STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT The uncontrolled land conversion could threaten the provision of food production capacity to the long run detriment of social conditions. Similarly, the implementation of land control instruments has not been successfully achieved in line with what expected. Consequently, an alternative strategy to control land conversion supported by community participation is required. With this background, the objective of this paper is: (1) to identify the performance of agricultural land conversion control, and (2) to recommend alternative strategies related to policy regulations and community participation. Policy regulation strategy covers law, economic, and zoning instruments as well as community initiatives. Meanwhile, community participation strategy requires a thorough understanding through stakeholder analysis. This means that the strategy to control agricultural land conversion anchored by the community participation is implemented through active involvement of all stakeholders. It is deemed as the entry point for planning, implementing, controlling, and assessing the agricultural land conversion regulations through socialization and advocacy approaches. Key words : agricultural land conversion, control, participation, stakeholders ABSTRAK Di satu sisi, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi keragaan alih fungsi lahan pertanian dan kinerja pengendaliannya; dan (2) merekomendasikan strategi alternatif pengendalian alih fungsi lahan, baik strategi peraturan kebijakan maupun strategi partisipasi masyarakat. Strategi peraturan kebijakan mencakup komponen instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Sementara itu, strategi partisipasi masyarakat ditempuh melalui pemahaman terhadap eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Dengan kata lain, strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan dan peraturan yang ada melalui pendekatan sosialisasi dan advokasi. Kata kunci : alih ungsi lahan pertanian, pengendalian, partisipasi, pemangku kepentingan STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
167
PENDAHULUAN Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian). Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik. Keterusikan ini akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius di kemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Sebetulnya sejumlah perundang-undangan telah dibuat dan berbagai peraturan sudah diciptakan, namun semuanya seakan-akan mandul dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Dengan kata lain, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi tersebut belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif, yaitu yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Secara umum tulisan ini bertujuan untuk menganalisis strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Tujuan spesifiknya adalah : (1) mengidentifikasi keragaan alih fungsi lahan pertanian dan kinerja pengendaliannya; dan (2) merekomendasikan strategi alternatif pengendalian alih fungsi lahan, baik strategi peraturan kebijakan maupun strategi partisipasi masyarakat. DASAR PEMIKIRAN Dua kata kunci dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian adalah holistik dan komprehensif. Dengan kata lain, alih fungsi lahan pertanian harus jadi perhatian semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang dimaksud merupakan tumpuan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
168
dengan dimensi cukup luas, yakni segenap lapisan masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang berhubungan secara nyata dan tidak nyata dengan alih fungsi lahan pertanian. Sehubungan dengan itu, dasar pemikiran mengenai strategi pengendalian alih fungsi lahan yang bertumpu pada masyarakat ini disajikan pada Gambar 1. Pengendalian alih fungsi lahan (selaras dan berkelanjutan)
sasaran (goal)
fokus analisis
Instrumen hukum
Eksistensi
Instrumen ekonomi
Zonasi
Pemangku kepentingan (stakeholders)
Inisiatif masyarakat
Partisipasi
titik tumpu (entry point) Analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis)
Gambar 1. Dasar Pemikiran Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat
Dari Gambar 1 dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat. Pertama, titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrumen hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif, kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan. STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
169
Selanjutnya, fokus perhatian terhadap eksistensi dan partisipasi pemangku kepentingan dapat dicermati dengan metode analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Analisis ini berhubungan dengan penilaian kelembagaan dan analisis sosial dalam kerangka sosial kelembagaan. Implementasinya, analisis pemangku kepentingan merupakan kerangka logis (logical framework) rancangan kegiatan partisipatif. KERAGAAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN KINERJA PENGENDALIANNYA Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
170
dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto, 2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain. Sebetulnya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Paling tidak ada 10 peraturan/perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah ini (Tabel Lampiran 1). Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut. Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu : 1.
Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2.
Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.
3.
Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga dipengaruhi oleh : (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten. STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
171
Selanjutnya, senada dengan Nasoetion (2003), Simatupang dan Irawan (2002) menyimpulkan bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian yang ada memiliki berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan tersebut antara lain : 1.
Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah direkayasa, sehingga alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
2.
Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.
3.
Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggungjawab, mengingat izin alih fungsi lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.
4.
Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya membutuhkan lahan. Di wilayah yang lahan keringnya terbatas, seperti pantai utara Jawa, kebijakan tersebut jelas akan menekan eksistensi lahan sawah yang ada.
Selain beberapa hal dikemukakan di atas, terdapat dua faktor strategis lainnya yang selama ini tertinggalkan. Pertama, belum banyak dilibatkannya petani sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan lokal secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, dan pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selama ini telah disusun, tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis permasalahan empiris yang terjadi di lapangan.
STRATEGI ALTERNATIF PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN Strategi Peraturan Kebijakan Perlu digarisbawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka keputusan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
172
untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang melekat di dalamnya. Sehubungan dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990) merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland), yaitu melalui : (1) regulation; (2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge. Uraian singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2.
Acquisition and Management. Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
3.
Incentive and Charges. Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.
Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
173
diberikan kepada pihak-pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan sarana produksi pertanian (Isa, 2006). Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumen-instrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi pelanggaran (reward and punishment). Kebijakan zonasi berhubungan dengan ketatalaksanaan tata ruang wilayah melalui pengelompokan (cluster) lahan menjadi tiga kategori zona pengendalian, yaitu lahan yang dilindungi (tidak boleh dialihfungsikan), alih fungsi terbatas, dan boleh dialihfungsikan. Zonasi diatur berdasarkan kriteria klasifikasi irigasi, intensitas tanam, dan produktivitas lahan sawah. Kriteria irigasi dibedakan atas lahan sawah beririgasi dan nonirigasi. Kriteria intensitas tanam adalah satu hingga dua kali tanam per tahun, sedangkan kriteria produktivitas yaitu di bawah 4,5 ton/ ha/panen (BPN Sulsel, 2006). Lengkapnya informasi ini dapat diperhatikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3.
Strategi Partisipasi Mayarakat Dari beberapa hasil penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dapat diungkapkan bahwa salah satu fenomena alih fungsi lahan hal yang patut diwaspadai adalah yang sifatnya sporadis dan berdimensi individu untuk berbagai keperluan seperti perumahan dan fasilitas lainnya (Sumaryanto et al., 2002). Pola alih fungsi lahan semacam ini sulit dikontrol, sehingga pendekatan yang dianggap paling tepat untuk menanganinya adalah dengan melibatkan masyarakat melalui inisiatif dan aksi kolektif (Bappenas dan PSE-KP, 2006). Pelibatan masyarakat seyogyanya tidak hanya terpaut pada fenomena di atas, namun mencakup segenap lapisan pemangku kepentingan. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang patut dijadikan pertimbangan adalah yang bertumpu pada masyarakat (community-based management plan). Artinya, masyarakat adalah tumpuan dalam bentuk partisipasi dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Pemangku kepentingan (stakeholder) dapat didefinisikan sebagai individu, masyarakat, atau organisasi yang secara potensial dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan (Race and Millar, 2006). Dengan kata lain, pemangku kepentingan mencakup pihak-pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dan memperoleh manfaat atau sebaliknya dari suatu proses pengambilan keputusan.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
174
Secara garis besar, para pemangku kepentingan tersebut dapat diklasifikasikan atas dua kategori (Crosby, 1992), yaitu : 1.
Pemangku kepentingan utama (primary stakeholders), yakni kelompok sosial masyarakat yang terkena dampak baik secara positif (penerima manfaat/beneficiaries) maupun negatif (di luar kesukarelaan) dari suatu kegiatan.
2.
Pemangku kepentingan penunjang (secondary stakeholders), yaitu berperan sebagai pihak perantara (intermediaries) dalam proses penyampaian kegiatan. Pemangku kepentingan ini dapat dibedakan atas penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi, atau secara gamblang antara lain terdiri dari pemerintah, lembaga sosial masyarakat (LSM), pihak swasta, politisi, dan tokoh masyarakat. Sekaligus, pemangku kepentingan penunjang ini juga berperan sebagai pemangku kepentingan kunci (key stakeholders) yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatan.
