HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ALIH FUNGSI LAHAN DAN MOTIF EKONOMI DENGAN PERILAKU PENJUAL LAHAN PERTANIAN (Studi Pada Pemilik Lahan Pertanian Di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya) Oleh Hj. TATIN SESYETI, email:
[email protected] SITI FADJARAJANI, email:
[email protected] Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program Pascasarja, Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jalan Siliwangi No. 24 Tasikmalaya
ABSTRACT This study aimed to determine the relationship between knowledge of land use change and economic motives to the behavior of agricultural land sellers. The hypothesis in this study were (1) there is a relationship between knowledge of land conversion to agricultural land seller behavior (2) there is a relationship between economic motives seller behavior of agricultural land; and (3) there is a relationship between knowledge of land use change and economic motives to the behavior of sellers of agricultural land. This research method using descriptive method with questionnaires and documentation. Analysis of the data using simple regression test and multiple regression test. The population used in this study is the seller of agricultural land in the village of Kampung Bojongkoneng Singasari Singaparna District of Tasikmalaya District, amounting to 52 people and samples in this study were 52 people with totaly sampling technique. Based on the analysis it can be concluded that (1) there is a correlation knowledge of land conversion to agricultural land seller behavior. The relationship of knowledge over the land to the sale of the correlation coefficient (r) of 0.563. This implies that knowledge of land use change and economic motives will affect the behavior of sellers of agricultural land (2) there is a relationship of economic incentives to conduct agricultural land sellers. Economic motives associated fositif the seller's behavior amounted to 0,703 farms. This implies that the better the economic motive semakinm makanpenjualannya would be good also, (3) there is a correlation knowledge of land use change and economic motives to the behavior of sellers of agricultural land. The relationship of knowledge over the land and economic motives seller behavior farmland with a correlation coefficient (r) obtained at 0.735. This implies that knowledge of land use change and economic motives related to the behavior of sellers of agricultural land. Advice to sellers of agricultural land in order to improve knowledge about land use change, hence the need for efforts to increase knowledge. Keywords: knowledge, economic motives, and behavior
1
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ALIH FUNGSI LAHAN DAN MOTIF EKONOMI DENGAN PERILAKU PENJUAL LAHAN PERTANIAN (Studi Pada Pemilik Lahan Pertanian Di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya) Oleh Hj. TATIN SESYETI, email:
[email protected] SITI FADJARAJANI, email:
[email protected] Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program Pascasarja, Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jalan Siliwangi No. 24 Tasikmalaya Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perubahan penggunaan lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah (1) ada hubungan antara pengetahuan konversi lahan terhadap perilaku penjual lahan pertanian (2) ada hubungan antara motif ekonomi perilaku penjual lahan pertanian; dan (3) ada hubungan antara pengetahuan perubahan penggunaan lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan kuesioner dan dokumentasi. Analisis data menggunakan uji regresi sederhana dan uji regresi ganda. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjual lahan pertanian di Desa Kampung Bojongkoneng Singasari Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten yang berjumlah 52 orang dan sampel dalam penelitian ini adalah 52 orang dengan teknik pengambilan sampel totaly. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa (1) terdapat pengetahuan korelasi konversi lahan terhadap perilaku penjual lahan pertanian. Hubungan pengetahuan atas tanah dengan penjualan koefisien korelasi (r) dari 0,563. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang perubahan penggunaan lahan dan motif ekonomi akan mempengaruhi perilaku penjual lahan pertanian (2) ada hubungan insentif ekonomi untuk melakukan penjual lahan pertanian. Motif ekonomi terkait fositif perilaku penjual sebesar 0.703 peternakan. Ini berarti bahwa semakin baik motif ekonomi semakinm makanpenjualannya akan baik juga, (3) terdapat pengetahuan korelasi perubahan penggunaan lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Hubungan pengetahuan atas tanah dan motif ekonomi penjual perilaku lahan pertanian dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh di 0,735. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang perubahan penggunaan lahan dan motif ekonomi yang terkait dengan perilaku penjual lahan pertanian. Saran untuk penjual lahan pertanian dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang perubahan penggunaan lahan, maka kebutuhan untuk upaya untuk meningkatkan pengetahuan. Kata kunci: pengetahuan, motif ekonomi, dan perilaku
