Maaf, Aku Tak Bisa Mengingatmu.. (Gladis) Aku dan `J` memutuskan untuk pergi ke pasar malam yang tidak sengaja kami lewati. Seandainya aku bukan roh sudah banyak permainan yang akan aku ikuti. `J`menyodorkan kembang gula padaku dan dengan bersemangat aku menerimanya tapi kembang gula itu tidak dapat kugenggam. Aku dan `J` berpandangan teringat kalau aku tidak bisa menyentuh apapun. Sekilas ada binar pedih di mata „J‟ tetapi tiba-tiba saja `J` tertawa geli. Ia mengambil kembali kembang gulanya dan memakannya sendiri. Sambil makan ia memandangku berusaha memanas-manasiku. Yah, aku cuma bisa memasang wajah cemberut dan tidak bisa bicara apa-apa lagi. Binar mata „J‟ tadi seolah menggores sedikit luka di hatiku. Sepertinya aku telah melupakan „J‟. Tidak ada 1 kenangan pun yang melekat di ingatanku tentang „J‟ dan sekarang, saat kami bertemu lagi ternyata waktu kami hanya sebentar. „J‟ maafkan aku.... “ Kita ngapain lagi nih?” tanya `J` sambil melihat sekeliling pasar malam. Dengan mupeng aku menoleh pada kios permainan lempar bola. Hadiah-hadiahnya sangat menarik. Tiba-tiba tanpa kuminta `J` mendekati kios dan menyewa beberapa bola. Ia mulai melemparkan bola-
60
bolanya dan gagal berkali-kali. Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Ternyata lemparannya payah juga. “ Gimana sih? Segitu saja tidak bisa!” ledekku di selasela tawaku. `J` hanya mencibirkan bibirnya dan wajahnya tampak memerah. Sebenarnya itu yang membuat aku tertawa. Yang semula merah kupingnya dan lama-lama wajahnya merona. Lucu sekali..hahaha..haha.. “ Tertawa saja sepuasnya. Kalo soal main kayak gitu gua memang payah. Tapi kalau yang lain gua jago.” `J` berusaha menaikkan harga dirinya. Aku tetap tertawa malah semakin terbahak. Ia hanya bisa angkat bahu melihatku tertawa terus. “ Kita ke sana yuk!” Dengan cepat `J` pergi ke sebuah kios foto box. Sekilas aku merasakan `J` mencoba menggandeng tanganku tapi tangannya melewati rohku dan ia tidak mendapatkan tanganku. Entah kenapa itu membuat hatiku semakin terasa sesak. “ Mau ngapain?” tanyaku dengan bingung karena `J` masuk ke fotobox begitu saja. Aku masuk ke dalam box dan ia menyuruhku duduk di sebelahnya. Dengan bingung aku menurut. Di layar ada gambarku. Aku bingung sendiri. Beberapa kali kami berfoto dan aku hanya bisa tersenyum geli melihat senyum `J` yang lebar dan aneh. Selesai berfoto `J` keluar dengan penuh semangat untuk mengambil hasil foto. Aku pun tidak sabar untuk melihatnya. “ Gimana hasilnya?” tanyaku dengan bersemangat. 61
`J` tidak menjawab. Ia malah hanya berdiri terpaku dan tampak kecewa. Aku melihat hasil foto itu dan di sana `J` tersenyum sendirian. Ia seperti berfoto dengan seseorang tapi di sebelahnya tidak ada siapa pun. “ Hehehe...namanya juga foto dengan roh, ngga mungkin ada gambarnyalah. Lo jangan sedih gitu dong.” Aku berusaha menghibur `J`. Cowo itu cuma membalas dengan senyum kecutnya. “ Gua cuma pengen punya kenang-kenangan bareng lo kok. Tapi kayaknya gua telat.” Aku terdiam seribu bahasa. Entah siapa yang lebih sedih dengan kematianku. Aku sendiri atau `J`. “ Seharusnya gua datang lebih cepat. Kenapa harus waktu BoNyok gua jodohin gua dengan orang lain. Rasanya waktu gua buat menunggu terbuang percuma. Janji gua yang dulu ngga bisa gua tepatin. Gua emang kurang gentle.” Aku tidak berani bicara. Yang kulihat hanya punggung `J` yang biasanya tegap, sekarang tampak lemah. Ia tertunduk dan berjalan tanpa semangat. Aku mengejarnya dan memandangnya sambil tersenyum lebar sekalipun hatikupun merasa sakit. Aku ingin meninggalkan kenangan yang indah untuk `J` yang baik hati. Kalau dia sedih sudah seharusnya aku menghiburnya. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku pun merasa tidak rela dengan kematianku. “ `J` lo jelek tahu kalau kayak gitu. Gini, gua pengen lo bisa menangin satu games n hadiahnya buat gua. Ntar di 62
