KEPASTIAN HUKUM PENGUASAAN HAK ATAS TANAH UNTUK INVESTASI1 OLEH DR. I MADE SUWITRA, SH.,MH2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858 (hunting), Fax (0361) 23505073 E-mail:
[email protected] Kontak: 081805597794 Abstrak Kepastian hukum mengandung makna disatu sisi adanya jaminan terhadap pelaksanaan hak dan disi lain adanya jaminan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran. Untuk adanya kepastian hukum terhadap penguasaan dan pemilikan hak atas tanah dapat dilakukan secara ipso facto dan ipso jure yang berimplikasi pada perlindungan hukum. Resiko hukum sering dinafikan banyak pihak ketika berinvestasi yang mencoba menguasai hak atas tanah dengan cara yang tidak patut, sehingga secara pasti dapat menimbulkan sengketa dikemudian hari. Kemajuan Bali dalam konteks perkembangan pariwisata mempunyai berbagai implikasi terutama terhadap kerakusan penguasaan tanah dalam berinvestasi yang menyebabkan berbagai pelanggaran dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Selain itu penguasaan dan pemanfaatan tanah sering dilakukan dengan cara menyimpangi peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan. Kondisi ini disinyalir antara lain oleh adanya pembiaran terhadap adanya pelanggaran lingkungan, proses pemberian izin yang digampangkan yang hanya berorientasi pada hasil bukan pada proses. Oleh karena itu “Justice as fairness” dari John Rawls perlu dijadikan rujukan. Keyword: penguasaan tanah, investasi 1. Pendahuluan Pembangunan akamodasi pariwisata di Bali secara pasti memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah menjadi salah satu aset dalam berinvestasi bagi investor, yakni berupa komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang. Jadi tanah dan investasi dalam bidang akomodasi pariwisata merupakan dua variabel yang saling berhubungan dan sulit untuk dipisahkan. 1
Makalah disampaikan dalam seminar Refleksi Akhir tahun 2013 Penegakan Hukum kerja sama Prodi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Unwar dengan Nusadua Post 11 Desember 2013. 2
Tenaga pengajar pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa.
1
Investasi
berasal
dari
kata
investment
(Inggris)
yang
berarti
"penggunaan modal" untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal.
3
Sedangkan foreign
investmen berarti penanaman modal asing" , namun kemudian dalam pemilihan kata serta pemaknaan keseharian, kata investasi diartikan sebagai penanaman modal asing. Untuk penanaman modal Dalam Negeri sering diistilahkan sebagai "penananaman modal " saja.4 Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dirumuskan: Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Investasi atau penanaman modal secara umum dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun keahlian.5 Seiring dengan perkembangan pariwisata di Bali, pembangunan akomodasi pariwisata juga terus berkembang, yang berdampak pula pada meluasnya pemanfaatan dan penggunaan lahan (tanah) baik yang produktif maupun yang tidak produktif. Kondisi ini jika tidak segera dilakukan pengendalian melalui regulasi dikhawatirkan pembangunan akomodasi
3
Hendrik Budi Untung, 2013, Hukum Investasi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2.
4
I.A . Budhivaya, tanpa tahun, “Ppokok-pokok pemahaman penanaman modal langsung serta lingkup hukum investasi di Indonesia”, Universitas Narotama, Surabaya, hal. 4. 5
Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, 2011, Hukum Investasi & Pasal Modal, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3.
