1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia untuk melakukan sebagian besar rutinitasnya. Seperti untuk bercocok tanam, dan sebagai tempat tinggal, terlebih lagi di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan kehidupannya dari tanah. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional. Keberadaan tanah yang terbatas, dan tidak bertambah berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dari waktu kewaktu. Hal ini menjadikan tanah sebagai salah satu objek yang paling dicari masyarakat, terlebih untuk tanah-tanah yang secara geografis maupun tata kota dilihat sangat menguntungkan, sehingga tidak heran seringkali terjadi persaingan-persaingan untuk memperoleh tanah, bahkan saling klaim sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Kompleksitas permasalahan yang terjadi menyangkut pertanahan ini, di sisi lain juga meningkatkan nilai ekonomis tanah menjadi semakin tinggi.
1
2
Harga tanah yang semakin mahal dan sulit untuk diperoleh menjadikan tanah sebagai salah satu objek investasi bagi kalangan pemilik modal, karena presentase keuntungan yang cukup menjanjikan, di sisi lain juga menjadi salah satu faktor yang menimbulkan sengketa dan konflik di bidang pertanahan baik mengenai status kepemilikannya, pengusahaannya, maupun administrasinya. Konflik yang menyangkut bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat di dalam kompleksitas permasalahannya maupun kualitasnya seiring dengan dinamika perubahan yang terjadi di bidang sosial, maupun ekonomi. Selain itu adanya perubahan pola pikir masyarakat tentang pentingnya tanah sebagai kebutuhan dasar dalam kehidupannya, tidak heran tanah kemudian sering menjadi akar penyebab terjadinya konflik di Indonesia. Konflik sumber daya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir (2010-2013) menurut Widiyanto, menyita perhatian publik, mulai dari pemerintah, Parlemen, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,1 dan Lembaga Swadaya Masyarakat, mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada trend yang cukup kuat, konflik yang sebelumnya bersifat laten, beberapa tahun belakangan berubah menjadi manifest.2 Sehingga penanganan kasus pertanahan menjadi salah satu dari lima program prioritas Badan Pertanahan Nasional di samping layanan rakyat untuk sertifikasi tanah (LARASITA), reformasi birokrasi, reforma agraria, dan legalisasi aset.
1 2
Selanjutnya disebut Komnas HAM Widiyanto, 2013, Potret Konflik Agraria di Indonesia, bhumi Jurnal Ilmiah Pertanahan PPM – STPN Nomor 37, Pusat Peneltian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional; Yogyakarta, hlm. 15
3
Sebagai sebuah program prioritas, penyelesaian kasus-kasus pertanahan senantiasa menjadi perhatian seluruh jajaran Badan Pertanahan Nasional RI di tingkat Pusat, Kantor Wilayah Provinsi maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Sampai dengan bulan September 2013, menurut data Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, jumlah kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau 47,69% yang tersebar di 33 Provinsi seluruh Indonesia3. Untuk penyelesaian kasus pertanahan di masingmasing daerah, menurut data yang diperoleh dari situs resmi Badan Pertanahan Nasional, Sampai dengan bulan September 2013, Gorontalo menduduki peringkat ke-2 (dua) dalam jumlah tabulasi penyelesaian kasus pertanahan, dengan 279 (dua ratus tujuh puluh Sembilan) kasus setelah Provinsi Kalimantan Barat dengan 313 (tiga ratus tiga belas) kasus yang telah diselesaikan.4 Salah satu permasalahan yang menimbulkan kasus pertanahan di Indonesia adalah mengenai Hak Guna Usaha.5 Permasalahan yang sering terjadi mengenai HGU sendiri diantaranya mengenai konflik yang timbul antara pemegang hak atas tanah HGU dengan masyarakat sebagai penggarap, antara penggarap dengan penggarap, bahkan anatara penggarap dengan Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan lain sebagainya. Demikian pula halnya
3
4 5
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2014, Program Prioritas Penanganan Kasus Pertanahan, diakses (16 November 2014), Ibid Selanjutnya disebut HGU
4
dengan konflik HGU yang terjadi di Kecamatan Dungalio, Kabupaten Gorontalo,
konflik yang terjadi di Kecamatan Dungalio Kabupaten
Gorontalo, di sebabkan adanya klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku sebagai eks penggarap yang sah atas tanah eks HGU Mootoduwo dan eks HGU Matolotaluhu tentunya dengan dasar dan argumentasinya masingmasing, sehingga merasa paling berhak dibandingkan yang lainnya, sehingga berhak untuk memperoleh pembagian dari tanah eks HGU tersebut yang nantinya akan di redistribusikan Pemerintah Daerah.6 Konflik tanah eks HGU yang terjadi di Kecamatan Dungalio ini menjadi persoalan yang kembali menghangat dua tahun belakangan di Provinsi Gorontalo. Konflik HGU ini sebenarnya sudah dimulai sejak masa HGU masih aktif, bahkan jauh sebelum HGU yang pada saat itu dikenal dengan Erfpacht yang pada saat itu digugat oleh pihak yang merasa berhak atas lahan tersebut, untuk menggarap lahan secara bersama-sama, namun kemudian dimenangkan oleh pemegang Erfpacht yang ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah pada saat itu. Setelah masa HGU berlaku, kembali muncul gugatan terhadap
PT.Mootoduwo
sebagai
pemegang
HGU
Mootoduwo
dan
Matolotaluhu, kali ini dasar gugatan yang dilayangkan adalah mengenai pewarisan, namun kemudian pihak PT.Mootoduwo dimenangkan oleh Pengadilan tingkat III setelah berproses sekian lama, gugatan demi gugatan ini, kemudian menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang menjadi cikal-bakal konflik yang terjadi saat ini.
