VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
MENANAMKAN JIWA WIRASWASTA MELALUI PENDIDIKAN Tri Yanto FIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected]
ABSTRAK Masih ada sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah merupakan dunianya para pengusaha besar dengan modal yang besar pula yang semata-mata menghasilkan untung. Pengertian kewiraswastaan sebenarnya tidaklah sesempit hanya mencari untung yang bersifat materi saja, tetapi menyangkut semua aktivitas baik yang bersifat profit oriented maupun yang di luar itu, misalnya di lingkungan BUMN, Koperasi, Pendidikan dan sebaginya. Kewiraswastaan adalah sifat-sifat keberanian, kekuatan dan keteladanan dalam mengambil risiko yang bersumber pada kemampuan sendiri, pendekar kemajuan baik dalam kekaryaan pemerintahan maupun di luar pemerintahan dalam arti yang menjadi pangkal keberhasilan seseorang. Untuk menanamkan jiwa wiraswasta dapat dimulai sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal bisa mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai jenjang perguruan tinggi. Kata kunci: jiwa wiraswasta, pendidikan.
I. PENDAHULUAN Dewasa ini, dunia usaha (wiraswasta) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun karena kurangnya informasi, banyak orang masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewiraswastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana seseorang menjadi kaya. Kekayaan itu sendiri seakanakan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berfikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Kalau berbicara sekedar kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manajer dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan ada pengemis jalanan berpenghasilan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
38
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
ratusan ribu per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dari ilustrasi tersebut, maka dapatkah mereka semua, termasuk para kotuptor dan pengemis menjadi figur panutan dalam wacana kewiraswastaan? Jawabnya, tidak! Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak tiga dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan (Rusman Hakim, 2006). Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi.: “Kecepatan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu”. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Apa yang dikatakan instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian juga keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan
bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk merampok, mencuri,
korupsi dan lain-lain perbuatan yang negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan tidak ada sama sekali. Sekecilpun ukuran suatu usaha jika dimulai dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimangan fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan. Dari gambaran di atas, dan agar lebih sistematis, maka dalam tulisan ini ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, diantaranya: pengertian kewiraswastaan, persoalan dasar kewiraswastaan di Indonesia, urgensi pendidikan kewiraswastaan, pendidikan manusia wiraswasta. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Kewiraswastaan Apabila kita memperhatikan secara cermat, bahwa tidak ada satu suku katapun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang atau harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
39
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
lingkungan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu. Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira” yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa ksatria, dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis. Kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada di lingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan,
bahkan
dilingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karenya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi. Istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dan kalangan perusahaan
swasta.
Sebagai
istilah
yang
mewakili
kata
“entrepreneurship”,
penggunaannya sudah sangat universal, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi direvisi. Secara estimolog, sebagaimana dijelaskan oleh
Suparman Sumahamidjaja, arti
wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut : wira = luhur, berani, jujur, ksatria , swa = sendiri, dan sta = berdiri. (Suparman Sumahamidjaja, dalam Rusman Hakim, 2006). Konsep kewirausahaan dan keterkaitannya dengan pendidikan, wirausaha diterjemahkan dari kata entrepreneur. Dalam bahasa Indonesia, pada awalnya dikenal dengan istilah wiraswasta yang mempunyai arti berdiri diatas kekuatan sendiri (Akang Pedia, 2010). Jadi arti kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswasta sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarier diatas kemampuannya sendiri, dengan cara yang jujur, dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan. Seperti juga dijelaskan oleh Riyanti (2003:21), bahwa wiraswata adalah sifat-sifat keberanian, kekuatan dan keteladanan dalam mengambil risiko yang bersumber pada kemampuan sendiri. Jadi mereka adalah orang yang perkasa dan mandiri.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
40
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
Menurut ahli ekonomi Perancis J.B. Say sebagaimana dikutip Peter F. Drucker (1996) kewiraswastaan adalah menindahkan sumber daya ekonomi dari kawasan produktivitas rendah ke kawasan produktivitas tinggi dan hasil yang besar. Sedangkan Joseph Schumpeter (dalam Peter F. Drucker, 1996) membuat postulat bahwa ketidak seimbangan dinamis yang disebabkan oleh wiraswastawan yang melakukan inovasi, bukan keseimbangan dan optimisasi adalah norma dari suatu ekonomi yang sehat dan merupakan realita sentral bagi teori ekonomi dan praktek ekonomi.
