1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Dengan demikian setiap orang sebagai bagian dari bangsa Indonesia membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan orang yang tidak membutuhkan tanah.1 Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.2 Dari sisi dimensi ekonomi telah terjadi perkembangan nilai ekonomi tanah sejak lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disahkan pada tanggal 24 September 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) yang disebut juga dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) sampai sekarang. Pada saat itu tanah hanya dibutuhkan untuk semata-mata pertanian, perkebunan, yang oleh warga 1 2
Anshari Siregar, 2005, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik, Medan, hal. 2. Bernhard Limbong, 2012, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, hal.1.
2
masyarakat petani dijadikan sumber mata pencahariannya yang utama. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, tanah kemudian mengalami kemajuan nilai yang saat ini sering dikenal dengan tanah sebagai komoditas ekonomi, yaitu tanah dijadikan objek transaksi, baik yang lahir karena dijadikan tempat hunian, sebagai lahan akomodasi pariwisata seperti tempat rekreasi, villa, hotel, serta digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas seperti swalayan dan yang lain, yang pada dasarnya menjadi status simbol kemajuan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, secara ekonomis tanah telah dijadikan komoditas ekonomi yang dinilai bukan hanya sebagai tanah pertanian akan tetapi telah berkembang menjadi tanah kawasan perumahan, tanah kawasan industri, tanah kawasan penunjang pariwisata, dan tanah kawasan pariwisata. Dimensi sosial, tanah sejalan dengan jiwa daripada UUPA, terutama dalam Pasal 6 UUPA yang menentukan: ”semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal ini berarti bahwa tanah oleh pemiliknya tidak semata-mata digunakan, dimanfaatkan dan dikuasasi untuk kepentingan dirinya sendiri, akan tetapi digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang lebih luas dalam rangka tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Misalnya tanah-tanah pribadi maupun tanah negara yang diperuntukkan untuk didirikan fasilitas umum, kantor pemerintahan, panti asuhan, lapangan tempat bermain, dan lain-lain, yang pada
dasarnya
ditujukan
untuk
memberikan
tempat
atau
ruang
bagi
terselenggaranya hubungan harmonis antara satu orang dengan orang sebagai anggota masyarakat.
3
Demikian juga halnya dengan tanah memiliki dimensi kultural, yang pada dasarnya terkait dengan dimensi sosial. Hal tersebut terkait dengan sikap, cara pandang, serta keyakinan yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat tentang kedudukan tanah bagi kehidupannya, sehingga dari sisi dimensi kultural, oleh kelompok atau masyarakat tertentu dipandang sebagai sesuatu yang bersifat religius. Dari sisi politik, tanah dapat dijadikan komoditas politik dalam artian tanah dieksploitasi oleh pelaku politik untuk mencapai tujuan politiknya. Di masa lalu, program land reform merupakan program pemerintah orde baru yang betujuan untuk merealisasikan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia selain untuk kepentingan politik penguasa agar rakyat memberikan kepercayaan kepadanya bahwa ditangan penguasa itulah tujuan mensejahterakan rakyat dapat tercapai. Di saat sekarang Pemerintah mencanangkan program land reform plus yang berisikan program pemerintah tentang pencanangan pendistribusian tanah di tahun 2007-2014 kepada rakyat luas, kurang lebih 8 juta hektar.3 Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar serta mendukung kehidupan semua makhluk hidup yang ada hidup di bumi, sehingga tanah disebut mempunyai dimensi ekologis, yang berarti bahwa tanah dijadikan sebagai tempat berkesinambungan 3
Yuswanda A. Tumenggung, 2008, Reformasi Agraria Nasional (Land Reform Plus) Kebijakan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, Fakultas Hukum Unibraw, Malang, hal. 25.
4
atau berjalannya ekosistem alam dimana tempat manusia itu hidup, beraktivitas dan menjalankan kehidupannya (di Bali dikenal dengan konsep Tri Hita Karana4). Bagi bangsa Indonesia, tanah yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa harus diusahakan, dimanfaatkan dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, karena merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa. Oleh sebab itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata dalam
bentuk
penyediaan,
peruntukan,
penguasaan,
penggunaan
dan
pemeliharaannya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan agar terjamin kepastian hukum serta terselenggaranya perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani. Secara normatif, keberadaan tanah sebagai karunia Tuhan berikut hubungannya dengan bangsa Indonesia terutama dalam rangka mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan dalam UUPA. Lahirnya UUPA mengandung makna idiologis, karena mencerminkan kehendak dan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan hak-hak rakyat atas tanah yang dilakukan oleh penguasa penjajah (kolonial Belanda). Perlawanan tersebut baik dalam bentuk menyusun dan memberlakukan sistem atau stelsel hukum baru,
4
Filosofi Tri Hita Karana berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagiaan (hita) yaitu Ida Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia). Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan alam semesta, dan dengan sesama manusia. Lihat Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 45.
5
yaitu membentuk dan memberlakukan sistem hukum agraria nasional dengan mengganti sistem hukum agraria peninggalan penjajah (kolonial) maupun menghapus praktek penghisapan dan pemerasan rakyat miskin oleh yang kaya. UUPA diundangkan dengan tujuan untuk: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur; (2) meletakkan dasardasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Tujuan UUPA tersebut menunjukkan bahwa pengaturan penyediaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah atau tanah sebagai obyek pengaturan dalam UUPA dengan jelas ditujukan untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan bagi rakyat seluruhnya dalam rangka tercapinya masyarakat adil dan makmur. Diundangkannya UUPA di sisi lain juga mempunyai arti sebagai tonggak sejarah dalam hukum agraria di Indonesia karena melahirkan perubahan fundamental di bidang agraria yaitu: “perubahan dari hukum kolonial menjadi hukum nasional yang mempunyai sifat unifikasi hukum, sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia.” 5 Dalam kedudukannya seperti itu, UUPA merupakan produk hukum nasional pertama dimana hukum adat dijadikan sumber ke dalam hukum nasional. Selain itu, UUPA juga membawa perubahan
5
H. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
6
yang revolusioner terhadap stelsel hukum agraria secara umum dan khususnya hukum tanah maupun bidang hukum positif lainnya.6 UUPA sebagai salah satu alat untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta sebagai tolok ukur bagi pengaturan dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang agraria, selanjutnya ditindak lanjuti dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk itu, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117), yang dikenal luas dengan undang-undang tentang program land reform di Indonesia, yang bertujuan untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.7 Land reform dalam arti sempit, hanya program sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2702) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dalam arti sempit
6
Sudargo Gautama, 1989, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 3. Effendi Perangin, 1986, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 122. 7
7
ini land reform sering diartikan sebagai bagi-bagi tanah kelebihan kepada petani.8 Adapun program dari land reform tersebut antara lain: a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; b. Larangan pemilikan tanah secara absentee; c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanahtanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara; d. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. 9 Mengacu pada pengertian dan luas lingkup land reform sebagaimana di atas, sejak saat itu masyarakat khususnya masyarakat petani mempunyai landasan/kekuatan hukum untuk memperjuangkan hak-hak atas tanahnya, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Adapun tujuan dari land reform antara lain: a. Pemerataan penguasaan/pemilikan tanah pertanian untuk meratakan hasil produksinya; b. Mengakhiri sistem kapitalisme dan feodalisme dalam penguasaan, pemilikan dan pengusahaan di bidang keagrariaan; c. Meningkatkan produksi pertanian; d. Meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat pada umumnya; e. Menghilangkan jurang pemisah antara golongan (petani) kaya dan miskin.10 Pemilikan tanah pertanian secara absentee, secara tegas dilarang oleh UUPA. Larangan ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 10 UUPA yang menetapkan bahwa :
8
Achmad Sodiki, 2008, Mensejahterakan Rakyat Lewat Landreform, Pengabdian Seorang Guru Pejuang Petani, Gajah Hidup, Jakarta, hal. 67. 9 Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 203. 10 R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, Badan Peratanahan Nasional, Yogyakarta, hal. 109.
8
1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan; 2) Pelaksanaan dari pada ketentuan ayat 1 akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan; 3) Pengecualian dari pada asas tersebut pada ayat 1 ini diatur dalam peraturan perundangan. Berdasarkan pada ketentuan di atas, UUPA memberi jaminan kepastian hukum kepada setiap warga negara, tanpa membedakan kaya atau miskin untuk mempunyai hak atas tanah pertanian. UUPA juga memberi perlindungan hukum berupa mencegah terjadinya pemerasan oleh pemilik tanah yang kaya terhadap rakyat miskin, seperti petani penggarap atau buruh tani dalam perjanjian bagi hasil yang tidak adil dan menguntungkan pemilik tanah yang kaya tersebut, dengan mewajibkan pemilik tanah untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanahnya. Asas dalam ketentuan pasal ini berarti pemilik tanah pertanian mengerjakan
atau
mengusahakan
sendiri
tanahnya.
Mengerjakan
atau
mengusahakan sendiri secara aktif berarti bahwa yang mempunyai hak itu secara langsung turut serta dalam proses produksi. Ini tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri. Mempergunakan tenaga buruh masih diperbolehkan tetapi harus dicegah praktek cara-cara pemerasan. Pemberian upah yang terlampau rendah kepada buruh-tani yang membantu mengerjakan dan mengusahakan tanah yang bersangkutan merupakan “exploitation de l‟homme
9
par l‟homme“ merupakan cara pemerasan, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan.11 Larangan absentee ini juga ditujukan untuk mencegah terjadinya tanah terlantar, yaitu tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuannya atau tidak dipelihara dengan baik.12 Tanah terlantar disebabkan karena: a. Pemilikan tanah yang terlampau luas atau pemilikan tanah secara absentee yang mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk membangun dan memanfaatkan tanahnya; b. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran atau sebab-sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh keuntungan untuk melanjutkan usahanya dan memutuskan untuk tidak mengolah tanahnya; c. Pemegang hak sulit untuk mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuannya, karena adanya penggarapan liar.13 Langkah awal ke arah pelaksanaan asas tersebut, bahwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, maka diadakan ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara absentee adalah dengan dikeluarkannya peraturan pelaksana UUPA yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang kemudian telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1964 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2702). Secara
substansi
larangan
pemilikan
tanah
pertanian
secara
absentee diatur dalam Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 jo. Pasal 1 PP No. 41 Tahun 1964, sedangkan dasar hukumnya adalah Pasal 10 ayat (1) UUPA. Pada 11
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 308. 12 Chadidjah Dalimunthe, 2005, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, USU, Medan, hal. 121. 13 Ibid, hal. 119.
10
pokoknya
dilarang
pemilikan
tanah
pertanian
oleh
pemilik
yang
bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yakni: “Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Ketentuan di atas dimaksudkan untuk mengatur tentang pemilikan tanah oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan. Pemilikan yang demikian menimbulkan
penggarapan
tanah
yang
tidak
efisien,
baik
terhadap
penyelenggaraannya, pengawasannya, atau pengangkutan hasilnya, selain itu juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan, misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa-desa, yang digarapkan kepada para petanipetani yang ada di desa-desa itu dengan sistem sewa atau bagi-hasil. Ini berarti bahwa para petani yang memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil tanah yang dikerjakan, sedangkan pemilik tanah yang tinggal di kota-kota (sebagian besar sudah mempunyai mata pencaharian lain) dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil tanahnya pula. Sehubungan dengan itu pemilik tanah itu perlu bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan sendiri, sesuai dengan prinsip bahwa tanah adalah untuk tani yang menggarapnya.
11
Dengan kemajuan pendidikan saat ini, sebagian masyarakat menganggap bekerja di sektor pertanian bukan sebagai lapangan kerja dan tidak dapat dihitung sebagai pekerjaan tetap. Mereka banyak yang bekerja di kota sebagai pedagang, buruh pabrik, buruh tidak tetap dan sebagainya, sedangkan pemilik tanah pertanian secara absentee bukanlah para petani tetapi orang-orang kota yang bukan merupakan penduduk setempat, yang mendapatkan tanah tersebut melalui jual beli, pewarisan atau cara-cara lainnya, dan penggunaan tanah itu bukan untuk diolah sebagaimana peruntukkan tanahnya tetapi hanya sebagai sarana investasi dan nantinya dijual kembali setelah harganya tinggi. Tanah pertanian masih tetap dijadikan obyek spekulasi yang mengakibatkan luas tanah pertanian semakin berkurang karena dialih fungsikan. Dalam praktek yang banyak terjadi adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui beberapa cara yakni, cara pertama dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee. Dalam hal ini, KTP pertama merupakan KTP yang menunjukkan tempat tinggal sebenarnya sedangkan KTP yang kedua menunjukkan tempat tinggal yang sama dengan kecamatan tempat letak tanah absentee yang akan dibeli tersebut. 14 Fenomena yang terjadi sekarang ini, walaupun program land reform telah dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan pemiliknya wajib mengusahakan sendiri tanah pertaniannya belum dapat diterapkan dengan baik. 14
Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 21.
12
Cara kedua yaitu melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
15
Selain dengan cara
pemilikan KTP ganda ataupun kuasa mutlak, cara yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan surat keterangan domisili yang diperoleh dari camat setempat tempat letak tanah tersebut berada. Larangan terhadap kepemilikan tanah secara absentee tidak diatur dalam peraturan tersendiri, melainkan hanya dijadikan salah satu materi muatan dari peraturan redistribusi tanah dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas disebut larangan tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau kewajiban untuk pindah lokasi tanah. Aspirasi dalam menegakkan supremasi hukum sudah dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam hal inilah program land reform terhadap larangan kepemilikan tanah secara absentee perlu dievaluasi kembali dan dikaji ulang. Permasalahan ini secara yurisdis terletak pada efektivitas peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai program land reform, yakni terhadap larangan pemilikan tanah secara absentee. Dalam praktek sehari-hari,
15
Ibid.
13
surat keterangan domisili dijadikan syarat formal agar dapat sebagai pihak pembeli atau pemohon hak dan akhirnya dapat memperoleh atau dikabulkan permohonan peralihan hak atas tanah tersebut oleh kantor pertanahan setempat. Hal ini secara tidak langsung membenarkan dan melahirkan praktek pemerasan oleh orang yang mempunyai uang (modal) banyak terhadap para petani (miskin) dan akhirnya tidak akan pernah tercapai tujuan UUPA yang dijadikan alat untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan keadilan. Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian serta menuangkan dalam bentuk tesis yang berjudul : “Penggunaan Surat Keterangan Domisili dalam Pengaturan Hukum Pemilikan Tanah Absentee Berkaitan dengan Praktek Jual-beli Tanah”. Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain : a. Penelitian dari Ariska Dewi, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2008, dengan judul: Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai” di Kabupaten Banyumas. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yakni: (1) faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya pemilikan tanah secara absentee/guntai di Kabupaten Banyumas; (2) bagaimanakah peran kantor pertanahan Kabupaten Banyumas dalam mengatasi/menyelesaikan masalah tanahtanah absentee/guntai.
14
b. Penelitian dari Artha Rumondang Siburian, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2009, dengan judul: “Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia dan Absentee/Guntai (Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang), dengan rumusan masalah yaitu (1) bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee/guntai; (2) apakah pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah latifundia dan absentee/guntai masih efektif dioperasionalkan dalam pelaksanaan restrukturisasi pemilikan tanah pertanian di Kabupaten Deli; (3) bagaimana peranan kantor pertanahan Kabupaten Deli terhadap pelaksanaan larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee tersebut. c. Penelitian dari Diana Tantri Cahyaningsih, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Tahun 2003, dengan judul “Peran PPAT dalam Upaya Mencegah Terjadinya Pemilikan Tanah Absentee Baru”, dengan rumusan masalah : (1) faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tanah pertanian secara absentee; (2) upaya-upaya apakah yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengatasi pelanggaran terhadap larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat originalitas penulis dapat dipertanggung jawabkan.
15
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah penggunaan surat keterangan domisili dalam jual-beli tanah pertanian yang pembelinya bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah yang dibeli, sudah sesuai dengan filosofi yang terkandung dalam ketentuan tentang pemilikan tanah absentee?
2. Bagaimana kebijakan penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah pertanian dimaknai oleh pejabat terkait? 3. Bagaimana peruntukan dari pemilikan tanah secara absentee dalam kenyataannya?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian atas permasalahan di atas adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum agraria yang berkaitan dengan tanah absentee. 1.3.2. Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan
16
khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni: a. Untuk mengetahui dan menganalisis sudah sesuai atau tidaknya penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah absentee dengan filosofi yang terkandung dalam ketentuan tentang tanah absentee; b. Untuk mengetahui dan menganalisis pemaknaan terhadap kebijakan penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah pertanian oleh pejabat terkait. c. Untuk mengetahui dan menganalisis peruntukan dari kepemilikan tanah secara absentee dalam kenyataannya;
1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan pengaturan hukum mengenai transaksi jual-beli tanah absentee yang didasarkan pada surat keterangan domisili.
17
1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat pada umumnya mengenai tanah absentee. Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal kepastian mengenai tindak lanjut dari ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanah absentee, serta bagi peneliti sendiri, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum agraria khususnya mengenai tanah absentee.
1.5. Landasan Teoritis Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teoriteori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Adapun teoriteori serta konsep-konsep yang digunakan, yakni: 1.5.1. Kerangka Teori 1.5.1.1. Teori Nilai Dasar Hukum Menurut Gustav Radbruch, terdapat tiga nilai-nilai dasar dari hukum.
Ketiga
nilai
dasar
tersebut
yakni:
keadilan;
kegunaan
(zweckmaszigkeit); dan (3) kepastian hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis, yaitu suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian dapat dimengerti karena ketiganya berisi tuntutan yang berlainan dan satu sama lain mengandung potensi untuk
18
bertentangan. 16 Misalnya tentang nilai dasar kepastian hukum, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Adanya peraturan itu sendiri adalah hal yang utama bagi nilai kepastian hukum. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum, sehingga nilai-nilai dasar hukum tersebut hanya dapat dilihat dalam berlakunya hukum. Teori nilai dasar hukum di atas dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama pada tesis ini. Adapun permasalahan yang dimaksud adalah terhadap penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah absentee sudah sesuai dengan filosofi yang terkandung dalam ketentuan tentang tanah absentee. 1.5.1.2. Teori Efektivitas Hukum Persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benarbenar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Menurut Soerjono Soekanto, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas, yaitu17: a. Hukumnya sendiri; b. Penegak Hukum; c. Sarana dan fasilitas; 16
Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 19. Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8. 17
19
d. Masyarakat; e. Kebudayaan. a) Faktor Hukumnya Faktor hukum dalam hal ini yakni undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam penyelenggaraan hukum di lapangan terkadang terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. b) Faktor Penegak Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan : Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu
20
kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.18 Pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi, yang menyangkut mengenai pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilain pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum, diskresi sangat penting selain karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya dalam mengatur semua perilaku dan kegiatan
manusia,
menyesuaikan
serta
adanya
kelambatan-kelambatan
perundang-undangan
dengan
untuk
perkembangan-
perkembangan dalam masyarakat.19 c) Faktor Sarana dan Fasilitas Sarana yang ada saat ini memang masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Bagaimana misalnya polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum.
