BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Peranan penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat diantaranya sebagai prasarana dalam bidang Perindustrian, Perumahan, Jalan adalah tanah. Tanah dapat dinilai sebagai benda tetap yang dapat digunakan sebagai tabungan masa depan. Tanah merupakan tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi manusia yang mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan, yang akhirnya tanah juga yang dijadikan persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia.1 Tanah juga mempunya nilai investasi bagi seorang yang mempunyai tanah. Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum akan mendapatkan ganti rugi tidak hanya berupa uang semata bisa berbentuk tanah dan yang lainnya. Pada dasarnya tanah memiliki nilai ekonomis dan sosial jadi bisa melakukan pelepasan hak untuk kepentingan umum. Jadi tidaklah benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama dikuasainya. 2 Di sisi lain tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata, juga harus dijaga kelestariannya.3
Tanah adalah sumber daya alam yang merupakan kebutuhan primer manusia. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang tidak berkaitan dengan tanah. Menjadi persoalan ketika pembagunan harus dilakukan, sementara itu ketersediaan Negara (tanah yang dikuasai langsung 1
Abdurrahman, 1983, Masalah Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 1 2 Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 82 3 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 1.
oleh Negara) sangat terbatas. Demi terlaksananya pembangunan, terpaksa tanah yang sudah dipunyai atau dikuasai oleh rakyat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembanguan fisik. Dalam perolehan tanah untuk keperluan pembangunan itulah tidak jarang terjadi “benturan”.4 Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sehubungan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan pelaksanaan langsug dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini merupakan pengejawantahan aspirasi Indonesia dalam pembaharuan hukum tanah nasional. Nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu. Mengenai tanah sebagai hak milik, bahwa :“hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh atas tanah.” Ketentuan ini tentunya memberikan kekuatan hukum bagi masyarakat yang memiliki hak milik atas tanah. Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, pemerintah perlu mengadakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah pembangunan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan raya, pemukiman rakyat, pasar tradisional, pembangunan gedung mall dan sebagainya. Pembangunan nasional untuk kepentingan umum seperti ini diperlukan lahan yang sangat luas dan pemiliknya pun sangat banyak. Untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut dilakukan 4
Suparjo Sujadi, ed., 2011, Pergulatan Pemikiran Dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional, BP FHUI, Depok, hal. 159.
pembebasan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum tanah nasional khususnya Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai Negara tersebut, memberi wewenang kepada negara, diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat (2) huruf a UndangUndang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960). Menyelenggarakan penyediaan tanah dalam berbagai keperluan masyarakat dan negara, pemerintah dapat mencabut hak-hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960), apabila upaya melalui cara musyawarah gagal membawa hasil (Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas `Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, UU No. 20 Tahun 1961). Hak menguasai negara atas tanah, juga memberikan wewenang kepada Negara untuk mengatur. Untuk melaksanakan wewenang pengaturan tersebut, hal yang sudah disadari oleh pembentuk UUPA, bahwa hukum tanah yang dibangun itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri,yaitu hukum adat, secara teoritik, hukum tanah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Freiderich Carl Von Savigny, mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk
perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa (Volkgeist),5 dan pencabutan hak atas tanah oleh negara untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan sebaiknya harus diperoleh melalui musyawarah, maka pengambilan hak atas tanah untuk kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. Menurut Habermas mengatakan bahwa validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang dibuat oleh elemen-elemen masyarakat. ia tidak melihat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi acuan validitas hukum itu sebagai nilai-nilai obyektif, karena itu, maka nilai-nilai itu harus ditemukan melalui consensus bersama,6 sehingga sengketa akan relatif jarang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, masih banyak menimbulkan sengketa antara pemerintah dengan para pemilik tanah baik sebagai perseorangan maupun badan hukum yang terkena proyek pembebasan tanah. Saat ini sangat sulit melakukan pembangunan di atas tanah negara. Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan membutuhkan tanah, tetapi di sisi lain tanah Negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin terbatas, karena tanah yang ada sebagian telah dikuasai/dimiliki oleh masyarakat dengan suatu hak. Agar momentum pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dalam memenuhi pembangunan antara lain dilakukan melalui pendekatan pembebasan hak maupun pencabutan hak.7
5
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 164. 6 Reza A.A. Wattimena, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-RousseauHabermas, Kanisius, Yogyakarta, hal. xvi-xvii. 7 Chaizi Nasucha, 1994, Politik Ekonomi Pertanahan Dan Struktur Perpajakan Atas Tanah, Kesaint Blanc, Jakarta, hal.74.
Jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak masyarakat. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memperhatikan prinsip- prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Dalam hal ini banyak permasalahan yang muncul karena kelemahan regulasi. Wujud peraturan yang ada belum bisa memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selain itu aspek material dari semua peraturan yang ada, kurang memadai sehingga menimbulkan masalah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 telah berlaku Undangundang Nomor 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 15 Tahun 1975 jo PMDN Nomor 2 Tahun 1976, kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Keputusan Presiden 55/93), sejak tanggal 17 Juni 1993, semua pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan peraturan ini yang pelaksanaannya ditunjang dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 (selanjutnya disebut PMNA/Ka.BPN 1/1994).
Pada kenyataannya dalam pelaksanaannya
tetap menimbulkan
konflik
dalam
musyawarah. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 karena sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum dan dikaitkan dengan telah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan tahun 2012 Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang Paripurna tanggal 16 Desember 2011 yang lalu. Sesuai dengan Pasal 73 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling lama 30 hari sejak RUU tersebut disahkan. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang disahkan pada tanggal 14 Januari 2012, maka Indonesia memiliki payung hukum setingkat
undang-undang guna memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. Namun bagaimana undang-undang ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang terkena dampak bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Fakta yang ada pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum menimbulkan gejolak dalam praktiknya, dimana adanya pemaksaan dari para pihak baik pemerintah yang menetapkan harga secara sepihak maupun pemilik tanah menuntut harga yang dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, akhirnya terjadi dengan cara pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebenarnya pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sudah ada acuan yang dijadikan dasar ganti rugi tanah yang digunakan untuk kepentingan umum adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang menyatakan dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan dan nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Pemerintah di sini justru dianggap sebagai upaya memaksakan kehendaknya untuk memberikan ganti rugi berdasarkan NJOP. Hal ini disebabkan NJOP ini nilainya jauh di bawah harga pasaran. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut di atas penetapan ganti rugi dilakukan secara musyawarah (negosiasi) untuk mufakat (Pasal 37 sampai Pasal 39). Namun hal ini nampaknya belum juga menyelesaikan masalah karena pemerintah menginginkan harga serendah-rendahnya. Sedangkan pemilik tanah menuntut harga yang tinggi, yang dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga sampai saat ini terjadi dengan cara pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Seiring amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pada Perpres Nomor 71 Tahun 2012 ketentuan ganti rugi berdasarkan NJOP di tiadakan, diganti dengan ketentuan Pasal 66 Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang mengatur bahwa nilai ganti rugi ditetapkan dengan musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang ditetapkan penilai yang ditunjuk sebagai dasar musyawarah. Hal ini menunjukkan adanya norma kabur dalam pengaturan nilai ganti rugi, yang berarti juga tidak memberikan perlindungan terhadap nilai ganti rugi tapi menyerahkan kepada mekanisme musyawarah yang belum bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan.
