WHITEPAPER JUNI 2017
MARKETING COMMUNICATION SERIES
Marcom & Budgeting Strategy
How to Re-allocate Budget to Drive Growth in 2nd Semester, 2017 By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
Pemasaran adalah suatu upaya yang terukur, dan hasilnya baru bisa dinikmati dalam jangka panjang. Tidak ada perusahaan yang melakukan upaya pemasaran, langsung detik itu juga terjadi penjualan, sebab pemasaran dan penjualan punya teknik dan tujuan yang berbeda.
Marketing atau pemasaran lebih dilakukan untuk tujuan membangun kepercayaan, kepuasan, dan loyalitas konsumen. Sedangkan Selling atau penjualan lebih bertujuan untuk mendapatkan omset saja. Namun, keduanya harus seiring sejalan, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Dalam
whitepaper edisi kali ini akan dibahas bagaimana perusahaan dapat menjalankan pemasaran yang terencana dan terukur, sedemikian tujuan Marketing dan Selling dapat dicapai sesuai harapan. Saya mulai dengan penjelasan terkait Customer Life Cycle, sebab inilah dasar kenapa orang marketing harus terus melakukan pemasaran secara kontinyu. Setiap pelanggan dalam hubungan interaksinya dengan perusahaan kita pastilah mengalami siklus serupa dengan gambar di bawah ini. Pertama kali dia membeli produk kita, detik itu kita namakan proses akuisisi berhasil dilakukan (acquisition). Seiring waktu pelanggan ini apabila mereka puas dengan layanan dan produk yang mereka beli, maka akan masuk ke fase growth (beli lebih sering, beli lebih banyak). Upaya orang marketing sangat diperlukan untuk menjaga retention agar omset yang kita peroleh dari pelanggan tersebut tetap terjaga. Dan apabila pelanggan tersebut sudah mengalami kekecewaan atau kebosanan terhadap perusahaan kita (disebut juga attrition), maka jika tidak dijaga dengan baik, maka dia akan menjadi lost customer, sedemikian upaya kita akan cukup keras untuk melakukan win-back. Biaya marketing dari akuisisi awal, ke fase
growth, ke fase retention dan win-back memiliki pola kurva yang berkebalikan dengan kurva
siklus customer life cyle. Saat omset yang kita peroleh dari pelanggan berada di puncaknya, maka saat itu biaya marketing yang kita keluarkan sedang berada di titik terendah.
Gambar 1. Customer Life Cycle Pertanyaannya, apa saja upaya marketing yang tepat untuk masing-masing siklus
customer life cycle tersebut? Whitepaper kali ini sebenarnya hanya akan membahas bagaimana mendapatkan new customer sebanyak mungkin (fase acquisition) saja. Sedangkan pembahasan terkait ketiga fase berikutnya, Anda bisa menantikan di edisi selanjutnya. Untuk kondisi saat ini yang semua serba digital, komunikasi pemasaran tetap harus dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan cara online dan offline. Minimal setiap perusahaan sekarang sudah memiliki website dan social media, namun acapkali upaya untuk mengintegrasikannya dengan kegiatan offline masih belum terlalu nampak. Pemasaran online hanya dilakukan untuk mendapat penjualan (selling) saja, sebaliknya foto-foto kegiatan marketing offline hanya di-posting saja sifatnya di website dan social media sebagai katalog kegiatan. Jadi sifatnya masih parsial, berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya strategi benang merah yang kuat. Beberapa waktu lalu saya lihat muncul iklan di TV suatu produk consumer goods (ice cream Walls) yang mulai mengintegrasikan kegiatan online dan
offline sekaligus. Yaitu promo iklan di TV mengajak para pemirsa untuk kunjungi website mereka dan mendapatkan nomor kupon yang bisa ditunjukkan untuk mendapatkan ice cream gratis saat acara roadshow di kota mereka masing-masing. Teknik ini sebenarnya tidak hanya
mengawinkan online dan offline saja, melainkan ketiga hal sekaligus, yaitu ATL (above the line) yaitu melalui iklan promo di TV, juga BTL (below the line) yaitu melalui acara roadshow di kotakota besar Indonesia, serta TTL (through the line) yaitu melalui website. Berikut adalah aspek-aspek terpenting yang wajib dimiliki perusahaan sebagai amunisi untuk melakukan beragam kegiatan marketing, baik secara online maupun offline. Seluruh kegiatan marketing haruslah tetap diperhatikan sisi kreativitas konsep acara, desain yang menarik, dan kuatnya komunikasi internal sedemikian kegiatan pemasaran menjadi efektif.