hadiah itu lo tulis nama gua. Trus lo simpen tuh hadiah di tempat lo yang paling berharga. Ok? Jadi lo punya kenangkenangan dari gua. Mau ngga?” `J` memandangku tanpa ekspresi mendengar ideku. Ia menegakkan tubuhnya dan perlahan senyumnya muncul kembali. “ OK! Lo mau hadiah yang mana? Yuk, kita cari kiosnya!” Aku dan `J` pergi dari satu kios ke kios yang lain tapi tidak menemukan hadiah yang benar-benar aku suka. Aku mengatakan padanya kalau hadiah apa saja aku terima tapi dia ngotot harus yang benar-benar aku suka. “ `J`, yang itu!” Di kios terakhir dan sepi aku melihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk kristal salju yang kecil. Kalung itu berkilau menggodaku. Baru kali ini aku begitu menginginkan sebuah kalung. Padahal aku tidak begitu suka perhiasan. `J` segera menyewa beberapa gelang dan mulai mencoba mendapatkan kalung tersebut. Sepertinya untuk permainan seperti ini ia sering gagal. Ok, keseluruhan tidak karena beberapa gelangnya mendapatkan hadiah lain tapi kalung itu begitu sulitnya ia dapat. `J` terus mencoba sampai-sampai ia beberapa kali ia menyewa gelang. Aku sendiri sampai putus asa. Aku ingin menghentikannya tapi kulihat ia begitu gigihnya sampai keringatnya bercucuran. “ `J` udah cukup. Cari hadiah lain saja.”
63
“ Ngga! Lo mau dapet ini, gua kasih yang ini. Lo liat aj....KENAAA!! WOHOOO..!!BERHASIL!!” Aku tertegun melihat kalung yang dilingkari gelang permainan. Penjaga kios mengambil kalung itu dan memasukkannya ke dalam kotak beludru. `J` menerimanya dengan penuh semangat. Ia tertawa dan berseru-seru seperti pemenang undian 1 milyar. Kotak itu ia pamerkan padaku tanpa mempedulikan pandangan heran orang sekeliling yang melihatnya. “ Liat, akhirnya nih kalung gua dapetin. Mau gua pake...i....n...Sori.... gua lupa.” Aku tersenyum kaku saat „J‟ terpaku menyadari kebodohannya. Aku menundukkan kepalaku tidak berani memandang wajahnya dan „J‟ sendiri langsung membalikkan tubuhnya. Ia tampak begitu jauh walaupun ia berdiri hanya beberapa senti dariku. „J‟ memasukkan kotak kalung itu ke dalam sakunya dan kami pun berjalan meninggalkan kios tersebut. Kami berjalan sampai ke bawah pohon dan duduk di bangku yang ada di bawahnya. “ Hari yang melelahkan ya?” tanyaku mencoba membuka pembicaraan karena `J` diam saja dari tadi. Ia seperti berpikir keras dan aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. `J` tidak menjawab pertanyaanku. Ia tetap diam dan memandang lurus ke arah anak-anak kecil yang ribut mengelilingi seorang pedagang balon. “ Dis, kalo lo jadi nikah sama gua...anak kita bakal kayak apa ya?” 64
DEG! Hahaha! Bercanda aja nih orang! Punya anak bareng dia? Dia kesambet apaan sih? Apa karena terlalu banyak ngomong sama roh? “ Jawab dong, Dis!” Aku terlonjak saat `J` menoleh padaku dan matanya menuntut jawaban dariku. Jantungku sampai mau copot karena takut sekaligus grogi dan bingung harus jawab apa. Aku `kan ngga pernah diajak ngomong kayak gini sama cowo mana pun. “ Hah...ng...yah..Kayak gimana ya? Ng...yang pasti agak error kali ya? Soalnya elo error.” Aku tertawa garing mendengar jawabanku sendiri. Di saat begini aku masih bisa bercanda. `J` tertawa kecil dan mengangguk setuju. Ia menoleh padaku dan kali ini dengan senyumannya yang seperti biasa. Ada sedikit kelegaan kurasakan begitu melihat senyumnya. “ Dari kecil lo memang ngga berubah. Selalu ngomong apa adanya. Itu yang gua suka dari lo. Inget ngga waktu gua minta lo bohong sama Bokap supaya gua ngga dihukum? Lo malah ngomong dengan jujur kalau gua yang mecahin pot Nyokap lo dan lo ngasih tahu kalau gua sangat nyesel n takut dimarahin? Hasilnya Bokap gua ngga hukum gua. Sejak itu gua suka sama lo....Sampai saat ini gua ngga nemuin orang kayak lo...” Aku tercenung mendengar cerita `J`. Aku tidak pernah tahu kalau ada kejadian seperti itu. Aku tidak ingat sama sekali.