2
pariwisata yang dibiarkan liar akan dapat berdampak terhadap keseimbangan lingkungan bahkan kerusakan lingkungan. Akhirnya suatu saat kegiatan pariwisata akan dapat mengalami “kejenuhan”, seperti kondisi di Candidasa Karangasem yang sudah ditinggalkan oleh para pelancong. Pembangunan
akomodasi
menggunakan tanah tidak
pariwisata
yang
awalnya
hanya
produktif, dalam perkembangannya sudah
menggunakan tanah produktif yang ada di kawasan tanah basah seperti Condotel, Vilatel di Pesisir Pantai Lepang Klungkung. Menurut catatan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng tahun 2012 disebutkan, bahwa di 4 (empat) Kecamatan seperti Kecamtan Sukasada, Seririt, Buleleng dan Gerokgak telah terjadi alih fungsi lahan sawah mencapai 107 hektar dari luas 11.039 hektar tahun 2012 (Bali Post, 15 Juli 2013). Sementara lahan sawah di Karangasem tinggal 8% (7000 hektar) dari luas wilayah seperti diungkapkan anggota Komisi B DPRD Karangasem (Bali Post, 25 Juni 2012). Pengamat Tata Ruang Bali (I Wayan Parwata) menyebutkan, bahwa Alih fungsi lahan menjadi perumahan dan publik di Bali tercatat berada di peringkat atas (69,7%), untuk industri 9.8% dan untuk ekonomi 17,3%, sisanya lain-lain. Dengan demikian ada indikasi makin cepatnya alih fungsi lahan dari pertanian ke fungsi lainnya. Berdasarkan persentase kuantitas, tercatat 3.860 hektar pertahun lahan di kabupaten Badung beralih fungsi (setara 9%) lahan badung seluas 41.852 hektar yang mengalami alih fungsi. Untuk Denpasar mencapai 1082 hektar (setara 8%) dari lahan 12.778 hektar luas Kot Denpasar. Kabupaten Gianyar diperingkat 3. Sedangkan di Buleleng mencapai 1.242 hektar per tahun dari 136.588 hektar luas daratannya, yakni setara 1% (Tokoh Juni 18-24 Juni 2012).
3
Persoalan lain yang juga tidak kalah pentingnya, yakni penguasaan tanah untuk keperluan investasi dalam pembangunan akomodasi pariwisata. Penguasaan hak-hak atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah negara yang bersangkutan.6 Hak-hak atas tanah dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraia (yang selanjutnya disebut UUPA) diatur dalam PAsal 4 (1), yaitu: Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badanbadan hukum. Ketentuan di atas mengandung makna, bahwa hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Sudikno Mertokusumo menyatakan, bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu: wewenang umum dan wewenang khusus.7
6
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya , Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 265. 7 Urip Santoso,2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Prenada Media, Jakarta, hal. 87.
4
1. Wewenang umum maksudnya pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batasbatas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA); 2. Wewenang khusus maksudnya pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macan hak atas tanahnya, seperti hak milik dapat dipergunakan untuk kepentingan pertanian atau untuk mendirikan bangunan, Hak Guna Bangunan (HGB) yang memberikan wewenang bagi pemilik hak untuk menggunakan tanah yang bukan miliknya hanya untuk mendirikan bangunan. Hak Guna Usaha (HGU)
yang
memberikan
wewenang
kepada
pemilik
haknya
menggunakan tanahnya hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan. Sesuai dengan asas kebangsaan seperti disebutkan dalam Pasal 1 UUPA, maka menurut Pasal 9 jo Pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik tidak dapat dipunyai orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat (2) UUPA). 2. Kepastian Hukum dalam Penguasaan hak Atas Tanah Tugas hukum itu menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan yang kedapatan dalam pergaulan masyarakat. Kepastian ini kepastian yang dicapai oleh kerena hukum. Dalam tugas ini tersimpul dua tugas lain: hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya
5
yang adil kadang-kadang dikorbankan untuk yang berguna.8 kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. 9 Radbruch lebih lanjut menyatakan ada 2 (dua) makna “kepastian hukum”, yakni Kepastian oleh karena hukum, artinya Hukum menjamin kepastian pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Artinya adanya konsistensi penerapan hukum untuk semua orang tanpa pandang bulu. Kepastian dalam atau diri hukum, yakni Kepastian dalam hukum tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang- undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup). Kepastian hukum ini berimpliksi pada adanya perlindungan, yaitu adanya jaminan terhadap pelaksanaan hak, dan ada jaminan adanya penegakan hukum ketika haknya dilanggar. Demikian pula terhadap hak penguasaan atas tanah. Tanah dalam hubungannya dengan penggunaannya, mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena tanah dapat dimanfaatkan secara horizontal mau pun vertikal, yang dapat diamati dari fungsinya, yaitu: 1. Hasil, kalau dilihat sebagai barang tambang maka tanah sebagai hasil penambangan dibutuhkan secara luas; 2. Penghasil, kalau dilihat dari sudut tempat tumbuhnya tanaman, maka tanahlah yang menghasilkan sumber daya hutan, tanaman pangan dan berbagai jenis tanaman lainnya;
8
E. Utrecht, 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke-enam, PT. Penerbitan dan Balai Buku “Ichtiar”, Jakarta, hal. 26. 9 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 92.