Sebenarnya
inti
dari
pengertian
kewiraswastaan
tersebut
adalah
kemampuan untuk melakukan inovasi agar terjadi pemindahan sumber daya ekonomi dari
kawasan
produktivitas
rendah
kekawasan
produktivitas
tinggi.
Tugas
wiraswastawan menurut Scumpeter adalah melakukan perombakan kreatif (creative destruction). Namun perlu diingat bahwa seseorang dalam berwiraswasta antara jiwa kewiraan dan swastanya haruslah dilaksanakan secara bersama-sama (seimbang) dan tidak bisa dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Apabila seseorang hanya menonjolkan kewiraannya saja maka orang tersebut bukannya tambah baik dalam kehidupan ekonominya melainkan orang tersebut justru sebaliknya akan menjadi melarat dan hanya tergantung pada segi materi saja. Sebab dalam hal ini ada kemungkinan orang tersebut kurang memperhitungkan dalam mengambil risiko. Namun sebaliknya jika orang tersebut hanya menonjolkan swastanya saja (dalam arti mereka kaya dan kecukupan), maka pada akhirnya mereka mungkin saja mentalnya kurang baik karena akan mencari kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Pada prinsipnya kewiraswastaan tekanannya adalah pada “kemampuan berdiri sendiri”, yang dalam hal ini perlu diartikan secara kritis dan dinamis. Berdiri sendiri tidaklah sama dengan bekerja seorang diri, akan tetapi sebaliknya bahwa dijaman sekarang justru hampir setiap usaha selalu berhadapan atau bekerja sama dengan pihak lain (Tri Yanto, 2007) Berdiri sendiri disini juga dikaitkan dengan “kepercayaan diri” yang sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan hidup. Kepercayaan diri merupakan faktor yang penting dalam meraih sukses, sebab setiap sukses yang diperoleh seseorang akan memperoleh kepercayaan diri, tetapi sebaliknya dengan ketidak suksesan/kegagalan akan membuat seseorang itu akan kurang kepercayaan dirinya. Hanya dengan kepercayaan diri maka seseorang atau suatu masyarakat bahkan suatu bangsa akan mempunyai survive dalam menghadapi tantangan dunia yang penuh persaingan dan pergolakan serta serba tidak pasti.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
41
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
B. Persoalan Dasar Kewiraswastaan di Indonesia Sektor bisnis yang kompetetif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, mutlak membutuhkan manusia wiraswasta, yang memiliki dinamika, motivasi, kreativitas dan inisiatif nyata. Mereka ini mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan yang dibebankan kepadanya. Harus diakui bahwa kegiatan yang lebih mementingkan hasil dan prestasi kerja, akan lebih mendorng terciptanya pola mekanisme kerja yang lebih obyektif. Namun sayang hal ini masih merupakan cita-cita belaka. Sebagian besar dari kita belum memiliki jiwa wiraswasta secara nyata. Jiwa ambtenaar masih mewarnai dan menghantui tingkah laku serta kebiasaan kita. Mengapa demikian? Banyak faktor yang menyebabkannya. Mulai dari lingkungan keluarga sampai pada kebiasaan kerja atau praktek-praktek yang terjadi di masyarakat memang kurang mendukung tumbuhnya jiwa wiraswasta dilingkungan masyarakat kita. Nilai-nilai yang diyakini masyarakat kita pada hakekatnya merupakan warisan sejarah kolonial. Struktur masyarakat memang kurang memberi peluang kepada pribumi bangsa kita untuk bisa menempa, mengembangkan atau memiliki jiwa wiraswasta yang baik. Struktur masyarakat pada masa kolonial sengaja diatur agar kita tidak bisa maju (Akang Pedia, 2010:1) Kesempatan berkembang dibatasi. Pendidikan sangat dibatasi, hanya orangorang tertentu saja yang memperoleh peluang untuk mengenyam kemudahan pendidikan dengan baik. Kegiatan dan lapangan kerja dibatasi. Paling tinggi kita bisa bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pemerintahan, inipun