BAB I PENDAHULUAN
1. 1.
Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat membawa pengaruh
besar terhadap pengembangan lahan-lahan yang ada di Pulau Bali. Hal ini terjadi karena seiring dengan kebutuhan manusia akan tanah sebagai tempat tinggal juga semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kedudukan tanah sangat penting bagi kebutuhan manusia. Pengertian mengenai tanah itu sendiri diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (seianjutnya disebut UUPA) yang merumuskan bahwa : “Atas dasar hak menguasai dan negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tanah dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah permukaan bumi, dimana permukaan bumi inilah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum.1 Disamping itu tanah menjadi penting karena sifat dan faktanya, dilihat dari sifat karena pada kenyataannya tanah bersifat tetap dalam arti bahwa tanah menjadi benda kekayaan manusia meskipun mengalami perubahan baik secara fisik maupun status, masih tetap berupa tanah, sedangkan dilihat dan faktanya bahwa pada hakikatnya tanah merupakan tempat tinggal
1
Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, h.3.
1
2
persekutuan, memberi penghidupan bagi persekutuan dan tempat pemakaman warga persekutuan.2 Secara tidak langsung pentingnya kedudukan tanah berpengaruh terhadap harga tanah yang ada serta berpengaruh pula pada bisnis jual beli tanah di Pulau Bali karena dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tanah, akan mendorong meningkatnya kegiatan jual beli tanah sebagai salah satu bentuk proses peralihan hak atas tanah.3 Terdapatnya masyarakat yang dari luar Kabupaten Bangli ingin memiliki atau berinvenstasi tanah dan atau rumah di Kabupaten Bangli yang diakibatkan oleh arus urbanisasi tenaga kerja semakin meningkat karena perkembangan sektor ekonomi di Kabupaten Bangli. Bahkan, Kabupaten Bangli saat ini telah menjadi tumpuan hidup dan harapan masa depan bagi masyarakat dari luar Kabupaten Bangli. Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup berupa tanah dan rumah di Kabupaten Bangli. Dalam hubungannya dengan usaha yang berhubungan dengan tanah, sangat banyak faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa tanah adalah suatu komoditas yang sifatnya terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah tidak ada batasnya. Di sisi lain, Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sebagaimana dirumuskan sebagai berikut : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
2
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad XXI Masehi, Udayana University Press, Bangli, h.2. 3
Sahat HMT Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka Sutra, Bandung, h.1.
3
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapat pelayanan kesehatan”. Sebagai negara hukum, hal yang menjadi fokus perhatian bukan hanya bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, akan tetapi juga peningkatan kesadaran hukum masyarakat demi terciptanya tertib hukum di masyarakat. Jual beli tanah sebagai salah satu bentuk hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang telah sepakat membuat perjanjian jual beli dimana perjanjian tersebut menganut asas obligatoir, Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan din untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUH Perdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihynya hak milik atas suatu benda dan penjual kepada pembeli. Fase ini merupakan kesepakatan yang harus diikuti dengan penyerahan.4 Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya dan memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran harga yang telah disepakati. Pembeli wajib membayar harga sebagai imbalan ia diberi hak untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dalam hal ini perpindahan hak milik baru terjadi ketika dilakukan penyerahan atas hak milik tersebut yang mana dalam hal jual beli tanah yang merupakan benda tidak bergerak, penyerahan terjadi ketika telah dilakukan proses balik nama dengan akta
4
Mariam Darus Badruizarnan, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.67.
4
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan kemudian didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat.5 Untuk menjamin kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah, diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus yaitu UUPA yang dalam pembentukannya, diharapkan mampu mewujudkan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah yaitu dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Secara khusus mengenai pendaftaran peralihan hak karena proses jual beli diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mana dalam ketentuan Pasal 5 tentang Pendaftaran Tanah merumuskan bahwa Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional dimana menurut ketentuan rumusan Pasal 6 ayat (2) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sudah barang tentu pada setiap pelayanan yang bersifat adminitratif terdapat pungutan atau biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang melakukan pendaftaran tersebut. Berkenaan dengan hal itu, pada tanggal 22 Januari 2010, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, yang mana dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut merumuskan bahwa jenis Penerimaan
5
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.323.
