BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya, serta memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian. Sebagian besar masyarakat Bali masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, bahkan dari budaya masyarakat pertanian di Bali telah melahirkan sebuah organisasi dalam bidang pertanian yang disebut dengan subak. Sektor pertanian di Bali juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pertumbuhan perekonomian di Provinsi Bali. Pembangunan ekonomi era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan isu globalisasi berimplikasi pada percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya. Paradigma pembangunan wilayah saat ini perlu memperhatikan kekhususan wilayah yang dapat meningkatkan potensi wilayah tersebut. Upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada (Herdhiansyah, 2012). Menurut Patrisina (2011), OVOP (One Village One Product) dalam sepuluh tahun terakhir berkembang hampir di seluruh dunia, dan produk-produknya mendapat respon cukup besar dari buyers di setiap negara. Konsep OVOP mengutamakan produk unik yang ada disetiap daerah dan keunikan tersebut menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan proses produksinya. Keberhasilan dan kekurangan pelaksanaan program OVOP dapat dipelajari sebagai bahan yang sangat berharga untuk mengadaptasi atau menciptakan program sejenis di Indonesia.
Di Indonesia, pendekatan OVOP mulai digagas pada tahun 2006 oleh Kementerian Perindustrian yang kemudian ditandai dengan terbitnya Inpres No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Peraturan Menperin No.78/M-Ind/Per/9/2007 tentang peningkatan efektivitas pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM) melalui pendekatan OVOP yang saling mengkait untuk mendorong produk lokal industri kecil dan menengah agar mampu bersaing di pasar global (Pasaribu, 2011). Salah satu sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia adalah sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor non-migas yang menjadi andalan untuk memperoleh devisa bagi Indonesia. Sektor ini juga dituntut untuk meningkatkan perolehan devisa negara dengan jalan meningkatkan volume ekspor hasil pertaniannya. Penerimaan devisa negara dari ekspor produk pertanian yang sempat turun di masa krisis ekonomi tahun 1998-1999, kembali mengalami masa pemulihan di tahun 2000-2005. Pada masa sebelum krisis (1995-1997) nilai ekspor sebesar 5 miliar US$/tahun. Di masa krisis mengalami penurunan menjadi 4.6 miliar US$/tahun, namun setelah masa krisis nilai ekspor kembali meningkat menjadi 6.5 miliar US$/tahun (www.deptan.go.id). Sebagai upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia meluncurkan program OVOP (One Village One Product). Program OVOP ini adalah kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Taiwan. Produk ini dikembangkan di Kabupaten Badung, tepatnya di Kecamatan Petang adalah agrikultural dengan pendekatan OVOP melalui koperasi. Program OVOP bertujuan untuk: 1) mengembangkan produk unggulan yang memiliki potensi pemasaran lokal maupun internasional
(ekspor), 2) mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta nilai tambah produk, agar dapat bersaing dengan produk dari luar, 3) meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan sehingga dapat mengurangi urbanisasi. Sektor pertanian memiliki kontribusi langsung dalam pembentukan ProdukDomestik Regional Bruto (PDRB), penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat. Selain itu, sektor pertanian juga berperan dalam penyediaan bahan pangan dan perolehan devisa melalui ekspor hasil pertanian. Namun demikian, sistem pertanian di Indonesia masih memerlukan upaya perbaikan dan revitalisasi agar terjadi percepatan atau akselerasi peningkatan produktivitas dan daya saing pelaku usaha pertanian. Bali sendiri sebagai sebuah provinsi di Indonesia memerlukan upaya perbaikan dan revitalisasi di sektor pertanian. Hal ini tercermin dari kondisi PDRB Provinsi Bali berdasarkan lapangan usaha. Berikut ini PDRB Provinsi Bali atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha pada tahun 20092013 disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 PDRB Provinsi Bali Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2013 (dalam milliar rupiah) Lapangan Usaha (1) Pertanian, Pertenakan, Kehutanan, dan Perikanan 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB)
Tahun 2009 (2)
2010 (3)
2011 (4)
2012 (5)
2013 (6)
5.645,78
5.745,59
5.873,10
6.070,99
6.185,54
157,97 2.768,11 410,37 1.067,44
188,66 2.936,45 438,59 1.146,12
208,49 3.027,99 470,83 1.236,39
240,28 3.210,84 513,57 1.467,17
285,45 3.405,76 562,43 1.587,25
8.656,02
9.209,07
10.009,39
10.574,60
11.324,57
3.016,62
3.190,61
3.381,20
3.636,78
3.843,55
1.899,19 3.669,44
2.041,02 3.986,38
2.167,88 4.382,50
2.366,83 4.723,32
2.601,52 5.002,21
27.290,95
28.882,49
30.757,78
32.804,38
34.798,28
1