2
A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangan terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyedia pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi dari lahan pertanian. Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian serta adanya potensi yang besar membuat sektor ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. Potensi itu misalnya pada saat ini harga komoditas pertanian seperti beras, jagung kedelai di dunia yang semakin meningkat, serta sektor pertanian yang tidak mudah terkena dampak krisis ekonomi dunia. Oleh sebab itu pembangunan pertanian perlu ditingkatkan untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih efisien. Terkait dengan hal bercocok tanam, sektor pertanianlah yang paling utama berperan. Namun, pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan telah menggeser pemanfaatan lahan yang akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Berubahnya pemanfaatan lahan pertanian ke non pertanian dapat disebut juga sebagai alih fungsi lahan. Lahan pertanian selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan lahan. Perubahan tersebut dikarenakan
3
memanfaatkan lahan untuk kepentingan hidup manusia. Kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung terus mengalami peningkatan, seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia, maka penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi. Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan (Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Kecenderungan
terus
meningkatnya
kebutuhan
akan
lahan
ini
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit untuk dihindari. Tingginya alih fungsi lahan di wilayah Jawa Barat, seperti di Kabupaten Tasikmalaya akan berdampak pada keberlangsungan usaha pertanian. Saat ini pembangunan perumahan memang marak terjadi, hal tersebut disebabkan lokasinya dekat dengan Kabupaten Tasikmalaya sehingga menjadi daya tarik untuk membangun sarana pemerintahan di sana. Hampir setengah dari luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada. Desa Singasari adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Singasari merupakan desa yang berdiri sejak tahun 1984. Bertani sawah dan berladang adalah dasar perekonomian sebagian besar masyarakat Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Di sawah dan diladang inilah mereka menghasilkan makanan pokok berupa padi dan palawija seperti : kedelai, kacang tanah, ubi jalar, dan jagung. Komoditi lain yang menonjol ditanam adalah
sayur-sayuran seperti kol,
mentimun dan lain-lain. Kegiatan bertani dan berladang sebagian besar dilakukan di atas sawah dan ladang milik sendiri. Hanya sedikit masyarakat yang menggarap sawah atau ladang milik orang lain. Sawah dan ladang yang ditanami oleh penduduk Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya merupakan lahan yang sangat subur, karena ditunjang oleh sistem pengairan yang baik yaitu dari sungai-sungai kecil yang mengalir di sepanjang Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya dan sumber mata air. Dengan kesuburan tanah yang
4
demikian, memungkinkan petani menanam padi sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Untuk menghindari gangguan dan serangan hama, maka penduduk melakukan pola tanam bergantian antara padi dengan palawijaya dan melakukan pengolahan sawah secara intensif. Selain itu, petani juga menggunakan pupuk buatan dan obat-obatan pemberantas hama. Dalam mengolah lahan pertanian, penduduk di Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya menggunakan tenaga manusia dan tenaga ternak (sapi atau kerbau) yang dipergunakan untuk membajak sawah. Pengolahan tanah untuk penanaman padi diawali dengan menggarap areal persemaian dengan cara membolak-balik tanah lalu meratakannya menggunakan cangkul. Untuk mempercepat pengolahan tanah, masyarakat biasanya menggunakan tenaga ternak (sapi atau kerbau). Lama pengolahan tanah per hektar dengan tenaga kerbau atau sapi yang dilakukan petani berkisar antara tiga sampai lima jam. Bagian tanah yang tidak dapat dijangkau dengan bajak, dilakukan menggunakan cangkul Setelah pengolahan tanah, pekerjaan berikutnya semua ditangani langsung oleh tenaga manusia. Untuk sistem pengairan pesawahan sangat baik. Sawah-sawah yang landai bisa mendapatkan air sepanjang tahun, sebagai khas daerah ini pada kebanyakannya hampir setiap RW warga memiliki kolam penampungan air sekaligus untuk memelihara ikan baik untuk komersil maupun untuk konsumsi sendiri (Buku Monografi Desa Singasari, 2013). Alih fungsi lahan terjadi di desa Singasari Kabupaten Tasikmalaya disebabkan semakin pesatnya sektor pemerintahan ini mengakibatkan banyak pengalihan fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Banyak lahan-lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi bangunan-bangunan fisik seperti jalan, perkantoran dan lain-lain. Dengan berdiri Kabupaten Tasikmalaya sebagai kabupaten tersendiri menuntut adanya pembangunan berbagai infrastruktur sehingga permintaan lahan pertanian yang ada menjadi cukup besar. Akibatnya banyak lahan pertanian yang beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu terjadinya alih fungsi lahan juga mungkin dikarenakan kurangnya insentif atau perhatian sektor pertanian ini oleh pemerintah, sehingga masyarakat beralih ke sektor lainnya seperti sektor industri maupun perdagangan. Akibat dari alih fungsi