18
Hendy Syarmeindra, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Suatu Penerapan Hukum, available from: URL: http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012_06_01_archive.html., data diakses pada tanggal 10 Januari 2013. 19 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 21.
21
d) Faktor Masyarakat Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang berpengaruh dalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektivan hukum. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Selain itu perlu ada pemerataan mengenai peraturan-peraturan keseluruh lapisan masyarakat, selama ini terkendala faktor komunikasi maupun jarak banyak daerah yang terpencil kurang mengetahui akan hukum positif negara ini, sehingga sosialisasi dan penyuluhan di daerah terpencil sangat dibutuhkan. e) Faktor Kebudayaan Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.20
20
Esra Stephani, 2009, Definisi, Fungsi dan Unsur Kebudayaan, available from: URL: http://esrastephani.blogspot.com/2009/11/definisi-fungsi-dan-unsur-kebudayaan.html, data diakses pada tanggal 11 Januari 2013.
22
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektivitas hukum. Terkait dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut di atas, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.21 Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan ketiga, yakni terhadap mengetahui peruntukan
dari
kepemilikan
tanah
secara
absentee
dalam
kenyataannya.
1.5.2. Kerangka Konsep 1.5.2.1. Konsep Tanah Absentee Tanah absentee adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah kecamatan tempat tanah itu berada. Sesuai ketentuan Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961, yang dimaksud dengan tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan,
21
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal.55.
23
tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Pemilikan tanah absentee ini dilarang oleh undang-undang, karena dianggap tidak efektif sebab pemilik tanah berada di luar kecamatan letak tanah tersebut sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. 1.5.2.2. Konsep Jual Beli Jual-beli adalah suatu proses kesepakatan antara pihak pertama dengan pihak kedua yang mengikat kedua belah pihak untuk memberikan sesuatu. 22 Adapun beberapa konsep jual-beli yang terkait dengan tanah yakni: 1. Menurut Hukum Adat Menurut Wiryono Projodikoro, jual-beli menurut hukum adat adalah bukan hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak melainkan merupakan suatu penyerahan hak atas barang atau benda dengan syarat membayar harga.23 Jual-beli menurut hukum adat dilakukan di muka kepala adat sebagai saksi yang menjamin jual-beli sah.24 Jual-beli tanah menurut hukum adat adalah perbuatan hukum dimana pihak penjual menyerahkan tanahnya kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat pembeli membayar harga tanah tersebut kepada 22
Dinda Keumala dan Setiyono, 2009, Tip Hukum Praktis, Tanah dan Bangunan, Raih Asa Sukses, Jakarta, hal. 24. 23 Wiryono Projodikoro, 2000, Hukum antar golongan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 73. 24 Bachtiar Effendi, 1982, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal. 30.
24
penjual (walaupun separuh dari harga yang telah ditentukan), sedangkan menurut Van Dijk 25 , jual beli tanah menurut hukum adat adalah perpindahan tanah untuk selama-lamanya dengan menerima sejumlah uang yang dibayar secara tunai atau kontan oleh pembeli dan pembeli memperoleh hak milik penuh atas tanah tersebut. Pembayaran secara tunai dan kontan ini dilakukan di hadapan kepala desa sebagai saksi atas sahnya transaksi jual beli tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pembeli telah mendapat hak milik atas tanah sejak saat terjadi jual-beli, sehingga jual-beli menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Jual-beli dalam hukum adat dilakukan di muka kepala adat (desa). Kepala adat (desa) ini bertindak sebagai penjamin tidak adanya suatu pelanggaran hukum dalam jual-beli itu, sehingga jual-beli itu bisa dianggap terang dan masyarakat mengakui sahnya. 2. Menurut Hukum Barat ( Kitab Undang Hukum Perdata) Jual-beli berdasarkan Pasal 1457 KUH. Perdata yaitu suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu benda dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pasal 1458 KUH. Perdata menyatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijual belikan itu serta harganya, biarpun bendanya tersebut belum 25
Van Dijk, 1989, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A.Soehadi, Sumur, Bandung, hal. 66.
25
diserahkan dan harganya pun belum dibayar. Dengan terjadinya jual-beli itu saja hak milik atas benda yang bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya. Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan apa yang disebut “penyerahan yuridis” (juridische levering), yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta dihadapan pejabat yang berwenang. 3. Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA) Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang bersifat nasional. Undang-Undang tersebut lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 5 UUPA disebutkan : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar hukum agama. Berdasarkan pasal tersebut di atas dengan tegas dinyatakan bahwa hukum agraria yang baru didasarkan atas hukum adat yang disesuaikan dengan asas-asas yang ada dalam UUPA, karena dalam UUPA menganut sistem dan asas hukum adat maka perbuatan jual beli tersebut adalah merupakan jual beli yang riil dan tunai. Akan tetapi pelaksanaan dari jual beli itu sendiri sudah tidak lagi dihadapan kepala desa karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria seperti dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor
26
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dibuatnya akta jual-beli tanah dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria tersebut, maka jualbeli itu selesai, dan selanjutnya peralihan hak atas tanah itu oleh pembeli didaftarkan ke kantor pertanahan. Pendaftaran peralihan hak atas-tanah tersebut untuk menjamin kepastian hukum. 1.5.2.3. Konsep Domisili dan Surat Keterangan Domisili Menurut hukum perdata Indonesia, di dalam domisili terkandung arti teritorial sehingga yang dimaksud dengan domisili adalah tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum (kota atau rumahnya). Oleh karenanya A. Vollemar mengatakan bahwa disamping tempat tinggal yang nyata, kita juga harus mengakui adanya tempat tinggal dalam arti yuridis. Domisili seseorang dapat mempunyai pengaruh terhadap kecakapan atau wewenang tindakan seseorang.26 Menurut J. Hardjawidjaja dan Ko Tjai Sing dalam arti hukum domisili adalah tempat di mana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban serta melaksanakan hak-haknya itu, sedangkan menurut KUHPerdata, domisili ditentukan berdasarkan tempat di mana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi yang bersangkutan.27 Domisili mempunyai arti yang lebih luas, dapat berarti tanah asal atau tanah air seseorang yang tentunya terdapat ikatan batin antara orang dengan tempatnya. Menurut hukum adat, maka hukum yang berlaku bagi 26
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, hal. 7. 27 R. Soeroso, 2010, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 165.
27
seseorang ialah hukum yang berlaku di daerah dan dalam suku di mana ia dilahirkan dan dalam suku orang tuanya dilahirkan (bagi orang Jawa) atau ayahnya
dilahirkan
(Minangkabau).
(bagi
Selain
itu,
orang
Minahasa)
Hukum
Antar
atau
daerah
Golongan
ibunya
mendasarkan
berlakunya hukum pada Pasal 131 IS (hubungan geneologis atau keturunan sedarah). Jadi tidak didasarkan asas territorial sehingga harus diakui bahwa di dalam hukum Indonesia domisili seseorang tidak semata-mata ditentukan secara teritorial, tetapi bahkan terutama ditentukan secara geneologis. 28 Terkait dengan hal ini, surat keterangan domisili merupakan surat keterangan yang menjelaskan tentang keberadaan seseorang menetap di suatu tempat. Surat keterangan domisili ini biasanya dibuat/dikeluarkan sebagai pengganti Kartu Tanda Penduduk guna keperluan tertentu. Surat keterangan domisili haruslah sesuai dengan domisili sebenarnya. 1.5.2.4. Konsep Kebijakan Istilah kebijakan disebut juga dengan istilah kebijaksanaan, dalam beberapa tulisan dan literatur digunakan istilah policy 29 sebagai padanan kata kebijaksanaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kebijakan 28
Ibid, hal. 171. Menurutnya Bambang Sunggono, pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang policy tersebut dapat dikemukakan beberapa hal yaitu : (1) terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli tentang pengertian kebijaksanaan. Jelasnya, konsep kebijaksanaan itu sulit untuk dirumuskan dan diberikan makna tunggal, atau dengan perkataan lain, sulit bagi kita untuk memberlakukan konsep kebijaksanaan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan konkret, terutama bila kebijaksanaan itu kita lihat sebagai suatu proses yang terus berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatannya sampai implementasinya; (2) terdapat perbedaaan „penekanan‟ tentang kebijaksanaan di antara para ahli. Sebagian dari mereka melihat kebijaksanaan sebagai suatu perbuatan, sedangkan yang lain lebih melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau bahkan suatu rencana dan juga suatu tindakan. (3) para ahli juga berbeda pendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang berpendapat, bahwa kebijaksanaan meliputi tujuan dan sarana, kebijaksanaan meliputi tujuan atau sarana, bahkan ada yang tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana. Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, hal.13-14. 29
28
diartikan sebagai: “kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan”. Hal tersebut menunjukkan seolah tidak ada perbedaan yang mendasar antara arti kata kebijakan dengan kebijaksanaan, sedangkan kebijaksanaan diartikan sebagai “kepandaian menggunakan akal budi”.
30
Dalam Black‟s Law Dictionary
diberikan arti policy sebagai : “The general principles by which a goverments is guided in its management of publik affairs”. 31 Konsep kebijakan menurut Dworkin yang dikutip oleh J. Angelo Corlett dalam Dworkin‟s Theori of Law, menyebutkan bahwa : In “A Model of Rules”, Dworkin makes a distinction between principles, policies, and rules. A principles is a standard observed simply because it‟is a requirement of justice, fairness or another dimension of morality. An example of a principle is „no one may profit by one‟s own wrongdoing‟. A policy is a standard that sets out a goal to be reached. An example of a policy is that automobile accidents are to be decreased. A rule, however, is different from a principle. An example of a rule is „a will is invalid unless signed by three witnesses‟. Rules are applicable in an all-or-nothing way. If the facts a valid rule stipulated are present, then what the rule says must be respected. A principle, however, states a reason for something but does not neccessitatc a particular decision. It inclines without neccessitating. Principles can conflict and be assigned weights, but when rules conflict only one of them can be valid.32 Konsep
kebijakan
(policy)
kemudian
dikenal
dalam
dua
terminologi kebijakan yang berbeda yaitu kebijakan sebagai peraturan kebijaksanaan dan sebagai kebijaksanaan publik atau kebijaksanaan negara yang selanjutnya disebut kebijakan atau policy. Terhadap istilah peraturan
30
kebijaksanaan
oleh
J.H.
van
Kreveld
dinamakan
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hal.149. Bryan A. Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co., Eighth Edition, St.Paul, Min, hal.196. 32 J.Angelo Corlett, 2000, Dworkin‟s Theory of Law, Associate Professor of Philosophi of Law and Ethiecs, Department of Philosophi, San Diego State University, hal. 43. 31
29
“beleidsregels”, “bestuursregels”, atau “beleidslijnen” 33 . Istilah-istilah tersebut dalam Hukum Administrasi Indonesia diterjemahkan dengan istilah “peraturan kebijaksanaan” dan “perundang-undangan semu” serta “peraturan kebijakan”.34 Menurut Ridwan H.R., peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai
bagian
dari
operasional
penyelenggaraan
tugas-tugas
pemerintahan, karenanya tidak dapat merubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan. 35 Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen, bahkan peraturan kebijakan (beleidsregels) lahir karena adanya kewenangan bertindak bebas (freies ermessen) dari pejabat pemerintahan. 36 Freies ermessen berarti orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga dan bebas mengambil keputusan. 37 Kemudian oleh Ridwan H.R., dikatakan bahwa istilah tersebut secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.38 33
J.H.van Kreveld, 1983, Beleidsregels in Het Recht, Kluver-Deventer, hal. 4. Philipus M. Hadjon, et. al., 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), hal.148. 35 Ridwan.H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, hal.138. 36 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal.71. 37 S.F.Marbun, et. al., 2001, Hukum Administrasi Negara/Dimensi-Dimensi Pemikiran, UII Press, Yogyakarta, hal.108. 38 Ridwan H.R., op.cit. hal. 134. 34
30
Dari pendapat di atas maka freies ermessen dapat diartikan sebagai orang yang memiliki wewenang untuk bebas menilai, mempertimbangkan selanjutnya mengambil keputusan. Orang-orang yang dimaksudkan adalah pejabat atau badan-badan-badan administrasi negara yang menjalankan tugas administrasi negara, sehingga freies ermessen dapat dipandang sebagai salah satu sarana yang memberikan kebebasan kepada pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi negara. Dalam kaitan antara konsep kebijakan dengan penulisan tesis ini adalah kebijakan sebagai peraturan kebijaksanaan. Hal ini berarti dalam halnya memutuskan sesuatu tidak berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.39
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris karena penelitian ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan kenyataan, atau kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum yang ada, yakni mengenai kesenjangan antara ketentuan yang mengatur mengenai tanah absentee dengan praktek yang terjadi dalam kepemilikan tanah absentee.
39
Soesilo Pragojo, op.cit., hal 142.
31
1.6.2. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Petang, khususnya di Desa Pelaga. Dipilihnya Kecamatan Petang diantara kecamatan lain yang ada di Kabupaten Badung didasarkan pada pertimbangan dari luas lahan pertanian yang dalam hal ini terkait dengan permasalahan dalam penulisan tesis ini. Adapun luas lahan pertanian di Kabupaten Badung, yakni40: - Kecamatan Kuta Selatan
: 3.244 Ha.
- Kecamatan Kuta
: 247 Ha.
- Kecamatan Kuta Utara
: 1.910 Ha.
- Kecamatan Abiansemal
: 5.789 Ha.
- Kecamatan Petang
: 10.065 Ha.
Berdasarkan data di atas, maka Kecamatan Petang sebagai kecamatan yang memiliki lahan pertanian yang paling luas diantara kecamatankecamatan lain yang ada di Kabupaten Badung dipilih menjadi lokasi penelitian dalam penulisan tesis ini. Kecamatan Petang terdiri dari enam (6) desa, yakni: Desa Belok; Desa Petang; Desa Pelaga; Desa Pangsan; Desa Carangsari; Desa Getasan; Desa Sulangai. Dari ketujuh desa yang terdapat di Kecamatan Petang, Desa Pelaga dipilih sebagai sampel penelitian karena berdasarkan keterangan dari Bapak Dewa Widana selaku Kasi Pemerintahan di Kantor Camat Petang, Desa Pelaga merupakan desa dengan transaksi jualbeli tanah (pertanian) yang terbanyak dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang terdapat di Kecamatan Petang.
40
Badung Dalam Angka, 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Denpasar, hal. 8-9.
32
1.6.3. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan yakni keadaan yang tidak sesuai dalam hal transaksi jual beli tanah absentee dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku di bidang pertanahan. 1.6.4. Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan, sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. a.
Jenis Data 1. Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan, melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam transaksi jual-beli tanah absentee, dan melalui observasi terhadap peruntukan dari jual-beli tanah absentee tersebut.
33
2. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar
Pokok-Pokok
Agraria
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117); 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);
34
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674); 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696); 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 280, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2702); 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2702); 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3745);
35
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746); 11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional; 12. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997; 13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. b. Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang terkait dengan hukum agraria, metode penelitian hukum, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.41 c. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum. b. Sumber Data 1. Sumber Data Primer Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam 41
141.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal.
36
transaksi jual-beli tanah absentee, yakni penjual-pembeli tanah absentee, Notaris yang menangani transaksi jual-beli tanah absentee di Kabupaten Badung serta Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan yang meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik wawancara berstruktur dengan menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interviewer guide terhadap para informan maupun responden. Dengan teknik wawancara akan lebih mudah mendapatkan informasi yang diinginkan, seperti yang dinyatakan oleh William D. Crano dan Marilyn B. Brewer, bahwa : “in surevey research personal contact is achieve higher response rates than the more impersonal question approach.”42 Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yang dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data kepustakaan sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang terdiri dari buku-
42
Crano, William D. and Brewer, Marilyn B., 2002, Principles and Methodes of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, hal. 223.
37
buku, literatur, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.6.6. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, maka langkah penting selanjutnya adalah analisis data. 43 Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.44
43 44
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 19. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.
38
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1. Kondisi Geografis Kecamatan Petang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Badung, Propinsi Bali yang memiliki luas wilayah seribu seratus limabelas (115) km2, dengan jumlah penduduk sebesar duapuluh delapanribu empatratus delapanpuluh enam (28.486) jiwa. Kecamatan Petang memiliki tujuh (7) desa, yakni: Desa Getasan, Desa Carangsari, Desa Petang, Desa Pelaga, Desa Belok, Desa Sulangai, dan Desa Pangsan. Dari ketujuh desa tersebut, dalam penulisan tesis ini akan difokuskan pada Desa Pelaga. Desa Pelaga secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, dengan luas wilayah tigaribu limaratus empatpuluh lima koma dua ratus empat hektar are (3545,204 ha), jarak tempuh kurang lebih satu (1) jam duapuluh (20) menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Denpasar yang berjarak kurang lebih empatpuluh enam (46) km dari dan limabelas (15) km dari pusat pemerintahan Kecamatan Petang dan terletak di antara dua daerah tujuan wisata yakni objek wisata Kintamani dan Bedugul. Secara geografis Desa Pelaga memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : 1) Sebelah Utara
: Hutan lindung milik negara / Pucak Mangu;
2) Sebelah Selatan : Desa Sekarmuti; 3)Sebelah Barat
: Pangkung Cengkedek;
39
4) Sebelah Timur : Sungai Bangkung. Keadaan alam Desa Pelaga merupakan desa yang cukup lembab, dengan temperatur rata-rata duapuluh derajat celcius (20 C) sampai dengan tigapuluh derajat celcius (30C), dengan curah hujan rata-rata seribu empatratus tujuhpuluh satu (1.471) cm per tahun sehingga kawasan ini banyak terdapat perkebunan, baik milik pribadi maupun dijadikan sebagai ecowisata.
