11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada sebagian orang, tanah dianggap sesuatu yang sakral karena adanya keyakinan akan tanah sebagai sumber kehidupan sehingga dapat dicermati pula tanah merupakan salah satu simbol status sosial bagi seseorang yang akan selalu dipertahankan. Bertambahnya jumlah penduduk dan laju perekonomian yang tinggi juga memiliki dampak terhadap tanah. Tanah akan menjadi obyek yang selalu dibutuhkan dan permintaannya pun akan semakin meningkat, sehingga membuat permasalahan mengenai sengketa pertanahan sering terjadi. Persediaan tanah yang terbatas dengan harga yang semakin meningkat membuat pentingnya peranan hak atas tanah tersebut. Tanah memiliki nilai yang sangat penting karena mempunyai tiga komponen yang melekat, antara lain:9 1. Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya. Sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai produksi dan jasa. 2. Komponen penting yang kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tetapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya.
9
Bambang Tri Cahyo, 1983, Ekonomi Pertanahan, Liberty, Yogyakarta, hlm. 16.
1
12
3. Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomis. Untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, negara berusaha memberikan jaminan perlindungan dengan mengadakan pendaftaran tanah yang bersifat recht kadaster. Pada tanggal 24 September 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 (UUPA) yang berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki hukum agraria yang bersifat nasional, meskipun yang diatur di dalamnya baru hal-hal yang pokok saja. UUPA mempunyai maksud dan tujuan meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah di seluruh Indonesia.10 Jaminan kepastian hukum ini tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan pelaksana dari Pasal 19 UUPA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menegaskan jaminan kepastian hukum dari pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, yaitu :
10
Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
13
1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun yang sudah terdaftar. 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan. Hasil dari kegiatan pendaftaran tanah yaitu pemilik tanah akan mendapatkan tanda bukti berupa sertipikat tanah yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Sertipikat tanah merupakan produk akhir dari pendaftaran tanah yang memberikan jaminan bahwa pemegang sertipikat adalah benar pemilik hak atas tanah yang dapat melakukan perbuatan hukum atas tanah yang tercantum dalam sertipikat, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Sertipikat tanah dikatakan alat bukti yang bersifat mutlak yaitu apabila tidak ada gangguan atau gugatan terhadap sertipikat tersebut dalam jangka waktu 5 tahun sejak sertipikat diterbitkan. Suatu bidang hak atas tanah yang belum didaftarkan, maka bidang tanah tersebut tidak mempunyai bukti kepemilikan berupa sertipikat hak atas tanah. Apabila tanah yang belum bersertipikat tersebut pernah didaftar untuk keperluan pemungutan pajak tanah, maka biasanya bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut berupa pipil, petuk, letter C dan bukti-bukti pajak lainnya11, bukan dalam bentuk sertipikat yang dapat dijadikan sebagai alat
11
Pipil, petuk, letter C dan bukti-bukti pembayaran pajak lainnya merupakan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah. Berdasarkan penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir dan Verponding Indonesia yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
14
bukti kepemilikan hak atas tanah. Pada kenyataannya, tanah-tanah yang belum bersertipikat tersebut masih banyak terdapat di daerah pedesaan. Menurut J. Andy Hartanto, dalam melakukan transaksi di bidang pertanahan masih ada sebagian masyarakat di pedesaan yang menuangkan dalam akta yang ditandatangani hanya oleh para pihak dengan diketahui kepala desa.12 Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Surakarta
Nomor
:
153/Pdt.G/2010/PN.Ska, pendapat J. Andy Hartanto tersebut dapat dijadikan salah satu bukti bahwa peranan kepemilikan sertipikat hak atas tanah bukan merupakan hal yang mendesak setelah terjadinya kesepakatan jual beli tanah oleh para pihak, namun memiliki implikasi yuridis di kemudian hari bagi para pihak akibat tidak terpenuhinya unsur kepastian hukum. Pada perkara tersebut, Pardiman Parto Diyono selaku penggugat pada saat terjadinya kesepakatan jual beli tanah tahun 1977 dengan para tergugat yaitu Soedjajadi, Kusuma Digdiyo, Sri Soebekti dan Moch. Hariyadi hanya mendasarkan jual beli tanah kepemilikan bersama dari tanah warisan yang merupakan obyek sengketa gugatan dengan surat keterangan jual beli tanah di bawah tangan tanpa adanya balik nama sampai pada saat gugatan ini diajukan pada tahun 2010. Perkara ini diajukan oleh penggugat dikarenakan pada akhirnya untuk mengalihkan kepemilikan hak atas tanah serta penjaminan atas tanah tersebut penggugat tidak memiliki alas hak yang sah. Para tergugat yang telah
Tahun 1961 dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah lama untuk pendaftaran tanah pertama kali. 12 J. Andy Hartanto, 2009, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 69-70.