5
lahan adalah berkurangnya lahan pesawahan, ladang, dan kolam sekitar 30%. Sebagian besar atau 70% wilayah Desa Singasari berubah menjadi lahan pemukiman warga dan sarana umum dan perkantoran pemda Kabupaten, Kementerian Agama Kabupaten Tasikmalaya. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan kehidupan di desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Semakin banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya disebabkan karena secara geografis Kabupaten ini terletak pada persimpangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Tasikmalaya juga terletak di daerah jalur Garut-Tasikmalaya yang banyak menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa, pertumbuhan industri di sepanjang jalan ini juga cukup pesat. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi atau sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju. Alih fungsi lahan ini akan mengakibatkan jumlah produksi padi yang semakin berkurang. Dari latar belakang tersebut membuat penulis tertarik dan ingin mengadakan penelitian dengan mengambil judul “Hubungan Antara Pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan Perilaku penjual lahan pertanian (Studi Pada Pemilik Lahan Pertanian Di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya) B. KAJIAN PUSTAKA 1. Pengetahuan alih fungsi lahan Definisi
pengetahuan
menurut
kamus
Longman
Dictionary
of
Contempolary Couse by Paul Procter all adalah sebagai berikut: “Knowledge contenming to couse someone to know or to become know to (by) someone”, artinya pengetahuan menyebabkan seseorang mengetahui orang lain tahu karena adanya yang memberi tahu. Jadi pada prinsipnya tahu adalah, tahu mengerjakan (know to do), tahu bagaimana (know how), dan tahu mengapa (know why).
6
Pengertian pengetahuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:1121) merupakan
segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan sesuatu. Dalam
pengertian lain, pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan akan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Menurut Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Lilis Nur Fauziah (2005) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, baik itu dari segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tegas, maupun penegakannya yang tidak didukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak didukung oleh “tidak menarik”nya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya pupuk, alat-alat produksi lainnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar mempertahankan fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun. Pengetahuan alih fungsi lahan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal meliputi pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural yang dibatasi pada pengetahuan fungsi lahan, pengertian alih fungsi lahan, penyebab alih fungsi lahan, dampak alih fungsi lahan, dan kebijakan alih fungsi lahan.
7
2. Motif Ekonomi Terry yang dikutip Moekiyat (1983: 10), menyatakan bahwa “motif adalah dorongan prilaku yang timbul dalam diri individu yang mendorong ia untuk bertindak”. Selanjutnya A. Malik, mengatakan bahwa “motif adalah daya atau kemauan keras dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu”. Motif ekonomi adalah suatu dorongan atau usaha pada masyarakat pemilik lahan pertanian untuk menciptakan situasi, kondisi serta aktivitas guna mencapai tujuan meliputi dimensi motif intrinsik dan ekstrinsik yang dibatasi pada: a. Motivasi intrinsik, antara lain: -
Keinginan untuk hidup sejahtera untuk pribadi
-
Keinginan untuk hidup sejahtera untuk lingkungan
b. Motivasi ekstrinsik, antara lain: -
Ingin mendapat perhatian
-
Ingin mendapat pujian
-
Ingin mendapat penghargaan
3. Perilaku Penjual Lahan Pertanian Soekidjo Notoatmodjo (1997:118) menyatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung. Sarwono (1992: 6) mengatakan bahwa perilaku merupakan perbuatan-perbuatan manusia, baik terbuka (over behavior) maupun yang tidak terbuka (cover behavior). Perilaku terbuka merupakan tingkah laku yang dapat ditangkap langsung oleh indra misalnya menyapu, mengemudi, dan lain-lain. Perilaku yang tidak terbuka adalah tingkah laku yang tidak dapat ditangkap langsung oleh indera, misalnya motivasi, sikap, minat dan emosi. Menurut Skinner (1938), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a. Perilaku tertutup Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas.
