BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dataran tinggi Dieng merupakan salah satu dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah yang sebagian besar lahan-lahan di sana dikelola untuk lahan-lahan pertanian. Masyarakat setempat mengusahakan kentang sebagai komoditas utama, dan tanaman hortikultura lain seperti: kubis, wortel, kacang dieng, dan daun bawang. Di samping itu, mereka juga mulai mengusahakan tanaman buah berupa carica dan
terong
belanda. Tanaman Carica ini mirip dengan papaya, hanya saja buahnya lebih kecil dan berwarna kuning. Tanaman ini merupakan tanaman endemik di dataran tinggi Dieng. Dalam beberapa tahun ini, carica mulai diolah petani menjadi berbagai makanan dan minuman olahan, seperti: selai, manisan, keripik, dan sirup carica Pertengahan tahun 2012, ketika saya dan teman-teman mahasiswa jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada melakukan kuliah lapangan, terlihat beberapa ladang kentang yang dimiliki petani tanaman carica dibudidayakan secara tumpangsari. Usaha carica secara tumpangsari ini berkembang pesat ketika saya datang ke sana dua tahun berikutnya. Bahkan, usaha-usaha produk olahan Carica mulai menjamur di sepanjang jalan raya Wonosobo-Dieng. Gambaran tersebut setidaknya menunjukkan bahwa pertanian dataran tinggi Dieng telah mengalami perkembangan yang cukup pesat yang didukung oleh sumber
1
daya alam yang luar biasa. Perkembangan yang pesat ini telah menarik perhatian beberapa kalangan seperti: Boomgard (2002), Arbangiyah (2012), Rosyid dan Laksita (2013) untuk mengkaji wilayah tersebut. Secara historis, Boomgard dan Arbangiyah menunjukkan adanya upaya-upaya peningkatan produktivitas pertanian melalui pergantian tanaman komoditas utama mulai dari jagung, tembakau, kentang. Hingga introduksi tanaman komoditas carica yang ditunjukan oleh studinya Rosyid dan Laksita. Pada intinya kajian-kajian tersebut, menjelaskan potensi sumber daya yang dimiliki di wilayah dataran tinggi Dieng mendorong petani mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan komoditas pasar. Boomgard menunjukkan, sekitar tahun 1830, dataran tinggi Dieng mulai ditanam jagung oleh penduduk sebagai tanaman pokok untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hingga tahun 1900-1940 introduksi tanaman tembakau mempengaruhi pergantian komoditas utama di wilayah tersebut. Introduksi tembakau ini terjadi melalui ekspansi perdagangan yang dilakukan pedagang Cina dengan menawarkan kredit kepada petani untuk memulai perdagangan komersial (Boomgard dalam Li,2002:75-125). Penghasilan tembakau yang relatif lebih tinggi mendorong petani merubah komoditas utama jagung menjadi tembakau yang lebih bersifat komersil, untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga (subsisten) dan
mencari
keuntungan dengan melihat peluang pasar pada waktu itu. Tahun 1979 merupakan momentum awal introduksi kentang di dataran tinggi Dieng dengan hadirnya varietas baru bernama Kosima dan Katela dari Pengalengan,
2
Jawa Barat. Muqodas, salah satu petani Patakbanteng, mempelopori produksi kentang tersebut. Kesuksesan petani Patakbanteng dalam menanam kentang diikuti oleh petani di seluruh wilayah dataran tinggi Dieng. Produktivitas, effisiensi kerja, dan penghasilan yang lebih menguntungkan, mendorong petani mengubah komoditas utama mereka dari tembakau menjadi kentang. Sejak itu tanaman kentang menjadi komoditas utama pertanian dataran tinggi Dieng. Perubahan komoditas tersebut berdampak juga pada kehidupan ekonomi dan sosial-budaya penduduk yang ditandai dengan banyaknya rumah yang direnovasi hasil keuntungan dari membudidaya tanaman kentang. Bahkan pada tahun 1994 empat puluh orang penduduk Desa Sembungan berangkat menunaikan ibadah haji. Ditambah lagi keuntungan membudidaya
tanaman
kentang
berdampak
pada
perubahan
sosial-budaya
