edisi II tahun 2014
Pengelolaan Ruang Untuk Ketahanan Pangan Implementasi RPJMN 2015-2019 untuk Mempertahankan Lahan Sawah Beririgasi Teknis Dr. Ir. Rr. Endah Murningtyas, MSc Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas
Tata Ruang Laut Menyokong Kedaulatan Pangan Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015 - 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas
Implementasi RZWP-3-K di Kota Ternate Melihat dari Dekat
buletin tata ruang & pertanahan
i
Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Penanggung Jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Pemimpin Redaksi Santi Yulianti Dewan Redaksi Mia Amalia Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan Editor Gina Puspitasari Astri Yulianti Redaksi Hernydawati Aswicaksana Raffli Noor Idham Khalik Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Dea Chintantya Marhensa Aditya Hadi Reza Nur Irhamsyah Zaharatul Hasanah Linggar Wahyusagara Desain & Tata Letak Dodi Rahadian Indra Ade Saputra Distribusi & Administrasi Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Pratiwi Khoiriyah Alamat Redaksi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 telp: 021 - 392 66 01 email:
[email protected] website: http://www.trp.or.id Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas
dari redak-
K
edaulatan pangan menjadi salah satu misi Presiden Joko Widodo - Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk 5 tahun mendatang. Misi ini diturunkan ke dalam program aksi, meliputi: perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 Juta hektar sawah; 1 Juta hektar lahan sawah baru di luar Jawa; pendirian Bank Petani dan UMKM; gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi; serta pemulihan kualitas kesuburan lahan dan penghentian konversi lahan produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan. Harapannya, ini akan menjadi langkah strategis untuk membuka jalan bagi Indonesia menuju Kemandirian Ekonomi. Visi, misi, dan program aksi Jokowi – JK menjadi acuan bagi Kementerian PPN/Bappenas dalam menyusun RPJMN 2015 – 2019. Ini diwujudkan dalam RPJMN 2015 – 2019 Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA – LH), ketahanan pangan menjadi isu strategis yang akan diselesaikan 5 tahun mendatang. Salah satu kebijakan dan strateginya adalah pengamanan lahan padi beririgasi teknis. Ini menjadi kebijakan multisektor. Untuk bidang tata ruang dan pertanahan, ini sangat relevan dengan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang ingin diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang. Tidak salah kiranya, Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi II Tahun 2014 mengangkat tema “Pengelolaan Ruang untuk Ketahanan Pangan”. Untuk menjawab isu ketahanan pangan, rubrik wawancara kali ini menghadirkan Dr. Rr. Endah Murniningtyas, MSc, Deputi Bidang SDA – LH, Kementerian PPN/Bappenas. Wawancana ini menarik untuk disimak karena secara lugas, beliau memberikan solusi praktis atas sulitnya pelaksanaan amanat Undang – Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Seperti kita tahu, pangan tidak hanya berasal dari darat, tapi juga laut. Buletin kali ini mencoba mengupas isu pangan secara komprehensif dengan juga menggali fungsi laut sebagai penyokong kedaulatan pangan. Pembahasan ini dikupas secara mendalam oleh Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng., Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian edisi kali ini, diisi dengan materi Mendengarkan Kota, Penyusunan Laporan BKPRN dan Buku Profil Pertanahan, serta Rancangan Teknokratik RPJMN 2015 – 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Tidak lupa sosialisasi peraturan bidang tata ruang dan pertanahan, serta berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun 2014 sampai dengan akhir Tahun 2014 tetap kami hadirkan. Selamat Membaca!
edisi II tahun 2014
daftar isi 2
PENGELOLAAN RUANG UNTUK KETAHANAN PANGAN Implementasi RPJMN 2015 - 2019 untuk Mempertahankan Lahan Sawah Beririgasi Teknis Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup - Kementerian PPN/Bappenas
6
Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015 - 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas
11
Tata Ruang Laut Menyokong Kedaulatan Pangan
14
Implementasi RZWP-3-K di Kota Ternate
Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Melihat dari Dekat
1
daftar isi
10
koordinasi TRP
15
sosialisasi peraturan
19
dalam berita
25
ringkas buku
buletin tata ruang & pertanahan
1
wawancara
Implementasi RPJMN 2015 – 2019 untuk Mempertahankan Lahan Sawah Beririgasi Teknis
Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup – Kementerian PPN/Bappenas
K
etahanan pangan masih menjadi isu global. Di Indonesia, bukan hanya permasalahan peningkatan daya saing nasional dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, tapi juga pemenuhan hak dasar atas pangan dan gizi menjadi problematika tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Dalam RPJMN 2015 – 2019, masalah ketersediaan pangan, distribusi, akses, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat akan diselesaikan. Menarik untuk digali lebih dalam, tentang strategi untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan dengan pengamanan lahan padi beririgasi teknis. Berikut hasil wawancara redaksi bersama Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup – Kementerian PPN/Bappenas. Umum
Di dalam RPJMN 2015 – 2019, target apa yang hendak dicapai untuk mencapai ketahanan pangan? Mengacu pada RT (Rancangan Teknokratik) RPJMN 2015 – 2019, ketahanan pangan sesuai definisinya terdiri atas 4 komponen indikator, yaitu: i) ketersediaan, artinya produksi pangan sebesarbesarnya di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional; ii) distribusi yang kaitannya dengan akses produsen ke konsumen, kelancaran pengiriman, dan logistik pangan; iii) akses distribusi dan keterjangkauan harga yang kaitannya dengan stabilitas harga antarmusim, antarwaktu, dan antarwilayah, tentang bagaimana mengatur dan mengatasi inflasi; dan iv) pemenuhan konsumsi masyarakat yang kaitannya dengan pola pangan harapan (PPH) yang menunjukkan kualitas pangan dari kelengkapan unsur makanan. PPH tidak hanya pemenuhan 2.000 kilo kalori/kapita/ hari, tapi juga keberagaman pangan, mulai dari unsur karbohidrat, protein, vitamin, dan serat. Empat komponen ini menjadi indikator untuk mencapai ketahanan pangan nasional.
Bagaimana strategi untuk memertahankan ketersediaan, mengatasi permasalahan distribusi dan akses, serta memastikan konsumsi masyarakat terpenuhi? Berkenaan dengan produksi pangan, padi menjadi komoditas utama karena bagaimanapun makanan pokok masyarakat kita adalah nasi. Jika dikaitkan dengan lahan, maka lahan padi (sawah) yang harus diamankan terlebih dulu. Secara politik, padi pun memiliki nilai tawar yang tinggi. Ini dibuktikan dengan program swasembada yang komoditasnya dipastikan selalu beras. Kebutuhan beras nasional adalah 2,5 juta ton/bulan. Untuk mempertahankan ketersediaan dan memenuhi kebutuhan nasional,
Sumber: Dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
2
buletin tata ruang & pertanahan
kita terus berusaha meningkatkan produksi pangan nasional. Ini dilakukan dengan peningkatan produktivitas yang terus dijaga, tidak hanya pemberian benih dan pupuk tapi juga pendampingan, karena bukan pemerintah yang memroduksi. Subsidi ini diberikan kepada produsen karena bagaimanapun menanam padi semakin tidak menguntungkan. Lahan, air, dan tenaga kerja semakin mahal, ketika semua barang mengikuti harga pasar tapi harga beras harus terus terjaga agar terjangkau oleh masyarakat. Di sisi lain, kita juga bisa melakukan impor. Impor wajar, tapi sebanyak mungkin diproduksi dalam negeri. Impor dilakukan jika sewaktu-waktu produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan. Impor ini tetap ada meskipun sedikit, karena jika impor ditutup akan berakibat juga pada kerjasama ekspor dan impor, “bagaimana jika Indonesia juga tidak boleh melakukan ekspor?”.
Bagaimana strategi yang dilakukan terhadap konsumen? Untuk konsumen lebih difokuskan pada upaya menjaga stabilitas harga dan memastikan konsumsi terpenuhi terutama bagi golongan masyarakat miskin. Salah satunya dengan subsidi dalam bentuk beras miskin (raskin), karena masyarakat miskin dianggap tidak mampu memenuhi 2.000 kkal/kapita/hari. Untuk dapat mencapai konsumsi 2.000 kkal/kapita/hari, masyarakat miskin harus dibantu. Raskin ini tidak gratis, tapi harganya lebih rendah karena disubsidi pemerintah. Hubungan dengan Sektor Lain
Isu ketahanan pangan ini sangat lintas sektor. Menurut Ibu, bagaimana peran penataan ruang untuk mendukung ketahanan pangan, terutama dalam strategi memertahankan luasan sawah beririgasi teknis secara nasional? Isu ketahanan pangan menjadi isu strategis nasional dan isu lintas bidang. Isu ini sangat lintas sektor. Mulai dari sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor industri (misal pupuk), sektor irigasi (Kementerian PU), sektor kesehatan untuk konsumsi (Kementerian Kesehatan), sektor perhubungan untuk distribusi. Maka itu, tata ruang menjadi sangat krusial karena tidak hanya untuk pangan, tapi juga untuk optimalisasi pemanfaatan lahan. Saat ini banyak lahan bera (kosong). Lahan dimiliki orang dengan luas sekitar 3 juta Ha, tapi tidak digunakan, tidak ditanami pohon, tidak diusahakan. Berbeda dengan di negara lain, tanah seperti itu pajaknya tinggi, sedangkan di kita pajaknya rendah yang jika ditanami komoditas, komoditasnya dikenakan pajak. Ini keliru. Saya pikir tata ruang bukan hanya pengkaplingan, tapi bagaimana membuat lahan itu digunakan semestinya. Kalau lahan harusnya difungsikan sebagai rumah, tapi sekian lama tidak dibangun, harusnya dilakukan sesuatu terhadap lahan tersebut, jangan dibiarkan kosong.
Pertama, yang menjadi masalah nasional adalah RTRW direvisi setiap 5 tahun, sementara penyusunan RTRW saja dalam kurun waktu 5 tahun belum tentu selesai. Kalau RTRW belum ditetapkan, arah dan fungsi penggunaan lahan menjadi tidak jelas. Ini tidak memberikan kepastian usaha untuk orang yang mau membangun usaha, dan memberi kesempatan untuk orang - orang yang ‘nakal’ sebetulnya. Saat ini, sawah yang banyak dialihfungsi karena infrastrukturnya bagus, tanahnya datar dan padat, serta tidak perlu cut and fill. Tidak perlu pengerjaan lahan lagi karena sudah siap pakai. Banyak lahan sawah beralihfungsi menjadi industri, gudang, dan perumahan. Ini menyedihkan bukan padi vs komoditas lain, tapi padi vs penggunaan lain. Mengingat RTRW pun dapat diubah setiap 5 tahun. Lahan itu tidak akan bertambah, maka secara tata ruang harus sudah ditetapkan batas maksimal penggunaan lahan. Tentu saja, hutan konservasi dan hutan lindung tidak bisa ditawar karena ada kekhasan disitu, salah satunya keberadaan mata air. Batas maksimal harus ada, untuk areal penggunaan lain (APL) juga harus ada rasio luasan untuk industri, perumahan, infrastruktur, pertanian, seluruh jenis penggunaan lahan harus ada perhitungannya sehingga dapat dimaksimalkan dan dioptimalkan. Saat ini, tidak perlu membangun DAM (waduk) sebesar Jatiluhur karena sudah tidak ada hamparan lahan sawah seluas 3.000 Ha. Sawah yang akan diairi sudah terfragmentasi, bahkan Jatiluhur saja sudah terputus – putus. Air dikumpulkan sebanyak itu pun sudah tidak ada lagi. Untuk itu, yang mungkin dibangun midi atau mini waduk. Pembangunan harus melihat kondisi aktual luasan lahan sawah yang bisa dimanfaatkan oleh petani. Ini menjadi masalah juga, karena dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan hamparan 3.000 Ha adalah urusan pusat, dan saat ini sudah tidak ada hamparan seluas itu. Artinya, anggaran pemerintah pusat sudah tidak ada penggunaannya karena secara definisi sudah tidak ada wewenang pemerintah pusat. Ini menyulitkan Pemerintah Pusat karena tidak bisa membantu provinsi dan kabupaten/kota untuk memelihara jaringan irigasi di bawahnya. Dari sisi tata ruang secara nasional harus bisa dibuatkan model. Model tata ruang untuk luasan Indonesia dengan SDM dan skala ekonomi yang seperti ini. Jika berkunjung ke negara – negara Eropa, seperti Inggris dan Perancis, luasan sawah dan lahan gandum tetap, luasan lahan anggur tidak bertambah, luasan lahan perumahan tidak bertambah, tapi bertambah ke atas (pembangunan vertikal). Saat ini Bappenas sedang mengkaji tata ruang lingkungan. Kalau RTRW mengatur batas maksimal penggunaan ruang, di dalam tata ruang lingkungan ditetapkan batas daya dukung lingkungan. Misal, jika ingin hidup di Jakarta dengan udara bersih, maka penggunaan mobil sedikit agar udara bisa dihirup. Di kota – kota besar, perubahan iklim terjadi, sementara pohon (penghijauan) sedikit jumlahnya, maka kompensasinya adalah orang jalan kaki. Ini menganut carrying capacity, tapi belum menunjukan kualitas. Untuk itu, sedang disusun pula pemetaan lingkungan secara spasial. Greening MP3EI telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan tingkat polusi di suatu wilayah/kawasan. Misal di pulau Sumatera, polusi di pulau Sumatera telah melampaui batas (berlebihan), tapi di satu sisi perekonomian harus tetap tumbuh. Konsep Greening MP3EI, memberikan arahan, jika investasi baru ingin tetap masuk, maka persyaratannya adalah polusi harus nol karena polusi sudah mampat, atau industri eksisting di lokasi tersebut harus
menurunkan polusinya.