2.2. Tata Guna Tanah Luas tanah yang termasuk di wilayah Desa Pelaga 3545,204 Ha dan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan peruntukannya: a. Jalan
: 350 Ha (35 Km).
b. Sawah dan Ladang
: 2171, 74 Ha.
c. Bangunan Umum
: 29, 74 Ha.
d. Empang
: 0, 10 Ha.
e. Pemukiman/Perumahan
: 45, 10 Ha.
f. Jalur hijau
: 4 Ha.
g. Pekuburan
: 6, 50 Ha.
h. Lain-lain
: 169, 116 Ha.
Tanah tersebut sesuai dengan penggunaannya: a. Industri
: - Ha.
b. Pertokoan/Perdagangan
: 0, 75 Ha.
c. Perkantoran
: 0, 40 Ha.
d. Pasar Desa
: 0, 60 Ha.
e. Tanah Wakaf
: - Ha.
40
f. Tanah Sawah
: 145 Ha.
g. Tanah Kering
: 5 Ha (Perkebunan Rakyat)
h. Tanah yang belum dikelola
: 750 Ha (Hutan).
Dari data tersebut di atas, nampak bahwa peruntukan yang paling luas diantara peruntukan yang lain adalah sawah dan ladang. Hal ini nampak jelas dari banyaknya sawah dan ladang yang terhampar di sepanjang jalan Desa Pelaga. Peruntukan seperti bangunan dan rumah tidak terlalu padat seperti di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain juga tidak berdekatan. Masih banyak lahan yang kosong, tidak digunakan sebagai tempat industri maupun yang lainnya. Penggunaan tanah untuk pertokoan/perdagangan juga masih sangat sedikit. Terbukti dari minimnya toko-toko yang menjual kebutuhan sehari-hari, serta keperluan sekolah. Tanah-tanah untuk pertanian/ladang di Desa Pelaga ini sebagian besar masih diperuntukkan seperti semula, namun tanah-tanah pertanian ini banyak yang merupakan tanah absentee, yakni pemiliknya berada di luar kecamatan Desa Petang. Sebagian besar pemiliknya berdomisili/bertempat tinggal di Kota Denpasar, bahkan ada pula pemilik tanah pertaniannya yang berdomisili di Jakarta. Tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh orang yang berdomisili di luar Kecamatan Petang ini banyak yang dibiarkan begitu saja, tidak dikerjakan sesuai dengan peruntukkannya.
2.3. Gambaran Demografi Jumlah penduduk Desa Pelaga setiap tahunnya cenderung bertambah sedangkan luas wilayah tetap, sehingga kepadatan penduduk terus meningkat.
41
Jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pertumbuhan dan pembangunan disegala bidang. Jumlah penduduk Desa Pelaga sampai akhir tahun 2012 sebanyak 5.965 orang. Masalah penduduk perlu mendapat perhatian dalam hal pencatatan dikelompokkan menurut jenis kelamin dan mata pencaharian pokok. 1. Jumlah penduduk menurut: a. Jenis Kelamin : 1) Laki-laki
: 3001 orang
2) Perempuan
: 2964 orang
Jumlah
: 5965 orang
b. Kepala Keluarga
: 1748 K.K.
2. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian: a. Karyawan
:
1) Pegawai Negeri Sipil
: 85 orang.
2) ABRI
: 21 orang.
3) Swasta
: 150 orang.
b. Wiraswasta/pedagang
: 102 orang.
c. Tani
: 3.735 orang.
d. Pertukangan
: 240 orang;
e. Buruh Tani
: 154 orang.
f. Pensiunan
: - orang.
g. Nelayan
: - orang.
h. Pemulung
: 1 orang.
42
g. Jasa
: 8 orang.
Dari gambaran demografi di atas sesuai dengan data monografi Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, periode Juli-Desember 2012, nampak bahwa penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani adalah yang terbesar jumlahnya dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain. Hal ini tentunya sesuai dengan kondisi geografis di Desa Pelaga yang memang arealnya sesuai untuk daerah pertanian/perkebunan. Mata pencaharian sebagai petani memang yang paling besar jumlahnya diantara mata pencaharian yang lain di Desa Pelaga. Namun saat ini, dengan banyaknya pemilikan tanah-tanah absentee maka keberadaan petani sebagai pemilik tanah yang mengerjakan dan mengolah sendiri tanah pertaniannya secara aktif dan optimal, sudah semakin berkurang. Banyak para petani pemilik tanah yang menjual tanah pertaniannya dengan berbagai alasan, seperti misalnya karena terdesak keperluan/kebutuhan ekonomi dan kurangnya/minimalnya hasil produksi yang di dapat dari mengolah tanah pertaniannya. Hal ini merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi si petani untuk menjual tanah pertaniannya kepada orang kota. Petani-petani yang menjual tanah miliknya pun telah memiliki mata pencaharian lain yang menurut mereka lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengolah tanah pertaniannya, seperti berwirausaha ataupun berternak.
43
BAB III TINJAUAN UMUM
3.1. Pengertian dan Macam Domisili/ Tempat Tinggal Menurut A.Vollmar, tempat tinggal merupakan tempat orang melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Dalam hal ini, undang-undang tidak mengatur dengan tegas, tetapi pada umumnya baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun undang-undang lainnya, yang ditunjuk sebagai tempat tinggal adalah tempat di mana dilakukan suatu perbuatan hukum dari orang yang bersangkutan.45 Dalam kamus hukum disebutkan bahwa domisili/tempat kediaman terkait dalam halnya seseorang bertanggungjawab akan dirinya sendiri terhadap masyarakat dan pemerintah, ia harus memiliki domisili yang ditetapkan seperti yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau pada kartu tanda pengenal lainnya.46 Tempat tinggal dalam arti hukum domisili menurut J. Hardjawidjaja dan Ko Tjai Sing, adalah tempat di mana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajiban serta melaksanakan hak-haknya itu. Sementara itu mengenai pengertian domisili di dalam KUHPerdata, antara lain terdapat dalam ketentuan:
45
R. Soeroso, loc.cit. Soesilo Prajogo, 2007, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, Wacana Intelektual, Jakarta, hal. 145. 46
44
a. Pasal 76: Perkawinan harus dilangsungkan dimuka umum, dalam gedung dimana akta-akta catatan sipil harus dibuat dihadapan pegawai catatan sipil dari tempat tinggal salah satu pihak yang hendak kawin; b. Pasal 207: Gugatan perceraian harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggal yang sebenarnya dari suami. Jika si suami pada saat itu tidak mempunyai tempat tinggal sebenarnya di Indonesia maka tuntutan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal dari si istri; Berdasarkan ketentuan di atas, maka domisili ditentukan berdasarkan tempat di mana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi yang bersangkutan. Hal tersebut dapat pula berarti bahwa domisili atau tempat tinggal dimaksudkan untuk menunjukkan tempat yang nyata tentang tempat suatu perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh seseorang yang bermaksud untuk melakukan perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah pertanian berdasarkan jual-beli. Tempat tinggal dibedakan menjadi dua macam, yakni tempat tinggal yang sesungguhnya dan tempat tinggal
yang dipilih. Tempat tinggal
yang
sesungguhnya (eigenlijke woonplats) adalah tempat melakukan perbuatan hukum pada umumnya, yang dibedakan menjadi: a. Tempat tinggal bebas atau sukarela (vrijwillige, onafhank elijke woonplaats),
yaitu
tempat
tinggal
yang
tidak
tergantung
pada
hubungannya dengan orang lain. Istilah tempat tinggal menurut pembentuk undang-undang pada dasarnya hendak menegaskan bahwa yang dimaksud domisili adalah tempat tinggal dalam pengertian yuridis.
45
Pengertian domisili ini dianut oleh Pasal 17 KUHPerdata yang menentukan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal yang dijadikannya sebagai kediaman utamanya (hoofdverblijf), dan dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman utama, maka kediamannya, tempat ia benar-benar berdiam dianggap sebagai tempat tinggalnya. 47 Tempat tinggal utama berarti tempat tinggal yang memiliki hubungan tertentu secara terus-menerus dengan orang bersangkutan (melakukan hak dan memenuhi kewajibannya). Bagi seseorang yang tidak mempunyai domisili di tempat kediamannya yang pokok (tertentu), maka domisilinya dianggap berada di tempat di mana ia sungguh-sungguh berada.48 b. Tempat tinggal tidak bebas atau yang tergantung pada orang lain (noodzakelijke of ontleende woonplaats) yaitu tempat tinggal yang tidak bergantung pada keadaan-keadaan orang bersangkutan, tetapi bergantung pada keadaan orang lain. Misalnya, anak-anak yang belum dewasa yakni yang belum berumur duapuluh satu (21) tahun berdomisili di tempat tinggal di tempat tinggal orang tua mereka, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 KUHPerdata. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (Pasal 433 KUHPerdata) mengikuti tempat tinggal pengampu/curatornya. Selain itu, istri mengikuti tempat tinggal suaminya. Dalam Pasal 22 KUHPerdata disebutkan:
“Dengan
tidak
mengurangi
ketentuan
dalam
pasal
sebelumnya, para pekerja buruh (arbeiders) mempunyai tempat tinggal di rumah majikan mereka, jika mereka ikut diam dalam rumah kediaman si 47
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 5. 48 Ibid.
46
majikan kecuali dalam hal seperti yang ditentukan dalam Pasal 21 KUHPerdata.” Tempat tinggal yang dipilih (gezoken woonplaats) yaitu tempat tinggal yang ditunjuk sebagai tempat kediaman oleh satu pihak atau lebih dalam hubungan dengan melakukan perbuatan hukum tertentu. Misalnya, dalam perjanjian jual-beli dipilih sebagai tempat pembayaran di kantor notaris tertentu. Oleh Soetojo Prawirohamidjojo hal tersebut disebut dengan memilih tempat kediaman (domicilie-keuze), yang diatur dalam Pasal 24 KUHPerdata, yakni untuk suatu sengketa perdata, pihak-pihak yang berkepentingan atau salah satu pihak, berhak bebas dengan suatu akta memilih tempat lain dari tempat mereka yang sebenarnya.49
3.2. Pengertian Hak atas Tanah Ketentuan mengenai hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA yang menyatakan: “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut dengan tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum”. Berdasarkan hak menguasai dari negara50, maka negara dalam hal ini adalah Pemerintah dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang.
49
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiooedin, op.cit., hal. 10. Menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA Tahun 1960, maka hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 50
47
Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (4) UUPA ditentukan: “dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.” Sehubungan dengan ketentuan tersebut, menurut Sudargo Gautama: “ayat ini memberikan suatu interpretasi otentik tentang apa yang diartikan dengan istilah „bumi‟. Pengertian „bumi‟ dalam UUPA ini meliputi permukaan bumi (yang disebut „tanah‟), berikut apa yang berada di bawahnya dan yang berada di bawah air”.51 Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat di haki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum, yakni berkaitan dengan adanya asas-asas dalam hubungannya antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang ada di atasnya yang dikenal dengan asas accesie atau asas perlekatan. Asas perlekatan ini mengandung makna bahwa bangunanbangunan dan benda-benda/tanaman yang terdapat di atasnya merupakan suatu kesatuan dengan tanah serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang di haki kecuali apabila ada kesepakatan lain dengan pihak lain.52 Hukum tanah yang dianut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat yang tidak mengenal asas perlekatan tersebut, 51
Sudargo Gautama, 1989, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. VIII, Alumni, Bandung. 52 Boedi Harsono, op. cit. hal. 17.
48
melainkan menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding), di mana hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.53 Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. 54 Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik. Kata “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan. 55 Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang dengan tanah telah terjalin hubungan hukum sehingga dapat dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain, seperti jual-beli, tukarmenukar dan lain-lain.56 Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Wewenang umum; Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
53
Djuhaenda Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lainnya yang Melekat pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 75. 54 Wikipedia, 2013, Hak atas Tanah, http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah, data diakses pada tanggal 13 Maret 2013. 55 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 49. 56 Wantjik Saleh, 1985, Hak Anda atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15.
49
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. 2. Wewenang khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya, wewenang Hak Guna Usaha adalah menggunakan hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan, peternakan atau perkebunan. 57 Berdasarkan pada uraian di atas maka, hak atas tanah merupakan wewenang baik secara hukum yang diberikan kepada seseorang sebagai pemilik tanah oleh tanah tersebut, untuk mempertahankan kepemilikannya kepada orang lain serta dapat melakukan segala perbuatan dan tindakan hukum terkait dengan tanah tersebut, maupun wewenang yang diberikan kepada pemilik tanah untuk menggunakan, memanfaatkan atau mengusahakan tanah tersebut, sehingga dapat memberi manfaat kepadanya. Hak atas tanah juga memberi pembatasan atas pelaksanaan wewenang tersebut, yakni tanah yang berfungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA yang menentukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat) karena UUPA juga memperhatikan kepentingan-kepentingan perseorangan. Antara kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling mengimbangi hingga pada akhirnya
57
Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Jakarta, hal. 99.
50
akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.58
3.3. Jenis-Jenis Hak atas Tanah Secara garis besar, hak atas tanah hanya ada dua, yakni hak yang dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum dan hak yang dikuasai oleh negara.59 Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang termaksud dalam ketentuan Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Adapun hak-hak atas tanah dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 UUPA jo. Pasal 53 UUPA, yakni: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai; e. Hak Sewa; f. Hak Membuka Tanah; g. Hak Memungut Hasil Hutan; h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5360.
58
R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, hal. 205. 59 Jimmy Joses Sembiring, 2010, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, hal. 6. 60 Dalam Pasal 53 UUPA disebutkan bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan di dalam waktu yang singkat.
51
Dari uraian tersebut di atas, selanjutnya dipaparkan pengertian dari masingmasing hak atas tanah seperti : 1) Hak Milik Ketentuan umum mengenai hak milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 20 sampai dengan Pasal 27, Pasal 50 ayat (1), Pasal 56 UUPA. Di antara hak-hak yang ada, terdapat hak yang sifatnya sangat khusus yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan. “Right of ownership (hak milik) is the most complete form of individual right on land. It gives the holder the right to use land including the earth, underearth and also the water and air above it, so long as they are directly required in connection with the use of the land. 61 Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 20 UUPA dinyatakan, bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah. Maksud dari pernyataan tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah, hak miliklah yang “ter”- (dalam arti paling) kuat dan “ter”-penuh. Mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan ataupun digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.62 Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka 61
Mochtar Kusumaatmadja, 1972, Agrarian Law, Padjadjaran University Law School, Bandung, hal. 21. 62 Boedi Harsono, op. cit., hal. 286.
52
hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah Hak Milik yang dimilikinya tersebut.63 Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain dengan dibatasi oleh ketentuan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah ini maka hanya warga negara Indonesialah yang dapat mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam ketentuan Pasal 21 UUPA, yakni: (1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik; (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syaratnya; (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak milik itu dilepaskan maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 63
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 30.
53
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tdiak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.64 Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui tiga (3) cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu: 1. Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, seperti pembukaan tanah bagian tanah ulayat dan aanslibbing/lidah tanah.65 2. Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah, seperti pemberian hak baru, perubahan dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Terjadinya hak milik atas tanah karena penetapan pemerintah ini diawali dari permohonan pemberian hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Apabila persyaratan yang ditentukan dalam permohonan hak milik sudah dipenuhi oleh pemohon, maka akan diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah tersebut. 3. Hak milik atas tanah terjadi karena undang-undang (melalui ketentuan konversi UUPA pada tanggal 24 September 1960). 66 Hak atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya. Hak atas tanah ini
64
Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2. Yang dimaksud dengan pembukaan tanah dalam hal ini adalah pembukaan hutan yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh kepala/ketua adat. Selanjutnya kepala/ketua adat membagikan hutan yang sudah dibuka tersebut untuk pertanian atau yang lainnya kepada masyarakat hukum adat. Selain pembukaan tanah tersebut, terdapat lidah tanah (aanslibbing), yakni pertumbuhan tanah di tepi sungai, danau atau laut. Tanah yang tumbuh demikian ini menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan, karena pertumbuhan tanah tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan sendirinya terjadinya hak milik secara demikian ini juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memerlukan waktu. Lihat Urip Santoso, op.cit., hal. 54. 66 Arie Soekanti Hutagalung, et. al., 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. 166. 65
54
atas dasar ini terjadi karena ketentuan undang-undang yang diatur dalam ketentuan-ketentuan konversi UUPA. 67 Menurut A.P. Parlindungan, yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum yang lama, yaitu hak-hak atas tanah menurut KUHPerdata dan tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak atas tanah menurut ketentuan UUPA. 68 Terdapat tiga (3) jenis konversi, yaitu (1) konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah Hak Barat (hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, hak gebruik, bruikleen); (2) konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia (hak erfpacht yang altijddurend atau altyddurende erfpacht, hak agrarisch eigendom, hak gogolan); (3) konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja/daerah raraja-raja pada saat zaman Hindia Belanda (hak hanggaduh, hak grant, hak-hak konsesi dan sewa untuk perumahan kebun besar).69 Mengenai hapusnya hak milik atas tanah ditentukan dalam Pasal 27 UUPA yang menyebutkan bahwa hak milik hapus apabila tanahnya jatuh kepada negara, baik karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA; penyerahan secara suka rela oleh pemiliknya; tanahnya ditelantarkan; karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA dan tanahnya musnah, seperti misalnya tanah
67
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 145. 68 A.P. Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Jakarta, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 5. 69 Ali Achmad Chomzah, 2003, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 86.
55
longsor, terkikisnya tanah pada alur sungai.70 2)
Hak Guna Usaha Ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b, Pasal 28 sampai dengan Pasal 34, Pasal 50 ayat (2) UUPA. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dengan jangka waktu tigapuluh lima (35) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama duapuluh lima (25) tahun. Sesudah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak guna usaha di atas tanah yang sama. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit lima (5) hektar, jika lebih dari duapuluh lima (25) hektar harus dikelola dengan investasi modal yang layak dnegan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Hak guna usaha ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Yang dapat mempunyai hak guna usaha adalah warga negara Indonesia, dan badan hukum Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3)
Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama tigapuluh (30) tahun dan dapat diperpanjang paling lama
70
A.P. Parlindungan, 2008, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan II), hal. 155.