Gambar 2. Online & Offline Marketing Berikut saya berikan contoh sebuah upaya pemasaran sebuah perusahaan IT skala menengah di Amerika yang sukses mengakuisisi klien-klien baru dalam waktu singkat. Bujet pemasaran yang dikeluarkan dibagi-bagi sedemikian rupa sesuai dengan lokasi dimana target segmen berada. Bujet terbesar adalah untuk Online Advertising (iklan banner, google adword, dll) sedangkan bujet terkecil adalah untuk Print Advertising (brosur, katalog, dll). Memang tren sekarang yang terjadi adalah banyak perusahaan yang mengurangi bujet kegiatan offline untuk dialihkan ke kegiatan online.
Gambar 3. Marcom Budget IT Company Kembali ke konsep integrasi ATL, BTL, dan TTL. Masing-masing teknik memiliki tujuannya masing-masing. Apabila ATL adalah untuk mendapatkan reach (jauhnya jangkauan paparan), frequency (banyak jumlah pendengar/pemirsa), brand awareness (ingatan akan merek). Sedangkan BTL adalah untuk mendapatkan lead (database calon pelanggan baru) dan mendapatkan omset penjualan. Maka TTL adalah upaya untuk mengintegrasikannya, supaya setiap upaya marketing yang kita lakukan bisa terus diingat dan dilihat terus oleh pelanggan.
TTL
Gambar 4. Above the Line & Below the Line Jika perusahaan kita mampu mengintegrasikan ATL, BTL, dan TTL sekaligus, maka dampak program pemasaran akan dirasakan secara signifikan dan bertahan lama, karena
amplifier effect akan terjadi. Bukan rumus 1 + 1 = 2 yang terjadi, melainkan 1 + 1 = ∞ (infinity). Bayangkan saja skenario seperti ini, suatu perusahaan membuat sebuah iklan promosi di Baliho / ATL untuk mensukseskan acara roadshow / BTL-nya, lalu dokumentasi dalam acara tersebut diedit dengan cantik untuk bisa menjadi konten promosi di TV / ATL untuk attract pengunjung lagi pada acara roadshow berikutnya dan juga iklan tersebut dipasang di Youtube / TTL agar
viral marketing terjadi.
Apa yang terjadi kemudian? Jika konsep acara BTL tersebut memang menarik, maka acara serupa akan dinantikan lagi berikutnya dan pastinya akan menyedot jumlah pengunjung yang lebih banyak karena netizen yang tahu acara tersebut sudah di-engage dengan baik (supaya berikan comment, like, subscribe). Tentu saja konsep ini masih sangat cocok dengan target segmen yang usianya di antara 20-40 tahun oleh sebab masih stay connected dengan
internet setiap harinya, dan masih suka akan media konvensional (TV, koran, radio). Berbeda dengan generasi milenial yang usianya masih di bawah 20 tahun, mereka cenderung hanya akses media online saja, begitupula dengan generasi Gen X (kelahiran 1960 – 1975) yang cenderung hanya suka mengakses media konvensional saja.
Gambar 5. Integrasi ATL – BTL - TTL Contoh integrasi ATL – BTL – TTL di atas kami usulkan kepada salah satu klien kami yang bergerak di bidang convenyor belt dimana fokus target segmen yang kami mau garap adalah anak-anak dari pemilik pabrik yang pastinya akan meneruskan usaha orangtuanya saat mereka lulus kuliah nanti. Kenapa kami memilih anak pemilik pabrik? Karena mereka ada di usia sekitar 20 tahunan, pastinya mereka suka mem-viral-kan suatu kejadian yang unik di dunia nyata, untuk di-posting di online. Kenapa kami memilih pemilik pabrik? Karena kebutuhan convenyor belt terbesar adalah pada industri fabrikasi yang proses produksinya berjalan dari satu workstation ke workstation lainnya (dari satu mesin ke mesin lainnya).