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa sektor pertanian, perternakan, kehutanan dan perikanaan memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Bali. Selama periode tahun 2009-2013 kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Provinsi Bali terus mengalami fluktuatif yaitu pada tahun 2009 sebesar 27.290,95 milliar rupiah, sebesar 28.882,49 milliar rupiah pada tahun 2010, sebesar 30.757,78 milliar rupiah pada tahun 2011, pada tahun 2012 sebesar 32.804,38 milliar rupiah, serta tahun 2013 sebesar 34.798,28 milliar rupiah. Di lokasi OVOP, Tim Bappenas dapat melihat secara langsung aktifitas dari Tim Bappenas Pusat, Kamis 23 Mei 2014
mengunjungi One Village One Product (OVOP)
Asparagus Desa Pelaga, Kecamatan Petang. Kunjungan Tim Bappenas yang dipimpin Leonardo
Sambodo dan Gusti Rospia Wardani ini bertujuan untuk mengecek program Kementerian Koperasi dan UKM terkait dengan bantuan-bantuan pusat yang sudah diterima Koperasi Tani Mertanadi sebagai pengelola OVOP tersebut. Dalam kunjungannya, Tim Bappenas didampingi Kepala Dinas Koperasi UKM Perindag Badung I Ketut Karpiana beserta sejumlah staf Disperindag. Koperasi Tani Mertanadi dalam mengumpulkan hasil-hasil produk OVOP dari petani berupa sayuran seperti asparagus, terong ungu, brokoli, pare putih, tomat cery dan berbagai komoditi sayur lainnya. Selain itu Tim Bappenas juga dapat melihat pembibitan dan perkebunan asparagus. Dari kunjungan tersebut Leonardo Sambodo merasa kagum dengan perkembangan pertanian di Badung Utara khususnya pertanian asparagus. Pihaknya yakin dana-dana bantuan yang telah diterima dari pemerintah pusat sudah dimanfaatkan dengan baik oleh Koperasi Tani Mertanadi. Ini dapat dilihat dari aktifitas koperasi yang begitu tinggi dan pemasarannya sampai ke luar negeri. Untuk itu Leonardo Sambodo mengharapkan pertanian asparagus dan sayur lainnya dapat terus berkembang sehingga mampu menggangkat kesejahteraan petani. “Kedepan kami harapkan areal pertanian asparagus dapat diperluas, karena permintaan pasar cukup besar. Kualitas dan harga dapat dijaga dengan baik, hal yang terpenting. Memfasilitasi pihak Koperasi Mertanadi dalam mencari bantuan-bantuan lainnya ke pemerintah pusat,” tegasnya. Sementara Kadis Koperasi, UKM Perindag Badung I Ketut Karpiana menjelaskan, pertanian asparagus di desa Pelaga telah berkembang dengan baik. Setidaknya saat ini luas areal asparagus sudah mencapai 45 Ha. Karpiana mengakui pertanian asparagus Pelaga ini memang sangat menjanjikan bagi masyarakat. Ini dapat dilihat, dimana permintaan asparagus dari konsumen cukup besar dan harganyapun cukup tinggi sehingga petani berlomba-lomba untuk bertani asparagus disamping komoditi lainnya. Lebih lanjut kata Karpiana mengatakan,
asparagus Pelaga merupakan satu-satunya asparagus terbaik di Indonesia bahkan di Asia. Melalui program OVOP ini, Koperasi Tani Mertanadi juga pernah meraih prestasi tingkat Nasional tahun 2012 sebagai penggiat OVOP. Tak hanya itu berbagai pameran juga pernah diikuti termasuk saat ini mengikuti pameran di Jakarta. “Keberhasilan ini juga tidak lepas dari peran serta pemerintah Taiwan yang selalu mendukung pengembangan program OVOP di Kabupaten Badung,” tambahnya. Apabila potensi tersebut dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal akan memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah pegunungan tersebut. Apabila dikembangkan lebih jauh merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Sayangnya sebagian besar wilayah pegunungan yang ada telah mengalami ancaman keberlanjutan yang sangat serius, sehingga perlu strategi penanganan (Retraubun dan Bengen, 2002). Pemerintah menempatkan asparagus sebagai salah satu komoditas yang diunggulkan dalam program revitalisasi sub sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa asparagus sebagai komoditas andalan akan mampu meningkatkan ekonomi khususnya sub sektor pertanian (Hikmayani, 2007). Lahan sebagai salah satu input atau faktor produksi merupakan pabriknya hasil-hasil pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan darimana hasil produksi itu keluar. Luas penguasaan lahan pertanian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses produksi ataupun usaha tani dan usaha pertanian. (Hosanna, 2009:28). Kualitas tanah menjadi penentu keberhasilan sebuah usaha pertanian. Penggunaan tanah dalam pertanian tidak hanya digunakan dalam satu kali masa produksi, namun hingga berkali-kali. Karena itulah kualitas tanah jelas mengalami penyusutan kualitas dari waktu ke waktu sehingga petani perlu melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah jelas memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Namun di sisi lain bila
