Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH BERIRIGASI Asep Suherman dan Ujang Suratno
PENDAHULUAN Fenomena penyusutan lahan pertanian terutama lahan sawah beririgasi di Pulau Jawa dan sekitar kota-kota besar menunjukkan dinamika perubahan penggunaan lahan pertanian yang cukup intensif dengan semakin berkembangnya perekonomian wilayah. Pengamanan lahan pertanian terutama pada lahan sawah beririgasi sudah merupakan kebijakan pemerintah, dan untuk itu telah dibuat berbagai kebijakan pemerintah, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturanperaturan. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi mengembangkan dan menyelenggarakan administrasi pertanahan nasional memiliki komitmen yang jelas untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Namun langkah ini menjadi kurang berhasil apabila upaya pengendalian penggunaan lahan sawah beririgasi tersebut tidak memperoleh dukungan yang memadai (tidak terintegrasi ke dalam pembangunan sektor pertanian yang terpadu). Akar permasalahannya adalah keberpihakan kebijakan pembangunan secara nasional tidak tertuju pada terwujudnya kondisi sektor pertanian yang tangguh, melainkan lebih cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terutama kabupaten/kota yang memiliki kewenangan otonomi daerah. Pembangunan pertanian dalam era globalisasi memerlukan perhatian yang serius dan diarahkan untuk membangun masyarakat itu sendiri yang madani. Pembangunan masyarakat pedesaan/petani perlu diarahkan kepada penciptaan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik sehingga alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non pertanian dapat dicegah secara alamiah. Pembangunan pertanian yang terpadu tidak hanya bertumpu pada kegiatan budidaya, yaitu peningkatan produktivitas lahan dan produksi, tetapi harus diikuti dengan kegiatan pemenuhan sarana dan prasarana produksi yang memadai dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, serta kegiatan pengolahan hasil panen (pascapanen) dan pemasarannya harus sudah direncanakan sebelumnya dengan baik dan cermat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya dapat mensejahterakan kehidupan petani. Dengan demikian upaya pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi melalui peraturan-peraturan formal akan menjadi lebih bermakna (efektif).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
231
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Pembangunan pertanian (agribisnis) di Indonesia, hingga saat ini masih tertumpu pada aspek-aspek budidaya pertanian dibandingkan dengan aspek-aspek agribisnis lainnya. Menurut Saragih (2001), pembangunan sistem agribisnis mencakup lima subsistem yang terpadu, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem budidaya/usahatani (on-farm agribusiness), subsistem pengolahan (down-stream agribusiness), subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Apabila dikaji lebih lanjut, maka kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi mempunyai implikasi penting, yakni instrumen utama dalam
pengendalian pemanfaatan ruang untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi. Oleh karena itu, sangat perlu untuk mengkaji sejauhmana RTRW mampu menjamin kepentingan untuk mempertahankan keberadaan lahan sawah beririgasi dan menetapkan secara tegas kawasan pertanian berkelanjutan, yang akan dipertahankan (dilestarikan). Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah ada berkenaan dengan RTRW antara lain: UU No. 26/2006 tentang Penataan Ruang, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Mengingat pemberian ijin lokasi adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan pengendalian penggunaan lahan dalam rangka mewujudkan dan menciptakan suatu kondisi ruang yang telah direncanakan melalui suatu rencana tata ruang, maka penting untuk mengevaluasi sejauh mana pemerintah mampu secara tegas memberikan atau tidak memberikan ijin lokasi yang berkaitan dengan kepentingan untuk mempertahankan keberadaan lahan sawah beririgasi tersebut. Ijin lokasi harus dipertahankan sebagai suatu sistem pengendalian penggunaan dan pemanfaatan lahan, terutama untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Namun demikian, diperlukan sejumlah langkah-langkah korektif agar sistem ini dapat diaplikasikan secara lebih efektif (Nasoetion, 2002). Hal ini sangat berkaitan dengan implementasi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) yang pada pelaksanaannya lebih cenderung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (tidak berbasis pada pertumbuhan pengembangan dan pembangunan pertanian secara terpadu), sehingga seringkali mengorbankan lahan pertanian sawah beririgasi yang produktif (subur).
PERTANIAN SEBAGAI PILIHAN Malthus menyatakan bahwa manusia hanya dapat melipat-gandakan makanannya menurut deret hitung sedangkan di lain pihak pertambahan jumlah penduduk selalu mengikuti deret ukur (Munir, Rozy dan Budiarto, 1986). Malthus menganggap bahwa jumlah penduduk senantiasa bertambah banyak tanpa batas, sementara pertumbuhan produksi relatif terbatas, sehingga salah satu solusinya adalah pengendalian penduduk. Malthus sangat mengkhawatirkan dampak pertambahan penduduk terhadap ekonomi, yaitu kemiskinan. Walaupun sebetulnya
232
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
bisa menjadi industrialisasi.
asumsi
bahwa
pertambahan
penduduk
akan
memicu
proses
Dengan kemajuan teknologi di bidang pertanian, seperti: ditemukannya sistem pengairan lahan sawah (irigasi), benih unggul, pupuk kimia/buatan (anorganik), pestisida, dan mesin pengolah tanah (traktor), apa yang dikhawatirkan Malthus tidak terbukti. Produksi bahan makanan terus meningkat secara sangat nyata. Begitu pula dengan kemajuan teknologi bidang kesehatan seperti: pencegah/pengatur kelahiran, sehingga peningkatan jumlah penduduk dapat dikendalikan. Lahan sawah berperan sebagai status sosial, dimana semakin luas lahan sawah yang dimiliki petani, maka status sosialnya di masyarakat semakin tinggi. Petani zaman dahulu gemar sekali membeli sawah sehingga lahan sawahnya luas-luas (tuan tanah). Jika ada keuntungan dari hasil sawahnya, maka membeli sawah baru merupakan prioritas utama. Mereka umumnya turun langsung menggarap lahan sawahnya sebagai petani pemilik-penggarap, yang dibantu dengan tenaga upahan yang disebut buruh tani. Tenaga upahan ini, layaknya sebagai pegawainya karena ia bekerja bertahun-tahun bahkan turun temurun. Jika lahan sawahnya sudah sangat luas, maka buruh-taninya diberi kesempatan mengolah sendiri. Berbeda dengan petani pemilik zaman sekarang. Petani yang berlahan sawah luas, umumnya tidak menggarapnya sendiri melainkan dengan disewakan atau disakapkan kepada petani lain dengan sistem maro, mertelu atau yang lainnya. Sistem maro adalah suatu sistem penggarapan lahan sawah oleh penyakap dengan ketentuan bahwa biaya sarana produksi (benih dan pupuk disediakan oleh pemilik lahan sawah) dan biaya pemeliharaan (tenaga kerja dan pestisida) oleh penyakap, kemudian hasilnya dibagi dua (pemilik lahan sawah dan penyakap). Sistem mertelu adalah sistem penggarap sawah oleh penyakap dengan ketentuan bahwa biaya sarana produksi dan pemeliharaan ditanggung oleh penyakap, kemudian hasilnya 1/3 untuk pemilik lahan sawah dan 2/3 untuk petani penyakap. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang ditemukan Geertz (1976) tentang involusi pertanian (kemiskinan bersama) di Pulau Jawa diduga masih tetap berjalan di Kabupaten Indramayu. Kalaupun ada perbedaan, kalau dahulu yang membantu petani kecil (buruh tani) adalah petani pemilik, akan tetapi pada saat sekarang ini umumnya yang membantu petani kecil adalah ketua kelompok tani yang mendapat kepercayaan dari petani pemilik lahan. Antara petani pemilik dan buruh tani, terlihat bahwa petani pemiliklah yang lebih mujur berkat penilaian umum terhadap unsur modal yaitu lahan pertanian. Hubungan antar mereka umumnya lebih luas dari sekedar hubungan majikan dan buruh, tercakup dalam hubungan patron-client, yaitu antara “induk semang” dan “anak semang”. Ikatan antara pelindung dan yang dilindungi merupakan salah satu bentuk asuransi sosial yang hampir terdapat di semua tempat di Asia Tenggara. Meskipun klien-klien seringkali berusaha sebisanya untuk memberikan arti moral pada hubungan tersebut, kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali berada dalam posisi yang lemah (Scott, 1994).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
233
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya pertanian telah banyak membantu perekonomian Indonesia. Banyak bukti yang memperkuat pernyataan di atas, dan salah satunya adalah pencapaian swasembada beras tahun 1984. Hal ini tentu saja tidak luput daripada peran petani. Tanpa adanya peran petani, bisa saja akan merugikan perekonomian Indonesia. Tanpa adanya petani, berati semua bahan makanan pokok dipenuhi hanya melalui impor dari negara lain, dan itu menandakan semakin banyak pengeluaran negara. Jika ini terjadi, Indonesia akan sangat tergantung pada negara lain penghasil pangan. Kondisi ini akan mengganggu prinsip kedaulatan pangan, karena bisa jadi negara lain dapat lebih leluasa mengintervensi kebijakan pangan domestik. Indonesia dengan segala kelebihan sumber daya alamnya, seharusnya menjadi negara pengekspor bahan pangan bukan sebaliknya menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Dengan demikian, pertanian Indonesia harus kuat/tangguh dan petaninya kaya dan sejahtera. Hal ini tentunya hanya bisa ditempuh jika petani kita berdaulat dalam hal penguasaan lahan (memiliki lahan sendiri dengan luasan lahan yang layak) dan pemilihan komoditas yang dibudidayakannya. Untuk itu, para pengambil kebijakan perlu meninjau kembali UU No. 5/1960 tentang UUPA dan UU No. 56/1960 tentang Landreform dan undang-undang lainnya yang berkenaan dengan petani dan penataan ruang (lahan). Oleh sebab itu pembangunan sektor pertanian pangan sebagai pilihan utama yaitu dengan mewujudkan apa yang diharapkan oleh UU No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan yang terdiri lahan sawah beririgasi dan lahan tegalan. Permasalahannya berapa luas lahan pangan yang harus dilindungi? Belum jelas dalam UU No 41/2009 tersebut. Ini harus segera diputuskan/ditetapkan.