15
mengalihkan kepemilikan obyek tanah sengketa juga telah tidak diketahui keberadaannya. Oleh sebab itu perlu ditinjau dan dikaji mengenai kepastian hukum bagi penggugat atas dalil yang diajukan sebagai pihak yang merasa memiliki hak setelah terjadinya jual beli dengan teori pembuktian, apakah putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 153/Pdt.G/2010/PN.Ska telah tepat dengan mengesahkan surat keterangan jual beli yang merupakan alat bukti non-otentik sebagai dasar pembuktian. Jual beli tanah di bawah tangan memiliki risiko hukum dan kerawanan yang lebih tinggi daripada jual beli tanah dengan akta otentik. Jual beli di bawah tangan terutama untuk tanah yang belum bersertipikat lebih menekankan pada kepercayaan dan tidak jarang alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal tersebut disebabkan karena surat keterangan jual beli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, karena hanya merupakan akta di bawah tangan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT
KETERANGAN
JUAL
BELI
SEBAGAI
DASAR
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 153/PDT.G/2010/PN.SKA)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang akan penulis bahas adalah sebagai berikut :
16
1. Bagaimana kekuatan pembuktian Surat Keterangan Jual Beli sebagai dasar kepemilikan
hak
atas
tanah
berdasarkan
putusan
Nomor
:
153/Pdt.G/2010/PN.Ska? 2. Bagaimana kedudukan hukum hak atas tanah yang telah terbit Surat Keterangan
Jual
Beli
berdasarkan
putusan
Nomor
:
153/Pdt.G/2010/PN.Ska?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian Surat Keterangan Jual Beli sebagai dasar kepemilikan hak atas tanah berdasarkan putusan Nomor : 153/Pdt.G/2010/PN.Ska. 2. Untuk menganalisis kedudukan hukum hak atas tanah yang telah terbit Surat
Keterangan
Jual
Beli
berdasarkan
putusan
Nomor
:
153/Pdt.G/2010/PN.Ska.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana dan sumbangan pemikiran bagi akademisi dan mahasiswa di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang agaria, serta menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
17
2. Secara praktis, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan yang berarti bagi para pihak dalam menyikapi putusan pengadilan yang berkaitan dengan jual beli tanah di bawah tangan untuk tanah yang belum bersertipikat.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, dengan melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT KETERANGAN JUAL BELI SEBAGAI DASAR KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 153/Pdt.G/2010/PN.Ska), belum pernah dilakukan, namun berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Judul : Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Proses Pendaftaran Tanah.13 Oleh : Abdul Rahim L Rumusan Masalah : a. Bagaimanakah kekuatan hukum akta jual beli di hadapan Camat selaku pejabat pembuat akta tanah dalam proses pendaftaran tanah? b. Apakah jual beli hak atas tanah yang dibuat di hadapan Camat selaku PPAT sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku?
13
Abdul Rahim L, “Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Proses Pendaftaran Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008.
