1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian besar bermata pencaharian dibidang pertanian (agraris) baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan orang yang tidak membutuhkan tanah1. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1945 Indonesia menghadapi masalah mendasar dibidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah yang tidak proporsional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus serta didorong oleh jumlah pertambahan penduduk. Dalam mengatasi masalah
1
Tampil Anshari Siregar, 2005 Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik, Medan, hlm. 2
2
tersebut sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur kehidupan bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional. Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan dibidang keagrarian pada periode tahun 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia. Program dari landreform tersebut adalah2 : a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; b. Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai); c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanahtanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara; d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
2
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 203.
3
Sejak
itu
rakyat
petani
mempunyai
kekuatan
hukum
untuk
memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, dimana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui batas dan di lain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari prinsip keadilan sosial. Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur pemilikan dan penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh M. Yamin3: “Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah.”
Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program landreform diatur dalam Pasal 7, Pasal 10, Pasal 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
3
Muhammad Yamin, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 94.
4
Dalam pasal ini melarang apa yang dinamakan dengan groot grondbesit4 yaitu larangan pemilikan tanah yang melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus berkurang. Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi5. Hal ini akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tidak bertanah6. Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian lainnya adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam perjanjian bagi hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan semakin bertambah. Ini berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan akan semakin berat disebabkan bertambahnya petani yang memerlukan tanah garapan. Dan biasanya orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama 4
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, hlm. 354 5 A.P. Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, hlm. 23-24. 6 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 355
5
tanahnya akan semakin bertambah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil pertanian menjadi tidak merata. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang luas dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik, padahal hal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah pertanian7. Seperti juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria bahwa8: “Jika ditelusuri dari berbagai kebijakan pemerintah, penguasaan lahan dalam jumlah besar agaknya bermula pada tahun 1980-an. Sebagian besar penguasaan tanah tidak hanya berada di tangan perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan), tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi pertambangan atau kontrak kerja pertambangan. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar yang berbisnis dibidang perkebunan atau agrobisnis juga menguasai lahan yang tidak sedikit”. Selain para perusahaan pertambangan yang mendapat konsesi dari pemerintah pusat berdasarkan kontrak kerja tersebut, banyak juga perusahaan-perusahaan lain yang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan atas tanah tersebut. Banyak diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para pengusaha papan atas. Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum oleh segelintir orang pun terjadi di kota-kota besar. Seperti adanya pembangunan 7
M. Yamin, 2003, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 10. 8 “Majalah Forum Keadilan” Nomor 27 tanggal 20 Oktober 2002, seperti yang dikutip dalam buku Supriadi, Op. Cit, hlm 204
6
perumahan mewah yang ekslusif di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi), pemberian pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan, pertambangan, lapangan golf dan lain-lain9. Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas. Untuk itu perlu adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi penumpukan pada segelintir orang, maka akan merugikan para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sumber mata pencaharian. Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan hak milik atau dengan hak yang lain. Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan: “Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi pemiliknya”10. Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan undang-undang ini merupakan
9
Ibid, hlm. 204 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.
10
7
induk pelaksanaan landreform di Indonesia11. Undang-undang ini mengatur 3 masalah yang pokok, yaitu mengenai: 1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
mengakibatkan
pemecahan
pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; 3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan12.
