Published in Majalah Treasury Indonesia No. 2/2006
Manajemen Utang Pemerintah: Best Practices dan Pengalaman Indonesia Oleh: Suminto, M.Sc. Economist, The Indonesia Economic Intelligence International Monetary Fund (IMF) dalam “IMF Country Report No. 05/327” yang dikeluarkan pada September 2005 melakukan analisis mengenai level utang pemerintah Indonesia yang aman (appropriate level of public debt). Level utang yang aman didefinisikan sebagai level utang yang tidak rentan (vulnerable) terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu kesinambungan fiskal (fiscal sustainability). Studi empirik ini menemukan bahwa level utang pemerintah yang aman bagi Indonesia adalah 35-42 persen dari GDP. Merujuk threshold IMF ini, bisa disimpulkan bahwa utang pemerintah saat ini berada pada level yang tidak aman. Kalau sebelum krisis level utang pemerintah masih dikisaran 30-an persen GDP, setelah krisis level ini meningkat drastis dengan puncaknya di tahun 2000 sebesar 92 persen GDP. Level utang pemerintah tahun 2004 masih sebesar 54 persen dari GDP. Merujuk klasifikasi Bank Dunia dalam Global Development Finance 2005, Indonesia masuk kelompok negara berpendapatan menengah dengan tingkat utang sangat tinggi (severely indebted middle income country). (Lihat Tabel 1) Kondisi ini menuntut adanya manajemen utang pemerintah yang lebih baik, sehingga secara terencana level utang pemerintah itu bisa dikurangi sampai pada tingkat yang lebih aman. IMF dan World Bank (2003) dalam publikasinya Guidelines for Public Debt Management mendefinisikan manajemen utang pemerintah sebagai “process of establishing and executing a strategy for managing the government’s debt in order to raise the required amount of funding, achieve its risk and cost objectives, and to meet any other sovereign debt management goals the government may have set, such as developing and maintaining an efficient market for government securities”. Menurut publikasi ini, 1
manajemen utang pemerintah mencakup beberapa dimensi berikut: (1) debt management objectives and coordination; (2) transparency and accountability; (3) institutional framework; (4) debt management strategy; (5) risk management framework; dan (6) development and maintenance of an efficient market for government securities. Dalam dokumen yang lain, World Bank (2004) merumuskan “content” manajemen utang pemerintah ke dalam beberapa aspek berikut: (1) Governance, yang mencakup debt management objectives and legal framework; institutional responsibilities; reporting and external audit; (2) Debt strategy and risk management, yang meliputi strategic framework; dan risk analysis; (3) Coordination with fiscal and monetary policy and cash management; (4) Development of Government Securities Market. Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa aspek best practices manajemen utang pemerintah (public debt management) dan merefleksikannya pada pengalaman Indonesia. Debt Management Objectives Pemerintah harus disiplin dengan “debt management objectives” untuk menjamin dapat diperolehnya dana yang dibutuhkan dan dapat dipenuhinya kewajiban utang pada ongkos yang wajar dan risiko yang dapat diterima. Atau, dalam bahasa IMF dan World Bank (2003a), “the main objective of public debt management is to ensure that government’s financing needs and its payment obligations are met at the lowest possible cost over the medium to long run, consistent with a prudent degree of risk”. Negaranegara maju merumuskan debt management objectives mereka tidak jauh dari rumusan ini. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini (Storkey, 2000; Storkey, 2001; Currie et al, 2003; IMF dan World Bank, 2003b). United Kingdom: “…to carry out the Government’s debt management policy of minimizing finance cost over the longer term, taking into account risk, and to manage the aggregate cash needs of the Exchequer in the most cost efficient way”. Sweden: “…to minimize the cost of borrowing within agreed risk tolerances…”. Australia: “…to minimize the long-term market value of the public debt (cost) and contain the volatility of budgetary debt cost (risk)…”. Portugal: “…to achieve the lowest possible long-term borrowing costs…to keep the risk at an acceptable level...”. Ireland: “…to contain the level and volatility of annual fiscal debt service costs, contain the government’s exposure to risk…”. Italia: “…to minimize the financing cost for a
2
certain level of financing risk, in particular that of refinancing and interest”. New Zealand: “to identify a low risk portfolio of net liabilities consistent with the Government’s aversion to risk, having regard for the expected costs of reducing risk, and to transact in an efficient manner to achieve and maintain that portfolio”. Untuk jangka waktu yang panjang, manajemen utang Indonesia lebih difokuskan pada upaya mendapatkan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan prioritas (to fulfill the borrowing requirements), dan belum banyak memberikan perhatian pada unsur mengelola ongkos dan risiko. Hal ini bisa dipahami mengingat saat itu portofolio utang lebih didominasi oleh official development assistance (ODA) dari kreditur bilateral dan concessional loan dari kreditur multilateral, yang dipersepsi sebagai berbiaya murah dan berisiko rendah. Perhatian terhadap pengelolaan ongkos dan risiko menjadi keniscayaan ketika posisi utang kita semakin menggunung serta portofolio utang semakin beragam, tidak saja semakin besarnya porsi utang nonODA dan non-concessional, tetapi yang lebih penting lagi, munculnya instrument obligasi, baik obligasi domestik maupun obligasi internasional, yang bahkan outstandingnya telah mencapai sekitar separoh dari total utang pemerintah. Tujuan manajemen utang yang lebih spesifik dan sejalan dengan best practices dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan kemudian dielaborasi lebih rinci dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. KMK 447 merumuskan tujuan manajemen utang sebagai berikut: “Secara umum tujuan pengelolaan utang negara dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Secara terperinci, tujuan pengelolaan utang adalah: 1) Menjamin terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainability) yang sesuai dengan kondisi ekonomi makro, serta biaya terendah; 2) Meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terutama untuk meminimalkan risiko, baik risiko pasar maupun risiko refinancing; 3) Mengembangkan upaya-upaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan perkiraan biaya”.