65
“ Waktu gua ngelamar lo...heehehehe...Gua ngga tahu lo masih simpen cincin itu atau ngga. Yang pasti gua seneng banget waktu lo bilang `ya`. Gua langsung catat di buku agenda gua. Gua kasih tahu deh, itu cincin sebenarnya cincin pernikahan Nyokap gua...hahaha...Nekat ya gua?! Makanya gua abis dimarahin sama Bokap.” Sebaiknya tertawa atau marah aku jadi bingung karena yang ia ceritakan aku pun tidak ingat sama sekali. Ceritanya pun aneh dan memang lucu. Sebegitunya `J` kecil suka padaku sampai mengambil cincin pernikahan Nyokapnya. Tapi tunnggu dulu. Aku memang punya sebuah cincin yang kebesaran. Cincin itu seperti cincin pernikahan. Aku tidak tahu kapan mendapatkan cincin itu. Berarti cincin itu pemberian dari „J‟.. “ Gua juga masih inget waktu lo hampir digigit anjing akhirnya malah gua juga yang digigit. Padahal gua takut sama anjing gede. Sejak itu kakak-kakak gua ngejekkin gua. Mereka selalu menyanyikan lagu tentang kita berdua untuk menggoda gua. Trus.....waktu gua harus pulang...lo ngasih gua foto kita berdua. Itu foto satu-satunya karena klisenya rusak. Lo mau liat?” `J` mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkann foto 2 anak kecil. Yang cowo sekitar umur 7 tahun, lehernya dipeluk gadis kecil sekitar berusia 5 tahun. Dan gadis kecil itu adalah aku. Gigi `J` ompong dan senyumnya terlihat lucu sekali. Dari belakang aku memeluknya dengan penuh kasih sayang. Foto yang sangat ceria dan hangat.
66
Aku menoleh pada `J` yang memandang foto itu dengan wajah yang sangat lembut. Aku tidak pernah tahu kalau ada orang yang begitu menyayangiku dari sejak aku kecil selain kedua orang tuaku. Aku tidak tahu apakah pantas untukku disayangi sementara hatiku mengejar sosok yang lain. `J`, seharusnya kamu menyayangi gadis lain..... “ Dis, masa lalu boleh kamu lupakan tapi gua pengen lo janji ....jangan lupakan yang sekarang....” Dadaku terasa sesak melihat matanya yang memohon padaku. Aku merasa tidak pantas mendapatkan kasih sayang sebesar ini. Seandainya aku bisa mendapat waktu tambahan untuk memberikan kenangan yang manis pada `J`. Aku pun tidak ingin melupakan kenangan saat ini. Saat-saat aku bisa merasakan bahwa ada orang yang menganggapku sebagai orang yang sangat berarti. “ Mau ke pantai?” tawar „J‟. Tanpa menunggu jawabanku `J` bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke tempat parkir motor. Tak lama kemudian kami sudah melaju menyusuri jalan raya yang mulai sepi menuju pantai Anyer. `J`....maafin gua. ***
67
Aku Akan Mati Untukmu… (‘J’) Semalaman aku dan Gladis berjalan-jalan mengelilingi kota Cilegon. Aku banyak makan makanan kesukaannya untuk mewakilinya. Aku juga menuliskan surat darinya untuk Ryan yang meminta Ryan untuk tidak melakukan sesuatu hanya karena merasa bersalah. Aku tidak tahu harus merasa sedih atau merasa senang. Semalaman aku merasa senang karena bisa banyak bercerita dengannya. Mengingatkannya tentang masa-masa kecil yang sudah ia lupakan. Tapi di sisi lain aku merasa takut, sedih dan sesak karena 1 jam lagi aku harus berpisah darinya. Sekarang