PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan hampir 50% dari total angkatan kerja masih menggantungkan nasibnya bekerja di sektor pertanian. Keadaan seperti ini menuntut kebijakan sektor pertanian yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di lapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon, 2004). Sub sektor perkebunan merupakan sub sektor pertanian yang secara tradisional merupakan salah satu penghasil devisa negara. Sebagian besar tanaman perkebunan tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik pemerintah maupun milik swasta (Soetrisno, 1999). Usaha pertanian di Indonesia dicirikan oleh yaitu: usaha pertanian skala besar lazimnya dikelola oleh perkebunan negara atau swasta dan skala kecil yang lazimnya disebut dengan usaha pertanian rakyat. Pada umumnya usahatani skala besar ini diusahakan dalam skala yang luas. Komoditi yang biasa diusahakan dalam skala yang berumur panjang atau yang sering disebut dengan tanaman tahunan. Sedangkan pertanian rakyat biasanya diusahakan dalam usaha skala yang sempit dan umumnya komoditi yang diusahakan adalah tanaman pangan (Soekartawi, 1987).
1 Universitas Sumatera Utara
Perkebunan dapat diartikan berdasarkan fungsi pengelolaan. Jenis tanaman dan produk yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi, perkebunan diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, devisa negara dan pemeliharaan Sumber Daya Alam. Berdasarkan pengelolaannya dapat dibagi menjadi perkebunan rakyat, perkebunan besar milik negara atau swasta, perkebunan perusahaan inti rakyat dan perkebunan unit pelaksanaan proyek (Syamsulbahri, 1996). Pada awalnya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya dilaksanakan oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Masyarakat disekitar hanya terlibat sebagai buruh dalam proses produksi dan pengolahan. Sejak tahun 1977-1978 pemerintah Indonesia bertekad mengubah situasi tersebut dengan mengembangkan pola perkebunan rakyat (Rachman,dkk, 1999). Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya diusahakan oleh perusahaan negara tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu Ha (34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu Ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu Ha (52,8%) (Anonimous, 2002). Perkembangan perkebunan rakyat secara cepat ini merupakan salah satu tujuan pemerintah, karena disamping untuk menghasilkan devisa negara juga untuk memperluas kesempatan kerja dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu komoditas utama perkebunan di Indonesia adalah kelapa sawit disamping karet, teh, kakao, dan lain-lain, mempunyai masa depan yang cukup
Universitas Sumatera Utara
cerah bagi pengusahaannya di Sumatera Utara bahkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia (Balai Penelitaian Perkebunan, 1988). Kelapa sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona; luasnya terus berkembang dan tidak hanya merupakan monopoli perkebunan besar negara atau perkebunan besar swasta. Saat ini perkebunan rakyat sudah berkembang dengan pesat. Perkebunan kelapa sawit yang semula hanya di Sumatera Utara dan di daerah Istimewa Aceh saat ini sudah berkembang dibeberapa propinsi, antara lain : Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Irian Jaya, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Jawa Barat (Risza, 1994). Selain kelapa sawit, kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi perkebunan (Qitanong, 2006). Kakao mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1970. selain ditanam secara swadaya oleh masyarakat, kakao juga ditanam oleh perkebunan besar baik oleh negara maupun swasta (Spillane, 1995). Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor non migas yang memiliki prospek cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri juga semakin besar dengan semakin berkembangnya sektor agroindustri. Di pihak
lain ada
kecenderungan timbulnya faktor-faktor pembatas di negara-negara pengekspor kakao, sehingga banyak petani yang berpindah menjadi petani kakao yang diduga akan memberikan harapan yang lebih cerah (Susanto, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Selain kelapa sawit, kakao ada salah satu komoditas yang sejak dahulu hingga saat ini memegang peranan penting yaitu komoditas karet. Banyak penduduk yang hidup mengandalkan komoditi penghasil getah ini. Karet tidak hanya diusahakan perkebunan-perkebunan besar milik negara yang memiliki areal mencapai ratusan ribu hektar tetapi juga diusahakan oleh swasta dan rakyat. Sejak berabad-abad yang lalu, karet telah dikenal dan digunakan secara tradisional oleh penduduk asli daerah asalnya, yakni Brazil, Amerika Selatan. Pemanfaatan karet yang sangat berarti ditemukan oleh Dunlop pada tahun 1988 (Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet sendiri mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya, karet ditanam di kebun raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi, selanjutnya karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar dibeberapa daerah di Indonesia. Di Indonesia perkebunan besar karet baru dimulai di Sumatera pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. Sejak saat itulah perkebunan karet mengalami perluasan yang cepat (Tim penulis, 2000). Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet (menderes, menoreh, tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang dengan cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh lateks dan getah (Setyamidjaja, 1993). Di Sumatera Utara banyak daerah-daerah penghasil tanaman perkebunan, terutama adalah perkebunan rakyat seperti kelapa sawit, kakao dan karet salah satunya adalah Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu.