masyarakat dataran tinggi Dieng, seperti perubahan gaya mengkonsumsi barangbarang elektronik, sepeda motor, mobil, dan berbusana layaknya penduduk perkotaan (Arbangiyah,2012:70-74). Hal tersebut yang membuat petani dataran tinggi Dieng sampai saat ini, berhasrat untuk mendapatkan keuntungan dari membudidaya tanaman kentang tanpa mengindahkan dampak lingkungan. Perkembangan pertanian kentang di dataran tinggi Dieng selama 35 tahun (1979-2014) menghadapi banyak persoalan. Booming ekonomi kentang pada tahun 1980-an memunculkan adanya sistem intensifikasi pertanian kentang, yang kemudian diikuti oleh ekstensifikasi lahan hingga mengubah 1.000 ha hutan negara menjadi lahan kentang. Hal ini berdampak pada degradasi lingkungan. Implikasinya, pertanian
3
kentang mengalami penurunan produktivitas, terutama sejak tahun 1995. Apabila pada awal pembudidayaannya kentang tahun 1980-an, petani dapat memperoleh hasil sebanyak 20-30 kali lipat, semenjak tahun 1995 hasil yang diperoleh hanya 13-15 kali lipat (Arbangiyah,2012:75-78). Bisa dibanyangkan produktivitas yang terus mengalami penurunan drastis hingga tahun 2014, tidak hanya penurunan produktivitas lebih dari itu petani sering kali mengalami gagal-panen akibat pengaruh serangan hama dan cuaca buruk. Salah satu cara yang ditempuh petani dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah menerapkan sistem tumpangsari. Dalam sistem ini, petani menanam dua atau lebih tanaman dalam satu petak ladang. Selain bertujuan memaksimalkan hasil usaha tani, cara ini dipilih untuk mengantisipasi anjloknya produktivias kentang. Budidaya carica yang beberapa tahun ini menjadi pilihan banyak petani di dataran tinggi Dieng, yang menawarkan waktu produksi lebih singkat (pada musim hujan panen buah 7-10 hari sekali dan musim kemarau 15-30 hari sekali), dan tidak membutuhkan biaya produksi lebih rendah dibanding kentang. Ada hal yang menarik dalam budidaya tanaman pertanian di dataran tinggi Dieng bahwa budidaya tanaman carica menjadi pilihan petani, di tengah-tengah budidaya tanaman kentang. Peningkatan budidaya carica di kalangan petani Sembungan bersamaan dengan bertambahnya jumlah produsen pengolah produk carica di wilayah Kabupaten Wonosobo. Berdasarkan daftar anggota Asosiasi Pengusaha Carica tahun 2013, ada sekitar 13 produsen pengelolah buah carica di
4
Wonosobo, seperti Desa Patakbanteng yang berlokasi poros utama jalan DiengWonosobo. Menurut salah satu petani Patakbanteng, tahun 2012 hanya ada 1 toko kuliner yang menjual produk olahan carica dan tahun 2014 meningkat menjadi 23 toko kuliner. Jumlah ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan dalam perekonomian dan pertanian dataran tinggi Dieng, terutama oleh hadirnya komoditas carica. B. Rumusan Masalah Pertanian kentang dataran tinggi Dieng pada kondisi saat ini tidak sebaik tahun 1980-an hinggga 1990-an (produktivitas menjadi tolak ukur utama). Tahun 1980-an petani bisa memperoleh hasil panen hingga 20-30 kali lipat dari jumlah bibit yang ditebar, dan tahun 1990-an mengalami penurun petani memperoleh hasil panen hanya 13-15 kali lipat dari jumlah bibit yang ditebar (Arbangiyah,2012:78). Hal ini merupakan akibat dari sikap petani dataran tinggi Dieng yang kurang bijaksana dalam mengeksploitasi lahan, dari pola budidaya tanaman kentang setiap tahun mencapai tiga kali tanam, ekspansi lahan sampai tingkat kemiringan lebih dari 40 derajat, dan penggunaan bahan-bahan kimia yang berakibat pada rusaknya nutrisi tanah. Implikasinya tidak hanya pada penuruan produksi akibat rusaknya nutrisi dalam tanah, lebih dari itu ancaman erosi dan gagal-panen menghantui petani dataran tinggi Dieng pada saat ini. Salah satu cara yang ditempuh petani dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah menganekaragamkan komoditas pertanian (salah satunya budidaya
5
