
1.860 -
Lampiran 5. Kebutuhan tenaga kerja, sarana produksi, hasil dan keuntungan usahatani padi sawah, 2005 Musim Musim Total Musim No Deskripsi Kemarau-1 Kemarau-2 3 MT/th Satuan Hujan 1 Kebutuhan tenaga kerja (TK): a) TK. Keluarga Pria HKP 41 35 28 104 b) TK. Keluarga Wanita HKW 8 7 8 23 c) TK. Upah Pria HKP 73 68 58 199 d) TK. Upah Wanita HKW 62 64 37 163 e) Total TK Keluarga (setara pria) HKP 47 41 34 122 f) Total TK Upah (setara pria) HKP 119 116 86 321 g) Upah TK Pria Rp/jam 3500 3500 3500 3500 h) Upah TK Wanita Rp/jam 2500 2500 2500 2500 i) j) k) 2 a) b) c) d) e) f) g) h) 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nilai TK Upah Nilai TK Keluarga Total nilai TK Kebutuhan sarana produksi: Bibit padi Pupuk sumber N Pupuk sumber P Pupuk sumber K Pupuk majemuk (Phonska) Obat cair Obat padat Nilai sarana produksi Sewa lahan Biaya usahatani tunai Biaya usahatani tidak tunai Total biaya usahatani Hasil padi (GKG) Nilai hasil padi Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C
Total 2 MT/th 70 15 133 109 81 214 3500 2500
Rp Rp Rp
3.268.582 1.302.063 4.570.645
3.190.823 1.129.688 4.320.510
2.373.681 956.375 3.330.056
8.833.086 3.388.125 12.221.211
5.888.724 2.258.750 8.147.474
kg kg kg kg kg CC kg Rp Rp/ha Rp Rp Rp kg Rp Rp Rp
26,3 188,8 93,8 71,9 35,0 731 3,5 840.625 2.520.000 4.109.207 3.822.063 7.931.270 4.875 9.262.500 5.153.293 1.331.230 1,17
25,0 188,8 93,8 71,9 35,0 363 0 728.750 2.520.000 3.919.573 3.649.688 7.569.260 5.150 10.300.000 6.380.427 2.730.740 1,36
25,0 201,3 87,5 43,8 70,0 525 0 745.000 2.520.000 3.118.681 3.476.375 6.595.056 4.905 9.810.000 6.691.319 3.214.944 1,49
76,3 578,8 275,0 187,5 140,0 1.619 3,5 2.314.375 7.560.000 11.147.461 10.948.125 22.095.586 14.930 29.372.500 18.225.039 7.276.914 1,33
50,8 385,8 183,3 125,0 93,3 1.079 3,5 1.542.917 5.040.000 7.431.640 7.298.750 14.730.390 9.953 19.581.667 12.150.026 4.851.276 1,33
Sumber : Data primer, 2005
200
Lampiran 6. Algoritma diagram alir Powersim
201
202
Lampiran 7. Nilai koefisien aliran permukaan pada berbagai penutupan lahan No. 1.
2.
3.
4.
5. 6. 7. 8.
9.