56
duapuluh (20) tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru hak guna bangunan di atas tanah yang sama. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan dapat dipunyai warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna bangunan terjadi karena penetapan pemerintah. Hak guna bangunan, setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain, harus didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. Hak guna bangunan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.71 4) Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban pemberiannya oleh pejabat
yang ditentukan dalam keputusan
yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang. Yang dapat mempunyai hak pakai ialah Warga Negara Indonesia; orang asing yang berkedudukan di Indonesia; badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
71
Irma Devita Purnamasari, 2010, Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung, hal. 6.
57
Hak pakai merupakan hak yang wajib di daftarkan dan dapat dialihkan. Menurut ketentuan Pasal 43 UUPA, hak pakai dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penjabat yang berwenang. Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Hak pakai juga dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.72 5) Hak Sewa Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 UUPA). Jangka waktu dari hak sewa ini tergantung pada perjanjian. Adapun pembayaran uang sewa dapat dilakukan (1) satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu, (2) sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah Warga Negara Indonesia; orang asing yang berkedudukan di Indonesia; badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak sewa bersifat pribadi, dalam arti tidak dapat dialihkan tanpa ijin pemiliknya serta tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Hak sewa tidak perlu didaftar, cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta otentik atau akta dibawah tangan.
72
Arie Soekanti Hutagalung, op. cit., hal. 173.
58
6) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan menggunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah tersebut.
3.4. Pengertian Peralihan Hak atas Tanah dan Bentuk-Bentuk Peralihan Hak atas Tanah 3.4.1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Dengan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud agar hak atas tanahnya menjadi milik pihak lainnya demikian sebaliknya bahwa perbuatan hukum tersebut dengan sengaja dilakukan dengan maksud agar hak milik atas tanah seseorang menjadi milik kepada orang lain, sehingga pemindahan hak tersebut diketahui atau diinginkan oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. 3.4.2. Bentuk-Bentuk Peralihan Hak Atas Tanah Salah satu sifat hak atas tanah adalah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Adapun bentuk peralihan hak atas tanah, yaitu:
59
1.
Beralih Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada
pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.73 Salah satu peristiwa hukum dalam hal ini yakni pewarisan. Pewarisan merupakan proses berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Dalam proses pewarisan hal yang terpenting adalah adanya kematian, yaitu seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan itu kepada ahli warisnya.74 Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak (subjek) hak atas tanah. Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk pendaftaran pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam (6) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. 2. Dialihkan Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk
73 74
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 130. Effendi Perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3.
60
menimbulkan hak dan kewajiban.75 Adapun bentuk-bentuk perbuatan hukum yang melahirkan peralihan hak atas tanah adalah jual-beli, hibah, tukar-menukar, pemasukan dalam perusahaan, lelang. a. Jual Beli Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: jual dan beli. Kata “jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini, terjadilah peristiwa hukum jual beli.76 Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual), berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Mengenai jual beli, pengaturannya dapat dilihat dalam Buku III bab ke V Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (koop en verkoop is een overeenkomst, waarbij de ene partij zich verbindt om een zaak te leveren, en de andere om daarvoor de bedongen prijs te betalen.77) Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun pada hak atas tanah yang bersangkutan, sekalipun misalnya pembeli 75
CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 119. 76 Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, 2007, Jual-Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.128. 77 AB Massier, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden, hal.68.
61
sudah membayar penuh harganya dan tanahnya secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya. Menyerahkan secara yuridis berarti si penjual sudah memberikan hak atas kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. 78 b. Hibah Mengenai pengertian dari hibah diatur dalam ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, yakni suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Dalam ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata disebutkan bahwa penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Syarat hibah lainnya antara lain pemberi hibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (bukan seorang yang masih dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan), sedangkan penerima hibah sudah ada (dalam hal ini lahir atau sudah di dalam kandungan) pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan (Pasal 1679 KUHPerdata), artinya bahwa jika seseorang ingin menghibahkan sesuatu kepada anaknya, 78
Adrian Sutedi, 2008, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 27.
62
anak tersebut minimal harus sudah lahir atau sudah berada di dalam kandungan ibunya.79 c.
Tukar-Menukar Dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata, tukar-
menukar ialah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam dunia perdagangan perjanjian ini dikenal dengan istilah “barter”. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut di atas, perjanjian tukar-menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek perjanjiannya. Demikian pula dapat dilihat bahwa perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian obligatoir sama seperti jualbeli, ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian. Yang memindahkan hak milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hukum yang dinamakan levering atau penyerahan hak milik secara yuridis.80 Segala apa yang dapat dijual, dapat menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Tukarmenukar ini adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang. Untuk dapat melakukan perjanjian ini, masing-masing pihak harus pemilik dari
79 80
Irma Devita Purnamasari, op. cit., hal. 59. Soebekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 36.
63
barang yang ia janjikan untuk diserahkan dalam tukar-menukar itu.81 d. Penyertaan Modal dalam Perusahaan (Inbreng) Peningkatan modal selain saham yang disetor dalam bentuk uang, bisa juga dengan inbreng atau pemasukan dalam perusahaan, yaitu memasukkan barang sebagai modal, dinilai dengan uang dan dijadikan saham. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya, yaitu baik berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, dapat dinilai dengan uang, secara nyata telah diterima oleh perseroan, penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan rnengenai penyetoran tersebut.Dalam hal ini, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli dengan perseroan (Pasal 34 Ayat (2) UU PT). e. Lelang Lelang yang dimaksud adalah lelang hak atas tanah, yang dalam praktik sering disebut dengan lelang tanah. Secara yuridis, yang dilelang adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Tujuan lelang hak atas tanah adalah supaya pembeli lelang dapat dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau
81
Ibid.
64
menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, sedangkan lelang tanah adalah penjualan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terbuka untuk umum oleh Kantor Lelang setelah diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
dengan
harga
yang
tertinggi
yang
didahului
oleh
pengumuman lelang.82
3.5.
Akta Peralihan Hak atas Tanah Keberadaan UUPA yang menganut prinsip-prinsip hukum adat, bukan
berarti bahwa pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang dibuat dibawah tangan. Semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai hak atas tanah merupakan tugas pokok dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu atau pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998, yakni: 1. Akta Jual Beli Dalam bahasan ini, akan dibedakan pembahasan tentang akta jual beli yang dibuat oleh PPAT dengan akta pengikatan perjanjian jual-beli yang di dalam praktek peralihan hak atas tanah sering dijumpai. Akta Jual Beli (AJB) 82
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 382.
65
yang di dalam praktek peralihan hak atas tanah digunakan sebagai alat untuk pendaftaran permohonan peralihan hak di kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tanah berada, dibuat dan menjadi wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sehingga AJB ini lazim disebut dengan Akta Jual Beli PPAT. Setelah persyaratan seperti data tanah, seperti sertipikat asli dan data penjual serta pembeli tersebut dilengkapi, maka PPAT melakukan pengecekan terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan setempat guna mengetahui apakah hak atas tanah yang akan dialihkan tersebut bermasalah atau tidak disertai surat permohonan pengajuan informasi pertanahan (pengecekan sertipikat) yang dibuat oleh PPAT yang ditujukan kepada kepala kantor pertanahan setempat.83 2. Akta Tukar-Menukar Perjanjian tukar menukar ini juga merupakan suatu perjanjian obligatoir sama seperti jual-beli, dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian. Yang memindahkan hak milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hukum yang dinamakan levering atau penyerahan hak milik secara yuridis. Kalau jual-beli adalah mengenai barang lawan uang, maka tukar-menukar ini adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang. Untuk dapat melakukan perjanjian tukar-menukar, masing-masing pihak harus
83
Ibid.
66
pemilik dari barang yang ia janjikan untuk diserahkan dalam tukar-menukar itu.84 3. Akta Hibah Berdasarkan ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, penghibahan (bahasa Belanda: schenking; bahasa Inggris: donation) adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian “dengan cuma-cuma” (om niet), dimana perkataan “dengan cuma-cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perkataan
“diwaktu-hidupnya”
si
penghibah
adalah
untuk
membedakan penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament/surat wasiat itu dalam KUHPerdata dinamakan “legaat” (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut KUHPerdata itu adalah suatu
84
R. Soebekti, loc.cit., hal. 36.
67
perjanjian, maka dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah.85 Dalam ketentuan Pasal 1682 KUHperdata telah disebutkan bahwa: “tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687 KUHPerdata, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.” Hibah yang dilakukan dengan akta notaris tersebut adalah untuk barang yang bergerak, sedangkan hibah yang dilakukan dengan akta PPAT adalah untuk tanah dan bangunan (Pasal 37 ayat (1) PP nomor 24 Tahun 1997).86 4. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan Dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya, dengan ketentuan: (1) baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud; (2) dapat dinilai dengan uang; (3) secara nyata telah diterima oleh perseroan; (4) penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang, harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Bentuk penyetoran saham dalam bentuk lain inilah yang biasa disebut dengan “pemasukan barang” modal atau “inbreng” atau “capital brought in to/put into the business”87. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah inbreng adalah tanah yang berasal dari penyetoran modal dalam pembentukan sebuah perseroan 85
R. Soebekti, op.cit., hal. 95. Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 58. 87 Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 238. 86
68
terbatas. Pada dasarnya, proses dan perlakuan pajak untuk peralihan hak atas tanah dengan cara inbreng tersebut sama seperti peralihan hak atas tanah dengan mekanisme jual-beli, yakni pihak yang menyerahkan tanah tersebut tetap dikenai pajak penghasilan sebesar lima (5) persen seperti halnya pada jual-beli biasa. Ini diasumsikan bahwa dari penyerahan tanah dengan cara inbreng tersebut pihak yang menyerahkan tanah tetap mendapat keuntungan berupa saham yang nilainya sama dengan nilai tanah yang diserahkan. Yang membedakan dari proses jual-beli biasa adalah untuk proses inbreng, biasanya didahului dengan appraisal.88 Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUPT Nomor 40 Tahun 2007, penyetoran modal saham yang dilakukan dalam bentuk lain, penilaian setoran modal saham tersebut ditentukan berdasarkan nilai wajar (fair value), yakni ditetapkan sesuai dengan harga pasar (market values). Karena tanah merupakan benda tidak bergerak (onroerend goed, inmovable property), maka penyetoran itu menurut ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUPT, proses tersebut diumumkan dalam satu (1) surat kabar atau lebih, dan pengumuman dilakukan dalam jangka waktu empatbelas (14) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Setelah langkah tersebut dijalani, maka akan dilanjutkan dengan pembayaran pajak penghasilan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan menggunakan perhitungan yang sama dengan proses jual-beli biasa. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan pembuatan akta inbreng dihadapan PPAT
88
Irma Devita Purnamasari, op. cit., hal. 70.
69
setempat, dan terakhir didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.89 5. Akta Pembagian Hak Bersama; Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar atas nama beberapa nama sehingga untuk lebih memperoleh kepastian hukum para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah yang mereka miliki bersamasama. Akta pembagian hak bersama ini merupakan akta yang (biasanya) berisi mengenai pembagian warisan. Misalnya dalam satu sertipikat hak milik atas nama lima orang. Sertipikat hak milik atas tanah tersebut seluas lima are, dan ingin dipecah untuk dibagikan kepada kelima orang tersebut sehingga masingmasing orang berhak mendapatkan satu are. Pada saat dipecah menjadi satu are, dalam sertipikat tersebut masih atas nama kelima orang tersebut. Agar masing-masing pihak mendapat bagian satu are atas namanya sendiri, inilah yang disebut akta pembagian hak bersama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 PP Nomor 24 Tahun 1997, pembagian hak bersama atas tanah menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku, yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut. Pembuatan akta ini dihadiri pula oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan sekurang-kurangnya dua (2) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum tersebut.
89
Ibid, hal. 70.
70
6. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB)/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; Dalam hal pembuatan akta HGB/hak pakai di atas hak milik ini di dahului dengan perjanjian sewa-menyewa, dengan jangka waktu maksimal tigapuluh (30) tahun dan dapat diperpanjang duapuluh (20) tahun. Pihak pertama merupakan pemegang hak milik, di mana pihak pertama memberikan HGB kepada pihak kedua dan pihak kedua menerangkan dengan ini menerima pemberian HGB dari pihak pertama. Seperti misalnya suatu hak milik atas nama si A. Kemudian si B ingin menyewa tanah tersebut dengan mendirikan bangunan di atasnya (hak guna bangunan) selama jangka waktu dari HGB yakni tigapuluh (30) tahun. Setelah jangka waktu sewa dari hak guna bangunan tersebut habis, maka hak guna bangunan tersebut akan hilang. Dalam hal jangka waktunya telah habis, maka segala bangunan yang ada di atas hak milik tersebut menjadi milik pihak pertama atau dapat pula bangunan tersebut dibongkar sesuai dengan keadaan semula. Hal ini tergantung dari kesepakatan para pihak. Hak guna bangunan/hak pakai ini tetap membebani hak milik yang bersangkutan walaupun hak milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pihak pertama kepada pihak lain dan pihak kedua tetap dapat melaksanakan haknya sampai jangka waktu hak guna bangunan/hak pakai ini habis. Pihak kedua tidak diperkenankan untuk mengagunkan atau menjual dengan cara apapun juga hak guna bangunan/hak pakai yang diberikan dengan akta ini dan/atau bangunan yang ada di atas tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan/hak pakai tersebut tanpa persetujuan tertulis dari pihak pertama.
71
7. Akta Pemberian Hak Tanggungan; UUPA mengatur bahwa yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan.90 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan hak tanggungan: Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah/UUHT). APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren). Jadi, pemberian hak tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit
90
Urip Santoso, op.cit., hal. 410.
yang
72
bersangkutan.91 8. Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dengan cara hadir di hadapan PPAT. Hanya apabila karena sesuatu sebab pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri
dihadapan
PPAT,
diperkenankan
penggunaan
Surat
Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta autentik dengan cara menunjuk pihak lain sebagai kuasanya. Dengan demikian fungsi SKMHT adalah sebagai alat untuk mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT. Untuk hak atas yang sudah terdaftar, wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya satu (1) bulan sesudah diberikan, sedangkan terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar harus dipenuhi dalam jangka waktu tiga (3) bulan. Dasar pemikiran dicantumkannya batas waktu SKMHT dalam UUHT adalah agar SKMHT segera direalisir menjadi APHT. Esensi dari kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada seorang lain untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan demikian, terdapat suatu hubungan hukum antara pemberi kuasa (pemberi hak tanggungan) dengan penerima kuasa (dalam hal ini bank sebagai pemegang hak tanggungan).
91
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72.
73
BAB IV FILOSOFI KETENTUAN TENTANG TANAH ABSENTEE
4.1. Pengertian Larangan Pemilikan Tanah Absentee. Bagi Indonesia, sebagai negara agraris yang berarti kehidupan sebagian besar warga negaranya tergantung dari mata pencaharian sebagai petani, kedudukan tanah menjadi sangat penting bahkan merupakan kebutuhan pokok bagi warga negaranya. Oleh karena itu, kepemilikan atas tanah merupakan hak asasi petani yang harus dipenuhi oleh negara. Suatu negara berkembang jika ingin maju harus memperhatikan pembagian tanah pertanian yang merata. Menurut M.R. Redclift, “it was recognized that unequal distribution of land contributed to low productivity in the agrarian sector and that agrarian reform policies reflected this uniquality.”92 Kewajiban negara untuk menyediakan lahan yang cukup untuk petani, sejalan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa kekayaan negeri ini dipergunakan untuk kepentingan rakyat.93 Hal di atas mengandung konsekuensi bahwa, petani sudah semestinya dan harus memiliki tanah untuk bisa disebut sebagai petani. Negara mempunyai tugas dan wewenang berdasar pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang selanjutnya dijabarkan Pasal 2 ayat (3) UUPA, yang dikenal sebagai konsep Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, berkewajiban menyediakan lahan atau tanah bagi para petani tidak punya tanah atau petani penggarap serta rakyat miskin yang
92
M.R. Redclift, 1987, Agrarian Reform and Peasant Organization on the Ecuadorian Cost, The Athlone Press of the University of London, hal. 4. 93 Jimly Asshiddiqie, 2009, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, hal.141.
74
tidak punya tanah lainnya. Karena dalam konsep tersebut, negara adalah (konsep hak menguasai negara), dimana wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan ke daerah-daerah dan masyarakat hukum adat apabila diperlukan serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan mengenai domain verklaring yang terdapat dalam ketentuan Agrarische Besluit (Stb. 1870 Nomor 118 Pasal 1), yang intinya menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domain (milik) negara.94 Sehingga dalam hal ini negara adalah tidak menguasai tanah, tetapi justru sebagai pemilik tanah yang tentu sangat merugikan masyarakat pada waktu tersebut, khususnya masyarakat tani. Agar terwujud bahwa setiap petani harus memiliki tanah garapan agar dapat disebut petani dalam suatu masyarakat atau negara agraris, kehadiran negara selain sebagaimana di atas juga dalam kaitannya dengan mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA. Dalam hal demikian, agar supaya pemilikan tanah berkeadilan yakni setiap rakyat petani memiliki tanah garapan maka negara berwenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah. Salah satunya dengan cara melihat status kepemilikan tanah seseorang yang melampaui batas kewajaran, jauh dari tempat tinggalnya atau pemilik lahan tidak aktif mengolah lahan sehingga tanah tidak dapat dipergunakan secara maksimal, sehingga diambil kebijakan oleh 94
H. Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 15.
75
Pemerintah dalam bentuk larangan pemilikan tanah absentee. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 224 Tahun 1961 : “pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu enam (6) bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tepat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letah tanah tersebut.” Ketentuan pasal ini terdapat pengecualian yaitu bagi pegawai negeri dan pemilik yang bertempat tinggal berbatasan dengan letak tanah (diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan (4) PP No 224 Tahun 1961). Terhadap larangan kepemilikan tanah yang di luar batas kewajaran, Pasal 7 UUPA menentukan bahwa, untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Ketentuan Pasal 7 UUPA ini dalam literatur yang dikenal dengan istilah larangan latifundia atau di Philipina juga disebut dengan hacienta, artinya larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian.95 Berkaitan dengan pembahasan mengenai tanah absentee, juga terkait dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUPA, yakni: “dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum”, sedangkan dalam ketentuan ayat (2) disebutkan: “penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di 95
A.P. Parlindungan, 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal. 6.