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undangundang ini luas tanah maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur secara rinci dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas yang berbeda-beda keadaannya diberbagai daerah di Negara kita ini, maka diadakanlah perbedaan 11
UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang disebut “Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. 12 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm.356
8
antara daerah-daerah yang padat dan tidak padat. Daerah-daerah yang padat dibagi lagi dalam daerah yang sangat padat, cukup padat dan kurang padat. Pula diadakan perbedaan antara batas untuk sawah dan tanah kering. Untuk tanah kering batasnya adalah sama dengan batas untuk sawah ditambah dengan 20% didaerah-daerah yang padat dan dengan 30% didaerah-daerah yang tidak padat. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 pasal 1 ayat (2) maka penetapan maksimum itu ialah paling banyak (yaitu untuk daerah-daerah yang tidak padat) 15 hektar sawah atau 20 hektar tanah kering. Untuk daerah-daerah yang sangat padat maka angka-angka itu adalah masingmasing 5 hektar dan 6 hektar. Jika sawah dipunyai bersama-sama dengan tanah kering maka batasnya adalah paling banyak 20 hektar, baik didaerah yang padat maupun tidak padat. Yang menentukan luas maksimum itu bukan saja tanahtanah miliknya sendiri, tetapi juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain sebagainya seperti yang dimaksudkan diatas. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna-usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas (misalnya hak pakai) yang didapat dari Pemerintah tidak terkena ketentuan maksimum tersebut. Letak tanah-tanah itu tidak perlu mesti disatu tempat yang sama, tetapi dapat pula dibeberapa daerah, misalnya didua atau tiga Daerah tingkat II yang berlainan (sekarang daerah Kabupaten/Kota). Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin orang-seorang. Berapa jumlah luas tanah yang dikuasai oleh anggota-anggota dari suatu keluarga, itulah yang menentukan maksimum
9
luas tanah keluarga itu. Jumlah anggota keluarga ditetapkan paling banyak 7 orang. Jika jumlahnya melebihi 7 orang maka bagi keluarga itu luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang selebihnya ditambah 10%, tetapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%, sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah. Misalnya untuk keluarga didaerah tidak padat (dengan batas maksimum 15 hektar) yang terdiri dari 15 anggota, maka batas maksimumnya dihitung sebagai berikut. Jumlah tambahannya 8 X 10% X 15 hektar sawah, tetapi tidak boleh lebih dari 7,5 hektar - 22,5 hektar. Tetapi oleh karena tanah yang dikuasai seluruhnya tidak boleh dari 20 hektar, maka luas maksimum untuk keluarga itu ialah 20 hektar. Kalau yang dikuasai itu tanah kering maka keluarga tersebut tidak mendapat tambahan lagi, karena batas buat tanah kering untuk daerah yang tidak padat sudah ditetapkan 20 hektar. Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang Landreform ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota13. Setiap orang yang mempunyai tanah lebih tidak boleh mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau
13
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960
10
tidak melaporkan kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda Rp.10.00014. Kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara dengan memberikan ganti rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah dengan menetapkan skala prioritas penerima15. Pada umumnya timbulnya kepemilikan tanah secara maksimum banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu karena ketidaktahuan masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya ketidakpatuhan tiaptiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya. Kantor pertanahan pun belum menjangkau semua desa-desa yang berada di pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang tanah biasanya hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas tanah tersebut hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas maksimal. Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui 14
Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Pertanian. 15 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian
11
dua cara, yaitu cara pertama dengan memiliki KTP ganda (sebelum berlakunya ektp) yang memungkinkan orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan cara kedua yaitu melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak16. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja. Fenomena yang terjadi sekarang ini, walaupun program landreform telah dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan pemiliknya wajib mengusahakan sendiri tanah pertaniannya belum dapat di kerjakan dengan baik. Tanah pertanian masih dijadikan sebagai objek spekulasi yang mengakibatkan luas tanah pertanian semakin berkurang karena dialih fungsikan. Selain itu untuk larangan kepemilikan tanah secara absentee tidak diatur dalam peraturan tersendiri. Hanya dijadikan salah satu materi muatan dari peraturan redistribusi tanah. Dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas disebut larangan tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau 16
Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hlm. 21.
12
kewajiban untuk pindah lokasi tanah. Untuk itu, aspirasi dalam menegakkan supremasi hukum sudah dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam hal inilah program landreform terhadap larangan kepemilikan dan pengasaaan tanah pertanian yang melampaui batas perlu direvitalisasi kembali dan dikaji ulang. Bagi negara-negara yang sedang berkembang terdapat keganjilankeganjilan dalam bidang pertanian. Sebagian besar petani memiliki atau mengerjakan kesatuan tanah yang sempit, di pihak lain ada segelintir orang yang memiliki tanah yang sangat luas. Adanya pemilikan tanah yang sangat kecil dan biasanya terpencar-pencar membawa masalah, yaitu sukarnya mengadakan efisiensi dan produksi. Akibat tanah yang sempit dan tepencar-pencar, ditambah lagi persewaan tanah yang sangat tidak terjangkau, mengakibatkan kedudukan dan kehidupan petani semakin lemah. Mengatasi persoalan ini perlu diadakan perombakan hak milik atas tanah, serta konsolidasi luas tanah atau lebih populer dengan landreform17. Perkembangan kapitalisme juga mendorong perubahan fungsi tanah, yaitu fungsi sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi sarana investasi. Bagi banyak investor, pemilikan atau penguasaan tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan. Dalam jangka panjang, investasi seperti itu menjanjikan keamanan, kepastian pendapatan, nilai tinggi dan umumnya terhindar dari inflasi. Akibatnya, banyak tanah dibeli tidak untuk digarap atau dikembangkan18.