Akibat hukum bila musyawarah dan mufakat tidak mencapai kesepakatan, maka negara dalam hal ini pemerintah akan tetap melaksanakan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum dengan berdasarkan pada pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Selain itu dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini. Sebenarnya pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia menunjukkan dominasi kewenangan di tangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Pelibatan DPRD dan masyarakat setempat dalam rencana pembangunan terkesan hanya prosedural-formal, karena persetujuan para wakil rakyat dan rakyat tersebut hanya terhadap suatu kegiatan pembangunan tertentu tanpa dijelaskan konsekuensi apabila terjadi ketidaksetujuan. Penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaan maupun surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian8, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pembangunan guna kepentingan umum yaitu : 1. Tesis dari ADI AKBAR, NIM B4B 007 003, alumni Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2009dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Lingkar Utara Kota Tegal”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni: a. Bagaimana proses pengadaan tanah untuk pembangunan proyek jalan lingkar utara kota Tegal? b. Kendala atau hambatan apa dalam proses pengadaan tanah tersebut dan bagaimana upaya yang dilakukan? 2. Tesis dari WAHYU CANDRA ALAM, NIM B4B 008284 alumni Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2010 dengan judul tesis “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari Satu Hektar Dan Penetapan Ganti Kerugiannya”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni : a. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan luas kurang dari satu hektar di Kota Tangerang? 8
Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23
b. Bagaimanakah Penetapan Ganti Kerugiannya terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Luas Kurang Dari Satu Hektar di Kota Tangerang? Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Milik atas Tanah untuk Kepentingan Umum,” belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk kepentingan umum? 2. Bagaimana akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat dalam musyawarah? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah untuk kepentingan umum.
1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak atas tanah yang dipergunakan untuk kepentingan umum. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat dalam musyawarah. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu sebgai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian tesis ini yaitu, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya terhadap hukum pertanahan di bidang kenotariatan. 1.4.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang didapat dari penelitiantesis ini yaitu, bagi kalangan dibidang hukum pertanahan dapat dijadikan referensi atau pengetahuan tambahan dalam hal mengambil hak milik atas tanah yang akan diperuntukkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum, manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan ilmu hukum di bidang Hukum Pertanahan dan Kenotariatan. 1.5 Landasan Teoritis Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, adapun teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini yaitu :
1.5.1 Landasan Teoritis 1.5.1.1Teori Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 45, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka.Suatu negara hukum, seperti diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno, adalah didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum, yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang sama (3) legitimasi demokratis, dan (4) tuntutan akal budi9. Plato, adalah seorang filsuf Yunani, orang pertama kali melahirkan pemikiran tentang paham “negara hukum” yang terkenal dalam tulisannya nomoi. Kemudian berawal dari pemikiran tersebut, berkembanglah konsep continental dan rechtsstaat, konsep Anglo Saxon, dan the rule of law serta konsep-konsep lainnya.10 Diskursus tentang negara hukum kemudian mulai berkembang saat mencuatnya pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke tujuh-belas hingga abad ke delapan-belas. Secara umum, dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat,
9
Franz Magnis Suseno , 1988, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 295. 10
Mohammad Tahir Azhari, 1992, Negara Hukum Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya Dlihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 73-74.
dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. The rule of law, dikembangkan dalam negara-negara anglo saxon, para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Namun demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghirmatan atas martabat manusia the dignity of man. Perbedaan rechtstaat dengan rule of law, dapat ditelusuri sejarah perkembangan dua konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep rechtstaat berasal dari Jerman dan konsep the rule of law berasal dari Inggris. Istilah rechstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX, sedangkan istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitutions. Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner.
Paham
negara
rechtsstat
dilukiskan
dengan
”negara
penjaga
malam”
(nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan keamanan (de openbare orde en veligheid). Dalam arti formal the rule of law berarti organized public power, atau kekuasaan umum yang terorgainsasi. Dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law, artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang sifatnya lebih substantive dan esensial, tidak sekadar memfungsikan bunyi dari undang-undang tertulis. Tentang persamaan di depan hukum, A.V Dicey menerangkan semua kelompok masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum Negara, yang di jalankan oleh peradilan umum. The Rule of Law tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat
pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara secara keseluruhan, seperti halnya ada pengadilan administrative..11 Berdasarkan uraian tentang rechtsstaat dan rule of law maka dapat disimpulkan bahwa rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuanya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before The law. Akibat adanya perbedaan titik berat dan pengoperasian tersebut, munculah unsur-unsur yang berada antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law. Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa Kontinental (rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep negara hukum tersebut dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut : ”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtsstaat, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.”12
Teori negara hukum ini dapat digunakan karena dalam suatu negara hukum, hukum yang merupakan kekuasaan tertinggi dipakai untuk mengatur masyarakat. Dimana hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif, hukum juga mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
1.5.1.2Teori Perundang-Undangan 11
A.V Dicey, 2008, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj), Nusamedia, Bandung, hal. 262. 12 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2, Ghalai Indonesia, Jakarta, hal. 151
Untuk mengatur suatu Negara di perlukan undang-undang. Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan umum. Untuk menerangkan hal ini diperlukan Teori Perundang-undangan. Dapat kita lihat dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang perlu dipahami untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.13 Adapun asas-asas tersebut adalah: 1. asas undang-undang tidak berlaku surut; 2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.14 Asas ini menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama). 4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama). Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegang 13
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-15 14 Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.
pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),15 contoh norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila. Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:16 1. Norma fundamental negara 2. Aturan dasar negara 3. Undang-undang formal. dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom. Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Penerapan teori pada struktur tata hukum di Indonesia, struktur hierarki tata hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah;
15
Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 124-126. 16 Ibid.
5. Peraturan Presiden; dan 6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila. Dapat di simpulkan bahwa keberadaan suatu norma hukum harus lah berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah semestinya antar tingkatan norma hukum yang satu dan yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila sebagai cita hukum bangsa. Menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya. Pemahaman yang ada tentang segala peraturan di bidang yang sama/ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru, serta banyaknya peraturan yang telah diganti (dan diperbarui), akan menjadi persoalan manakala masih terkandung makna bahwa sepanjang dalam peratutan pengganti, pembaharu tersebut tidak secara tegas mengganti, berarti norma yang di peraturan lama masih hidup dan berlaku. Dengan demikian, pengaturan yang tegas tentang mana ketentuan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku merupakan suatu kedaan yang tidak boleh tidak harus terpenuhi dalam setiap penerbitan peratran perundangundangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-undang) harus memiliki : 1. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari bangsa tersebut, 17 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).18. 2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur. 3. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau suatu peraturan perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal), mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis material) Dalam suatu Negara penggunaan Teori Perundang-undangan sangat penting, dimana untuk mengatur masyarakat perlu undang-undang. Dalam pengadaan tanah, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan umum. 1.5.1.3Teori Kewenangan
17
Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18. 18 Friedman, W., 1960, Legal Theory 4th Edition, Steven & Sons Limited, London, hal. 229.
Teori kewenangan dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah termasuk untuk kepentingan umum. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).19 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : “Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orangorang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.20 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Dalam wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN 19
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal.
20
Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
35-36 hal. 29
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.21 Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:
1. hukum; 2. kewenangan (wewenang); 3. keadilan; 4. kejujuran; 5. kebijakbestarian; dan 6. kebajikan.22 Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah
21
Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90 22 Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogjakarta, hal. 37-38
hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum di negara Indonesia istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.23Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibatakibat hukum.24 Dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan, “first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called”25 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain. Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari 23
Philipus M. Hadjon, 1998, Penataan Hukum Administrasi, FH UNAIR, Surabaya,
hal. 20 24
Paulus Efendie Lotulung, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65 25 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, London, pp.1.
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.26 Kaitan teori kewenangan dengan penelitian ini yaitu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah secara atribusi yaitu kewenangan untuk mengadakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanah hak milik masyarakat untuk pembangunan kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak bagi hak atas tanah yang diambil oleh pemerintah tersebut. 1.5.1.4 Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.27 Bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum,
26
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Liberty, Yogjakarta, hal. 154 27 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118.
kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan . Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.28
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada
28
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.
korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyeksubyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29 1. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat.