76
dalam waktu yang singkat.” Untuk merealisasikan amanat Pasal 17 ayat (2) tersebut maka lahirlah Perpu Nomor 56 Tahun 1960. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang, maka Perpu Nomor 56 Tahun 1960 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117). Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 ditentukan: “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah minimum dua (2) hektar”.
Di dalam penjelasan Pasal 8 di atas yakni usaha-usaha yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, supaya setiap keluarga petani mempunyai dua (2) hektar ialah terutama ekstensifikasi tanah pertanian dengan pembukaan tanah secara besar-besaran di luar jawa, transmigrasi, dan industrialisasi. Hal tersebut oleh Tampil Anshari dikatakan bahwa, sudah saatnya batas minimum tanah pertanian ditinjau kembali agar ditetapkan lebih rendah di bawah dua (2) hektar karena jumlah petani semakin besar.96 Begitu pula jika dihubungkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi batas minimum dua (2) hektar sudah tidak sesuai lagi, banyak ahli mengusulkan agar ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata, misalnya untuk di
96
Tampil Anshari Siregar, op.cit. hal. 84.
77
Pulau Jawa dan Bali cukup 0,5 hektar saja.
97
Dilihat dari asal-usulnya,
kepemilikan tanah absentee dapat terjadi karena tiga hal, yaitu : a. Tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Pemilik yang bersangkutan berpindah tempat dari kecamatan letak tanah selama 2 tahun berturut-turut. Jika pihak tersebut melapor kepada pejabat setempat tentang kepergiannya, maka dalam waktu satu tahun sejak berakhirnya jangka waktu tersebut ia diwajibkan memindahkan hak milik atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut. b. Pewarisan Jika karena pewarisan maka dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak si pewaris meninggal, ahli waris bersangkutan diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanah tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan di mana tanah itu berada, atau apabila ahli waris ingin tetap memiliki tanah tersebut, maka ia harus berpindah ke kecamatan tanah yang bersangkutan. c. Jual-beli Proses transaksi jual-beli tanah menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan. Adapun hal-hal yang dikecualikan dalam pemilikan tanah secara absentee adalah: a. Pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tanah tersebut berada; b. Pegawai negeri dan anggota ABRI serta orang-orang yang 97
Mudjiono, 1997, Politik dan Hukum Agraria, Liberty, Yogyakarta, hal. 83.
78
dipersamakan; c. Pemilik yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal Agraria.98 Sehubungan dengan larangan pemilikan tanah absentee tersebut, maka apabila karena suatu peristiwa hukum terjadi pemilikan tanah absentee, maka tersedia beberapa pilihan bagi pemiliknya untuk mengatasinya, yakni: pemilik tanah harus memindahkan kepemilikan tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya; pemilik tanah yang pindah ke kecamatan letak tanah tersebut berada; atau pemilik tanah mengajukan hak baru yang sesuai dengan peruntukan/ penggunaan tanahnya.99
4.2. Filosofi Larangan Pemilikan Tanah Absentee Dalam melakukan reforma hubungan manusia dengan tanah telah diupayakan agar setiap orang mempunyai tanah atau lahan pertanian dengan melarang adanya pemilikan tanah yang melampaui batas. Maka hal pertama yang dilakukan adalah bagi pemilik tanah pertanian agar mengerjakan atau mengusahakannya sendiri tanahnya secara aktif. 100 Diadakannya ketentuan ini untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut “absentee”, yaitu pemilikan tanah yang letak tanahnya berada di luar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah. Tanah absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh orang yang letak pertanian itu di luar wilayah kecamatan tempat kedudukan (domisili) pemilik tanah. 98
R. Soprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, hal. 114. 99 Ibid. 100 Chadidjah Dlimunthe, 2008, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, hal. 76.
79
Filosofi dari adanya larangan pemilikan tanah secara absentee oleh undangundang (UUPA dan peraturan pelaksannya) karena letak tanah tersebut berada di luar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Tetapi larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu itu yang didasarkan pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang. Menurut Boedi Harsono, tujuan diadakannya larangan pemilikan tanah absentee agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. 101 Selain itu tujuan melarang pemilikan tanah secara absentee adalah untuk menghilangkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah di tangan segelintir tuan-tuan tanah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Jika pemilik tanah berada di perkotaan sementara tanahnya berada di pedesaan kemungkinan besar pemilik tanah tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif, akibatnya terpaksa dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya tanah. Jika penggarap
101
Boedi Harsono, op. cit., hal. 385.
80
hanya mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya apa yang menjadi tujuan landreform dalam bidang mental psikologis tidak akan tercapai. Untuk mencegah usaha-usaha yang bertujuan menghindarkan diri dari ketentuan Pasal 3 PP 224 Tahun 1961 tersebut di atas dijelaskan “pindah ke kecamatan letak tanah yang bersangkutan” diartikan bahwa mereka benar-benar berumah tangga dan menjalankan kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di tempat yang baru sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien. Pemilik tanah absentee diberi kesempatan untuk pindah tempat ke kecamatan letak tanah/melepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat, dengan SK. Menag. tanggal delapan Januari seribu sembilanratus enampuluh dua (08-011962) Nomor SK. VI/6/KA. Ketentuan absentee ini tidak berlaku bagi mereka yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan atau pegawai negeri. Mereka yang tidak memenuhi kewajiban tersebut di atas tanahnya dikuasai Pemerintah, realisasi penguasaan dengan SK Menag. tanggal tujuhbelas Desember seribu sembilanratus enampuluh dua (16-12-1962) Nomor SK. 35/KA/1962.102 Orang yang meninggalkan tempat tinggalnya selama dua (2) tahun berturutturut dikenakan ketentuan-ketentuan tentang pemilikan tanah secara absentee. Menurut Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961, orang dilarang memiliki tanah pertanian yang terletak di luar kecamatan tempat tinggalnya (absentee). Dikecualikan dari larangan tersebut, pemilikan tanah di kecamatan yang berbatasan dan masih memungkinkan penggarapan lahan pertanian tersebut secara efisien. Kriteria
102
R. Soprapto, op.cit., hal. 113.
81
terakhir ini sering menimbulkan masalah karena adanya kemajuan sarana angkutan/transportasi, atau batas-batas kecamatan yang tidak selalu lurus, bahkan menunjukkan batas bentuk kecamatan yang tidak teratur, sehingga tanah yang terletak dalam satu kecamatan dengan pemiliknya, mungkin jarak antara tempat tinggal pemilik dengan lokasi tanah lebih jauh apabila dibandingkan dengan pemilikan tanah yang terletak di luar kecamatan yang tidak berbatasan.103 Menghadapi hal ini, sebaiknya berpegang pada kriteria yakni bahwa pemilikan tanah yang terletak di kecamatan yang berbatasan tidak terkena ketentuan tanah absentee. Ketentuan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 yang telah dirubah dengan Nomor 41 Tahun 1964 dan PP Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri, ditentukan bahwa seorang pemilik tanah yang meninggalkan tempat tinggalnya selama dua (2) tahun berturut-turut, terkena ketentuan larangan ini. Apabila yang bersangkutan melapor pada yang berwenang setempat, maka yang bersangkutan harus mengalihkan tanahnya pada orang yang memenuhi syarat dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu dua (2) tahun. Jika pemilik tidak melapor pada kepada yang berwenang, maka yang bersangkutan harus mengalihkan tanahnya kepada orang yang memenuhi syarat dalam jangka waktu dua (2) tahun sejak kepindahannya (Pasal 3 huruf a PP Nomor 41 Tahun 1964). Seseorang bukan pegawai negeri atau yang tidak dipersamakan, apabila setelah berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961 ini mendapatkan tanah absentee
103
Ibid, hal. 114.
82
(karena warisan/hibah) harus mengalihkan kepada orang yang memenuhi syarat dalam waktu satu (1) tahun sejak si pewaris meninggal dunia (Pasal 3 huruf c PP Nomor 41 Tahun 1964). Dengan adanya PP Nomor 4 Tahun 1977, kedudukan pegawai negeri dan yang dipersamakan maupun jandanya, sepanjang tidak menikah lagi, dipersamakan dengan pegawai negeri, oleh karena itu mereka tidak dikenakan larangan absentee. Berdasarkan pada pertimbangan bahwa pegawai negeri selaku petugas negara yang tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri tempat tinggalnya karena terikat oleh tempat kedudukan dari jabatannya, maka mereka dapat dikecualikan dari ketentuan-ketentuan tersebut, dalam arti bahwa para pegawai negeri diperbolehkan memilih tanah pertanian secara absentee, jika tanah itu sudah dimilikinya pada saat mulai berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961 atau diperolehnya karena warisan sesudah peraturan pemerintah tersebut berlaku. Mereka juga tidak diwajibkan untuk memindahkan pemilikan tanahnya kepada pihak lain, jika berpindah ke kecamatan lain. Tetapi pemilikan tanah pertanian secara absentee yang masih diperbolehkan itu terbatas sampai dua perlima (2/5) dari luas maksimum untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 174). Kalau maksimum untuk daerah itu lima (5) ha, maka mereka hanya boleh memiliki tanah secara absentee sampai dua (2) ha. Pengecualian tersebut berlaku juga bagi isteri dan atau anak-anak yang masih menjadi tanggungannya. Pembelian dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang
83
mengakibatkan pemilikan tanah pertanian secara absentee tetap dilarang, juga bagi para pegawai negeri. Pengecualian tersebut berlaku selama seseorang masih menjabat sebagai pegawai negeri. Pada saat ia pensiun maka berlakukah baginya larangan yang dimaksudkan itu, dalam arti bahwa di dalam waktu yang ditentukan ia wajib berpindah tempat tinggal di kecamatan letak tanahnya itu atau memindahkan pemilikan tanahnya kepada pihak lain yang boleh memilikinya. Namun mengingat berbagai faktor obyektif dewasa ini, umumnya sulit bagi para pensiunan tersebut untuk pindah ke tempat letak tanah yang dimilikinya itu. Memindahkan pemilikan tanah tersebut kepada pihak lain juga menimbulkan keberatan, karena pemilikan tanah tersebut justru ditujukan sebagai bekal pada saat pensiun nanti. Dengan PP Nomor 4 Tahun 1977 ini, pengecualian terhadap larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee yang berlaku bagi para pegawai negeri tersebut, dinyatakan berlaku juga bagi para pensiunan pegawai negeri dan para janda pegawai negeri serta janda pensiunan pegawai negeri, selama tidak kawin lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.104 Pemilik tanah absentee yang telah pindah tempat tinggal atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama dua (2) tahun berturut-turut maka wajib memindahkan hak atas tanahnnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah ke kecamatan tempat letak tanah tersebut. Selanjutnya pemilik tanah pertanian absentee yang diperoleh dari warisan dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak
104
Boedi Harsono, op. cit., hal. 389.
84
si pewaris meninggal diwajibkan untuk memindahkannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak atau dia pindah ke kecamatan letak tanah itu. Dalam hal tertentu dengan alasan yang wajar dapat diperpanjang waktunya oleh badan pertanahan nasional. Apabila kewajiban-kewajiban sebagaimana yang disebutkan di atas tidak dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pemerintah dan kepada pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Untuk selanjutnya tanah tersebut dijadikan sebagai tanah objek landreform yang akan diredistribusikan menurut hukum yang berlaku. Namun sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan dengan mereka berhenti dalam menjalankan tugas negara (pensiun) dan mempunyai hak milik atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya, dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan pindah ke kecamatan letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Dan dalam hal-hal tertentu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada perlunya dilaksanakan prinsip bahwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut105: 1) Untuk mencegah terjadinya penguasaan/pemilikan tanah oleh seorang/kepala keluarga yang melanggar batas maksimum dan tersebar di 105
Boedi Harsono, op. cit., hal. 116.
85
2) 3) 4)
5)
beberapa daerah. Kalau tidak ada larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, orang Jakarta misalnya dapat memiliki tanah pertanian dimana saja di seluruh wilayah Republik Indonesia, hal ini akan mempersulit pengawasan dan pengendalian penguasaan/pemilikan tanah, juga mempersulit usaha untuk mengetahui luas yang sebenarnya hak milik tanah pertanian seseorang; Seringkali membawa akibat tidak efektifnya pengusahaan tanah; Hasil-hasil produksi tidak dapat dinikmati oleh para petani (penduduk setempat) yang berarti mengurangi pendapatan penduduk setempat; Hasil produksi dikuasai oleh orang kota, berarti sasaran kredit investasi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan tidak mencapai sasaran; Secara tidak langsung mendorong arus urbanisasi karena berkurangnya lapangan kerja di daerah pedesaan. Kesemuanya itu akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan landreform yaitu antara lain pembangunan pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah pedesaan. Berkaitan dengan keberadaan tanah absentee sampai saat ini, tentu tidak
sesuai lagi dengan filosofi yang terkandung dalam ketentuan mengenai larangan terhadap kepemilikan absentee. Peraturan tersebut, yakni PP Nomor 224 Tahun 1961 dibuat pada saat sistem transportasi belum semaju saat ini. Filosofi mengenai tanah pertanian adalah untuk para petani, agar dapat diusahakan secara maksimal dan menghindari adanya pemerasan dari tuan-tuan tanah, sampai kapanpun akan benar adanya demikian. Namun yang tidak sesuai saat ini adalah pengaturan mengenai larangan tersebut, dimana transportasi saat ini sudah sangat maju. Walaupun pemilik tanah pertanian itu tidak lagi tinggal di satu kecamatan letak tanahnya, belum tentu tanah tersebut menjadi terlantar, seperti yang dikhawatirkan oleh pembuat peraturan tersebut pada waktu itu. Karena dewasa ini, untuk pergi mengunjungi satu lokasi ke lokasi lain, jangankan hanya berbeda kecamatan, berbeda pulau pun menjadi mudah dan cepat. Sehingga, peraturan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya berada diluar kecamatan letak tempat tanahnya tidak lagi efektif diterapkan pada masa kini.
86
4.3. Dasar Hukum Larangan Pemilikan Tanah Absentee Dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UUPA disebutkan bahwa setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pokok pikiran yang terkandung di dalam Pasal 10 UUPA adalah larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee; seseorang tidak berada (absent) di atas lahannya untuk dapat mengolahnya sendiri secara aktif, disebabkan berbagai hal karena jarak tertentu, beda kecamatan dan lain sebagainya. 106
Asas dalam ketentuan pasal ini berarti pemilik tanah pertanian mengerjakan
atau
mengusahakan
sendiri
tanahnya.
Mengerjakan
atau
mengusahakan sendiri secara aktif berarti bahwa yang mempunyai hak itu secara langsung turut serta dalam proses produksi. Ini tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri. Mempergunakan tenaga buruh masih diperbolehkan tetapi harus dicegah praktek cara-cara pemerasan. Dalam ketentuan Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 disebutkan larangan mempunyai tanah pertanian di luar kecamatan dan diwajibkan menyerahkan tanahnya kepada warga kecamatan di mana tanah itu berada. Dalam Pasal 2 PP Nomor 224 Tahun 1961 juga disebutkan bahwa kepada pemilik tanah yang harus menyerahkan tanah kelebihannya diberikan kesempatan lebih dahulu untuk memilih bagian tertentu dari tanah yang akan tetap menjadi haknya dan menentukan bagian tanah yang lain akan diserahkan kepada pemerintah untuk
106
Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan, KSHM Fakultas Hukum USU, Medan, 2006, hal. 66.
87
diredistribusi. Namun kesempatan yang diberikan kepada para pemilik tanah tersebut tidak semuanya dipenuhi, lebih-lebih lagi jika tanah yang dipilih itu terpencar-pencar, yang tentunya tidak efisien dan bertentangan dengan tujuan landreform untuk memperbesar produksi pertanian.107 Untuk melaksanakan amanat dari Pasal 10 UUPA tersebut, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964 menentukan sebagai berikut: “pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu enam (6) bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.” Selanjutnya dalam Pasal 3 d PP No. 41 Tahun 1964 menetukan: “dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana ia bertempat tinggal.” Dengan demikian terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain: tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif; pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanahnya; pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut; dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar kecamatan tempat letak tanahnya; larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.
107
A.P. Parlindungan, op. cit., hal 83.
88
Pemilikan yang demikian menimbulkan penggarapan tanah yang tidak efisien, baik terhadap penyelenggaraannya, pengawasannya, atau pengangkutan hasilnya, selain itu juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan, misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa-desa, yang digarapkan kepada para petani-petani yang ada di desa-desa itu dengan sistem sewa atau bagihasil. Ini berarti bahwa para petani yang memeras keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil tanah yang dikerjakan, sedangkan pemilik tanah yang tinggal di kota-kota (sebagian besar sudah mempunyai mata pencaharian lain) dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil tanahnya pula. Sehubungan dengan itu pemilik tanah itu perlu bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan sendiri, sesuai dengan prinsip bahwa tanah adalah untuk tani yang menggarapnya.