Kami mencoba usulkan sebuah acara BTL berupa lomba menaiki conveyor belt yang sedang berjalan dengan cara berkelompok (saling gendong/pikul) di sebuah Mall kelas atas di Surabaya. Yang ingin kami tampilkan adalah kekuatan dari conveyor belt tersebut tapi dengan cara yang fun dan challenging. Kami berharap bahwa acara lomba sekaligus pameran ini bisa menarik perhatian pengunjung Mall dan bisa mendapat database para pemilik pabrik yang mungkin sedang liburan dengan keluarganya di Mall. Konsep marketing yang sekaligus dikombinasi dengan permainan ini disebut juga sebagai gamification. Jika acara ini menarik, tentunya pasti akan dibantu viral-kan oleh para peserta lomba di social media mereka masingmasing, dan nama brand klien juga akan secara tidak langsung ikut di-viral-kan juga. Untuk mewujudkan rencana integrasi ATL – BTL – TTL ini, harus tetap diperhatikan untuk tiap fase customer journey-nya. Setidaknya ada 3 fase customer journey untuk mengakuisisi pelanggan baru, yaitu: 1. Pre Sales, yaitu fase membangun ARD (awareness, retention, distortion) untuk meningkatkan purchase intention. a. Awareness; agar mereka yang belum tahu akhirnya tahu bahwa perusahaan kita eksis. b. Retention; agar mereka yang sudah pernah beli di perusahaan kita agar mau beli terus. c. Distortion; agar pelanggan pesaing agar mau berpindah ke perusahaan kita. 2. Selling Process, yaitu fase meningkatkan kemungkinan decision making agar calon
customer cepat ambil action untuk beli produk kita. 3. After Sales, yaitu fase agar mereka yang sudah mengambil keputusan beli terus bisa menerima benefit berkelanjutan dan mau melakukan repeat buying di kemudian hari. Untuk menjalankan fase Pre-Sales, kami usulkan menggunakan media konvensional radio dan social media menggunakan jasa selebgram kegemaran anak muda untuk menginformasikan adanya acara pameran sekaligus lomba di sebuah Mall eksklusif. Selain itu, database para pelanggan lama bisa dikontak agar mau meramaikan acara tersebut karena ada promosi penjualan yang sifatnya terbatas pada hari H yang mereka bisa dapatkan. Dalam fase
Selling Process, semua tetap difokuskan kepada acara lomba. Karena unik, kemungkinan besar beberapa reporter/wartawan media ATL akan hadir apabila mereka dikirimkan press release
sebelumnya, sebab pada dasarnya mereka mencari berita yang segar dan fun untuk koran mereka. Sedangkan pada BTL, promosi terbatas akan diberikan apabila ada pemilik pabrik yang saat itu juga hadir untuk menanyakan lebih lanjut terkait keunggulan produknya. Secara TTL, kita minta anak pemilik pabrik tersebut untuk bersedia mem-viral-kan acara tersebut agar orangtuanya mendapat promosi yang lebih besar. Pada fase After Sales, karena sudah terkumpul cukup banyak foto dan liputan media, maka kita akan membuat iklan ucapan terimakasih atas suksesnya acara tersebut di media koran, sekaligus memasukkannya ke dalam katalog company profile dan brosur versi cetak yang akan menjadi amunisi untuk para sales agar lebih mudah menawarkan produknya ke calon pelanggan baru (brand trust nya meningkat). Selain itu, dalam teknik TTL berikutnya karena kita sudah punya network baru, maka ucapan selamat ulang tahun dan informasi promo lainnya untuk keep in touch bisa terus dilakukan dengan anak pemilik pabrik khususnya. Kuncinya mengajak mereka untuk mau terus mem-viral-kan acara unik yang barusan diselenggarakan.