terbatas bagi orangorang kaya dan keturunan bangsawan. Sebagian besar rakyat justru bekerja sebagai buruh dan petani kecil. Kegiatan di sektor ekonomi, perdagangan dan sektor bisnis lainnya diserahkan kepada orang-orang Eropa dan golongan non pribumi. Sektorsektor inilah yang sebenarnya mampu menempa jiwa wiraswasta kita. Apabila kita berkecimpung di sektor bisnis, maka kita banyak dituntut lingkungan untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus tumbuh. Ini semua justru mematangkan pola pikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wiraswasta. Dijaman dulu orang kita kalau sudah bisa bekerja di kantor gubernemen sebagai ambtenaar atau pegawai sudah merasa status sosialnya tinggi. Orang yang bekerja di luar gubernemen dianggap sebagai masyarakat kelas dua atau rendah martabatnya. Konsekuensinya jiwa ambtenaar telah merasuk ke lubuk hati kita telah menjadi keyakinan sebagian besar orang kita. Sampai kinipun ia masih tertekan (Akang Pedia, 2010:2).
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
42
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
Orang tua kita menginginkan agar anaknya bisa menjadi ambtenaar. Target yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestise lebih diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang cenderung lebih memperhatikan gengsi dibandingkan kerja keras untuk berprestasi. Yang lebih diutamakan adalah kepentingan status pribadi ini semakin lama semakin berkembang negatif. Lebih-lebih dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui manusia. Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang hanya mengejar kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun mempengaruhi gairah kerja setiap orang. Unit basah dirasa semakin penting dibanding unit yang kering. Orang akhirnya akan selalu memperhatikan materi melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus ditangani. Perkembangan selanjutnya juga memperlihatkan adanya kecenderungan pucuk pimpinan untuk berusaha mendominasi organisasi. Otoritas sebagai pimpinan dicoba untuk ditonjolkan. Segala sesuatu diarahkan agar tergantung pada pucuk pimpinan sepenuhnya. Dialah yang berwenang mengatur segalanya. Masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran sertanya untuk bersama-sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral. Praktek-praktek demikian telah mampu meruntuhkan jiwa wiraswasta, jiwa mandiri ataupun kemauan bekerja keras setiap pendatang dalam orgnasisasi. Pengetahuan lain yang sempat diperoleh selama studi akan tersimpan rapat dalam benaknya tanpa perlu dipraktekkan atau diamalkan demi kepentingan masyarakat banyak. Inisiatif ataupun kreativitas seseorang akan mudah hilang lenyap dalam kemelud demikian. Hal ini terjadi karena mulai kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif. Paling kita diharapkan bisa mempelajari dan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat melalui coba-coba. Ya kita merasa untung kalau ketemu yang baik. Tetapi kalau terus-menerus dihadapkan pada hal-hal yang negatif, kemungkinan besar pola berpikir kitapun akan negatif. Elliot (1983:15 dalam Sambas Ali, 2010) menyatakan bahwa pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri. C. Urgensi Pendidikan Kewiraswastaan Pengembangan kewiraswastaan merupakan kunci kemajuan. Karena dengan cara tersebut akan mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan secara politis akan meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
43
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