6
Selanjutnya disebut Pemda
5
Rentetan konflik HGU yang panjang ini akhirnya menelan korban jiwa yaitu direktur PT.Mootoduwo, tidak lama setelah adanya putusan pengadilan tingkat III
terhadap lahan HGU Mootoduwo dan HGU Matolotaluhu
diterimanya, yang isi putusannya memenangkan pihak PT.Mootoduwo sebagai pemegang HGU yang sah. Direktur PT.Mootoduwo ini dibunuh dengan karena dilatar belakangi oleh rasa sakit hati karena merasa dirugikan dengan tindakannya yang sewenang-wenang dalam mengalihkan lahan garapan, yang menyebabkan kelompok penggarap yang menyatakan diri sebagai kelompok eks penggarap kehilangan lahan garapannya, yang berarti kehilangan penghidupan dan mata pencahariannya. Puncaknya pada tahun 2013 hampir terjadi konflik berdarah di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo antara dua kelompok yang mengaku dan mengklaim sebagai eks penggarap yang sah terhadap lahan eks HGU Mootoduwo dan eks HGU Matolotaluhu, dimana pada saat itu kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sawah lahan eks HGU Mootoduwo dengan posisi masing-masing pihak telah siap dengan perlengkapan konfliknya mulai dari pisau, parang, panah wayar, hingga senapan sebagai alat yang siap digunakan jika pada saat itu benar terjadi. Keadaan ini menyebabkan Pemerintah Daerah terlibat untuk menetralisir situasi yang rawan saat itu dengan mengambil alih penguasaan lahan eks HGU Mootoduwo dan eks HGU Matolotaluhu dan menetapkan Status Quo terhadap lahan tersebut sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan, dengan janji akan melakukan Redistribusi lahan eks HGU Mootoduwo dan lahan eks HGU
6
Matolotaluhu kepada masyarakat. Sehingga mulai saat itu lahan eks HGU dikosongkan, dan tidak ada pihak yang dibolehkan untuk mengelola lahan tersebut. Tindakan Pemerintah ini pun kemudian menimbulkan persoalan baru antara pihak yang mengaku sebagai penggarap dengan pihak pemerintah daerah. Persoalan besar dalam konflik lahan eks HGU Mootoduwo dan lahan eks HGU Matolotaluhu ini adalah apa yang menjadi alas hak dan dasar argumen para pihak sehingga menyatakan diri sebagai eks Penggarap lahan eks HGU tersebut, apakah alas hak yang dimiliki adalah sah dan diakui secara hukum, dan bagaimana mekanisme redistribusi lahan yang dilakukan Pemerintah Daerah, Serta pertimbangan apa yang digunakan Pemerintah Daerah dalam melakukan redistribusi lahan eks HGU Mootoduwo dan eks HGU Matolotaluhu, dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini sampai dengan saat ini masih membutuhkan penjelasan, dan solusi penyelesaiannya. Inilah yang menarik bagi saya untuk melakukan sebuah penelitian yang lebih mendalam mengenai permasalahan HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo.
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan para pihak terhadap tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo?