konservasi tanah yang memakan biaya tersebut tidak dilakukan maka jumlah produksi akan berkurang dari waktu ke waktu seiring dengan menurunnya kualitas tanah (Yang, 2012). Tenaga kerja merupakan faktor pendukung dalam pertanian asparagus. Tenaga kerja yang bekerja sebagai petani asparagus berasal dari anggota rumah tangga petani asparagus tersebut walaupun ada yang berasal dari luar anggota rumah tangga petani asparagus. Mereka yang berasal dari luar anggota rumah tangga petani asparagus mencari penghasilan dengan bekerja di lahan orang lain karena tidak mempunyai lahan asparagus. Tenaga kerja yang bekerja sebagai petani asparagus tidak memerlukan pendidikan khusus, dengan modal “mampu mengetahui jenis asparagus yang siap petik/panen” mereka bisa dan dapat bekerja sebagai petani asparagus. Memetik asparagus yang ada di pohon, mengumpulkan hasil asparagus yang dipetik sebelumnya, memilahnya kedalam karung dan mengeringkan asparagus merupakan kegiatan yang dilakukan tenaga kerja selama proses panen asparagus. Tenaga kerja akan memperoleh pendapatan atau penghasilan bisa diambil per hari atau pada masa panen berakhir. Pendapatan yang diperoleh berbeda-beda tergantung banyak luas lahan yang dimiliki dan banyak tidaknya kemampuan memetik asparagus. Biaya dinyatakan sebagai pengorbanan yang mutlak dikeluarkan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu, oleh sebab itu perhitungan terhadap biaya yang telah dikeluarkan sangatlah penting di dalam menentukan keputusan yang tepat. Biaya dalam pengertian yang luas merupakan pengorbanan yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu (Abdul Halim, 1999). Biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani asparagus tegantung dari luas lahan yang dimiliki. Apabila luas lahan banyak maka biaya yang dikeluarkan semakin besar, sebaliknya apabila luas lahan sedikit maka biaya yang dikeluarkan juga sedikit. Selain biaya-biaya untuk pembelian bahan-bahan untuk keperluan panen, petani asparagus juga
mengeluarkan biaya tambahan seperti membeli makanan, biaya gaji dan upah buruh (tenaga kerja) yang berasal dari luar anggota rumah tangga petani asparagus. Biaya produksi yang dikeluarkan bermacam-macam tergantung dari tingkat kebutuhan. Misalnya biaya transportasi (untuk mengangkut hasil asparagus), dan sebagainya. Menurut Odhiambo (1996:26), keuntungan seorang petani berasal dari pertumbuhan tanaman asparagus yang diterima tergantung pada harga yang diterimanya dari hasil output, tingkat output yang mampu dihasilkan, dan biaya dalam memproduksi atau menghasilkan asparagus tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh petani asparagus secara umum dialokasikan pada dua aspek yaitu lahan dan jumlah tenaga kerja. Seorang petani akan dapat memperkirakan besarnya biaya untuk perawatan pohon, pemupukan dan pengobatan tanaman asparagus pada lahan dengan luas tertentu. Ketersediaan tenaga kerja yang makin berkurang akibat banyaknya tenaga kerja yang merantau keluar daerah telah mengakibatkan petani tidak bisa memperkirakan jumlah tenaga yang diperlukan beserta biaya upah buruh pada suatu luas lahan tertentu. Karena itu petani di Petang akan mencari tenaga kerja terlebih dahulu hingga dirasa cukup memadai maka biaya upah akan dinegosiasikan pada saat menjelang panen. Karena kondisi ini
maka umur
petani,
pendidikan petani, jenis kelamin, pengalaman bertani dalam usahatani, luas tanah garapan dan pendapatan usahatani setahun berpengaruh terhadap produktivitas petani asparagus ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari penelitian ini maka permasalahan yang diangkat adalah
sebagai berikut. 1) Bagaimanakah pengaruh pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, dan modal terhadap jumlah produksi asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung?
2) Bagaimanakah pengaruh pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, modal dan jumlah produksi terhadap produktivitas petani asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung? 3) Adakah pengaruh tidak langsung pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, dan modal terhadap produktivitas melalui jumlah produksi petani asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk
menganalisis pengaruh pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga
kerja, pengalaman kerja, dan modal terhadap jumlah produksi asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. 2) Untuk menganalisis pengaruh pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, modal dan jumlah produksi terhadap produktivitas petani asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. 3) Untuk menganalisis pengaruh tidak langsung pelatihan, pendidikan, umur, luas lahan, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, dan modal terhadap produktivitas melalui jumlah produksi petani asparagus di Kecamatan Petang Kabupaten Badung.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil-hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Manfaat teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk pembuktian teori atau memperkuat teori dan hasil penelitian sebelumnya. Selain itu diharapkan menjadi referensi untuk penelitian berikutnya. 2) Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Pemerintah Kabupaten Badung khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalan berupa asparagus. Manfaat lainnya juga diharapkan dapat dirasakan oleh petani asparagus untuk lebih meningkatkan produktivitas asparagusnya.