Keberhasilan bangsa adalah sangat ditentukan oleh kualitas manusia, bukan hanya ditentukan oleh moral tinggi/sikap mental yang patriotik saja, tetapi juga ditentukan oleh jiwa kewiraswastaan individu dan masyarakat bangsa tersebut. Negara dikatakan maju apabila mampu menggali dan mengembangkan sumber daya manusia. Manusia yang berdaya guna dituntut oleh moral yang tinggi, kepribadian yang kuat, dinamis, kreatif, rajin dan bekerja keras, menghargai dan dapat mengelola waktu dan tak suka bermalas-malas. Dalam ranah pendidikan, persoalan menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif pragmatis (Sularto, 2010). Praksis pendidikan lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem) yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja. Evans & Edwin (1979:38 dalam Sambas Ali, 2010) menyatakan bahwa pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai isntruktur bagi karyawan baru yang sedang belajar. Instruktur tersebut bertanggung jawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan. Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok, bahkan jumlah penganggur terdidik semakin membesar menunjukkan kecilnya jiwa wiraswasta. Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja. Sampai pertengahan tahun lalu 70% dari 6000 sarjana pertanian lulusan dari 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Mereka bagian dari 9,43 juta atau 8,46% jumlah penduduk pada Februari 2008 (Sularto,2010). Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak sepenuhnya disebabkan faktor tidak adanya jiwa wiraswasta. Banyak faktor lain yang menjadikan penyebabnya. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan tantangan terpenting
adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil memberikan atau
menanamkan semangat jiwa dan sikap kewiraswastaan. Sebagai disiplin ilmu, kewiraswastaan bisa diajarkan lewat sistem terstruktur, salah satu hasil penting dan utama praksis pendidikan, .lembaga pendidikan tidak dapat memberikan pekerjaan, tetapi bisa memastikan agar hasil didik mampu menciptakan pekerjaan. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
44
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
Mengutip Peter F Drucker (dalam Sularto, 2010), kewirausahaan itu bukan bimsalabim, apalagi berurusan dengan keturunan. Singapura dengan memiliki 4% wirausaha dari total penduduknya, sementara Indonesia baru 0,18% dari total sekitar 225 juta penduduk. Ketimpangan itu disebabkan kurang terselenggaranya praksis pendidikan yang membuka kearah kreativitas dan temuan-temuan bersama. Istilah wiraswasta/wirausaha memang masih baru untuk Indonesia, sementara AS sudah mengenalnya 30 tahun lalu. Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah leamining by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewiraswastaan/kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan (Sambas Ali, 2009). Seperti yang dikemukakan oleh Suparman Sumahamidjaja (dalam Tri Yanto, 2007), ciri-ciri seseorang yang memiliki sikap mental wiraswasta antara lain : a. Sebanyak mungkin penuh gagasan, ide. b. Sebanyak mungkin penuh inisiatif, prakarsa. c. Sebanyak mungkin penuh daya cipta kreativitas. d. Sebanyak mungkin penuh daya penggerak diri, percaya pada diri sendiri dan kemampuan sendiri disertai tekad dan keyakinan akan berhasil. e. Tahu apa maunya dalam hidup ini. f. Tahu menghitung risiko. g. Selalu bekerjasama dan menarik manfaat dari setiap kerjasama. h. Mencegah timbulnya hambatan mental menjadi belenggu sendiri yaitu, rendah diri, malas, jiwa budak yang bebal i. Meningkatkan keterampilan wiraswasta dan keahlian menjual apa saja dari yang terkecil sampai yang besar. D. Pendidikan Manusia Wiraswasta Manusia wiraswasta membutuhkan kepribadian yang kuat untuk memajukan hidupnya,
diantaranya
dapat
dipenuhi
melalui
pendidikan.