1.5.1.5 Konsep Pengadaan Tanah
29
Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut (Pasal 1 angka 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagai penganti Keppres di atas, disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 Perpres No. 36 Tahun 2005). Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah. Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan dan tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Pengertian Pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pengadaan tanah adalah kegiatan pelepasan hak atas tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk kepentingan umum. Adapun asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasaarkan asas : kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan”. 1. Kemanusiaan Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 2. Keadilan Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang baik. 3. Kemanfaatan Hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
4. Kepastian
Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak. 5. Keterbukaan Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah. 6. Kesepakatan Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. 7. Keikutsertaan Dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan. 8. Kesejahteraan Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas. 9. Keberlanjutan Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
10. Keselarasan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.
1.5.1.6Konsep Kepentingan Umum Pengertian dari istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang sifatnya begitu umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk operasionalnya sesuai dengan makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Secara sederhana kepentingan umum dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas, namun pengertian ini mempunyai batasan. Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.30 Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 18, menyatakan bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hakhak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”.
Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Kepentingan umum ini sama dengan dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria hanya ditambah satu kriteria baru yakni untuk kepentingan pembangunan.
30
John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 40.
Kepentingan umum dalam pelaksanaan pembebasan tanah yang diatur dalam Bijblad Nomor 11372 juncto Bijblad Nomor 12476 yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang Ketentuan ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dalam menimbang dinyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha pembangunan, baik yang dilakukan oleh instansi maupun untuk kepentingan swasta, khususnya untuk keperluan Pemerintah dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan tanah dan sekaligus mentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib dan seragam. Berdasarkan peraturan tersebut maka pembebasan tanah dapat dijalankan untuk
kepentingan swasta dan keperluan Pemerintah, asalkan untuk usaha pembangunan untuk keperluan Pemerintah. Dari segi yuridis pengertian kepentingan umum menurut pandangan Benhard Limbong bahwa kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat yang penerapannya bersifat kasuistis. Ditinjau dari segi sosiologis, kepentingan umum adalah adanya keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, dan negara yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan di masyarakat yang luas dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan dan kesehatan.31
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian
31
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, (selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I ) hal.147.
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam metodologi penelitian yang sangat penting untuk mengetahui karakter penelitian yang akan diangkat. Beranjak dari adanya kekaburan norma dalam Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa “ nilai ganti rugi di tetapkan dengan musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang di tetapkan penilai yang di tunjuk sebagai dasar musyawarah”, menimbulkan berbagai macam penafsiran karena tidak adanya acuan yang di jadikan dasar ganti rugi tanah yang di gunakan untuk kepentingan umum. Berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya Pasal 15 Peraturan President Nomor 65 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “ dasar perhitungan ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan musyawarah. Oleh karena itu, berdasarkan pada kekaburan norma dalam ketentuan Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012, maka jenis penelitian yang di gunakan adalah jenis penelitian normatif. 1.6.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga jenis pendekatan untuk membahas permasalahan yang ada, yaitu : 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan penelitian yang mensinkronkan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.32 Peneliti menggunakan pendekaatan ini untuk menelaah perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam peneltiain ini. 2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Conseptual Approach) Konsep hukum di gunakan untuk menganalisa konsep-konsep yang relevan dalam penelitian ini sehingga memperoleh hasil yang diinginkan. Dengan kata lain dalam 32
Rony Hanitijo Sumitro, 1990, Metode Peneltian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 27.
pendekatan konsep peneliti merujuk pada konsep-konsep hukum yang dapat di temukan dalam pendangan-pandangan para sarjana atau doktrin-doktrin hukum. 3. Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk memahami kasus hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Untuk mengkaji dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum yang berupa bahan-bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. f. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. g. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah h. Peraturan President Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan President Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 2. Bahan hukum sekunder yang di gunakan adalah : a. Buku-buku hukum mengenai Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah dan Kepentingan umum. b. Jurnal-jurnal Ilmiah c. Internet dan situs resmi. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen atau studi kepustakaan. Teknik studi dokumen ini dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan-bahan hukum yaitu, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan bacaan yang relevan untuk memperoleh data yang objektif dan akurat yang terkait dengan masalah Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang di pergunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis, yang tidak dapat di hindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran, gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. 3. Teknik Kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi. 4. Teknik Evaluasi adalah penilai berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 5. Teknik Argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukan kedalam penalran hukum. 6. Teknik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.33
33
Buku Pedoman, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Hukum Universitas, hal. 55