MULTIFUNGSI LAHAN SAWAH BERIRIGASI Lahan sawah tidak hanya berfungsi sebagai penghasil pangan, tetapi memiliki multifungsi lahan sawah. Multifungsi pertanian pada hakekatnya menggambarkan pemahaman tentang pertanian yang tidak hanya sebatas produksi pangan, bahan sandang dan bahan mentah industri. De Vries dalam Baharsjah (2008), mengingatkan bahwa ada sejumlah positif goods yang dihasilkan oleh pertanian selain pangan dan serat-serat yang di jual di pasar. Contoh, masyarakat desa yang sejahtera merupakan manfaat dari lingkungan, ketahanan pangan, nilai estetika lanskap, dan peternakan. Menurut Baharsjah (2008), arti multifungsi pertanian yang utama bagi Indonesia adalah ketahanan pangan; yang kedua adalah pelestarian lingkungan yang mengakar dalam budaya pertanian Indonesia. Contoh sistem subak di Provinsi Bali menganut filosofi Tri Hita Karana”, yaitu tiga prinsip keharmonisan mencakup keharmonisan vertikal dengan Tuhan, keharmonisan horizontal dengan sesama manusia, dan keharmonisan dengan alam untuk melestarikan lingkungan. Aturan (awig-awig) yang menjamin pelestarian sumber daya alam dalam pertanian padi; dan yang ketiga fungsi budaya. Menurut Damsar dalam Baharsjah (2008), hak ulayat atas
234
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
tanah menjadi pola pertanian di Sumatera Barat, mengandung petunjuk yang rinci mengenai peruntukan lahan sebagai berikut: yang lereng ditanami padi/palawija; yang curam ditanami bambu; yang gurun (kering) dijadikan kebun; yang tanahnya padat dijadikan lahan perumahan; yang berada di ketinggian dijadikan pekuburan; yang berlubuk dijadikan kolam ikan; yang berawa dijadikan penganonan itik; dan yang becek dijadikan kubangan kerbau. Lima kategori multifungsi lahan sawah menurut Matsumoto (dalam Conception, at al., 2006) adalah: (1) Fungsi ekonomi (economic function), merupakan fungsi historis klasik dari pertanian bagi pertumbuhan ekonomi, seperti penyediaan pangan dan sumber mata pencaharian bagi petani yang menyediakan lapangan kerja tetap bagi penduduk yang tinggal di pedesaan dan berkontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat pedesaan; (2) Fungsi lingkungan (environmental function), sawah ini memiliki berbagai fungsi lingkungan seperti fungsi pencegah banjir, penampung air, konservasi tanah, dan keanekaragaman hayati; (3) Fungsi ketahanan pangan (food security function), sawah menyediakan kebutuhan penduduk di wilayah ini, jika produksinya berlebihan maka dapat dijual ke wilayah tetangga dan sehingga memungkinkan penduduknya memenuhi berbagai kebutuhan lainnya; (4) Fungsi sosial (social function), sawah ini memelihara kehidupan pedesaan dengan penciptaan berbagai kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Kondisi ini menjadikan masyarakat tani yang tinggal di daerah ini, berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan; dan (5) Fungsi budaya (cultural function), sawah membentuk panorama indah dan tradisi budaya leluhur. Turis yang berkunjung memberi tambahan pendapatan bagi masyarakat sehingga berkontribusi bagi peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan. Selain itu, usahatani sawah yang berkelanjutan menjamin pemeliharaan dan pewarisan nilai budaya leluhur mereka. Multifungsi lahan sawah tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Agriculture
Food and Fiber Production
Multi-fuctionality
(Benefit)
1. 2. 3. 4. 5.
Farmer
Gambar 1.
(Benefit)
Environmental Function Social Fuction Food Security Fuction Economic Function Cultural Fuction
The public at large including farmers
Konsep Multifungsi Pertanian Lahan sawah (Matsumoto dalam Conception, et al., 2006)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
235
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Berkaitan dengan konsep multifungsi pertanian, para petani produsen tidak mendapatkan imbalan dari kegiatan yang menghasilkan fungsi-fungsi tersebut, sedangkan masyarakat luas menikmati fungsi-fungsi itu tanpa harus mengeluarkan biaya dan membayarnya kepada petani. Untuk menjamin bahwa petani tidak dirugikan dan fungsi-fungsi itu terus dihasilkan, maka pemerintah perlu memberikan imbalan kepada petani (Baharsjah, 2006). Menurut Rosset dalam Baharsjah (2008), menyatakan bahwa “petani-petani kecil” di Amerika Serikat menghasilkan berbagai manfaat, dan salah satunya pelestarian lingkungan yang ternyata lebih efektif dibandingkan dengan perusahaan besar. Sebagai barang publik, menurut Rahmanto, dkk., (2002), lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan penyediaan pangan, kesempatan kerja, sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan dan gotong royong, sarana pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata, refresing dan pemandangan. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestarian lingkungan; sedangkan manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati. Oleh sebab itu, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian selain dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian dan timbulnya degradasi ekologi lingkungan, juga akan berdampak pada dimensi yang lebih luas yang berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya, dan politik masyarakat. Oleh sebab itu, jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomis alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian, maka keuntungan ekonomis dari alih fungsi lahan sawah ke non pertanian jauh lebih kecil dari pada keuntungan multifungsi lahan sawah beririgasi. Hal ini harus dipahami, baik oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun oleh masyarakat secara luas. Sebagai contoh, dalam satu dekade terakhir, setiap tahun Kota Bandung selalu dilanda bencana banjir, yang salah satu penyebabnya adalah meningkatnya konversi lahan sawah beririgasi ke pembangunan perumahan di Kota Bandung dan sekitarnya. Keberadaan lahan sawah sebagai pencegah banjir karena lahan sawah dapat berfungsi sebagai penyimpan sementara air hujan sebelum akhirnya menuju ke Sungai Citarum sebagai drainase alam. Sungai Citarum yang kondisinya semakin dangkal dan menyempit, maka setiap tahun tidak dapat memerankan fungsinya. Kemudian rusaknya hutan lindung yang berada di atasnya, karena banyak dikonversi menjadi perumahan sehingga bencana banjir tidak dapat terelakkan. Banjir yang terjadi setiap tahun, kerugiannya sangat besar. Begitu juga dengan Kota Jakarta, dan kota-kota yang ada di jalur pantura Pulau Jawa. Menurut Pasandaran (2006), sistem persawahan beririgasi merupakan suatu sistem yang bersifat multifungsi. Ada tiga fungsi utama yang terkait satu dengan lainnya yang memerlukan hubungan yang serasi agar sistem tersebut dapat dipertahankan eksistensinya. Fungsi yang pertama adalah fungsi yang menopang produksi pangan. Lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan yang terkait merupakan elemen yang diperlukan dalam proses produksi. Fungsi yang kedua adalah
236
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
fungsi konservasi. Termasuk ke dalam fungsi ini adalah pemeliharaan elemen-elemen biofisik yang ada, seperti jaringan irigasi dan persawahan. Apabila elemen-elemen tersebut terpelihara maka fungsi konservasi dapat berlangsung dengan baik. Fungsi yang ketiga adalah pewarisan nilai-nilai budaya. Termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai budaya. Faktor-faktor eksternal seperti program investasi yang semata-mata hanya menekankan fungsi pertumbuhan ekonomi dapat saja mengganggu keserasian hubungan multifungsi yang sudah ada. Tugas melindungi sistem persawahan bukanlah hal yang mudah dilakukan, mengingat adanya benturan kepentingan antara individu yang ingin memanfaatkan sawah untuk tujuan yang dianggap mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dengan kepentingan masyarakat atau bangsa untuk mempertahankan keberlanjutan eksistensi sistem persawahan yang ada. Hal ini menurut Suherman (2013) disebabkan alih fungsi lahan sawah ke non pertanian untuk kepentingan individu atau swasta berproses menurut mekanisme pasar dan hak milik yang melekat pada lahan merupakan hak yang ”terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA 1960), sehingga konversi lahan sulit dicegah atau dihentikan, tetapi bisa diarahkan karena lahan mempunyai fungsi sosial (Pasal 6/UUPA 1960). Konversi lahan sawah ke non pertanian memang sangat menguntungkan bagi investor dan petani, tetapi sangat merugikan pemerintah dalam hal ketahanan pangan, kedaulatan pangan, dan kelestarian lingkungan. Dampak dari kerusakan lingkungan, membutuhkan biaya yang besar untuk mengembalikannya. Pada masa sekarang dan yang akan datang, sawah irigasi akan menjadi semakin langka, terutama di Pulau Jawa dan Bali, yang disebabkan oleh meningkatnya persaingan dalam penggunaan lahan dan air dengan berbagai sektor nonpertanian. Pertanyaan yang muncul adalah apabila fenomena kelangkaan sumber daya lahan dan air terus berlanjut karena meningkatnya penggunaan lahan dan air di luar sektor pertanian, apakah degradasi sumber daya alam yang telah terjadi selama ini akan terus berlangsung? Degradasi sumber daya alam tidak saja disebabkan oleh berkurang dan rusaknya hutan, tetapi juga oleh meluasnya urbanisasi, kawasan industri, dan pariwisata. Apakah kekhawatiran seperti yang dikemukakan Garret Hardin dalam Pasandaran (2006) yang menyebabkan terjadinya the tragedy of the commons tidak dapat dihindarkan? Walaupun observasi selama ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bagi pengguna untuk mengendalikan diri dalam pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan common pool resources, seperti perairan, perikanan, dan sumber daya pertanian selama berabad-abad (Ostrom dalam Pasandaran, 2006). Bagi Indonesia, kecenderungan berkurangnya areal persawahan, khususnya di Pulau Jawa terus berlangsung dan belum ada langkah-langkah kebijakan yang efektif ataupun tindakan yang dilakukan masyarakat setempat untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah beririgasi.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