carica). Budidaya carica sendiri dalam lima tahun tahun terakhir mengalami peningkatan budidaya yang dilakukan oleh petani secara tumpangsari, ditengahtengah problematika usaha tani kentang yang berujung pada penurunan produktivitas. Fenomena peningkatan usaha tani carica dalam beberapa tahun ini menjadi permasalahan pokok yang menarik untuk dikaji: 1. Mengapa usaha tani carica di dataran tinggi Dieng kembali mengalami peningkatan? 2. Apakah peningkatan usaha tani carica tersebut sebagai upaya petani untuk mengakses pasar atau untuk menjamin keamanan subsistensi? C. Tinjauan Pustaka Hefner menyatakan bahwa pertanian dataran tinggi sangat rentan dengan degradasi lingkungan, dan tidak memilik daya tahan tanah lebih baik dibanding dataran rendah. Kualitas ekologi persawahan secara tajam berbeda dengan lahan pertanian tegalan. Di dalam kondisi yang ideal, sawah merupakan suatu sistem pertanian yang sungguh-sungguh berkesinambungan, memiliki kemampuan untuk dikelola secara intensif dalam jangka waktu panjang. Sebaliknya tanah tegalan rentan terhadap degradasi, lingkungan akibat intensifikasi lahan pertanian (Hefner,1999:81). Sebagaimana yang juga ditekankan oleh ahli geografi Jan Palte, pengelolahan tanah secara intensif merupakan masalah lingkungan yang serius:
6
“Penggunaan tanah-tanah tanpa irigasi secara permanen merupakan salah satu masalah yang paling sering ditemui di antara beberapa persoalan dalam sistem pertanian tropis… Sulitnya tipe iklim -seperti variasi dan intensitas curah hujan-, kesulitan edapik -seperti pengeroposan yang ekstensif, rusaknya materi-materi organik secara tepat, kurangnya struktur tanah-, dan kesulitan biotik -seperti berkembang biaknya rumput, jamur, dan parasit- menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dalam waktu singkat dan membuat pertanian tegalan berlanjut kearah resiko yang tinggi dari berkembang biaknya rumput, hama, dan penyakit...” (Palte,1984:33, dalam Hefner,1999:97). Berdasarkan penjelasan di atas, pengolahan lahan secara intensif akan berpengaruh pada kemampuan produksi mengalami penurunan. Persoalan-persoalan tersebut membuat petani harus berinovasi dengan mencari tanaman alternatif, untuk bisa terus menjaga penghasilan ekonomi rumahtangga petani. Sebagaimana yang dipertegas oleh Peter Elbanyat, dkk. dalam studinya yang berjudul “Drivers Of Land Use change and Houshold Determints of Sustainabilty in Smallholder Farming Systems of Estern Uganda” menjelaskan, pemilihan tanaman alternatif didorong oleh menurunnya kesuburan tanah dan hancur pasar (collapse of market) salah satu komoditas utama. Dalam
kasus ini mereka menjelaskan kapas dan jewawut
merupakan komoditas utama pertanian di wilayah Uganda Bagian Timur yang mulai mengalami intensifikasi tahun 1960, implikasinya 55% dari total luas tanah di suatu wilayah kurang lebih 50.000 ha (25 %) ditanami kapas dan 60.000 ha (30 %) ditanami jewawut. Hingga tahun 2001 penggunaan lahan yang ditanami kapas dan jawawut mengalami penurunan menjadi 9 % kapas dan 5 % jewawut. Menurunnya produktivitas dua komoditas tersebut disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang mempengaruhi menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat intensifikasi dan 7
ekstensifikasi, dan hancurnya pasar kapas. Hal ini yang kemudian mendorong perkembanganya budidaya padi dan kacang polong sebagai penghasilan alternatif rumah tangga petani di sana. Di samping kacang polong memiliki nilai ekonomis, tanaman ini memiliki nilai ekologis yakni mampu meningkatkan kandungan Nitrogen dalam tanah (Elbanyat,dkk.,2010:474-506). Penjelasan di atas memberikan sebuah pemahaman secara ekonomi-politik, ketika komoditas utama di suatu wilayah mengalami penurunan produktivitas yang berimbas pada menurunnya ekonomi rumah tangga petani, hal ini yang kemudian mendorong petani untuk membudidaya tanaman alternatif. Hal serupa juga terjadi di Arkansas-Mississipi
(Negara
Bagian
Amerika
Serikat),
pada
kasus
ini
perkembanganya tanaman alternatif dipicu oleh menurunnya produktivitas kapas (sebagai komoditas utama). Bachmura menjelaskan bahwa problematika tenaga kerja (seperti ketersediaan dan mahalnya tenaga kerja) membuat lahan pertanian tidak seluruhnya digunakan untuk memproduksi kapas (terutama lahan yang berkualitas baik), hal ini berdampak pada menurunnya produktivitas kapas. Kondisi tersebut yang kemudian mendorong petani untuk menanam kacang kedelai sebagai tanaman alternatif, terutama di lahan yang berkualitas kurang baik untuk ditanami kapas. Di samping itu, biaya produksi kacang kedelai relatif lebih murah dibanding kapas, dan tidak membutuhkan biaya untuk membayar tenaga kerja karena dikerja oleh tenaga kerja keluarga (Bachmura,1957).
