Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Khasanah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] Abstrak Kekerasan pada istri adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan kualitas aktual seseorang ada di bawah kualitas potensialnya,artinya ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan atau potensi individu tidak muncul. Situasi yang menyebabkan potensi menjadi terhambat itu bermacam–macam dapat berupa teror–teror berencana yang menyebabkan seorang istri ketakutan dan tertekan, dapat berupa sikap pengekangan, sehingga anggota keluarga tersebut menjadi bodoh, terbelakang dan lain sebagainya. Dengan demikian kekerasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan potensi seseorang tidak dapt diakulisasikan. Bentukbentuk kekuasaan yang dilakukan oleh suami pada istri digolongkan menjadi 4 (empat) kategori kekerasan, yaitu: (1) kekerasan fisik; (2) kekerasan psikis/emosional; (3) kekerasan seksual; dan (4) kekerasan ekonomi. Seorang istri bisa mengalami salah satu bentuk kekerasan maupun semua bentuk kekerasan tersebut. Akan munculnya kekerasan suami pada istri ini berawal dari konstruksi sosial yang keliru dimana budaya menetapkan kedudukan laki-laki setingkat lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini dinamakan tatanan sosial yang dilandasi pada sistem yang patriarkhis. Ada juga teori yang menjelaskan kekerasan suami pada istri ini muncul adanya sisi individual dari suami atau istri yang memicu terjadinya kekerasan seperti: faktor lingkungan, keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi, ras, pecandu alkohol, sakit mental, dan sebagainya. Meskipun sisi individu seseorang juga dapat memicu terjadinya kekuasaan pada istri, namun kerangka yang lebih besar dari munculnya kekerasan ini adalah faktor tatanan sosial yang patriarkhis. Oleh karena itu upaya yang utama adalah mengurangi mistos-mitos merugikan perempuan (istri), terutama yang berkaitan dengan kekerasan, perlu dilakukan oleh istri sendiri maupun pihak-pihak lain yang terkait seperti: masyarakat, suami, aparat penegak hukum maupun lembaga swadaya yang lain. Kampanye-kampanye untuk mempopulerkan fakta kekerasan juga dipandang perlu agar persoalan seperti ini jangan dipendam sendiri oleh istri dan dianggap tabu sehingga masyarakat menganggap remeh/tidak penting persoalan ini. Kata Kunci: Kekerasan, suami pada istri.
PENDAHULUAN Dalam sebuah keluarga, perbedaan penmdpt antara suami dan istri adalah hal biasa dan wajar. Tetapi perbedaan pendapat yang disertai dengan pertengkaran yang terus menerus tidaklah wajar. Ketidakwajaran pertengkaran juga terjadi apabila diwarnai tidak kekerasan, dari yang paling ringan sampai paling berat. Kata kekerasan mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar, menyakitkan, dan menimbulkan efek (dampak) negatif. Namun, kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku fisik yang kasar, keras dan penuh kekejaman. Sehingga bentuk operesif (menekan) lain yang bentuknya tidak berupa perilaku fisik menjadi tidak dihitung sebagai suatu bentuk kekerasan. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku verbal maupun non verbal seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabka efek negatif secara fisik, emosional dn psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya (Nur Hayati, 2000). Kekerasan pada istri adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
85
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Artinya, ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan atau potensi individu menjadi tidak muncul. Situasi yang menyebabkan potensi menjadi terhambat itu bermacammacam, dapat berupa teror-teror berencana yang menyebabkan seorang istri ketakutan dan tertekan, dapat berupa sikap pengekangan, sehingga anggota keluarga tersebut menjadi bodoh, terbelakang dan lain sebagainya. Dengn demikian kekerasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan potensi sesorang menjadi tidak dapat diaktualisasikan. Sedangkan menurut Alberta (1995) kekerasan terhadap istri meliputi kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap pasangannya yang menyebabkan keamanan dan hidup perempuan tersebut dalam bahaya. Sebenarnya tidak ada orang yang suka dengan tidak kekerasan. Meskipun tindak kekerasan terhadap perempuan terutama di lingkungan keluarga tidak disenangi kehadirannya, namun bukti-bukti dilapangan menunjukkan bahwa tindakan itu intensitasnya cukup tinggi. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa, perempuan Indonesia mengalami tingkat kekerasan yang sangat tinggi. Dari jumlah penduduk Indonesia 217 juta, 11,4% di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan di daerah pedesaan pernah mengalami tindak kekerasan dari suami. Seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan atau suami yang berselingkuh (Aura, 2000). Bahkan, kekerasan terhadap perempuan ditengarai Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa, sudah menjadi silent pandemic : jumlahnya terus meningkat dan meluas, tetapi tidak pernah muncul dipermukaan karena berbagai alasan. Sedangkan hasil kajian yang dilakuakn Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta menunjukkan dri 300 kasus yang ditangani sejak September 1993 sampai September 1995 ada 76 kasus, 26,33% di antaranya adalah kasus kekerasan yng dilakukan suami terhadap istri. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa kekerasan emosional (psikologis) 66,2%, berupa emosional dan fisik 14,8%, kekerasan berupa emosional, fisik, ekonomi dan seksual 13%. Berbeda dengan kekerasan perempuan pada umumnya seperti perkosaan atau pelecehan orang yang tak dikenal, kekerasan suami terhadap istri dalam bentuk Material Rape (perkoasaan yang dilakukan suami terhadap istri), penelantaran istri, penghinaan terhadap istri, penganiayaan, dan perselingkuhan suami acapkali tidak menjadi perbincangan publik. Sebab biasanyapenderitaan itu hanya dipendam dibatin para istri selama bertahuntahun hingga dibawa mati. Ditengh masyarkat yang masih kuat didominasi ideologi dan nilai praktiarkhis, peran dan posisi istri umumnya memang masih serba inferior. Karena itu, keinginan untuk melawan atau mengubah nasib tidak mustahil akan terbentur dengan tradisi dan norma sosial yang berlaku di lingkungan sosialnya. Kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya justru lebih sering terjadi dirumah, dalam sebuah keluarga yang dari luar terlihat tak bermaslah, namun penderitaan dan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
86
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
penganiayaan terjadi dari hari ke hari. Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah masalah sosial yang masih merupakan dark number, tetapi diakui telah membawa korbaan yang masih luas. Kekerasan terhadap istri di lingkungan keluarga sejauh ini kurang mendapat perhatian, bahkan cenderung untuk diabaikan. Pengabaian ini karena pada umumnya masyarakat melihat bahwa persoalan yang muncul di dalam keluarga adalah urusan keluarga sendiri, orang luar tidak boleh ikut campur. Apalagi telah menjadi keyakinan masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern, bahwa kehidupan didalam rumah tangga (perkaawinan) adalah merupakan sebuah area yang tertutup atau hanya untuk kalangan sendiri. Artinya ada keengganan untuk membicarakan persoalan rumah tangga kepada orang luar, karena memang ada nilai-nilai yang melembagakan kesakralan keluarga dan perkawinan. Bahkan budaya kita sering sadar maupun tidak sadar, menjustifikasi bahwa pertengkaran dalam keluarga adalah kembangnya rumah tangga, sehingga kekerasan terhadap istri belum banyak dimengerti sebagai masalah yang serius, karena umumnya orang belum mengerti realitasnya. Persoalan kekerasan sumi terhadap istri ini cukup rumit untuk dihadapi. Seseorang sosiolog pernah mengatakan bahwa “kekerasan suami” kebanyakan berada di bawah laporan dari kekerasan keluarga (Steinmetz, 1978 dalam Rencetti : 164). Bahkan pada sisi lain, publik dan profesional kurang simpatik pada korban kekerasan istri. Itulan sebabnya, isu kekerasan suami terhadap istri tidak lebih banyak dibicarakan daripada kekerasan anak. Apalagi mengingat masalah ini sarat dengan nilai-nilai perkawinan yang diteguhkan oleh keyakinan agama serta norma sosial budaya. Kondisi inilah yang bisanya menyebabkan persoalan kekerasan terhadap istri sulit dipecahkan. Penelitian menunjukkan bahwa satu dari delapan istri melaporkan pernah diperlakukan kasar oleh suami mereka (Straus dan Gelles, 1990 dalam Rencetti: 165). Kesulitannya adalah tidak mungkin menentukan berapa banyak perempuan yang mempertahankan diri atau membalas kekerasan suami. Studi menunjukkan bahwa suamilah pemicu kekerasan dalam mayoritas kasus. Lagipula ada perbedaan ukuran kekuatan dan sumber antara suami dan istri. Menurut hasil studi tersebut, bahkan 2 sampai 6 juta istri mengalami kekerasan oleh pasangannya tiap tahun di Amerika Serikat. Menurut Nasim Tumkaya, kepala Perwakilan United Natons Fund For Population Activites (UNFPA) di Indonesia, di seluruh dunia saat ini, satu diantara tiga perempuan telah dan masih mengalami pemukulan, dipaksa melakukan hubungan seksual, dan sering pula mengalami berbagai bentuk tidak kekerasan lain oleh orang yang mereka kenal yaitu suami mereka. Selain itu, satu dari empat perempuan dilaporkan juga dialami perempuan ketika hamil dan sepertiga sampai setengahdari kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual (Jawa Pos, 20 April 2011). MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
87