Dalam konteks alih fungsi lahan, seirama dengan definisi di atas, pemangku kepentingan mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan, yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya, sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan LSM dengan kelompok institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas. Tanpa eksistensi keempat pilar di atas, sulit rasanya untuk memuluskan (enforcement) pengimplementasian peraturan-peraturan yang notabene selama ini muatannya sudah cukup komprehensif dalam pengendalian alih fungsi lahan. Akan tetapi, identifikasi pemangku kepentingan harus dilakukan terlebih dahulu, yakni menyangkut dengan keberadaan, keterlibatan, peran, dan imbas pengaruhnya. Metode (tool) untuk mengetahui dan mengidentifikasi partisipasi masyarakat dalam konteks alih fungsi lahan pertanian ini adalah pemahaman terhadap eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Analisis pemangku kepentingan penting dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling terpengaruh dari suatu kegiatan pembangunan (Race and Millar, 2006). Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan dan sampai sejauh mana kegiatan tersebut bermanfaat buat mereka. Perlu dikemukakan bahwa dampak dari suatu kegiatan dapat memberikan manfaat bagi sebagian masyarakat, namun sebaliknya bagi sebagian masyarakat lainnya. Oleh karena itu, dalam analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan elemen-elemen kegiatan, seperti bagaimana eksistensi kelompok masyarakat, apa dampaknya, dan dengan cara bagaimana konsekuensi negatif dapat diminimalisasi. Secara garis besar, dalam analisis pemangku STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
175
kepentingan perlu diakomodasikan beberapa komponen, yaitu : (1) komunitas atau kelompok masyarakat yang berhubungan dengan kepentingan suatu kegiatan; (2) isu utama berdasarkan pengalaman masyarakat; (3) dampak positif dan negatif kegiatan terhadap mata pencaharian masyarakat; (4) strategi untuk mengurangi atau menghindari dampak negatif kegiatan; dan (5) implementasi program aksi. Analisis pemangku kepentingan dapat dilakukan dalam skala makro, namun tentunya akan lebih efektif bila dilaksanakan dalam skala mikro untuk kemudahan pengawasan. Oleh karena itu, implementasi strategi pengendalian alih fungsi lahan idealnya diawali dengan proyek rintisan (pilot project). Sejalan dengan nuansa desentralisasi dan era otonomi, pemerintahan daerah seharusnya berinisiatif dalam hal ini, sedangkan pemerintahan pusat lebih kepada peran konsultatif dan koordinatif serta sekaligus melakukan replikasi secara nasional. Dua kata kunci dalam analisis ini adalah kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari dua klasifikasi pemangku kepentingan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Meskipun kepentingan merupakan hal yang cukup sulit untuk didefinisikan, namun esensinya dapat diperoleh melalui analisis sosial (untuk pemangku kepentingan utama) dan dokumen kelembagaan (untuk pemangku kepentingan penunjang). Secara ringkas, kepentingan yang dimaksud diantaranya terkait dengan ekspetasi, manfaat, sumberdaya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan hubungan (network). Selanjutnya, pengaruh berkaitan dengan kekuasaan (power) terhadap kegiatan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan sekaligus menangani dampak negatifnya. Penilaian terhadap aspek pengaruh relatif sulit dilakukan dan perlu interpretasi khusus untuk mendalaminya. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menilai pengaruh tersebut (Tabel 1). Tabel 1. Faktor-faktor Pengaruh Keberadaan Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan Utama (primary stakeholders) 1. Status sosial ekonomi 2. Organisasi, konsensus, dan kepemimpinan 3. Pengawasan terhadap sumberdaya strategis 4. Pengaruh informal terhadap sesama pemangku kepentingan 5. Tingkat ketergantungan antar pemangku kepentingan Sumber : Crosby, 1992
Pemangku Kepentingan Penunjang (secondary stakeholders) Anggaran dan pengawasan Kekuasaan dan kepemimpinan Pengawasan terhadap sumberdaya strategis Keberadaan tenaga-tenaga spesialis Kemampuan negosiasi
Kendati selama ini ada beberapa proyek rintisan yang relatif kurang berkontribusi secara signifikan dalam keberlanjutan kegiatannya, proyek rintisan Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
176
yang berlandaskan partisipatif seyogyanya tidak demikian. Dalam kerangka proyek rintisan partisipatif, analisis pemangku kepentingan dilaksanakan dengan diiringi proses iteratif serta pengawasan dan penilaian (monitoring dan evaluasi). Institusi yang berperan utama (key stakeholder) dalam kegiatan tersebut diharapkan dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), karena selama ini instansi yang bersangkutan sudah banyak berperan dalam mengkoordinasikan formulasi RTRW dan Peraturan Daerah (Perda). Perlu dipertimbangkan pula pendirian suatu wadah untuk para pemangku kepentingan (stakeholder’s forum). Secara skematis, ketatalaksanaan pengendalian alih fungsi lahan berbasis proyek rintisan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat dapat diperhatikan pada Gambar 2.
Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Forum Komunikasi Pemangku Kepentingan Partisipasi Pemangku Kepentingan (kepentingan dan pengaruh)
Pemerintah
Masyarakat
LSM
Swasta
Gambar 2. Ketatalaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Berbasis Proyek Rintisan Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat
Paling tidak ada tiga tipologi partisipasi masyarakat yang dianggap sesuai dengan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian, yaitu partisipasi konsultatif, interaktif, dan fungsional (Pretty, 1995). Partisipasi konsultatif adalah dalam bentuk konsultasi dengan pihak luar (external agent), dimana masalah dan solusinya didefinisikan oleh pihak luar terkait. Partisipasi interaktif yaitu dalam kerangka analisis kolektif yang ditujukan untuk perumusan program aksi. Sementara itu, partisipasi fungsional yakni partisipasi dengan membentuk kelompok guna STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
177
mencapai tujuan kegiatan. Implementasinya, peran sentral tipologi partisipasi tersebut masing-masing adalah Bappeda (partisipasi konsultatif), proyek rintisan (partisipasi interaktif), dan forum pemangku kepentingan (partisipasi fungsional).
PENUTUP Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan dan peraturan yang ada. Namun perlu digarisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak akan terwujud bila tidak diiringi dengan pendekatan dalam bentuk sosialisasi dan advokasi. Hal demikian mengingat masyarakat sendiri memiliki tipologi kemajemukan yang antara lain dicirikan oleh perbedaan (stratifikasi) sosial dengan ikatan kaidah, institusi, dan perilaku. Pola yang bersifat penekanan atau bujukan (inducement) seyogyanya dihindari dan digantikan dengan pendekatan yang berlandaskan tipologi kemajemukan masyarakat diiringi dengan pemahaman dan apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) setempat. Dalam skala makro, salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan adalah yang bersifat filosofis eksistensi lahan dan manusia. Mengingat lebih gencarnya proses alih fungsi lahan di Pulau Jawa, maka prioritas strategi pengendaliannya adalah berlandaskan falsafah manusia mengikuti lahannya (uwong manut tanahe). Salah satu maknanya, apabila penempatan dan pengelolaan lahan diatur sedemikian rupa secara partisipatif, maka masyarakat akan mengikuti aturan-aturan tersebut. Jadi, fokus utamanya adalah penegakan (enforcement) perundang-undangan dan peraturan alih fungsi lahan secara konsekuen. Sebaliknya, untuk wilayah di luar Pulau Jawa dimana masyarakatnya relatif memiliki lahan lebih luas, perlu dibenahi sumberdaya manusianya seiring penegakan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan (tanah manut uwonge).