Diasumsikan RTRW sudah menghitung jumlah penduduk, tapi dari perkataan Ibu sepertinya ada faktor pajak juga yang berpengaruh, bagaimana? Apakah perlu kerjasama juga dengan institusi pajak terkait ketahanan pangan ini? Ya, tata ruang bukan hanya dari sisi menata, tapi bagaimana lahan itu digunakan sesuai peruntukannya. Ironinya, banyak lahan yang dibiarkan ‘nganggur’. Kalau lahan itu diusahakan, seharusnya segera lakukan, jika tidak maka tinggikan pajaknya, karena yang terjadi adalah spekulasi lahan. Untuk itu, perlu kerjasama tidak hanya terkait dengan ketahanan pangan, tapi di luar konteks sawah, perlu kerjasama dengan instansi terkait tata ruang sehingga lahan sawah dapat dimasukan ke dalam tata ruang. Dasar Hukum
Mengapa di dalam RT RPJMN 2015 – 2019 Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup menggunakan kalimat “pengamanan lahan pertanian beririgasi teknis” untuk mewujudkan ketahanan pangan? Padi tetap komoditas utama yang diamankan. Lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) adalah bahasa politik, tapi yang sesungguhnya ada di pikiran kita adalah padi. Secara mikro dapat kita lihat, lahan sawah ‘digerogoti’, tapi kita dituntut untuk terus meningkatkan produksi. Jika terdapat program swasembada, maka swasembada beras sudah pasti tidak dibantah, secara sosial politik semua akan mendukung, akan berbeda dengan swasembada jagung. Saya memutuskan, LP2B adalah padi. Saat ini, kita tidak bisa memaksa petani untuk menanam padi, tapi kalau di sawah irigasi teknis, komoditas padi pasti unggul. Untuk itu, diputuskan yang kita lindungi adalah sawah (padi) beririgasi teknis. Di samping itu, jika sawah tidak beririgasi teknis, akan ada rotasi untuk komoditas lain, seperti cabe, tomat. Sementara, sistem budidaya saat ini tidak boleh memaksa petani untuk menanam padi. Di simpulkan, lahan yang paling tidak kontroversial dan tidak mahal adalah sawah beririgasi teknis karena produktivitasnya juga paling tinggi, terutama untuk Jawa dan Sulawesi. Faktor pengikat lain yang sangat logis untuk mengamankan lahan sawah beririgasi teknis adalah lahan tersebut bagian dari waduk. Tidak hanya karena padi memiliki tingkat produktivitas tinggi, tetapi merupakan bagian dari infrastruktur juga. Tentunya kita tidak ingin Jatiluhur dikelilingi pabrik – pabrik. Air berfungsi sebagai sumber listrik, air minum, dan pengairan sawah. Jika sawah dibiarkan ‘tergerus’, sektor pertanian tidak didukung, maka suatu saat impor akan 100 persen. Ini bukan kesalahan sektor pertanian saja, tapi multi sektor. Saat ini kita tidak sadar bahwa perhitungan – perhitungan itu
Sumber: http://www.portalkbr.com
buletin tata ruang & pertanahan
3
tidak ada karena pemetaan terhadap properti juga belum jelas sehingga kita tidak tahu lahan itu sudah berfungsi berapa banyak. Ini menghawatirkan. Cikampek saja yang semua sawah, sekarang sudah penuh dengan industri dan permukiman. Contoh lainnya, bandara Karawang, meskipun itu bukan sawah tapi badan air. Kalau air ‘diganggu’, maka akan banjir karena air sifatnya
‘elevated’. Tidak hanya masalah lingkungan, tapi juga ‘bagaimana menata air’. Di dalam RTRW, tata air penting karena berkaitan dengan kualitas lingkungan dan ketersediaan air agar wilayah penghijauan cukup dan masyarakat dapat menghirup udara segar. Di Jakarta, sebagian orang menggunakan masker, apa artinya?. Maka, sangat penting bagi Bappenas untuk melakukan perhitungan, untuk ukuran Indonesia, berapa pantasnya jumlah penduduk?, berapa luasan lahan budidaya yang sudah dikurangi daerah hijau dan konservasi air, dan dimasukan ke dalam RTRW. Kalau dapat diketahui batas tersebut, maka tidak perlu dilakukan ekstensifikasi terus menerus. Meskipun di dalam RPJMN 2015 – 2019, belum hingga menentukan batas luasan maksimal, tapi kita sudah mencantumkan isu ketahanan air.
Apa dasar hukum yang digunakan? Dengan perbedaan nomenklatur yang digunakan, sepertinya tidak menggunakan UU No. 41 Tahun 2009 tentang LP2B? Saya justru mau ‘mengamankan’ UU No. 41 Tahun 2009. Sekarang ini, UU 41/2009 sudah ditetapkan, tapi dilepaskan kepada daerah. Daerah yang menentukan LP2B, bagaimana kita tahu 2.000 ha di daerah itu adalah lahan irigasi teknis. Saya mendapatkan laporan bahwa di beberapa Perda, mereka justru meminta lahan lain untuk dijadikan lahan pertanian dan meminta membuka lahan pertanian untuk digunakan sebagai lahan bukan pertanian. Investor pasti lebih tertarik ke lahan pertanian, dan daerah justru membuka lahan karena dalam UU 41/2009 ada kata ‘bisa ditukar’. Ini tidak bisa. Penentuan LP2B jangan dilepas ke daerah karena bisa melakukan tukar lahan produktif dengan lahan tidak produktif. Seharusnya daerah tetap memertahankan lahan sawah yang beririgasi teknis. Misal luasan lahan sawah eksisting ditetapkan saja. Fakta mengatakan tidak mudah mencari lahan subur seperti sawah, dan orang yang terbiasa bertani. Lahan sawah itu hanya di daerah transmigrasi dan sedikit di sekitarnya, tidak banyak, seperti di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan bisa bertanam dua kali, panen sepanjang tahun. Dan sekarang, semua daerah transmigrasi sudah mulai menjadi kota. Untuk itu, saya bukan mengenyampingkan UU 41/2009, justru melihat LP2B ini tidak ada efeknya, minimal mengamankan sawah karena yang paling perlu dilindungi adalah padi. Selain secara politik kita dituntut swasembada beras, konsumsi pun tidak menurun banyak, sementara lahan sawah terus berkurang. Sudah ditetapkan empat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU 41/2009, tapi belum berhasil dalam pelaksanaanya. Saya menyampaikan dua pilihan sebagai solusi, yaitu 1) sistem top - down; atau 2) bottom – up, daerah sendiri yang mendefinisikan LP2B. Kalau saya lebih memilih top - down karena sawah beririgasi teknis adalah bagian dari infrastruktur nasional.
Budidaya, kita tidak bisa mencegah petani tanam jagung atau komoditas lainnya. Selain itu, dengan PP No. 30/2012 tentang Pembiayaan LP2B, petani bisa saja meminta subsidi untuk cabe atau komoditas lain, yang merupakan komoditas campur tangan. Ini juga menjadi fokus Menteri PPN/Bappenas karena sawah berkurang terus dan produksi padi gagal terus. Saya tidak membuat aturan baru, justru mengamankan UU 41/2009 dan memperkuat instrumennya karena berbagai aturan ini belum bersatu. Saya hanya memastikan bahwa lahan produktif yang dilindungi karena biaya per unitnya akan relatif rendah jika produktivitasnya tinggi dan mampu memenuhi daya jangkau. Luasan lahan sawah irigasi teknis eksisting, ada yang menyebut 4,9 juta Ha, secepatnya ditetapkan sebagai LP2B, bahwa sepakat alatnya Perda, tapi definisinya kita yang harus menentukan. Dikatakan subsidi banyak yang tidak sampai pada sasarannya, karena tidak tahu siapa sasarannya. Dulu, ada kelompok tani, tapi sekarang tidak ada kelompok tani secara gotong royong seperti dulu. Kalau sensus penduduk saja per kepala, maka lahan irigasi teknis seluas 4,9 juta Ha harusnya tahu dimana lokasinya, siapa pemiliknya, siapa petaninya, bagaimana produksinya, sehingga kita mudah membinanya dan tahu sasaran subsidinya. Kalau seperti ini akan mudah memeriksa subsidi, apakah subsidi itu sampai atau tidak, dipakai atau dijual. Selain itu, memudahkan dalam memantau hasil produksi. Ini akan memotivasi penyuluh karena jelas objek yang akan dicerdaskan, bukan lagi berdasarkan hamparan. Di dalam rumusan RPJMN 2015 – 2019, jika ini menjadi proyek strategis nasional, maka pemerintah pusat dapat memberikan dana sehingga lokasi lahan sawah dan irigasinya bisa ditetapkan dengan jelas hingga institusi penanggungjawabnya. Jadi pemetaan antara sawah dengan irigasinya tidak membingungkan seperti sekarang, jumlahnya sama, tapi lokasinya berbeda - beda. Dengan teknologi saat ini, memungkinkan untuk melakukan pemetaan tersebut. Dalam RPJMN 2015 – 2019, Bappenas mencoba secara komprehensif menangani permasalahan tersebut. Jika hal itu dapat ditangani, selanjutnya sistem perbenihannya diperbaiki. Kalau padi bisa diperbanyak sendiri. Sekarang, petani yang kaya adalah petani yang kembali pada varietas – varietas hulu yang memiliki daya jual tinggi, seperti Cianjur. Benih ini jangan sampai dikendalikan oleh pihak multinasional. Untuk itu, sistem perbenihan harus dikelola. Irigasi dan penyuluhan adalah fungsi publik. Di dalam rumusan RPJMN 2015 – 2019, ingin kembali menghidupkan fungsi publik. Dukungan Data
Hal ini berarti minimal dilakukan pendataan terlebih dahulu? Ya, jika sudah jelas objeknya, per kepala, kita bisa memahami kebutuhan mereka karena selama ini hanya menduga – duga.
Kami sempat bertemu dengan rekan dari Kementerian Pertanian, yang mendefisikan bahwa LP2B itu termasuk lahan kering? Bagaimana pendapat Ibu? Kalau saya tetap lahan sawah (padi) beririgasi teknis. Fakta di lapangan, jika lahan sawah mendapatkan air, pasti menanam padi. Jika lahan kering, dengan UU No. 12/1992 tentang Sistem
4
buletin tata ruang & pertanahan
Sumber: http://www.panoramio.com
Selain itu, pertanggungjawabannya pun akan jelas sehingga kita bisa menghitung jumlah kebutuhan karena datanya jelas dan valid. Jika melalui kelompok, akan sulit mempertanggunjawabkannya. Kementerian Keuangan selalu mempertanyakan pelaksanaan subsidi, karena petani masih ‘menjerit – jerit’. Jangan sampai karena kita di sektor pertanian tidak mau mendefinisikan LP2B, orang lain yang akan mendapat keuntungan. Masalah juga di dalam PP 30/2012 tentang pembiayaan perlindungan LP2B dan PP 25/2012 tentang sistem informasi LP2B, data yang dikeluarkan adalah tabel per kabupaten, yang tidak menunjuk secara keruangan hamparannya, sehingga tidak cocok antara demand dengan supply. Di dalam Perda, LP2B banyak di daerah – daerah yang tidak produktif karena sawahnya bisa untuk membangun pabrik. Sementara lahan bekas pabrik yang lokasinya terpencil dengan produktivitas rendah, siapa yang mau tukar guling. Meskipun luasannya sama, tapi kita tidak bisa mencapai produksi tinggi. Ironi. Sekarang banyak sawah dan di sampingnya perumahan. Di Ubud – Bali, sawah – sawah menjadi guest house. Ini semakin menyakinkan bahwa padi yang harus dilindungi. Lahan boleh dialihnamakan, tapi jangan dialihfungsikan. Untuk itu, BPN menyarankan untuk memasukan LP2B ke dalam RTRW, tapi harus ditetapkan dulu lahannya dalam peta, tidak hanya tabel. Alternatif lain, jika produksi dari sawah rumah tangga tidak mencukupi kebutuhan nasional, maka dalam RPJMN 2015 – 2019 dimasukkan korporasi yang perannya harus ditetapkan dulu. Bentuk korporasi ini adalah BUMN pangan, karena kemungkinan swasta mau bergabung sangat kecil. Bulog, PT. Pertani, SHS, ini bisa difungsikan. Korporasi ini akan menstabilkan dan mengamankan pemenuhan kebutuhan nasional, jika rumah tangga petani mengalami gejolak.
Jika akan dilakukan semacam pendataan lahan, siapa yang melakukan nantinya? Saya akan memfungsikan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Saya sudah mengkonfirmasi, katanya kalau dari sisi data penduduk mungkin saja dilakukan. Lahan ini akan diaudit dan masuk ke dalam RTRW. Saat ini sedang diupayakan dalam penyesuaian skala. Kalau LP2B sudah ditetapkan, akan bisa digarap irigasinya. Dengan kejelasan lahan dan irigasi, dana dari Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota bisa sinergi. Dari sisi penyuluh, informasi yang diperoleh dari balai penyuluhan sudah jelas. Sekarang setiap penyuluh sudah jelas kelompok binaannya, tinggal 1 tahap lagi untuk menuju siapa saja anggota
Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
kelompoknya. Permasalahan lain di internal Kementerian Pertanian adalah kesesuaian data penyuluh Ditjen PSP (prasarana dan sarana pertanian) dengan Ditjen Tanaman Pangan. Ini memang tidak mudah, tapi kalau tidak dilakukan akan menjadi ‘macan ompong’ saja. Nanti padi gogo yang akan mengisi seluruh lahan pertanian pangan abadi. Kesimpulan Ini sangat komprehensif dan lintas sektor, banyak hal yang di luar kontrol Kementerian Pertanian, bagaimana mewujudkan upaya ketahanan pangan? Iya, tapi saya sangat menekankan Kementan untuk menemukan dan menentukan lahan sawah irigasi teknis. Memang untuk urusan petani adalah urusan kementerian pertanian. Jadi, jangan sampai mengerjakan pekerjaan orang lain, sementara pekerjaan rumah sendiri tidak dilaksanakan. Ini tidak bisa ditunda lagi, termasuk pemetaan petani. Di dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, disinggung asuransi petani. Asuransi sifatnya individu, dan setiap petani harus diketahui. Untuk asuransi risiko, saat ini petani belum mencatat hasil produksinya sehingga tidak diketahui fluktuasi produksinya dan tidak akan tahu seperti apa risikonya. Kondisi ini menjadikan petani tidak dikenal oleh Bank dan mitra, karena dalam bermitra, harus diketahui dulu minimal rata – rata omset. Untuk itu, data identitas petani sangat fundamental, bukan hanya untuk serving the land, tapi serving better.
Bagaimana kita bisa terus mengembangkan industri tanpa mengalihkan fungsi pertanian? Apakah konsep agroindustri yang ada di RPJMN bisa menjadi salah satu pendekatan untuk memertemukan antara sektor industri dan sektor pertanian? Jika dalam konteks lahan, sekarang banyak lahan pertanian yang digunakan untuk industri. Memang solusinya, kita perlu menghitung jumlah kebutuhan dan lokasinya. Kalau kita tahu batasannya, maka kita bisa melakukan optimalisasi di lokasi itu, tidak selalu ekstensifikasi. Jangan sampai banyak industri, tapi lahan untuk produksi tidak ada sehingga banyak melakukan impor. Ini karena pabrik pengolahan tidak menghitung lahan untuk produksi. Jadi, perlu keseimbangan supply demand. Tidak bagus jika industri bertambah tapi lahan pertanian berkurang karena industri akan bergantung pada supply dari luar negeri. Jika supply dari luar juga mati, tidak ada ketahanan industri. Kembali lagi pada kapasitas industri yang harus juga memperhatikan kapasitas supply. Keberlanjutan industri harus memperhatikan skala produksi primernya. Untuk itu, pembagian ruang harus sudah maksimal. Ini akan sangat strategis.