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Tindak kekersan psikologis seperti: suami berselingkuh, ditelantarkan dalam waktu yang lama tanpa diberi belanja, atau perkataan yang menyudutkan posisi istri. Seorang istri sudah lazim bahwa mereka harus setia, taat kepada suami dan menjadi ibu yang baik atas anak–anaknya. Di masyarakat, ketika ditemui ada anak yang nakal dan berperilaku kelewat batas, otomatis kecaman pertama akan ditujukan kepada istri atau ibu sang anak laki–laki. Sebagai kepala rumah tangga sah-sah saja pulang kantor hingga malam hari atau pergi ke luar selama berhari– hari bahkan berbulan-bulan dengan alasan tugas kantor. Sementara itu tuntutan terhadap istri, meski ia seorang perempuan karirpun untuk selalu mangalah dan mengasuh anak–anaknya tidak akan dapat diingkari begitu saja. Kalau kita jeli melihat, sebetulnya tidak sedikit istri yang tidak puas terhadap kehidupan dan keluarganya karena perlakuan–perlakuan yang deskriminatif dari segi gender. Tetapi mereka rata–rata enggan melaporkan persoalan yang dihadapi kehadapan publik karena sejumlah alasan. Bahkan ketika seorang istri menjadi bulan–bulanan suaminya, boleh jadi hanya sebagian kecil yang berani berteriak dan komplain atas perlakuan dan penderitaan yang dialami. Di mata istri, yang namanya percekcokan keluarga, termaksuk penganiayaan yang mereka alami, bukan saja dipandang tabu untuk diper-bincangkan keluar, tetapi karena secara struktural kemungkinan untuk mengambil tindakan yang melawan arus bukanlah hal yang mudah. Banyak pihak yang nyaris tidak peka terhadap kejahatan yang dilansirkan kepada istri.Suatu penelitian menunjukan,bahwa sebagian besar istri yang mencoba menyampaikan pengaduan kepada polisi mengenai kekerasan yang dilakukan suami akan ditolak oleh kantor polisi tersebut. Dalam menanggapi laporan kejahatan suami terhadap istri,polisi biasanya hanya menyarankian istri untuk pulang ke rumah dan mencoba untuk bersabar. Karena hal itu biasa terjadi antara pasangan suami istri. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama seorang istri jarang melaporkan kekerasan yang terjadi atas dirinya kepada lembaga yang berwenang. Berbagai kondisi inilah yang biasanya menyebabkan kekerasan terhadap istri sulit untuk dipecahkan,karena tidak ada data yang pasti. Berdasarkan studi kasus persoalan kekerasan terhadap istri yang masuk di RAWCC pada tahun 1998,dari 125 kasus kekerasan terhadap istri, 11% di antaranya mengakhiri perkawinanya dengan perceraian, 13% melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami atau mengajak konseling,dan mayoritas korban 76% tetap menjalani perkawinanya yang penuh dengan kekerasan (Hayati,1999). Itulah sebabnya persoalan kekerasan terhadap istri seperti fenomena puncak gunung es, tidak akan tampak dari permukaan, sehingga yang nampak dan kelihatan di permukaan hanya kekcil saja. Tetapi justri kekerasan terhadap istri yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih banyak. Sebab sulit mencari data tentang jumlah kekerasan yang sebenarnya terjadi di suatu daerah. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
88
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Oleh karena itu jarang kita temukan dalam realitas objektif,ada istri yang melaporkan pada pihak berwajib atas penganiayaan yang dilakukan suaminya. PERMASALAHAN Kekuasaan dalam rumah tangga adalah sebuah masalah sosial yang perlu dipecahkan. Sebab berbeda dengan tindakan kriminal dan kekerasan yang terekspos di media massa, kekerasan dalam rumah tangga seringtidak tersentuh. Bahkan kekuasaan dalam rumah tangga sejauh ini kurang mendapat perhatiaan dan cenderunguntuk diabaikan. Tampaknya masalah kekuasaan suami terhadap istrimerupakan suatu masalah yang tersembunyi (disembunyikan) bahkan seorang istri sampai berupaya menutupi sikap kasar (kejam) yang dilakukan suaminya dengan alasan untuk menjaga keseimbangan (keharmonisan) rumah tangganya. Itulah sebabnya maka tidak sedikit perempuan yang tidak puas terhadap kehidupan keluarganya karena perlakuan yang deskriminatif dari segi gender. Berdasarkan uraian di atas diidentifikasikan masalah–masalah yang berkaitan dengan kekerasan suami terhadap istri, yaitu: 1. Mengapa suami melakukan tindak kekuasan terhadap istri? 2. Seberapa banyak tingkat kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri? 3. Faktor-faktor apa saja yang dapat memunculkan peluang sehingga istri potensial menjadi korban? 4. Bentuk–bentuk kekerasan apa saja yang dilakukan suami terhadap istri? 5. Upaya apa yang dilakukan istri untuk melindungi diri dari tindakan kekerasan suami? PEMBAHASAN 1. Kekerasan pada Istri Sejarah kekerasan pada istri dimulai dari sejarah umat manusia itu sendiri. Pada awalnya, laki-laki dan perempuan mempunyai peran dan kedudukan yang sama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yaitu berburu. Kemudian fungsi perempuan berkurang pada saal mengandung, menstnrasi dan melahirkan. Karena kondisi biologis ini menyebabkan perempuan tidak bisa lagi berburu. Perbedaan biologis ini menyebabkan pembagian peran, perempuan berada di rumah untuk mengurus pekerjaan rumah sementara laki-laki berburu. Perbedaan peran yang bermula dari perbedaan biologis ini memunculkan kosep keunggulan laki-laki karena secara fisik dialah penyelamat keluarga. Konsep keunggulan laki-laki seiring dengan perkembangan sistem sosial berubah menjadi hukum dalam masyarakat yang disahkan dalam adat, nilai, norma, keagamaan, peraturan, dan hukum. Laki-laki bukan saja unggul namun juga ditempatkan diatas perempuan sehingga berwenang atas kehidupannya. Konsep ini terus bergeser menyempit. Perempuan menjadi hak milik laki-laki, termasuk bisa dipukul dan dianiaya jika tidak patuh. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