Jenis penggunaan lahan /tipe wilayah Lahan rumput: -Tanah berpasir, lereng datar, 2% -Tanah berpasir, lereng sedang, 2-7% -Tanah berpasir, lereng curam, 7% -Tanah liat, lereng datar, 2% -Tanahliat, lereng sedang, 2-7% -Tanahliat, lereng curam, 7% Pusat keramaian kota: -Wilayah perkotaan -Wilayah pedesaan/perkampungan Pemukiman: -Sangat jarang -Agak padat -Padat -Luar kota -Lingkungan apartemen Kawasan industri: -Jarang -Padat Taman, pemakaman Taman bermain Daerah semak belukar, belum terjamah Jalan: -Aspal -Beton -Berbatu -Setapak Atap
Sumber: Chow, Ven Te (1964)
Koefisien aliran permukaan C 0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35 0,70 – 0,95 0,50 – 0,70 0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 0,50 – 0,70 0,50 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,10 – 0,30 0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,75 - 0,85 0,75 – 0,95
203
Lampiran 8. Lembaran kwesioner wawancara dengan pengurus kelompok tani di Ishibu Terraced Paddy Fields, Shizuoka, Tokyo Jepang
204
Lampiran 8. (lanjutan) terjemahan (Bahasa Inggris) kwesioner
205
Lampiran 9. Narasi kwesioner mengenai pengetahuan multifungsi pertanian
Selain berfungsi sebagai penghasil atau penyedia bahan makanan atau pangan (seperti padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian) dan sandang (serat untuk bahan pakaian) pertanian mempunyai beberapa fungsi lain yang positif bagi lingkungan hidup, disebut sebagai multifungsi pertanian. Sejauh yang Bapak/Saudara ketahui mohon tuliskan beberapa (sebanyak mungkin) multifungsi pertanian sebagaimana penjelasan di atas! 1. ___________________________________________________ 2. ___________________________________________________ 3. ___________________________________________________ 4. ___________________________________________________ 5. ___________________________________________________ 6. ___________________________________________________ 7. ___________________________________________________ 8. ___________________________________________________ 9. ___________________________________________________ 10. ___________________________________________________
Pertanian juga mempunyai dampak negatif bagi lingkungan. Sejauh yang Bapak/Saudara ketahui mohon dituliskan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh pertanian terhadap lingkungan hidup! 1. ___________________________________________________ 2. ___________________________________________________ 3. ___________________________________________________ 4. ___________________________________________________ 5. ___________________________________________________
Nama : _____________________(opsional), JK: ____ (L/P), Umur: ______ th Jabatan: _____________________, Pendidikan formal : _____ th
Terima kasih atas kerjasamanya
Lampiran 10. Uji beda nilai tengah mengenai pengetahuan multifungsi pertanian berdasarkan status, tingkat pendidikan dan kelompok umur responden Nilai Status responden
No
N
Mean
SD
SE
SE-gab*)
Peneliti
1
16
3,9
1,526
0,394
-
Penyuluh
2
30
2,6
0,765
0,142
Birokrat
3
44
2,4
1,106
Petani padi sawah
4
60
1,8
5
75
2,0
Petani lahan kering Catatan:
Taraf SEgab**)
Nilai t_hitung **)
Taraf DB**)
Nyata(α)
t_hitung*)
DB *)
Nyata(α)
0,419
3,11
44
0,01
0,169
0,221
1,02
72
0,15
0,429
3,57
58
0,01
0,909
0,118
0,206
3,12
102
0,01
0,411
5,28
74
0,01
1,145
0,133
0,178
-1,39
133
0,15
0,416
4,63
89
0,01
N= jumlah contoh, SD = Standar deviasi; SE =Standar error, SE-gab=Standar error gabungan (pooled SE), DB=Derajat bebas *) uji beda nilai tengah berurutan (peneliti dengan penyuluh (No 1 dengan No 2), penyuluh dengan birokrat (No 2 dan 3), dan seterusnya **) uji beda nilai tengan antara status birokrat, petani padi sawah dan petani lahan kering dengan peneliti (No 3, 4, dan 5 dengan No 1)
Nilai Tingkat pendidikan
No
N
Mean
SD
SE
Tidak tamat SD
1
13
1,7
0,947
0,273
Tamat SD atau SLTP
2
111
1,8
0,943
0,090
0,288
-0,47
122
ns
Tamat SLTA
3
31
2,7
1,137
0,208
0,226
-3,75
140
0,010
Perguruan Tinggi Catatan:
SE-gab*)
t_hitung
Taraf DB
Nyata(α)
Nilai
Taraf
SEgab**)
t_hitung
DB
Nyata(α)
0,316
-3,55
81
0,01
0,183
-5,39
179
0,01
4 70 2,8 1,322 0,159 0,262 -0,52 99 ns *) uji beda nilai tengah berurutan: No 1 dengan No 2, No 2 dengan No 3, dan No 3 dengan No 4 **) uji beda nilai tengan antara No 1 dan No 2 dengan No 4
206
Lampiran 10. (lanjutan) Nilai Kelompok umur
No
N
Mean
SD
SE
SE-gab*)
t_hitung*)
Taraf DB *)
Nyata(α)
SEgab**)
Nilai t_hitung **)
Taraf DB**)
Nyata(α)
0,411
1,67
31
0,15
Kurang dari 30 th
1
20
2,3
1,418
0,325
Antara 30-39 th
2
49
2,4
1,074
0,155
0,360
-0,19
67
ns
0,295
2,55
60
0,01
Antara 40 - 49 th
3
79
2,4
1,375
0,156
0,220
-0,29
126
ns
0,295
2,76
90
0,01
Antara 50-60 th
4
64
2,0
0,959
0,121
0,197
2,03
141
0,05
Lebih dari 60 th Catatan:
5 13 1,6 0,870 0,251 0,279 1,49 75 0,15 *) uji beda nilai tengah berurutan: No 1 dengan 2, No 2 dengan 3, No 3 dengan 4, dan No 4 dengan 5 **) uji beda nilai tengan antara No 1, 2 dan 3 dengan No 5
Nilai Jenis Kelamin
No
N
Mean
SD
SE
SE-gab*)
t_hitung*)
DB
Nyata(α)
0,228
1,704
223
0,10
Pria
1
180
2,2
1,13
0,084
Wanita
2
45
2,6
1,41
0,212
Sumber acuan:
Taraf
Anderson, D.R., D.J.Sweeney, & T.A. Williams.1986. Statistics: Concepts and Applications. WPC. New York. hal:373-377 Sudijono, A. 1997. Pengantar Statistik Pendidikan. Grafindo. Jakarta. Hal: 293-299.