237
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
KEBIJAKAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH BERIRIGASI KE NON-PERTANIAN Salah satu unsur penting dalam memproduksi pangan adalah ketersediaan lahan pertanian, terutama lahan sawah beririgasi. Penyediaan lahan sawah beririgasi untuk pangan menghadapi tekanan persaingan penggunaannya dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan pembangunan telah meningkatkan permintaan terhadap lahan dan berdampak kepada alih fungsi lahan yang semula digunakan untuk usaha pertanian ke non pertanian. Untuk mendapatkan hak atas lahan tersebut, masing-masing sektor/bidang telah menyusun dan pengeluarkan peraturan (Undang-Undang atau Perda) yang memungkinkan diperolehnya hak mendayagunakan lahan (Rachmat dan Muslim, 2013). Untuk menciptakan ekosistem lahan agar sesuai untuk budidaya lahan sawah (tanaman padi) telah dilakukan berbagai upaya dengan biaya investasi yang tinggi, seperti untuk pembangunan bendungan (waduk), jaringan irigasi, pencetakan sawah, dan pembinaan lahan usaha sehingga dapat berproduksi maksimal. Penggunaan lahan untuk tanaman pertanian membutuhkan persyaratan lahan dan ekosistem tertentu sesuai dengan sifat tanamannya. Persyaratan lahan yang diperlukan untuk produksi tanaman pangan seperti tanaman padi jauh lebih “rigid” daripada untuk non-pertanian. Untuk pertumbuhan dan menghasilkan produksi tanaman padi secara optimal memerlukan lahan yang subur, iklim yang sesuai, tersedia sumber air, topografi lahan yang relatif datar, dan sebagainya (Rachmat dan Muslim, 2013). Suatu kawasan pertanian pangan merupakan suatu agroekosistem wilayah yang terbangun dari berbagai komponen, seperti sumber air, jaringan irigasi, dan sarana pendukung lainnya. Kondisi dan persyaratan untuk membangun kawasan pertanian pangan tersebut tentu berbeda dengan penggunaan untuk non-pertanian, seperti kawasan industri atau perumahan. Hampir dipastikan apabila ada lahan yang cocok untuk pertanian tanaman pangan, maka dipastikan cocok pula untuk perumahan dan yang lainnya, tetapi belum tentu sebaliknya. Untuk itu, lahan sawah beririgasi yang ada selayaknya dilindungi, disamping karena sifat khusus (multifungsi lahan) tersebut, apabila lahan tersebut telah beralih fungsi sangat sulit untuk dikembalikan (bersifat irreversibel) ke situasi semula. Pada sisi lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk dibuat sawah juga semakin sulit dijumpai, kalaupun ada membutuhkan investasi yang sangat mahal (Rachmat dan Muslim, 2013). Kegiatan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan bukan pertanian merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebijakan penataan ruang dari aspek pemanfaatan ruang. Namun demikian, hal ini merupakan fenomena yang relatif tidak dapat dihindari, karena berkaitan dengan proses transformasi struktural dalam perekonomian yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor industri yang disertai dengan transformasi demografis dari penduduk pedesaan ke perkotaan. Hal ini tentunya menuntut adanya transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan sebagai wadah berbagai aktifitas sosial ekonomi. Selanjutnya Nasoetion dan Winoto
238
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
(1996), menjelaskan bahwa: “…..terjadinya pergeseran struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan untuk penggunaan tertentu (dalam hal ini lahan sawah beririgasi) dan meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan lainnya (non pertanian), tetapi erat kaitannya dengan kebijakan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat”. Berdasarkan hal tersebut, seyogyanya pergeseran struktur penggunaan lahan yang ideal adalah sejalan dengan pergeseran struktur perekonomian. Namun pada kenyataannya malah terjadi persaingan antar kegiatan dalam penggunaan lahan yang diakibatkan oleh terbatasnya ketersediaan sumber daya lahan, sehingga lahan pertanian menjadi potensial beralih fungsi. Semestinya hal ini tidak perlu terjadi, jika kita memiliki rencana penataan ruang yang baik, yang berlaku dalam jangka panjang (tata ruang yang abadi/nasional). Fenomena alih fungsi lahan sawah beririgasi dianggap menjadi masalah karena lahan sawah mempunyai nilai yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia, seperti diuraikan Nasoetion (1991), sebagai berikut: 1. Lahan sawah merupakan media utama produksi padi; 2. Pencetakan sawah ditinjau dari sudut fisik, kimia dan biologis, terutama di luar Jawa sangat terbatas, sehingga meningkatkan opportunity cost penggunaan lahan sawah di pulau Jawa untuk penggunaan non padi; 3. Ekosistem sawah relatif stabil ditinjau dari sudut lingkungan dan pelestarian sumber daya alam, karena tingkat erosi dan pencucian hara tanaman sangat kecil. Demikian pula tingkat efisiensi penggunaan air relatif tinggi karena berkembangnya lapisan tanah liat yang kedap air di bawah lapisan olah; 4. Biaya investasi fisik untuk pencetakan dan pengembangan sistem sawah sangat besar, terutama dalam pembangunan waduk dan sistem irigasi; 5. Biaya investasi pengembangan sosio-kultur terutama dalam bentuk pengembangan kelembagaan kelompok tani yang menjadi sokoguru sistem produksi beras di Indonesia, sangat besar; 6. Pemilikan/penguasaan lahan sawah mempunyai implikasi kultur politik yang luas, seringkali hal tersebut menjadi pilar dari struktur distribusi kekuasaan masyarakat desa. Pilihan terbaik dalam menetapkan kebijakan pembangunan pertanian pangan di Indonesia masih tetap diarahkan untuk menjamin berlangsungnya swasembada pangan nasional, khususnya beras yang sudah dicapai secara politis sejak tahun 1984. Namun ternyata swasembada beras tersebut masih bertumpu pada produksi padi di Pulau Jawa, karena lahan di Pulau Jawa sudah memiliki semua syarat yang dibutuhkan untuk berkembangnya produksi padi (Nasoetion dan Winoto, 1996). Hal tersebut kemudian menjadi dilematis ketika di satu sisi muncul tuntutan kebutuhan lahan untuk pengembangan sektor-sektor industri dan jasa yang semakin meningkat, sehingga banyak mengkonversi lahan sawah.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
239
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Peningkatan konversi lahan menurut Rachmat dan Muslim (2013) disebabkan adanya kebijakan pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang berkecenderungan mengkonversi lahan sawah atas nama untuk kepentingan pembangunan daerahnya. Hal ini ditunjukkan oleh data RTRW kabupaten/kota yang dihimpun BPN yang menunjukkan adanya keinginan untuk mengkonversi lahan sawah seluas 3,09 juta ha yang merupakan 42,37 persen dari areal sawah beririgasi atau 34 persen dari total lahan sawah (Tabel 1). Berdasarkan uraian di atas, memang menjadi dilematis. Di satu pihak harus mempertahankan lahan sawah beririgasi agar ketahanan pangan dapat diwujudkan. Di lain pihak kebutuhan lahan untuk pembangunan tidak dapat dielakkan, pemerintah daerah (kabupaten/kota) malah merencanakan alih fungsi lahan sawah ke non pertanian tanpa upaya untuk menggantinya dengan mencetak lahan-lahan sawah yang baru. Untuk perencanaan skala kabupaten/kota, hal ini sulit untuk diwujudkan, tetapi untuk skala nasional sangat memungkinkan untuk dilaksanakan, karena dapat mencetak lahan sawah di kabupaten lain. Pada prinsipnya kebijakan perencanaan kabupaten kota harus mengikuti dan selaras dengan kebijakan perencanaan nasional. Bagaimana mungkin ketahanan pangan atau kedaulatan pangan secara nasional dapat diwujudkan, karena dengan jumlah lahan sawah yang ada sekarang saja kita masih impor bahan pangan, apalagi luas lahannya akhir-akhir ini berkurang terus setiap tahunnya. Artinya, implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan sawah ke non pertanian belum efektif. Untuk itu perlu perencanaan nasional yang komprehensif tentang penataan ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mulai dari tingkat pusat (Nasional) hingga tingkat Kabupaten/Kota tentang pengembalian luas lahan sawah beririgasi yang cukup memadai (memenuhi kebutuhan) dalam jangka panjang. Dengan demikian, harus direncanakan (dipastikan) berapa kebutuhan lahan sawah beririgasi agar Indonesia bisa mewujudkan berdaulat dalam hal pangan dan memiliki ketahanan pangan yang tangguh. Bukan sebagai negara importir pangan tetapi eksportir pangan. Jika perlu menjadi negara yang menguasai pangan dunia.