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel berikut ini, dapat kita lihat luas dan produksi tanaman kelapa sawit, kakao dan karet perkebunan rakyat di Kabupaten Labuhan Batu untuk setiap kecamatan. Tabel 1. Luas dan Produksi Tanaman Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Tahun 2005 NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kualuh Hulu Kualuh Hilir Na. 1X-X G. B. Marbau Sei Kanan Rantau Utara Rantau Selatan Kampung Rakyat Aek Natas Panai Tengah Panai Hilir Panai Hulu Kualuh Leidong Kualuh Selatan Aek Kuo Bilah Hulu Bilah Hilir Bilah Barat Kota Pinang Torgamba Silangkitang Pangkatan Jumlah
Luas Tanaman / Areal (Ha) Belum Menghasilkan
855 320 605 243 188 108 63 175 960 365 370 161 515 365 865 980 70 265 428 825 147 480 9.353
Menghasilkan
11,978 1,923 7,424 7,728 3,081 1,754 925 9,719 12,540 1,687 1,652 1,532 1,087 6,374 7,935 3,412 5,173 6,178 9,052 10,325 2,900 6,495 120,847
Tidak Menghasilkan
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Labuhan Batu
-
Produksi (Ton) 125,903 32,544 81,415 108,727 41,131 22,977 11,464 122,775 179,614 24,496 19,908 21,293 14,936 88,357 126,985 49,139 74,777 94,785 121,396 165,255 39,338 80,616 1.647,831
Produktivitas (Kg/Ha) 10,511 16,923 10,966 14,069 13,349 13,099 12,393 12,632 14,323 14,520 12,050 13,898 13,740 13,862 16,003 14,401 14,455 15,342 13,410 16,005 13,564 12,412 13,632
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa Kecamatan Kualuh Hilir merupakan daerah yang memiliki produktivitas tanaman kelapa sawit terbesar di Kabupaten Labuhan Batu yaitu 16,923 Kg/Ha. Dimana 1,923 Ha merupakan luas tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan. Sedangkan produktivitas tanaman Kelapa Sawit di Kecamatan Bilah Hulu yaitu sebesar 14,401 Kg/Ha. Walaupun Kecamatan Bilah Hulu bukan merupakan kecamatan yang memiliki luas panen dan produksi tertinggi seperti Kecamatan Kualuh Hilir, tetapi kecamatan ini memiliki produktivitas yang juga berada diatas rata-rata
Universitas Sumatera Utara
produktivitas kabupaten yaitu sebesar 13,632 Kg/Ha., dimana Kecamatan Bilah Hulu mempunyai potensi yang sangat baik untuk mengembangkan ketiga komoditas perkebunan antara lain: kelapa sawit, kakao, dan karet. Tabel 2. Luas dan Produksi Tanaman Kakao Perkebunan Rakyat Tahun 2005 NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kualuh Hulu Kualuh Hilir Na. 1X-X G. B. Marbau Sei Kanan Rantau Utara Rantau Selatan Kampung Rakyat Aek Natas Panai Tengah Panai Hilir Panai Hulu Kualuh Leidong Kualuh Selatan Aek Kuo Bilah Hulu Bilah Hilir Bilah Barat Kota Pinang Torgamba Silangkitang Pangkatan Jumlah
Luas Tanaman / Areal (Ha)
Belum Menghasilkan
6 4 5 3 4 2 1 5 4 2 10 15 2 4 6 2 6 5 3 89
Menghasilkan
54 90 4 95 56 10 170 27 17 36 126 22 65 15 1 12 800
Tidak Menghasilkan
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Labuhan Batu
-
Produksi (Ton) 29,18 47,71 2,12 50,25 35,73 5,65 81,62 16,34 8,55 24,02 72,58 11,46 43,39 8,50 0,55 6,52 444,17
Produktivitas (Kg/Ha) 540,37 530,11 530,00 528,95 638,04 565,00 480,12 605,19 502,94 667,22 576,03 520,91 667,54 550,00 543,33 555,21
Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa Kecamatan Bilah Barat merupakan daerah yang memiliki produktivitas tanaman kakao terbesar di Kabupaten Labuhan Batu yaitu 667,54 Kg/Ha. Dimana 65 Ha merupakan luas tanaman kakao yang sudah menghasilkan. Sedangkan produktivitas tanaman kakao di Kecamatan Bilah Hulu yaitu 576,03 Kg/Ha dengan luas tanaman yang sudah menghasilkan yaitu sebesar 126 Ha. Walaupun Kecamatan Bilah Hulu bukan merupakan kecamatan yang memiliki luas panen dan produksi tertinggi seperti Kecamatan Bilah Barat, tetapi kecamatan ini memiliki produktivitas yang juga berada diatas produktivitas rata-rata yaitu sebesar 555,21 Kg/Ha.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Luas dan Produksi Tanaman Karet Perkebunan Rakyat Tahun 2005 NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kualuh Hulu Kualuh Hilir Na. 1X-X G. B. Marbau Sei Kanan Rantau Utara Rantau Selatan Kampung Rakyat Aek Natas Panai Tengah Panai Hilir Panai Hulu Kualuh Leidong Kualuh Selatan Aek Kuo Bilah Hulu Bilah Hilir Bilah Barat Kota Pinang Torgamba Silangkitang Pangkatan Jumlah
Luas Tanaman / Areal (Ha) Belum M Menghasilkan Menghasilkan
129 3 158 127 268 22 25 36 133 2 6 141 114 78 80 119 36 93 70 6 1.646
Tidak Menghasilkan
6,756 82 2,537 5,716 8,875 3,125 1,187 2,590 557 298 23 69 5,134 736 7,180 870 4,447 2,028 7,318 3,415 996 63,939
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Labuhan Batu
1,363 70 550 1,983
Produksi (Ton) 7,595 80 2,581 5,375 10,108 2,814 1,186 2,855 580 233 131 61 5,098 740 7,324 770 3,927 1,875 5,916 2,839 960 63,048
Produktivitas (Kg/Ha) 1.124,19 975,61 1.027,34 940,34 1.138,93 900,48 999,16 1.102,32 1.041,29 781,88 5.695,65 884,06 992,99 1.005,43 1.020,06 885,06 883,07 924,56 808,42 831,33 963,86 986,06
Dari Tabel 3. dapat dilihat bahwa Kecamatan Panai Hulu merupakan daerah yang memiliki produktivitas tanaman karet terbesar di Kabupaten Labuhan Batu yaitu 5.695,65 Kg/Ha. Dimana 23 Ha merupakan luas tanaman karet yang sudah menghasilkan. Sedangkan produktivitas tanaman karet di Kecamatan Bilah Hulu yaitu 1.020,06 Kg/Ha. Walaupun Kecamatan Bilah Hulu bukan merupakan kecamatan yang memiliki luas tanaman dan produksi tertinggi, tetapi kecamatan ini produktivitas tergolong tinggi. Sistem usahatani mengandung pengertian pola pelaksanaan usahatani masyarakat yang berkaitan dengan tujuannya. Secara umum, tujuan utama pertanian atau usahatani yang diterapkan sebagian besar petani kita adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Daniel, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Efisiensi diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Situasi yang demikian akan terjadi kalau petani mau membuat suatu upaya kalau nilai produk marginal untuk suatu input sama dengan harga input tersebut (Soekartawi, 1990). Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan baik dalam bentuk benda maupun jasa, selama proses produksi berlangsung. Biaya produksi yang digunakan terdiri dari sewa tanah, bunga modal, biaya sarana produksi
yaitu
bibit,
pupuk,
obat-obatan
serta
jumlah
tenaga
kerja