207
208
Lampiran 11. Pengantar dan pedoman penawaran (bidding) dalam wawancara dengan responden
Pengantar Sebagaimana Bapak/Saudara ketahui lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah hulu Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung (antara lain termasuk wilayah Kecamatan Rancaekek, Cicalengka, Cikancung, Nagreg, Cileunyi, dan Cimenyan) mengalami penyusutan (berkurang terus) dari tahun ke tahun karena dikonversi (alih fungsi) menjadi lahan non pertanian (kawasan permukiman dan industri). Bapak/Saudara terpilih menjadi responden penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pandangan masyarakat mengenai semakin menciutnya lahan pertanian dikaitkan dengan kualitas lingkungan, khususnya masalah banjir dan erosi tanah atau pendangkalan sungai. Kuesioner
ini
berisi
pertanyaan
untuk
mengetahui
persepsi,
pandangan dan penilaian Bapak/Saudara mengenai keberadaan, manfaat, dan simulasi pembayaran jasa lingkungan pertanian (WTP). Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Peneliti
209
Lampiran 11.(lanjutan)
Lembaran pedoman penawaran WTP WTP Masyarakat hilir terhadap fungsi lingkungan lahan pertanian (khususnya sawah)
1. Jika responden tidak bersedia membayar maka lingkari Butir a (Nol Rupiah), tetapi lakukan hal berikut: Agar sikap/keputusan responden meyakinkan, maka perlu diulang 1-2 kali apakah responden benar-benar tidak bersedia membayar jasa lingkungan lahan sawah. Jika responden berubah pikiran (menjadi mau membayar) yakinkan juga bahwa itu adalah "keputusannya" secara sukarela, bukan merasa "terdesak" oleh enumerator. Jika sudah "final" tidak bersedia membayar maka tanyakan apa alasannya! 2. Jika responden bersedia membayar, maka kemukakan semua nilai pilihan WTP (mulai dari terendah). Apa pun pilihan responden harus ada keyakinan itulah yang dia pilih. Lalu lakukan penawaran/bidding! 3. Tingkatkan nilai penawaran sekitar 10% atau lebih. Misal dari nilai awal Rp 5.000 menjadi Rp 5.500. Apakah responden masih bersedia membayar nilai itu? Jika masih bersedia tingkatkan lagi nilainya menjadi Rp 6.000, dan seterusnya. 4. Jika responden sudah menyatakan tidak bersedia lagi membayar pada nilai penawaran tinggi tertentu maka isikan nilai terakhir yang masih bersedia dibayar pada Butir f. Berikut Ini adalah pilihan peningkatan nilai penawaran (WTP): 1. Awal Rp 5.000, naikkan --> Rp 5.500, lalu --> Rp 6.000, --> 6.500...,
dst.
2. Awal Rp 7.000, naikkan --> Rp 8.000, --> Rp 9.000, --> Rp 10.000..,
dst.
2. Awal Rp 10.000, naikkan -> Rp 11.000, -> Rp 12.000, -->Rp 13.000.., dst. 3. Awal Rp 14.000, naikkan ->Rp 16.000, --> Rp 18.000, --> Rp 20.000...., dst.