4.4. Penggunaan Surat Keterangan Domisili dalam Transaksi Jual-Beli Tanah Absentee Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kepemilikan tanah secara absentee, khususnya dalam hal ini pada proses jual-beli tanah pertanian. Di dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 (yang telah dicabut dan diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997) ditentukan bahwa setiap peralihan hak atas tanah hanya bisa dilakukan dengan dibuatkan akta peralihan haknya yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Selain itu, khusus untuk tanah pertanian, apabila akan diperalihkan kepada subyek lain, maka peralihan itu harus memperhatikan ketentuan landreform, yakni si penerima hak harus berdomisili di kecamatan di
89
mana tanah itu berada, atau setidak-tidaknya pada kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah tersebut. Hal demikian dimaksudkan agar tidak terjadi pemilikan/penguasaan tanah pertanian secara absentee. Untuk menghindari ketentuan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee ini, salah satunya adalah dengan menggunakan surat keterangan domisili yang bisa didapatkan di kelurahan atau kecamatan setempat. Surat keterangan domisili biasanya digunakan apabila pihak pembeli yang ingin membeli tanah pertanian itu bertempat tinggal di kota atau di luar kecamatan tempat letak tanah tersebut berada. Tentunya pihak pembeli tersebut tidak memiliki identitas yang semestinya digunakan sebagai syarat formal/administratif dari proses jual-beli tanah, yakni Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dalam lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan disebutkan bahwa salah satu persyaratan dalam pemberian hak milik adalah fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon. Dalam hal ini, yang diakui secara eksplisit dalam ketentutan tersebut adalah KTP, tidak ada disebutkan mengenai penggunaan identitas surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP. Namun dalam prakteknya saat ini, masih marak terjadi transaksi jual-beli tanah pertanian yang didasarkan pada surat keterangan domisili. Hal ini disebabkan karena tentu saja pihak pembeli tidak mempunyai kartu tanda penduduk di kecamatan tempat letak tanah yang dibelinya tersebut. Untuk mempermudah proses transaksi jualbeli tanah pertanian ini, maka diperbolehkanlah penggunaan surat keterangan domisili sebagai pengganti kartu tanda penduduk, yang sudah tentu menjadi
90
mempermudah proses jual-beli tersebut, karena sangat mudah untuk memperoleh surat keterangan domisili. Sejalan dengan metoda penulisan tesis ini dalam kaitannya dengan upaya yang dilakukan oleh masyarakat yang berkeinginan memiliki tanah secara absentee di loksi penelitian ditemukan bahwa, pemilikan dan/atau penguasaan tanah-tanah pertanian oleh para pemiliknya yang sesungguhnya dilarang berdasarkan ketentuan absentee, di dalam proses peralihan atau pemindahan hak atas tanah tersebut menggunakan surat keterangan domisili sebagai dasar permohonan hak di kantor pertanahan Kabupaten Badung. Secara teknis, berdasarkan hasil wawancara pada tanggal limabelas Maret duaribu tigabelas (1503-2013) dengan Bapak I Gusti Ketut Sunata selaku Seksi Pemerintahan Bidang Pertanahan Kecamatan Petang, berdasarkan pada tahapan-tahapan proses pengusaan tanah secara absentee, yaitu dengan terlebih dahulu dibuatkannya akta balik nama dihadapan PPAT, misalnya karena jual-beli masih digunakan surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa hal tersebut disebabkan karena dari pihak Notaris/PPAT menyarankan demikian, karena dlam pendaftaran akta jual-beli sampai dengan terbitnya sertipikat pembeli, apabila menggunakan surat keterangan domisili akta jual-beli atau balik nama tidak pernah ditolak oleh kantor pertanahan Kabupaten Badung. Oleh karena itu, surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh pihak kecamatan sebagai pengganti KTP dalam rangka jual-beli tanah pertanian di wilayah kecamatan petang tidak pernah dipersulit, apalagi dilarang, karena dianggap
91
sebagai persyaratan yang dibolehkan, sekalipun tidak diketahui dasar hukumnya oleh pihak di kecamatan. Dalam suatu proses permohonan dan dikeluarkannya sebuah surat keterangan domisili oleh pihak kantor Kecamatan Petang diperoleh gambaran tata caranya bahwa, pertama-tama pihak pemohon yang ingin membeli tanah datang ke klian banjar dinas di salah satu banjar dinas di Kecamatan Petang atau dapat langsung datang menghadap untuk mengajukan permohonan kepada salah seorang kepada desa/perbekel di wilayah Kecamatan Petang. Kantor perbekel dengan berdasar pada surat pengantar dari klian banjar dinas, yang menerangkan bahwa pemohon adalah memang benar warga dan bertempat tinggal di banjar tersebut selanjutnya mengeluarkan surat pengantar guna memperoleh surat keterangan domisili di kantor Kecamatan Petang. Berdasarkan pada isi surat pengantar yang dikeluarkan kantor perbekel dapat diketahui strategis/pentingnya kedudukan surat keterangan tersebut dalam proses lahirnya surat keterangan domisili, yakni menjelaskan dan menegaskan bahwa seseorang adalah penduduk yang memang benar-benar warga masyarakat setempat atau absent di wilayah tersebut, yang kemudian seseorang/pemohon tersebut secara yuridis tidak digolongkan sebagai pemilik tanah yang melanggar ketentuan
pemilikan
tanah
absentee.
Dikatakan
demikian
oleh
karena
sesungguhnya klian banjar dinas atau perbekel setempat memegang peranan penting karena paling mengetahui, apakah pemohon tersebut benar bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau tidak. Dengan berbagai alasan, misalnya bahwa sebagai pelayan masyarakat maka apabila ada pihak yang memerlukan pelayanan,
92
maka harus dibantu sekalipun isi suratnya merupakan hal yang tidak benar/palsu karena bukan dan tidak menjadi warga masyarat setempat. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal enambelas Maret duaribu tigabelas (16-03-2013) dengan Bapak Ketut Yuta, selaku klian dinas Banjar Auman, selain karena pelayanan, dikeluarkannya surat pengantar oleh klian banjar dinas atau perbekel juga karena untuk dikeluarkan surat keterangan seperti dimaksud dikenakan/dipungut biaya kepada pemohon oleh mereka, yang diartikan sebagai pemasukan ke kas banjar atau desa. Seperti di seluruh banjar dinas di Desa Pelaga, biaya untuk mengeluarkan surat keterangan domisili yang digunakan sebagai pengganti KTP dalam jual-beli tanah pertanian, sebesar satu koma lima persen (1,5) dari nilai transaksi jual-beli. Dari hasil penelitian di Desa Pelaga yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Petang diperoleh data bahwa, beberapa transaksi yang terjadi pada tahun 2012, terdapat transaksi jual-beli tanah pertanian dengan menggunakan surat keterangan domilisi sebagai syarat transaksi/dibuatnya akta jual-beli balik nama oleh PPAT sekaligus sebagai syarat permohonan peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, sebagai berikut : 1. SHM Nomor 1456/Desa Pelaga, seluas enamribu sembilanratus tigapuluh (6.930) m2: -
Penjual: Ni Made Joko (laki-laki, pekerjaan petani/pekebun, alamat Banjar Auman, Desa Pelaga);
-
Pembeli: Insinyur Komang Suarloka (laki-laki, pekerjaan Karyawan Swasta, alamat KTP: KP Srengseng, Kelurahan Srengseng Sawah,
93
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Alamat berdasarkan Surat Keterangan Domisili: Banjar Auman, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung). 2. SHM Nomor 1365/Desa Pelaga, seluas limaribu limaratus limapuluh (5.050) m2: -
Penjual: I Made Kolok dan I Nyoman Kardiasa (keduanya bekerja sebagai petani, bertempat tinggal di Banjar Semanik, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
-
Pembeli: Ni Wayan Rositawati (perempuan, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, alamat KTP: Jalan Ngurah Rai Nomor 224, Dusun Batan Poh, Desa Sanur Kaja, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, alamat berdasarkan Surat Keterangan Domisili: Banjar Bukit Minduk Tiying, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
3. SHM Nomor 1373/Desa Pelaga, seluas tujuhribu tigaratus sepuluh (7.310 ) m2 . - Penjual: I Made Kawit (laki-laki, pekerjaan Petani, bertempat tinggal di Banjar Semanik, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.) -
Pembeli: Ni Luh Putu Sri Utami Suastika (Perempuan, pekerjaan wiraswasta, alamat KTP: Jalan By Pass Ngurah Rai 32, Dusun Kertalangu, Desa Kesiman Kertalangau, Kecamatan Denpasar Timur, alamat berdasarkan Surat Keterangan Domisili: Banjar Dinas Petang Dalem, Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
94
4. SHM Nomor 1448/Desa Pelaga, seluas enamribu duaratus sepuluh (6.210) m2 : -
Penjual: I Wayan Tegeh (laki-laki, pekerjaan Petani, bertempat tinggal di Banjar Semanik, Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.)
-
Pembeli: Ni Luh Putu Sri Utami Suastika (Perempuan, pekerjaan wiraswasta, alamat KTP: Jalan By Pass Ngurah Rai 32, Dusun Kertalangu, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, alamat berdasarkan Surat Keterangan Domisili: Banjar Dinas Petang Dalem, Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
Dalam kaitannya dengan paparan di atas, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Made Sudana selaku Kasubsi Konsolidasi Tanah dan Landreform di
Kantor
Pertanahan
Kabupaten
Badung
mengatakan
bahwa,
sejak
dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (PerKabadan Nomor 1 Tahun 2010), ditentukan bahwa Kantor Pertanahan tidak lagi menerima berkas transaksi jual-beli tanah pertanian yang menggunakan surat keterangan domisili dan harus menggunakan KTP. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Gusti Made Dana, selaku Kasi Pengaturan dan Penataan Pertanahan, di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, juga dijelaskan bahwa, pada awal tahun 2011 semakin diperketat dengan adanya program pada komputer
yang digunakan di
kantor pertanahan. Komputer sudah di
setting/diprogram terhadap form peralihan hak, dimana ketentuan terhadap
95
identitas subjek dalam form peralihan hak tersebut hanya KTP, tidak ada kolom mengenai surat keterangan domisili, sehingga surat keterangan domisili tidak bisa lagi digunakan dalam transaksi jual-beli tanah, khususnya tanah pertanian. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini, dari keempat transaksi jual-beli tanah pertanian di Desa Pelaga, penggunaan surat keterangan domisili nyatanya masih digunakan dalam transaksi jual-beli tanah pertanian. Ini menandakan belum terlaksananya dengan baik ketentuan mengenai larangan pemilikan tanah absentee. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergerseran dari makna domisili dalam kaitannya dengan filosofi maupun tujuan dari adanya larangan pemilikan tanah absentee. Tempat tinggal/domisili semestinya dimaknai sebagai tempat tinggal utama dan yang sebenarnya, bukan tempat tinggal sementara. Jadi surat keterangan domisili yang dimaksud adalah tempat tinggal yang senyatanya/sebenarnya, bukan dalam pengertian seperti saat ini yang menjadikan filosofi dan tujuan dari adanya larangan pemilikan tanah absentee tersebut menjadi tidak terpenuhi. Pergeseran filosofi ini membawa pengaruh terhadap nilai-nilai dasar hukum dan keberlakuan hukum dari suatu kebijakan. Nilai-nilai dasar hukum menurut Gustav Radbruch terdiri dari nilai keadilan, nilai kegunaan (zweckmaszigkeit) dan nilai kepastian hukum.
108
Berdasarkan pada masing-masing dari nilai dasar hukum tersebut maka, pemaknaan domisili dalam kaitannya dengan surat keterangan domisili harus mencerminkan nilai keadilan, artinya surat keterangan domisili yang dikeluarkan
108
Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 19.
96
tersebut haruslah benar sesuai dengan kenyataannya yakni pemohon surat keterangan domisili memang benar dan nyata bertempat tinggal disana. Jangan sampai pengeluaran surat keterangan domisili yang tidak tinggal nyata disana memberikan dampak yang negatif bagi penduduk sekitar yang memang bertempat tinggal di daerah tersebut. Dalam hal nilai kegunaan/kemanfaatan, pergerseran dari makna domisili ini menyebabkan larangan terhadap pemilikan tanah absentee menjadi tidak memiliki nilai kemanfaatan. Karena dengan mudahnya seseorang dapat memiliki surat keterangan domisili, menjadikan tanah pertanian yang semestinya untuk petani di kecamatan setempat menjadi tidak dapat diusahakan lagi oleh petani karena telah menjadi milik orang lain selaku pembeli yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah tersebut. Sementara itu kaitannya dengan kepastian hukum, makna domisili ini semestinya dapat memberikan kepastian hukum ketika telah diwujudkan dalam bentuk surat keterangan domisili, yang menunjukkan bahwa benar adanya seseorang tersebut bertempat tinggal disana.
97
BAB V KEBIJAKAN PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN DOMISILI DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI TANAH PERTANIAN OLEH PEJABAT TERKAIT
5.1. Kebijakan Badan Pertanahan Nasional untuk Menggunakan Surat Keterangan Domisili sebagai Dasar Perolehan Hak atas Tanah Absentee Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional). Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana disebutkan di atas, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi, seperti: merumuskan kebijakan nasional dan teknis di bidang pertanahan; koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; dan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
98
Dalam rangka pelaksanaan tugasnya seperti di atas, kemudian dirumuskan berbagai kebijakan baik bersifat teknis operasional maupun bersifat strategis, dalam arti menguatkan atau mempertahankan konsep-konsep maupun tujuan penggunaan dan penguasaan termasuk pemanfaatan tanah di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagai sasaran di bidang pertanahan, yakni109 : 1. Tertib Hukum Pertanahan Bahwa dewasa ini telah terjadi penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah oleh orang-orang/badan-badan hukum yang melanggar ketentuan perundangan agraria yakni UUPA dan peraturan pelaksanaanya, yang dalam hal ini termasuk: instansi pemerintah yang menguasai tanah tanpa dilandasai suatu hak, sehingga sering menimbulkan sengketa mengenai penguasaan hak atas tanah; pengusaan tanah pertanian secara melampaui batas yang diperbolehkan maupun tanah absentee; ataupun penguasaan tanah tanpa hak. Karenanya perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut110: a. Mengadakan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat mengenai Tertib Hukum Pertanahan guna tercapainya kepastian hukum yang meliputi penertiban penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundangan agraria yang berlaku. Dalam pengertian pelaksanaan tertib hukum pertanian sudah tercakup pelaksanaan tertib dokumentasi dan administrasi tanah; b. Mengenai sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi; c. Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanian; d. Mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang sengaja melakukan penyelewengan;
109
Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, hal. 71. 110
Ibid, hal. 72.
99
Dengan usaha-usaha tersebut di atas, maka akan terwujud adanya tertib hukum pertanahan yang akan menimbulkan kepastian hukum pertanahan dan hakhak serta penggunaannya, yang kesemuannya itu akan menciptakan suasana ketentraman dalam masyarakat dan pengayoman masyarakat dari tindakantindakan semena-mena serta persengketaan-persengketaan, sehingga mendorong gairah kerja. 2.
Tertib Administrasi Pertanahan Bahwa dewasa ini masih terdapat berbagai keluhan dari masyarakat
mengenai hal terkait dengan aparat pertanahan, khususnya dalam hal pelayanan urusan yang menyangkut tanah masih berbelit-belit dan biaya relatif mahal, serta masih terjadi adanya pungutan-pungutan tambahan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah-langkah yang dapat digunakan, antara lain111: a. Tata cara penyelesaian pemilikan hak atas tanah sampai penerbitan sertifikat harus sederhana dan lancar, dengan harga yang relatif murah; b. Meningkatkan kesadaran hukum dan disiplin dengan cara melakukan pembinaan aparat pertanahan secara terus-menerus; c. Dicegah adanya pungutan-pungutan yang tidak berdasar hukum/peraturan yang ada. 3. Tertib Penggunaan Tanah Bahwa sampai saat ini masih banyak tanah-tanah yang belum diusahakan/ dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukkannya, sehingga bertentangan dengan fungsi sosial dari tanah itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi hal tersebut seperti misalnya: perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan dan peruntukkannya sehingga dapat tercapai asas-asas penggunaan 111
Ibid.
100
tanah, yakni asas pemanfaatan tanah yang optimal, asas keseimbangan antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini sesuai dengan semangat dan jiwa yang terdapat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.112 4. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup Bahwa dewasa ini, banyak sekali orang/badan-badan hukum yang mempunyai atau menguasai tanah, tidak memperhatikan dan melakukan usahausaha untuk mencegah kerusakan-kerusakan dan kehilangan kesuburan tanah. Di lain pihak, kepadatan penduduk yang semakin besar, telah mendorong untuk mempergunakan tanah tanpa mengindahkan batas kemampuan keadaan tanah dan faktor lingkungan hidup. Dengan demikian, unsur-unsur yang berhubungan dengan asas-asas tata guna tanah dan keselamatan hidup sudah ditinggalkan guna mengejar
kebutuhan
hidup
yang
mendesak
dan
bersifat
sementara.
Permasalahannya sampai saat ini adalah bagaimana dan sampai di mana kemampuan aparat agraria pada tingkat kabupaten dalam usaha menyadarkan guna mematuhi ketentuan tersebut.113 Catur tertib pertanahan ini merupakan kebijakan bidang pertanahan sebagai pedoman untuk mengadakan penataan kembali penggunaan dan pemilikan tanah serta program-program khusus di bidang agraria untuk usaha meningkatkan kemampuan petani-petani yang tidak bertanah atau mempunyai tanah yang sangat sempit. Lebih lanjut mengenai kebijakan pengaturan penguasaan pemilikan tanah yang ditetapkan dalam UU Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas 112 113
Ibid, hal. 74. Ibid, hal. 75.
101
Tanah Pertanian, pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum seluas dua (2) hektar, sedangkan batas maksimum ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor lainnya yang kemudian menghasilkan kisaran luas maksimum tanah sawah 5-15 hektar, atau tanah kering 6-20 hektar. Hal ini tidak berlaku terhadap tanahtanah pertanian: (1) yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah dan (2) yang dikuasai oleh badan-badan hukum.114 Pengaturan batas maksimum dan minimum merupakan salah satu kegiatan dari landreform untuk tercapainya batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Land reform dimaksud bukan hanya perombakan terhadap struktur penguasaan pertanahan, melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia berkenaan dengan tanah guna meningkatkan penghasilan petani. Efektivitas dari berbagai upaya pemerintah untuk melindungi petani, sulit untuk dilaksanakan, karena lemahnya pengawasan terhadap pemindahan hak-hak atas tanah. Jangkauan pengawasan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) umumnya terbatas pada hak-hak atas tanah yang telah didaftar dan bersertifikat, sementara itu, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menjadi perpanjangan tangan BPN untuk melakukan peralihan dan pemindahan hak-hak atas tanah belum berfungsi sebagai pengendali sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini, BPN mengeluarkan kebijaksaan sendiri, yakni memperbolehkan penggunaan surat 114
Soediono M.P. Tjondronegoro, 2008, Pengabdian Seorang Guru Pejuang Petani (Fokus Pada Mengangkat Harkat Petani), Gajah Hidup, Jakarta, hal. 136.