89
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Dalam sejarahnya kemudian, pada abad pertengahan (sekitar abad ke-15) di Eropa masih dibenarkan memukul istrinya meskipun kekerasan brutal dianggap sebagai hal buruk. Hal ini merupakan kemajuan besar dari masa dua ratus tahun sebelumnya ketika suami bisa memakai alasan "mengajari" istri untuk melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Masih pada abad yang sama di Wales, Inggris muncul peraturan yang mengijinkan suami memukul istri yang tidak disiplin dengan 3 pukulan menggunakan tongkat sepanjang lengan dan setebal jari tengah. Kondisi di negara lain pun hampir sama. Pengadilan di Califomia, Amerika pada abad ke-l9 memutuskan mengeluarkan perkara pemukulan istri dari pengadilan. Pengadilan tidak boleh ikut campur kecuali jika pemukulan menyebabkan luka-luka atau ekses lainnya. Akibatnya istri sama sekali tidak bisa melakukan pengaduan atas penderitaannya. Sampai akhirnya pada akhir abad ke-19 pengadilan di Alabama mengeluarkan peraturan yang sangat monumental yaitu bahwa suami tidak mempunyai hak lagi untuk memukul istri mereka. Hal ini terus berlanjut sampai pada abad ke-20 ini. Ketika hukum memberi hak kepada istri untuk menuntut suami yang melakukan pemukulan. Meskipun ilustrasi diatas menggambarkan kondisi yang makin baik untuk istri, namun, mau tidak mau harus diakui bahwa pemukulan pada istri masih terjadi di belahan dunia manapun. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa bahaya terbesar bagi kaum perempuan adalah kekerasan terhadap istri daripada bahaya kekerasan di jalanan. Tak heran jika Charlotte Bunch, berkata, “rumah di seluruh dunia adalah tempat yang paling berbahaya bagi perempuan". Tentu saja, ia tak hendak membuat kejutan dan menebarkan kecemasan terhadap pernyataan tersebut. Tapi, ia berbicara dengan nada getir ihwal kenyataan di banyak rumah tangga di dunia; yaitu penuh kekerasan. Hal ini bisa dilihat dari data seperti misalnya, di Peru, 70% dan seluruh kejahatan yang dilaporkan polisi menyangkut istri yang dipukul oleh suaminya. Di India, 8 dari 10 istri mengalami kekerasan dari suaminya. Bahkan di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat sekalipun, pemukulan oleh pasangannya merupakan kasus utama kecelakaan perempuan dewasa. Mayoritas masyarakat Amerika percaya bahwa kekerasan pada program-program hiburan meningkat setiap tahun dan dapat mengganggu masyarakat. Pada survei nasional terakhir, 78% responden percaya bahwa televisi menampilkan demikian banyak kekerasan sehingga rnasyarakat menjadi tidak terkejut lagi dengan tindak kekerasan ("kekerasan di televisi”, 1993 dalam artikel Sexual Violence in the Mass Media oleh Edward Dommerstein Daniel Liruz : 9). Pengalaman di negara-negara lain tentang domestik violence temyata hasilnya tidak berbeda jauh dengan keadaan di Indonesia. Setidaknya ini terungkap dari pengalaman Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC) yang berkedudukan di MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
90
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Yogyakarta. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak ditangani salah satunya adalah kekerasan suami terhadap istri (Nur Hayati, 2000:34). Agresi fisik dalam perkawinan adalah sebuah masalah sosial yang sering terjadi, sekitar 1 dari 6 pasangan perkawinan melaporkan terjadinya beberapa tipe agresi fisik pada kehidupan perkawinan mereka dan sekiar I dari 15 melaporkan adanya perilaku kekerasan yang menimbulkan cedera (Straus dan Gelles, dalam Dudley D. Cahn dan Sally A. Lloyd, 1996:17). Menurut Walker (dalam Unger, 1992) kekerasan pada istri adalah kekerasan secara fisik atau psikis yang dilakukan oleh mitra intimnya. Kekerasan fisik dapat berupa : tamparan, dorongan, sampai dengan penggunaan senjata. Kekerasan psikis berupa : intimidasi, ancaman, direndahkan di depan umum, kritik yang intens. Kekerasan psikis ini akan lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik, karena akibat psikis dapat melemahkan self esteem serta lebih sulit untuk diukur dan diketahui. Tetapi kekerasan fisik jarang terjadi tanpa adanya kekerasan psikis. Senada dengan pendapat di atas, Straus dan Gelles (1986) mengatakan bahwa kekerasan pada istri merupakan tindakan agresi yang mengarah pada niatan agar orang lain yaitu istri secara fisik atau psikis terluka. Agresi fisik merupakan tindakan yang menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain, sedangkan agresi psikis cenderung mengarah pada