210
Lampiran 11.(lanjutan)
Lembaran pedoman penawaran WTA WTA Petani lahan kering dan padi sawah 1. Nilai WTA pasti ada karena sangat kecil kemungkinan petani tidak mau dibantu/menerima pembayaran. 2. Komponen WTA (bantuan) untuk petani lahan kering berupa investasi dan pemeliharaan atau perbaikan, bisa berupa uang, saprotan atau peralatan lainnya (in kind). 3. Komponen WTA lahan sawah untuk mempertahankan atau memelihara usahatani padi sawah, bisa berupa uang, saprodi atau peralatan (in kind). 4. Acuan biaya investasi teras bangku Rp 3,6 - Rp 6,4 juta/ha, pemeliharaan teras bangku Rp 450.000/ha/tahun. Di lapangan acuannya adalah luas lahan garapan petani, bukan per hektar. 5. Tingkat penawaran mulai dari 50% nilai biaya yang dikemukakan petani, lalu ditingkatkan atau diturunkan sesuai dengan respon awal petani. Misalnya biaya pembuatan teras menurut petani Rp 1.000.000 (mungkin lahannya 200 bata atau 0,28 ha), terdiri atas biaya TK (Rp 600.000), bahan (250.000) dan peralatan (150.000). Bentuk pilihan penawarannya sebagai berikut: a. TK : Rp 300.000; jika responnya masih bersedia, turunkan sekitar 10% atau lebih menjadi Rp 275.000, lalu Rp 250.000, lalu Rp 225.000 dst, sampai responden menyatakan tak bersedia menerima jumlah tersebut. jika responnya tidak bersedia, maka naikkan nilai tersebut dengan 10% atau lebih, menjadi Rp 325.000, lalu Rp 350.000, lalu Rp 375.000, atau Rp 400.000, dst sampai responden menyatakan bersedia menerima nilai tersebut! b. Bahan: Rp 100.000; Jika responnya masih bersedia, turunkan lagi sekitar 10% seperti di atas sampai responden menyatakan tidak bersedia menerima nilai tersebut! Jika responnya tidak bersedia, naikkan nilai tersebut sekitar 10% sampai responden menyatakan bersedia menerima nilai bantuan tersebut! c. Peralatan : Rp 50.000 (Modelnya sama dengan di atas).
Lampiran 12. Matriks korelasi analisis data WTP Correlation Coefficients / Prob > |R| under Ho: Rho=0 / N = 80 P1
P2
P3
P4
WTP
UMUR
PDK_D
PDK_L
PNS_D
P1
1.00000 0.0
0.35088 0.0014
-0.00947 0.9336
0.37284 0.0007
0.30034 0.0068
-0.20379 0.0698
-0.12599 0.2655
0.12599 0.2655
-0.06444 0.5701
P2
0.35088 0.0014
1.00000 0.0
0.17427 0.1221
0.49436 0.0001
0.35976 0.0010
-0.00714 0.9499
-0.01372 0.9039
0.01372 0.9039
-0.06717 0.5539
P3
-0.00947 0.9336
0.17427 0.1221
1.00000 0.0
0.18131 0.1075
0.33852 0.0021
0.00076 0.9947
-0.10380 0.3595
0.10380 0.3595
0.00235 0.9835
P4
0.37284 0.0007
0.49436 0.0001
0.18131 0.1075
1.00000 0.0
0.17785 0.1145
0.06821 0.5477
0.04145 0.7151
-0.04145 0.7151
-0.01999 0.8603
WTP
0.30034 0.0068
0.35976 0.0010
0.33852 0.0021
0.17785 0.1145
1.00000 0.0
-0.15484 0.1703
-0.21982 0.0501
0.21982 0.0501
0.14971 0.1850
UMUR
-0.20379 0.0698
-0.00714 0.9499
0.00076 0.9947
0.06821 0.5477
-0.15484 0.1703
1.00000 0.0
0.51829 0.0001
-0.51829 0.0001
0.18691 0.0969
PDK_D
-0.12599 0.2655
-0.01372 0.9039
-0.10380 0.3595
0.04145 0.7151
-0.21982 0.0501
0.51829 0.0001
1.00000 0.0