buletin tata ruang & pertanahan
5
kajian
Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
U
ndang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), menyebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan amanat UU tersebut dan akan berakhirnya dokumen RPJMN 2010-2014, maka disusun Dokumen Rancangan Teknokratik (RT) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 sebagai rancangan arahan pembangunan jangka menengah nasional, sebelum disahkan menjadi RPJMN Tahun 2015-2019. Kajian ini berisi RT RPJMN Tahun 2015-2019 untuk bidang tata ruang dan pertanahan. Proses penyusunan dokumen RT RPJMN 2015-2019 bidang tata ruang dan pertanahan, mengikuti alur berikut, yaitu: (i) tinjauan amanat RPJPN 2005 – 2025; (ii) mengevaluasi sekaligus mengukur capaian RPJMN 2010 – 2014 bidang tata ruang dan pertanahan; (iii) menganalisis permasalahan serta tantangan ke depan; (iv) merumuskan isu strategis; dan (v) merumuskan usulan kebijakan RPJMN 2015-2019 bidang tata ruang dan pertanahan. Proses Penyusunan RT RPJMN 2015 - 2019 Sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Dalam rentang waktu lima tahun, yang merupakan periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), RPJPN memberikan kata kunci dalam mengarahkan pembangunan Bidang Tata Ruang untuk setiap periode perencanaan jangka menengah. Kata kunci untuk periode RPJMN 2015-2019 adalah “kapasitas kelembagaan penataan ruang yang mantap” dan “ketersediaan infrastruktur yang sesuai rencana tata ruang”. Kelembagaan dapat diartikan secara luas sebagai kaidah formal maupun informal yang mengatur perilaku seseorang. Dengan demikian, kelembagaan tidak terbatas pada organisasi dan sumberdaya manusia saja, namun mencakup pula pedoman, sistem informasi dan manajemen. Adapun penyediaan infrastruktur yang sesuai rencana tata ruang adalah konsekuensi logis dari diacunya rencana tata ruang dalam pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor. Untuk Bidang Pertanahan, UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini secara lebih teknis dijabarkan dalam perencanaan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Untuk bidang pertanahan, secara khusus dijabarkan dalam Misi
5 – Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan. Selanjutnya Arah Kebijakan RPJPN 2005-2025, dijabarkan ke dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Beberapa program dan kegiatan bidang pertanahan yang ada dalam RPJMN 2010-2014 dan terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kepastian hukum hak atas tanah adalah: (i) Penyusunan Peta Pertanahan; (ii) Legalisasi Aset; (iii) Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah (IP4T); dan Redistribusi Tanah. Isu Strategis Berdasarkan arahan RPJPN, hasil evaluasi terhadap capaian pembangunan RPJMN 2010-2014, dan tantangan pembangunan di masa mendatang, diidentifikasi isu strategis pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan RPJMN 2015-2019. Isu strategis Bidang Tata Ruang 1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Mempertimbangkan masih ada RTR dan RZWP-3-K yang belum selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif. Salah satu penyebabnya adalah belum tersedianya peta berskala besar. Untuk mendukung pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga skema insentif sebagaimana tercantum dalam PP No. 15 Tahun 2010. 2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang. Permasalahan kelembagaan mencakup masih belum memadainya kualitas, kuantitas dan kompetensi SDM bidang tata ruang. Secara lebih rinci permasalahannya mencakup kualitas, kuantitas serta wadah dan tata kerja PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), belum aktifnya peran masyarakat pengguna ruang dalam penyelenggaraan penataan ruang, serta minimnya pedoman yang dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang. 3. RTRW sebagai acuan pembangunan berbagai sektor. Sebagai peraturan perundangan yang mewadahi bidang tata ruang, seluruh amanat UUPR harus dilengkapi dan selaras dengan
Proses Penyusunan RT RPJMN 2015 - 2019
6
buletin tata ruang & pertanahan
aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi Pertanahan Nasional hanya mencapai 15 persen atau 3.013 pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga orang untuk melayani pelayanan pertanahan di seluruh belum selaras dengan rencana pembangunan yang menjadi Indonesia. acuan pembiayaan pembangunan. 4. Ketersediaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Dalam rangka mendukung visi misi dan program aksi “Jalan Umum. Saat ini pembebasan tanah masih berlarut-larut dan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Dengan diterbitkannya Berkepribadian”, isu strategis utama Bidang Tata Ruang terkait erat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi dengan Agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Pembangunan untuk Kepentingan Umum,serta perangkat hukum Desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan. Namun turunannya, permasalahan kepastian dari sisi waktu pengadaan selain itu, bidang tata ruang juga berkaitan erat dengan berbagai sebenarnya telah teratasi karena peraturan tersebut telah agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya Agenda: (1) mengatur kerangka waktu pengadaan tanah maksimal. Namun Memperkuat sistem pertahanan melalui penyusunan peraturan demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi perundangan tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN); permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah (2) Memperkuat jati diri sebagai negara maritim, salah satunya secara umum karena dalam peraturan tersebut diserahkan dengan penetapan RTR Laut Nasional; (3) Membangun transparansi sepenuhnya kepada masing-masing instansi pemerintah yang dan tata kelola pemerintahan membutuhkan tanah. dengan pembangunan sistem Isu strategis bidang pertanahan informasi tata ruang yang handal; terkait erat dengan agenda (4) Menjalankan reformasi Reformasi Sistem dan Penegakan birokrasi yang dapat mendukung Hukum yang Bebas Korupsi, kelembagaan PPNS Bidang Tata Bermartabat dan Terpercaya Ruang yang Handal; (5) Membuka dengan menjamin kepastian partisipasi publik dengan hukum hak kepemilikan tanah melibatkan masyarakat dan dan melindungi dan memajukan dunia usaha secara aktif dalam hak-hak masyarakat adat. Agenda penyelenggaraan penataan ruang; lain yang terkait dengan bidang serta (6) Mewujudkan kedaulatan pertanahan adalah meningkatkan pangan dengan integrasi kualitas hidup manusia Indonesia perencanaan Kawasan Pertanian melalui komitmen untuk Pangan Berkelanjutan (KP2B) implementasi reforma agraria dengan RTR Wilayah Provinsi yang Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan melalui: a). pendistribusian aset diamanatkan oleh UU No. 41 terhadap petani melalui distribusi Tahun 2009. hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 Isu strategis Bidang Pertanahan 1. Jaminan Kepastian Hukum Hak Masyarakat Atas Tanah. Jaminan juta Ha; meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 Ha menjadi 2,0 Ha per KK tani, kepastian hukum hak masyarakat atas tanah masih menjadi dan pembukaan 1 juta Ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan isu utama, karena faktor utama yang mempengaruhi kondisi Bali. kepastian hukum hak atas tanah belum dapat diperbaiki secara signifikan. Faktor yang dimaksud, antara lain cakupan peta Selain itu, bidang pertanahan juga berkaitan erat dengan berbagai dasar pertanahan, jumlah bidang tanah yang telah bersertipikat, agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya agenda: kepastian batas kawasan hutan dan non hutan, tingkat (1) Membangun Tata Kelola Pemerintahan yang Bersih, Efektif, penyelesaian kasus pertanahan, dan penetapan batas tanah Demokratis, dan Terpercaya melalui pengelolaan pelayanan Teknologi Informasi dan Komputerisasi (TIK) dalam pelayanan adat/ulayat. pertanahan untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas; 2. Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan (2) Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik melalui perbaikan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta Kesejahteraan Masyarakat. proporsi penerimaan SDM Juru Ukur Pertanahan untuk perbaikan Ketimpangan P4T masih menjadi masalah, terlihat dari luas kualitas pelayanan publik; (3) Membangun Indonesia dari pinggiran wilayah darat nasional di luar kawasan hutan seluas 65 juta Ha, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka hanya sekitar 39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus Negara Kesatuan. pertanian Tahun 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga Sasaran Bidang tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 Ha dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya mengusai lahan kurang dari 0,5 Ha Berdasarkan isu strategis yang telah dijelaskan sebelumnya, per keluarga. Meskipun secara menerus telah diupayakan terdapat 4 (empat) sasaran bidang untuk Bidang Tata Ruang dan redistribusi tanah dari berbagai sumber tanah, namun disadari Bidang Pertanahan Tahun 2015 – 2019, sebagai berikut: bahwa ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah masih Bidang Tata Ruang terjadi. 1. Tersedianya Peraturan Perundang-undangan Bidang Tata Ruang 3. Kinerja Pelayanan Pertanahan. Sampai saat ini dirasakan yang Lengkap, Harmonis, dan Berkualitas. Pengaturan yang bahwa pelayanan pertanahan belum optimal karena masyarakat lengkap dan harmonis berarti pengaturan menyeluruh dan harus menunggu cukup lama untuk dapat menyelesaikan terpadu pada ruang darat, udara dan laut. Keterpaduan di ruang pelayanan pertanahan sebagai akibat kurangnya jumlah juru darat dilakukan di kawasan perkotaan yang cepat tumbuh, ukur pertanahan. Data tahun 2014 menunjukkan komposisi kawasan perdesaan yang menyediakan sumberdaya penting, perbandingan juru ukur pada keseluruhan pegawai Badan
buletin tata ruang & pertanahan
7
dan kawasan perbatasan negara. Sementara itu, harmonis dan berkualitas berarti bahwa peraturan perundangan bidang tata ruang serasi dengan peraturan sektor lain. 2. Meningkatnya Kapasitas Kelembagaan Bidang Tata Ruang. Peningkatan kapasitas kelembagaan bidang tata ruang berupa penyediaan pelaksana kebijakan dan lembaga yang berkualitas di seluruh daerah otonom dan mencakup penyediaan sistem informasi terpadu yang dapat menjadi acuan bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 3. Meningkatnya Kualitas dan Kuantitas RTR serta Terwujudnya Tertib Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Peningkatan kualitas RTR berupa pemanfaatan data dan informasi yang meliputi peta dasar dan peta tematik yang lengkap. Peningkatan kuantitas RTR berupa penyelesaian seluruh RTR meliputi RTRWN, RTR Pulau, RTR KSN, RTRW (provinsi, kabupaten, kota), RZWP-3-K (provinsi, kabupaten, kota) dan rencana rinci tata ruang. Terwujudnya tertib pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang berupa meningkatnya kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR yang telah ditetapkan. 4. Meningkatnya Kualitas Pengawasan Penyelenggaraan Penataan Ruang. Peningkatan kualitas pengawasan penataan ruang berupa pemanfaatan sistem informasi yang memadai dalam rangka pemantauan dan evaluasi keberhasilan penyelenggaraan penataan ruang yang didukung indikator outcome dan baseline, dan sistem evaluasi tingkat pencapaian implementasi RTR. Bidang Pertanahan 1. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah. Dalam upaya meningkatkan kepastian hukum, telah teridentifikasi bahwa permasalahan mendasar adalah sistem pendaftaran tanah yang dianut saat ini adalah sistem publikasi negatif yang berarti negara tidak menjamin kebenaran informasi yang ada dalam sertipikat. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk mulai membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif, yang berarti negara menjamin kebenaran informasi yang tercantum dalam sertipikat tanah yang diterbitkan. Upaya membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif perlu dimulai dengan memperbaiki cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah bersertipikat hingga masing-masing meliputi 80 persen wilayah nasional. Namun, memperhatikan kemampuan penyelenggaraan pembangunan dan sumber daya yang ada kemudian ditetapkan target pencapaian yaitu:(i) Tercapainya Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga meliputi 60 persen dari wilayah darat nasional bukan hutan (wilayah nasional); (ii)
Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
8
buletin tata ruang & pertanahan
Tercapainya Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat hingga meliputi 70 persen dari wilayah wasional; (iii) Tercapainya penetapan batas wilayah hutan pada skala 1:5.000 dan terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional sepanjang 189.056,6 km; (iv) Terlaksananya sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat pada 34 provinsi dan 539 kab/kota. 2. Semakin baiknya proporsi kepemilikan, penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan meningkatnya Kesejahteraan Masyarakat. Upaya perbaikan ketimpangan
pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dilakukan melalui reforma agraria, yaitu redistribusi tanah, legalisasi aset, dengan sekaligus dilengkapi dengan bantuan pemberdayaan masyarakat kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan terutama petani, nelayan, usaha kecil menengah (UKM), dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sasaran semakin baiknya proporsi P4T dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat diasumsikan tercapai melalui (i) Inventarisasi Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) sebanyak 5.034.975 bidang; (ii) Identifikasi Sumber Tanah Obyek Landreform (TOL), setidaknya meliputi Tanah Terlantar seluas 1.138.500 Ha; (iii) Jumlah bidang tanah yang diredistribusi mencapai 3.150.000 bidang. 3. Meningkatnya Kepastian Ketersediaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tujuan lain diterbitkannya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta perangkat hukum turunannya adalah untuk mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan harga tanah yang sebenarnya berdampak langsung kepada kesejahteraan masyarakat secara umum. Namun, untuk melaksanakan tujuan tersebut Pemerintah belum memiliki instrumen kelembagaan khusus untuk penyediaan tanah sebagai lembaga yang mewakili negara yang diamanatkan untuk melakukan pembelian bidang-bidang tanah dan menjual kembali dengan harga tertentu bagi keperluan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 4. Meningkatnya Pelayanan Pertanahan. Upaya meningkatkan pelayanan pertanahan yang dilakukan Pemerintah belum memberikan hasil yang cukup memuaskan, terutama kepastian waktu pelayanan mengingat proporsi pegawai BPN belum mencapai komposisi ideal bagi jumlah juru ukur. Dari keadaan saat ini dengan proporsi 15 persen perlu ditingkatkan hingga mencapai 30 persen dari jumlah pegawai BPN secara nasional. Arah Kebijakan dan Strategi
Untuk mengatasi isu dan permasalahan, serta menghadapi tantangan yang ada, rancangan arah kebijakan dan strategi bidang tata ruang dan pertanahan tahun 2015 – 2019 adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis dengan strategi: (a) penyusunan peraturan perundangan amanat UU No. 26 Tahun 2007 berupa peraturan perundangan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dalam rangka mendukung agenda penguatan sistem pertahanan; (b)
penyusunan regulasi turunan UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 terkait RZWP-3-K; (c) harmonisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang tata ruang termasuk di dalamnya peraturan insentif untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam rangka mendukung agenda kedaulatan pangan; (d) penginternalisasian kebijakan sektoral dalam NSPK Bidang Tata Ruang; dan (e) pengintegrasian RTR dengan rencana pembangunan. 2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, dengan strategi: (a) optimasi kinerja lembaga penyelenggara tata ruang (instansi, SDM Bidang Tata Ruang, dan koordinasi kelembagaan); (b) pembentukan perangkat PPNS yang handal dalam rangka mendukung agenda Menjalankan Reformasi Birokrasi, salah satunya melalui penyusunan pedoman perlindungan PPNS Bidang Tata Ruang; (c) peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mendukung agenda Membuka Partisipasi Publik; dan (d) penyusunan sistem informasi penataan ruang (termasuk sistem informasi untuk sosialisasi, perizinan, serta pemantauan dan evaluasi) dalam rangka mendukung agenda Membangun Transparansi dan Tata Kelola Pemerintahan. 3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, dengan strategi: (a) peningkatan kualitas produk dan penyelesaian serta peninjauan kembali RTR, baik RTRWN, peraturan perundangan ruang laut di atas 12 mil dalam bentuk RTR Laut Nasional (dalam rangka mendukung Agenda Memperkuat Jati Diri sebagai Negara Maritim), RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN (termasuk penetapan revisi Perpres RTR KSN Jabodetabekjur) dan RTRW yang telah mengintegrasikan LP2B dan prinsip-prinsip RZWP-3-K; (b) penyusunan peraturan zonasi yang lengkap untuk menjamin implementasi RTR; (c) percepatan penyediaan
data pendukung pelaksanaan penataan ruang yang mutakhir
termasuk penggunaan Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) dan penyediaan foto udara resolusi tinggi sebagai dasar peta skala 1:5000 untuk RDTR; dan (d) peningkatan efektifvtas pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rangka mendukung agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan. 4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur. Dalam hal pendanaan, selain APBN dan APBD, perlu disediakan alternatif pendanaan lain. Mengingat bahwa banyak pihak dimudahkan dari ketersediaan RTR, khususnya swasta/investor, maka opsi pendanaan melalui dana perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) layak dipertimbangkan. Hal ini khususnya dalam penyusunan perangkat kelembagaan yang tidak terkait langsung dengan peraturan perundangan, misalnya sistem informasi. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, prioritas penguatan kerangka kelembagaan 2015-2019 pada bidang tata ruang adalah penguatan lembaga koordinasi lintas sektor perumus kebijakan dan pengguna ruang di tingkat nasional dan daerah yang mempunyai fungsi untuk menentukan arah kebijakan penyelenggaraan
penataan ruang. Sementara, untuk Bidang Pertanahan tahun 2015-2019, arah kebijakan dan strategi untuk memenuhi keenam sasaran bidang, sebagai berikut: 1. Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi meliputi sebagai berikut: (i) Percepatan Cakupan Peta Dasar Pertanahan dan Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat; (ii) Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan Pada Skala Pendaftaran Tanah (Kadastral, 1:5.000); dan (iii) Sosialisasi peraturan perundangan penetapan tanah adat/ ulayat 2. Reforma agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Redistribusi tanah dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi tanah tersebut perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengoordinasikan dan menghubungkan kepada sumber-sumber ekonomi produktif sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi sebagai berikut: (i) Inventarisasi Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T), (ii) Penetapan tanah terlantar; (iii) Identifikasi bidang tanah yang diredistribusi; dan (iv) Identifikasi kegiatan pemberdayaan masyarakat 3. Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pencadangan tanah yang akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya pencadangan tanah oleh negara tidak terikat waktu untuk melakukan pemanfaatan pada bidang-bidang tanah yang dikuasai. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi penyiapan regulasi pembentukan lembaga bank tanah. 4. Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan. Pelayanan pertanahan memerlukan kompetensi sumber daya manusia yang ideal baik kuantitas maupun kualitas dengan komposisi yang ideal terutama ketersediaan juru ukur sebagai ujung tombak di lapangan. Dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan organisasi birokrasi yang efektif dan efisien perlu disusun kebijakan penerimaan PNS baru. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi perbaikan proporsi penerimaan SDM juru ukur pertanahan melalui penerimaan PNS BPN yang terencana.