tindakan verbal atau nonverbal yang secara simbolis melukai atau mengancam orang lain. Agresi verbal dan nonverbal ini merupakan tindakan alternatif dari agresi fisik. Kemudian secara rinci Stets (1991) menguraikan tentang masalah agresi atau kekerasan pada istri sebagai berikut: a. Agresi verbal berhubungan positif dengan agresi fisik, agresi verbal merupakan alternatif pengganti bagi agresi fisik. Apabila konflik terjadi pada dua orang yang intim atau pasangan menikah, jika terjadi agresi verbal maka akan tampak adanya sedikit agresi fisik dan sebaliknya. b. Agresi fisik dan verbal merupekan menisfestasi dari agresi pada umrunnya. c. Agresi dalarn perkawirran merupakan akibat dari proses two step yang dimulai dari agresi verbal menuju ke agresi fisik. Step pertama bergerak dari tindakan non agresi verbal ke agresi verbal, step kedua bergerak dari non agresi fisik ke agresi fisik. Agresi verbal rnerupakan pra kondisi yang diperlukan untuk terjadinya agresi fisik. Tetapi agresi verbal saja tidak cukup bisa menyebabkan agresi fisik terjadi. Jadi agresi verbal tidak selalu menyebabkan agresi fisik. Agresi fisik bisa terjadi tanpa dukungan agresi verbal seperti pada kebudayaan yang terbiasa dengan perilaku agresi (Wofgang, Fertacuti, dalam Stets, 1991) atau adanya tekanan ekonomi yang bisa mempengaruhi terjadinya agresi fisik (Gelles, dalam Stets, 1991). MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
91
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
2. Bentuk-bentuk Kekerasan Suami pada Istri Domestic Violence (kekerasan dalam rumah tangga) diartikan sebagai kekerasan yang terjadi diantara pasangan heteroseksual yang tinggal bersama atau yang sebelumnya telah berhubungan. (Eve S. Buzawa dan Carl G. Buzawa, 1996 : 4) Gambaran yang lebih jelas tentang kekerasan suami terhadap istri dijelaskan dalam artikel yang berjudul "When boy beat girl”. Disitu diuraikan ada beberapa tanda-tanda dini yang dapat dilihat apakah suami melakukan tindak kekerasan terhadap istri (Cosmopolitan, April 1995) yaitu: a. Perilaku hipermaskulin Yaitu suami membuat sernua keputusan, menentukan peran istri dan pcran apa yang harus dilakukan suami. b. Penyimpangan emosional Meremehkan istri, melecehkan istri, memandang rendah istri, membuat istri merasa bersalah. c. Pengucilan Mengawasi apa yang dilakukan istri, dengan siapa istri berbicara, apa yang dibaca istri dan kemana istri pergi. d. Intimidasi Pandangan, tindakan atau isyarat yang membuat istri merasa takut, menghancurkan hak-hak milik istri, menyalahgunakan kasih sayang, mempertontonkan senjata e. Kekerasan dan ancaman Mengancam untuk melukai istri, meninggalkan istri, bahkan sampai pada pembunuhan. f. Mengecilkan, menampik dan menyalahkan Membuat tanda-tanda perilaku sendiri yang menyimpang. g. Penyalahgunaan ekonomi (keuangan) Menghambat istri untuk memperoleh atau mendapat pekerjaan yang baik, membuat istri selalu tergantung pada keuangan suami. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa bentuk kekerasan suami beragam jenisnya. Selanjumya Hasbiyanto (1997) menyatakan tahwa bentuk kekerasan ini bisa digolongkan menjadi 4 kategori kekerasan, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psychologis/emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Adapun yang menyangkut kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan psychologis/emosional dan kekerasan ekonomi adalah sebagai berikut: a. Kekerasan fisik: Yang termasuk kekerasan fisik yaitu: menampar, memukul, menarik rarnbut, menyulut dengan rokok, melukai dengan senjata, mengabaikan kesehatan istri, dan sebagainya. b. Kekerasan psychologis/emosional:
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
92
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Bentuk-bentuk kekerasan yang termasuk adalah: penganiayaan secara emosional, seperti penghinaan, komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri/konsep dari pihak istri. Bentuk lain adalah tidak mengijinkan istri atau membatasi untuk mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan mengembalikan istri ke rumah orang tuanya, mengancam akan menceraikan dan memisahkan istri dari anak-anaknya, dan lain-lain. c. Kekerasan seksual: Kekerasan seksual meliputi: pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya, pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tak dikehendaki atau tidak disetujui istri, pemaksaan hubungan ketika istri sedang tak menghendaki/istri sedang sakit atau menstruasi, memaksa istri berhubungan seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi pelacur, dan sebagainya. d. Kekerasan ekonomi: Contoh dari bentuk kekerasan ini adalah tidak memberi nafkah kepada istri, memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupan istri, atau membiarkan istri bekerja untuk kemudian peng-hasilannya dikuasai suami (Rifka Annisa, 1997: 2). Apabila digambarkan akan terlihat bagan kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut.