17
Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah, Dan Pendaftarannnya, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12 18 Ibid, hlm. 13
13
Sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Zimmerman, tanah yang dimonopoli
oleh
sejumlah
pemilik
tanah,
secara
sosial
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan, karena pemilik tanah hanya mengambil keuntungan dari kenaikan harga tanah yang berjalan terus sebagai akibat pertambahan penduduk. Kekuasaan ekonomi yang timbul dari monopoli milik tanah bertentangan dengan hukum19. Masalah pertanahan merupakan salah satu sektor pembangunan yang memerlukan penanganan yang amat serius dan ekstra hati-hati dari pemerintah. Diperlukannya ekstra kehati-hatian ini karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang menggantungkan hidup pada tanah. Sebab posisi pemerintah dalam menangani permasalahan pertanahan dihadapkan pada masalah yang serba sulit. Pada sisi sebagai pemerintah, mempunyai kewajiban untuk melindungi, mengatur ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, dan pada sisi lain, tuntutan akselarasi pembangunan ekonomi yang harus dipacu yang pada akhirnya membutuhkan tanah sebagai tempat pijakan segala aktivitas ekonomi tersebut20. Memperhatikan beberapa ketentuan mengenai pemilikan dan penguasaan hak atas tanah, terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar betul-betul terjadi pemerataan atas status hak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi jurang pemisah antara 19 20
Ibid Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, , Jakarta, hlm. 84
14
pemilik tanah yang luas dengan orang yang memiliki tanah yang sempit. Sebab hal ini berkaitan dengan eksistensi seseorang untuk mendapatkan status sebagai orang miskin dan tidak miskin. Konteks miskin dalam konteks hukum agraria, Konsep miskin lazim ditujukan bagi orang yang tidak mempunyai tanah atau orang yang mengerjakan tanah orang lain, atau yang paling populer disebut sebagai “petani gurem”21. Suka atau tidak harus diakui bahwa beberapa pasal dalam UUPA telah mengalami kerentahan dan stagnasi dalam implementasinya sehingga guna memenuhi kebutuhannya, masyarakat sebagai user UUPA seringkali menyiasati UUPA dengan melakukan penyelundupan-penyelundupan hukum, bahkan Pemerintah pun turut mengkebiri UUPA dengan aturan-aturan yang kadang overlapping dengan UUPA seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan dan UU Hak Tanggungan22. Adapun di kabupaten Dharmasraya yang masih berusia muda
adalah
daerah pemekaran dari Kabupaten Induk sebelumnya yaitu Kabupaten Muaro/Sijunjung (sekarang Kabupaten Sijunjung), merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan terletak pada posisi yang sangat strategis. Hal ini menjadikan Kabupaten Dharmasraya sebagai tujuan para investor baik domestik maupun mancanegara menanamkan modalnya diberbagai sektor antara lain perkebunan, pertanian dan pertambangan. Oleh karena itu dimungkinkan terjadinya pemilikaan dan penguasaan lahan (dalam hal ini tanah dan segala
21
Ibid, hlm. 66-67 Erwin Kallo, 2008, Perspektif Hukum Dalam Dunia Properti, Minerva Athena Pressindo, Jakarta, hlm. 26 22
15
sesuatu yang berada diatasnya) pada pihak yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi, dimana UUPA membatasi penguasaan tanah secara maksimal tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah yang tertuang ke dalam tesis dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Pembatasan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian Di Kabupaten Dharmasraya”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana proses terjadinya pemilikan dan penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum di Kabupaten Dharmasraya? 2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum di Kabupaten Dharmasraya ? 3. Bagaimana peran BPN dan peran PPAT dalam penegakan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum di Kabupaten Dharmasraya ?
C. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Gajah Mada, tesis dengan judul PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBATASAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI KABUPATEN DHARMASRAYA, sepanjang pengetahuan penulis belum
16
pernah ditulis. Namun demikian apabila ternyata ada tesis dengan topik yang sama dengan judul tesis ini, maka tesis ini diharapkan dapat melengkapinya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang diuraikan pada dimensi kemanfaatan teoritis dan pemanfaatan praktis 1. Teori Dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang Penegakan Hukum Terhadap Pembatasan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian Di Kabupaten Dharmasraya. 2. Praktis Memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Pembatasan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian Di Kabupaten Dharmasraya.
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk perkembangan keilmuan khususnya ilmu kenotariatan dan untuk kemanfaatan bagi diri penulis sendiri dan bagi orang lain, selain itu tujuan penelitian untuk menjawab perumusan masalah pada penulisan tesis, yaitu: 1. Untuk mengetahui proses terjadinya pemilikan dan penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum di Kabupaten Dharmasraya.
17
2. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah
pertanian
yang
melebihi
batas
maksimum
di
Kabupaten
Dharmasraya. 3. Untuk mengetahui peran BPN dan peran PPAT dalam penegakan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksimum di Kabupaten Dharmasraya.