Tabel 1. Luas Lahan Sawah dan Rencana Alih Fungsi Lahan Menurut RTRW Kabupaten/Kota Luas Lahan Sawah (ha) Wilayah (Pulau) Sumatera Jawa Bali Kalimantan Sulawesi NTT-Maluku Papua Indonesia
Irigasi
Non Irigasi
Total
1.621.910 3.391.250 877.930 858.140 499.050 66.460 7.314.740
414.780 542.120 375.200 124.270 67.050 65.060 1.588.440
2.036.690 3.933.370 1.253.130 982.410 566.100 131.520 8.903.180
Rencana Alih Fungsi % % terhadap terhadap Luas (ha) sawah sawah Irigasi total 710.230 34,87 43,79 1.669.600 42,45 49,23 58.360 4,66 6,65 414.290 42,17 48,28 180.060 31,81 36,08 66.460 50,53 100,00 3.099.000 34,81 42,37
Sumber: Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementan 2010; BPN (2004) dalam Rahmat dan Muslim, 2013.
240
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN Luas keseluruhan lahan daratan Indonesia adalah 188 juta hektar, terdiri atas 94,1 juta ha (50%) lahan potensial/cocok untuk pertanian. Dari sejumlah lahan yang potensial untuk pertanian, seluas 25,4 juta ha cocok untuk dijadikan lahan sawah. Kondisi eksisting luas baku lahan sawah Indonesia adalah 7,8 juta ha dan sisanya 17,6 juta ha cadangan lahan sawah (Panuju, 2012). Secara lebih terinci, potensi lahan pertanian di Indonesia dapat di lihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa permasalahannya adalah bagaimana distribusi lahan potensial/cocok yang untuk pertanian dan cadangan lahan yang cocok untuk lahan sawah. Untuk menjawab permasalahan ini, maka UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, harus dapat menjawabnya secara tuntas (komprehensif). Jika tidak tuntas dan komprehensif, maka implementasi UU No. 26/2007 tidak akan efektif. Begitu juga dengan implementasi UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkenjutan tidak akan efektif. Jika tidak efektif, maka harus direvisi agar menjadi implementatif. UU No. 26/2007 dan UU No. 41/2009 dikatakan implementatif jika dan hanya jika UU No. 26/2007 dan UU No. 41/2009 ini dalam implementasinya dapat digambarkan atau dipetakan dan terintegrasi. Artinya dibuatkan pemetaannya (peta) sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dengan undang-undangnya, dan harus dapat dijadikan acuan bagi tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keberadaan peta akan memudahkan pemahaman pengguna UU dari pada bentuk tulisan yang jumlahnya ratusan halaman dan kadang kala isinya multitafsir. Inilah salah satu, penyebab tidak efektifnya suatu kebijakan. LUAS DARATAN INDONESIA 188 JUTA HEKTAR
94,1 juta ha (50 %) Lahan Potensial/Cocok Untuk Pertanian
93,9 juta ha (50 %) Lahan Tidak Potensial/ Cocok Untuk Pertanian
25,4 juta ha Lahan Cocok Untuk Dijadikan Sawah
Eksisting Luas Baku Sawah : 7,8 juta ha
Cadangan Lahan Sawah : 17,6 juta ha
Gambar 2. Potensi Lahan Pertanian di Indonesia (Panuju, 2012)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
241
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Sebagai contoh dalam Pasal 5 butir 2 UU No. 26/2007 disebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Berdasarkan Gambar 2 di atas, maka harus dapat dipastikan bahwa lahan yang potensial/cocok untuk pertanian itu semuanya masuk ke dalam kawasan budidaya, tetapi apakah yang tidak potensial/cocok untuk pertanian, itu semuanya termasuk ke dalam kawasan lindung?. Oleh sebab itu, dalam impelementasinya UU No 26/2007 harus secara tegas dan jelas, berapa luas kawasan budidaya dan berapa luas kawasan lindung. Kemudian bagaimana sebaran (distribusi) kawasan budidaya dan kawasan lindung, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Disamping itu harus tegas dan jelas juga apa saja yang termasuk dalam kategori kawasan lindung dan kawasan budidaya. Berbicara tentang pertanian, kita harus berbicara pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas harus didefiniskan meliputi enam subsektor pertanian, yaitu subsektor pertanian tanaman pangan, pertanian tanaman pangan hortikultura (sayuran, buah-buahan dan tanaman hias), perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Untuk subsektor pertanian tanaman pangan meliputi pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (tegalan). Pada Gambar 2 terlihat dengan jelas bahwa dari luas lahan yang potensial/cocok untuk pertanian (94,1 juta ha) yang cocok untuk dijadikan lahan sawah adalah 25,4 juta ha. Artinya berdasarkan kriteria Pusat Penelitian Tanah Bogor (saat ini Balai Besar Sumber daya Lahan Pertanian), lahan tersebut harus memiliki kemiringan lahan 0-3 persen. Dengan demikian, sisanya (68,7 juta ha) adalah cocok untuk pertanian lahan kering (perkebunan, kehutanan dan peternakan) dan memiliki kemiringan lahan (3-30%). Salah satu kelemahan UU No. 41/2009 adalah tidak tegas menyebutkan berapa luas lahan pertanian pangan yang harus dilindungi. Dahulu dalam proses pembuatan UU disebutkan bahwa untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan (lahan pertanian pangan abadi) adalah 30 juta ha, yang meliputi 15 juta ha lahan basah (sawah) dan 15 juta lahan kering (tegalan). Ini perlu dipertanyakan, karena yang terjadi malah rencana konversi lahan sebesar 42,37 persen dari luas total lahan sawah beririgasi atau 34,81 persen dari luas total lahan sawah secara nasional. Jika demikian maka dalam UU No. 26/2007 maupun UU No. 41/2009 harus tersurat besaran perencanaan luas lahan untuk masing-masing penggunaan. Hal ini akan memudahkan dalam pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Daerah (Perda). Sebagai contoh, jika rata-rata konversi lahan sawah ke non-pertanian sebesar 50.000 ha per tahun maka sedikitnya harus dibangun sawah beririgasi seluas minimal dua kali lipatnya yaitu minimal 100.000 ha per tahun. Kemudian direncanakan pembangunannya, khususnya terkait dengan lokasi dan luasan lahan sawah yang akan dibangun. Hal ini berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang, serta harus ada dalam rencana jangka menengah maupun panjang. Dengan demikian maka ada harapan negara kita ke depan tidak akan impor bahan pangan lagi. Justru sebaliknya negara kita menjadi pengekspor bahan pangan dan menjadi negara agraris yang maju.