102
keterangan domisili sebagai pengganti KTP. Hal ini telah berlangsung sejak lama, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang tidak ada dasar hukumnya secara eksplisit. Konsekuensi dari diperbolehkannya penggunaan surat keterangan domisili, di satu sisi untuk memberikan kemudahan terhadap pelayanan kepada masyarakat yang memang membutuhkan, namun di sisi lain membawa dampak buruk, yakni memicu terjadinya kepemilikan tanah secara absentee. Inilah yang menyebabkan masih banyaknya terjadi kepemilikan tanah absentee. Pihak BPN sendiri berdalih bahwa kebijaksanaan penggunaan surat keterangan domisili tidak menyalahi aturan, karena walaupun tidak ditentukan secara eksplisit dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pengganti KTP, namun surat keterangan domisili adalah sama dengan KTP, yakni sama-sama sebagai identitas diri seseorang, yang menunjukkan tempat tinggalnya pada saat itu. Namun yang menjadi perbedaannya lebih kepada batas waktu penggunaannya, yakni KTP bersifat tetap sedangkan surat keterangan domisili hanya berlaku sementara. Berdasarkan wawancara pada tanggal satu Mei duaribu tigabelas (01-052013) dengan Ketut Surya Wirawan selaku Kasi Sengketa Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, awal timbulnya kebijakan diperbolehkannya penggunaan surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP karena dahulu mencari KTP tidak semudah sekarang. Untuk mencari KTP, harus dengan surat keterangan domisili yang masa berlakunya hanya enam (6) bulan. Setelah surat keterangan domisili tersebut habis masa berlakunya, baru bisa mencari KTP. Terhadap kebijakan surat keterangan domisili tidak ada dasar hukumnya, tetapi lebih kepada
103
kewenangan BPN setempat mengeluarkan kebijakan ini Kebijakan ini diberikan bagi masyarakat kesulitan mencari KTP. Ketentuan mengenai diharuskannya penggunaan KTP dengan adanya Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010, dimana komputer sudah di setting/diprogram terhadap form peralihan hak, dimana ketentuan terhadap identitas subjek dalam form peralihan hak tersebut hanya KTP, tidak ada kolom mengenai surat keterangan domisili, sehingga surat keterangan domisili tidak bisa lagi digunakan dalam transaksi jual-beli tanah, khususnya tanah pertanian. Sebenarnya penggunaan surat keterangan domisili ini bertentangan dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 dimana dalam ketentuan lampiran II dengan
jelas
disebutkan
bahwa
persyaratan
identitas
diri
untuk
pemberian/peralihan hak adalah KTP, bukan surat keterangan domisili. Akan tetapi kenyataannya dalam proses permohonan balik nama dengan dasar akta jual beli yang dibuat oleh PPAT dapat menggunakan surat keterangan domisili. Menurut Bapak I Made Sudana selaku Kasubsi Konsolidasi Tanah dan Landreform Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, akta jual beli yang di dasarkan pada surat keterangan domisili ini tetap sah (produk hukumnya tidak cacat hukum), karena domisili juga merupakan identitas diri sama seperti KTP, hanya saja yang membedakan adalah sifat berlakunya, yakni domisili hanya bersifat sementara (berlaku selama enam bulan) sedangkan KTP bersifat permanen. Yang menjadi alasan harus menggunakan KTP dalam transaksi jualbeli tanah karena tanah pertanian itu harus diusahakan dengan optimal sehingga pemiliknya harus tinggal secara permanen di kecamatan letak tanah tersebut.
104
Namun dalam kaitannya dengan permasalahan dalam tesis ini, harus dibedakan antara surat keterangan domisili sebagai produk hukum dari tata usaha negara dalam hal ini kepala desa/kelurahan/kecamatan dengan surat keterangan domisili sebagai syarat dalam akta jual beli permohonan peralihan hak atas tanah pertanian, sebab surat keterangan domisili sebagai alat bukti identitas warga negara adalah sah, karena dilahirkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Sedangkan surat keterangan domisili sebagai syarat untuk permohonan peralihan hak adalah tidak sah, berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010, sebab telah secara limitatif ditentukan menggunakan KTP. Beranjak dari persoalan tersebut sesungguhnya permasalahan terletak pada konsistensi sikap menerapkan ketentuan dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2010 yang dilakukan oleh BPN dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.
5.2. Kebijakan Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk Menggunakan Surat Keterangan
Domisili
dalam
Pembuatan
Akta
Jual-Beli
yang
Melahirkan Pemilikan Tanah Absentee. Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di kantor pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting. PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat aktaakta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa
105
pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu kantor pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.115 Mengingat pentingnya fungsi PPAT maka diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan bahwa PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”. Perbuatan hukum tertentu ini antara lain jualbeli, hibah, tukar-menukar yang telah dipaparkan pada bab 2 sub bab 6. Selanjutnya untuk menjamin kepastian hukum bagi pembuktian pemilik tanah berikutnya, dengan akta PPAT dilakukan pendaftaran tanah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
115
Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah, http://duniahukum.com, data diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
106
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pemeliharaan data pedaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar nama, daftar tanah, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Agar data di kantor pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang terjadi di mayarakat, maka para pemegang hak wajib untuk mendaftarkan perubahan-perubahan yang terjadi kepada kantor pertanahan. Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan.116 Sebagai pemberi jasa dan pelayanan masyarakat, maka apabila ada klien yang ingin bertransaksi, maka sepanjang syarat formil administrasinya telah terpenuhi, maka PPAT tidak memiliki kewenangan untuk mengecek apakah datadata yang diberikan oleh kliennya benar (asli) atau tidak, karena PPAT tidak memiliki kewenangan secara materiil dalam hal ini. Sepanjang para pihak mengatakan benar semisal KTP, apakah itu KTP asli atau palsu, ataupun klien tersebut memiliki KTP lain selain KTP yang diberikan kepada PPAT, maka PPAT hanya menerima saja, tidak menyelidiki mengenai kebenaran materiilnya.
116
Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah, available from: URL: http://myrizal76.blogspot.com/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html, data diakses tanggal 5 Mei 2013.
107
Dalam praktek dibuatnya akta PPAT, wajib diisi dengan identitas orang. Dari identitas tersebut, sesuai dengan ketentuan dalam lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010, wajib disyaratkan KTP sebagai identitas diri. Khusus untuk tanah pertanian, maka pemohon harus bertempat tinggal (memiliki KTP) dalam satu kecamatan letak tanah tersebut. Apabila pemohon memiliki KTP yang berada di luar kecamatan letak tanah, maka sebagai jalan keluar disarankan menggunakan surat keterangan domisili. Penggunaan surat keterangan domisili ini sejalan dengan kebijakan dari kantor pertanahan setempat yang memperbolehkan penggunaan surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP.
5.3. Kebijakan Kepala Desa/Lurah untuk Mengeluarkan Surat Keterangan Domisili yang Melahirkan Pemilikan Tanah Absentee Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 216 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548), perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587). Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
108
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah desa adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Pemerintah desa ini terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Perangkat desa lainnya terdiri atas sekretariat desa; pelaksana teknis lapangan; unsur kewilayahan. Jumlah perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Adapun
tugas,
wewenang,
kewajiban
dan
hak
kepala
desa
terdapat dalam ketentuan Pasal 14 PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan; menetapkan peraturan desa; menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa; dan membina kehidupan masyarakat desa. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepala desa juga mempunyai kewajiban, antara lain: memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme; menaati
dan
menegakkan
seluruh
peraturan
perundangundangan;
menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik.
serta
109
Dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini, kepala desa, khususnya Kepala Desa Pelaga dalam memberikan pengesahan terhadap adanya permohonan pembuatan surat keterangan domisili, sebagai pihak yang lebih mengetahui benar atau tidaknya si pemohon surat keterangan domisili itu bertempat tinggal disana, semestinya dapat lebih bijaksana. Apabila pemohon domisili tidak bertempat tinggal sebenarnya di desa tersebut, maka tidak boleh memberikan surat keterangan domisili, meskipun dalam mengeluarkan surat keterangan domisili akan dikenakan biaya yang dapat membantu kas desa (dalam hal jual-beli tanah). Karena apabila kepala desa memberikan ijin terhadap pengesahan surat keterangan domisili yang sebenarnya pemohon tidak bertempat tinggal di desa/kecamatan tersebut dan membeli tanah pertanian disana, tentunya menyalahi ketentuan yang ada. Seperti diketahui bahwa dalam ketentuan Pasal 3 PP 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, disebutkan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu enam bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Untuk menjalankan amanat dari ketentuan pasal tersebut, maka sebagai kepala desa yang mengayomi warganya dan mengerti akan hukum sudah semestinya bersikap tegas dan adil sesuai dengan kapasitasnya dalam menjalankan tugas sebagai seorang kepala desa. Untuk mengatasi permasalahan tanah absentee, yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah ketentuan mengenai larangan pemilikan tanah secara absentee ini masih perlu dipertahankan atau tidak. Apabila masih dipertahankan, maka
110
terdapat hal yang perlu diperhatikan, yakni apakah ketentuan yang berkenaan dengan tanah absentee masih relevan atau perlu ditinjau kembali. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan jaman, perlu dipertimbangkan kembali halhal yang berkaitan dengan jarak antara domisili dengan letak tanah, mengingat kemajuan di bidang komunikasi dan transportasi. Demikian pula yang perlu dipertimbangkan adalah tentang adanya pengecualian terhadap PNS/pensiunan PNS, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat terhadap pengecualian tersebut. Selain itu, seiring dengan semakin besarnya kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya melakukan pembaruan terhadap pola pikir yang mendasari lahirnya berbagai kebijakan di bidang pertanahan selama ini. Pertambahan penduduk yang tidak bisa diimbangi dengan pertambahan luas tanah, alih fungsi tanah, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, merupakan beberapa contoh keadaan yang harus dihadapi saat ini. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan di masa depan, yakni prinsipprinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA perlu dipertegas dan dikembangkan orientasinya agar dapat diterjemahkan dalam kebijakan yang konseptual, sekaligus operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntun ke arah perubahan yang dinamis. Bagi para pembuat kebijakan, perlu persamaan persepsi berkaitan dengan berbagai hal yang prinsipil agar tidak menunda jalan keluar dari permasalahan yang ada. Tanpa mengingkari banyaknya kebijakan
111
yang berhasil diterbitkan, masih terdapat kesan adanya pembuatan kebijakan yang bersifat parsial atau untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. 117 Terakhir, diperlukan adanya suatu blue print kebijakan di bidang pertanahan yang dengan jelas menunjukkan hubungan antara prinsip kebijakan, sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebijakan penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah pertanian dimaknai sebagai benar-benar bertempat tinggal disana, bukan hanya sebagai selembar surat keterangan domisili. Begitu mudahnya memperoleh surat keterangan domisili yang sering disalahgunakan oleh pihak pembeli sehingga berpotensi untuk menimbulkan pemilikan tanah absentee baru. Peraturan maupun kebijakan yang baik adalah peraturan yang dapat berjalan dengan efektif. Apabila suatu peraturan tidak berjalan lagi dengan efektif, maka perlu dikaji ulang mengenai ketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut, sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
117
Maria SW Sumardjono, op.cit., hal. 46.
112
BAB VI PERUNTUKAN DARI PEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE DALAM KENYATAANNYA
6.1. Peruntukan Tanah Menurut UUPA Peruntukan tanah di Indonesia dapat dikaji dari makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menentukan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut kemudian melahirkan hak menguasai tanah oleh negara, yang dijadikan salah satu dasar hukum bagi negara dalam menentukan kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah di Indonesia. Sebagai pelaksanaan dari hak menguasai tanah oleh negara tersebut, dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 UUPA, yakni : (1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
113
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan di atas, negara memiliki kekuasaan pada tingkatan yang tertinggi yakni untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan
tanah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata peruntukan
berarti : “hal (bagian) yang disediakan untuk; atau penyediaaan”, sedangkan penggunaan berarti : “proses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu”
118
.
Mengikuti arti kata dari peruntukan dan penggunaan tersebut, maka peruntukan atas bumi, air dan ruang angkasa, berarti bagian yang disediakan atas bumi, air dan ruang angkasa, sedangkan penggunaan atas bumi, air dan ruang angkasa berarti proses, cara atau perbuatan menggunakan bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan peruntukan dan penggunaan tanah adalah bagian yang disediakan serta proses, cara atau perbuatan menggunakan tanah. Jika dihubungan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, arti kata peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat berarti bagian yang disediakan untuk dan proses, cara atau perbuatan menggunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Salah satu wewenang yang diberikan kepada negara sebagai perwujudan konsep hak menguasai tanah oleh negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 UUPA 1960 yang berbunyi : “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar 118
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hal. 375.
114
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Hal tersebut menunjukkan bahwa wewenang yang diberikan kepada negara untuk mengatur adalah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pengaturan
peruntukan
dan
penggunaan
tanah
menurut
UUPA
sebagaimana dimaksud di atas dikenal dengan kebijakan pertanahan bersifat populis, karena pengaturan peruntukan dan penggunaan tanahnya menjunjung tinggi hak dan keutamaan rakyat kecil atas tanah yang diatur dalam UUPA maupun peraturan pelaksanaannya. 119 Sehubungan dengan hal ini, Gunawan Wiradi mengatakan bahwa: “baik semangat yang terkandung di dalamnya maupun substansi formal pasal-pasalnya, UUPA memang mencerminkan kepemihakan pada kepentingan rakyat. Hal ini tercermin dalam Pasal 11 dan Pasal 13 UUPA”.120 Apabila ditelusuri lebih lanjut, sifat populis tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 7, Pasal 10 Ayat (1), Pasal 11, Pasal 13 Ayat (1) dan (2), dan Pasal 17. Dalam Pasal 7 ditentukan: “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas tidak diperkenankan”. Ketentuan ini berkaitan dengan Pasal 10 Ayat (1) yang mewajibkan setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah untuk wajib mengerjakan atau 119
Ida Bagus Agung Putra Santika, 2011, “Kebijakan Peruntukan dan Penggunaan Tanah Untuk Penanaman Modal Di Bidang Pariwisata”, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 87. 120 Gunawan Wiradi, 2000, Tonggak-Tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 139.
115
mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam pasal inilah dirumuskan suatu asas yang menjadi dasar perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan, yang lebih dikenal dengan sebutan “land reform” atau “agrarian reform”, yaitu bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya.121 Agar semboyan ini dapat diwujudkan, maka perlu diadakan ketentuanketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani supaya mendapatkan penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (Pasal 13 jo. Pasal 17 UUPA). Diperlukan pula ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik agar dicegah tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan tertentu saja. Untuk mewujudkan sifat populis tersebut, kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1960 Nomor 174 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117) yang dikenal sebagai Undang-Undang Land Reform. Dalam rangka membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta keadaan masyarakat tani Indonesia yang mayoritas hampir 60% adalah petani tidak bertanah dan sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan petani penggarap, maka UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 1 Ayat (2) memberikan pengaturan bahwa dengan
121
Ida Bagus Agung Putra Santika, op. cit., hal 88.
116
memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka ditetapkan luas maksimum pemilikan tanah pertanian adalah sebagai berikut: Di daerah-daerah yang:
Sawah (hektar)
Tanah kering (hektar)
15
20
a. Kurang padat
10
12
b. Cukup padat
7,5
9
c. Sangat padat
5
6
1. Tidak Padat 2. Padat:
Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk menghitung luas tanah maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat dan 20% di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar. Oleh karena mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah merupakan implementasi atau pelaksanaan dari hak menguasai tanah oleh negara berdasarkan ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, maka peruntukan dan penggunaan tanah dalam penulisan tesis ini adalah bagian tanah yang disediakan untuk dan proses, cara atau perbuatan atas tanah yang dipergunakan untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
117
6.2. Pemilikan Tanah Absentee dalam Masyarakat Dalam kaitannya dengan bahasan tesis ini, peruntukan dan penggunaan tanah bagi warga negara Indonesia dimaksudkan agar supaya setiap orang sebagai warga negara mempunyai tanah, terlebih bagi kaum petani di pedesaan atau di pegunungan, selain mempunyai tanah diharapkan dapat memanfaatkan dengan mengerjakan tanah miliknya secara optimal dan maksimal. Sehingga tanah benarbenar memberi manfaat kepada pemiliknya dalam hal ini adalah kaum tani khususnya, serta bagi masyarakat umum, mengingat kebutuhan pokok berupa pangan bagi setiap orang merupakan kebutuhan yang primer dan utama. Dengan kata lain, peruntukan dan penggunaan tanah dalam kaitannya dengan bahasan tesis ini dimaksudkan memberi kajian dan analisis bahwa tanah bagi kaum petani yang pada umumnya bertempat tinggal di kawasan daerah pertanian seperti di Desa Pelaga, dan desa-desa lain di Kecamatan Petang, yang berdasarkan hasil penelitian penulis merupakan daerah pertanian. Sehingga berdasarkan konsep tersebut diharapkan tanah-tanah di kawasan letak penelitian dikuasai, dimiliki, dimanfaatkan oleh mereka para petani yang bertempat tinggal dalam artian genealogis, sebab bertempat tinggal/berdomisili secara genealogis merupakan tanah asal atau tanah air seseorang yang tentunya terdapat ikatan batin antara orang dengan tempatnya. Saat sekarang, dengan dimudahkannya pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal/berdomisili di luar kecamatan letak tanah pertanian tersebut berada, yaitu dengan menggunakan surat keterangan domisili sebagai
118
syarat untuk dapat memiliki tanah pertanian sebagaimana dimaksud diatas, maka di dalam masyarakat khususnya di tempat penelitian thesis ini, telah banyak tanah-tanah pertanian dimiliki oleh orang yang sesungguhnya tidak berasal dari Kecamatan Petang, Kabupaten Badung atau berasal dari desa-desa di wilayah Kecamatan Petang. Para pemilik tanah saat ini kebanyakan berasal dari Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan bahkan ada yang bertempat tinggal di Jakarta. Tanah merupakan salah satu dari sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Keberadaannya saat ini semakin terbatas berbanding terbalik dengan kebutuhan pertambahan penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka tentunya kebutuhan akan tanah menjadi semakin meningkat. Hal ini tidak diikuti dengan kemampuan terhadap ketersediaan tanah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik untuk perumahan, pariwisata, bisnis ataupun sebagai lahan pekerjaan. Kenyataan ini menyebabkan tanah menjadi komoditas jual-beli yang sangat diminati oleh masyarakat, khususnya untuk investasi jangka panjang mengingat harga jual tanah yang terus naik dari waktu ke waktu. Dengan kondisi yang demikian, menyebabkan masyarakat, khususnya pemilik modal menjadi berlomba-lomba untuk membeli tanah, sekalipun itu melanggar ketentuan hukum. Dalam hal ini terkait dengan transaksi jual-beli tanah pertanian yang pembelinya tidak bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Di Desa Pelaga khususnya, masih banyak terdapat tanah-tanah absentee. Pembeli tanah-tanah yang ada di desa tersebut ternyata tidak bertempat tinggal yang sebenarnya disana.