6
3. Tempat, di atas mana makhluk hidup melaksanakan kegiatan kehidupannya, di samping juga merupakan tempat tersimpannya sumber daya tambang dan sumber daya air.10 Kedudukan tanah seperti ini, mengindikasikan bahwa tanah sebagai sumber daya utama yang merupakan titik temu kepentingan semua pihak, sehingga dapat terjadi berbagai konflik di atas mau pun di bawahnya, lebihlebih sampai saat ini belum ditetapkan kepastian hukum pemilikannya. Sengketa tanah merupakan problem klasik yang selalu aktual. Eskalasinya terus meningkat dari waktu ke waktu meski rezim pemerintah telah berganti, ordenya berubah dan perangkat hukumnya lebih baik. Nuansa kekerasan begitu kentara setiap kali sengketa tanah terjadi. Tidak hanya disimbolkan dengan kehadiran alat berat atau aparat tapi juga benturan fisik pihak yang diusir versus kekuatan negara. Boleh dinyatakan bahwa konflik tanah merupakan kasus berat yang tidak boleh dianggap remeh oleh siapa pun, meski yang diperebutkan hanya sejengkal tanah. Kesediaan untuk habishabisan dalam mempertahankan hak mengisyaratkan betapa tanah memiliki nilai strategis yang wajib diperjuangkan.11 Tanah dalam hukum adat juga memiliki kedudukan yang sangat penting, yaitu karena sifat dan faktanya. 12 Karena sifatnya, karena tanah merupakan
satu-satunyabenda
kekayaan
yang
meskipun
memgalami
keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena 10
Muchtar. Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu analisis dengan pendekatan terpadu secara normatif dan sosiologis. Cetakan Pertama. Republika, Jakarta, hal. 3. 11
Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Cetakan Pertama. Walisongo Press. Semarang., hal. Ix. 12
Surojo Wignjodipuro, 1979, Pengantar dan Azas-azas hukum Adat, Alumni, Bandung, hal.
247.
7
faktanya, karena secara riil tanah sebagai tempat tinggal persekutuan, tanah memberikan penghidupan kepada persekutuan, tanah sebagai tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikuburkan, dan tanah sebagai tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para roh leluhur persekutuan. Kedudukan tanah secara faktual yang demikian penting dalam hukum adat, menyebabkan adanya hubungan yang sangat erat antara tanah dengan persekutuannya, sehingga menimbulkan hubungan yang bersifat religio magis dan menimbulkan hak bagi persekutuan untuk menguasai, memanfaatkan, memungut hasil dari tumbuhan yang ada di atas tanah tersebut, dan berburu binatang yang hidup disitu. Hak ini kemudian dikenal dengan hak ulayat. Saat ini tanah-tanah yang ada di Bali, khususnya yang ada di Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Gianyar menjadi incaran para investor, sehingga tidak jarang sampai ada sertipikat ganda terhadap objek tanah yang sama. Kondisi ini mengindikasikan tidak adanya kepastian hukum dan tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi pemilik sertipikat hak milik atas tanahnya. Pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata telah berjalan sedemikian rupa sehingga mambawa sejumlah dampak dalam bidang pertanahan. pengembangan industri pariwisata, industri penunjang pariwisata dinyatakan secara pasti memerlukan tanah sebagai lahan kerjanya. Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kawasan industri pariwisata sering berbenturan, yaitu antara tradisi dan pembangunan. 13 Tanah bagi masyarakat
13
M. Soni Qodri, “Bali dan Sengketa Agraria”, 1997, dalam Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan ( Eds), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 275.
8
Bali dinyatakan memiliki nilai dan makna di samping ekonomis, juga sosial, kultural bahkan religious. Merebaknya perkembangan pariwisata membawa dampak pada berkurangnya lahan pertanian yang beririgasi teknis rata-rata 1000 hektar pertahun. Perkembangan kepariwisataan Bali telah mengundang masuknya jutaan manusia. Salah satu dampaknya, yakni meningkatnya kebutuhan akan tanah yang dibuktikan melambungnya harga tanah dan tingginya sewa rumah. Implikasi lebih lanjut, tanah bukan saja merupakan tanah kultural dan religious, tetapi berubah menjadi komoditas yang sangat menggairahkan. Akibatnya ada 2 (dua) hubungan saling mendukung, yakni disatu sisi minat pembeli akan kebutuhan real terus meningkat, dan disisi lain diikuti meningkatnya minat masyarakat Bali menjual tanahnya.14 Ada beberapa konflik pertanahan yang berhasil diinventariasi oleh M. Soni Qodri, seperti pengembangan pelestarian hutan/Taman Nasional Bali Barat tahun 1990 melalui transmigarasi “Bedol Desa” bagi warga Sumber Klampok, pengembangan kepariwisataan dan lapangan golf Pulau Serangan seluas 112 hektar yang memaksa warga untuk menjual tanahnya, permohonan tanah negara yang dibebani HGU oleh warga Sendang Pasir tahun 1993, proyek Bakrie Nirwana Resort (BNR) seluas 620 hektar dengan memanfaatkan lahan sawah beririgasi teknis dan sangat pruduktif sebagai pembangunan dan pengembangan industri pariwisata di kawasan Tanah Lot yang menimbulkan keprihatinan dan keresahan masyarakat Bali yang mengandung dimensi soail budaya berupa gangguan terhadap sistem tradisional (Adat/subak) dan ritual masyarakat tahun 1991, Proyek Taman
14
Ibid, hal. 276.
9
Safari seluas 100 hektar yang melibatkan 58 Kepala Keluarga untuk tetap bertahan untuk tidak ingin melepaskan tanah warisannya, Tanah Redis di Jimbaran tahun 1962, dimana seseorang telah menguasai tanah darat seluas 126, 310 hektar yang setelah dibagi dengan keluarganya, sisa yang ada seluas 81, 570 hektar didistribusikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah dan untuk laba pura. Tahun 1995 salah satu ahli warisnya melakukan gugatan dalam pembatalan putusan Panitia Land Reformi dan dikabulkan. Selain itu dalam perkembangannya juga dapat dijumpai konflik pertanahan sebagai akibat perkembangan pembangunan kepariwisataan, seperti konflik penguasaan tanah adat yang kemudian sebagai “tanah laba pura” di Pemingge Benoa Kabupaten Badung antara kelompok nelayan dengan desa adat tahun 2006, konflik Loloan Yeh Poh Desa Canggu Kabupaten Badung tahun 1991 antara investor dengan warga desa adat Canggu.15 Mencermati berbagai konflik pertanahan yang terjadi, dapat dianalisis bahwa telah terjadi duplikasi dalam penguasaan hak atas tanah sehingga memunculkan konflik sebagai akibat adanya pelanggaran hak atas klaim dari pihak lainnya yang juga merasa berhak atas penguasaan tanah yang disengketakan. Kondisi ini membuktikan, bahwa belum adanya jaminan kepastian hukum atas bukti penguasaan tanah dan bukti pemilikan hak atas yang berimplikasi pada tidak ada jamiman perlindungan hukum bagi pihak yang “betul-betul” berhak atas penguasaan tanah dan pemilikan hak atas
15
I Made Suwitra, 2011, Eksistensi hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Cetakan kedua, LoGoz Publishing, Bandung, hal. 182185.