(Soetrisno, 1998). Dalam usahatani, sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak. Anakanak berumur 12 tahun misalnya sudah merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usahatani. Petani dalam usahataninya tidak hanya menyumbangkan tenaga (labor) saja. Dia pemimpin (manager) usahatani yang mengatur organisasi secara keseluruhan (Mubyarto, 1989). Pendapatan usahatani ditentukan oleh faktor produksi fisik, harga produksi fisik dan biaya produksi. Produksi total dari suatu usahatani dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain luas lahan, status tanah garapan, tingkat teknologi yang dipakai, kesuburan tanah, iklim dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhi seperti tersedianya saprodi dan kemampuan petani untuk membeli (Mubyarto, 1977). Penentuan skala usaha sangat penting dalam menetapkan usaha yang efisien. Dalam suatu proses produksi, skala usaha
(return to scale)
menggambarkan respon dari output terhadap perubahan dari seluruh input secara
Universitas Sumatera Utara
profesional.
Dengan
mengetahui
kondisi
skala
usaha,
petani
dapat
mempertimbangkan perlu tidaknya suatu usaha dikembangkan lebih lanjut (Soekartawi, 1987). 1.2 Identifikasi Masalah Adapun yang menjadi masalah penelitian yang diidentifikasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana sistem produksi usahatani budidaya komoditi kelapa sawit, kakao dan karet ? 2) Bagaimana perbedaan volume penggunaan input antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet ? 3) Bagaimana perbedaan curahan tenaga kerja antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet ? 4) Bagaimana perbedaan total biaya produksi antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet ? 5) Bagaimana perbedaan produksi antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet ? 6) Bagaimana perbedaan pendapatan usahatani antar kelapa sawit, kakao dan karet ? 7) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani setiap komoditi ? 8) Bagaimana perbedaan tingkat pengembalian modal antar kelapa sawit, kakao dan karet ?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui sistem produksi usahatani budidaya komoditi kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 2) Untuk mengetahui perbedaan antara volume penggunaan input antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 3) Untuk mengetahui perbedaan antara curahan tenaga kerja antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 4) Untuk mengetahui perbedaan antara total biaya produksi antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 5) Untuk mengetahui perbedaan antara produksi antar komoditi kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 6) Untuk mengetahui perbedaan pendapatan usahatani antar kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian. 7) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani setiap komoditi di daerah penelitian. 8) Untuk mengetahui perbedaan antara tingkat pengembalian modal antar kelapa sawit, kakao dan karet di daerah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi petani untuk mengetahui seberapa besar perbandingan antara usahatani kelapa sawit, kakao dan karet. 2) Sebagai bahan informasi atau masukan bagi pengelola kelapa sawit, kakao dan karet dalam mengembangkan usahataninya. 3) Sebagai
bahan
informasi
dan
referensi bagi
pihak-pihak yang
membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara