Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah menambah basis data mengenai E.sakazakii , khususnya untuk kondisi Indonesia yang berguna dalam meningkatkan jaminan keamanan produk makanan bayi.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah, E. sakazakii dapat ditemukan di dalam susu formula dan makanan bayi dan kemungkinan memiliki karakteristik genotip berdasarkan gen 16S rRNA yang homolog dengan isolat lokal E.sakazakii atau isolat E.sakazakii yang terdapat pada GenBank, serta memilki ketahanan yang bervariasi pada kondisi suhu rekonstitusi tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA Enterobacter sakazakii Secara biologis E. sakazakii merupakan bakteri yang bersifat motil, tidak membentuk spora, Gram negatif fakultatif anaerob. E.sakazakii yang diamati dengan mikroskop elektron dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. E.sakazakii , bar= 1μm (http://www.magma.ca/~scimat/index.html)
3
Pertama kali dikenal sebagai ‘Enterobacter cloacae berpigmen kuning’ hingga tahun 1980 dimana telah diidentifikasi sebagai spesies baru dan diberi nama Enterobacter sakazakii oleh Farmer, et al. (1980) sebagai penghargaan terhadap bakteriologis dari Jepang, Riichi Sakazaki. Akhir-akhir ini E. sakazakii ditemukan sebagai
kontaminan yang
terkadang terdapat pada susu bubuk formula untuk bayi yang menyebabkan neonatal
meningitis,
bacterimia,
necrotizing
enterocolitis
(NEC),
dan
meningoencephalitis yang mengancam hidup bayi (Muytjens & Kollee, 1990). Meskipun baru-baru ini saja mendapat perhatian dari industri dan masyarakat dari jumlah kejadian dan produk yang di-recall, namun kasus yang menyebabkan kematian pada bayi ini telah diutarakan sejak tahun 1958 oleh Urmenyi & Franklin (1961). ICMSF (International Commision for Microbiological Specification for Foods (2002) juga menggolongkan organisme ini sebagai mikroba yang sangat berbahaya untuk populasi yang terbatas, mengancam kehidupan atau substansi kronis lanjutan atau berdurasi lama. Organisme ini dinyatakan mempunyai peringkat yang sama sebagaimana patogen pada makanan dan air yang sudah cukup dikenal seperti Listeria monocytegenes, Clostridium botulinum tipe A dan tipe B, serta Cryptosporodium parvum. Secara fenotipik bakteri ini mempunyai kemiripan dengan E.cloacae, sehingga Farmer et al. 1980 menempatkan bakteri ini ke dalam genus Enterobacter. Secara umum organisme Enterobacter bertanggung jawab pada sekitar 50% infeksi nosocomial yang hampir semuanya terjadi pada pasien yang mengalami immunocompromised (Leclerc et al. 2001). Farmer et al. (1980) melaporkan studi hibridisasi DNA-DNA dan menyimpulkan
bahwa
perbandingan
antara
E.sakazakii
dengan
spesies
Enterobacer dan Citrobacter memiliki homologi sebesar 41% dengan C.freundii dan 51% dengan E.cloacae. Sementara Iversen et al. (2004) juga melakukan identifikasi filogeni dari E.sakazakii dimana dilakukan studi heterogenitas taksonomi dengan menggunakan 16S ribosomal RNA serta membandingkannya dengan spesies-spesies Enterobacter dan Citrobacter. Hasil identifikasi yang diperoleh yaitu E.sakazakii mempunyai 97.8% kemiripan dengan C. koseri dan 97.0% kemiripan dengan E. cloacae.
4
Karakteristik Pertumbuhan dan Kematian E.sakazakii E.sakazakii tumbuh pada media yang digunakan untuk mengisolasi mikroba enterik seperti MacConkey, Eosin Methylene Blue, dan Deoxycholate Agar. Pada agar cawan bakteri ini dapat membentuk dua tipe koloni yaitu glossy (mengkilat) dan matt (tidak mengkilat), tergantung pada media yang digunakan dan galurnya. Pertumbuhan pada Tryptone Soya Agar pada 25oC selama 48 jam dapat memproduksi pigmen kuning yang tidak dapat berdifusi. Bakteri ini memproduksi reaksi ekstraseluler DNase yang tertunda pada Toluidine Blue Agar (36oC, 7 hari). E.sakazakii bersifat α-glukosidase positif yang dapat terdeteksi dengan menggunakan 4-nitrophenyl-α-D-glucopyranoside setelah 4 jam pada 36oC. Mikroba ini memproduksi D-lactic acid dan bersifat mucate negatif. Hampir seluruh isolat tidak memfermentasi sorbitol, dan dapat tumbuh pada kisaran suhu yang lebar (6 – 47oC). Pada suhu ruang atau 21oC bakteri ini mempunyai waktu penggandaan (doubling time) sekitar 75 menit pada susu formula bayi yang direkonstitusi (Iversen et al. 2003). Skladal et al. (1993) menemukan bahwa susu UHT dalam karton yang diinokulasi dengan 10-15 sel E.sakazakii / 500 ml dan diinkubasi pada 30oC sangat mendukung pertumbuhan bakteri ini, dan susu tersebut menjadi asam dikarenakan produksi D-lactate. Waktu penggandaan pada suhu rendah kira-kira 10 jam pada susu formula dan kemudian dapat tumbuh secara lambat di bawah kondisi refrigerasi. Batasan dalam pertumbuhannya yang dikarenakan aktivitas air (aw) dan pH belum diketahui (Iversen & Forsythe, 2003). Nazarowec-White (1997) dan Farber (1999) menerangkan bahwa mikroba pada susu formula memiliki waktu reduksi desimal dan nilai z tertentu yaitu nilai D52 adalah 54,8 menit dan D60 nya adalah 2,5 menit. Data kemudian diekstrapolasi pada 72oC hingga memberikan nilai yang mengindikasikan bahwa organisme ini bersifat sangat toleran terhadap panas (nilai z 5,82oC) dan memungkinkannya untuk bertahan pada kondisi pengeringan selama pengolahan susu formula. Namun, beberapa penelitian (Nazarowec-White & Farber 1999; Iversen et al. 2003) telah menunjukkan bahwa organisme ini tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan L.monocytogenes.