Sumber: http://www.jasamengurustanah.com
buletin tata ruang & pertanahan
9
Koordinasi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan – Bappenas Bersama BPN Menyusun Buku Profil Pertanahan Penyusunan buku profil pertanahan merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP), Bappenas bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam rangka memetakan isu-isu dan menangkap pembelajaran program pembangunan bidang pertanahan di 34 provinsi di Indonesia. Tujuannya adalah menyediakan data dan informasi, termasuk permasalahan bidang pertanahan, dengan harapan dapat memudahkan proses perumusan kebijakan pengelolaan pertanahan di masa mendatang. Penyusunan profil pertanahan ini juga menjadi salah satu upaya untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi RPJMN 2015 – 2019. Dalam proses penyusunan profil pertanahan, pada bulan Agustus, Direktorat TRP telah menyelenggarakan rapat koordinasi bersama BPN. Rapat ini bertujuan untuk menyepakati outline dan format penulisan buku profil pertanahan. Masukan untuk perbaikan penyusunan profil ini banyak diperoleh dari peserta rapat, salah satunya adalah perlunya pengklasifikasian data sertipikasi tanah berdasarkan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha. Ini diperlukan mengingat ketersediaan data yang dimiliki Kantor Pertanahan Daerah disusun berdasarkan hak, bukan program pelaksanaan sertipikasinya. Setelah melalui 2 (dua) rapat koordinasi, perbaikan minor atas outline dan format buku profil pertanahan telah dilakukan dan disepakati bersama. Pada September 2014, pengumpulan data dari
Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
seluruh Kanwil BPN sudah mulai diproses dan diinventarisasi oleh Direktorat TRP. Koordinasi dan kelengkapan data menjadi kendala yang cukup menghambat proses penyusunan buku profil ini. Namun begitu, penyelesaian buku profil pertama ini tetap ditargetkan selesai pada akhir tahun 2014, untuk kemudian diperbaharui setiap tahunnya. Harapan ke depan, penyusunan profil pertanahan akan menjadi basis data dan informasi yang mudah diakses, mampu mendokumentasikan isu pertanahan secara terstruktur, dan menjadi dokumen terpercaya yang digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan di bidang pertanahan [gn/gp].
Penyusunan Laporan Kegiatan BKPRN Semester I Tahun 2014 Bersamaan dengan pelaksanaan sosialisasi e-BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) pada Juli 2014, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas selaku Sekretaris BKPRN menyelenggarakan rapat penyusunan Laporan Kegiatan BKPRN Semester I Tahun 2014. Rapat ini bertujuan mengonfirmasi dan menyepakati outline, serta substansi laporan bersama 3 K/L anggota BKPRN, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Pelaporan pelaksanaan tugas BKPRN secara tertulis ini sesuai dengan amanat Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2009 tentang BKPRN dan Permenko No. PER-02/M.EKON/10/2009 tentang
Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
10
buletin tata ruang & pertanahan
Organisasi dan Tata Kerja BKPRN, yang secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan oleh Ketua BKPRN kepada Presiden. Untuk Semester I Tahun 2014, laporan pelaksanaan kegiatan BKRPN dibagi ke dalam tiga isu utama, yaitu: (i) penyelesaian peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang; (ii) penguatan kapasitas kelembagaan; serta (iii) penyelesaian konflik pemanfaatan ruang. Dalam rapat pembahasan ini, peserta juga memberikan usulan materi lain yang perlu masuk ke dalam laporan, antara lain: penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) Laut Lepas, serta akselerasi penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR), termasuk pemberian Dekon persetujuan substansi Menteri Pekerjaan Umum kepada Gubernur. Selain itu, pada rapat ini disinggung pula mengenai: (i) 5 (lima) rancangan Perpres KSN Perbatasan yang tengah dalam proses finalisasi oleh Sekretariat Kabinet, dengan tiga di antaranya akan segera ditetapkan; (ii) beberapa KSN dengan karakteristik serupa yang diusulkan untuk ditetapkan dalam 1 Perpres, seperti: 13 KAPET, 12 Taman Nasional, KSN Teknologi Tinggi, serta KSN Pariwisata; (iii) kemajuan penyusunan RTR KSN Kedung Sepur, Gerbangkertosusila, dan Cekungan Bandung yang tengah dalam proses penandatanganan oleh Kepala Daerah dan ditargetkan untuk pembahasan dalam Forum BKPRN; serta (iv) penyusunan Materi Teknis revisi Perpres RTR Kawasan Jabodetabekpunjur [ay/oc/cw].
artikel
Tata Ruang Laut Menyokong Kedaulatan Pangan Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
I
ndonesia merupakan negara maritim yang kaya akan potensi sumber daya hayati yang dapat dijadikan sebagai alternatif pangan bagi masyarakat. Pengelolaan sumber daya laut menjadi sangat penting dan sepatutnya dikelola secara berkelanjutan. Salah satu instrumen pengelolaan ruang wilayah laut adalah melalui RZWP-3-K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil) yang diharapkan menjadi acuan pengelolaan sumber daya laut guna mencapai Ketahanan Pangan. Artikel ini akan membahas lebih dalam bagaimana implementasi RZWP3K dalam mempertahankan keberlanjutan sumber daya pangan perikanan di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Pidato Presiden Joko Widodo saat MPR melantiknya menjadi Presiden ke-7 RI pada 20 Okober 2014 di Jakarta, sangat menggugah kesadaran kita sebagai bangsa maritim. Pidato itu menekankan pembangunan kemaritiman akan menjadi salah satu prioritas kabinetnya selama 5 tahun ke depan. Kalau selama ini kita memunggungi laut, sudah saatnya perhatian dialihkan ke sana. Samudra, laut, selat, dan teluk akan kita kelola demi kemakmuran rakyat. Kita bertekad akan menjadi poros maritim dunia. Tekad Presiden tersebut tidaklah berlebihan, bahkan dapat menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa sumber daya laut berlimpah yang tidak dimiliki bangsa lain. Mari kita lihat sekilas kekayaan tersebut. Wilayah laut kita sangat luas, sekitar 5,8 juta km2 (termasuk ZEE) yang merupakan ¾ dari total wilayah Indonesia. Indonesia juga punya 17.504 pulau dengan garis pantainya sepanjang 95.181 km. Fakta ini menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Tak hanya itu saja. Di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia terkandung kekayaan alam yang sangat besar. Kita mempunyai sumber daya alam hayati (ikan, terumbu karang, padang lamun, bakau, serta biota laut) dan non hayati (pasir, air laut, mineral dasar laut, serta energi) yang tiada tara. Sebagian dari sumber daya tersebut memiliki potensi dalam menyediakan kebutuhan pangan bukan hanya untuk Indonesia. Lebih dari itu, jika potensi ini dikelola secara serius dan sungguh-sunguh, kita mampu memberi pangan kepada penduduk dunia. Ini penting mengingat saat ini dan di masa depan, kebutuhan pangan dunia semakin besar. Saat ini saja ada sekitar 9 miliar penduduk dunia. Seiring dengan pertambahan penduduk maka pada tahun 2050 kebutuhan pangan dunia meningkat 70 persen. Tak terkecuali Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 350 juta orang tentu akan memerlukan pangan yang tidak sedikit. Hal ini akan menjadi bencana pangan jika tidak diantisipasi dari sekarang. Mengandalkan pangan dari daratan, tampaknya sangat sulit dicapai. Apalagi laju konversi lahan pertanian ke non pertanian (seperti perumahan, industri, perkantoran, jalan tol, dan lain-lain) kian tinggi. Efek domino pun terjadi. Pangan semakin sulit didapat. Hukum pasar pun berlaku, tatkala suplai tak sebanding dengan permintaan maka yang terjadi harga komoditas tersebut mengalami kenaikan. Berdasarkan penelitian LIPI, laut Indonesia memiliki setidaknya 529 biota yang berpotensi untuk mendukung ketahanan pangan. Negara mana yang bisa menandingi kekayaan laut semacam ini? Secara kualitatif, produk perikanan dapat diandalkan. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), produk perikanan merupakan sumber protein hewani yang universal, tidak menimbulkan penyakit,
mencerdaskan, dan menyehatkan. Itulah mengapa, berdasarkan catatan FAO, sejak tahun 2011 untuk pertama kalinya produksi perikanan budidaya dunia melampaui produksi daging sapi. Tahun 2012, produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 66 juta ton. Angka ini melebihi produksi daging sapi yang hanya 63 juta ton. Fakta ini membuktikan, sektor perikanan semakin dapat diandalkan untuk mendukung ketahanan pangan. Permasalahan dan Alternatif Kebijakan Mengelola Laut Salah satu upaya memanfaatkan sektor perikanan sebagai penyokong utama dalam mendukung kedaulatan pangan adalah melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan nasional hingga saat ini belum dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu. Lihat saja faktanya. Beberapa wilayah telah dimanfaatkan secara intensif dan berlebihan sehingga melampaui daya dukung lingkungan seperti pencemaran, penangkapan ikan yang berlebih (overfishing), serta kerusakan fisik kawasan pesisir dan kelautan. Perlu juga dicatat, sumber daya alam kelautan adalah milik umum (common property), setiap orang boleh memanfaatkan potensi yang terkandung di dalamnya. Konsekuensinya, pengguna cenderung memanfaatkan sumber dalam alam laut secara maksimal tanpa menghiraukan dampak negatifnya. Tragedy of the common pun tak dapat dihindari. Kondisi ini diperparah dengan euforia otonomi daerah yang kebablasan. Daerah berusaha memenuhi pundi-pundi pendapatan asli daerah (PAD) dengan berbagai cara. Mereka abai menjaga kelestarian alam tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan laut dan kesesuaian lahan di perairan laut. Baginya yang penting ada pendapatan sesaat dulu, selebihnya urusan belakangan. Di sisi lain, sebagian sumber daya pesisir dan laut tidak dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, daerah setempat, serta nasional. Beberapa fakta berikut ini bisa menjadi cerminan dan tantangan bagi kita untuk mengelola sumberdaya pesisir dan laut kita lebih serius: a) Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan begitu besar, tapi PDB kelautan dan perikanan hanya 3,2 persen; b) Potensi perikanan tangkap 6,5 juta ton/tahun, tapi sebagian besar nelayan masih miskin; c) Potensi perikanan budidaya tambak lebih dari 1,2 juta Ha, tapi baru dimanfaatkan kurang dari 50 persen. Lahan budidaya laut lebih dari 12 juta Ha, namun yang dimanfaatkan baru sekitar 117 ribu Ha; d) Unit pengolahan ikan lebih dari 65 ribu pengolah, tapi sebagian besar skala kecil; e) Lebih dari 40 persen industri pengalengan tidak beroperasi dan industri yang beroperasi di bawah kapasitas karena kekurangan bahan baku; f) Kinerja produksi dan daya saing negara-negara kompetitor utama makin
buletin tata ruang & pertanahan
11
pesat. Sayangnya, produksi dan daya saing nasional hampir tidak bergerak. Untuk mengatasi kondisi tersebut tentu tidak bisa disandarkan pada salah satu kementerian atau dinas saja, perlu strategi komprehensif yang tidak hanya melihat dari sudut pandang sektoral saja. Sebab, hal-hal tersebut menyangkut pengelolaan sumber daya, sarana produksi, penerapan teknologi, infrastruktur, sumber daya manusia, permodalan, perubahan iklim, regulasi, dan kelembagaan. Terkait dengan pengelolaan sumber dayanya maka perlu dilakukan upaya pengaturan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia yang terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, terbuka, serta berkeadilan. Hal itu bisa tercapai di antaranya melalui penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K). Sementara, terkait dengan regulasi, Indonesia telah memiliki tiga Undang-Undang (UU) yang menjadi payung hukum untuk memanfaatkan laut secara komprehensif dan terintegrasi. Pertama, UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kedua, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ketiga UU tentang Kelautan yang baru disahkan pada Senin, 29 September 2014. Peran Serta Masyarakat Berhasil tidaknya pengelolaan wilayah pesisir dan laut sangat tergantung pada sampai sejauh mana kita mampu melibatkan masyarakat di dalamnya, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, maupun pengendalian. Pada tahap perencanaan, mekanisme penyusunan rencana di setiap tingkatan harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Perencanaan tanpa melibatkan masyarakat hanya akan menghasilkan kebijakan yang kurang dapat diimplementasikan di lapangan. Dalam penyusunan RZWP-3-K, masyarakat yang direpresentasikan oleh tokoh, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka pada proses pengumpulan data, pembahasan laporan, dan konsultasi publik. Pada proses pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, masyarakat memiliki hak yang sama dengan pemangku kepentingan lainnya. Bahkan untuk pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan laut pada wilayah masyarakat hukum adat menjadi kewenangan mereka. Pemerintah dan Pemerintah Daerah pun wajib memasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan
kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. Izin tersebut diberikan kepada mereka yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP-3-K) telah diatur dalam UU No. 27/2007 Jo. UU No. 1/2014, Pasal 60 Ayat 1 dan 2. RZWP-3-K Menyokong Kebijakan Kedaulatan Pangan Sifat laut sebagai ruang, yang pada setiap segmennya, baik secara vertikal maupun horizontal, memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk suatu peruntukan tertentu merupakan perbedaan mendasar antara penataan ruang darat dan laut. Secara horizontal, wilayah permukaan laut dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran baik penumpang maupun barang. Demikian pula pada area sekitar pantai dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut ataupun area pertambakan. Pada area kolom air merupakan wilayah penangkapan ikan atau spot olahraga selam. Di dasar laut sering digunakan sebagai pemasangan jalur kabel komunikasi dan jalur pipa. Di area perairan tertentu mengandung mineral dan ditemukan kapal tenggelam yang bermuatan benda berharga. Sedangkan tanah di dasar laut dapat merupakan area cadangan minyak dan gas. Penataan wilayah laut pada dasarnya diperlukan terkait dengan pengaturan pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomodasi semua kepentingan untuk menghindari adanya konflik pemanfaatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada suatu pemahaman bahwa pemanfaatan suatu sumber daya laut diberikan batas yang jelas antara zona pemanfaatan yang satu dan zona lainnya. Kondisi ini jelas tidak mudah mengingat Indonesia memiliki perairan luas dan karakter perairan yang kompleks. Karena itulah penataan wilayah laut memerlukan suatu konsepsi melalui pendekatan secara makro dan mikro. Pendekatan secara makro dimaksudkan sebagai langkah pengenalan karakter dan perkiraan prioritas pemanfaatan yang dapat ditetapkan pada suatu kawasan perairan, melalui pengelompokan kawasan perairan. Sedangkan pendekatan secara mikro lebih ditekankan pada peninjauan terhadap ketersediaan sumber daya, sifat dinamika laut, kerentanan bencana, kerentanan konflik pemanfaatan ruang, dan daya dukung laut. Penetapan alokasi ruang di dalam RZWP-3-K dilakukan berdasarkan tiga fungsi pemanfaatan, yakni ekonomi, konservasi, serta pertahanan dan keamanan. Fungsi ekonomi dimaksudkan sebagai kebijakan secara makro bahwa suatu kawasan perairan ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam zonasi. Pertama, sifat dinamis laut. Alam tersusun oleh sistem-sistem keseimbangan yang bersifat dinamis. Artinya, adanya perubahan salah satu atau lebih faktor dalam suatu sistem, maka alam akan mencari keseimbangan baru. Sebut saja berubahnya tingkat kecerahan akibat arus turbulensi yang mengangkut material endapan. Kondisi ini dapat membuat terumbu karang sakit atau bahkan mati. Perubahan keseimbangan ini akan berdampak pada kehidupan beragam jenis ikan yang selama ini bersimbiosis dengan terumbu karang. Kedua, penafsiran nilai ekonomi dan nilai beban lingkungan. Apabila biaya perbaikan lingkungan lebih besar daripada nilai ekonomi yang didapatkan, maka tujuan pemanfaatan sumber daya tidak tercapai. Ketiga, aspek sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau. Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau sangatlah beragam. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya pengaturan lahan laut atau sering disebut hak ulayat laut. Keempat, aspek kepastian hukum pemanfaatan perairan laut. Menurut UU No. 26 Tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Dalam kaitan ini, ruang diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dikembangkan konsep bahwa laut merupakan suatu kesatuan wilayah negara yang perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