3
Legal Framework Kerangka legal manajemen utang setidak-tidaknya mencakup kejelasan kewenangan untuk memutuskan utang beserta pembatasan-pembatasannya. Masalah kewenangan mencakup beberapa issue. Issue pertama menyangkut hubungan legislatif dan eksekutif. Pada umumnya, legislatif dan eksekutif berbagi kewenangan dalam menciptakan utang. “Berbagi kewenangan” di sini dapat mengambil bervariasi bentuk (salah satu atau kombinasi diantaranya). Pertama, legislatif memberikan kewenangan kepada eksekutif untuk membuat utang sampai batas tertentu yang telah ditentukan dalam budget. Kedua, legislatif menentukan batas total stock utang pemerintah, dan selanjutnya memberikan kewenangan kepada eksekutif untuk membuat utang sampai batas total stock tersebut. Ketiga, eksekutif harus meminta persetujuan atau ratifikasi legislatif untuk membuat transaksi utang sampai jumlah tertentu atau dengan kreditur tertentu. Issue kedua menyangkut agency eksekutif yang diberi wewenang melaksanakan transaksi utang, apakah Kementerian Keuangan atau agency yang lain. Secara best practices, kewenangan operasional membuat utang berada pada Kementerian Keuangan. (Bradlow, 2003) Kerangka legal juga mencakup pembatasan utang. Dalam hal ini bisa diambil contoh Maastricht Treaty yang mengatur batas utang pemerintah maksimal 60% dari GDP bagi negara-negara Uni Eropa. (Horgan, 1999; Bradlow, 2004 ) Undang-undang APBN menunjukkan kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan atas jumlah utang pada tahun anggaran yang bersangkutan, baik Surat Utang Negara maupun pembiayaan luar negeri (utang luar negeri). Perubahan atas jumlah itu hanya dapat dilakukan melalui APBN-P. Sementara itu, Pemerintah c.q. Menteri Keuangan mempunyai kewenangan membuat loan atau menerbitkan obligasi individual. Sejalan dengan hal ini, UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara menggariskan, “Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara …berada pada Pemerintah” (Pasal 5 ayat 1), dimana “Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri” (baca: Menteri Keuangan) (Pasal 5 ayat 2), serta “Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” (Pasal 7 ayat 1), dimana “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan pada saat pengesahan Anggaran
4
Pendapatan dan Belanja Negara” (Pasal 7 ayat 3). Juga ditegaskan, “Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan” (Pasal 7 ayat 4). Berkenaan dengan pembatasan utang, Indonesia telah mengikuti best practices dengan ditentukannya batas maksimal utang. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat 3 berserta penjelasannya dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, diatur pembatasan utang sebagai berikut: 1) Jumlah kumulatif deficit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% dari GDP tahun bersangkutan; 2) Jumlah kumulatif utang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi tidak melebihi 60% dari GDP tahun yang bersangkutan. Institutional Framework Manajemen utang menuntut adanya pengaturan kelembagaan yang baik, yang memberikan kejelasan
peranan, tanggung jawab, dan mandat
(“clear roles,
responsibilities, and delegations”). Secara best practices, pengelolaan operasional utang (operational debt management) diserahkan pada satu unit khusus, yakni “Debt Management Office” (DMO). “Lokasi” DMO itu sendiri bervariasi: merupakan bagian dari Kementerian Keuangan (“DMO within the Ministry of Finance”), seperti Australia, Belanda, Belgia, Italia, Jepang, Kanada, Perancis, Polandia, Selandia Baru, Spanyol, USA, Yunani, Argentina, Brazil, China, Columbia, Meksiko, Afrika Selatan, Turki, Thailand, dan Korea Selatan; merupakan unit independent di luar Kementerian Keuangan (“Autonomous Debt Office”) seperti Austria, Hungaria, Irlandia, Jerman, Portugal, Swedia, dan UK; merupakan bagian dari Bank Sentral (“DMO within the Central Bank”) seperti Denmark, ataupun terdistribusi di Kementerian Keuangan dan Bank Sentral (“DMO dispersed between the Ministry of Finance and the Central Bank”), seperti India (dimana
5