5
E.sakazakii memproduksi kapsul heteropolisakarida yang mengandung 29-32% glucuronic acid, 23-30% D-glukosa, 19-24% D-galaktosa, 13-22% Dfukosa, dan 0-8% mannosa (Harris & Oriel, 1989). Produksi optimalnya adalah di bawah kondisi pertumbuhan yang terbatas nitrogennya (rasio C/N 20:1) (ScheepeLeberkϋhne & Wagner, 1986). Kapsul terlibat dalam kemampuan bakteri ini untuk bertahan pada masa simpan susu formula yang panjang (24 bulan). Kapsul juga menjadikan bakteri ini dapat menempel pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan desinfektan (Harris & Oriel, 1989). Iradiasi dengan sinar gamma dengan dosis di atas 1 kGy untuk susu formula yang telah direkonstitusi dan dosis di atas 9kGy untuk susu formula bubuk dapat membunuh E.sakazakii dengan nilai D10 berkisar antara 0.21 hingga 0.29 kGy, 0.24 hingga 0.37 kGy, dan 1.06 hingga 1.71 kGy berturut-turut pada Brain Hearth Infusion Broth, RIMF, dan DIMF (Osaili et al. 2007). Penelitian yang serupa dilakukan oleh Lee et al. (2007) yang menyatakan bahwa nilai D10 dari E.sakazakii yang diberi iradiasi sinar gamma adalah 0.22 – 0.27 kGy pada broth dan 0.76 kGy pada susu bubuk formula. Lee et al. (2007) juga menyatakan bahwa iradiasi pada 5.0 kGy dapat mengeliminasi E.sakazakii yang diinokulasi sebesar 8.0 hingga 9.0 log CFU/g pada susu bubuk formula. Metode pulsed electric field (PEF) dengan intensitas sebesar 40 kV/cm pada paparan selama 360 µs dapat mereduksi E.sakazakii pada BPW maksimum sebesar 2.7 siklus log CFU/ml, dan paparan yang sama pada susu formula bubuk dapat mereduksi E.sakazakii sebesar 1.2 log CFU/ml (Perez et al. 2007).
Sumber E.sakazakii Meskipun sumber utama E.sakazakii yang terkait pada kasus-kasus infeksi pada bayi yang baru dilahirkan adalah dari makanan bayi dan susu formula, namun beberapa peneliti juga telah mengisolasinya dari berbagai sumber seperti lingkungan dan makanan lain. Karena organisme ini bukan merupakan bagian dari flora normal manusia dan hewan, maka dimungkinkan bahwa tanah, air, dan sayur-sayuran merupakan sumber kontaminasinya pada makanan. Sebagai tambahan, tikus dan lalat dapat juga menjadi sumber kontaminasi. Meskipun
6
organisme ini terdapat secara luas namun Muytjens & Kollee (1990) tidak berhasil mengisolasi organisme ini dari susu sapi mentah, ternak, tikus, padipadian, kotoran burung, hewan peliharaan, permukaan air, tanah, lumpur, atau akar kayu (Iversen & Forsythe, 2003). Organisme ini dapat diisolasi dari berbagai makanan termasuk keju, roti, tahu, teh asam, daging yang digaramkan (curing), minced beef, dan sosis. E.sakazakii juga ditemukan pada khamir roti dikarenakan organisme ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorgum (Gassem 1999). Organisme ini juga ditemukan pada biji padi (Cottyn et al. 2001). Sebagian besar wabah E.sakazakii yang terjadi dilaporkan berasal dari susu formula yang terkontaminasi, karena susu formula tidak dirancang sebagai produk dengan hasil akhir steril. Muytjens et al. (1988) menemukan bahwa 52.2% dari 141 sampel susu formula dari 35 negara telah terkontaminasi dengan Enterobacteriaceae, dimana 25% mengandung E.agglomerans, 21% mengandung E.cloacae, dan 14% mengandung E.sakazakii. E.sakazakii juga berhasil diisolasi dari produk susu formula bayi yang tidak terpakai dari 13 negara, dengan level kontaminasi 0.36 hingga 66.0 CFU/ 100 g. Nilai tersebut serupa dengan nilai 8 sel /100g yang dilaporkan oleh Simmons et al. (1989) untuk susu bubuk formula yang telah terbuka kalengnya yang digunakan selama waktu terjadinya wabah pada ruang intensive care unit (ICU) untuk bayi yang baru lahir. NazarowecWhite & Farber (1997) melakukan pengujian terhadap 120 kaleng susu formula dari lima perusahaan yang berbeda di Kanada dan menemukan bahwa 6.7% mengandung E.sakazakii. Jumlah E.sakazakii pada sampel yang positif umumnya adalah 0.36 CFU /100 g. Heuvelink et al. (2001) menggunakan uji present/absence dalam 25 g susu bubuk, mendeteksi E.sakazakii pada 1 dari 40 susu bubuk formula untuk bayi dan 7 dari 170 susu bubuk. Estuningsih et al. (2006) melaporkan bahwa dari 74 sampel makanan bayi di Indonesia dan Malaysia, 35 sampel (47%) positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10 sampel (13,5%) positif mengandung E.sakazakii.
7
Penyakit karena E.sakazakii Jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh E.sakazakii umumnya adalah meningitis, sepsis, seizure, bacterimia, brain cyst (Lai et al. 2001). Meningitis adalah suatu infeksi dan inflamasi pada meninges (lapisan penutup otak), sepsis adalah beredarnya bakteri pembentuk nanah atau toksinnya mengikuti sirkulasi darah yang dapat berada dalam darah atau jaringan, seizure adalah kejang, sedangkan brain cyst adalah munculnya kista pada otak. Van Acker et al.(2001) melaporkan bahwa E.sakazakii dapat menyebabkan penyakit necrotizing enterocolitis (NEC).