buletin tata ruang & pertanahan
tahukah anda
karakter yang dimiliki setiap kelompok perairan laut maka dapat penggerak ekonomi masyarakat perikanan melalui dukungan sistem diperkirakan seperti arahan komoditi unggulan, kebutuhan infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antarkawasan infrastruktur, kelembagaan, format jaringan pemasaran produk, atau minapolitan dan pasar. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perkiraan tingkat kerawanan bencana. Kawasan Minapolitan diperlukan suatu strategi yang menjadi acuan bagi semua pemangku Sementara itu, fungsi konservasi RZWP-3-K dapat menyokong kedaulatan pangan dalam kepentingan baik di tingkat dimaksudkan sebagai langkah empat hal. pusat maupun daerah. memertahankan kelangsungan Pertama, mengarahkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan suatu kondisi alam, sosial, Dalam paradigma laut dalam rangka pemenuhan kedaulatan pangan seperti kegiatan budaya, atau kearifan lokal di pengembangan wilayah, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Berdasarkan data dan kawasan perairan laut atau program minapolitan dapat analisis maka, perencana dapat menentukan daerah-daerah mana pulau. Penetapan fungsi ini dilihat sebagai proses saja yang sesuai untuk kegiatan tersebut. nantinya dapat dijadikan kawasan pembangunan kelautan dan Kedua, memberi kepastian hukum untuk zona-zona yang konservasi atau lindung. perikanan yang dimulai dengan berhubungan dengan pemenuhan kedaulatan pangan. Elit daerah melihat isu-isu pembangunan Fungsi pertahanan dan tidak bisa serta merta mengubah alokasi ruang. Alokasi ruang yang dari kondisi eksisting pada keamanan dimaksudkan untuk ada tidak bisa digeser begitu saja karena zona tersebut dilindungi skala kawasan. Pada tahap mengupayakan penempatan fungsi oleh peraturan perundangan (Peraturan Daerah). tertentu, pertumbuhan pulau-pulau kecil di suatu kawasan kawasan minapolitan akan perairan laut sebagai titik pangkal Ketiga, menyediakan kawasan/zona/fasilitas pendukung bagi zona tersebut seperti kawasan konservasi, zona industri perikanan, zona masuk ke dalam proses teritorial dan basis pangkalan pengembangan wilayah makro pertahanan negara guna menjaga pelabuhan, dan jaringan infrastruktur lainnya. Kawasan konservasi sebagai penyokong kegiatan perikanan juga terjamin kelestariannya. yang berorientasi kepada kedaulatan wilayah. Di samping itu, di kawasan perairan yang Keempat, mengurangi risiko gangguan terhadap zona tersebut dari sistem pusat-pusat kegiatan wilayah pada hirarki yang lebih memiliki indikasi rawan kejahatan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam penentuan alokasi ruang telah tinggi. (penyelundupan, penangkapan ikan melalui proses harmonisasi dan melihat kompatibilitas antara zona ilegal, dan lain-lain), penetapan Menilik potensi dan yang satu dan zona lainnya. fungsi pertahanan dan keamanan permasalahan kelautan dan menjadi prioritas. perikanan, maka pembangunan kelautan dan perikanan ke depan membutuhkan inovasi besar, suatu konsep spasial yang memiliki Penyusunan RZWP-3-K harus dilakukan secara terpadu basis analisis pengembangan wilayah kelautan. Pendekatan antarperencanaan ruang darat (RTRW). Unit analisa yang digunakan minapolitan seharusnya dapat diintegrasikan bersama dengan dalam menyusun rencana alokasi ruang di laut sebaiknya pendekatan pembangunan wilayah lainnya serta terakomodir dalam mempertimbangkan dan memperhitungkan keterkaitan unit RZWP-3-K dan RTRW Kabupaten/Kota/Provinsi/Nasional. analisa tersebut dengan RTRW. Sebaliknya, kegiatan yang akan dikembangkan di laut pun memberikan implikasi pada pola dan Kita berharap, tim kabinet yang baru saja dilantik ini mampu struktur ruang yang ada di darat. mewujudkan kedaulatan pangan dari laut Indonesia. Dengan bekerja, bekerja, dan bekerja, tampaknya kita bisa mencapai Contoh menarik adalah implementasi RZWP-3-K atau Marine cita-cita mulia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat dalam Fungsional Zoning (MFZ) di China. Mereka secara efektif dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia, mengurangi pencemaran laut, mampu menata kawasan industri, bahkan dunia. lokasi wisata dan lokasi pelabuhan secara efisien, memberi kepastian lokasi usaha budidaya perikanan, serta meraup Penyediaan data pertanian pangan berkelanjutan pendapatan negara atas lisensi perairan karena ijin yang diberikan. dilakukan melalui kegiatan: Mengingat besarnya potensi kelautan perikanan Indonesia dan a. Invetarisasi Data Dasar pertanian pangan menyadari bahwa potensi tersebut belum dimanfaatkan secara berkelanjutan; dan optimal, maka diperlukan langkah-langkah strategis yang mampu b. Pengolahan Data Dasar. mengatasi permasalahan yang telah begitu lama membelit sektor Penyediaan Data Dasar Lahan Pertanian Pangan kelautan dan perikanan. Salah satu upaya Kementerian Kelautan Berkelanjutan bersumber dari: dan Perikanan dalam rangka mengelola kondisi tersebut adalah a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah mencanangkan program unggulan Gerakan Nasional Minapolitan. dimuat dalam RTRW Provinsi dan/atau kabupaten/ Minapolitan merupakan konsepsi pembangunan ekonomi kelautan kota; dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan. Sementara telah ditetapkan dalam RDTR itu, Kawasan Minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu kabupaten/kota; atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem c. Lahan Cadangan Pertanian kegiatan perikanan yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan Pangan Berkelanjutan yang telah fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan ditetapkan di tingkat kabupaten/ sistem minabisnis. kota; dan/atau Pengembangan Kawasan Minapolitan merupakan upaya d. Tanah terlantar dan subyek memberdayakan WP3K dengan komoditas unggulan daerah haknya. dengan usaha yang bankable. Secara lebih luas, pengembangan Sumber: PP No. 25/2012 tentang Sistem Kawasan Minapolitan diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan Informasi Lahan Pertanian Pangan ekonomi di daerah dan sentra-sentra kegiatan perikanan sebagai
buletin tata ruang & pertanahan
13
Lebih Dekat
Implementasi RZWP-3-K di Kota Ternate
Kota Ternate telah menetapkan Perda No. 36 Tahun 2011 tentang RZWP-3-K Kota Ternate. Proses penyusunan RZWP3K telah dimulai sejak tahun 2009 melalui fasilitasi Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP dan PT. Sucofindo. Proses didahului dengan pembahasan terhadap kajian yang telah disusun oleh PT. Sucofindo. Pembahasan hasil kajian dilakukan oleh Tim Pokja penyusun RZWP-3-K Kota Ternate yang dibentuk melalui Keputusan Walikota Ternate No. 46/III.2/KT/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) Kota Ternate Tahun 2011. Selanjutnya dilakukan proses penyusunan Rancangan Perda RZWP3-K. Dalam proses penyusunan RZWP-3-K, Pemda Kota Ternate telah melaksanakan konsultasi publik sebanyak 3 (tiga) kali, sebelum akhirnya pada bulan Juni 2009 rancangan Perda RZWP-3-K tersebut disampaikan kepada DPRD Kota Ternate untuk kemudian ditetapkan. Setelah pembahasan oleh DPRD, dilakukan kajian kembali untuk mengoreksi hal-hal tertentu guna memperkaya kajian penyusunan RZWP-3-K, hingga kemudian pada bulan September tahun 2011 RZWP-3-K Kota Ternate ditetapkan melalui Perda No. 36 Tahun 2011. Pada awal proses penyusunan, RZWP-3-K tersusun dalam satu dokumen dengan RTRW yang direncanakan ditetapkan dalam 1 Peraturan Daerah yang terintegrasi. Namun pada proses lebih lanjut, rencana tersebut belum dapat terwujud karena penetapan RTRW Kota Ternate masih terkendala permasalahan kehutanan. Berkenaan dengan implementasi Perda RZWP-3-K, terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi seperti masih maraknya pembangunan infrastruktur pada wilayah pesisir yang kurang tertib serta kegiatan reklamasi yang tidak merujuk pada Perda RZWP-3-K. Kondisi tersebut ditengarai akibat minimnya sosialisasi RZWP-3-K yang dilakukan oleh Pemda Kota Ternate. Tiga lokasi yang diatur dalam RZWP-3-K diantaranya Kawasan
14
buletin tata ruang & pertanahan
Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Minapolitan Dufa-dufa, Kawasan Sulamada, dan Kawasan Pesisir Falajawa. Kawasan Minapolitan Dufa-dufa terletak di kecamatan Ternate Utara, pada kawasan ini terdapat pelabuhan perikanan dan merupakan sentra penjualan ikan. Pemda Kota Ternate juga menyampaikan bahwa akan disusun Rencana Zonasi Rinci untuk Kawasan Minapolitan Dufa-dufa. Sementara, Kawasan Sulamadaha di kecamatan Pulau Ternate yang berdasarkan Perda RZWP-3-K merupakan kawasan konservasi. Sulamadaha terkenal sebagai lokasi wisata karena memiliki pantai dengan air laut yang jernih dan lokasinya dikelilingi oleh hutan. Terakhir, Kawasan Pesisir Falajawa yaitu wilayah pesisir yang berlokasi di kecamatan Ternate Tengah. Kegiatan reklamasi yang dilakukan pada kawasan Falajawa hanya mengacu pada RTRW dan tidak memperhatikan RZWP-3-K yang telah ditetapkan sehingga pengaturan matra laut Kota Ternate belum optimal diimplementasikan [ias/oc].
landspatial bappenas on
Pada bulan Mei 2014, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas melakukan penjaringan data dan informasi mengenai pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Ternate. Penjaringan data dan informasi dilaksanakan melalui kunjungan lapangan dan Focus Group Discussion (FGD) bersama perwakilan Kelompok Kerja (Pokja) penyusun RZWP-3-K, BKPRD, serta instansi lain terkait. Kegiatan ini merupakan salah satu agenda BKPRN yaitu fasilitasi akselerasi penyelesaian penetapan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP-3-K).
Sosialisasi Peraturan
Perpres RTR KSN Warisan Budaya
Kawasan Borobudur dan Sekitarnya, Perpres No. 58 Tahun 2014 Borobudur merupakan bangunan unik yang menyimpan berjuta unsur eksotis dan misterius, terbentang luas dan megah di kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang. Berdasarkan hasil
Convention Corcerning the Protection of World and Natural Heritage, Borobudur ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena memiliki nilai-nilai universal yang luar biasa (outstanding universal value). Untuk itu, kawasan Borobudur dan sekitarnya dijadikan salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan sudut kepentingan sosial budaya. Penataan ruang kawasan Borobudur dan sekitarnya bertujuan untuk mewujudkan tata ruang kawasan Borobudur yang berkualitas dalam rangka menjamin terciptanya pelestarian kawasan Borobudur sebagai kawasan cagar budaya nasional dan warisan budaya dunia. Untuk mencapainya, kebijakan yang dikembangkan antara lain: (i) perlindungan karakter dalam perwujudan 2 (dua) kebijakan tersebut, masing-masing kebijakan memiliki strategi rencana tata ruang. Strategi perwujudan kebijakan (i), dilakukan dengan: (a) mempertahankan kawasan cagar budaya dari kerusakan .... menjamin permanen akibat pemanfaatan ruang tanpa memperhatikan kepentingannya bagi terciptanya sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, pelestarian agama, dan/atau kebudayaan; (b) kawasan mencegah terjadinya alih fungsi lahan Borobudur kawasan pertanian dan kawasan hutan; sebagai (c) membatasi perkembangan kawasan kawasan cagar terbangun perkotaan; dan (d) membatasi budaya nasional kegiatan pemanfaatan ruang yang mengancam kerusakan situs cagar budaya dan warisan budaya dunia yang belum tergali, struktur geologi, dan bentang pandang. Sementara, strategi perwujudan kebijakan (ii) adalah melalui pengembangan kelembagaan lintas wilayah dan lintas sektoral dalam rangka pelestarian dan pengembangan
kawasan Borobudur. Arahan peraturan zonasi pada kawasan Borobudur dibagi 2 (dua), yaitu: (1) arahan peraturan zonasi untuk pengembangan cagar budaya pada Sub Kawasan Pelestarian 1 (SP-1); dan (2) arahan peraturan zonasi untuk pengembangan cagar budaya pada Sub Kawasan Pelestarian 2 (SP-2). Dasar dari arahan peraturan zonasi ini adalah hirarki tingkatan pelestarian kawasan dan pengendalian bentang pandang. Lebih rinci mengenai arahan peraturan zonasi pada dua Sub Kawasan ini dijelaskan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Arah Peraturan Zonasi Pada SP - 1
Tabel 2 Arah Peraturan Zonasi Pada SP - 2
Pengelolaan Kawasan Borobudur
SP-2 Fungsi: situs sejarah, pertanian, sempadan, permukiman
SP - 2
SP - 1
SP - 2
SP-1 Fungsi: situs cagar budaya, pertanian, permukiman
Rencana Pola Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum
Pengelolaan kawasan Borobudur sebagai kepentingan nasional harus memasilitasi berbagai pemangku kepentingan. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan Borobudur dilaksanakan oleh Menteri Badan Pengelola Urusan Kebudayaan, Gubernur, Bupati, Kawasan bertugas dan Badan Pengelolaan Kawasan sesuai menjamin kewenangannya. Sedangkan operasional pengelolaannya dilakukan oleh Badan pemanfaatan Pengelola Kawasan, dengan tugas ruang sesuai pokok: (i) menjamin pemanfaatan ruang dengan rencana sesuai dengan rencana tata ruang; dan tata ruang dan (ii) menjamin pemanfaatan ruang sesuai arahan peraturan dengan arahan peraturan zonasi. zonasi Seluruh pemangku kepentingan bertanggungjawab dalam: (i) pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang; (ii) pelaksanaan pemantauan kinerja pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat; (iii) pemantauan pelaksanaan pelestarian dan pengelolaan situs cagar budaya dan taman cagar
buletin tata ruang & pertanahan
15
budaya yang secara teknis berada di bawah tanggung jawab menteri yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan; dan (iv) pelaporan kinerja perwujudan rencana tata ruang kepada Presiden secara berkala [gp].