Kementerian Keuangan India bertanggung jawab untuk manajemen utang luar negeri, dan Bank Sentral India—“Reserve Bank of India”—bertanggung jawab atas manajemen utang domestik). (Currie et al, 2003; Das, 2006b) Pilihan “lokasi” DMO ini mempunyai justifikasi masing-masing. (Lihat: Bradlow, 2004; Delduque, 2000) Terlepas dari “lokasi”nya, secara garis besar DMO melaksanakan tiga fungsi pokok, yakni: resource mobilization, debt and risk analysis, dan management information systems and settlements. (Kappagoda, 2002) Fungsi “resource mobilization” mencakup: creditor/donor coordination, borrowing plan implementation, project formulation/prospectus preparation, loan negotiations/capital market issues, government guarantees, dan on-lending. Fungsi “debt and risk analysis” mencakup: portfolio analyses, risk analyses, borrowing policy and plan, borrowing strategy, policies on government guarantees and on-lending, serta policy on loan loss provisioning. Adapun fungsi “management information systems and settlements” mencakup: loan utilization, loan repayment, loan databases, statistical reports, loan accounts, dan contingent liabilities. Sebangun dengan prinsip “structure follows function”, ketiga fungsi ini dilaksanakan oleh tiga struktur, yakni the front office, the middle office, dan the back office. The Front Office bertanggung jawab atas Resource Mobilization; The Middle Office bertanggung jawab atas Debt and Risk Analyses; sedangkan The Back Office bertanggung jawab atas Management Information System and Settlement. Tabel 2 menyajikan summary tipikal struktur, fungsi, dan kegiatan utama DMO. Dalam konteks kerangka kelembagaan ini, manajemen utang kita belum sepenuhnya “integrated” meskipun reorganisasi Kementerian Keuangan “Tahap I” telah “mengumpulkan” PMON dan Dit. DLN ke dalam Ditjen Perbendaharaan—menjadi Dit. PSUN dan Dit. PPHLN. Saat ini, pembagian dan pemisahan fungsi front, middle, dan back office masih belum begitu jelas dan masih tumpang-tindih. Risk Management and Debt Strategy Manajemen risiko mendapatkan tekanan yang besar mengingat dalam “globalized economy” pemerintah menghadapi berbagai risiko dalam manajemen utangnya, seperti market risk (risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata uang, harga komoditi, dan inflasi), funding risk (risiko yang berkaitan dengan akses pasar
6
ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan anggaran ataupun roll-over utang pada tingkat biaya yang dapat diterima), liquidity risk (berkenaan dengan manajemen kas pemerintah), credit risk (berkaitan dengan rating pihak bersangkutan), portfolio concentration risk (berkaitan dengan konsentrasi eksposur pada instrument, transaksi individual, pasar, industri, atau kreditur tertentu), serta operational risk (risiko berkaitan dengan kemungkinan kesalahan pada prosedur, human error, dan system, yang mencakup masalah-masalah audit, compliance dan control, keberlangsungan bisnis, legal, key person, reputasi, security, system, dan transaksi). (Lihat: Storkey, 2000; IMF dan World Bank, 2003a; Das, 2006a). Sebuah kerangka manajemen risiko (risk management framework) harus dibangun untuk memungkinkan manajer utang mengidentifikasi dan memanej “trade-off” antara ongkos—baik financial cost maupun potential cost of real economic losses—dan risiko dalam portofolio utangnya. Untuk memperhitungkan risiko, manajer utang harus secara rutin melakukan “stress test” atas portofolio utangnya, dengan menggunakan model scenario sederhana hingga model yang lebih kompleks, yang melibatkan teknik-teknik simulasi dan statistik yang highly sophisticated. (IMF dan World Bank, 2003a) Beragam risiko yang inherent dengan struktur utang pemerintah sebagaimana disebutkan di atas harus secara hati-hati dimonitor dan dievaluasi. Risiko ini harus dimitigasi sejauh mungkin melalui modifikasi struktur utang, dengan mempertimbangkan ongkosnya. (IMF dan World Bank, 2003a). Strategic Framework memberikan “panduan” bagi pencapaian target-target tertentu, seperti jumlah utang jatuh tempo pada tahun fiskal tertentu, utang domestik vs utang luar negeri, bunga tetap vs bunga mengambang, dan komposisi mata uang utang. (Bank Dunia, 2004) Merujuk penilaian Bank Dunia (2004), sejauh ini kita belum melakukan analisis risiko ini secara regular, dan indikator risiko tidak dipublikasikan, kecuali barangkali “redemption profile” . Berkenaan dengan debt strategy, kita telah memiliki Strategi Utang dengan diterbitkannya KMK Nomor: 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Dalam KMK ini disebutkan dua strategi umum manajemen utang, yakni pengelolaan portofolio dan risiko, serta pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder SUN. Pengelolaan portofolio dan risiko mencakup: pengurangan utang
7