119
Pembeli tanah pertanian tersebut tidak hanya dari luar kecamatan, bahkan dari luar pulau (Bali). Seperti misalnya pembeli yang bertempat tinggal sesuai KTP di Jakarta, namun memiliki surat keterangan domisili di Banjar Auman, Desa Pelaga. Hal ini dimungkinkan karena tidak sulit untuk mendapatkan surat keterangan domisili, sehingga seseorang yang tidak tinggal sebenarnya di daerah letak tanah tersebut bisa memiliki tanah pertanian disana. Pemilikan tanah secara absentee juga melahirkan tanah terlantar. Di dalam UUPA sendiri telah mengatur tentang berakhirnya hak atas tanah yang salah satunya karena diterlantarkan, khusus terhadap hak milik terdapat dalam ketentuan Pasal 27 butir 3. Dalam Pasal 1 angka 5 PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, disebutkan bahwa: “tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah.” Kemudian dalam Pasal 3 ditegaskan kembali bahwa dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Apabila kemudian diketahui pemegang hak mengabaikan kewajibannya terhadap tanah sehingga keadaan tanah menjadi terlantar atau tidak produktif, tidak memberi manfaat bagi pemegang haknya maupun masyarakat sekitarnya, mengalami penurunan kualitas kesuburan dalam waktu tertentu, maka pemerintah harus segera bertindak dan menyatakan suatu bidang tanah dalam tanah terlantar. Secara filosofi, tanah terlantar sangat bertentangan dengan fungsi tanah untuk mensejahterakan kehidupan manusia sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Tindakan mengabaikan kewajiban
120
menggunakan, mengelola dengan benar sesuai dengan haknya adalah tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial dan pengingkaran aspek filosofi tanah. 122 Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi di lapangan tidak semakin membaik, justru semakin banyak terjadi tanah terlantar yang salah satunya disebabkan akibat pemilikan tanah secara absentee. Seperti yang tampak dari hasil penelitian di Desa Pelaga, banyak terdapat tanah-tanah pertanian yang dibiarkan begitu saja, tidak dikelola/dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Hal ini disebabkan karena pemilik tanah tidak bertempat tinggal di daerah tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, terjadi fenomena pemilikan tanah absentee di dalam masyarakat khususnya di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, yang diakibatkan oleh keberadaan tanah sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sementara disisi lain adanya kebijakan para penyelenggara pemerintahan
seperti
badan
pertanahan
nasional
maupun
pejabat
di
kecamatan/desa yang memiliki pemahaman tentang domisili sebatas pada syarat administrasi berupa surat keterangan domisili, menjadikan pemilikan tanah pertanian secara absentee merupakan sesuatu yang tidak bertentangan dengan maksud dan makna larangan pemilikan tanah absentee menurut UUPA. Terlebih lagi keberadaan Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata dengan pembangunan fasilitas maupun sarana pariwisata yang berpusat pada kawasan di Kabupaten Badung, menjadi pula pemicu lain yang mendorong terjadinya praktek pemilikan tanah secara absentee sebab dalam kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten
122
Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Prestasi Pustakaraya, Malang, hal. 14.
121
Badung, yang dalam propaganda politiknya bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan pariwisata antara kawasan badung selatan seperti di kecamatan kuta dengan kawasan Badung Utara seperti Kecamatan Mengwi, Abisansemal dan Petang, secara langsung namun pasti berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan tanah dalam rangka menyediakan sarana dan prasarana pariwisata. Hal tersebut secara langsung pula meningkatkan nilai ekonomis tanah-tanah di Kecamatan Petang. Yang pada akhirnya menjadikan tanah digunakan sebagai komoditas ekonomi. Dalam hal demikian bagi masyarakat orang per orang maupun badan hukum yang memiliki banyak uang berlomba-lomba untuk membeli dan memiliki tanah di Kecamatan Petang. Dengan tujuan dikemudian hari ketika harga tanah sudah berlipat-lipat naik harganya bagi para pemilik tersebut, tanah dijual kembali ke investor lainnya. 6.3. Peruntukan Tanah Absentee Dalam Masyarakat Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “land use planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah “tata guna agraria” atau “agrarian use planning” yang meliputi: (1) tata guna tanah (land use planning); (2) tata guna air (water use
122
planning); (3) tata guna ruang angkasa (air use planning).123 Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara. Dari definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu adanya serangkaian kegiatan, meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya, dan adanya tujuan yang hendak dicapai, yakni tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur. 124 Gejala yang timbul di seputar penguasaan dan pemilikan tanah perdesaan dan perkotaan dewasa ini adalah terpusatnya pada sebagian besar pemanfaatan pemilikan tanah di tangan sekelompok masyarakat pemilik modal kuat. Di lain pihak, masyarakat pemilik modal lemah khususnya cenderung tersingkir dari mekanisme pasar yang ada, yang berakibat pada timbulnya ketidakmerataan dalam penguasaan dan pemilikan tanah.125 Posisi pemerintah dalam mengatasi atau mengendalikan masalah tersebut sudah cukup jelas, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA. Pemerintah memiliki banyak alternatif dalam upaya mengendalikan mekanisme pasar yang ada, seperti misalnya melalui
123
http://www.pengurusantanah.net/tag/uupa, data diakses pada tanggal 10 Mei 2013. Ibid. 125 Heryadi Siswomartono dan Arifien Habibie, 2010, Kebijakan Alokasi Penggunaan Sumber Daya Lahan Secara Berkeadilan Dalam Reformasi Pembangunan Pertanian, available from: URL: http. www.google.com, data diakses pada tanggal 11 Mei 2013. 124
123
intervensi secara langsung untuk dapat menciptakan mekanisme pasar yang tidak hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi semata dan memperhatikan aspek pemerataan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).126 Dalam Ketetapan MPR-RI No. II/MPR 1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjelaskan bahwa penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat tersebut termasuk upaya pemerintah untuk melakukan intervensi dalam rangka memperbaiki tata cara dan kekurangan mekanisme pasar tanah, serta menunjang secara bertahap terwujudnya rasa keadilan dalam penguasaan ataupun pemilikan tanah melalui kebijakan yang baru, penyesuaian yang ada dan perombakan yang telah usang. Berdasarkan dari hasil penelitian di Desa Pelaga, dari keempat lokasi tersebut yakni: 1) Objek Tanah: SHM Nomor 1456/Desa Pelaga, Penjual: Ni Made Joko, Pembeli: Insinyur Komang Suarloka; 2) Objek Tanah: SHM Nomor 1365/Desa Pelaga, Penjual: I Made Kolok dan I Nyoman Kardiasa, Pembeli: Ni Wayan Rositawati; 3) Objek Tanah: SHM Nomor 1373/Desa Pelaga, Penjual: I Made Kawit, Pembeli: Ni Luh Putu Sri Utami Suastika, Objek Tanah: SHM Nomor 1448/Desa Pelaga, Penjual: I Wayan Tegeh, Pembeli: Ni Luh Putu Sri Utami Suastika, ditemukan kenyataan bahwa tanah-tanah pertanian yang dibeli oleh orang-orang yang bertempat tinggal di luar Kecamatan Petang tersebut di
126
Ibid.
124
atas masih diperuntukkan sebagai tanah pertanian. Tanah-tanah tersebut masih dibiarkan seperti semula dan tidak dirubah peruntukannya selain dari tanah pertanian. Hal ini disebabkan karena tanah-tanah pertanian yang dibeli tersebut berbeda dengan tanah-tanah pertanian yang berada di kawasan kecamatan Kuta ataupun yang lainnya di Kabupaten Badung. Kawasan Kuta yang merupakan sentra pariwisata di Bali khususnya bagi Kabupaten Badung tentu memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah pertanian yang berada di kawasaan pedesaan. Sehingga peruntukan tanah-tanah pertanian yang ada di kawasan perkotaan seperti di Kuta lebih banyak dirubah menjadi tanah perumahan ataupun sebagai penunjang pariwisata. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kondisi tanah-tanah pertanian yang ada di Kecamatan Petang, khususnya di Desa Pelaga yang bagian sebesar peruntukan/penggunaan tanah-tanah pertanian tersebut masih dibiarkan seperti semula. Namun dari keterangan beberapa masyarakat sekitar, terdapat pula masyarakat luar Kecamatan Petang yang membeli tanah pertanian disana, mengubah peruntukannya menjadi tanah untuk perumahan. Seperti yang terdapat di Banjar Auman, ada tanah pertanian yang dibeli oleh orang luar Kecamatan Petang kemudian dirubah peruntukannya, tidak lagi menjadi tanah pertanian tetapi menjadi tanah untuk dibangunnya tempat peristirahatan, karena kawasan Desa Pelaga merupakan kawasan pariwisata yang mempunyai iklim sejuk dan daerahnnya tenang, sehingga baik untuk tempat peristirahatan sewaktu-waktu apabila jenuh dengan suasana perkotaan. Dari hasil penelitian dapat dideskripsikan bahwa, di Desa Pelaga Kecamatan Petang sebagaian besar tanah pertanian (tegalan) dibeli oleh orang/penduduk yang
125
berasal dari luar Kecamatan Petang sehingga hak milik atas tanahnya sudah beralih dari para petani dari desa tersebut menjadi milik orang/penduduk luar Desa Pelaga. Akan tetapi tanah-tanah tersebut pemanfataan atau peruntukkannya masih dimanfaatkan sebagai tanah pertanian, sehingga tanah-tanah tersebut sebagian besar masih tetap sebagai tanah pertanian, namun pengelohan atau pengerjaannya tidak sebaik sesuai dengan peruntukannya. Hal ini disebabkan pemilik tanahnya sebagian besar tinggal di luar Kecamatan Petang, khususnya di Kota Denpasar bahkan dari luar Pulau Bali (Jakarta), yang sangat jarang mengunjungi tanahnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, lebih lanjut dapat dideskripsikan bahwa larangan pemilikan tanah absentee sudah tidak efektif lagi untuk diterapkan pada masa kini. Karena dalam kenyataan tanah-tanah pertanian khususnya di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, yang dimiliki oleh orang di luar kecamatan tersebut menyebabkan kurang optimalnya fungsi tanah pertanian sebagai tempat tersedianya bahan pokok pangan bagi pemilik dan bagi orang lain atau penduduk kebanyakan (sebesar-besar rakyat Indonesia), akibat dari pengolahan dan pengerjaan tanah tersebut yang tidak maksimal. Sementara itu, maksud dan tujuan dari larangan pemilikan tanah absentee adalah agar tanah-tanah pertanian dapat dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, sehingga mampu untuk memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat sebagai persediaan kebutuhan pangan selain tujuan idealnya, bahwa tidak terjadi penumpukan pemilikan tanah di tangan orang-orang kaya maupun para pemilik modal.
126
Hal di atas apabila dihubungkan dengan teori efektivitas hukum dari Soerjono Soekanto, maka yang menjadi masalah pada efektivitas hukum dalam bidang subtansi dan budaya hukum yang mempengaruhi penegakan hukumnya. Dikatakan demikian oleh karena dari sisi substansi hukum, masalah domisili tidak dipahami dari sisi makna secara filosofis dari bertempat tinggal atau berdomisili yang terkandung dalam ketentuan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961, yang menjadi dasar hukum kebijakan larangan pemilikan tanah absentee. Bahwa keberadaan surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh aparat desa maupun kecamatan yang digunakan sebagai bukti identitas seseorang telah bertempat tinggal atau berdomisili yang semata-mata dijadikan sebagai salah satu syarat agar dapat membeli tanah dan mengajukan permohonan peralihan hak atas tanah pertanian bagi pembeli atau orang yang sesungguhnya bukan merupakan penduduk yang tinggal di tempat letak tanah pertanian tersebut berada sehingga menyimpangi makna dan tujuan dari larangan domisili dalam ketentuan larangan pemilikan tanah absentee. Dalam tataran pelaksanaan atas ketentuan tersebut, di dalam praktek aparat terkait seperti kepala desa merasa berwenang mengeluarkan surat keterangan domisili sebagai pengganti KTP yang sesungguhnya merupakan identitas atau jati diri bahwa seseorang benar-benar berasal dan bertempat tinggal di daerah tersebut. Seyogyanya kepala desa selaku aparat terbawah dalam sistem pemerintahan di Indonesia secara materiil paling mengetahui apakah seseorang tersebut benar atau tidak benar bertempat tinggal di desanya, diharapkan menjadi
127
filter untuk meminimalisir terjadinya pemilikan tanah pertanian di desanya oleh orang luar kecamatannya yang berakibat pada kurang efektif atau optimalnya pemanfaatan tanah pertanian di desanya. Demikian juga para PPAT dalam menyelenggarakan akta jual beli atas tanah pertanian tersebut menggunakan surat keterangan domisili sebagai syarat identitas pihak kedua/pembeli di dalam aktanya yang merupakan akibat dari kebijakan kantor pertanahan, yang mensyaratkan bahwa untuk tanah-tanah pertanian agar akta jual-beli PPAT dapat dijadikan dasar permohonan peralihan hak atas tanah bagi para pembeli tanah pertanian harus bertempat tinggal atau berdomisili di letak tanah tersebut. Hal tersebut mengacu pada ketentuan pasal 37 ayat (1) : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi kantor pertanahan semestinya harus lebih tegas dalam hal penggunaan surat keterangan domisili, sebab dalam Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 dengan jelas disebutkan bahwa persyaratan yang diperlukan untuk jual-beli tanah adalah KTP, bukan surat keterangan domisili. Sehingga surat keterangan domisili tidak semata-mata sebagai syarat pelengkap permohonan belaka, namun lebih memberi manfaat ke arah cita-cita hukum (ius constituendum) sebagaimana yang di amanatkan dalam PP 224 Tahun 1961 sebagai landasan larangan pemilikan tanah absentee.
128
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto dalam kaitannya dengan penegakan hukum sebagaimana dideskripsikan di atas, penulis sependapat dengan Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa faktorfaktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Dalam kaitannya dengan ketentuan larangan pemilikan tanah absentee, efektivitas kebijakan berupa larangan pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan di dalam masyarakat tidak terlaksana dengan baik. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kalangan, terutama masyarakat di pedesaan yang tidak mengetahui ketentuan mengenai larangan terhadap pemilikan tanah absentee, terlebih lagi. banyak masyarakat yang tidak mengetahui istilah tanah absentee berikut larangan terhadap kepemilikan tanah absentee tersebut. Kenyataan seperti itu, dengan mendasarkan pada teori di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan larangan pemilikan tanah absentee sejak ketentuan tersebut diberlakukan sampai dengan saat ini masih belum berlaku efektif dalam artian masih banyak dalam praktek pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal/berdomisili di luar kecamatan letak tanah pertanian tersebut berada berdasarkan peralihan hak jual-beli. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat, baik selaku penjual maupun pembeli tanah pertanian akibat kurangnya sosialisasi tentang larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dari pemerintah, selain di akibatkan oleh perilaku penegak hukum
129
dalam hal ini adalah aparatur desa yang mengeluarkan surat keterangan domisili dengan tanpa dibarengi dengan pemahaman untuk apa surat keterangan domisili itu dibuat. Seyogyanya aparatur di tingkat desa maupun kecamatan mempunyai pengetahuan surat keterangan domisili yang akan digunakan sebagai persyaratan agar seseorang dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah pertanian di desa atau kecamatannya, sementara seseorang yang diberikan surat keterangan domisili tersebut nyata-nyata bukanlah warga masyarakat desa atau kecamatannya haruslah ditolak. Oleh karena itu perilaku aparatur pemerintahan juga menjadi salah satu faktor penghambat efektivitas larangan pemilikan tanah pertanian dalam kenyataannya.
130
BAB VII PENUTUP
7.1. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya terhadap permasalahan yang dikaji dalam tesis ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan surat keterangan domisili dalam jual-beli tanah pertanian yang pembelinya bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah yang dibeli, tidak sesuai dengan filosofi yang terkandung dalam ketentuan tentang pemilikan tanah absentee, yakni tanah pertanian adalah untuk para petani. Hal ini ditunjukkan dengan tidak produktifnya tanah pertanian yang dibeli dengan menggunakan identitas diri berupa surat keterangan domisili, karena pembeli tersebut tidak benar-benar bertempat tinggal di letak kecamatan tanah pertaniannya. 2. Kebijakan penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah pertanian oleh pejabat terkait (BPN, PPAT dan Kepala Desa) lebih dimaknai hanya sebagai persyaratan administratif dan tidak melihat makna dalam pengertian domisili yakni yang bersangkutan secara nyata tinggal di tempat domisilinya tersebut. 3. Peruntukan dari pemilikan tanah secara absentee dalam kenyataannya dijumpai sebagian besar sebagai tanah-tanah pertanian yang tidak
131
produktif dan tidak dikerjakan secara optimal oleh karena pemiliknya tidak bertempat tinggal di kecamatam letak tempat tanah pertaniannya.
7.2. Saran-Saran Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya terhadap permasalahan yang dikaji dalam tesis ini maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada Notaris/PPAT sebaiknya penggunaan surat keterangan domisili dalam transaksi jual-beli tanah tidak lagi digunakan untuk mencegah timbulnya pemilikan-pemilikan tanah absentee baru, sesuai dengan ketentuan larangan pemilikan tanah absentee sehingga filosofi yang terkandung dalam larangan pemilikan tanah absentee dapat tercapai. 2. Kebijakan terhadap penggunaan surat keterangan domisili harus dihapuskan, dalam hal ini oleh Badan Pertanahan Nasional, sehingga peruntukan dan penggunaan tanah pertanian sejalan dengan hakekat daripada ketentuan larangan pemilikan tanah absentee itu sendiri dimana tanah-tanah pertanian dapat dan mampu meningkatkan derajat hidup pemiliknya yaitu para kaum tani di pedesaan. 3. Agar pemilikan tanah, khususnya tanah pertanian dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya, maka harus terdapat ketentuan yang jelas dan tegas terhadap hal tersebut. Dalam hal ini, untuk mencegah terjadinya pemilikan tanah absentee baru, maka badan legislatif perlu membuat peraturan baru seperti undang-undang yang mengatur mengenai larangan pemilikan tanah secara absentee sehingga dapat diberikan sanksi yang tegas apabila terjadi
132
pelanggaran. Perlu dipertimbangkan kembali ketentuan mengenai jarak antara domisili pemilik tanah dengan letak tanahnya mengingat kemajuan di bidang teknologi transportasi, jarak antar kecamatan sudah tidak menjadi suatu hambatan terhadap efektivitas ataupun produktivitas dalam pengolahan tanah pertanian.