10
tanah baik secara ipso facto maupun secara ipso jure. Oleh karena itu keadilan baru dapat diwujudkan ketika semua komponen hukum dalam sistem hukum yang terdiri dari legal structure, legal substance, and legal culture seperti yang diungkapkan Friedman. 16 Selain itu keadilan dapat terwujud ketika dapat dilaksanakan dengan mengikuti pemikiraj “justice as fairness”, John Rawls, yaitu keadilan sebagai kesetaraan yang menggeneralisasikan kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi. Tatatan masyrakat digantikan oleh situasi awalyang melibatkan batasan-batasan prosedural tertentu pada argument yang dirancang untuk memunculkan persetujuan awal tentang prinsip keadilan. 17 Karen Leback kemudian mengkritisinya dimana konsep “justice as fairness” yaitu keadilan sebagai kesetaraan dimaknai sebagai keadilan yang mengutamakan proses untuk mencapai hasil yang “benar dan baik”, sehingga keadilan dimaksud sebagai kebajikan merupakan hasil dari prosedur putusan.18 Selain keadilan, unsur kepastian hukum merupakan salah satu penilaian ketika berbicara tentang hukum yang baik. Kepastian hukum nyata sesungguhnya sebagai kepastian yuridik memenuhi standar sebagai berikut: (1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara; (2) Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;
16
Lawrence M. Friedman,, “Legal Culture and Social Development”.dalam Law and the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly eds, (Kansas City New York: The Bobbs-Merrill Company, INC), hlm. 1003 17
John Rawls, 1995, Theory of Justice, terjem. Uzair Fausan, Heru Prasetyo, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 3. 18
Karen Leback, 1986, Six Theories of Justice, terjem. Yudi Susanto, cetakan ke empat (2013), Nusa Media, Bandung, hal. 58-59.
11
(3) Kebanyakan warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mareka terhadap aturan-aturan tersebut; (4) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten seaktu mereka menyelesaikan segala hukum, dan; (5) Keputusan pengadilan secara konkrit dilaksanakan.19 Lebih lanjut diungkapkan, semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi
secara
otonom, maka kicil pula tingkat kepastian hukumnya. Perkembangan pembangunan akamodasi pariwisata menyebabkan adanya pergeseran fungsi lahan dan berdampak terhadap lingkungan Bali. Akurasi luas fungsi lahan sangat dibutuhkan disertai upaya menyiapkan tata ruang yang mengatur pemanfaatan lahan Bali ke depan. Hal ini diperlukan agar Bali tidak tercabik-cabik kepentingan sesaat para pengusaha yang hanya cari untung di Bali. Demikian diungkapkan pengamat Tata Ruang Bali (Rumawan Salain). Oleh karena itu semua pihak mestinya mengamankan RTRWP No. 16 tahun 2009 ( Bali Post, 1 September 2012, hal. 1). Relevan untuk direnungkan pernyataannya Emil Salim dan I Gede Ardika saat Workshop Tri Hita Karana di Bali Beach Sanur Jumat 4 Desember 2009.: Bali dalam pariwisata Indonesia mencapai 25-30%. Artinya Bali memikul beban yang sangat berat. Terlebih lagi, semua atraksi wisata numplek di Bali, akibatnya pariwisata Bali kehilangan roh. Keprihatinan beliau juga melihat pola pengelolaan pariwisata di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya di Asia Tenggara, jumlah kunjungan wisata di negeri ini kalah jauh dengan Malaysia. Negara yang keanekaragaman diversity pariwisatanya jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia, malah lebih banyak dikunjungi wisatawan (Bali Post, 5 Desember 2009, hal. 11).