5
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah penerimaan yang berasal dari : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Pelayanan Survei, Pengukuran dan Pemetaan; Pelayanan Pemeriksaan Tanah; Pelayanan Konsolidasi Tanah secara Swadaya; Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan; Pelayanan Pendaftaran Tanah; Pelayanan Informasi Pertanahan; Pelayanan Lisensi; Pelayanan Pendidikan; Pelayanan Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB) / Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965; dan j. Pelayanan di Bidang Pertanahan yang berasal dan kerjasama dengan pihak lain. Mengarah kepada tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak terhadap Peralihan Hak Atas Tanah, dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut merumuskan bahwa tarif tersebut dihitung berdasarkan pada nilai tanah dimana yang dimaksud dengan nilai tanah adalah nilai pasar (market value) yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam Peta Zona Nilai Tanah yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk tahun berkenaan dan untuk wilayah yang berlum tersedia peta zona nilai tanah digunakan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah tahun berkenaan. Menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tersebut, Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Bangli telah membuat Peta Zona Nilai Tanah untuk wilayah Kabupaten Bangli pada tanggal 21 Desember 2012 akan tetapi tidak langsung diberlakukan. Kemudian pada tanggal 3 Januari 2013, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1/SE-100/I/2013 tentang Pengenaan Tarif Atas Penerimaan Negara
6
Bukan Pajak Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010. Surat Edaran tersebut dikeluarkan dengan maksud dan tujuan untuk menjadi petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 sehingga tidak terjadi penafsiran yang berbeda beda atas Peraturan Pemerintah tersebut khususnya dalam penetapan peta zona nilai tanah. Sehingga berdasarkan pada surat edaran tersebut, Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Bangli mulai menggunakan peta zona nilai tanah yang telah disusun mulai pada tanggal 22 Maret 2013. Penggunaan peta zona nilai tanah tersebut tentu saja memberikan pengaruh tidak saja terhadap pengenaan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah di Kabupaten Bangli, akan tetapi juga terhadap prosedur pendaftarannya. Sehingga bertitik tolak pada fenomena tersebut penulis bermaksud untuk melalukan penelitian dengan judul “PENDAFTARAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH KARENA JUAL BELI DI KABUPATEN BANGLI (Setelah berlakunya Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/SE-100/I/2013 tentang Pengenaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010).”
1. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam laporan ini antara lain :
7
1. Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE-100/I/2013 ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE100/I/2013 ?
1. 3.
Ruang Lingkup Masalah Agar hasil dan suatu penelitian dapat dicapai sesuai dengan harapan maka
perlu kiranya ditetapkan ruang lingkup isi pokok pembahasan. Pembatasan ini penting karena dapat memberikan batasan-batasan yang jelas sehingga pada akhirnya tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang dibahas. Dalam penelitian ini, pertama yang akan dibahas adalah terbatas pada prosedur pendaftaran peralihan hak atas tanah yang sudah bersertifikat dalam bentuk hak milik karena jual beli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/SE-100/I/2013 tentang Pengenaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010, dan pembahasan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kendala-kendala yang ditemui dilapangan terkait dengan hal pendaftaran peralihan hak tersebut serta upaya-upaya penyelesaiannya.
8
1. 4.