DAFTAR PUSTAKA Bappenas dan PSE-KP. 2006. Penyusunan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Kerjasama Direktorat Pangan dan Pertanian-Kantor Menteri Negara Perencanaan Nasional dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta. BPN Sulsel. 2004. Laporan Tahunan. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
178
BPN Sulsel. 2006. Laporan Tahunan. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Crosby, BL. 1992. Stakeholder Analysis : A Vital Tool for Strategic Managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development. Washington DC. Dirjen PLA. 2005. Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Jakarta. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian. Makalah pada Seminar Multifungsi (Multifunctionality of Agriculture). Bogor, 27-28 Juni 2006. Balai Besar Sumberdaya Lahan (BBSDL), Ministry of Agricuture, Fisheries, and Forestry (MAFF) of Japan, dan ASEAN Secretariat. Bogor. Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan Implementasinya. Dalam Kurnia dkk. (eds). Makalah Seminar Nasional “Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pearce, D.W. dan R.K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources Environment. Harvester Wheatsheaf. London. Pretty, J. 1995. Regenerating Agriculture : Policies and Practice for Sustainability and SelfReliance. Earthscan Publications. London, U.K.. Race, D. and J. Millar. 2006. Training Manual : Social and Community Dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research – Institut for Land, Water, and Society of Charles Sturt Unversity. Australia. Simatupang, P. dan B. Irawan. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian : Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Makalah Seminar Nasional “Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian”, 25 Oktober 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sumaryanto, Syahyuti, Saptana, dan B. Irawan. 2002. Masalah Pertanahan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 20, Nomor.2, Desember 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Makalah Seminar “Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi”, 13 Desember 2005. Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (Institut Pertanian Bogor). Jakarta.
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
179
Tabel Lampiran 1. Perundang-undangan dan Peraturan tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian Perundang-undangan dan Peraturan 1. UU No. 24/1992
2. Kepres No. 53/1989
3. Kepres No. 33/1990
4. SE MNA/KBPN 410-1851/1994
5. SE MNA/KBPN 410-2261/1994 6. SE/KBappenas 5334/MK/9/1994 7.
SE MNA/KBPN 5335/MK/1994
8. SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994
9. SE Mendagri 474/4263/SJ/1994 10. SE MNA/KBPN 460-594/1996
Kandungan Isi Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mempertimbangkan budidaya tanaman pangan/sawah irigasi teknis (perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat) Pembangunan kawasan industri, tidak boleh alih fungsi sawah irigasi teknis/tanah pertanian subur (pembangunan kawasan industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan diatas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya) Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri (pemberian izin pembebasan tanah untuk industri harus dilakukan dengan pertimbangan tidak akan mengurangi areal tanah pertanian dan tidak boleh di kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah berupa sawah dengan pengairan irigasi serta lahan yang dicadangkan untuk usahatani irigasi) Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian melalui penyusunan Rencana Tata Ruang (dalam menyusun RTRW Dati I maupun Dati II, agar tidak memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis guna penggunaan non-pertanian, kecuali terpaksa atas pertimbangan-pertimbangan tertentu dengan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional/BKTRN) Izin lokasi tidak boleh mengalih fungsikan sawah irigasi teknis Pelarangan alih fungsi lahan sawah irigasi teknis untuk nonpertanian Penyusunan RTRW Dati II melarang alih fungsi lahan sawah irigasi teknis untuk non-pertanian (BKTRN pada prinsipnya tidak mengizinkan perubahan penggunaan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan diluar pertanian, dan kesepakatan tersebut telah dilaporkan kepada Presiden. RTRW di beberapa Dati II perlu disempurnakan, karena di dalamnya tercantum rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non-pertanian) Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan (pada prinsipnya perubahan penggunaan tanah pertanian/sawah beririgasi teknis untuk keperluan selain pertanian tidak diizinkan. Untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan, pembangunan perumahan baru diarahkan ke lahan yang telah mempunyai izin lokasi dan ke lokasi diluar lahan beririgasi teknis) Mempertahankan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan. Mencegah alih fungsi tanah sawah dan irigasi teknis menjadi tanah kering (perubahan sawah irigasi teknis ke tanah kering dalam 10 tahun terakhir diperkirakan lebih dari 500.000 hektar, melalui cara menutup saluran irigasi. Untuk hal tersebut, diminta kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk memberi petunjuk : (a) tidak menutup saluran irigasi; (b) tidak mengeringkan sawah irigasi menjadi tanah kering; (c) tidak menimbun sawah untuk membangun; (d) banyak sawah irigasi yang sudah menjadi tanah kering, untuk mengembalikan lagi seperti semula; dan (e) Gubernur dapat memberikan petunjuk pada Bagpro/Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW Dati II)
Sumber : Bappenas dan PSE-KP, 2006
Tabel Lampiran 2. Kelas dan Pengelolaan Zonasi Alih Fungsi Lahan Sawah Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
180
Zonasi 1. Dilindungi
Pengelolaan - Penggunaan hanya untuk pertanian sawah yang diatur melalui perizinan berdasarkan pertimbangan teknis tataguna tanah. - Diusulkan menjadi ‘kawasan lindung’ mengingat sawah irigasi merupakan daerah resapan air dan berfungsi untuk mencegah erosi, sehingga pengelolaannya diatur menurut perundangundangan kawasan lindung yang berlaku. - Alih fungsi hanya untuk kepentingan negara yang bersifat strategis dengan persetujuan instansi terkait di tingkat pusat. - Areal sawah yang dialihfungsikan harus diganti di tempat yang setara (luas, intensitas tanam, dan produktivitas) dalam rangka mempertahankan neraca produksi pangan nasional. - Pemilik sawah diberikan insentif oleh pemerintah dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan, kemudahan administrasi pertanahan, dan kemudahan dalam memperoleh sarana produksi pertanian seperti bibit unggul, pupuk, pestisida, kredit perbankan, pemasaran hasil produksi, dan lain-lain. - Pemerintah pusat/provinsi berkewajiban membantu pemerintah kabupaten/kota yang wilayahnya ditetapkan sebagai zona perlindungan melalui tambahan dana alokasi umum (DAU), dan prioritas alokasi proyek pembangunan pertanian sawah.
2. Alih fungsi terbatas
- Alih fungsi hanya untuk meningkatkan nilai tambah penggunaan dan pemanfaatan tanah, sehingga perlu izin pembatasan alih fungsi menurut ketentuan yang berlaku. - Pembatasan alih fungsi ditujukan untuk memelihara ketahanan pangan lokal dan regional. - Alih fungsi dilaksanakan melalui perizinan perubahan penggunaan tanah berdasarkan pertimbangan teknis tataguna tanah. - Dikenakan disinsentif, antara lain melalui retribusi untuk pemerintah kabupaten/kota yang dananya digunakan untuk insentif bagi petani di zona perlindungan.
3. Dapat dialih fungsikan
- Alih fungsi harus sesuai dengan rencana penggunaan tanah kabupaten/kota (Keppres No. 34/2003) dan/atau rencana tata ruang wilayah (RTRW). - Alih fungsi dilaksanakan melalui perizinan perubahan penggunaan tanah berdasarkan pertimbangan teknis tataguna tanah. - Dikenakan disinsentif, antara lain melalui retribusi untuk pemerintah kabupaten/kota yang dananya digunakan untuk insentif bagi petani di zona perlindungan. Sumber: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 (mengacu pada aturan BPN Pusat)
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERTUMPU PADA PARTISIPASI MASYARAKAT Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
181
Tabel Lampiran 3. Kriteria Zonasi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Klasifikasi Irigasi 1. Irigasi (termasuk irigasi setengah teknis, sederhana/pedesaan, dan pasang surut)
Intensitas Tanam dua kali/tahun satu kali/tahun
2. Non-irigasi (termasuk tadah hujan dan lebak)
Produktivitas
Zonasi
> 4,5 ton/ha/panen
dilindungi
> 4,5 ton/ha/panen
alih fungsi terbatas
dua > 4,5 ton/ha/panen alih fungsi kali/tahun terbatas satu > 4,5 ton/ha/panen alih fungsi kali/tahun terbatas Sumber : Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 (mengacu pada aturan BPN Pusat)
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182
182