8
b. Perilaku terbuka Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari. Perilaku penjual lahan pertanian didefinisikan sebagai perbuatanperbuatan manusia, baik terbuka maupun tertutup untuk bertindak, beraktivitas, dan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sebaik-baiknya yang meliputi tiga bentuk yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan kongkrit yang dibatasi pada kegiatan penjualan lahan pertanian. C. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif korelasional, sebab penelitian ini berkenaan dengan peristiwa-peristiwa atau fenomenafenomena yang telah dan sedang terjadi dan berhubungan dengan kondisi objek penelitian masa kini. Menurut Hadari Nawawi (2007:67), bahwa metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subjek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik analisis korelasional yaitu ingin menemukan ada tidaknya hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi
dengan
perilaku penjual lahan pertanian. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh penjual lahan pertanian di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya yang berjumlah 52 orang. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara pengambilan sampel dengan teknik total sampling, yaitu semua anggota populasi sasaran dijadikan sampel penelitian yaitu 52 orang siswa. Untuk memperoleh data maka peneliti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu observasi lapangan (field observation), angket, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.
9
D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian a. Hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dengan perilaku penjual lahan pertanian Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dengan perilaku penjual lahan pertanian dilakukan uji statistik, yaitu uji t dengan kriteria uji (dua sisi). Langkah pertama adalah mencari koefesien korelasi. Koefisien korelasi adalah suatu alat statistik yang dapat digunakan untuk menentukan derajat hubungan antara variabel-variabel. Dari pengolahan SPSS diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1 Koefisien Korelasi Antara Variabel X1 dan Y Model Summary Model 1
R .563
R Square a
Adjusted R Square
.317
.303
Std. Error of the Estimate 5.113
a. Predictors: (Constant), Pengetahuan
Koefisien korelasi antara variable X1 dan Y diperoleh 0,563 artinya dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara variabel pengetahuan alih fungsi lahan (X1) berpengaruh terhadap variabel perilaku penjual lahan pertanian (Y) atau korelasi yang bersifat nyata dan bersifat positif. Selanjutnya perhitungan koefisien determinasi pada derajat hubungan antara variabel X1 dan variabel Y diperoleh (0,563)2 x 100% = 31,70 %. Nilai dari koefisien determinasi tersebut menunjukkan bahwa 31,70% hal ini berarti variabel pengetahuan alih fungsi lahan (X1) mempengaruhi variabel perilaku penjual lahan pertanian (Y) sebesar 31,70%, sedangkan variabel sisanya 68,30% dipengaruhi variabel lain. Kemudian dilakukan pengolahan dengan SPSS untuk menganalisis regresi antara variabel X1 dan variabel Y. Hasil perhitungan diperoleh seperti hasil berikut ini :
10
Tabel 2 Regresi Linier Antara Variabel X1 dan Y b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
605.433
1
605.433
Residual
1307.086
50
26.142
Total
1912.519
51
F
Sig.
23.160
.000
a
a. Predictors: (Constant), Pengetahuan b. Dependent Variable: Perilaku Coefficients
a
Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Pengetahuan
Std. Error
Beta
90.409
6.273
.362
.075
t
.563
Sig.