242
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
Untuk mengarah ke sana (negara agraris yang maju dengan petani yang sejahtera), apa yang harus kita lakukan? Upaya penting yang harus kita lakukan adalah Reformasi agraria, Redefinisi petani, Kepastian berusahatani, Transformasi sosial ekonomi pertanian, dan Kebijakan Pertanian yang berpihak pada kepentingan petani sebagai produsen pangan. Seandainya, data di atas dapat diandalkan, maka sebenarnya kita dapat melaksanakan Reformasi Agraria sebagai perwujudan implementasi UU No. 5/1960 tentang UUPA dan UU No. 56/1960 tentang Penetapan Luas lahan Pertanian (distribusi lahan kepada masyarakat yang betul-betul mempunyai keterampilan sebagai petani).
KETERKAITAN UU NO. 26/2007, UU NO. 41/2009, UU NO. 32/2004, UU NO. 2/2012, DAN UU NO. 18/2012 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Pasal 5 UU No. 26/2007 ayat (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Pasal 5 UU No. 26/2007 ayat (3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, penataan ruang wilayah kabupaten/kota; sedangkan ayat (4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Pasal 7 UU No. 26/2007 ayat (1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; sedangkaan ayat (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Semua karakter yang dimiliki lahan sawah beririgasi tersebut di atas sangat penting dipahami oleh pengambil kebijakan (aparat pemerintah). Untuk melindungi lahan pertanian produktif agar tidak dengan mudah dikonversi menjadi non pertanian telah disusun UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sejak diundangkan/ditetapkan tahun 2009, dapat dikatakan UU tersebut belum dapat diterapkan secara efektif, walaupun beberapa Perda-nya telah disusun, namun alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian tetap saja terjadi pada
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
243
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
lahan-lahan sawah beririgasi yang produktif. Terdapat berbagai persyaratan dan kendala dalam rangka menerapkan UU No. 41/2009 yang saling berkaitan dengan UU dan produk hukum lainnya, seperti : UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan penataan ruang dalam Bab VI UU No. 26/2007 terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) Perencanaan tata ruang, (2) Pemanfaatan ruang wilayah, dan (3) Pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, agar dalam pelaksanaan penataan ruang tidak terjadi salah penafsiran dan mudah dipahami oleh semua stakeholder, maka UU No 26/2007 harus menggambarkan dalam bentuk peta, baik kondisi eksisting (saat ini) maupun kondisi yang akan datang, minimal dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dengan perkataan lain, UU yang berkaitan dengan ruang seperti: UU No. 26/2007 dan UU No. 41/2009 harus dilengkapi dengan Peta-Peta Tata Ruang sebagai lampirannya, baik dalam kondisi eksisting (saat ini) maupun kondisi yang akan datang. Berbicara tentang penataan ruang, berarti kita berbicara dengan sesuatu yang pasti (tidak abstrak). Dengan perkataan lain buku UU No. 26/2007 tentang penataan ruang dan UU No. 41/2009 harus bisa digambarkan dalam bentuk peta tata ruang. Sebagai contoh. Pada pasal 5 butir 2 UU No. 26/2007 berbunyi: “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya”. Harus jelas berapa luas lahan kawasan lindung dan berapa luas kawasan budidaya, baik secara nasional, maupun tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa. Bagaimana distribusinya? Ini perlu penjelasan. Penjelasan yang efektif adalah dengan pemetaan atau dalam bentuk peta/gambar. Pada Pasal 1 butir 3 UU No 41/2009 berbunyi: Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Harus jelas berapa luas lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus dilindungi, dimana lokasinya dan bagaimana distribusinya? Kemudian pada Pasal 1 butir 4 UU No 41/2009 berbunyi: Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Pernyataan ini harus jelas dan tegas berapa luas cadangan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dimana lokasinya atau bagaimana distribusinya? Ini semua berkaitan dengan ruang. Artinya harus bisa digambarkan atau dipetakan agar dalam implementasinya atau sosialisasi UU dapat mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pengguna kebijakan (aparat pemerintah dan stakeholders lainnya). Dalam UU No. 2/2012 dinyatakan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah berdasarkan UU No 32/2004 dapat bertindak sewenang-wenang, tetapi tindakannya harus selaras dengan UU No. 26/2007 dan UU No. 41/2009. Jadi pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
244
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
pemanfaatan ruang yang ada di wilayahnya hanya dapat memanfaatan lahan-lahan yang peruntukannya memang untuk kepentingan umum atau pada lahan-lahan yang bisa dialih-fungsikan. Pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan implementasi UU No. 32/2004 lebih cenderung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi saja dan seringkali mengorbankan lahan pertanian sawah beririgasi yang produktif (subur), termasuk pelanggaran. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat harus berani menerapkan sanksi secara tegas terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi. Secara garis besar hubungan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan UU No. 18/2012 tentang Pangan dapat diilustrasikan seperti Gambar 3.
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
Pola ruang secara umum/ Nasional
UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pola ruang secara khusus yaitu pertanian tanaman pangan, sifatnya mengisi tata ruang yang telahdirencanakan oleh UU No.26/2007 (Kawasan Budidaya)
UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pemanfatan ruang untuk kepentingan umum harus mengacu pada UU No 26/2007 dan UU No. 41/2009
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan oleh Aparatur Pemerintah, yaitu harus berdasarkan pada penataan ruang yang telah ditetapkan oleh UU No 26/2007, UU No 41/2009, dan UU No 2/2012
UU No. 18/2012 tentang Pangan
Gambar 3.
Hasil/produk (pangan) yang ingin dicapai yaitu tujuan pola ruang dalam kawasan budidaya UU No 26/2007 dan UU No 41/2009
Keterkaitan UU No. 26/2007, UU No. 41/2009, UU No 2/2012, UU No. 32/2004 dan UU No. 18/2012
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
245
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN DAN PERANAN SANKSI Dari segi efektivitas kebijakan dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang ada yang berkaitan dengan tata guna lahan dan pencegahan alih fungsi lahan sawah beririgasi di masyarakat tidak efektif (tidak berfungsi sebagaimana mestinya). Berbicara masalah berfungsinya hukum atau kebijakan dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada pertanyaan apakah hukum/kebijakan tersebut benarbenar berlaku atau tidak. Masalahnya sangat sederhana, karena dibalik kesederhanaan itu ada hal-hal yang cukup merumitkan. Dari penjelasan di atas, terlihat betapa rumitnya masalah, oleh karena biasanya seseorang hanya melihat dari satu sudut saja. Menurut Soekanto (1983), agar suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan paling sedikit pada empat faktor, yaitu : 1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri. 2. 3. 4.
Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah tersebut. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup tersebut.
Suatu peraturan perundangan harus sistematis. Sistematis mengandung pengertian bahwa aturan-aturan pada bidang tertentu satu sama lain harus saling terkait dan tidak saling bertentangan. Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Hakekatnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya, petugas seyogyanya harus mempunyai suatu pedoman, antara lain peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Dari keterangan singkat di atas, nyata pula bahwa faktor petugas memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum atau peraturan. Dalam banyak kasus, kalaupun peraturan sudah baik, akan tetapi kualitas petugas kurang baik, maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas petugas baik, maka mungkin pula timbul masalah. Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkup yang utama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, sarana yang harus ada untuk mencapai tujuan adalah gambar atau peta tata ruang. Jika sarana ini tidak ada, maka dapat dipastikan bahwa undang-undang atau peraturan tentang tata ruang tidak akan efektif. Hal ini disebabkan, kalau hanya membaca saja bisa salah tafsir, karena seringkali dalam UU atau peraturan, seringkali isinya multi tafsir, sesuai keinginan dari penguasa atau yang berwenang. Berbicara mengenai warga masyarakat, maka hal ini sedikit banyaknya menyangkut masalah derajat kepatuhan. Secara sempit dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum atau peraturan, merupakan salah satu
246
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
indikator berfungsinya hukum atau peraturan yang bersangkutan. Artinya, kalau misalnya derajat kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas adalah tinggi, maka peraturan-peraturan lalu lintas memang berfungsi. Untuk sekedar memberikan gambaran betapa rumitnya masalah ini, perlu diberikan contoh yang berkisar pada peraturan tersebut. Memang sangat perlu untuk mengetahui apa sebabnya warga masyarakat mematuhi hukum atau peraturan, akan tetapi masih ada soal lain, yaitu menyangkut ketidak-patuhan. Disamping masalah-masalah tersebut di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu hipotesa yang menyatakan bahwa semakin besar peranan sarana pengendalian sosial lainnya (misalnya agama, adat istiadat) semakin kecil peranan hukum atau peraturan dan sebaliknya. Memang, hukum dan peraturan tidak dapat dipaksakan berlakunya di dalam segala hal, oleh karena itu seyogyanya penerapannya harus memperhatikan norma-norma sosial, adat istiadat, dan norma-norma lainnya, kalau masih ada sarana lain yang ampuh. Hendaknya hukum dipergunakan pada tingkat yang terakhir apabila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Dengan demikian, maka sebenarnya hal-hal yang menyangkut para warga masyarakat, berkisar pada : 1. Penyuluhan (sosialisasi) hukum (kebijakan) yang teratur. 2.
Pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum.
3.
Pelembagaan yang terencana dan terarah.
Masalah penegakan hukum atau peraturan memang merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun demikian, setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahan tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Persamaannya adalah bahwa agar tujuan masing-masing di dalam masyarakat tercapai keadaan damai sebagai penegakan hukum yang fungsional. Keadaan damai atau kedamaian tersebut berarti, bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi yang bersifat intern. Adanya ketertiban antar pribadi, ditandai dengan adanya berbagai ciri, seperti misalnya: 1. 2. 3. 4.
Adanya sistem pengendalian yang mantap terhadap terjadinya kekerasan, Keseragaman pada kaidah-kaidah hukum abstrak, Konsistensi, Kondisi keteraturan akan mempermudah arah proyeksi proses ke masyarakat,
5.
Keteraturan, dan
6.
Stabilitas yang nyata (bukan semu).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
247
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Masalah-masalah tersebut di atas, tentunya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum atau peraturan sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya, dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, mungkin akan mengakibatkan seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya. Selanjutnya Soekanto (1983, 1985, 1989) menyatakan bahwa ada suatu kecenderungan yang kuat dalam masyarakat, untuk mematuhi hukum oleh karena rasa takut terkena sanksi negatif apabila hukum tersebut dilanggar. Salah satu efek yang negatif adalah hukum tersebut tidak akan dipatuhi apabila tidak ada yang mengawasi pelaksanaannya secara ketat, maka disitulah ”peluang untuk menerobosnya. Beberapa akibat dari kecenderungan tersebut adalah : 1. Adanya kesan kuat bahwa hanya hukum yang mempunyai sanksi apabila dilanggar. Padahal di dalam masyarakat dikenal dan diakui adanya kaidah-kaidah atau normanorma lainnya, seperti: kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan yang apabila dilanggar juga ada sanksi-sanksinya. 2. Segala sesuatu hendaknya diatur dengan hukum agar masyarakat mematuhinya, sebab ada sanksinya apabila dilanggar. Akhirnya, hukum itu sendiri tidak efektif oleh karena terlalu banyak dipergunakan tanpa adanya perhitungan akan kemungkinan-kemungkinan penggunaan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya. 3. Hendaknya aturan-aturan pidana diterapkan pada instansi terakhir, apabila yang lain-lainnya sudah tidak mempan lagi. Sebab apabila aturan pidana pada instansi pertama sudah tidak berhasil, maka apalagi yang akan diterapkan apabila landasan hukum masih tetap dihormati dan diterapkan secara konsekuen.
LANGKAH-LANGKAH REFORMASI YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGEMBALIKAN LUAS LAHAN SAWAH BERIRIGASI Sub bab ini akan menguraikan tentang langkah-langkah reformasi yang diperlukan untuk mengembalikan luas lahan sawah beririgasi agar Indonesia ke depan dapat menjadi negara yang berdaulat dalam hal pangan, memiliki ketahanan pangan yang tangguh, dan menjadi negara pemasok pangan dunia bukan sebagai negara importir pangan, terutama beras. Berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan ketahanan pangan, peningkatan produksi pangan atau kedaulatan pangan sudah dimiliki, tinggal bagaimana mengimplementasikannya agar efektif, sehingga tujuan yang ingin dicapai dari undang-undang atau peraturan yang ada tersebut dapat tercapai seperti yang diharapkan. Untuk itu, langkah-langkah reformasi yang diperlukan untuk mengembalikan luas lahan sawah beririgasi yang dapat mendukung ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Indonesia pada masa yang akan datang adalah:
248
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
1.
Sosialisasi UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang Wilayah sampai dengan tingkat kecamatan atau desa dan menjabarkannya dalam bentuk yang lebih operasional, yaitu dalam bentuk peta. Pada pasal 5 butir 2 UU No. 26/2007 menyatakan bahwa “Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya”, maka bentuk operasionalnya adalah seluruh wilayah daratan Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk “Peta Kawasan Lindung dan Peta Kawasan Budidaya”. Selain itu, juga ditetapkan berapa luasnya dan bagaimana distribusi/penyebarannya.
2.
Peta Kawasan Lindung dijabarkan lagi ke dalam sub kawasan lindung, yaitu: (a) Peta kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya yang meliputi: kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air; (b) Peta kawasan perlindungan setempat yang meliputi: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; (c) Peta kawasan suaka alam dan cagar alam yang meliputi: kawasan suaka alam, cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, pantai berhutan bakau, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; (d) Kawasan rawan bencana. Kesemuanya itu juga dilengkapi dengan penetapan berapa luasnya dan bagaimana distribusi/penyebarannya.
3.
Peta Kawasan Budidaya dijabarkan lagi ke dalam sub kawasan Budidaya yaitu (a) Peta kawasan hutan produksi yang meliputi: kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan hutan produksi konversi; (b) Peta kawasan pertanian yang meliputi: kawasan tanaman pangan lahan basah (sawah), kawasan tanaman pangan lahan kering (palawija, sayuran, dan buahbuahan), kawasan tanaman tahunan/perkebunan, kawasan peternakan, dan kawasan perikanan; (c) Peta kawasan pertambangan; (d) Peta kawasan perindustrian; (e) Peta kawasan pariwisata; dan (f) Peta kawasan pemukiman. Berbagai peta tersebut dilengkapi dengan penetapan berapa luasnya dan bagaimana distribusi/penyebarannya.
4.
Sosialisasi UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sampai dengan tingkat kecamatan atau desa dan menjabarkannya dalam bentuk yang lebih opersional, yaitu dalam bentuk “peta”. Langkah ini merupakan penjabaran dari UU No. 26/2007 tentang penataan ruang yang berkenaan dengan “kawasan budidaya”, yaitu khusus berkaitan dengan pertanian (Peta kawasan pertanian). Jadi implementasi UU No. 41/2009 harus mengacu pada UU No. 26/2007.
5.
Pada pasal 1 butir 3 UU No. 41/2009 menyatakan bahwa “Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional, maka bentuk operasionalisasinya adalah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus dapat digambarkan dalam bentuk peta, yang meliputi Peta pertanian lahan basah (sawah) dan peta pertanian lahan kering (tegalan).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
249
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
6.
Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang meliputi Peta pertanian lahan basah (sawah) dan peta pertanian lahan kering (tegalan), harus dapat digambarkan dalam kondisi eksisting (saat ini) dan kondisi potensial (perencanaan). Dengan demikian pada langkah ini harus dapat ditetapkan berapa luas lahan sawah beririgasi pada saat ini? Berapa luas lahan yang potensial untuk lahan sawah? Begitu juga dengan pertanian lahan kering.
7.
Potensi lahan pertanian Indonesia yang cocok untuk dijadikan lahan sawah beririgasi adalah 25,4 juta ha. Luas lahan sawah beririgasi saat ini (eksisting) adalah 7,8 juta ha, sehingga sisanya 17,6 juta ha merupakan cadangan untuk lahan sawah berirgasi (Panuju, 2012). Pada langkah ini luas lahan sawah beririgasi secara nasional harus sudah tergambarkan dalam bentuk peta lahan sawah beririgasi saat ini dan peta cadangan lahan sawah beririgasi. Selanjutnya, ditetapkan berapa jumlah luas minimal lahan sawah beririgasi secara total (nasional), agar Indonesia dapat berdaulat dalam hal pangan dan memiliki ketahanan pangan yang tangguh/kuat. Dalam Rencana Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi telah dicanangkan seluas 30 juta ha lahan untuk pertanian pangan abadi yang terdiri atas 15 juta ha untuk pertanian lahan sawah beririgasi dan 15 juta ha untuk pertanian lahan kering (tegalan), namun undangundangnya berubah namanya menjadi UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, luasan tersebut tidak ada. Padahal penetapan luas total lahan pertanian ini sangat penting sebagai target dalam upaya mewujudkan Negara Indonesia yang berdaulat dalam hal pangan dan memiliki ketahanan pangan yang kuat.