-1.00000 0.0001
-0.28185 0.0113
PDK_L
0.12599 0.2655
0.01372 0.9039
0.10380 0.3595
-0.04145 0.7151
0.21982 0.0501
-0.51829 0.0001
-1.00000 0.0001
1.00000 0.0
0.28185 0.0113
PNS_D
-0.06444 0.5701
-0.06717 0.5539
0.00235 0.9835
-0.01999 0.8603
0.14971 0.1850
0.18691 0.0969
-0.28185 0.0113
0.28185 0.0113
1.00000 0.0
PDK_L 0.15014 0.1837
PNS_D -0.32997 0.0028
SWASTA_D
P1 -0.03056 0.7879
WRSWTA_D
0.17961 0.1109
0.01956 0.8633
0.00802 0.9437
0.02195 0.8468
-0.04002 0.7245
-0.07625 0.5014
0.22951 0.0406
-0.22951 0.0406
-0.50525 0.0001
TTETAP_D
-0.14505 0.1992
-0.08759 0.4398
-0.05732 0.6136
-0.13795 0.2224
-0.23179 0.0386
0.26731 0.0165
0.24422 0.0290
-0.24422 0.0290
-0.22616 0.0437
0.15921 0.1584
0.18422 0.1019
0.09790 0.3876
0.09193 0.4174
0.46794 0.0001
-0.29649 0.0076
-0.46433 0.0001
0.46433 0.0001
0.13558 0.2305
INCOME
P2 0.11868 0.2944
P3 0.03212 0.7773
P4 0.10253 0.3654
WTP 0.06106 0.5906
UMUR -0.32246 0.0035
PDK_D -0.15014 0.1837
211
JARAK
-0.27065 0.0152
-0.19808 0.0782
-0.14220 0.2083
-0.20817 0.0639
-0.27201 0.0147
-0.07105 0.5311
-0.14805 0.1900
0.14805 0.1900
0.10011 0.3769
PEL_BJR
-0.27737 0.0127
-0.08361 0.4609
0.20844 0.0635
0.01936 0.8646
-0.03256 0.7743
-0.16222 0.1505
-0.15470 0.1706
0.15470 0.1706
-0.09221 0.4159
TG_AIR
-0.28566 0.0102
0.02120 0.8519
0.07643 0.5004
-0.01318 0.9076
0.03341 0.7686
-0.03753 0.7410
0.04802 0.6723
-0.04802 0.6723
-0.06747 0.5521
0.11249 0.3205
0.13202 0.2431
0.21241 0.0585
0.12338 0.2755
0.49556 0.0001
0.02399 0.8327
-0.08586 0.4489
0.08586 0.4489
0.14891 0.1874
SWASTA_D
WRSWTA_D
TTETAP_D
INCOME
JARAK
PEL_BJR
TG_AIR
LOSS
P1
-0.03056 0.7879
0.17961 0.1109
-0.14505 0.1992
0.15921 0.1584
-0.27065 0.0152
-0.27737 0.0127
-0.28566 0.0102
0.11249 0.3205
P2
0.11868 0.2944
0.01956 0.8633
-0.08759 0.4398
0.18422 0.1019
-0.19808 0.0782
-0.08361 0.4609
0.02120 0.8519
0.13202 0.2431
P3
0.03212 0.7773
0.00802 0.9437
-0.05732 0.6136
0.09790 0.3876
-0.14220 0.2083
0.20844 0.0635
0.07643 0.5004
0.21241 0.0585
P4
0.10253 0.3654
0.02195 0.8468
-0.13795 0.2224
0.09193 0.4174
-0.20817 0.0639
0.01936 0.8646
-0.01318 0.9076
0.12338 0.2755
WTP
0.06106 0.5906
-0.04002 0.7245
-0.23179 0.0386
0.46794 0.0001
-0.27201 0.0147
-0.03256 0.7743
0.03341 0.7686
0.49556 0.0001
UMUR
-0.32246 0.0035
-0.07625 0.5014
0.26731 0.0165
-0.29649 0.0076
-0.07105 0.5311
-0.16222 0.1505
-0.03753 0.7410
0.02399 0.8327
PDK_D
-0.15014 0.1837
0.22951 0.0406
0.24422 0.0290
-0.46433 0.0001
-0.14805 0.1900
-0.15470 0.1706
0.04802 0.6723
-0.08586 0.4489
PDK_L
0.15014 0.1837
-0.22951 0.0406
-0.24422 0.0290
0.46433 0.0001
0.14805 0.1900
0.15470 0.1706
-0.04802 0.6723
0.08586 0.4489
PNS_D
-0.32997 0.0028
-0.50525 0.0001
-0.22616 0.0437
0.13558 0.2305
0.10011 0.3769
-0.09221 0.4159
-0.06747 0.5521
0.14891 0.1874
1.00000 0.0
-0.41318 0.0001
-0.18495 0.1005
0.09472 0.4033
-0.05106 0.6529
0.12682 0.2623
-0.07856 0.4885
-0.02742 0.8092
LOSS
SWASTA_D
212
Lampiran 12. Matriks korelasi data WTP (lanjutan...) WRSWTA_D