Dosis Infeksi E.sakazakii Meskipun tidak ada bukti secara epidemiologis tentang dosis infeksinya, Iversen & Forsythe (2003) memperkirakan 1000 sel sebagai konsentrasi awal E.sakazakii yang dapat menyebabkan infeksi. Hal ini cukup beralasan karena sama dengan dosis infeksi pada Neiserria meningitidis, E.coli O157, dan L.monocytogenes 4b. Dosis infeksi E.sakazakii dapat bervariasi bergantung pada respon bakteri ini terhadap stres, kondisi kesehatan inang (sehat atau bersifat immuno-compromised), serta bergantung pada komponen-komponen dalam makanan (Iversen & Forsythe, 2003). Pada kasus bayi yang baru lahir yang diberikan susu formula, bila dilihat dari sisi mikrobanya, E.sakazakii telah mengalami kondisi stres selama pengeringan semprot (spray drying) dan penyimpanan. Bila dilihat dari sisi inangnya, dalam hal ini bayi yang baru lahir, bayi merupakan golongan individu yang memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah karena bayi yang baru lahir belum mampu membentuk antibodi dalam dirinya hingga berusia 2 bulan, sehingga bayi yang baru lahir dapat dikatakan bersifat immuno-compromised. Nazarowec-White & Farber (1997) melaporkan bahwa E.sakazakii dapat menimbulkan infeksi pada mencit bila diinokulasikan dengan bakteri ini secara oral sebesar 105 CFU dan secara intraperitonial sebanyak 103 CFU. Muytjens et al. (1988); Nazarowec-White & Farber, (1997) menyatakan bahwa laju pertumbuhan organisme ini dapat digunakan untuk menghitung waktu
8
yang diperlukan oleh organisme ini untuk menggandakan diri hingga 14 generasi pada dosis infeksi (1000 sel) pada kondisi inkubasi yang berbeda-beda yang mana dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Waktu yang dibutuhkan pada dosis infeksi (1000 sel) untuk dapat diraih pada susu formula yang direkonstitusi Suhu (oC) 10
Waktu penggandaan (jam) 13.6
Waktu yang dibutuhkan untuk meraih dosis infeksi (14 generasi)* 7.9 hari
18
2.9
1.7 hari
21
1.3
17.9 jam
37
0.5
7 jam
* Penghitungan mengasumsikan rata-rata E.sakazakii pada susu bubuk formula untuk bayi adalah 0.36 sel /100 g dan untuk sekali makan adalah 18 g (direkonstitusi menjadi 115 ml) dengan tidak ada yang mati selama persiapan dan tidak ada yang bertambah selama dalam lambung. Waktu lag pada 10oC adalah 2 jam, untuk semua suhu lainnya waktu lag tidak signifikan. Dosis infeksi diasumsikan berasal dari 1000 sel E.sakazakii yang ditelan sebagai dosis tunggal dan tidak pada paparan yang terakumulasi. Namun perlu dipertimbangkan bahwa bayi makan selama 4 hingga 6 kali pada periode 24 jam.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa peluang tercapainya dosis infeksi E.sakazakii rendah, karena diperlukan waku yang relatif lama, kematian E.sakazakii selama persiapan akibat penambahan air panas, dan tidak terjadi penggandaan bakteri dalam lambung. Sebagai tambahan, penghitungan ini mengasumsikan bahwa meskipun bayi makan sebanyak 4 hingga 6 kali selama periode 24 jam, dosis infeksi diperoleh pada sekali makan, tidak dalam bentuk kumulatif (Forsythe, 2002). Meskipun keterbatasan pada penghitungan ini merupakan bukti bahwa susu formula pada level normal yang rendah (≤ 0.36 sel E.sakazakii /100 g) kemungkinan tidak menyebabkan infeksi jika tidak terdapat penyimpangan suhu atau kontaminasi melalui preparasi yang bersanitasi buruk seperti blender yang terkontaminasi atau sendok pencampur. Tingkat sanitasi yang buruk merupakan salah satu sumber yang memungkinkan dari terjadinya wabah (Block et al. 1988, Clark et al. 1990).
Faktor Virulensi E.sakazaki Laporan mengenai virulensi E.sakazakii meyebutkan bahwa seluruh galur E.sakazakii mampu menempel dan menginvasi sel epitelial manusia Caco-2 serta sel endotelial pada otak tikus (rat rain capillary endothelial cells) dimana
9
kemampuan penempelan Esakazakii lebih besar daripada
E.coli galur K1
(NMEC) yang bisa menyebabkan meningitis pada bayi yang baru lahir. Selain itu, berbeda dengan E.cloacae dan NMEC, E.sakazakii mampu memperahankan diri dari serangan makrofage (Ownsend et al. 2008). Manget et al.(2006) menyebutkan bahwa tahap-tahap patogenisitas dari E.sakazakii ini meliputi kesuksesan bakteri ini dalam kolonisasi, keberhasilan dalam menimbulkan penyakit melalui penempelan pada permukaan sel inang seperti membran mukosa, lambung, epitelial usus, dan jaringan endotelial pada otak. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa penempelan E.sakazakii pada sel epitelial dan endotelial bukan berdasarkan fimbrae bakteri ini.