Orisinalitas Untuk menuliskan penelitian-penelitian terhadap yang sejenis dan
menjelaskan perbedaan penelitian terdahulu (originalitas). Untuk penelitian yang belum ada penelitian terdahulunya mahasiswa wajib menjelaskan bahwa belum pernah ada penelitian mengenai masalah yang diangkat dalam usulan penelitian yang bersangkutan. Untuk substansi pembeda minimal 2 (dua) dengan indikator pembeda diantaranya adalah judul, permasalahan, dan indikator-indikator yang lainnya. Adapun indikator tersebut, yaitu sebagai berikut : No. 1
2
Nama Penulis I Made Sederhana Utama NIM. 9203020140
I G A R Dwijayanti NIM. 9103020003
Materi Yang Dulu Judul : Prosedur Dan Sahnya Jual Beli Tanah Berdasarkan Hukum Adat Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (Studi Kasus Di Desa Rendang, Kabupaten Tingkat II Karangasem). Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah Prosedur Dan Sahnya Jual Beli Tanah Ditinjau Dari Hukum Adat Dan UUPA? 2. Masalah-Masalah Apakah Yang Timbul Dalam Hubungannya Dengan Jual Beli Tanah Setelah Keluarnya UUPA Yang Dilakukan Menurut Hukum Adat? Judul : Suatu Tinjauan Hukum Tentang Sahnya Jual Beli Tanah Pekarangan Desa Di Desa Adat Besang Kangin Kabupaten Dati II Kelungkung. Rumusan Masalah : 1. Bagaimana Eksistensi Tanah Pekarangan Desa Di Desa Adat Besang Kangin Bila Ditinjau Dari Perkembangan Keadaan Masyarakat Sekarang?
9
3
Luh Kadek Ariani NIM. 9715020010
4
I Made Rai Mahayoga NIM. 030 300 5086
1. 5.
2. Bagaimanakah Tata Cara Pengalihan Hak Atas Tanah Pekarangan Desa Di Desa Adat Besang Kangin Tersebut? 3. Apakah Tanah Pekarangan Desa Dapat Diperjualan-Belikan? Judul : Akibat Hukum Terbitnya Sertifikat Dari Peralihan Hak Atas Tanah Yang Cacat. Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah Akibat Hukum Dari Sebidang Tanah Yang Memiliki Sertifikat Dari Peralihan Hak Atas Tanah Yang Cacat? 2. Terhadap Terbitnya Dua Sertifikat Dari Peralihan Hak Atas Tanah Tersebut Manakah Yang Sah Menurut Hukum? Judul : Akibat Hukum Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat (Tanpa Akta PPAT) Setelah Berlakunya UndangUndang Pokok Agraria. Rumusan Masalah : 1. Apakah Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang Tidak Dilakukan Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah / PPAT Tetapi Sudah Dilakan Menurut Hukum Adat Dapat Dianggap Sah? 2. Bagaimanakah Prosedur Pendaftaran Jual Beli hak Milik Atas Tanah yang Dilakukan Tanpa Akta PPAT?
Tujuan Penulisan Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang dikelompokkan dalam tujuan
umum dan tujuan khusus.
10
a.
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
memahami mengenai pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli terkait dengan Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE-100/I/2013. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dan penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE-100/I/2013. 2. Untuk
mengetahui
Faktor-faktor
yang menghambat
pelaksanaan
pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE100/I/2013.
1. 6.
Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian / bahan penelitian lebih lanjut serta menambah informasi mengenai pendaftaran peralihan hak milik atas tanah di Kabupaten Bangli setelah diterapkannya Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/SE-100 /I/2013.
11
b. Manfaat Praktis Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam pendaftaran peralihan hak milik atas tanah serta masyarakat pada umumnya yang terlibat dalam transaksi jual beli tanah.
1. 7.
Landasan Teoritis Sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan skripsi ini digunakan
landasan teoritis sebagai berikut : Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Republik Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.6 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law),
6
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, h.153.
12
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law)7 (vide Pasal 27 ayat (1) UUD RI tahun 1945). Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law). Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/ kebebasaan yang tertib (ordered liberty). Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan, due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk
7
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung, h.207.
13
kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.8 Pada bukunya John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty yang berjudul Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa “sistem hukum (legal system) terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture)”.9 Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut : “The structure of a legal system consists of elements of this kind : the number and size of courts; their yurisdiction (that is what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police department follow, and so on”.10 Mengacu kepada rumusan di atas, maka Pengadilan beserta organisasinya, dan DPR merupakan elemen strukutur dari sistem hukum. Lembaga DPR sebagai
8
Ibid.
9
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi Cendekia, Jakarta, h.37. 10
Ibid.