14.413
.000
4.812
.000
a. Dependent Variable: Perilaku
Dari tabel ANOVA di atas dapat dikatakan bahwa variabel X1 yaitu pengetahuan alih fungsi lahan memiliki hubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 karena probabilitas jauh di bawah 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara linear antara pengetahuan alih fungsi lahan (variabel X1) dengan perilaku penjual lahan pertanian (variabel Y). 4.1.1
Hubungan antara motif ekonomi
dengan perilaku penjual lahan
pertanian Untuk mengetahui hubungan antara motif ekonomi dengan perilakunya lahan pertanian dilakukan uji statitistik. Dari pengolahan SPSS diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3 Koefisien Korelasi Antara Variabel X2 dan Y Model Summary Model 1
R .703
R Square a
.494
Adjusted R Square .484
Std. Error of the Estimate 4.398
a. Predictors: (Constant), Motif
11
Koefisien korelasi antara variable X2 dan Y diperoleh 0,703, artinya dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara variabel motif ekonomi (X2) berpengaruh terhadap variabel perilaku penjual lahan pertanian (Y) atau korelasi yang bersifat nyata dan bersifat positif. Selanjutnya perhitungan koefisien determinasi pada derajat hubungan antara variabel X2 dan variabel Y diperoleh (0,703)2 x 100% = 49,40 %. Nilai dari koefisien determinasi menunjukkan bahwa 49,40% hal ini berarti variabel motif ekonomi
(X2) mempengaruhi variabel perilaku penjual lahan pertanian (Y)
sebesar 49,40%, sedangkan variabel sisanya 50,60% dipengaruhi variabel lain. Kemudian dilakukan pengolahan dengan SPSS untuk menganalisis regresi antara variabel X dan variabel Y. Hasil perhitungan diperoleh seperti hasil berikut ini: Tabel 4 Regresi Linier Antara Variabel X2 dan Y b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
945.280
1
945.280
Residual
967.239
50
19.345
1912.519
51
Total
F
Sig.
48.865
.000
a
a. Predictors: (Constant), Motif b. Dependent Variable: Perilaku Coefficients
a
Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Motif
Std. Error 72.350
6.901
.436
.062
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
10.483
.000
6.990
.000
.703
a. Dependent Variable: Perilaku
Dari tabel ANOVA di atas dapat dikatakan bahwa variabel X2 yaitu motif ekonomi memiliki hubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 karena probabilitas jauh di bawah 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara linear antara motif ekonomi (variabel X2) dengan perilaku penjual lahan pertanian (variabel Y).
12
4.1.2
Hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dan
motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian dlakukan melalui uji F. Hasil pengolahan data melalui program SPSS diperoleh nilai Anova sebagai berikut: Tabel 5 Hasil Pengujian Anova b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
df
Mean Square
1033.119
2
516.559
879.400
49
17.947
1912.519
51
F 28.783
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), Motif, Pengetahuan b. Dependent Variable: Perilaku
Dari tabel ANOVA di atas dapat dikatakan bahwa variabel X1 yaitu pengetahuan alih fungsi lahan dan X2 yaitu motif ekonomi memiliki hubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian dengan tingkat signifikansi sebesar 0.000 karena probabilitas jauh di bawah 0.05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya hubungan secara simultan antara variabel pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi
dengan perilaku
penjual lahan pertanian dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi pada tabel dibawah ini: Tabel 7 Koefisien Korelasi dan Determinasi Model Summary Model 1
R .735
R Square a
Adjusted R Square
.540
.521
Std. Error of the Estimate 4.236
a. Predictors: (Constant), Motif, Pengetahuan
13
Berdasarkan tabel diatas nilai koefisien korelasi (r) adalah sebesar 0,735 angka ini menunjukan bahwa variabel pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi mempunyai hubungan sebesar 0,735 dengan perilaku penjual lahan pertanian. Angka 0,735 rnenunjukan hubungan yang baik antar variabel penelitian. Selanjutnya perhitungan koefisien determinasi pada derajat hubungan antara variabel X1, X2 dan variabel Y diperoleh (0,735)2 x 100% = 54,00 %. Nilai dari koefisien determinasi tersebut, menunjukkan bahwa 54,00% hal ini berarti 54,00% perilaku penjual lahan pertanian ditentukan oleh pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi, sedangkan sisanya 46,00% berhubungan dengan faktor lain diluar kedua variabel tersebut. Berdasarkan angka koefesien determinasi diketahui bahwa pengetahuan alih fungsi lahan dalam penelitian ini secara simultan berkaitan dengan perilaku penjual lahan pertanian. 2. Pembahasan a. Hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dengan perilaku penjual lahan pertanian Berdasarkan
hasil perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS
diketahui bahwa pengetahuan alih fungsi lahan (X1) memberikan kontribusi pada perilaku penjual lahan pertanian sebesar 0,563 artinya bahwa perilaku penjual lahan pertanian di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya ditentukan oleh pengetahuan alih fungsi lahan sebesar 31,70%. Dengan demikian semakin tinggi :pengetahuan alih fungsi lahan maka semakin baik perilaku penjual lahan pertanian. Dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih terdapat banyak persoalan besar yang harus diselesaikan, salah satu diantaranya adalah permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang saat ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo (1992) Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunanaan lahan ke penggunanaan lahan lainnya. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan
14
transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan). Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk serta meningkatnya kebutuhan infrastruktur seperti, perumahan, jalan, industri, perkantoran, dan bangunan lain menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang sangat cepat di beberapa sektor ekonomi. Pertumbuhan tersebut juga membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan umumnya adalah lahan-lahan pertanian karena land rent (sewa lahan). Menurut Barlowe, sewa ekonomi lahan (land rent) mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh oleh satu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Land rent lahan pertanian relatif lebih tinggi penggunaannya untuk non-pertanian dibandingkan dengan lahan pertanian yang dikelola oleh petani (Putri 2009). Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi sruktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non-pertanian (Supriyadi 2004). Persoalan ini harus dicarikan solusi pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini dapat merugikan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan
15
mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Menurut Lilis Nur Fauziah (2005) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, baik itu dari segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tegas, maupun penegakannya yang tidak didukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak didukung oleh “tidak menarik”nya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya pupuk, alat-alat produksi lainnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar mempertahankan fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun. Menurut Irawan (2005),ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan . Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Mencermati alih fungsi lahan memberikan dampak buruk bagi perilaku penjual lahan pertanian, maka dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang alih fungsi lahan. Pengetahuan merupakan pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal tentang keadaan seseorang yang secara sadar mengetahui tentang fungsi lahan, pengertian alih fungsi lahan, penyebab alih fungsi lahan, dampak alih fungsi lahan, dan kebijakan alih fungsi lahan. Dengan pengetahuan alih fungsi lahan yang tinggi maka akan berpengaruh terhadap perilaku penjual lahan pertanian. Sebaliknya, jika pengetahuan alih fungsi lahan dari masyarakat rendah, maka akan menurunkan perilaku penjual lahan pertanian.
16
b. Hubungan antara motif ekonomi
dengan perilaku penjual lahan
pertanian Berdasarkan perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS, motif ekonomi berhubungan positif dengan perilaku penjual lahan pertanian sebesar 0,703. Hal ini berarti bahwa perilaku penjual lahan pertanian di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya ditentukan oleh motif ekonomi sebesar 49,40%. Semakin baik motif ekonomi maka perilakunya pun akan semakin baik pula. Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.
Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Dengan demikian, motif memberikan dorongan yang kuat bagi seseorang. Motif adalah dorongan prilaku yang timbul dalam diri individu yang mendorong ia untuk bertindak. Motif juga dikatakan sebagai daya atau kemauan keras dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan motif ekonomi yang tinggi maka akan berpengaruh terhadap perilaku penjual lahan pertanian. Sebaliknya, jika motif ekonomi dari masyarakat rendah, maka akan menurunkan perilaku penjual lahan pertanian.
17
c. Hubungan antara pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian Berdasarkan basil perhitungan statistik dengan menggunakan SPSS, diketahui bahwa pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi mempunyai hubungan yang positif terhadap perilaku penjual lahan pertanian di Kampung Bojongkoneng Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan basil uji F yang menunjukan bahwa Fhitung > F tabel yaitu 28,783 > 2,87. Kedua hubungan antara variabel independen dan variabel dependen yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebesar 0,735. Koefesien korelasi sebesar 0,735 termasuk kedalam keeratan hubungan yang sedang. Koefisien determinasi dalam penelitian ini diperoleh sebesar 54,00%, ini berarti bahwa pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi berhubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian, sedangkan sisanya sebesar 46,00% berhubungan dengan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah. Alih fungsi lahan pertanian dapat terjadi karena latar belakang sosial maupun ekonomi pemilik lahannya.
Faktor ekonomi merupakan salah satu
penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini mendorong para pemilik lahan pertanian khususnya sawah untuk menjual lahan yang dimilikinya karena terdesak kebutuhan hidup. Iming-iming harga jual lahan yang tinggi juga akan menjadi daya tarik yang kuat dari para makelar tanah. Bagi pemilik lahan pertanian yang hanya menggantungkan kehidupannya pada usaha pertanian akan sulit dipisahkan dari lahan pertanian yang dimilikinya.
18
Mereka tidak berani menanggung resiko atas ketidakpastian penghidupannya setelah lahan pertaniannya berpindah alih kepada orang lain. Disamping itu, status sosial penduduk pedesaan masih ada yang dikaitkan dengan luas kepemilikan lahannya (Witjaksono, 1996 dalam Ilham dkk, 2004). Perilaku penjual lahan pertanian akan dipengaruhi oleh pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi. Dengan demikian pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi akan berpengaruh pada perilaku penjual lahan pertanian E. PENUTUP 1. Simpulan a. Ada hubungan pengetahuan alih fungsi lahan dengan perilaku penjual lahan pertanian. Hubungan pengetahuan alih fungsi lahan dengan penjualan koefisien korelasi (r) sebesar 0,563. Hal ini mengandung makna bahwa pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi akan berpengaruh pada perilaku penjual lahan pertanian. b. Ada hubungan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Motif ekonomi berhubungan fositif dengan perilaku penjual lahan pertanian sebesar 0,703. Hal ini mengandung makna bahwa semakin baik motif ekonomi makanpenjualannya pun akan semakin baik pula. c. Ada hubungan pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian. Hubungan pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi dengan perilaku penjual lahan pertanian dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,735. Hal ini mengandung makna bahwa pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi berhubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian. 2. Saran a. Pemahaman petani pemilik lahan pertanian memiliki hubungan positif dengan perilaku penjual lahan pertanian, oleh karena itu diperlukan peningkatan pemahaman pengetahuan tentang alih fungsi lahan, b. Motif ekonomi memiliki hubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian, maka untuk meningkatkannya perlu adanya upaya-upaya untuk peningkatan motif ekonomi.
19
c. Penelitian ini terbatas pada variable pengetahuan alih fungsi lahan dan motif ekonomi, maka perlu penelitian lanjutan yang mengungkap factorfaktor yang berhubungan dengan perilaku penjual lahan pertanian secara mendalam dengan melibatkan variable-variabel lainnya, diantaranya latar belakang social ekonomi keluarga, kondisi social masyarakat, kebijakan pemerintah dan perubahan iklim. Selain itu, karena cakupan penelitian ini masih terbatas, maka diharapkan penelitian selanjutnya cakupannya lebih luas misalnya pemilik lahan pertanian di tingkat Kabupaten Tasikmalaya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, Fany. (2005). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Ke Pengguna Non Pertanian Di Kabupaten Tanggerang. Institut Pertanian Bogor, Bogor Data Profil Desa Singasari Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. 2013. Tidak Diterbitkan Fauziah, Lilis Nur. (2005). Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Iqbal, M dan Sumaryanto. (2007). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kustiawan. (1997). Pengertian Alih Fungsi Lahan. http.//repository.ipb.ac.id. diunduh tanggal 6 Agustus 2014 Lestari. (2009). Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Makmun, Abin Syamsuddin. (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung: Rosda Karya. Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. (1993). Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Ruswandi A. (2005). Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruswandi M. (2007). Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawsan Bandung Utara. Jurnal tanah dan Lingkungan. Vol.9. no.2: 63-70. Sardiman, AM (1994). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : CV Alfabeta. Surakhmad, Winarno. (1990). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Penerbit Tarsito Bandung. Suryabrata, Sumadi. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Umar, Husen. (2005). Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Usman, Mohammad Uzer. (1992). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Widodo, Ari (2005). Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis. Bandung: UPI Winoto J. (1995). Alih Guna Lahan Pertanian: Permasalahan dan Implikasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
21