19
Jan Michiel Otto, 2003, Reele rechtszekerheid in ontwikkelingslanden, terjem. Tristam Moeliono, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta, hal. 5.
12
Selain itu yang dipertanyakan, pola pengelolaan pariwisata Bali yang dinilai tidak punya karakter yang jelas sesuai dengan potensi yang dimilikinya, seperti religi, budaya, dan alam. Pengembangan pariwisata Bali tidak ubahnya seperti gado-gado yang dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan sektor pariwisata di pulau seribu pura ini. Di Bali diungkapkan: semuanya sudah ada, seperti wisata belanja, race, budaya, alam. Yang penting bagaimana ditata, sehingga roh pariwisata Bali harus dipertahankan. Bali yang memiliki budaya yang sangat adiluhung, dengan tatanan masyarakatnya yang sudah tertata dalam satu banjar, perlu dipertahankan keberadaannya. Jangan sampai banjar dan subak hilang, karena karakter pariwisata dengan unsur religinya itu terlihat jelas di lingkungan banjar tersebut. Destinasi wilayah Bali yang dirancang di Denpasar, Kuta, Jimbaran, Nusa Dua, Tanah Lot, Sanur tidak dibatasi di Bali. Karakter pariwisata Bali terletak pada Tri Hita Karana. Alam jangan dirusak untuk komersial. Pemandangan yang unik di Bali jangan sampai ditutup dengan bangunan dan vila yang semakin menjamur. Pariwisata di negeri ini belum mempunyai branding yang layak untuk menggugah wisatawan untuk datang, seperti branding (Truly Asia) yang diluncurkan Malaysia yang berdampak positif. Menurut Ardika, pengembangan pariwisata di Bali harus dilihat secara holistik, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan lingkungan. Jangan hanya terpaku pada gemericik dolar (Bali Post, Sabtu 5 Desember 2009, hal.1) Penguasaan alam Bali oleh investor dari berbagai fenomena penguasaan tanah tersebut di atas, telah nampak adanya penafian aturan hukum untuk dapat memenuhi keinginannya, sehingga kepastian hukum
13
semakin jauh dapat dicapai. Implikasinya perlindungan hukumpun akan sulit diperoleh menurut pemikiran keadilannya John Rawls, yakni “justice as fairness”. Selain itu pada pejabat terutama elit politik yang sedang mewakili rakyatnya di lembaga legislatif terlalu bangga dengan pertambahan kualitas kamar hotel dan pembangunan fisik lainnya dalam bidang kepariwisataan tanpa mau menyadari dampak yang ditimbulkan seperti: semakin sempitnya ruang terbuka hijau, pelanggaran RTRW Kabupaten/Kota dengan Peraturan Zonasinya, sempadan jalan, sungai, tebing yang terkesan dibiarkan. Ada kesenjangan antara norma dalam peraturan tata ruang dengan perilaku hukum warga masyarakat yang rela menggusur ruang terbuka hijau seperti tanah-tanah telajakan oleh kepentingan ekonomi kapitalis baik dalam skala yang kecil sampai yang besar. Model penguasaan tanah lebih menggunakan pendekatan kekuasaan (politik) daripada hukum, sehingga tidak relevan dengan konsep negara hukum. Juga tidak sesuai dengan kearifan hukum dan budaya lokal yang dijadikan roh pembangunan di Bali, sehingga kota yang dicanangkan sebagai kota berwawasan budaya yang dilandasi falsafah Tri Hitakarana akan kehilangan maknanya. Untuk mencegah akibat lebih lanjut tergerusnya nilai sosial budaya masyarkat Bali, diperlukan komitmen yang kuat dan kepaduan dari semua pihak sebagai pelaksana sekaligus pengawas pembangunan, baik dari masyarakat adat, eksekutif dan legislatif sebagai komponen yang tidak saling menyalahkan. Akhirnya integritas menjadi taruhannya untuk bisa mengadaptasi
dengan
perkembangan
ekonomi
kapitalis
yang
merambah dalam perkembangan kehidupan masyarakat adat di Bali.