Sifat Resistensi E.sakazakii Terhadap Antibiotik Farmer et al. (1980) menemukan bahwa seluruh galur E.sakazakii rentan terhadap gentamycin, kanamycin, chloramphenicol, dan amphicilin; lebih dari 87% E.sakazakii bersifat rentan terhadap nalidixic acid, streptomycin, tetracycline, dan carbenicilin; 71 dan 67% bersifat rentan terhadap sulfadiazine, dan colistin; hanya 13% yang bersifat rentan terhadap cephalothin. Seluruh galur bersifat resisten terhadap penicillin; hanya 1 dari lebih dari 100 galur yang diuji menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang berganda. Muytjens & van der Ros-van der Repe (1986) menemukan bahwa MIC untuk 90% dari 195 galur E.sakazakii yang diuji terhadap 25 antibiotik sedikitnya setengah dari E.cloacae. Namun terjadi juga resistensi terhadap cephalothine dan sulfamethoxazole. Nazarowec-White & Farber (1999) menemukan bahwa tipe galur (ATCC-29544), 5 dari 8 sampel makanan dan 8 dari 9 galur dari sampel klinis hanya resisten terhadap sulphisoxazole dan cephalothin. Galur klinis lainnya ditunjukkan bersifat rentan terhadap seluruh antibiotik sedangkan tiga dari isolat makanan juga bersifat resistan terhadap chloramphenicol. Dua dari sampel makanan
yang resisten
terhadap chloramphenicol tersebut juga mempunyai sifat resisten terhadap tetracyclin, serta satu dari sampel makanan
tersebut juga resisten terhadap
ampicillin. Kuzina et al. (2001) menemukan bahwa E.sakazakii yang diisolasi dari isi perut lalat buah Meksiko bersifat resisten terhadap ampicillin, cephalothin, erythromycin, novobiocin, dan penicillin. Lai et al. (2001) menemukan bahwa
10
seluruh isolat E.sakazakii bersifat resisten terhadap ampicillin,cefazoline, dan spektrum yang luas dari penicillin,
namun bersifat rentan terhadap
aminoglycoside dan trimetophrim-sulfamethoxazole, dimana sensitivitas terhadap generasi ketiga dari cephalosporine dan quinolone bervariasi. Dennison & Morris (2002) melaporkan bahwa infeksi E.sakazakii resisten terhadap berbagai antibiotik, termasuk ampicillin, gentamycin, dan cefotazamine. Pada studi resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang dilakukan oleh Burgos & Varela (2002), ditemukan bahwa DNA genomik dari E.sakazakii mengandung operon yang resisten terhadap berbagai antibiotik (multiple antibiotic resistance=mar). Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat dikatakan bahwa E.sakazakii mempunyai sifat resistensi yang berbeda-beda terhadap beberapa jenis antibiotik.
Media Isolasi E.sakazakii FDA (2002) telah mengembangkan media serta reagen-reagen yang digunakan dalam isolasi E.sakazakii. Pada metode ini dibutuhkan beberapa tahapan dalam pengisolasian E.sakazakii antara lain susu formula bubuk perlu direkonstitusi terlebih dahulu dengan air destilata steril selama 24 jam pada 6oC, diikuti dengan tahap pengkayaan pada media Enterobacteriaceae enrichment (EE) broth selama 24 jam pada 36oC, dilanjutkan dengan plating permukaan dan penggoresan pada Violet Red Bile Glucose (VRBG) Agar dan diinkubasi selama 24 jam pada 36oC, koloni positif yang tumbuh diseleksi kembali pada media Tryptic Soy Agar (TSA) dan diinkubasi selama 48 hingga 72 jam pada 25oC. Koloni positif E.sakazakii pada TSA yang berpigmen kuning kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan sistem identifikasi biokimia, API 20E yang memerlukan tambahan waktu selama 18 hingga 24 jam. EE broth dan VRBG Agar mengandung bahan-bahan yang menjadikannya sebagai media selektif yaitu oxgall dan brilliant green pada EE broth, dan bile salt no.3 dan kristal violet pada VRBG) yang mampu mencegah resusitasi dari sel E.sakazakii yang mengalami luka. Oh & Kang (2004) menyatakan bahwa media yang dikemukakan oleh FDA memerlukan beberapa pengembangan. Oh & Kang (2004) juga
11
mengemukakan beberapa kelemahan metode FDA yaitu pada VRBG dan TSA. Media VRBG dinyatakan kurang selektif karena mikroba lain dapat juga tumbuh dan menghasilkan koloni yang berwarna ungu juga yang dikelilingi dengan halo berwarna ungu yang diakibatkan oleh presipitasi garam empedu, sehingga agak sulit untuk membedakan E.sakazakii dari bakteri lainnya. Media TSA juga memiliki beberapa kekurangan yaitu waktu inkubasi yang diperlukan terlalu lama yaitu hingga 72 jam, selain itu terdapat spesies Enterobacteriaceae yang berpigmen kuning lainnya selain E.sakazakii yaitu E. hermanii dan E. vulneris yang dapat menimbulkan kerancuan dalam pendeteksiannya. Sehingga Oh & Kang (2004) mengembangkan media isolasi E.sakazakii yang selektif dan berdasarkan sifat fluorogenik yaitu Oh & Kang (OK) Agar. Media ini dibuat berdasarkan sifat fluorogenik dari senyawa fluorogen yang juga merupakan substrat dari enzim α-glukosidase yang diproduksi secara spesifik oleh E.sakazakii yaitu 4-methyl-umbelliferyl α-D-glucoside. Bile salt no.3 yang terdapat dalam media ini digunakan untuk mengisolasi bakteri enterik, ferric citrate dan sodium tiosulfat digunakan untuk mengisolasi Enterobacteriaceae yang mampu memproduksi H2S. Senyawa fluorogen tersebut juga terdapat pada media yang dikembangkan oleh Leuschner et al. (2003) yang mengembangkan media non selektif, Leuschner-Baird-Donald-Cox (LBDC) Agar untuk deteksi awal E.sakazakii pada susu formula. Iversen & Forsythe (2004) mengembangkan media chromogenic selektif untuk mendeteksi E.sakazakii pada susu formula yaitu Druggan-Forsythe-Iversen (DFI) agar. Bahan selektif yang terdapat pada media ini adalah suatu senyawa chromogen yaitu
4-chloro-indolyl-α-D-glucopyranoside. Senyawa ini akan
berikatan dengan enzim α-glukosidase pada E.sakazakii yang akan membentuk koloni berwarna hijau-biru. Selain itu pada media ini terdapat sodium desoxycholate yang bersama-sama dengan sodium thiosulphate dan ferric ammonium citrate yang bertindak sebagai senyawa selektif. Iversen & Forsythe (2004) menyatakan bahwa media chromogenic yang ditemukannya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode konvensional yang dikemukakan oleh FDA. Iversen & Forsythe (2004) menyatakan bahwa dengan menggunakan media DFI maka hasil isolasi dapat diperoleh 2 hari lebih