Perpres RTR KSN Rawan Bencana
Kawasan TN Gunung Merapi, Perpres No. 70 Tahun 2014
Pada Juni 2014, RTR Kawasan TN gunung Merapi telah ditetapkan melalui Perpes No. 70 Tahun 2014. Taman Nasional (TN) gunung Merapi seluas ± 6410 hektar ini ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang diprioritaskan penataan ruangnya dalam rangka rehabilitasi kawasan dengan sudut kepentingan lingkungan hidup, melalui Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN. Perpes ini mendesak untuk segera disusun dan ditetapkan sebagai upaya mitigasi bencana yang diwujudkan melalui pemetaan kawasan rawan bencana (KRB); serta untuk mengatur pemanfaatan ruang, termasuk mempersiapkan jalur dan ruang evakuasi bencana. Penataan Ruang Kawasan TN gunung Merapi bertujuan untuk mewujudkan tata ruang kawasan yang berkualitas dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan Masyarakat Kawasan TN gunung Merapi yang berbasis mitigasi bencana. Kebijakan pelestarian lingkungan diwujudkan dengan 6 strategi, yaitu: (1) meningkatkan fungsi konservasi TN gunung Merapi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati beserta habitatnya, serta menjaga keseimbangan tata air, iklim mikro, dan lingkungan alami; (2) meningkatkan konservasi sumber daya air di Kawasan Sekitar TN gunung Merapi; (3) merehabilitasi dan merevitalisasi TN gunung Merapi yang mengalami kerusakan, melalui kegiatan pemulihan hayati dan ekosistemnya; (4) mencegah dan membatasi kegiatan pemanfaatan ruang yang berpotensi mengurangi fungsi lindung di Kawasan TN; (5) mengendalikan dan membatasi intensitas kawasan terbangun; dan (6) mengembangkan kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung fungsi lindung Kawasan TN gunung Merapi melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi alam, keanekaragaman hayati, keunikan vulkanik, serta kearifan lokal dan nilai-nilai warisan sosial budaya.
Sementara, kebijakan pengembangan kawasan berbasis mitigasi bencana diwujudkan melalui 7 strategi, antara lain: (1) meningkatkan fungsi TN gunung Merapi yang berbasis mitigasi bencana; (2) meningkatkan fungsi kawasan lindung dan mengembangkan kawasan budidaya di kawasan TN gunung Merapi berbasis mitigasi bencana; (3) mengembangkan sistem evakuasi bencana yang terintegrasi dengan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana; (4) menyesuaikan pemanfaatan ruang pada KRB Alam Geologi yang terdampak langsung; (5) melakukan pengendalian yang tinggi pada KRB Alam Geologi yang terdapat kantung (enclave) permukiman; (6) meningkatkan peran dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan dan pengembangan sistem evakuasi bencana; dan (7) mengembangkan kelembagaan antarsektor dan antardaerah untuk meningkatkan kerjasama pengelolaan kawasan dan penanggulangan bencana di Kawasan TN gunung Merapi. Rencana pola ruang kawasan TN gunung Merapi ditetapkan Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang terdapat kantung (enclave) permukiman
Rencana Pola Ruang KSN Kawasan Tn Gunung Merapi Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum
untuk meningkatkan perlindungan lingkungan, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan meningkatkan konservasi sumber daya, serta melindungi masyarakat dari risiko bencana alam geologi. Rencana pola ruang ini terdiri atas 4 (empat) zona lindung dan 5 (lima) zona budidaya. Zona lindung, meliputi: (1) Zona L1, Taman Nasional yang berada pada KRB Alam Geologi; (2) Zona L2, KRB yang berdampak langsung; (3) Zona L3, KRB yang berada pada sempadan Sungai; dan (4) Zona L4, KRB yang terdapat kantung (enclave) permukiman. Sedangkan zona budidaya, terdiri atas: (1) Zona B1, kawasan permukiman
Delineasi Wilayah Perencanaan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Delineasi wilayah perencanaan kawasan TN gunung Merapi mencakup 4 kabupaten dan 18 kecamatan, yang terdiri atas kecamatan-kecamatan yang terkena dampak erupsi merapi. Luas wilayah perencanaan tersebut sebesar 78.164 Ha, dengan rincian kecamatan sebagai berikut:
sumber: Kementerian Pekerjaan Umum
16
buletin tata ruang & pertanahan
perkotaan; (2) Zona B2, kawasan permukiman perdesaan; (3) Zona B3, kawasan budidaya holtikultura dan perkebunan; (4) kawasan budidaya tanaman pangan; (5) Zona B5, kawasan hutan rakyat.
... mewujudkan tata ruang kawasan yang berkualitas dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis mitigasi bencana
Rencana struktur ruang kawasan TN gunung Merapi ditetapkan salah satunya untuk pelayanan evakuasi bencana, dengan sistem jaringan prasarana utama berupa sistem evakuasi bencana dan sistem jaringan prasarana lainnya berupa sistem jaringan pemantauan dan peringatan dini bencana
alam geologi. Sistem evakuasi bencana ditetapkan sebagai upaya memindahkan pengungsi dari KRB Alam Geologi ke kawasan aman bencana; memudahkan proses evakuasi pengungsi, dan menjamin keselamatan serta kebutuhan dasar pengungsi selama terjadinya bencana alam geologi. Sistem evakuasi ini terdiri dari TES (Tempat Evakuasi Sementara), TEA (Tempat Evakuasi Akhir), dan jalur evakuasi. Lokasi TES ditetapkan oleh pemerintah kabupaten sesuai kewenangannya. Sedangkan TEA berada pada kec. Sawangan,
Konsep Evakuasi dalam RTR Kawasan TN Gunung Merapi Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Keterangan: TEA
Tempat Evakuasi Akhir
TES
Tempat Evakuasi Sementera
Jalur Evakuasi Bangunan Sabo
kec. Dukun, kec. Srumbung, kec. Muntilan, kec. Mungkid, kec. Salam, dan kec. Ngluwar di kab. Magelang; kec. Tempel, kec. Turi, kec. Pakem, kec. Cangkringan, kec. Ngemplak di kab. Sleman; kec. Karangnongko di kab. Klaten [gp].
Perpres RTR KSN Kawasan Perkotaan
Sarbagita, Perpres No. 45 Tahun 2011 jo Perpres No. 51 Tahun 2014 Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) adalah salah satu kawasan strategis nasional (KSN) dengan sudut kepentingan ekonomi, dengan program utama rehabilitasi/revitalisasi kawasan. Rencana Tata Ruang (RTR) kawasan Sarbagita telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 45 Tahun 2011 sejak Juli 2011. Namun, pada Juni 2014, dilakukan beberapa perubahan melalui penetapan Perpres No. 51 Tahun 2014.
Perubahan Perpres tersebut dilatarbelakangi oleh 2 (dua) hal, yaitu: (1) kebijakan strategis nasional dan dinamika internal di kawasan Perkotaan Sarbagita, khususnya terkait pemanfaatan ruang di kawasan Teluk Benoa mendorong perlunya dilakukan revitalisasi; dan (2) potensi kawasan Teluk Benoa dapat dikembangkan sebagai kawasan yang potensial guna pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama, dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai dan pelestarian ekosistem kawasan sekitarnya, serta keberadaan prasarana dan sarana infrastruktur di kawasan Teluk Benoa. Jika membandingkan kedua Perpres tersebut dapat terlihat bahwa terdapat perubahan deliniasi kawasan serta fungsi dari kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan penambahan zona baru, yaitu zona penyangga (zona P). Untuk kawasan lindung, kecamatan Denpasar digantikan dengan kecamatan Denpasar Selatan sebagai delineasi kawasan konservasi perairan kawasan Sanur, dan kawasan Teluk Benoa berubah fungsi dari kawasan konservasi perairan (kawasan lindung) menjadi zona penyangga (kawasan budidaya). Sebagai contoh, pada pasal 55 ayat 5b berikut, isi pasal diubah menjadi:
“kawasan konservasi perairan di perairan kawasan Sanur di kecamatan Denpasar Selatan, kota Denpasar, sebagian perairan kawasan Serangan di kecamatan Denpasar Selatan, kota Denpasar, (sebelumnya tercantum: ... perairan kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, kota Denpasar dan sebagian di kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung ...), perairan kawasan Nusa Dua di kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung, dan perairan kawasan Kuta di kecamatan Kuta, kabupaten Badung” Pemanfaatan ruang pada Kawasan Perkotaan zona penyangga harus Denpasar, Badung, memperhatikan 3 (tiga) Gianyar, dan Tabanan ketentuan dasar berikut, (Sarbagita) adalah yaitu: (1) kegiatan yang salah satu kawasan diperbolehkan, berupa strategis nasional kegiatan perlindungan (KSN) dan pelestarian fungsi Taman Hutan Raya dan ekosistem bakau, kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama; dan (2) kegiatan yang diperbolehkan bersyarat berupa kegiatan selain kegiatan yang diperbolehkan yang tidak mengganggu fungsi Zona P; sedangkan (3) kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan untuk tempat pembuangan limbah dan kegiatan yang mengganggu fungsi Zona kawasan Teluk P. Pada gambar dapat dilihat lokasi Benoa berubah zona penyangga. fungsi dari Kegiatan yang diperbolehkan dan kawasan konservasi diperbolehkan bersyarat pada zona perairan (kawasan peyangga dapat dilakukan melalui kegiatan revitalisasi termasuk lindung) menjadi penyelenggaraan reklamasi paling zona penyangga luas 700 (tujuh ratus) hektar dari (kawasan budidaya) kawasan Teluk Benoa. Ketentuan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan reklamasi, meliputi: 1) penyediaan ruang terbuka hijau paling kurang 40 persen dari total luasan pulau hasil reklamasi; 2) penerapan ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang meliputi ketentuan KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Lantai Bangunan), KDH (Koefisien Daerah Hijau), KTB (Koefisien Tinggi Bangunan), ketinggian bangunan, dan GSB (Garis Sempadan Bangunan) terhadap jalan
buletin tata ruang & pertanahan
17
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; 3) pengembangan sentra I ekonomi berbasis lingkungan dan budaya Kawasan Perkotaan di Sekitarnya Bali; 4) pengaturan tata letak, bentuk, Ds Ds 1: Mangupura Ds 2: Jimbaran dan luasan, ditentukan berdasarkan Ds 3: Gianyar Ds 4: Ubud hasil kajian kelayakan lingkungan; 5) Ds 5: Sukawati Ds 6: Tabanan aksesibilitas di dalam kawasan teluk, Rencana Jalan Bebas Hambatan termasuk ketersediaan alur pelayaran dan Jalan Arteri Primer alur aliran air antar pulau hasil reklamasi Bandar Udara dengan memperhatikan karakteristik Pelabuhan lingkungan, kedalaman paling kurang 2 (dua) meter dari titik surut terendah; 6) perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk kegiatan reklamasi dalam Zona P dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Guna mendukung pengembangan dan fungsi, dalam Zona P juga dapat dikembangkan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana meliputi: jaringan transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan prasarana perkotaan di kawasan Perkotaan Sarbagita [gp].
Keterangan: UBUD Fungsi: Pariwisata, Pertanian GIANYAR Fungsi: perumahan, perdagangan jasa nasional, pertanian, pariwisata
TABANAN Fungsi: perumahan, perdagangan jasa nasional, pertanian, pariwisata
MANGAPURA Fungsi: pariwisata, pertanian, perdagangan jasa nasional, pertanian, pariwisata
JIMBARAN Fungsi: perumahan, pertanian, pariwisata, perlindungan setempat, suaka dan pelestarian alam, dan cagar budaya
Kawasan Perkotaan Inti Perkotaan Denpasar dan Kuta
SUKAWATI Fungsi: pertanian, pariwisata, sosial budaya
DENPASAR, KUTA Fungsi: perumahan, perdagangan jasa internasional, transportasi, industri pariwisata
Zona P
Rencana Struktur Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum
Program Operasi Daerah Agraria (PRODA): Target Sertipikasi Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015 sebanyak 921 Bidang Tanah Sesuai dengan Surat Gubernur Kalimantan Timur No. 591/7746/B. PA-BAPP/2013 tanggal 27 Agustus 2013 perihal Pengalokasian Dana Pra Sertipikasi Lahan Pertanian Tahun 2014, maka perlu adanya penetapan besaran target kegiatan sertipikasi tanah untuk Tahun 2015. “Hasil dari penetapan besaran target kegiatan sertipikasi tanah untuk PRODA Kalimantan Timur, akan disampaikan kepada BPN Pusat agar disiapkan di Tahun 2015,” ungkap Uke Muhammad Husein, Kepala Sub Direktorat Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas, pada kegiatan koordinasi dan pemantauan PRODA Provinsi Kalimantan Timur di Balikpapan, Kamis, (23/10). PRODA merupakan program bantuan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk masyarakat di wilayahnya yang memiliki lahan pertanian tetapi belum memiliki sertifikat tanah. Koordinasi pemantauan PRODA di Provinsi Kalimantan Timur bertujuan untuk menetapkan besaran target kegiatan sertipikasi tanah melalui mekanisme PRODA di Provinsi Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2015. Target sertipikasi tanah yang akan dilakukan melalui mekanisme PRODA di provinsi Kalimantan Timur pada Tahun 2015 sebesar 921 bidang dengan rincian: kabupaten Kutai Timur (48 bidang); kabupaten Kutai Barat (149 bidang); kabupaten Kutai Kartanegara (213 bidang); kabupaten Paser (100 bidang); kabupaten Berau (200 bidang); dan kabupaten Penajam Paser Utara (211 bidang).