SWASTA_D -0.41318 0.0001
WRSWTA_D 1.00000 0.0
TTETAP_D -0.28319 0.0109
INCOME -0.06251 0.5818
JARAK -0.03356 0.7676
PEL_BJR 0.07473 0.5100
TG_AIR 0.14998 0.1842
LOSS -0.02103 0.8531
TTETAP_D
-0.18495 0.1005
-0.28319 0.0109
1.00000 0.0
-0.22045 0.0494
-0.02556 0.8220
-0.14733 0.1922
-0.03289 0.7721
-0.14538 0.1982
0.09472 0.4033
-0.06251 0.5818
-0.22045 0.0494
1.00000 0.0
0.06381 0.5739
-0.06536 0.5646
-0.08040 0.4784
0.20071 0.0742
-0.05106 0.6529
-0.03356 0.7676
-0.02556 0.8220
0.06381 0.5739
1.00000 0.0
-0.17963 0.1108
-0.19562 0.0820
-0.18850 0.0940
0.12682 0.2623
0.07473 0.5100
-0.14733 0.1922
-0.06536 0.5646
-0.17963 0.1108
1.00000 0.0
0.49958 0.0001
-0.03532 0.7557
TG_AIR
-0.07856 0.4885
0.14998 0.1842
-0.03289 0.7721
-0.08040 0.4784
-0.19562 0.0820
0.49958 0.0001
1.00000 0.0
0.32041 0.0038
LOSS
-0.02742 0.8092
-0.02103 0.8531
-0.14538 0.1982
0.20071 0.0742
-0.18850 0.0940
-0.03532 0.7557
0.32041 0.0038
1.00000 0.0
INCOME JARAK PEL_BJR
213
214
Lampiran 13. Analisis regresi kesediaan untuk membayar (WTP) dengan intercep The SAS System Model: MODEL 1 Dependent Variable: WTP Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model Error C Total
14 14757431581 1054102255.8 65 9900190294.3 152310619.91 79 24657621875
Root MSE Dep Mean C.V.
12341.41888 15818.75000 78.01766
R-square Adj R-sq
F Value
Prob. >F
6.921
0.0001
0.5985 0.5120
Parameter Estimates Variable
DF
INTERCEP P1 P2 P3 P4 UMUR PDK_L PNS_D SWASTA_D WRSWTA_D INCOME INCOM2 JARAK EXP_LOSS EXPLOSS2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -795.588689 7466.548372 10188 10137 -8653.195653 -119.045199 -4343.089618 10266 7974.475323 4539.599872 525.001131 16.757534 -26.024359 -16963 11392
Standard Error 13368.484807 5700.0319401 4836.2826497 3425.6436514 9001.8341654 161.14034149 4015.3268331 5371.7097716 5852.0191914 5105.7625666 707.84528514 18.45818488 11.67969677 7140.0484559 2962.8722855
T for H0: Parameter=0
Prob > |T|
-0.060 1.310 2.107 2.959 -0.961 -0.739 -1.082 1.911 1.363 0.889 0.742 0.908 -2.228 -2.376 3.845
0.9527 0.1948 0.0390 0.0043 0.3400 0.4627 0.2834 0.0604 0.1777 0.3772 0.4609 0.3673 0.0293 0.0205 0.0003
Catatan : Mengingat intercep secara statistik tidak nyata maka analisis regresi penduga WTP dilakukan dengan melalui titik nol (origin)
215
WTA (Rp juta/ha)
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 2.0
1.0
0.7
0.5
0.5
0.5
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.3
0.2
0.1
0.0 Luas sawah (ha) Lampiran 14. Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan luas sawah garapannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005
6.0
WTA (Rp juta/ha)
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0
9. 8 12 .0
8. 6
8. 4
7. 9
7. 2
6. 0
5. 6
5. 4
5. 0
4. 2
4. 2
3. 5
2. 8
2. 4
0.0
Pendapatan (Rp juta/th)
Lampiran 15. Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan tingkat pendapatannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005