kami berdiri di tepi pantai Anyer dan menikmati angin laut yang bertiup kencang. Kami berdua melangkah di atas pasir tetapi hanya 1 jejak yang tertinggal. “ Kalau nanti lo udah dijemput, kita masih bisa ketemu lagi ngga?” tanyaku penuh harap. Gladis tertawa geli dan berjalan mendahuluiku. Ia berbalik menghadapku dan melangkah mundur. “ Kalau masalah itu cuma Tuhan di surga yang tahu. Tapi sebaiknya sih ngga. Kalau pun lo ketemu gua, itu perlu dipertanyakan. Beneran gua atau ngga tuh.” “ Kira-kira waktu sampai surga lo bakalan diapain ya?”
68
“ Yang pasti bukan dicincang atau direbus. Hehehhe..Tapi gua sendiri masih suka ngedumel....Mmmm `J`...” “ Ya?” “ Maaf.....karena gua ngga inget semua kenangan kita waktu kecil dan...sikap gua waktu di bus dan semuasemuanya. Memang sih kita baru kenal sebentar....Tapi lo emang orang baik. Sebenarnya gua masih pengen bisa ngobrol banyak dengan lo tapi.......Gua harap lo mau maafin gua.” Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Gladis. Kutarik napasku dalam-dalam untuk menahan tangisku. Aku tidak ingin Gladis pergi dengan perasaan galau. “ Lo tenang aja. Gua bukan tipe pendendam. Apalagi sama lo. “ Gladis menghentikan langkahnya dan tersenyum kaku. Sangat terlihat jelas kalau dia menahan tangis. “ Tolong jaga BoNyok gua. Jagain Karen ya `J`?” “ Gladis...” “ Oh ya...lo hebat bisa masuk jurusan musik di SI. Dan sekarang gua baru ngerti kenapa banyak cewe yang ngejarngejar elo....hehehe...hik...hik...” “ Ngga, Dis...Gua bukan anak SI jurusan musik, Dis. Gua anak Universitas TA jurusan desain komunikasi visual. Waktu itu gua asbun karena gua liat lo dingin banget. Tapi...klo masalah cewe-cewe itu...emang banyak yang ngejar gua...makanya gua kurus kayak gini...hehehehe...cape dikejar terus...Sekali-kali gua `kan juga mau ngejar....Tapi cewe yang mau gua kejar keburu pergi duluan.....” 69
Gladis mengatupkan rahangnya dan menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kataku. Aku pun melakukan hal yang sama. Perpisahan ini terasa begitu berat. Perlahan aku mendekatinya dan memandang matanya dalam-dalam. Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin terus mengingat wajahnya. Kusentuh wajahnya yang tidak bisa kusentuh. Gladis...Seharusnya ngga kayak gini! Seharusnya aku bisa menyentuh kamu! “ Terima kasih, „J‟” Gladis merentangkan tangannya dan memelukku sekalipun yang akhirnya kurasakan hanyalah angin yang berhembus. Tidak ada kehangatan dan tidak ada sentuhan. Gladis memandangku lagi dan tersenyum pahit. “ Udah waktunya `J`.” Bisik Gladis sambil memandang ke arah belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang malaikat berpakaian serba putih mendekati kami. Ia tersenyum hangat pada Gladis. Gladis membalas senyumannya dan melangkah mendekatinya. Tunggu dulu! Kenapa Gladis dengan entengnya mengikuti dia?! “ Gladis! Tunggu!” Gladis tidak mendengarkanku ia malah terus berjalan tanpa mempedulikanku. “Gladis!” Gladis mengulurkan tangannya untuk menerima uluran tangan malaikat itu. Rasa-rasanya aku tidak bisa 70