7
2. Solusi apa yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik hukum tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, ditemukan hasil penelitian tesis yang terkait dengan permasalahan yang dikaji oleh calon peneliti yaitu : 1. Konflik Tanah HGU (HGU) di Era Reformasi (studi kasus di desa Banyuringin Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal), yang disusun oleh Siswoyo Pada Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, tahun 2003. Penulis tersebut mengambil permasalahan mengenai mengapa timbul konflik tanah HGU (HGU) di era reformasi khususnya dalam kasus yang terjadi di Dukuh Tempuran, Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Bagaimana mengatasi konflik tanah HGU (HGU) di era reformasi khususnya dalam kasus yang terjadi di Dukuh Tempuran, desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kandal dan bagaimana mencegah timbulnya konflik HGU.7 Dari hasil penelitian di atas, tidak identik dengan penelitian yang akan dilakukan yang berjudul konflik hukum tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo, sebab dalam penelitian tersebut di atas,
7
Siswoyo, 2003, “Konflik Tanah HGU (HGU) di Era Reformasi (studi kasus di desa Banyuringin Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal)”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, hlm. 9-10
8
permasalahan yang diangkat berbeda dengan rumusan masalah yang akan diteliti, sehingga fokus dan objek penelititannya pun berbeda. Peneliti terdahulu dalam rumusan masalah yang pertama mengangkat tentang mengapa timbul konflik HGU? Sedangkan dalam penelitian ini faktor penyebab timbulnya konflik sudah diketahui, adalah karena saling klaim sebagai pemegang sah hak atas tanah di Kecamatan Dungalio, sehingga dalam penelitian ini akan memposisikan para pihak berdasarkan hukum yang berlaku. Selain itu, penelitian di atas diketahui telah menjadi sengketa yang sudah memperoleh putusan dari pengadilan tingkat pertama yang kemudian dilakukan banding dan belum memperoleh putusan yang inkracht. Sedangkan dalam penelitian ini lebih spesifik akan mengkaji mengenai kedudukan hukum para pihak terhadap HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo, yang disebabkan saling klaim hak atas tanah dikecamatan dungalio, yang belum memiliki putusan yang inkracht. Dan untuk itu pula akan disarankan solusi yang mungkin dapat ditempuh dalam menyelesaikan Konflik hukum HGU di Kecamatan Dungalio, Kabupaten Gorontalo. 2. Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah Eks hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai (studi di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung), yang disusun oleh Sukayadi Pada Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2011. Peneliti tersebut mengambil permasalahan yaitu faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik penguasaan tanah eks HGB PT.
9
Way Halim Permai di Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung?, upaya-upaya apa yang sudah dilakukan dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah eks HGB PT. Way Halim Permai di Kecamatan Sukarame, Kota Bandar lampung?, dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah eks HGB PT.Way Halim Permai di kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung?.8 Penelitian ini tidak identik dengan penelitian yang akan dilakukan, sebab dari objek penelitiannya adalah (HGB) berbeda dengan objek penelitian yang akan diteliti adalah mengenai tanah eks (HGU). Sedangkan rumusan masalahnya pun berbeda dengan yang akan diteliti dimana peneliti tersebut mempertanyakan faktor penyebab, upaya yang telah dilakukan serta kendala yang dihadapi, sedangkan dalam penelitian ini akan memposisikan kedudukan para pihak dalam konflik HGU dan memberikan alternatif solusi dalam penyelesaian konflik yang dimaksud.
D. Faedah yang diharapkan Faedah yang ingin dicapai dari Penelitian ini antara lain: 1. Secara Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman ilmu hukum pertanahan, khususnya mengenai HGU. b. Dapat dijadikan alternatif rujukan dalam penulisan atau penelitianpenelitian hukum agraria selanjutnya. 8
Sukayadi, 2011, “Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah Eks Hak Guna Bangunan PT.Way Halim Permai (studi di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada, hlm. 10
10
2. Praktis a. Bagi Pemerintah Kabupaten Gorontalo, memberikan masukan mengenai kedudukan para pihak terhadap tanah eks HGU khususnya yang ada di kecamatan Dungalio, Kabupaten Gorontalo. b. Bagi Kantor Pertanahan Kabupaten Gorontalo, memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai kedudukan para pihak yang mengklaim sebagai yang berhak terhadap tanah eks HGU Mootoduwo dan eks HGU Matolotaluhu di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo. c. Bagi pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik yang ada di Kecamatan Dungalio kabupaten Gorontalo, memberikan gambaran mengenai Posisi para pihak dalam konflik hukum tanah eks HGU, sehingga paham mengenai kedudukannya terhadap tanah eks HGU jika disandarkan pada hukum positif yang berlaku,
serta memberikan
alternatif penyelesaian terhadap konflik yang dihadapi.
E. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Memahami, menganalisis dan mendeskripsikan kedudukan hukum para pihak terhadap tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio. 2. Memberikan saran sebagai solusi dalam menyelesaikan konflik hukum tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio, Kabupaten Gorontalo, sekaligus sebagai bahan kajian untuk menyelesaikan konflik-konflik hukum HGU lain baik yang sedang atau akan terjadi khususnya di Provinsi Gorontalo.