Gambar 6. Return on Marketing Investment Tentunya dalam menyelenggarakan konsep integrasi ATL – BTL – TTL di atas tidaklah sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Resiko gagal dengan biaya besar yang dianggarkan harus tetap bisa dipertanggung-jawabkan. Oleh sebab itu, harus dipersiapkan perhitungan ROMI nya. ROMI adalah sebuah singkatan dari Return on Marketing Investment, sebuah pendekatan matematis agar kita bisa tahu apakah program komunikasi pemasaran yang kita lakukan apakah sudah tepat sasaran ataukah belum. Paling mudah adalah dengan melihat before-after, yaitu berapa rata-rata omset penjualan sebelum integrasi ATL – BTL – TTL dilakukan, dan berapa peningkatan omset yang dihasilkan setelah acara selesai dilakukan. Incremental revenue atau peningkatan omset ini kemudian dibagi dengan total biaya marketing yang barusan dikeluarkan, maka kita akan peroleh perhitungan ROMI nya. Sebagai contoh, Andaikan rata-rata omset penjualan kita
adalah berada pada 100 juta per bulan, setelah kita keluarkan bujet marketing sebanyak 30 juta, maka dalam kurun beberapa bulan ke depan rata-rata omset penjualan kita sekarang berada pada 250 juta per bulan, maka nilai ROMI = (250-100) / 30 = 5. Nilai ROMI yang baik adalah sekitar 10 – 20, artinya setiap rupiah yang kita keluarkan untuk bujet marketing, maka akan ada peningkatan omset penjualan sekitar 10-20 rupiah. Namun perhitungan ROMI ini pun harus didampingi dengan alat analisis marketing lainnya, sebab bisa jadi setelah bujet marketing dikeluarkan, ternyata omset penjualan tidak kunjung naik dalam waktu singkat. Di sisi lain, traffic visitor di website kita ternyata bertambah pesat, dan bahkan diakses dari kota-kota lain di Indonesia. Jika kita terus melakukan hal ini secara konsisten, maka kemungkinan besar beberapa minggu/bulan kemudian akan ada pelanggan dari luar kota yang datang mencari produk kita. Artinya, market share kita bisa bertambah luas dan punya dampak jangka panjang yang baik. Oleh sebab itu, perhitungan ROMI juga harus diimbangi dengan perhitungan aspek marketing lainnya seperti pada gambar di bawah ini.
Output marketing khususnya terkait TTL bisa dipertimbangkan bukan dari sisi kenaikan omset penjualan saja, melainkan juga dari aspek RACE (reach, act, convert, engage).
Gambar 7. Marcom Ouput TTL – RACE
Reach yang dimaksud adalah bagaimana perusahaan mendapatkan peningkatan jumlah visitor di website, lalu juga berhasil menurunkan bounce rate (tingkat orang kesasar masuk ke
website orang lain yang tidak sesuai harapannya), dan meningkatkan jumlah netizen yang melakukan search katakunci di Google sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan di SEO. Sedangkan Act yang dimaksud adalah jumlah interaksi yang terjadi antara perusahaan dengan calon pelanggan, baik interaksi secara tidak langsung (via email/chat), maupun secara langsung (telephone / face to face). Perlu ditinjau apakah ada kenaikan persentase konversi
leads atau tidak setiap bulannya. Konversi leads maksudnya adalah dari sekian ribu visitor di website berapa jumlah orang yang mau berinteraksi setiap bulannya. Misalkan dari 3000 visitor tiap bulannya di website, ternyata hanya 60 orang saja yang kontak ke perusahaan (chat, email,
telephone, dll), maka konversi leads = 60/3000 * 100% = 2% saja. Convert yang dimaksud adalah bagaimana perusahaan dapat meningkatkan omset penjualan dan profit setelah melakukan kampanye marketing integrasi ATL – BTL – TTL. Misalnya jika dahulu ada 10 orang calon pelanggan yang tanya produk kita dalam sebulan, lalu dari 10 orang itu hanya 1 orang saja yang ambil barang (conversion rate 1/10 *100% = 10%), dan sekarang bisa ada 20 orang yang tanya lalu 4 orang yang ambil barang, maka tingkat konversinya mengalami peningkatan (4/20 *100% = 20%). Selain itu, juga bisa diamati apakah ada kenaikan rata-rata omset per pelanggannya per sekali pesan. Aspek terakhir yang bisa dijadikan acuan marketing output adalah Engage. Yang dimaksud engage disini adalah interaksi perusahaan dengan pelanggan aktif yang ada. Bisa dilihat dari jumlah pelanggan aktif dibagi dengan total database pelanggan. Juga bisa dilihat dari berapa nilai omset yang diberikan oleh pelanggan loyal dibanding dengan total seluruh transaksi yang ada. Biasanya Prinsip Pareto akan berlaku, yaitu 80% jumlah pelanggan hanya menyumbangkan 20% omset, sebaliknya, 20% jumlah pelanggan menyumbangkan 80% omset penjualan. Selain itu bisa dilihat juga seberapa aktif pelanggan loyal menyebutkan brand perusahaan kita di social media mereka. Hal ini bisa diukur dengan menggunakan tools IT, seperti Hubspot, CRM, dll untuk melihat level advokasi mereka untuk kita dibandingkan para pesaing lainnya. Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “How to Reallocate
Marcom Budget to Drive Growth”. Bahwa setiap bisnis pada dasarnya bisa terus berinovasi untuk melakukan integrasi program pemasaran ATL – BTL – dan TTL sekaligus, sedemikian hasilnya bisa signifikan dan berdampak jangka panjang. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai
aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.