Meskipun bentuk-bentuk kekerasan diklasifikasikan menjadi 4 (empat) bentuk kekerasan, namun soreang istri bisa mengalami semua bentuk kekerasan ataupun MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
93
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
hanya salah satu bentuk kekerasan, sebab biasanya bentuk kekerasan yang satu merupakan prakondisi untuk terjadinya bentuk kekerasan yang lainnya. 3. Faktor–fktor yang Mempengaruhi Kekerasan Suami pada Istri a. Akar munculnya kekerasan terhadap perempuan berawal dari anggapan bahwa kaum perempuan sebagai objek, kaum yang lemah kedudukannya di bawah pria. Anggapan seperti ini pada gilirannya menghasilkan konstruksi sosial yang keliru. Pria dianggap kaum kelas satu di atas perempuan. Anehnya kontruksi sosial yang tidak benar ini tidak hanya diterima oleh sebagian besar pria tetapi juga perempuan. Konstruksi yang melihat pria memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada perempum membuat tiadakan kekerasan terhadap perempuan sangat rentan, lebih-lebih perempuan yang berada di dalam lingkungan keluarga. Anggapan yang memandang kaum perempuan lemah dan kedudukannya di bawah pria ini berawal dari perjanjian sosial yang mengatur peran laki-laki dan perempuan. Begitu juga peran untuk suami dan istri. Dalam perjanjian sosial tersebut telah diatur oleh adat istiadat/budaya bahwa peran tradisional istri adalah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dan suami mencari nafkah. Budaya yang mengatur peran tradisional istri dan suami ini dibingkai oleh suatu sistem yang disebut patriachat yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk superior dibanding perempun. Ideologi yang menekankan peran tradisional istri di seputar rumah tangga merasuk dan mempengaruhi cara pandang maupun persepsi suami dan istri sendiri. Pada akhirnya istri menjadi pihak yang sering menderita kerugian termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah kekerasan. Meskipun hampir bisa dipastikan bahwa suami yang pernah melakukan kekerasan fisik terhadap istri akan rnelakukannya lagi tetapi kenyataan ini tidak cukup membuat istri melepaskan diri dari suaminya. Hal-hal yang menyebabkan istri terjebak dan tidak mampu melepaskan diri dari lingkaran ini adalah: 1) Ketidakmampuan istri, untrrk mandiri secara ekonomi sangat tergantung pada suami (Alberta, 1955; Unger, 1992). 2) Dengan dalih demi masa depan anak-anak dan dirinya, mau tidak mau, istri harus bersikap pasrah terhadap kelakuan suami. 3) Perasaan malu, bermasalah, dan percaya bahwa kekerasan normal dalam perkawinan (Straus dan Gelles, 1986). Istri cenderung menyalahkan diri sendiri dan merasa ada sesuatu yang salah pada berhubungan dengan kepercayaan, motivasi dan situasi saat terjadinya kekerasan (Brewin, 1990). Perasaan bersalah ini ternyata juga disebabkan karena lingkungan sosial yang cenderung menyalahkan korban
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
94
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
apabila terjadi tindak kekerasan (Silver, Wortman, dalam Brewin 1990; Ulbrich dan Huber, 1981). Bahkan kalau kita mau mencoba melihat bentuk kekerasan yang lebih sempit : pemaksaan seksual misalnya, maka setiap budaya/masyarakat akan menempatkan pemaksaan seksual dalam urutan yang berbeda sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dari segi kekerasan terhadap istri, jelas bahwa secara hukum formal (dalam KUHP) perkosaan terhadap isti ditoleransi. Hukum formal ini mencerminkan norna yang dominan di masyarakat. Karena norma bahwa istri harus selalu siap melayani suami begitu kuat dianut oleh masyarakat (terrnasuk suami istri), maka "berfikir" untuk menolak saja sudah menjadi tindakan yang salah. Karena melayani kebutuhan seksual suami kapan saja menjadi kewajiban bagi istri. Tafsiran agama juga mendukung anggapan seperti itu. Itulah sebabnya, dalam perkawinan seorang istri bisa terancam pemaksaan seksual oleh pasangannya karena ada norma dominan yang mengatakan bahwa perempuan harus selalu siap melayani kebutuhan seksual suami. b. Ada beberapa teori yang mencoba rnenjabarkan tentang fenomena kekerasan terhadap istri ini dari sisi individual, artinya penyebab tingkah lalu kekerasan adalah karena pelaku ada masalah dengan alkohol dan obat-obatan, masalah mental yang terganggu, stres maupun frustasi. Akan tetapi tolerarrsi sosial yang sangat longgar terhadap persoalan ini, termasuk kekhususan yang nyata bahwa korbannya terutama adalah perempuan, menuntut semua orang untuk melihat ke persoalan sosial dan struktural dibanding sebatas karakteristik individu saja. Kekerasan pada istri pada dasarnya merupakan suatu indikasi dari adanya hubungan dengan kekuatan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. As Bograd dalam Dudley D. Cahn (1996: 10) menyatakan bahwa, hubungan antara lakilaki dan perempuan dibentuk oleh pembagran kekuatan yang tidak sama berdasarkan jenis kelamin. Dengan keyakinan ini, suami kemudian dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Di samping itu banyak ajaran agama yang ditafsirkan keliru sehingga menimbulkan anggapan bahwa suami boleh menguasai istri. Ayat tentang "Nusyuz" dalam Al Qur'an, misalnya membuat banyak yang beryakinan bahwa suami memang boleh memukul istri. Tanpa mempelajari lebih jauh tentang hal tersebut. Lori Heise dalam bukunya Violence Against Women: An Integrated, Ecological Framework (1998), menjelaskan bahwa kekerasan dalam keluarga terjadi karena keterkaitan 4 (empat) faktor, yaitu: 1) Personal historis seperti misalnya tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau anak yang memang mengalami kekerasan dari orang tuanya.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