8
Lebih lanjut pemilihan tanaman alternatif juga didasarkan pada pertimbangan ekologi-politik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Weisensel dan Schoney dalam studinya yang berjudul “An Analysis of the Yield-Price Risk Associated with Specialty Crops”. Mereka menjelaskan bahwa ancaman musim kering dan kesusahan air yang terjadi di wilayah Saskatchewan (Negara bagian Kanada) sangat beresiko menurunnya produktivitas gandum sebagai komoditas pertanian disana. Hal ini yang kemudian mendorong petani untuk menanam tanaman alternatif seperti lentil (tanaman sejenis kacang-kacangan), tanaman ini dipilih karena memiliki pasar dan menguntungkan. Proses produksi tanaman lentil ditanam ketika musim kemarau, artinya sebagian lahan pertanian gandum digunakan memproduksi lentil (Weisensel dan Schoney,1989:293-299). Beberapa
kajian-kajian
sebelumnya
menunjukan
persoalan-persoalan
pertanian yang dihadapi petani mendorong pengambilan keputusan untuk memproduksi tanaman alternatif sebagai upaya menjaga keamanan subsistensi rumah tangga. Pengambilan keputusan petani memilih tanaman alternatif tidak hanya didasarkan pada pertimbangan nilai ekonomi dan ekologi saja, terlebih peluang pasar menjadi pertimbangan petani memproduksi tanaman tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Weimer and Hallam dalam studinya “Risk, Diversification, and Vegetables as an Alternative For Midwestern Agriculture” bahwa pemilihan tanaman alternatif berdasarkan pada pertimbangan ekonomi dan prospek pasar. Mereka menunjukkan, kondisi ekonomi pertanian Iowa Midwestern (salah satu Negara
9
Bagian Amerika Serikat) mengalami krisis akibat menurunnya produktivitas jagung dan kedelai, masyarakat melihat peluang atas prospektifnya komoditas sayur yang distok dari Negara Bagian lain di Amerika Serika. Atas pertimbangan itu, mereka memilih untuk memproduksi tanaman sayur-sayuran sebagai tanaman alternatif (Weimer dan Hallam,1988:75-89) . Penjelasan kajian-kajian di atas memberikan pemahaman bahwa pada prinsipnya perilaku pengambilan keputusan petani dalam memilih tanaman produksi bertujuan untuk untuk mengindari resiko dari ancaman dan petani selalu merespon kesempatan-kesempatan baru, terutama dalam hal pemilihan tanaman produksi. Studi terakhir mengenai perkembangan komoditas carica di Dieng dilakukan oleh Rosyid dan Laksita (2013). Mereka menjelaskan, berkembangnya komoditas carica dipengaruhi permasalahan-permasalahan yang dihadapi usaha tani kentang sebagai komoditas utama disana. Berkembangnya komoditas carica ternyata juga didorong oleh inisiatif pemerintah membuka peluang bagi petani untuk masuk ke pasar carica melalui program dan kebijakan hak paten atas komoditas carica sebagai tanaman khas Wonosobo. Secara khusus kajian Rosyid dan Laksita menginspirasi studi ini, artinya studi ini merupakan lanjutan pembahasan mengenai fenomena peningkatan komoditas carica di dataran tinggi Dieng. Berbeda dengan studi Rosyid dan Laksita yang melihat situasi yang dihadap petani dataran tinggi Dieng mendorong berkembangan komoditas carica. Tetapi pembahasan lebih mendalam bagaimana petani menghadapi
10
situasi-situasi itu belum dibahas, seperti penurunan produktivitas yang dialami rumah tangga petani mendorong petani meningkatakan usaha tani carica. Lebih lanjut lagi kegunaan penghasilan usaha tani carica pada rumah tangga petani. Penelitian ini mencoba menggali lebih jauh tentang kekurangan tersebut serta bagaimana petani menghadapi
dan
mengambil
keputusan-keputusan
tertentu
terkait
dengan