18
c. Apakah akibat hukum terhadap akta jual beli yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku? Berdasarkan rumusan masalah di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a. Akta jual beli yang dibuat camat selaku PPAT sementara dalam proses pendaftaran tanah, di lokasi penelitian penulis belum berjalan sesuai dengan prosedur dan mekanisme pembuatan dan penandatanganan akta jual beli sebagaimana yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, disebabkan karena camat selaku PPAT Sementara belum memahami betul tentang peraturan jabatan PPAT, hukum tanah nasional, prosedur pendaftaran tanah, kode etik profesi PPAT sehingga akta jual beli tersebut masih banyak dipermasalahkan oleh pihak ketiga yang berkepentingan terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli di hadapan camat selaku PPAT Sementara padahal seharusnya akta jual beli tersebut harus mampu memberikan perlindungan hukum karena adanya jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah yang diperoleh masyarakat melalui jual beli di hadapan camat, karena akta jual beli yang dibuat di hadapan camat selaku PPAT Sementara merupakan akta otentik yang kadar kebenarannya dijamin oleh undang-undang dan merupakan syarat untuk perubahan data fisik dan data yuridis melalui pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
19
b. Akibat hukum tidak dipenuhinya ketentuan pemerintah khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, oleh camat selaku PPAT di dalam melakukan pembuatan dan penandatanganan akta jual beli mengakibatkan akta jual beli tersebut sebagai dasar untuk perubahan data fisik dan data yuridis melalui pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan tidak dapat diproses untuk terbitnya sertipikat hak milik atas nama pembeli. Penelitian di atas mengkaji mengenai pembuatan akta jual beli tanah oleh camat selaku PPAT Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang pelaksanaannya belum berjalan sesuai dengan prosedur dan mekanisme pembuatan akta jual beli sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sehingga akta jual beli tersebut tidak dapat diproses untuk terbitnya sertipikat hak milik atas nama pembeli. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis teliti yaitu bahwa penelitian yang penulis teliti tidak mengkaji mengenai pembuatan akta jual beli oleh PPAT Sementara yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 merupakan akta otentik, namun mengkaji mengenai pembuatan akta jual beli tanah di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh penjual dan pembeli. Penulis memfokuskan penelitian pada kekuatan pembuktian surat keterangan jual beli tanah yang dibuat di bawah tangan dan kedudukan hukum hak atas tanah yang telah terbit surat keterangan jual beli tanah.
20
2. Judul : Praktik Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan Di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo.14 Oleh : Budi Winanto Rumusan Masalah : a. Bagaimanakah bentuk-bentuk peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli tanah di bawah tangan di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo? b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan jual beli tanah secara di bawah tangan di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo? c. Bagaimanakah konsekuensi dari jual beli tanah di bawah tangan tersebut bagi masyarakat Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yaitu mengenai bagaimana kekuatan hukum dari jual beli tanah di bawah tangan tersebut? Berdasarkan rumusan masalah di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a. Peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli tanah di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yaitu jual beli tanah dengan akta jual beli oleh PPAT; jual beli tanah dengan perjanjian di bawah tangan dikuatkan saksi Kepala Desa; jual beli tanah dengan perjanjian di bawah tangan tanpa dikuatkan saksi Kepala Desa.
14
Budi Winanto, “Praktik Jual Beli Tanah Di Bawah Tangan Di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007.
21
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli secara di bawah tangan adalah karena kekurangpahaman atau bahkan ketidaktahuan dari si pelaku transaksi baik penjual maupun pembeli tanah mengenai ketentuan hukum yang berlaku; berdasar rasa saling percaya antara penjual dan pembeli dan ketidaktahuan atas hak-hak dan kewajiban selaku penjual dan pembeli tanah; belum mempunyai biaya untuk pendaftaran peralihan haknya dan prosesnya cepat dan mudah. c. Konsekuensi dari pelaksanaan jual beli tanah secara di bawah tangan jika melihat pada ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka jual beli tanah tersebut tidak dapat didaftarkan peralihan haknya di Kantor Pertanahan. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis teliti, yaitu mengkaji mengenai jual beli tanah di bawah tangan. Penelitian ini mengkaji praktik jual beli tanah di bawah tangan di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yang antara lain membahas mengenai bentuk-bentuk peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli tanah di bawah tangan, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan jual beli tanah secara di bawah tangan dan konsekuensi jual beli tanah di bawah tangan tersebut bagi masyarakat Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang disusun oleh penulis terdapat pada fokus penelitian penulis, yaitu analisis terhadap putusan
22
Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 153/Pdt.G/2010/PN.Ska yang mengkaji mengenai kekuatan pembuktian surat keterangan jual beli sebagai dasar kepemilikan hak atas tanah dan mengenai kedudukan hukum hak atas tanah yang telah terbit surat keterangan jual beli yang dibuat di bawah tangan berdasarkan putusan Nomor : 153/Pdt.G/2010/PN.Ska.