95
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
2) Mikrosistem seperti misalnya dominasi Figur pria dalam keluarga (termasuk figur pria adalah penguasa dan pengelola kekayaan keluarga), penggunaan alkohol, dan konflik-konflik perkawinan. 3) Ekosistem seperti status sosial ekonomi yang rendah, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, dan pengaruh kenakalan lingkungan. 4) Makro sistem seperti rnisalnya maskulinitas yang dipersepsikran sebagai dominan dan agresif, budaya patriarkis, toleransi terhadap kekerasan. Teori Multidimensional dari Heise ini menerangkan saling keterkaitan antara aspek individual dengan aspek di luar individual, sejak dari lingkungan yang terkecil hingga lingkungan global individu. Frame work int menjelaskan kepada kita akan rumit dan kompleksnya faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Faktor di atas ditumbuh suburkan dan didukung oleh kenyataan bahwa sikap komunitas cenderung mengabaikan persoalan kekerasan terhadap istri, karena meyakini bahwa itu urusan intern rumah tangga, serta sistem legal tidak mernpunyai kekuatan khusus guna menekan pelaku kekerasan terhadap istri sekaligus melindungi korban. R. Lan$ey dan C. Levy (1977: 75-76) menjelaskan tentang penyebab terjadinya tindak kekerasan suarni (pelaku) terhadap istri adalah sebagai berikut: a. Sakit mental. b. Pecandu alkohol dan obat bius. c. Sosial learning, pelaku kekerasan belajar mengekspresikan kemarahan rnereka dengan kekerasan karena pengalaman dari keluarga (pola kebiasaan dari orang tua). d. Frustasi atau strees akibat ketidakpuasan terhadap penghasilan atau pekerjaan. e. Ras, kekerasan pada istri lebih sering terjadi pada ras kulit hitam, tetapi penelitian membuktikan bahwa penyebab tersebut bukan karena ras tetapi karena rendahnya kelas sosial ekonomi. f. Dukungan sosial (Alberta, 1995; Langley dan Levey, 1979), tindak kekerasan pada istri umum terjadi karena secara sosial diterima. g. Sifat-sifat atau kepribadian tertentu yang menyebabkan suami cenderung lebih sering melakukan kekerasan pada istri. h. Usia, usia mempunyai hupungan negatif dengan agresi fisik. Makin tinggi usia, makin rendah kekerasan dan sebaliknya (Straus, Gelles, Steinmetz, dalam Stets, l99l). i. Kurangnya komunikasi (komunikasi yang tidak layak, tidak jujur dan tidak harmonis). j. Seks (penyelewengan). k. Perubahan situasi dan kondisi. l. Citra diri yang rendah (rasa inferior atau rendah diri sebagai laki-laki).
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
96
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
4. Upaya untuk melindungi istri dari Kekerasan Istri yang mengalami kekerasan dari
suami, namun tidak mampu melepaskan
diri dari situasi tersebut biasanya akan menggagap bahasa pengalaman kekerasan adalah pengalaman paling pahit dan traumatik bagi dirinya. Pengalaman ini dapat menyebabkan depresi, kehilangan kepercaya-an diri, kecemasan satu gangguan sejenis (Andrew, Hidbeman, Wosku dalam Bumi, 1990, Cote 1990). a. Kebanyakan perempuan menggagap bahwa kekuasaan yang dilakukan oleh suami adalah kekhilafan sesaat, apalagi setelah melakukan kekerasan, kemudian suami meminta maaf dan bersikap mesra lagi terhadap istrinya. Kekerasan suami terhadap istri cenderung mengikuti sebuah pola atau lingkaran yang hampir baku dalam berhubungan.
Setelah satu peristiwa kekerasan, pelaku seperti menyesal dan
menyayangi atau berbaikan lagi kemudian kemarahan lagi dan seterusnya. Bahkan para peneliti tentang kekerasan mengingatkan, apabila kekerasan yang pertama kali terjadi ini ditolelir maka akan tercipta pola kekerasan yang menetap, dimana kekerasan berikutnya makin tinggi, menjadi lebih sering dan mungkin juga menjadi lebih hebat (Gella dan Cornell,1985 dalam Reneetti: 165). Karena seorang istri rentan terhadap tindakan–tindakan kekerasan
yang
dilakukan oleh suami, maka bagi seorang istri harus dapat memberikan pesan penolakan secara tegas kepada suami yang melakukan kekerasan. Membiarkan dan menggagap biasa terhadap kekerasan
berarti menganjurkan dan mendorong
pelaku (suami) untuk melanggenkannya. b. Pesan tradisional istri yang lebih ditujukan pada aturan–aturan budaya mengenai bagaimana seseorang dengan tipe dan jenis kelamin tertentu harus berlaku, ikut menjadi penyebab kekerasan muncul. Pria ditampilkan dalam bermacam–macam peran sosial yan lebih luas, sedangkan wanita sering kali hanya terbatas dalam peran–peran domestik dan keluarga saja. Pria biasanya digambarkan sebagai pemimpin, wanita sebagai bawahan. Pria biasanya digambarkan sebagai orang yang lebih aktif, tegas dan berpengaruh daripada wanita. Di dalam iklan–iklan tv dan media lainya, kedua jenis kelamin juga lebih banyak di tampilakan dalam peran tradisional.