pengembangan komoditas carica. D. Tujuan Penelitian 1. Memahami sejarah bercocok tanam di dataran tinggi Dieng, terutama komoditas kentang dan carica. 2. Memahami fungsi carica bagi ekonomi rumah tangga petani. 3. Mengetahui kepentingan bisnis dan keamanan subsistensi petani dalam usaha tani carica. E. Kerangka Pemikiran Studi mengenai perkembangan budidaya tanaman carica di dataran tinggi Dieng ini berpijak pada kerangka pemikiran yang bersumber dari antropologi ekonomi. Dalam sudut padang melihat permasalahan ekonomi berbeda dengan ilmu ekonomi. Ahli antropologi melihat “fenomena ekonomi sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem organisasi sosial dan unsur-unsur kebudayaan” (Hudayana, 1991:40). Lebih jauh lagi mengenai perbedaan apa yang dipelajari oleh ilmu ekonomi dan antropologi ekonomi, ilmu ekonomi sebatas hanya menaruh
11
perhatian pada permasalahan permintaan dan penawaran (mekanisme pasar) dan faktor-faktor produksi yang dipengaruhi oleh hasil tindakan. Berbeda dengan ilmu ekonomi, kajian antropologi ekonomi lebih memperhatikan pelaku tindakan (dalam hal ini manusia) dalam mengatur, mendistribusi, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk kepentingan sendiri ataupun kelompoknya, menyangkut juga aspek sosio-kultural yang mempengaruhinya. Demikian juga dengan kasus petani di dataran tinggi Dieng sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka tengah dihadapkan pada situasi-situasi tertentu yang mendorong mereka untuk berstrategi dan mengambil keputusan bagaimana upaya mereka mengembangkan pertaniannya. Untuk menjelaskan perkembangan usaha tani carica di dataram tinggi Dieng, penelitian ini menggunakan paradigma pengambilan keputusan. Paradigma “pengambilan keputusan” yang dikenal sebagai decision-making approach, merupakan salah satu varian dari paradigma dalam antropologi yang diarahkan pada pelaku (actor-oriented approach) (Ahimsa,2003:13). Pada studi ini petani adalah pelaku dalam mengambil keputusan-keputusan tertentu berkenaan dengan budidaya tanaman carica. Paradigma ini berasumsi para pelaku dianggap memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi pilihan-pilihannya. Dalam memahami pertimbangan-pertimbangan mengambil keputusan perlu diperhatikan hal-hal seperti informasi yang dapat diperoleh pelaku, persepsi pelaku mengenai pilihan dan hasilnya, akibatnya yang mungkin timbul dari
12
berbagai masukan sumber daya, seperti dana, tenaga kerja, dan sebagainya, serta berbagai ketidakpastian yang mungkin mempengaruhi keputusan-keputusan dan hasil-hasilnya seperti kondisi pasar, cuaca, atau faktor-faktor seperti ikatan pribadi (Ahimsa,2003:15). Untuk dapat menganalisis strategi-strategi pengambilan keputusan disitu kita harus memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan si pelaku, apakah itu memaksimalkan keuntungan atau hasil-hasil yang memuaskan (tidak harus berarti keuntungan yang maksimal) atau tujuan-tujuan ekonomis dan non-ekonomis, yang relevan
untuk
jangka
pendek
dan
panjang
(Long,1977:129-130,dalam
Ahimsa,2003:15). Lebih lanjut, dalam menganalisa pengambilan keputusan petani meningkatan usaha tani carica berpijak pada studi Samuel L. Popkin yang berjudul “The Rational Peasant”. Studi ini merupakan kritik terhadap studinya James Scott yang berjudul “Peasant Moral Economy”, Scott mengatakan bahwa para petani itu enggan mengambil resiko ketika mereka mengevaluasi srategi-strategi ekonomi. Mereka lebih menyukai strategi-strategi yang kecil tapi mendatangkan hasil-hasil yang banyak tapi juga mungkin mendatangkan resiko yang lebih besar berupa kegagalan panen total (Popkin,1986:15). Kritik Popkin terhadap studinya Scott yang juga menjadi asumsi dasar pada studinya, ia berasumsi meskipun para petani pada umumnya miskin dan hidup dekat dengan batas minimum, tetapi petani tidak takut untuk mengambil resiko dengan melakukan tindakan investasi dan selalu melakukan berbagai tanggapan aktif atas munculnnya berbagai peluang baru bagi upaya
13