Pendidikan
pada
hakekatnya adalah proses upaya sadar untuk memajukan pertumbuhan segenap potensi pribadi manusia guna mewujudkan kehidupan sejahtera lahir batin dengan penuh rasa tanggung jawab. Tugas pendidikan adalah mempersiapkan individu-individu untuk secara bertanggung jawab dapat memperoleh kesejahteraan hidup dengan memperlengkapi kepribadian individu-individu tersebut dengan pembinaan segenap aspek kehidupan. Pendidikan dapat menolong individu untuk membina moral, karakter, intelek dan keterampilan individu tersebut sehingga akhirnya mampu berdiri sendiri. Namun untuk MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
45
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
mendapatkan semua itu memerlukan waktu panjang dan bahkan berlangsung seumur hidup.. Ada beberapa macam sikap pandangan sementara pendidik yang kurang menunjang usaha perwujudan manusia wiraswasta di sekolah-sekolah kita (Tri Yanto, 2007), diantaranya : a. Adanya sementara pendidik memandang begitu rendah terhadp arti pendidikan. Hal ini tercermin dari kenyataan, bahwa para tamatan sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi ternyata masih dirundung oleh pola pemikiran mencari pekerjaan. b. Adanya pandangan yang keliru dari sementara pendidik mengenai sumber utama pendidkan. Umumnya sumber pendidikan adalah hal-hal yang terdapat di luar anak didik (guru, buku, dan masyarakat). Pendidikan melupakan potensi anak didik itu sendiri. c. Adanya sikap pesimis dari sementara pendidik mengenai perubahan sikap mental anak didik. Mereka menyangsikan bahwa pendidikan tidak mampu untuk mengubah atau mengembangkan watak seseorang. Pola pendidikan di Negara kita memang belum memikirkan secara menyeluruh. Pemerintah baru berusaha membenahi sistem dan kurikulum pendidikan yang memang harus segera ditangani secara serius. Di sini masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran sertanya. Untuk bersama-sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral. Jadi orang tua wajib ikut berperan aktif dalam menata masa depan anaknya dengan menumbuhkan kemandirian anak. Jangan hanya memanjakan saja, dan jangan menyerahakan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan untuk membentuk watak dan kepribadiannya. Sistem pendidikan yang kurang membantu bertumbuhnya inisiatif, dinamika ataupun kreativitas anak didik. Siswa hanya secara pasif mendengarkan teori yang dikemukakan oleh guru. Sifat pelajaran relatif banyak hafalan. Siswa kurang pula dibekali dengan pemberian pengertian melalui gambaran kenyataan hidup yang ada. Namun sekarang pemerintah sudah mulai menjamah dan menangani hal-hal bagaimana menumbuhkan inisiatif, kreativitas dan memberikan pengertian tentang kenyataan hidup melalui pola sistem pendidikan yang partisipatif. Guna membenahi ini semua dan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat, perlu kiranya dibenahi pola pendidikan kita secara menyeluruh. Untuk itu antara pemerintah dengan masyarakat harus terjalin kerjasama yang saling mendukung.
Interdependensi
dikembang-tumbuhkan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
kearah
antar yang
seluruh lebih
anggota positif.
masyarakat
harus
bisa
Lembaga-lembaga-lembaga 46
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
pendidikan tidak akan mampu membentuk pribadi-pribadi manusia yang tangguh tanpa peran serta anggota masyarakat secara nyata. Orang tua wajib membekali dasar
pembentukan
watak
dan
kepribadian
serta
keyakinan
anak-anaknya.
Masyarakat wajib ikut serta mengendalikan atau mengamankan pola pengaturan tatanan masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Pemerintah dan unsur masyarakat lainnya aktif melaksanakan kegiatan pendidikan secara integral. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Masyarakat dan Membudayakan Kewirausahaan, mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Inpres tersebut dikeluarkan bukan tanpa alasan. Pemerintah menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus digenjot sedemikian rupa melalui berbagai departemen teknis maupun institusi-institusi lain yang ada di masyarakat. Pemerintah juga telah menyusun
suatu
program
yang
ditujukan
untuk
menanamkan
budaya
wirausaha/wiraswasta dengan sasaran para mahasiswa melalui berbagai program DIKTI dan pada masyarakat pada umumnya. Hal ini dilaksanakan sebagai upaya untuk
mempersiapkan
masyarakat
terutama
lulusan
perguruan
tinggi
agar
memperoleh ilmu dan intelektual yang tinggi, serta kecakapan (life skills) yang memadai. Dunia pendidikan tinggi sudah seharusnya peka terhadap tantangan