12
awal dibandingkan dengan metode konvensional. Di samping itu, sebanyak 67 sampel positif E.sakazakii dapat terisolasi dengan menggunakan DFI, sedangkan dengan menggunakan metode konvensional, dari sampel-sampel
yang sama
hanya 19 sampel yang terdeteksi positif E.sakazakii. Isolasi bakteri ini dengan menggunakan metode konvensional mengalami kesalahan positif hingga 72.9%, dibandingkan dengan apabila diisolasi dengan DFI, yaitu hanya sekitar 38.5%. Tidak ada sampel positif pada metode konvensional yang terdeteksi negatif pada media DFI. Restaino (2004) juga telah mengembangkan media chromogenic untuk isolasi E.sakazakii. Medium ini mengandung suatu senyawa chromogen yang menyebabkan koloni positif E.sakazakii berwarna biru-hitam hingga biru-abuabu, sementara bakteri enterik lainnya menunjukkan warna hijau, kuning, atau koloni yang bening. Media ini juga mengandung pewarna tertentu dan garam bile sebagai senyawa penghambat dan selektif. Lehner et al. (2006) membandingkan dua media chromogenic yaitu Enterobacter sakazakii Isolation Agar (ESIA) dengan DFI, dimana dapat disimpulkan bahwa DFI lebih baik dari pada ESIA karena terdapat salah satu galur yang pada ESIA tidak menunjukkan koloni tipikal, sedangkan pada DFI terlihat koloni tipikal berwarna biru-hijau. Gurtler & Beuchat (2005) membandingkan performa antara beberapa media isolasi E.sakazakii dalam penyembuhan setelah terjadinya stres pada bakteri ini. Masing-masing media mempunyai performa dalam penyembuhan sel luka yang berbeda-beda tergantung pada kondisi stres yang dialami. Masih dalam publikasi yang sama, dinyatakan bahwa dilihat dari kemudahan pendeteksian koloni E.sakazakii yang berdasarkan karakteristik chromogenic/fluorogenic maka media yang baik digunakan adalah RF agar, DFI, LBDC, dan OK. Namun karena rata-rata pada kondisi stres tersebut media DFI merupakan media yang paling sedikit menyembuhkan sel yang telah mengalami stres, maka media DFI dianggap paling baik untuk melihat ketahanan sel-sel E.sakazakii yang telah mengalami kondisi stres atau kondisi pengolahan dan penanganan lanjut susu formula yang akan dilakukan pada percobaan ini.
13
Gen Gen merupakan bagian dari DNA yang membawa informasi genetik atau menentukan sifat suatu organisme. Gen adalah fragmen DNA atau kromosom yang menyandi satu rantai polipeptida fungsional atau molekul RNA. Enzim RNA polimerase akan membaca basa-basa yang terdapat pada ruas DNA dan untuk setiap basa akan dicari padanan nukleotidanya yang kemudian akan dirangkaikan menjadi RNA. Pembacaan oleh RNA polimerase dimulai dari tanda awal promotor sampai tanda akhir terminator. Gen mempunyai peran dalam proses kehidupan melalui pengendalian pembentukan enzim dan protein. Enzim memegang peranan penting dalam kehidupan organisme yaitu sebagai katalisator dalam menjalankan reaksi kimia dalam proses metabolisme seluler. Ekspresi gen adalah proses penterjemahan informasi genetik yang dibawa pada DNA atau gen menjadi sifat biologis yang terekspresi. Ekspresi gen merupakan proses sintesis polipeptida berdasarkan sekuen nukleotida pada gen tersebut menjadi protein yang berfungsi (Yusuf, 2001). Ekspresi gen terbagi menjadi dua tahapan yaitu transfer informasi genetik dari DNA ke dalam RNA (transkripsi) berdasarkan sekuen DNA dan penterjemahan informasi genetik yang terdapat pada RNA ke dalam polipeptida (translasi). Proses transfer atau penterjemahan informasi dilakukan dengan menggunakan molekul sumber informasi sebagai model cetakan dalam sintesis molekul penerima informasi. Di dalam transkripsi DNA akan dijadikan model cetakan untuk sintesis RNA, dan dalam translasi RNA akan menjadi model dalam sintesis protein. Di dalam transkripsi gen dibutuhkan faktor-faktor seperti promotor, RNA polimerase, ribonukleotida, signal terminasi, faktor transkripsi dan aktivitas protein. Dalam proses translasi, sintesis polipeptida terjadi berdasarkan kodon pada mRNA. Kodon merupakan tiga ribonukleotida pada mRNA yang menyandi asam amino. Selama proses translasi dibutuhkan mRNA, tRNA, ribosom, asam amino, dan beberapa faktor protein (Yusuf, 2001). Pada organisme eukariot, transkripsi dari gen ke RNA terjadi di inti sel sedangkan translasi dari mRNA ke protein terjadi di sitoplasma. Setelah ditransfer keluar dari inti sel dan sebelum dapat ditranslasikan menjadi polipeptida, RNA diproses terlebih dahulu yaitu dengan splicing atau proses penghilangan intron,
14
poliadenilasi yaitu proses penambahan ekor poli-A pada ujung 3’ utas mRNA, capping atau penambahan 7-metil guanosin di ujung 5’ utas mRNA (Yusuf, 2001). Konstruksi Pustaka Gen 16S-rRNA Kunci untuk mengerti keragaman mikroba adalah sistem klasifikasi yang dapat diandalkan. Metode molekuler terutama klasifikasi dan identifikasi berbasis filogenetik, menggunakan parameter yang tidak bergantung pada kondisi pertumbuhan dan media yang digunakan. Pendekatan yang banyak dipakai saat ini adalah analisis sekuen gen 16S rRNA atau 23S rRNA. 16S rRNA merupakan gen yang bersifat spesies spesifik teradap prokariotik (Amann et al. 1994). RNA bekerja membawa informasi genetik dari DNA kepada proses biosintesis protein di dalam ribosoma, dan RNA ribosom (rRNA) merupakan komponen utama ribosom yang menyusun sampai 65 persen berat ribosom. 16S dan 23S rRNA merupakan bagian dari subunit 30S dan 50S pada ribosom. Bila 16S rRNA diisolasi dalam bentuk murni kemudian dicampur dalam urutan spesifik yang benar pada suhu yang sesuai, maka molekul ini secara spontan menyusun diri kembali membentuk subunit 30S yang identik dalam struktur dan aktivitasnya dengan subunit 30S yang asli (Lehninger, 1982).
Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR atau reaksi polimerisasi berantai adalah teknik amplifikasi DNA yang spesifik dengan melakukan proses pemanjangan nukleotida dari primer yang merupakan pasangan komplementer dari utas DNA secara simultan. Proses pemanjangan nukleotida merupakan proses polimerisasi yang dilakukan oleh DNA polimerase berdasarkan atas sampel DNA (DNA template). Proses pemanjangan terjadi karena adanya primer. PCR dapat mengamplifikasi sampai sejuta kali sehingga dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar dan DNA template yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Mesin PCR terdiri dari suatu alat pemanas dan pendingin yang dapat diprogram sehingga dapat memanaskan pada suhu dan selang waktu yang dikehendaki untuk setiap siklus pada suatu reaksi. Menurut Saiki et al. (1985) tahap-tahap dalam proses PCR meliputi tahap
15
denaturasi, tahap penempelan primer pada DNA template (annealing) serta tahap pemanjangan primer melalui reaksi polimerisasi nukleotida (extention). 1. Denaturasi Tahap denaturasi merupakan tahap dimana DNA utas ganda dipisahkan menjadi utas tunggal. Dalam keadaan ini masing-masing untai dapat mencetak pasangannya. Tahap ini berlangsung pada suhu 90-95oC. 2. Penempelan primer Tahap kedua adalah menurunkan suhu reaksi agar primer dapat menempel pada utas DNA cetakan yang telah terdenaturasi menjadi utas tunggal. Penempelan terjadi karena adanya kecocokan pasangan basa. Umumnya penempelan terjadi pada suhu 55-57oC untuk primer 20 mer dan 34-40oC untuk primer 10 mer (Uphoff & Wreeke, 1992). Sambrook et al. (1989) menyatakan bahwa suhu penempelan primer yang ideal umumnya adalah 5oC di bawah suhu leleh (Tm) dari tiap primer. 3. Pemanjangan DNA Setelah primer menempel pada utas tunggal DNA template, maka DNA polimerase akan mensintesis DNA yang baru berdasarkan utas DNA cetakan. Sintesis DNA ini dilakukan pada suhu cukup tinggi yaitu sekitar 72oC pada saat enzim Taq DNA polimerase bekerja optimal. Reaksi PCR merupakan reaksi amplifikasi DNA dimana teknik pelaksanaannya harus teliti dan cermat. Kegagalan reaksi PCR dapat disebabkan karena tidak sempurnanya denaturasi atau suhu annealing yang terlalu tinggi. Selain itu reaksi PCR juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1. Konsentrasi DNA template Proses PCR tidak memerlukan DNA dengan tingkat kemurnian tinggi, tetapi amplifikasi terganggu apabila DNA cetakan masih banyak terkontaminasi dengan detergen, EDTA, maupun fenol. Konsentrasi DNA yang dibutuhkan adalah 10-100 ng untuk setiap reaksi (Innis & Gelfand, 1990).
16
2. Pemicu reaksi (primer) Primer adalah rantai utas tunggal DNA yang pendek dan terdiri dari beberapa nukleotida primer yang umumnya dipakai, terdiri atas 10-25 nukleotida (oligonukleotida), sedangkan primer yang biasa digunakan dalam percobaan adalah primer acak dan primer spesifik. Primer acak adalah primer yang susunan basa nukleotida seimbang sehingga primer ini biasanya digunakan untuk analisis DNA dengan sampel yang belum diketahui susunan nukleotidanya, sedangkan primer spesifik adalah primer yang susunan basanya telah diketahui merupakan komponen dari utas DNA yang akan dianalisis. 3. Enzim Taq DNA Polimerase Dalam proses replikasi DNA diperlukan adanya enzim untuk polimerisasi jalinan DNA. Enzim yang mampu mengkatalis replikasi DNA disebut DNA polimerase. DNA polimerase yang biasa digunakan adalah Taq. DNA polimerase bersifat termostabil yang didapatkan dari bakteri termofilik Thermus aquaticus yang dapat bertahan pada suhu 94oC. Enzim ini bekerja secara optimum pada suhu 75-80oC (Sambrook et al. 1989). Taq DNA polimerase ini digunakan untuk membantu amplifikasi potongan primer dan proses pemanjangan DNA dan karena Taq DNA polimerase tetap stabil pada suhu 94oC, maka ketika berlangsung proses denaturasi, enzim ini tidak menjadi rusak tetapi dalam keadaan tidak aktif. Aktivitas enzim ini akan terhambat oleh bufer fosfat tetapi akan aktif bila ditambahkan 10 mM tris dalam bufer pada temperatur ruang dengan pH 8,3 (Sambrook et al. 1989). Taq DNA polimerase mulai aktif pada pH 8,2 – 9 dan suhu 65 – 72oC. 4. dNTP dNTP yang dipakai berupa campuran dari keempat macam nukleotida yaitu dATP, dGTP, dTTP, dan dCTP. Larutan stok dNTP bersifat netral pada pH sekitar 7. Konsentrasi dNTP yang digunakan berkisar antara 0.1 – 1.6 mM untuk setiap reaksi (Newton, 1995). Menurut Innis & Gelfand (1990) dNTP masih bersifat stabil sampai proses siklus berulang 50 kali atau hanya berkurang 50%.
17
5. Mg2+ Mg2+ mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polimerase karena ion Mg2+ berfungsi sebagai kofaktor yang dapat membentuk kelat dengan larutan EDTA. Mg2+ berperan dalam kestabilan primer pada tahap penempelan primer. 6. Bufer PCR Bufer PCR terdiri atas larutan Tris-HCl dengan konsentrasi 10-50 mM dan pH 8.3 – 8.8 dan berperan dalam keberhasilan proses amplifikasi (Innis dan Gelfand, 1990). Untuk membantu proses penempelan primer pada bufer PCR dapat ditambahkan KCl dengan konsentrasi sampai 50 mM.
Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing) Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan basa suatu DNA. Pada proses ini digunakan prinsip reaksi polimerisasi DNA secara enzimatis. Reaksi yang dilakukan secara in vitro ini dikembangkan oleh Sanger dengan memasukkan satu nukleotida ddNTP (dideoksi nukleosidatrifosfat) yang berbeda ke dalam masing-masing 4 reaksi untuk menghentikan reaksi polimerisasi. Teknik dideoksi sekuensing hanya mampu membaca dengan teliti urutan basa sepanjang 400 sampai dengan 500 bp (Brown 1992). Sekuen DNA adalah informasi penting untuk mengetahui identitas, fungsi, dan modifikasi suatu fragmen DNA atau gen dalam rekayasa genetik atau bioteknologi secara umum. Sebagai contoh, dengan mengetahui sekuen suatu DNA target kita dapat menyisipkan atau menghilangkan daerah restriksi tertentu sehingga potong-sambung DNA dapat dilakukan sesuai dengan keinginan. Tahap-tahap dalam sekuensing adalah sebagai berikut: (i) Disiapkan empat macam reaksi polimerisasi DNA yang masing-masing mengandung primer DNA, dATP, dCTP, dGTP, dTTP, enzim polimerase DNA. (ii) Setelah itu ke dalam masing-masing tabung ditambah satu ddNTP yang berbeda, reaksi dijalankan. (iii) Hasil reaksi difraksionasi (dielektroforesis dengan gel poliakrilamida), (iv) Fragmen DNA hasil pemisahan kemudian divisualisasikan secara otomatis atau manual (Brown, 1992).
18
Analisis Keragaman Genetik Informasi genetik dari sel prokariot dan eukariot saat ini telah banyak diketahui. Suatu organisme telah dapat diuji berdasarkan organisasi genomnya, ekspresi global gen, dan struktur serta fungsi dari seluruh proteinnya. Bioinformatika dapat didefinisikan sebagai cabang komputasi dari biologi molekuler, yang mencakup teknologi pengumpulan, penyimpanan, analisis, interpretasi, penyebaran, dan aplikasi dari informasi biologi. Internet dan server world wide web (www) merupakan dua hal yang sangat diperlukan dalam aplikasi bioinformatika. Bioinformatika menggunakan program komputer untuk analisis data biologi dan penyimpanan sejumlah data biologi yang dihasilkan oleh proyek genom. Bioinformatika banyak berhubungan dengan sekuen, struktur, fungsi, dan perbandingan seluruh genom dan struktur 3 dimensi protein, serta manajemen data (Claverie & Notredame,2007). Beberapa program komputer dan database untuk bioinformatika yang dapat digunakan dari internet antara lain : GeneMArk, NCBI (National Center for Biotechnology Information), Expasy, dan lain sebagainya. Pada NCBI dapat diakses program PubMed, Entrez, BLAST, Blankit, OMIM, Taxonomy, dan penelusuran struktur. Salah satu program yang umum digunakan adalah BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) yang merupakan program untuk pencarian kesamaan yang didesain dalam mengeksplorasi semua database sekuen yang diminta, baik berupa DNA ataupun protein. Program BLAST juga dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antar sekuen yang hanya berbagi daerah tertentu yang memiliki kesamaan (Claverie & Notredame,2007). Ada beberapa variasi BLAST yang masing-masing dibedakan dari tipe sekuen (DNA atau protein) yang dicari dengan sekuen pada database. Berikut ini beberapa jenis program BLAST (Claverie & Notredame, 2007): BLASTP
: membandingkan sekuen asam amino dengan sekuen protein dalam database
BLASTN
: membandingkan sekuen nukleotida dengan sekuen nuklotida dalam database
BLASTX
: membandingkan sekuen nukleotida yang ditranslasi pada seluruh ORF (open reading frame) dengan sekuen protein database
19
Secara garis besar, orang menggunakan bioinformatika melalui beberapa tahapan, diantaranya menggunakan PubMed untuk mencari pengetahuan tentang subjek biologi secara cepat, mendapatkan sekuen protein maupun DNA yang relevan, membandingkan sekuen protein maupun DNA yang tersedia di database menggunakan BLAST, dan melakukan analisis multiple alignment sekuen protein maupun DNA dengan ClustaIW serta membangun pohon filogenetik (Claverie & Notredame, 2007). BLAST merupakan alat pembanding suatu sekuen yang dicari dengan sekuen yang telah diketahui dengan cepat yang dapat menjelaskan apakah sekuen tersebut memiliki similaritas cukup signifikan. Informasi ini dapat digunakan untuk bermacam-macam tujuan yaitu meliputi perkiraan fungsi protein, struktur tiga dimensi, dan organisasi domain atau identifikasi homologi dengan organisme lain. Sekuen yang serupa sering diperoleh dari sekuen keturunan nenek moyang yang sama. Bila ditemukan sekuen serupa mungkin memiliki nenek moyang yang sama, bagian struktur yang sama, dan memiliki fungsi biologi serupa. Prinsip ini bahkan bekerja ketika sekuen berasal dari organisme yang sangat berbeda (Claverie & Notredame, 2007). Hasil BLAST meliputi tiga bagian yang berbeda yaitu grafik yang menunjukkan bagaimana porsi similaritas sekuen yang dibandingkan, daftar hits yang berisi nama sekuen yang serupa dengan yang dicari urut berdasarkan similaritas dan penjajaran (alignment) antara sekuen yang dicari dengan sekuen yang ada pada database (Claverie & Notredame, 2007). Multiple alignment digunakan untuk mengidentifikasi protein sekuen dimana sesungguhnya asam amino spesifik terdapat, yang dapat memberikan integritas struktural atau fungsi protein, menentukan tanda sekuen spesifik untuk famili protein serta mengklasifikasi sekuen dan membangun pohon filogenetik. Filogenetik adalah filogeni yang sesungguhnya membandingkan gen-gen yang ekivalen yang datang dari beberapa spesies untuk merekonstruksi pohon kehidupan (genealogic tree) dari spesies-spesies ini dan mengetahui siapa yang relatif berkerabat dekat dengan yang lain (Claverie & Notredame, 2007). Tujuan filogeni adalah merekonstruksi sejarah kehidupan dan menjelaskan adanya
20
keragaman makhluk hidup. Prinsip filogeni adalah mencoba mengelompokkan makhluk hidup menurut tingkat similaritas (Claverie & Notredame, 2007).