8.
Lahan pertanian sawah beririgasi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 41/2009 harus ditetapkan luas totalnya (secara nasional), kemudian dijelaskan distribusinya (penyebarannya), dalam bentuk peta yaitu peta penyebaran lahan sawah berigasi, baik kondisi lahan sawah berirgasi saat ini maupun cadangan lahan beririgasi. Berdasarkan luas cadangan lahan sawah beririgasi tersebut, maka dibuatkan peta perencanaan pencetakan sawah yang jumlahnya lebih luas dari besarnya laju alih fungsi lahan sawah yang telah direncanakan oleh pemerintah (sebagaimana terlihat pada Tabel 1) di atas. Contoh: Jika rata-rata kecepatan alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non pertanian sebesar 50.000 ha per tahun, maka pemerintah harus mencetak lahan sawah beririgasi di Luar Jawa minimal sebesar 100.000 ha sawah beririgasi per tahun atau penambahannya dari 50.000 ha lahan sawah beririgasi berdasarkan laju pertambahan penduduk atau kebutuhan pangan.
9.
Pengelolaan lahan sawah beririgasi pada daerah irigasi yang baru, diserahkan kepada petani yang betul-betul berprofesi sebagai petani lahan sawah melalui seleksi dengan komposisi 50% petani dari Pulau Jawa dan 50% petani luar Pulau Jawa dengan status penggarapan hak guna pakai tetapi bisa diwariskan hanya kepada salah seorang anaknya dan tidak boleh diperjual-belikan. Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas tanah Pertanian (Landreform), setiap petani memperoleh lahan seluas 2,0 ha di luar lahan pemukiman.
250
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
10. Pada Daerah Irigasi yang baru ini, kemudian dibentuk kelompok tani yang berbadan hukum, yang dapat memerankan fungsinya sebagai manager agribisnis di daerahnya dari mulai hulu hingga hilir (penyediaan sarana dan prasarana produksi, budidaya, penangan pasca panen dan pemasaran) yang berkearifan lokal. Oleh sebab itu selain Dinas Pertanian dan Dinas Pengairan, maka lembagalembaga pemerintah yang terkait dengan agribisnis di daerah irigasi tersebut seperti: Dinas Koperasi, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Peternakan, Dinas Penanaman Modal, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi serta lembaga pemerintah lainnya diwajibkan memberikan kontribusinya guna mewujudkan pembangunan pertanian terpadu yang tangguh, sebagai contoh bagi pengembangan pertanian di daerah lain. 11. Pada daerah-daerah irigasi yang baru ini, diharapkan tidak terjadi alih fungsi lahan (karena pada lahan-lahan milik pemerintah yang dikelola oleh petani dengan hak guna pakai) dan juga dapat berperan sebagai daerah-daerah stok pangan pemerintah, sehingga dapat mendukung program ketahanan pangan nasional dan kedaulatan pangan nasional. Pada daerah-daerah irigasi yang baru, yang lahannya merupakan lahan milik masyarakat, maka sebelum dibangun jaringan irigasi dan bangunan irigasi harus didahului dengan komitmen tidak akan alih fungsi lahan. 12. Semua langkah-langkah di atas didasarkan pada peta kesesuaian lahan dengan kriteria: sangat sesuai (S1), sesuai (S2), hampir sesuai (S3), tidak sesuai untuk saat ini (N1) dan tidak sesuai selamanya (N2) untuk padi sawah, tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Juga berdasarkan kemiringan lahannya, yaitu untuk padi sawah (0-3%), tanaman pangan dan pemukiman (3-8%), perkebunan (8-15%), kehutanan (15-45%), dan hutan lindung (>45%). Untuk pemukiman dan sejenisnya menggunakan kemiringan lahan 0-8%.
13. Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah reformasi yang diperlukan untuk mengembalikan luas lahan sawah beririgasi yang dapat mendukung ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Indonesia pada masa yang akan datang dapat dilihat pada Gambar 4.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
251
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
A. Rencana Pembuatan Bendung, Bendungan, dan Waduk di seluruh wilayah Indonesia
Inventarisasi sungai-sungai atau daerah-daerah yang potensial dibangun bendung, bendungan dan waduk. Berapa buah bendung, bendungan, waduk yang dapat di bangun di seluruh wilayah Indonesia, dimana dan berapa luasnya atau kapasitas pengairannya/irigasinya?
B. Rencana Pembuatan Saluran dan Bangunan Irigasidi seluruh wilayah Indonesia
Berapa panjang saluran irigasi dan berapa banyak bangunan irigasi yang harus dibangun di seluruh wilayah Indonesia?
C. Rencana Pencetakan Sawah di seluruh wilayah Indonesia
Berapa luas lahan sawah beririgasi yang bisa dibangun (sesuai dengan kapasistas pengairannya) dan bagaimana distribusinya di seluruh wilayah Indonesia?
D. Rencana Pengelolaan Bendung, Bendungan, dan Wadukdi seluruh wilayah Indonesia
Siapa yang akan mengelola bendung, bendungan, dan waduk di seluruh wilayah Indonesia, pihak pemerintah (Dinas PSDA), masyarakat atau gabungan pemerintah dan masyarakat
E. Rencana Pengelolaan Sawah Beririgasi di seluruh wilayah Indonesia
Siapa yang akan mengelola lahan sawah beririgasi di Daerah Irigasi yang baru?Petani setempat atau petani luar daerah atau petani gabungan yang memenuhi persyaratan
F. Rencana Sinergitas Kerja Antar Lembaga Pemerintah dalam Pengelolaan Sawah Beririgasi di seluruh wilayah Indonesia
Diharapkan selain Dinas Pertanian, dan Dinas PSDA dinas lainnya seperti: Dinas koperasi, Dinas peternakan, Dinas perdagangan dan industri, dan dinas lainnya yang terkait dengan pertanian dapat membantu pembangunan sawah dan irigasi serta pengembangannya.
Gambar 4.
252
Langkah-Langkah Reformasi untuk Mengembalikan Luas Lahan Sawah Beririgasi yang Bisa Mendukung Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan Indonesia
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
KESIMPULAN 1.
Efektifitas kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah berigasi ke non pertanian sangat tergantung daripada kejelasan dari kebijakan-kebijakan penataan ruang itu sendiri. Semakin jelas dan semakin aplikatif, maka akan semakin efektif implementasi kebijakan itu.
2.
Semakin baik pemahaman penegak dan pengguna kebijakan akan multifungsi lahan sawah beririgasi, maka akan semakin efektif implementasi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non pertanian sehingga akan mempertahankan kelestarian lahan sawah beririgasi.
3.
Semakin lengkap sarana dan prasarana penunjang suatu kebijakan, maka akan semakin memudahkan impelementasi kebijakan itu, sehingga kebijakan itu akan semakin efektif.
4.
Semakin baik distribusi lahan sawah beririgasi dan semakin layak tingkat kepemilikan lahan sawah beririgasi bagi seorang keluarga petani (minimal 2 ha per keluarga petani berdasarkan UUPA 1960) maka kesejahteraan petani, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan (lokal dan nasional) akan mudah untuk diwujudkan.
SARAN 1.
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus dilengkapi dengan peta-peta peruntukan lahan, sebagaimana yang dikehendaki oleh kedua undangundang itu.
2.
Perlu adanya sarana dan prasaran penunjang yang berupa peta peruntukan lahan sebagaimana yang dikendaki undang-undang dan tersebar di daerah sesuai dengan kewenangnya.
3.
Perlu sosialisasi tentang pemahaman multifungsi lahan sawah, sehingga stakeholder tidak hanya mengejar keuntungan sesaat yang relatif kecil jika dibandingkan dengan keuntungan daripada multifungsi lahan sawah.
4.
Perlu langkah-langkah (perencanaan) yang matang dan terukur tentang alokasi luas lahan sawah beririgasi dan distribusinya baik secara nasional (lahan cadangan potensial untuk rencana pencetakan lahan sawah beririgasi) maupun regional serta sistem pengelolaannya (jumlah petani yang akan menggarapnya dan status kepemilikannya) disertai dengan penerapan sistem agribisnis padipalawija yang terintegrasi dengan ternak (sapi, itik dan yang lainnya).
5.