14
terus
3. Penutup Perkembangan kepariwisataan di Bali terutama dalam pembangunan akomodasi pariwisata memerlukan lahan yang semakin luas, sehingga saat ini sudah memanfaatkan lahan basah, pesisir, sempadan sungai, Daerah Aliran Sungai (DAS), juga tebing dan jurang, bahkah tanah-tanah telajakan. Investor dalam upaya melakukan penguasaan tanah untuk pembangunan akomodasi pariwisata lebih menggunakan pendekatan kekuasaan (politik) daripada pendekatan hukum. Implikasinya nilai kepastian hukumnya semakin jauh, demikian juga dengan perlindungan hukumnya. Oleh karena itu akan sangat relevan direferensi konsep keadilan John Rawls yang memandang keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness), yaitu dengan mengutamakan proses untuk memperoleh hasil yang baik dan benardalam berkepastian terutama dalam berinvestasi, sehingga semua perbuatan hukum dapat dilakukan secara “terang” sesuai dengan nilai kearifan hukum lokal yang dilandasi falsafah Tri Hitakarana dan mengutamakan kualitas bukan pada kuantitas dan berani menolak rongrongan investasi kapitalis. Selain itu, dengan konsep “terang” pendaftaran hak atas tanah sebagai akibat adanya peralihan hak dapat memenuhi asas publisitas baik dalam konteks hukum negara maupun dalam konteks hukum adat (lokal) sehingga terjadi koeksistensi antara hukum negara dengan hukum adat. Akhirnya dapat dihindari adanya pemilikan “atas nama” orang lokal oleh warga negara asing yang berimplikasi pada kerugian secara ekonomi bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu ketahanan nasional dirasa perlu selalu dibangkitkan kesadarannya untuk diterapkan disegala lini bidang kehidupan untuk menghindari bahaya laten.
15
DAFTAR PUSTAKA Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Cetakan Pertama. Walisongo Press. Semarang. Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, 2011, Hukum Investasi & Pasal Modal, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya , Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta. Budhivaya. I.A, tanpa tahun, “Ppokok-pokok pemahaman penanaman modal langsung serta lingkup hukum investasi di Indonesia”, Universitas Narotama, Surabaya. Fernando M. Manullang. E., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hendrik Budi Untung, 2013, Hukum Investasi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Jan Michiel Otto, 2003, Reele rechtszekerheid in ontwikkelingslanden, terjem. Tristam Moeliono, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta. Lawrence M. Friedman,, “Legal Culture and Social Development”.dalam Law and the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly eds, (Kansas City New York: The Bobbs-Merrill Company, INC). John Rawls, 1995, Theory of Justice, terjem. Uzair Fausan, Heru Prasetyo, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Karen Leback, 1986, Six Theories of Justice, terjem. Yudi Susanto, cetakan ke empat (2013), Nusa Media, Bandung. Muchtar. Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu analisis dengan pendekatan terpadu secara normatif dan sosiologis. Cetakan Pertama. Republika, Jakarta. Soni Qodri, M. “Bali dan Sengketa Agraria”, 1997, dalam Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan ( Eds), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Surojo Wignjodipuro, 1979, Pengantar dan Azas-azas hukum Adat, Alumni, Bandung. Suwitra, I Made. 2011, Eksistensi hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Cetakan kedua, LoGoz Publishing, Bandung.
16
Urip Santoso,2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Prenada Media, Jakarta. Utrecht, E. 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke-enam, PT. Penerbitan dan Balai Buku “Ichtiar”, Jakarta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria LN 1960/104; TLN NO. 2043 tanggal 24 September Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67.
17