14
elemen struktur, alat-alat kelengkapan dan anggota DPR merupakan aspek struktut dalam sistem hukum. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut : “By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system. This is, first of all, „the law‟ in the popular sence of the term-the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that „by law‟ a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar”.11 Dengan demikian, Friedman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan substansi hukum adalah peratura-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai hukum yang merupakan substansi hukum. Elemen ketiga budaya hukum (legal culture), Friedman mengartikannya sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisan Friedman merumuskannya sebagai berikut : “By this we mean people‟s attitudes toward law and the legal system-their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system”.12 Hubungan ketiga elemen sistem hukum tersebut Friedman menggambarkan sistem hukum sebagai suatu proses produksi dengan menempatkan mesin sebagai
11
Ibid., h.38.
12
Ibid., h.39.
15
struktur kemudian produk yang dihasilkan sebagai substansi hukum, sedangkan mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen budaya hukum. Struktur dan substansi merupakan ciri-ciri kukuh yang terbentuk pelan-pelan oleh kekuatan-kekuatan sosial dalam jangka panjang. Kultur hukum juga bisa mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan, yakni sikap mengenai akan dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia, hal tersebut juga akan mempengaruhi produk hukum yakni Putusan Pengadilan.13
Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).14 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”15, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami
13
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, h.18. 14
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h.35-36. 15
Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya, h.30.
16
sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.16 Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.17 Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.18 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten
16
A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, h.52. 17
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h.37-38. 18
Miriam Budiardjo, op.cit, h.35.
17
complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.19 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.20 Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
19
Rusadi Kantaprawira, op.cit, h.39.
20
Philipus M. Hadjon, 2005, Tentang Wewenang, Universitas Airlangga, Surabaya, h.1.
18
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum
publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.21 Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.22 Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: “Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer”, (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).23 Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan
21
Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, h.22. 22
Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.65. 23
Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h.4.
19
kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).24 Atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.25 Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator
24
Sonny Pungus, 2011, “Teori Kewenangan”, available from : URL : http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html, data diakses tanggal 27 Juli 2014. 25
Ibid.
20
(organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.26 Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.27 Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya
dimungkinkan
jika
ada
ketentuan
yang
memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c) Delegasi
tidak
kepada
bawahan,
artinya
dalam
hierarki
kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
26
Ibid.
27
Ibid.
21
e) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.28 Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan
yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.29
1. 8.
Hipotesis Berkaitan dengan permasalahan diatas dapat ditarik jawaban sementara,
yaitu sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE-100/I/2013, yaitu sebagai berikut : a) Perndaftaran Peta Zona Nilai Tanah dan Aset Properti b) Pengecekan sertipikat
28
Philipus M. Hadjon, op.cit, h.5.
29
F.A.M. Stroink, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, h.219.
22
c) Pendaftaran peralihan hak milik karena jual beli 2. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli setelah berlakunya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 1/SE-100/I/2013, yaitu sebagai berikut : a) Kelengkapan berkas yang di ajukan oleh pemohon kurang lengkap
dan
tidak
sesuai
dengan
persyaratan
yang
dintentukan. b) Permohonan Peta Zona Nilai Tanah dan Asset Property yang memerlukan waktu yang cukup lama. c) Peralatan dan sarana pendukung yang kurang memadai. d) Penentuan Zona nilai tanah tidak sesuai dengan harga yg sebenarnya. e) Kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai permohonan Peta Zona Nilai Tanah dan Asset Properti kepada Masyarakat.
1. 9.
Metode Penelitian Dalam penulisan sebuah karya ilmiah, digunakan sebuah metode atau cara
untuk menemukan atau menentukan hasil dan penelitian tersebut. Metode ini penting karena sangat menentukan kualitas hasil penelitian. Dalam laporan ini, metode penulisan yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut :
23
a.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum empiris, dimana
penelitian hukum empiris adalah studi yang dilakukan berdasarkan data hasil pengamatan, pengalaman, trial and error (uji coba), juga menggunakan kelima panca indera manusia (penglihatan, perasa, penciuman, pendengaran, dan sentuhan) dan bukan secara teoritis serta spekulasi. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bermaksud untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan. Gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala, atau menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
b. Jenis Pendekatan Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Pendekatan
Perundang-Undangan,
yaitu
mengkaji
berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan masalah yang telah dirumuskan untuk dapat menjelaskan bagaimana pendafataran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli di Kabupaten Bangli. 2) Pendekatan Fakta, yaitu mengkaji kenyataan yang ada di lapangan tentang kendala-kendala yang dapat menghambat pendafataran peralihan hak milik atas tanah karena jual beli dan menemukan cara penyelesaian yang digunakan di lapangan dan mengkaji kembali dengan Peraturan Perundang-Undnagan dari kenyataan yang ada di lapangan tersebut.