negara, penyederhanaan portofolio utang Negara, penerbitan/pengadaan utang negara dalam mata uang rupiah, minimalisasi risiko pembiayaan kembali, peningkatan porsi utang negara dengan bunga tetap, penurunan porsi Kredit ekspor, dan penerapan prinsip pengelolaan utang Negara yang baik. Pengembangan pasar perdana mencakup pengembangan metode penerbitan, pengembangan sistem lelang, penyusunan jadwal yang teratur, dan penerbitan benchmark issues. Sedangkan pengembangan pasar sekunder mencakup diversifikasi instrument SUN, dan aktifitas lain untuk meningkatkan likuiditas pasar SUN. Namun demikian, KMK ini kiranya masih perlu penyempurnaan ke depan, antara lain dengan merumuskan secara jelas debt targeting yang ingin dicapai, misalnya, pengurangan utang yang diinginkan sampai level berapa dan bagaimana tahapan pencapaiannya; serta merumuskan lebih jelas portfolio benchmark yang diinginkan, seperti komposisi suku bunga (fix-floating ratio), modified duration, dan juga maximum ceiling on debt maturing in next year. Catatan Penutup Membandingkan best practices serta pengalaman Indonesia, boleh dikatakan bahwa, meskipun kita telah banyak berbenah, namun masih banyak agenda reformasi yang harus dituntaskan. Dalam konteks ini, pembentukan sebuah DMO—yang menurut khabar terakhir direpresentasikan dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Utang—untuk mengintegrasikan keseluruhan fungsi manajemen utang sangatlah relevan. Menurut hemat penulis, pembentukan DMO ini merupakan bagian penguatan fungsi treasury pada Kementerian Keuangan. Hal ini sebangun dengan rekomendasi Bank Dunia (2004) dalam sebuah dokumen yang disampaikan kepada Kementerian Keuangan: “The creation of a Treasury is an important step in ensuring better coordination and communication between entities dealing with debt management. However, taking into account the risks related to the existing debt, reforms should not stop here, but continue with the end goal being the creation of an integrated debt office”.
8
Kepustakaan Blommestein, Hans J. (2005), “Overview of Advances in Risk Management of Government Debt”, Financial Market Trends, No. 88, March, pp. 115-134. Bradlow, Daniel D. (2003), “Best Practices and Key Issues to be Addressed in A Regulatory Framework for Public Debt Management”, Best Practices Series No. 4, Geneva: UNITAR. Bradlow, Daniel D. (2004), “A General Overview of Legal Issues in Debt Management”, Occasional Series for the Central Asian Republics and Azerbaijan, Document No. 1, Geneva: UNITAR. Currie, Elizabeth, Jean-Jacques, and Erico Togo (2003), “Institutional Arrangements for Public Debt Management”, Policy Research Policy Paper No. 3021, Washington, D.C.: The World Bank. Das, Tarun (2006a), “Management of External Debt: International Experiences and Best Practices”, Best Practices Series No. 9, Geneva: UNITAR. Das, Tarun (2006b), “Governance of Public Debt: International Experiences and Best Practices”, Best Practices Series No. 10, Geneva: UNITAR. Delduque Jr, Jobathas (2000), “The Concept of Independence as Applied to Public Debt Management”, The George Washington University-School of Business and Public Management, Mimeo. Horgan, Michael (1999), “The “Building Blocks” of Effective Government Debt Management”, Document Series No. 8, Geneva: UNITAR. International Monetary Fund and the World Bank (2003a), Guidelines for Public Debt Management, Amended on 9 December 2003, Washington, D.C.,: IMF and WB. International Monetary Fund and the World Bank (2003b), Guidelines for Public Debt Management: Accompanying Document and Selected Case Studies, Washington, D.C.,: IMF and WB. International Monetary Fund (2005), IMF Country Report No. 05/327, Washington, D.C.: IMF. Kappagoda, Nihal (2002), “Institutional Framework for Public Sector Borrowing”, Document series No. 17, Geneva: UNITAR. Leong, Donna (1999), “Debt Management: Theory and Practice”, Treasury Occasional Paper, No. 10, London: HM Treasury. Storkey, Ian (2000), “Sovereign Debt Management”, Paper presented at the 4th Australian Fixed Interest Forum, Sydney, Australia, 8 December. Storkey, Ian (2001), “Sovereign Debt Management: A Risk Management Focus”, The Finance and Treasury Professional, May, pp. 710. Storkey, Ian (2003), “Global Trends in Sovereign Debt Management”, Paper presented at the Public Sector Finance and Treasury Management Conference, Canberra, Australia, 27 May. World Bank (2000), “Indonesia: Managing Government Debt and Its Risks”, Report No. 20436-IND, East Asia and the Pacific Region-The World Bank. World Bank (2004), “Debt Reform and Capacity Building Program Indonesia: Diagnostic”, unpublished paper prepared for the Ministry of Finance of the GoI. World Bank (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.: World Bank. ________, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. ________, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009.
Tabel 1. Klasifikasi Negara-negara Asia Pasifik Berdasarkan Tingkat Utang dan Income
Sumber: World Bank (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.: World Bank.
9
Tabel 2. Tipikal Struktur, Fungsi, dan Kegiatan Utama DMO The Front Office (Function of Resource Mobilization) Implement the borrowing plan based on the strategy approved by the government Mobilize resources for public sector projects and programs based on the borrowing strategy Foreign sources (negotiate loans; access international capital markets) Domestic sources (access domestic capital market by conducting auctions and other measures; develop domestic market; develop secondary market) Organize and execute hedging transaction Identify and execute derivative transactions Process applications for government guarantees, issue guarantees and conclude agreements with borrowers Process applications for on-lending borrowed funds and conclude agreements with the borrowers Function as clearing house for requests for information from donors, international financial institutions, commercial banks and other creditors
The Middle Office (Function of Debt and Risk Analyses) Undertake frequent portfolio analyses to assess future debt service prospects and problems and propose action that should be taken to overcome them Prepare debt sustainability analysis to assess the long-term sustainability of projected borrowing levels Assess external vulnerability using debt and reserve adequacy indicators Formulate policies for the issue of government guarantees and on-lending borrowed funds Assess and manage market, rollover, liquidity, credit, settlement, and operational risks in the loan portfolio Adopt specific targets, benchmarks or guidelines for various debt variables such as the currency mix, share of floating debt, share of foreign debt, maturity profiles and share of short-term debt in total debt outstanding Formulate a borrowing policy and an annual borrowing plan for the government. It could involve the adoption of ceilings for total debt outstanding broken down into foreign and domestic debt and target for various stock and flow debt indicators Prepare borrowing strategy for implementing the annual borrowing plan involving choices between domestic and foreign borrowings, foreign markets to be accessed, currency of borrowing, and interest rate and maturity structures Formulate guidelines for unguaranteed borrowings of state enterprises and the private sector Prepare or provide inputs on public debt to periodic economic and financial reports and data for presentation to Parliament
The Back Office (Function of Management Information System and Settlements) Manage the debt information system and maintain an accurate and up-to date loan database Link the debt management software to other software used for Treasury management and accounting system of the government Prepare debt service forecasts for external borrowings as an input to the balance of payments forecast and for total government borrowings as an input to the expenditure estimates of the fiscal budget Process debt service payments and effect payments on time Monitor the implementation of loan agreements including the utilization of loans and the obligations of the government Monitor the performance of loan guarantees issued by the government and report non-performance to the government Monitor the performance of on-lending agreements and report default to the government Monitor all contingent liabilities and ensure the adequate loan loss provisions are made in the budget to meet likely defaults Prepare forecasts of government cash requirements to provide guidance on the volume and timing of domestic debt issues of the government Prepare periodic stastical and other reports on the status of public debt that are required by the government and lenders Maintain a web site for the DMO and provide critical information on public debt for the information of the public
Sumber: Diolah dari Nihal Kappagoda (2002), “Institutional Framework for Public Sector Borrowing”, Document series No. 17, Geneva: UNITAR.
10