memaksimalkan keuntungan (Popkin,1986:15-18). Lebih jauh Popkin berasumsi, peluang pasar sering kali menguntungkan petani-petani yang lebih miskin (Popkin,1986:27). Asumsi Popkin seperti yang dijelaskan di atas menggambarkan pengambilan keputusan petani di dataran tinggi Dieng, ketika usaha tani kentang mereka sering mengalami penurunan produktivitas hasil panen akibat serangan hama dan cuaca buruk. Penurunan produktivitas kentang ini berdampak pula bagi penghasilan rumah tangga petani yang ikut mengalami penurunan. Hal ini yang kemudian mendorong petani meningkatkan usaha tani carica, ditengah menanam kentang sebagai komoditas utama. Terlebih usaha tani carica dipilih oleh petani karena menawarkan peluang pasar untuk mendapatkan keuntungan, terkait meningkatnya konsumsi pariwisata Dieng. Dalam hal ini supply dan demand buah carica sangat bergantung pada industri produk olahan carica, yang mengolah buah carica menjadi produk olahan seperti sirup, selai, dan keripik carica. Pengambilan keputusan ini menunjukan upaya petani menjaga keamanan subsistensi, melalui investasi peningkatan usaha tani carica ditengah usaha tani carica (sebagai pendapatan utama rumah tangga petani). Sebagaimana asumsi Savage dan Friedman, selama masih ada tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun perjudian, yakni dengan
14
melakukan investasi yang aman dan penuh resiko (Savage dan Friedman,1948:279304,dalam Popkin,1986:18). F. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan Desa Sembungan merupakan salah satu desa yang produksi kentang dan carica paling tinggi dan paling baik kualitas hasil panen diantara desa-desa lain di Kecamatan Kejajar. Penelitian ini fokus pada pengambilan keputusan dalam budidaya carica yang akan digali dengan menggunakan beberapa metode penelitian, diantaranya: metode kualitatif, metode kuantitatif, studi dokumen berupa laporan pemerintah, dan penggunaan data visual berupa foto. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam bertujuan untuk mengumpulkan deskripsi usaha tani carica di Desa Sembungan dan cerita lebih mendalam pengambilan keputusan petani dalam membudidayakan tanaman carica melalui pemilihan empat petani carica untuk dilakukan wawancara mendalam (petani dan tengkulak carica, petani skala besar, sedang, dan kecil). Wawancara mendalam dilakukan berdasarkan pada pedoman pertanyaan, yang mengarah pada pemilihan petani dalam membudidayakan tanaman carica. Deskripsi umum dan lebih mendalam mengenai usaha tani carica petani Sembungan diperoleh melalui penelitian kualitatif dengan didukung data hasil penelitian kuantitatif.
15
Sedangkan, metode kuantitatif digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh dari wawancara mendalam. Metode kuantitaif dilakukan melalui melalui survei terhadap 35 petani di Desa Sembungan, pemilihan 35 petani ini dipilih sesuai ketentuan N (jumlah responden) minimal uji statistik itu minimal 30. Dari 35 petani di Desa Sembungan yang disurvei tidak berusaha mengambil kesimpukan generalisasi, terlebih hanya pertimbangan petani memilih tanaman produksi dari 35 petani tersebut. Dalam melakukan penyebaran kuesionernya dibantu oleh temanteman dari mahasiswa antropologi, yaitu Angga, Sukma, Aldry, Duroh, Dhias, dan Riska. Untuk melihat pertanyaan pada kuisonernya bisa dilihat di halaman lampiran. Selain data primer yang dihasilkan dari penelitian kualitatif, dan penelitian kuantitatif melalui penyeberan kuisioner ke 35 petani. Pengumpulan data sekunder sebagai pendukung data primer yang dikumpulkan, seperti monografi Desa Sembungan, data statistik Kejajar Dalam Angka dan Wonosobo Dalam Angka tahun 1998-2014, Laporan tanaman produksi pertanian Dinas Pertanian Wonosobo dari tahun 2012 hingga 2014, dokumen foto yang diambil peneliti. Dengan metode kualitatif dan kuantitatif, diharapkan peneliti mendapatkan data dan informasi secara mendalam tanpa kehilangan sisi antropologis, yang nantinya diolah menjadi tulisan etnografi.
16