24
c.
Data Dan Sumber Data Adapun sifat dan sumber data yang dipergunakan untuk membahas
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini bersumber dari : a) Data primer adalah data yang bersumber dan penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh dari sumber pertama dilapangan yaitu baik dari responden maupun dari informan.30 Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bangli, Bapak/Ibu Notaris/PPAT yang memiliki daerah kerja Kabupaten Bangli, dan masyarakat umum yang melakukan transaksi jual beli tanah di Kabupaten Bangli. b) Data sekunder adalah data yang bersumber dan penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dan data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.31 Bahan hukum itu sendiri terdiri dan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan badan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundangundangan. Adapun peraturan perundang-undangan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain :
30
Ibid.
31
Ibid.
25
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional; 5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 6) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan; 7) Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1/SE-100/I/2013 tentang Pengenaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder terdiri dari pedapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam buku-buku hukum, media cetak yang
26
memiliki relevansi dengan penelitian ini dan artikelartikel perkembangan hukum pada media internet. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini untuk bahan hukum tersier digunakan kamus-kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dan kamus-kamus ilmiah.
d. Teknik Pengumpulan Data Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data yaitu bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.32 Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Teknik wawancara (interview), yaitu suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data guna mencari informasi dengan cara mengadakan tanya jawab secara lisan dan tulisan yang diarahkan pada masalah tertentu dengan informan yang dalam hal ini terdiri dan Pejabat-Pejabat di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Bangli, Bapak/Ibu Notaris yang memiliki daerah kerja di Kabupaten Bangli, dan masyarakat yang melakukan transaksi jual beli tanah. Wawancara yang dilakukan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
32
Amirudin dan Zamal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.67.
27
2) Data kepustakaan atau bahan pustaka, yaitu data-data yang diperoleh dan atau bersumber dan buku-buku atau literatur-literatur yang menjadi bahan bahan dan kemudian dipahami selanjutnya dilakukan pencatatan dengan mengutip teori-teori hukum yang relevan dengan permasalahan dan penelitian baik merupakan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.
e.
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling. Pengambilan
sampel dengan teknik ini memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya. Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa jumlah sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Pada teknik ini tidak semua elemen dalam populasi menclapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Adapun yang menjadi alasan peneliti untuk memilih teknik ini adalah karena jumlah populasi yang tidak dapat ditentukan secara pasti karena tidak dapat diketahui secara pasti berapa jumlah pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang terjadi. Disamping itu penelitian ini bersifat deskriftif dan tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya. Bentuk non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
28
1) Quota
sampling,
yaitu
suatu
proses
penarikan
sampel
dengan
memperhatikan sampel yang paling mudah untuk diambil dan sampel tersebut telah memenuhi cirri-ciri tertentu yang menarik perhatian peneliti.33 2) Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dan populasinya.34 3) Snowball Sampling, yaitu penarikan sample berdasarkan pada penunjukan atau rekomendari dari sampel sebelumnya.35
f.
Pengolahan Dan Analisa Data Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang tengah diteliti, maka
keseluruhan data yang telah diperoleh baik bersumber dari data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisa dari segi teori dan prakteknya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa kualitatif yakni merupakan data yang tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis atau tidak tertulis serta bentuk-bentuk non angka lainnya.36 Setelah pengolahan data
33
Ibid.
34
Ibid, h.87.
35
Amirudin dan Zamal Asikin, loc.cit.
36
M. Syamsudin, op.cit, h.133.
29
selesai dilakukan, maka hasil pembahasan dan data tersebut disajikan secara analisis deskriptif.