dan
peluang, bahkan harus mampu berperan aktif dalam menjawab permasalahan yang ada. Terutama dalam menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan, baik lokal, regional, national maupun internasional. Mahasiswa tidak cukup hanya menguasai teori-teori , tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial, serta sanggup memecahkann berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang demikian ditujukan pada pembentukan jiwa entrepreneurship. Artinya pendidikan yang mempunyai jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problem kehidupan secara wajar, kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problem tersebut, mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Salah satu jiwa entrepreneurship yang perlu dikembangkan
melalui pendidikan adalah kecakapan hidup (life skill). Pendidikan
yang berwawasan kewiraswastaan, adalah pendidikan yang menerapkan prinsipprinsip dan metodologi kearah pembentukan kecakapan (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum yang terintegrasi dengan dunia nyata. Sebenarnya untuk mewujudkan pendidikan berwawasan kewiraswastaan tersebut harus dimulai sejak dini, yaitu sudah ditanamkan kepada peserta didik sejak MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
47
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
pendidikan PAUD sampai perguruan tinggi, yaitu dengan memasukkan pendidikan kewiraswastaan dalam kurikulum untuk semua jenjang pendidikan. Untuk jenjang pendidikan PAUD sampai SD cukup untuk menanamkan jiwa wiraswasta sehingga setelah mereka masuk di jenjang pendidikan SLTA dan perguruan tinggi selain teori yang diperoleh mereka dapat mengaplikasikan dalam dunia nyata yaitu melalui praktek-praktek, terutama untuk sekolah kejuruan. Seperti dikemukakan oleh Semiawan (1991:6, dalam Sambas Ali,2010) terkait dengan penyelenggaraan sekolah kejuruan adalah: yang penting kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah menengah kejuruan tidak terpancang pada jenis pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal. III. KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka pada bagian terakhir tulisan ini akhirnya dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: a. Jiwa kewiraswastaan seseorang tidak mesti merupakan faktor keturunan, namun dapat dipelajari atau dari pengalaman. b. Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak sepenuhnya disebabkan faktor tidak adanya jiwa wiraswasta. Banyak faktor lain yang menjadikan penyebabnya. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil memberikan atau menanamkan semangat jiwa dan sikap kewiraswastaan c. Untuk mewujudkan pendidikan berwawasan kewiraswastaan harus dimulai sejak dini, yaitu sudah ditanamkan kepada peserta didik sejak pendidikan PAUD sampai perguruan tinggi, yaitu dengan memasukkan pendidikan kewiraswastaan dalam kurikulum untuk semua jenjang pendidikan. Untuk jenjang pendidikan PAUD sampai SD cukup untuk menanamkan jiwa wiraswasta sehingga setelah mereka masuk di jenjang pendidikan SLTA dan perguruan tinggi selain teori yang diperoleh mereka dapat mengaplikasikan dalam dunia nyata yaitu melalui praktek-praktek, terutama untuk sekolah kejuruan.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
48
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin, Didin. HS. 1990, Sukses Dengan Sikap Mental Wiraswasta, PT. Mutiara Sumber Wijaya, Jakarta. Drucker, PF, 1991, Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan Dasar-dasar, Erlangga,Jakarta. Malik,
Oemar
H,
1990,
Pendidikan
Tenaga
Kerja
Nasional,
Kejuruan,
Kewiraswastaan, dan manajemen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Pedia,
Akang.
2010.
Persoalan
Dasar
Kewirausahaan
di
Indonesia.
http://bisnisdagangusaha.blogspot.com. Diakses, 13/02/2010. Hakim, Rusman, 2006. Kewirausahaan Sebagai Sebuah Nilai. Mhtml:file://C:/ Documen and Setting/admin/Desktop/Sincerepreneur. Diakses 25/05/2009. Sutarno, 2009. Mahasiswa dan Tingkah Laku Kewiraswastaan. Mempersiapkan Melatih Mahasiswa. Wakil Rektor III UII Yogyakarta. Tri Yanto, 2007, Kewiraswastaan, Widyasari, Salatiga. Yudiastuti, Anni, 2008. Membangun Budaya dan Semangat Wirausaha Melalui Pendidikan. http://www.koranpendidikan.com/artikel. diakses, 13/09/09. --------------2009,
Pengembangan
Kurikulum
Berbasis
Kewiraswastaan
(Entrepreneurship) dan Peningkatan Skills Menyongsong Dunia Kerja. Deutschone’s Blog.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
49