Analisis Neighbor-Joining Neighbor-Joining merupakan salah satu media pengelompokan dalam bioinformatika yang dapat membentuk suatu pohon filogeni atau dendogram. Neighbor-joining biasanya digunakan pada pohon filogeni yang berdasarkan pada data sekuen DNA atau protein. Metode ini menggunakan algoritma yang membutuhkan pengetahuan mengenai jarak antara tiap pasang taxa (spesies atau sekuen) pada pohon filogeni. Neighbor-joining merupakan algoritma yang berulang-ulang. Tiap tahap pengulangan terdiri atas hal-hal berikut ini: 1. Berdasarkan jarak langsung matriks dengan menghitung matriks Q. Matriks Q merupakan suatu matriks yang dibuat berdasarkan pada matriks jarak yang relatif terhadap r taxa. 2. Menemukan pasangan taxa pada matriks Q dengan nilai yang paling rendah. Menciptakan simpul pada pohon filogeni yang terdiri atas dua taxa (mengikutkan dua kekerabatan terdekat) 3. Menghitung jarak antar taxa pada pasangan taxa di simpul yang baru 4. Menghitung jarak seluruh taxa diluar pasangan taxa di simpul yang baru 5. Mengulang kembali algoritma, dengan mempertimbangkan pasangan yang berkerabat dekat (joined neighbors) sebagai taxon tunggal dan menggunakan penghitungan jarak seperti yang dilakukan sebelumnya. Keunggulan metode neighbor-joining terhadap metode lainnya adalah dari efisiensinya secara komputasional. Neigbor-joining merupakan algoritma yang bersifat polynomial-time. Metode ini dapat digunakan pada set data yang banyak untuk melakukan analisis filogenetik (evolusi minimum, penghematan dan kemiripan maksimum) tanpa melakukan banyak perhitungan. Metode ini juga bersifat konsisten secara statistik di bawah berbagai model evolusi. Dengan metode ini, data yang diberikan pada jumlah yang cukup dapat membentuk suatu pohon filogeni dengan kebenaran yang besar (Saitou & Nei 1987).
21
Keragaman Genetik E.sakazakii Berdasarkan perbandingan sekuen gen 16S rRNA, Iversen et al. (2004) menyatakan bahwa tipe galur E.sakazakii lebih dekat sebagai Citrobacter koseri (similaritas sebesar
97.8%) dibandingkan dengan Enterobacter lainnya,
meskipun E.sakazakii memiliki similaritas yang cukup besar juga dengan E.cloacae dan C.freundii yakni berturut-turut sebesar 97.0% dan 96.0%. Namun Iversen et al. (2004) menyatakan bahwa diperlukan studi lebih lanjut untuk memperjelas hubungan kekerabatan bakteri ini. Berdasarkan analisis 16S rRNA-nya, galur E.sakazakii dapat dibagi menjadi 4 kelompok (cluster). Cluster pertama yang merupakan mayoritas dari galur-galur E.sakazakii (110 galur) dimana memiliki perbedaan antar galur sebesar 0.1 hingga 1.2%. Kelompok 1 ini meliputi 17 galur klinis dan 3 galur yang tidak berpigmen kuning. Sebanyak 9 galur (termasuk 1 galur klinis) memiliki keragaman sekuen sebesar 1.6 hingga 1.9% dan membentuk suatu cluster kedua yang dekat dengan E.sakazakii. Cluster ketiga yang terdiri dari 5 galur (termasuk 1 galur klinis), dimana pada pengujian biokimia dengan API20 E dan ID 32E lebih memiliki kedekatan (97.5% hingga 97.8%) sebagai Enterobacter pyrinus, Enterobacter hormaechei, dan C.koseri. Cluster ketiga ini memiliki keragaman sekuen sebesar 3.0% dan isolat E.sakazakii ATCC 51329 termasuk ke dalam cluster ini. Cluster yang keempat terdiri dari dua galur, dimana satu diantaranya adalah isolat klinis. Galur ini teridentifikasi sebagai E.sakazakii dengan menggunakan perangklat biokimia API 20E dan ID 32E, namun similaritas 16S rRNA nya hanya sebesar 96.5% sebagai E.sakazakii. Analisis sekuen 16S rRNA tersebut mengkonfirmasi bahwa beberapa galur yang teridentifikasi sebagai E.sakazakii, bila dianalisis dengan perangkat biokimia komersial dapat dibedakan sebagai spesies yang berbeda, yaitu sebagai E.amnigenus atau E.cloacae, dimana hasil ini berpotensi untuk membagi E.sakazakii ke dalam taxa yang berbeda (Iversen et al. (2004). Berdasarkan fenomena tersebut, Iversen et al. (2008a) memperkenalkan E.sakazakii sebagai genus baru yakni Cronobacter spp. , dimana genus ini terbagi menjadi 5 spesies yaitu Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii,comb.nov., C.sakazakii subsp. malonaticus subsp. nov., C. turinencis sp. nov., C.muytjensii
22
sp.nov., C.dublinensis sp. nov., dan C.genomospecies I. Pembedaan spesies E.sakazakii sebagai genus Cronobacter ini berdasarkan pada perbedaan reaksireaksi biokimia pada perangkat API 20E dan ID 32E, serta berdasarkan reaksi pada methyl-α-D-glucopyranoside. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Iversen et al. (2008b) menyatakan bahwa seluruh galur Cronobacter memiliki akivitas α-glukosidase yang positif serta sensitivitas pada media chromogenic sebesar 95.7 hingga 99.5%.
23