Rapat koordinasi dan pemantauan PRODA Prov. Kalimantan Timur
18
buletin tata ruang & pertanahan
Pada rapat koordinasi tersebut, perwakilan bappeda di kabupaten/ kota mengusulkan agar disusunnya Petunjuk Teknis (Juknis) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan sertipikasi adalah untuk kawasan lahan pertanian dan tidak berdasarkan subyek (penerima). Hal ini dimaksudkan agar sertipikasi yang dilakukan lebih objektif dan tidak terjadi tumpang tindih antara kawasan lainnya. Peninjauan Lapangan Kabupaten Penajam Paser Utara, tepatnya di kecamatan Babulu merupakan lokasi yang dikunjungi oleh tim Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas. Berdasarkan hasil inventarisasi, target lahan yang siap untuk disertipikasi pada kecamatan Babulu sebanyak 1200 bidang dan yang sudah disertipikatkan sebanyak 350 bidang tanah (melalui program PRONA sebanyak 250 bidang dan melalui APBD sebanyak 100 bidang). Pada Tahun 2014, akan dilakukan sertipikasi sebanyak 450 bidang dengan pembiayaan 150 bidang melalui APBD, 150 bidang melalui dan APBN, dan 200 bidang melalui bantuan keuangan pemerintah provinsi Kalimantan Timur. Salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah biaya BPHTB karena untuk 100 persil di tahun 2012 maupun 200 persil di tahun 2013 yang telah selesai menjadi sertipikat belum dapat diambil karena sebagian besar masyarakat tidak dapat membayar biaya BPHTB [rz/ay].
kliping berita Juli - Desember 2014
D
i awal Juli 2014, kota menjadi perbincangan yang serius sehingga KOMPAS menerbitkan edisi khusus yang membahas mengenai berbagai kota di Indonesia, dari kota wisata, kota kuliner, kota perbatasan, kota animasi hingga kota-kota yang kehilangan pamornya sebagai kota wisata. Lebih lanjut, sesuai dengan visi misi Presiden terpilih, Jokowi-JK, masalah agraria masuk dalam salah satu agenda strategis. Janji Jokowi-JK membagikan tanah seluas 9 juta hektar dan meningkatkan kepemilikan lahan petani gurem hendaknya diletakkan dalam kerangka program reforma agraria. Jokowi-JK juga hendaknya mengoordinasikan kementerian terkait, menyelesaikan konflik agraria, serta melaksanakan penataan pemilikan dan penguasaan tanah, termasuk 9 juta hektar yang dijanjikan. Berikut beberapa ringkasan berita seputar tata ruang dan pertanahan. JULI Menurut data Kemenpera, berdasarkan sensus tahun 2010, kekurangan rumah rakyat (backlog) di Indonesia mencapai 13,6 juta unit. Perlu sedikitnya 20 tahun untuk memenuhi backlog tersebut. Itu pun di luar peningkatan kebutuhan rumah setiap tahun setelah tahun 2010. Ketidakhadiran negara mengakibatkan maraknya komunitas berpagar yang menempatkan pengembang sebagai pemegang kekuasaan yang nyaris absolut. Proses dinamika sosial di komunitas berpagar sehingga mereka kembali ke komunitas yang inklusif memakan waktu lama. Di sisi lain, dampak sosial akibat keberadaan komunitas-komunitas berpagar ini telah berdampak luas. Kota menjadi terkotak-kotak. Pertumbuhan ekonomi terpusat pada kelas menengah ke atas, sementara kelas bawah tetap sulit mengakses semua fasilitas yang ada. (Kompas, 30 Juni 2014) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pekalongan, Jawa Tengah, menargetkan pembuatan sertifikat 500 bidang tanah melalui proyek operasi nasional agraria 2015. Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan BPN Kota Pekalongan, Sanyoto di Pekalongan, Selasa, mengatakan bahwa ratusan bidang tanah program prona tersebut tersebar pada 47 kelurahan di empat kecamatan. Menurutnya, BPN menargetkan program legalisasi aset lintas sektor yang mencapai 200 bidang sertifikasi tanah selesai pada 2015. Pada kesempatan itu, ia mengatakan pada 2014 BPN siap membagikan sebanyak 275 sertifikat program nasional atau prona pada 11 kelurahan. (Antara Jateng, 01 Juli 2014) AGUSTUS Penyediaan bank tanah oleh pemerintah untuk perumahan rakyat tidak bermanfaat dalam mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah rakyat. Pengembang berperan menyediakan rumah rakyat sepanjang pemerintah memberi kemudahan izin dan dukungan regulasi. Kekurangan rumah di seluruh Indonesia saat ini menembus 15 juta unit. Setiap tahun kebutuhan rumah bertambah 800.000 unit, sedangkan pasokan rumah baru dari pengembang rata-rata 200.000 unit per tahun. Harga rumah yang terus meningkat kian sulit dijangkau masyarakat, khususnya di perkotaan. (Kompas, 18 Agustus 2014) Berbagai peraturan tentang tata ruang di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, perlu disinkronkan untuk memperlancar pembentukan Taman Bumi Kaldera Toba. Ini penting agar tata ruang di kawasan itu tidak tumpang tindih, apalagi baru keluar Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Danau Toba. (Kompas, 21 Agustus 2014) Pulau Kiluan di kabupaten Tanggamus, Lampung, ditawarkan dijual secara daring di situs www.privateislandsonline.com. Obyek
wisata alam yang terkenal dengan habitat lumba-lumba tersebut ditawarkan dengan harga 300.000 dollar AS atau sekitar Rp 3,51 miliar. Pulau seluas 50 hektar itu, akan dijual atau disewakan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang hingga 70 tahun. Dalam iklan itu, terdapat juga peringatan aturan hukum mengenai kepemilikan pulau di Indonesia. Pulau Kumbang di Sumatera Barat juga dijual dengan harga yang lebih mahal, yaitu 1.880.000 dollar AS (sekitar Rp 22 miliar). (Kompas, 26 Agustus 2014) SEPTEMBER Warga di sekitar kawasan pegunungan Kendeng Utara, kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terus berjuang menolak pendirian pabrik semen di kawasan tersebut. Senin (1/9), perwakilan warga bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas surat keputusan Gubernur Jateng Nomor 668.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Pendirian Pabrik Semen. Peraturan yang dilanggar antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, Keputusan Presiden No 26/2001 tentang Penetapan Kawasan Cekungan Air Tanah, Peraturan Daerah Provinsi Jateng No 6/2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), juga Perda Kabupaten Rembang No 14/2011 tentang RTRW. (Kompas, 02 September 2014) Melalui serangkaian perundingan Delimitasi Batas Maritim sejak 2005, Indonesia dan Singapura akhirnya menyepakati batas wilayah laut pada segmen sepanjang 5,1 mil laut atau 9,4 kilometer. Wilayah perairan itu di perbatasan Batam, Kepulauan Riau, dan Bandar Udara Changi. Sejauh ini Indonesia telah menetapkan enam titik pangkal di barat hingga timur Pulau Batam. Dari sisi Singapura, titik pangkal itu di Sultan Shoul hingga timur Singapura atau barat Changi. Titik-titik ini jelas tak terpengaruh perluasan Singapura karena reklamasi. Selain perjanjian perbatasan dengan Singapura, menurut Kepala BIG Asep Karsidi, tercapai kesepakatan batas wilayah laut dengan Filipina, Mei 2014. Kesepakatan batas wilayah maritim dengan Filipina di utara Indonesia lebih dari 6.000 kilometer. (Kompas, 09 September 2014) Pembahasan RUU Kelautan memasuki tahap lanjutan berupa pembicaraan tingkat I oleh Panitia Kerja DPR. Namun, penyelesaian RUU Kelautan itu dikhawatirkan tidak menjawab fungsi koordinasi lintas kementerian. Penyusunan RUU Kelautan ini dinilai mencetak sejarah karena untuk pertama kalinya diusulkan DPD dengan melibatkan pembahasan tripartit antara pemerintah, DPR, dan DPD. UU Kelautan memayungi 21 undang-undang terkait kelautan, serta mengoordinasi 17 kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan. (Kompas, 15 September 2014)
buletin tata ruang & pertanahan
19
OKTOBER Koalisi Peduli Hutan Aceh dan sejumlah organisasi lingkungan di Aceh menyiapkan materi keberatan atas Peraturan Daerah atau Qanun Nomor 19 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Perda itu dinilai mengesampingkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser yang diakui berbagai perundangan. Perda RTRW Aceh tak menyebut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang diamanatkan sebagai kawasan strategis nasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Penyebutan KEL tercantum pada Lampiran X PP No 26/2008. (Kompas, 02 Oktober 2014) Tanggul laut raksasa akan mulai dibangun Kamis (9/10) besok. Pengerjaan ini diawali dengan membangun tanggul tipe A sepanjang 32 kilometer dari barat hingga timur pesisir utara Jakarta. Proyek tanggul ini ditargetkan rampung dalam waktu tiga tahun. Tanggul tipe A bagian dari megaproyek tanggul laut raksasa yang disebut juga sebagai proyek Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). NCICD tipe A merupakan bagian dari proyek NCICD yang mencakup peninggian dan penguatan tanggul laut di pantai utara sepanjang 32 kilometer dan pemasangan stasiun pompa. Pemprov DKI Jakarta mendapat bagian membangun 8 kilometer. Alokasi dana yang disiapkan sebanyak Rp 1,6 triliun dari dana APBD 2015. (Kompas, 08 Oktober 2014). Sejumlah pihak mempertanyakan keberadaan dokumen lingkungan proyek pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta. Penanggung jawab proyek diminta membuka kepada publik untuk diuji dampaknya oleh masyarakat. Pembangunan tanggul bagian dari Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara (NCICD) masih menyisakan banyak pertanyaan. Contohnya, kondisi subduksi atau penurunan muka tanah di utara Jakarta serta pengaruh perubahan iklim atas kenaikan muka air laut. Ahli kelautan Institut Teknologi Bandung, Muslim Muin, menilai megaproyek tersebut lebih pada keputusan politis, bukan teknis. ”Secara teknis proyek ini tidak masuk akal. Padahal, biayanya sangat besar, termasuk operasional yang harus ditanggung negara setiap tahunnya. Belum lagi bicara dampak,” katanya. (Kompas, 11 Oktober 2014). NOVEMBER Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan mulai awal November layanan pertanahan akan tetap buka pada akhir pekan. Ferry menjelaskan, petugas BPN yang mendapat tugas melayani masyarakat pada akhir pekan, dapat mengganti liburnya pada Senin-Jumat. “Ini salah satu langkah untuk meningkatkan pelayanan pertanahan. Pelayanan ini akan terus ditingkatkan,” jelas dia. Ferry mengharapkan melalui layanan itu, bisa memudahkan masyarakat di perkotaan mengurus surat-
Gambar 1. Ilustrasi tanggul laut jakarta (www.print.kompas.com)
20
buletin tata ruang & pertanahan
surat pertanahan. Masyarakat di perkotaan biasanya tidak sempat mengurus surat-surat pada hari kerja. (Merdeka.com, 02 November 2014) Setelah 69 tahun pembangunan di negeri ini lebih berorientasi ke daratan, Presiden Joko Widodo mengajak rakyat kembali melihat lautan yang mendominasi 73 persen wilayah Indonesia. Pada pidato perdana seusai dilantik, Presiden menyebutkan bahwa salah satu cita-cita negara yang hendak diwujudkannya adalah ”menjadikannya sebagai poros maritim dunia, lokus dari peradaban besar politik masa depan”. Pulau-pulau terdepan Nusantara yang pernah menjadi pintu gerbang pelayaran pada masa lalu kini identik dengan pulau-pulau terpencil. Ditinggalkan. Bandar-bandar besar yang lampau populer, perlahan kehilangan cahayanya. Berabadabad silam, nama Barus, Singkil, Banda Neira, Ternate, Tidore, Banten, Jepara, Tuban, dan Gresik dikenal sebagai bandar utama, yang kini menghilang dari peta pelayaran samudra. (Kompas, 08 November 2014)
Gambar 2. Poros Maritim (sumber: www.sinarharapan.co.id.)
DESEMBER Ekspedisi Lengguru 2014 menemukan 1.400 spesimen yang menunjukkan alam Papua Barat menyimpan kekayaan hayati sangat tinggi. Di tengah potensi itu, ekosistem Lengguru terancam alih fungsi lahan untuk tambang dan perkebunan monokultur. Lengguru di Kaimana, Papua Barat, merupakan formasi masif karst terbesar dan kompleks di Pulau Niugini. Daerah yang terbentuk dari tumbukan lempeng tektonik Australia dan Pasifik itu membentuk kehidupan khas. (Kompas, 02 Desember 2014) Sebanyak 65 masyarakat suku Anak Dalam asal Jambi mendatangi Jakarta dengan berjalan kaki. Aksi itu untuk menuntut pengembalian lahan hutan seluas 3.550 hektar milik mereka di Kabupaten Batanghari, Jambi. Sejak 1986, lahan hutan tersebut telah menjadi rebutan antara masyarakat adat dan perusahaan kelapa sawit asing, PT Asiatic Persada. Perusahaan tersebut dianggap telah merampas hak lahan masyarakat adat dengan menjadikan lahan masyarakat bagian dari perkebunan sawit. Padahal, di lahan itu masyarakat tidak hanya tinggal, tetapi juga bercocok tanam. (Kompas, 03 Desember 2014) [ay] Untuk membaca lebih lengkap seluruh berita-berita tersebut, silakan mengunjungi website kami di www.tataruangpertanahan. com dan bergabung di milis Tata Ruang dan Pertanahan http://groups.google.com/group/tata-ruang-dan-pertanahan.
Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2014 “Penataan Ruang yang Partisipatif dan Berkeadilan”
P
eringatan Hari Tata Ruang Nasional yang jatuh pada 8 November secara rutin diperingati sejak tahun 2008. Presiden menetapkan 8 November sebagai Hari Tata Ruang Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2013 tentang Hari Tata Ruang Nasional. Aspek penataan ruang di Indonesia telah memiliki piranti regulasi yang memadai dengan adanya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Melalui undang - undang tersebut, pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan ruang di Indonesia sesuai dengan kapasitas dan daya dukungnya. Peringatan hari tata ruang ini menunjukan wujud komitmen negara untuk secara terus menerus meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat di bidang penataan ruang. Hingga 2014, peringatan Hari Tata Ruang Nasional telah diselenggarakan sebanyak 7 (tujuh) kali. Tema yang diusung setiap tahunnya berbeda – beda yang pada intinya ingin menunjukkan isu - isu penataan ruang yang sedang hangat pada masa itu. Peringatan Hari Tata Ruang kembali digelar pada tanggal 9 November 2014 di Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Tema yang diusung adalah “Penataan Ruang yang Partisipatif dan Berkeadilan”. Yang dimaksudkan agar masyarakat lebih terlibat dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian pemanfaatan ruang. Deklarasi Pelopor Penataan Ruang pada kegiatan Puncak Peringatan Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2014 di TMII, Jakarta (9/11). Sumber: Dokumentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan.
Daftar Tema Hari Tata Ruang 2008 - 2013
Talkshow Penataan Ruang di RRI Pro 3 FM bersama Ir. Oswar Mungkasa (kiri) dan Dedy Permadi (kanan). Sumber: Dokumentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan.
tahukah anda
Peringatan Puncak Hari Tata Ruang kembali digelar pada tanggal 9 November 2014 di Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada kesempatan tersebut, dilaksanakan Deklarasi Pelopor Penataan Ruang yang dibacakan oleh Pelopor Tata Ruang dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Muatan Deklarasi Pelopor yang dibacakan meliputi (i) Pelopor bersama-sama Pemerintah ikut serta menyelenggarakan penataan ruang untuk mewujudkan tata ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan; (ii) Pelopor turut berperan aktif melakukan kegiatan yang cerdas, inovatif dan kreatif untuk meningkatkan kualitas tata ruang pada lingkungannya; (iii) Pelopor turut menyebarluaskan penataan ruang kepada generasi muda lainnya agar bersama – sama menata ruang untuk semuanya; dan (iv) Pelopor mendukung program penataan ruang
yang partisipatif dan berkeadilan untuk harmonisasi ruang wilayah nusantara untuk kehidupan yang lebih baik. Rangkaian peringatan hari Tata Ruang berupa public lecture Urban Heritage Conservation, temu kader Pelopor Tata Ruang Indonesia, malam apresiasi Kota Hijau, festival Kota Hijau di beberapa daerah dan talkshow mengenai Penataan Ruang yang Partisipatif dan Berkeadilan di RRI Pro3 FM. [oc/ay]
Pemberian Penghargaan kepada Juara Lomba Komik yang diserahkan oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, ir. Oswar Mungkasa, MURP, pada kegiatan Puncak Peringatan Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2014 di TMII, Jakarta (9/11). Sumber: Dokumentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan.