Pria digambarkan sebagai otoritas dan
menjadi pusat perhatian, wanita diperlihatkan sebagai objek seks atau dalam peran– peran rumah tangga. Sudut pandang yang berada di masyarakat seperti ini hendaknya dapat dihilangkan, bahkan jika mungkin dihapuskan mengingat sudut ini sangat merugikan perempuan (istri). Kontruksi budaya yang sudah mengakar ini perlu berbagai pihak untuk diupayakan berubah. Upaya tersebut antara lain dengan berbagai langkah pendukung seperti melakukan studi tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
97
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
dan manifestasinya baik di masyarakat, di negara maupun dalam lingkup rumah tangga. Kampanye tentang kesadaran gender dan pola relasi yang seimbang melalui dalam hubungan suami istri. Serta sosialisasi dan kampanye melalui berbagai media perlu dilakukan untuk memerangi kekerasan. Bahkan juga perlunya buku pegangan bagi laki–laki tentang bagaimana menjalani hidup tanpa kekerasan serta program khusus pasangan suami istri yang membahas tentang pola hubungan yang sehat dan baik tanpa kekerasan. c. Selama ini persoalan kekerasan terhadap istri masih dianggap bukan persoalan penting, karena masyarakat menggagap bahwa itu sebagai “kewajaran” dalam berumah tangga. Sehingga diabaikan kepentingannya untuk mendapatkan perhatian serta dari semua pihak. Oleh karena itu disarankan kepada para istri khususnya masyarakat
umumnya
perlu
mempopulerkan
fakta–faktanya.
mempopulaerkan fakta– faktanya tentang kekerasan
Dengan
pada istri diharapkan
masyarakat akan lebih objektif dalam memandang persoalan kekerasan pada istri.
PENUTUP Masalah kekerasan
dalam rumah tangga masih dianggap masalah yang sangat
sensitif oleh sebagian masyarakat karena masyarakat-masyarakat masih menganggap tabu untuk membicarakan
apa yang terjadi
di dalam kehidupan keluarganya, apalagi
membicarakan tentang perlakuan suaminya sama saja membicarakan aib dirinya sendiri. Disamping anggapan tersebut di atas, masyarakat juga meyakini beberapa nilai (value) yang kurang benar, misalnya: masyarakat masih menganggap bahwa pertengkaran dalam rumah tangga adalah kembangnya rumah tangga, atau “bumbu” dalam kehidupan rumah tangga, sehingga kekerasan dalam rumah tangga dianggap biasa dan lumrah, tidak seorangpun berhak ikut campur dengan urusan suami istri karena hal itu adalah urusan pribadi. Artinya, ada keengganan untuk membicarakan persoalan rumah tangga kepada orang lain, karena memang ada nilai-nilai yang melembagagakan kesakralan keluarga dan perkawinan. Dengan adanya
mitos-mitos
seperti itu, tentunya menyulitkan perempuan itu sendiri. Sehingga
gambaran kekuasaan yang aktual terjadi di masyarakat tidak pernah tersentuh. Berkenaan dengan mitos-mitos tersebut, maka perlu menghapuskan mitos-mitos yang merugikan perempuan (istri) terutama yang berkaitan dengan kekerasan terhadap istri. Tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh perempuan sendirian karena mitos yang berkembang sudah menjadi budaya yang mengakar. Oleh karena itu diperlukan upaya yang strategis yang menyangkut perubahan tentang mitos-mitos perempuan. Langkah-langkah strategis tersebut perlu melibatkan semua pihak baik laki-laki (para suami), masyarakat, aparat penegak hukum
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
98
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Pada akhirnya ini menjadi tugas dan pekerjaan rumah kita semua. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1997, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al Khauly, Bahay. 1998, Islam dan Persoalan Wanita Modern, Solo: Ramadhani. Aura, 2000, Perempuan Indonesia Alami Tingkat Kekerasan Sangat Tinggi, IV. 13. Minggu ke-I, Mei. Hlmn. 7. Alberta Social Service. 1995, Wife Abuse, What is it, What to do about it!, Canada: Booklet. Bhasin, Kamla. 1996, Menggugat Patriaki, Yogyakarta: Benteng Budaya. Buzawa, S. Eve & Buzawa, G. Carlo. 1996, Domestic Violence: the Criminal Justice Response. London: New Delhi; Sage Publication. Daniar, Oesman. 2001, Perempuan dan Kekerasan Domestik, Jawa Pos. 20 April. Hlmn. 4. Fahih, Mansour. et.al. 1996, Membincang Fefinisme, Surabaya: Risalah Gusti. Hariadi, Sri Ananti. 1995, Tindakan Kekerasan terhadap Wanita di Lingkungan Keluarga, dalam T. Ihromi, Kajian Wanita dalam Pembangunan Jakarta: YOI. Hayati, Nur Eli. 2000, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan, Yogyakarta: Rifka Annisa. Meiyanti, Sri. 1999, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Sinta, Ratna Dewi. 1996, Kekerasan Suami pada Istri di Masyarakat Perkotaan, Yogyakarta: Fakultas Psikologi. Tri Murty Sasih, et.al. 1997, Kekerasandalam Rumah Tangga, Yogyakarta: Rifka Annisa.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
99