Disamping rencana pencetakan lahan sawah berigasi di atas, tidak kalah penting adanya langkah-langkah (perencanaan) yang matang dan terukur tentang potensi pengairannya. Karena tanpa adanya pengairan, maka pencetakan sawah beririgasi yang berkelanjutan tidak akan terwujud.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
253
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
DAFTAR PUSTAKA Baharsjah, S., 2008. Multifungsi Pertanian dan Artinya Bagi Indonesia. Pemikiran Guru besar IPB. Perspektif Ilmu-Ilmu Pertanian Dalam Pembangunan Nasional. Dewan Guru besar IPB. Penebar Swadaya dan IPB Pers, Bogor. , 2006. Multifunctionality of Agricultural, The Indonesian Case. Prosiding Seminar Multifuctionality and Revitalization of Agriculture. Indonesian Agency for Agricultural Research & Development, Ministry of Agriculture; Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries Japan. Saragih, B. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Cetakan ke – 1. Departemen Pertanian, Jakarta. Conception, R.N., E. Samar and M. Collado. 2006. Multifunctionality of the Ifugao Rice Terraces in the Philippines. Prosiding Seminar Multifuctionality and Revitalization of Agriculture. Indonesian Agency for Agricultural Research & Development, Ministry of Agriculture; Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries Japan. Geertz, Clifford. 1976, Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bharata Karya aksara, Jakarta. Pasandaran, E. 2008. Irigasi Masa Depan : Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan. Cetakan ke – 1. JKI Indonesia. Jakarta. , 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25 (4), 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian, Bogor. Lutfi, I.N. 2002. Konversi Lahan Pertanian Aspek Hukum dan Implementasinyadalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. ,
1991. Beberapa Masalah Pertanahan Nasional dan Alternatif Kebijaksanaan untuk Menanggulanginya.Analisis CSIS XX (2). Maret – April 1991. CSIS. Jakarta.
Lutfi, I.N. dan Joyo Winoto, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Pusat Penelitian Sosek Pertanian. Bogor. Panuju, Tunggul Iman., 2012. Mempertahankan Tanah Agraris. Buletin Penataan Ruang. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementrian Pertanian. Edisi Maret-April, 2012.
254
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
Rahmanto, B., Bambang I. dan Nur K. A., 2002. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan
Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Libang Pertanian, Bogor. Rachmat, M dan C. Muslim. 2013. Peran dan Tantangan Implementasi UU 41/2009 dalam Melindungi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kemandirian Pangan Indonesia dalam Presfektif Kebijakan MP3I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian, Jakarta. Munir, Rozy dan Budiarto, 1986. Teori-Teori Kependudukan. Edisi Pertama. PT Bina Aksara, Jakarta. Scott, James C., (1994), Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1983. Penegakan Hukum. Cetakan pertama, CV Binacipta, Bandung. , 1985.Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi. Cetakan pertama, CV Remaja Karya, Bandung. , 1989.Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Cetakan pertama, CV Binacipta, Bandung. Suherman, Asep, 2012. Mungkinkah Petani Indonesia Sejahtera? Prosiding Pertemuan Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Indonesia. Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. , 2013. Kehidupan Petani Pasca Konversi Lahan Sawah Beririgasi . (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) UU No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas tanah Pertanian (Landreform) UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU No. 2/2012. Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum UU No. 18/2012 tentang Pangan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
255
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi LAMPIRAN: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN YANG BERKENAAN DENGAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN Kebijakan Pasal, butir UU No. 26/2007
Pasal 5 butir 2
Aturan Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Keterangan Harus jelas berapa luas lahan kawasan lindung dan kawasan budidaya baik secara nasional, maupun tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten, tingkat Kecamatan hingga tingkat desa. Kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi kondidi existing (yang sudah terbangun) kondisi yang akan datang (perencanaan). Harus jelas apa saja yang termasuk ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya (harus terdefinisikan secara jelas) Sudah ada yaitu peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi : peta Provinsi, peta Kabupaten/Kota, peta Kecamatan, peta Kelurahan dan peta Desa.
Pasal 17 butir 4
UU No 41/2009
256
Kawasan lindung meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Kawasan budidaya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan sosial, budaya, ekonomi, pertahanandan keadamanan. Pasal 5, butir Penataan ruang 3 berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, penataan ruang wilayah kabupaten/ kota Pasal 5, butir Penataan ruang 4 berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Pasal 1 Lahan Pertanian adalah butir 2 bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian
Nama Peta Peta kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Peta administratif
Peta kawasan perkotaan dan Peta kawasan perdesaan (peta persil lahan pertanian dan non pertanian Peta lahan pertanian (peta persil lahan sawah dan peta persil lahan tegalan)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Kawasan perkotaan termasuk kawasan metropolitan dan megapolitan. Kawasan perdesaan termasuk kawasan agropolitan. Lahan Pertanian dalam arti luas meliputi lahan pertanian tanaman pangan, tanaman sayuran/hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Harus jelas berapa luas lahan Pertanian baik secara nasional, maupun di tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota. Harus jelas juga berap luas yang sudah terbangun (existing) maupun yang belum terbangun (perencanaan)
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
Kebijakan Pasal, butir
Aturan
Nama Peta
Keterangan
Pasal 1 butir 3
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional
Pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan (Pasal 1 butir 1, UU No. 18/2012 tentang pangan
Pasal 1 butir 4
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan /atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya. Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa: Lahan beririgasi (sawah) Lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut Lahan tidak berirgasi (lahan kering/tegalan)
Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang meliputi kondisi eksisting dan perencanaan. Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan) Peta Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Peta Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Harus jelas berapa luasannya dan bagaimana distribusinya, baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota
Peta Lahan Pertanian Pangan, merupakan kondisi saat ini (existing), yang meliputi : Lahan Sawah, lahan reklamasi dan lahan kering (tegalan)
Untuk lahan sawah beririgasi harus tergambarkan secara jelas : berapa hektar luas lahan sawah keseluruhan, berapa hektar luas yang dipertahankan dan berapa hektar luas yang akan dikonversi ? Hal ini dibutuhkan sebagai acuan para pemberi kebijakan dan pemberian izin (pemerintah) sehingga akan memudahkan dalam pemberian sanksi jika terjadi perkeliruan.
Pasal 1 butir 7
Pasal 5 butir a, b, dan c
Harus jelas berapa luasannya dan bagaimana distribusinya, baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
257
Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Beririgasi
Kebijakan Pasal, butir
PP No. 15/2010
Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada : Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Lahan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Lahan Cadangan Pangan Berkelanjutan
Pasal 18 butir a, b, dan c
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan penetapan : Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan Lahan cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Pasal 1 butir 20
Pasal 1 butir 21
258
Aturan
Pasal 9 butir 2
Nama Peta
Keterangan
Peta Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Harus menggambarkan kondisi saat ini (existing) dan kondisi yang akan datang (perencanaan), yang meliputi : Peta Rencana Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peta Rencana Lahan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peta Rencana Lahan Cadangan Pangan Berkelanjutan Harus tergambarkan dengan jelas (terpetakan), mana yang dimaksud dengan kawasan pertanian pangan berkelanjutan, mana lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan, baik yang berada di dalam kawasan pertanian pangan berkelanjutan maupun di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan
Peta kawasan lindung
Dalam peta kawasan lindung ini harus tergambarkan dengan jelas dan tegas apa saja yang termasuk ke dalam kawasan lindung (harus terdefinisikan secara jelas)
Peta kawasan budidaya
Dalam peta kawasan budidaya ini harus tergambarkan dengan jelas dan tegas apa saja yang termasuk ke dalam kawasan budidaya (harus terdefinisikan secara jelas)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian
Kebijakan Pasal, butir Pasal 1 butir 22
UU No 2/2012
Aturan
Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1 Kawasan perkotaan butir 24 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayan sosial, dan kegiatan ekonomi. Menimbang Bahwa untuk menjamin butir b terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil Pasal 7 Pengadaan tanah untuk butir 1 a, b, c kepentingan umum diselenggarakan sesuai dan d dengan : Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Pembangunan Nasional/ Daerah Rencana Strategis dan Rencana Kerja setiap instansi yang memerlukan tanah
Nama Peta
Keterangan
Peta kawasan perdesaan
Dalam peta kawasan perdesaan ini harus tergambarkan dengan jelas dan tegas apa saja yang termasuk ke dalam kawasan perdesaan (harus terdefinisikan secara jelas). Hal ini biasanya tergambarkan dalam peta tata guna lahan.
Peta kawasan perkotaan
Dalam peta kawasan perkotaan ini harus tergambarkan dengan jelas dan tegas apa saja yang termasuk ke dalam kawasan perkotaan (harus terdefinisikan secara jelas). Hal ini biasanya tergambarkan dalam peta tata guna lahan.
Peta alokasi tanah untuk bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah (UU No 32/2004) berlaku sewenang-wenang, tetapi tindakannya harus selaras dengan UU No 26/2007 dan UU No 41/2009.
Tidak boleh menyimpang dari RTRW yang sudah ada sebelumnya ( harus selaras dengan UU No 26/2007 dan UU No 41/2009).
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
259