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Penetapan LP2B pada wilayah kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), dan menjadi dasar peraturan zonasi untuk pengendalian ruang wilayah kota. Sumber: : UU 41/2009 tentang Perlidungan LP2B,
buletin tata ruang & pertanahan
21
RAPAT KERJA REGIONAL BKPRN: Penyelarasan Kebijakan Penataan Ruang Nasional dan Daerah
P
enyelarasan kebijakan penataan ruang nasional dan daerah menjadi isu penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. Dalam pelaksanaannya, banyak hal yang menjadi perhatian diantaranya kapasitas kelembagaan dan penyelesaian konflik di daerah. Hal ini disampaikan pada Rapat Kerja (Raker) Regional I dan II Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional pada 23 Juni 2014 di Bandung, dan 4 September 2014 di Surabaya. Rapat kerja yang diselenggarakan bertujuan untuk memantau kemajuan pelaksanaan agenda kerja BKPRN dan menghimpun masukan untuk perumusan isu-isu strategis penyelenggaraan penataan ruang yang perlu ditindaklanjuti dalam Rakernas BKPRN tahun 2015. Pembahasan isu strategis didasarkan pada kesepakatan forum BKPRN pada Rakernas BKPRN 2013 dan Rakornas BKPRD 2014, serta usulan lainnya sehingga BKPRN dapat mendetailkan langkah tindak lanjut yang dibutuhkan terkait beberapa isu tersebut. Rapat Kerja Regional I BKPRN diikuti oleh perwakilan pemerintah daerah untuk wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali. Rapat dibuka oleh Dirjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, DR. Muh. Marwan, M.Si, dan dalam pelaksanaannya menghadirkan tiga narasumber, yaitu Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Ir. Imron Bulkin, MRP; Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Edi Sugiharto, SH, M.Si; dan Direktur Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Dr. Dadang Rukmana. Sementara, Rapat Kerja Regional II BPKRN yang diselenggarakan di Surabaya diikuti oleh perwakilan pemerintah daerah untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada rapat kerja tersebut, Menteri Dalam Negeri, Dr. Gamawan Fauzi, berkesempatan membuka acara. Dalam pembukaannya, beliau menyampaikan bahwa 4 hal utama dalam bidang tata ruang yang harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah adalah
Menteri Dalam Negeri KIB II, Gamawan Fauzi, memberikan sambutan pada Rapat Kerja Regional BKPRN di Surabaya. Sumber: Dokumentasi Dit. TRP
22
buletin tata ruang & pertanahan
Ir. Budi Situmorang (kiri) memandu sidang pleno pada Rapat Kerja Regional BKPRN didampingi Imron Bulkin, Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah sebagai narasumber (tengah). Sumber: dokumentasi Dit. TRP
penyelesaian Perda (peraturan daerah) tentang penataan ruang daerah, integrasi dokumen RTR ke dalam RPJPD dan RPJMD, optimalisasi peran BKPRD, dan penegakan aturan zonasi. Dalam pertemuan tersebut, isu yang mengemuka adalah: (i) pengintegrasian dokumen rencana tata ruang dengan rencana pembangunan; (ii) penyelesaian konflik penataan ruang; dan (iii) optimalisasi pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam pembahasan pengintegrasian dokumen RTR dengan rencana pembangunan, terdapat usulan untuk menyusun Permen (peraturan menteri) tentang pedoman integrasi RPJPD dan RPJMD dengan RTRW. Namun demikian, dalam perintegrasiannya perlu kajian mendalam karena RPJPD dan RPJMD bersifat tidak keruangan (non-spatial), sementara RTRW bersifat keruangan (spasial). Integrasi RPJPD dan RPJMD dengan RTRW ini juga terkendala periode masa berlaku keduanya yang berbeda. Pada kesempatan itu pula, untuk penyelenggaraan penataan ruang 2015 – 2019, BIG menyampaikan rencana menyiapkan kerangka prioritas penyediaan peta 5 (lima) tahun ke depan. Untuk itu, diperlukan data dari Kementerian Pekerjaan Umum mengenai prioritas penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang yang membutuhkan peta skala 1:5.000 pada kurun waktu 2015-2019. Selain itu, disampaikan pula bahwa dalam keputusan pemekaran wilayah, khususnya yang berlokasi pada kawasan perbatasan negara, seharusnya mempersiapkan dan memiliki peta yang akurat. Dengan adanya PP No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, daerah dapat menyusun peta RTR dan mengkonsultasikan hasilnya kepada BIG [ay/cr].
Suasana pada pembukaan Rapat Regional II BKPRN di Surabaya. Sumber: Dokumentasi Dit. TRP
Status Penetapan Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR)
R
encana Rinci Tata Ruang (RRTR) merupakan perangkat operasional dari rencana umum tata ruang. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) terdiri atas: (i) RTR pulau/kepulauan dan RTR kawasan strategis nasional (KSN); (ii) RTR kawasan strategis provinsi (KSP); dan (iii) rencana detail tata ruang (RDTR) kab/kota dan RTR kawasan strategis kabupaten/ kota (KSK). RRTR disusun apabila rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala petanya memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
Status Proses Penetapan RTR KSN
RTR pulau/kepulauan dan RTR KSN ditetapkan dengan peraturan presiden. Sementara RTR kawasan strategis provinsi (KSP) dan RDTR kab/kota dan RTR kawasan strategi kabupaten/kota (KSK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Hingga November 2014, seluruh RTR pulau/kepulauan, dan 8 dari 76 RTR KSN telah ditetapkan. Untuk RDTR di tingkat provinsi, hanya RDTR Provinsi DKI Jakarta yang telah ditetapkan melalui Perda No. 1 Tahun 2014 dari total 73 pengajuan RDTR, dan di tingkat kabupaten, RDTR Kecamatan Kota Sumenep (Perda No. 3 Tahun 2014) dan RDTR Perkotaan Waibakul (Perda No. 8 Tahun 2013) yang telah ditetapkan dari total 1145 pengajuan RDTR. RTR Pulau/Kepulauan
Daftar RTR Pulau/Kepulauan
RTR Kawasan Strategis Nasional
Keterangan: A
Perpres RTR Kawasan Strategis Nasional
Penetapan Materi Teknis
B
Proses Kesepakatan di Tingkat Eselon II BKPRN
C
Proses Kesepakatan di Tingkat Eselon I BKPRN
D
Proses Harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM
E
Disampaikan ke Sekretaris Kabinet
buletin tata ruang & pertanahan
23
Hari Habitat Dunia Tahun 2014: Voice from Slums
S
enin pertama di bulan Oktober, ditetapkan PBB sebagai Hari Habitat Dunia. Pada Tahun 2014, peringatan Hari Habitat mengambil tema Suara dari Pemukiman Kumuh. Tema tersebut diambil sebagai sebuah upaya untuk menyoroti kehidupan di daerah kumuh melalui suara masyarakat miskin perkotaan, serta untuk mengangkat pengalaman dan ide-ide mereka mengenai cara untuk meningkatkan kondisi hidup mereka. Disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, dalam pembukaan peringatan Hari Habitat, “Hari Habitat Dunia merupakan momentum untuk membahas kondisi terkini permukiman dunia dan memberikan penghargaan atas hunian layak bagi warga, serta mengingatkan para pemangku kepentingan akan tanggung jawab bersama atas kehidupan hunian yang lebih baik”. Pada kesempatan itu pula, Djoko Kirmanto menyerahkan Buku Laporan Nasional Untuk Agenda Habitat III yang disusun dalam rangka penyiapan
www.tataruangpertanahan.com
Djoko Kirmanto membuka Pertemuan Forum Habitat 2014. Sumber: Dokumentasi Dit. TRP
24
buletin tata ruang & pertanahan
Konferensi Habitat III tahun 2016, kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai rangkaian agenda Hari Habitat Dunia Tahun 2014, pada 2 Oktober 2014 diselenggarakan pertemuan Forum Habitat 2014 yang berlokasi di Hotel Borobudur – Jakarta. Acara ini bertujuan untuk mempertemukan seluruh pemangku kepentingan dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran mengenai kondisi lingkungan perkotaan, terutama di kawasan kumuh, serta berbagi pengalaman dalam penanganan kawasan kumuh perkotaan baik nasional maupun internasional, seperti India, Filipina, dan Korea Selatan. Menuju 100-0-100 Pertemuan Forum Habitat 2014 mengambil tema “Challenges and Lessons in Indonesia,” dengan mengusung konsep menuju 100-0100, yang artinya dengan target capaian berupa 100 persen akses air minum yang layak, 0 persen kawasan kumuh dan 100 persen akses sanitasi hingga Tahun 2019. Untuk mendukung program menuju 100-0-100, telah dilaksanakan beberapa kegiatan seperti: perbaikan bantaran sungai; peningkatan layanan sanitasi, persampahan, layanan air bersih dan IPAL komunal; pembangunan jalan, jembatan, gorong-gorong, dan bank sampah. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong dengan didampingi fasilitator, salah satunya melalui pembentukan komunitas warga peduli sungai. Di samping itu, dilaksanakan pula program bedah warung; pengembangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kredit Mikro bagi masyarakat yang mempunyai usaha; serta pengembangan wisata air dan transportasi air sebagai salah satu aktivitas warga. Program ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat ekonomi warga miskin [ay].
Ringkas Buku
Mendengarkan Kota:
Studi Perbandingan Kota dan Komunitas Miskin antara Jakarta – Bangkok Penulis: Tim Peneliti Institute for Ecosoc Rights
B
uku ini disusun berdasarkan kajian dan penelitian tentang partisipasi publik dalam pengelolaan ruang kota dan hak masyarakat miskin atas kota yang dilakukan Institute for Ecosos Rights sepanjang bulan Oktober 2006 sampai Mei 2007. Bangkok dipilih sebagai pembanding dengan pertimbangan bahwa dalam banyak hal Bangkok menghadapi masalah serupa dengan Jakarta. Namun dalam banyak hal pula Bangkok telah mengalami kemajuan, khususnya dalam mengatasi masalah komunitas miskinnya. Beberapa perbedaan signifikan, kota Bangkok memiliki banyak ruang publik yang memungkinkan persinggungan antarkelompok sosial ekonomi masyarakat yang berbeda, diperhitungkannya ruang bagi keberadaan masyarakat miskin kota, dan tersedianya ruang yang memungkinkan terjadinya negosiasi dalam mengelola dan memanfaatkan ruang kota. Banyak hal menarik dalam buku ini yang dapat disadur khususnya berupa pembelajaran dari kota Bangkok. Pemerintah kota Bangkok merumuskan rencana pembangunan kota yang terbuka terhadap terobosan pendekatan, tidak legalistik, dan mengedepankan negosiasi dengan membangun jaringan, baik antarwarga miskin kota, antarkomunitas, dan antara komunitas dengan organisasi pembangunan lainnya. Adanya pengakuan hak komunitas miskin sebagai aktor yang memiliki andil besar bagi pengembangan kota didukung dengan penyediaan tunjangan sosial yang memadai dan fasilitasi untuk berkembangnya kualitas hidup masyarakat sesuai kebutuhan dasar, khususnya untuk masyarakat miskin. Komunitas miskin yang telah mengorganisir diri dan mendaftarkan komunitasnya pada pihak pemerintah kota Bangkok akan memperoleh status sebagai komunitas formal. Dengan status formal ini, komunitas akan mendapat fasilitas dalam bentuk dana bantuan bagi pengembangan komunitas. Selain itu, di kota Bangkok, komunitas miskin mendapat dukungan luas dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi dan kelompok profesi. Dalam menangani persoalan komunitas miskin di Thailand, dibentuk Community Organizations and Development Institute (CODI) yang berada dibawah the Ministry of Social Development and Human Security. CODI beranggotakan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah, LSM dan pemimpin lokal komunitas miskin. Statusnya sebagai organisasi publik adalah memberikan keleluasaan yang lebih besar untuk kolaborasi antara berbagai komunitas dalam mencari bentuk pembiayaan informal yang cocok bagi warga miskin kota. Fokusnya bukan hanya mengatasi masalah kemiskinan tetapi juga bagaimana membuat komunitas miskin bisa menjadi subyek dalam pembangunan sesuai dengan aspirasi mereka melalui berbagai pendekatan berbasis komunitas yang disesuaikan dengan konteks masalahnya. CODI membantu masyarakat dengan memasilitasi mereka untuk mengidentifikasi sendiri permasalahan mereka dan meningkatkan batas kemampuan komunitas dalam memperbaiki kondisi hidup mereka. Salah satu contohnya adalah kegiatan simpan pinjam berbasis komunitas. Melalui kegiatan simpan pinjam, komunitas secara bertahap bisa belajar untuk meningkatkan kapasitas manajerial, kepercayaan diri dan proses pengembangan diri secara menyeluruh yang akan memperkuat komunitas dalam bekerja sama. Contoh lainnya adalah program perbaikan permukiman kumuh melalui Baan Mankong (Rumah Aman), dengan harapan bahwa warga miskin kota dapat berpikir dan mengorganisir diri dalam melakukan sesuatu untuk mereka sendiri. Sebagai subyek pembangunan, komunitas miskin merancang sendiri rencana dan
melaksanakan pembangunan perumahan dan lingkungan secara kolektif dan partisipatif, dan peran pemerintah adalah memasilitasi dengan subsidi dan pinjaman lunak. Fasilitasi diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin untuk mengelola secara kolektif kebutuhan mereka melalui bantuan pinjaman lunak untuk perbaikan atau pembangunan rumah, bantuan dalam bentuk hibah dana untuk pembangunan infrastruktur (air, listrik, sanitasi, jalan, sarana kesehatan), dan dana hibah bagi pengembangan organisasi termasuk pengembangan koperasi simpan pinjam. Pemahaman masyarakat miskin tentang kebutuhan akan permukiman dan lingkungan yang baik dan aman tercermin dengan adanya ruang publik seperti balai pertemuan, lahan kosong untuk acara bersama, tempat bermain anak dalam pemukiman miskin yang padat, dan tersedianya alat pemadam kebakaran hampir di setiap rumah. Cara lain yang dilakukan oleh pemerintah kota Bangkok sebagai salah satu solusi dalam mengatasi kaum miskin yang tinggal di suatu lahan secara ilegal (daerah kumuh) adalah melalui sistem land sharing agar kaum miskin dapat memperoleh akses atas ruang kota. Dalam land sharing, pemilik lahan yang resmi membagi lahan di daerah kumuh menjadi dua bagian. Sebagian dimanfaatkan pemilik lahan untuk peruntukan komersial dan sebagian lainnya disewakan pada kelompok miskin penghuni daerah kumuh tersebut. Melalui sistem ini, kaum miskin kota akan menempati lahan secara sah dan tidak terancam penggusuran, sementara pemilik lahan juga tidak akan berkonfrontasi dengan para kaum miskin yang menghuni sebelumnya. Sistem ini kemudian disertai dengan proyek perbaikan permukiman yang difasilitasi oleh National Housing Authority untuk mengformalkannya sehingga kaum miskin dapat tinggal di lahan tersebut dalam jangka waktu relatif panjang. Dari segi masyarakat, penduduk kota Bangkok memiliki budaya yang berpengaruh terhadap cara mereka mempersepsikan ruang kota. Adanya kecenderungan untuk mensucikan ruang mengindikasikan tingginya perhargaan terhadap ruang. Gambaran tentang suatu tempat berasal dari makna dan pentingnya aktivitas yang ada di dalamnya dan bukan sekedar gambaran fisik atau nama-nama jalan. Hampir semua persimpangan jalan di kota Bangkok memiliki nama yang mengacu pada komunitas komunitas sekitarnya dan memberi makna pada tempat itu. Banyak tempat di kota Bangkok yang memiliki dua nama, satu diberikan pemerintah atau raja dan satunya lagi diberikan komunitas setempat yang terkait dengan kehidupan keseharian komunitas dan lokalitas dari tempat tersebut.
buletin tata ruang & pertanahan
25
26
buletin tata ruang & pertanahan