Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 161-174 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 2
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan YULIUS TANDYANTO M a h a s i s w a P r o g r a m M a g i s t e r S e k o l a h Ti n g g i F i l s a f a t D r i y a r k a r a Surel:
[email protected] Diterima: 19 Januari 2015 Disetujui: 19 Maret 2015
ABSTRACT Hannah Arendt said implicitly that forgiveness is the humanity threshold. On the contrary, forgiveness is not too different from such a transaction between both sides, the forgiver and the forgiven. In such circumstances, thus, forgiveness always being understood in terms of economy of exchange which is critized by Jacques Derrida. In order to trancend those condition, we could offer to affirm the unconsciousness’ realm, and language’s expressions as a symbolic order, into forgiveness’ schema. We may maintain that the unconsiousness and language’s expressions are accomodating every individual’s violence for his/her development such as reconciliation and its humanity, and each word that was given will complete the human experience of forgiving as an event which is opaque and enigmatic. Thus, the expression of the word “pardon” becomes human identity, in fact, the humanity threshold itself. Keywords: forgiveness, violence, economy of exchange, unconsciousness, language, humanity Tanpa pengampunan—dibebaskan dari dampak-dampak perbuatan yang telah kita lakukan, kapasitas tindakan kita akan dibatasi oleh satu perbuatan yang tidak pernah dapat dipulihkan. Kita akan tetap menjadi korban dari dampak perbuatan tersebut selamalamanya, ibarat murid penyihir yang gagap dengan rumusan sihirnya sehingga tidak dapat mematahkan mantra. —Hannah Arendt, 1998: 237
Pendahuluan Komaruddin bertafakur. Ia tidak menyangka perselingkuhannya tepergok oleh istrinya, Nita. “Maafkan saya,” ujar Komaruddin menyesal. Namun, Nita tak menggubrisnya. Sejak peristiwa itu, Nita tak pernah lagi memercayai Komaruddin seperti sebelum-sebelumnya.
03-yulius.indd 161
Kisah Komaruddin adalah salah satu pengalaman nyata yang penulis jumpai dalam hidup keseharian. Kendati ia telah melayangkan permohonan ampun, perbuatan salahnya tidaklah serta-merta dibatalkan. Jika demikian, apatah fungsi pokok pernyataan maaf yang diucapkan secara verbal?
4/16/2015 6:19:26 AM
162
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Dalam konteks tersebut, penulis meng ajukan suatu hipotesis bahwa pernyataan maaf berfungsi untuk mengungkapkan berbagai kemungkinan identitas dan ambang batas kemanusiaan itu sendiri. Gagasan tersebut penulis olah berdasarkan inspirasi dari beberapa pemikir, terutama Hannah Arendt, Jacques Derrida, dan Jacques Lacan. Arendt berpendapat bahwa pengampunan justru memungkinkan tindakan-tindakan manusia bersifat mendunia dan lebih stabil. Pasalnya, pengampunan memutus rantai dendam yang bersifat reaktif. Meski demikian, Arendt juga mengakui ada jenis perbuatan yang tidak terampuni. Pada dakuan Arendt itulah, Derrida menyatakan sanggahannya. Bagi Derrida, praktik pengampunan model Arendt tidak ubahnya suatu transaksi ekonomis antara pihak pengampun dan yang diampuni. Padahal, pengampunan hanya bermakna apabila ia diperhadapkan pada tindakantindakan yang tidak terampuni. Di tengah dilema antara tindakan yang terampuni dan yang tidak terampuni tersebut, penulis memasukkan gagasan ketaksadaran Lacanian. Bagi penulis, aspek ketaksadaran memungkinkan tiap individu untuk mengakomodasi unsur keliyanan melalui ekspresi bahasa. Walhasil, pengampunan pun menjadi semacam afek yang membuka selubung-selubung kemanusiaan. Berdasarkan pengantar singkat inilah, penulis membagi paparan selanjutnya ke dalam tiga bagian besar, yakni (1) ambang batas kemanusiaan, (2) kemustahilan pengampunan, dan (3) perjumpaan dengan yang Liyan. Ambang Batas Kemanusiaan Dalam kutipan yang tertera di awal tulisan, secara tak langsung Arendt menyatakan bahwa tanpa pengampunan, manusia akan
03-yulius.indd 162
Vol II, 2014
dihantui oleh rasa bersalah seumur hidupnya. Oleh karena itu, pengampunan membebaskan manusia dari keterikatan atas tindakan-tindakannya. Namun, pernyataan Arendt tersebut tidak serta-merta menjadikan manusia permisif atas segala perbuatannya. Sebaliknya, Arendt sendiri merupakan sosok pemikir penting yang berupaya memahami berbagai perilaku manusia yang berdampak traumatis, khususnya dalam sejarah Eropa abad ke-20. Keahliannya dalam bidang teori politik, filsafat, serta kajian perihal pembinasaan manusia mendapat perhatian yang serius (Swift, 2009: 1). Dengan demikian, pengertian “tindakan” perlu ditautkan dalam sejarah traumatis kemanusiaan. Maka, tidak meng herankan apabila Arendt menggarisbawahi gagasan pokok yang tertuang dalam Human Condition, yakni memikirkan tindakan yang sedang kita lakukan. Ia menyatakan:
“Apa yang saya ajukan berikut ini adalah suatu pertimbangan ulang mengenai kondisi manusia yang berasal dari pengalaman dan ketakutan-ketakutan kita yang terkini. Tentu saja, hal-hal tersebut adalah perkara pemikiran dan kesembronoan—kecerobohan atau kegamangan atau repetisi ‘kebenaran-kebenaran’ yang menjadi sepele dan hampa—yang bagi saya merupakan ciri khas istimewa zaman ini. Dengan demikian, apa yang saya ajukan sa ngat sederhana: tidak lebih dari memikirkan apa yang sedang kita lakukan. ‘Apa yang sedang kita lakukan’ adalah tema utama buku ini. Tema tersebut mencakup artikulasi kondisi manusia yang paling mendasar sekaligus tradisional di dalam ranah setiap manusia. Ka rena alasan itulah, aktivitas berpikir—sebagai aktivitas paling tinggi dan murni yang dimiliki manusia—ditinggalkan karena pertimbanganpertimbangan terkini. (Arendt, 1998: 5).”
Tentu saja dengan pernyataan tersebut Arendt sedang mengkritik gaya “berpikir” yang biasa dilakukan oleh orang-orang modern—khususnya yang berasal dari tradisi filsafat Barat modern. Bagi Arendt,
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
model berpikir dengan keketatan logika demi mencapai kebenaran mutlak justru mengasingkan si pemikir dengan dunia nyatanya. Akibatnya, berbagai klaim kebenaran yang didengung-dengungkan tak ubahnya merupakan rangkaian kesembronoan. Barangkali fenomena pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu dapat dijadikan salah satu contohnya. Fanatisme tiap pendukung terhadap calon presiden (capres) pilihannya malah membakukan identitas “rakyat” yang seharusnya bersifat lentur. Maka, kasus-kasus seperti Suto dan Saleh, dua penarik becak di Pamekasan, Jawa Timur, yang berkelahi gara-gara berbeda pilihan capres (Kompas, 3/6/2014) akan ke rap dijumpai dalam wajah yang berbedabeda. Karena itu, di mata Arendt, tradisi filsafat sejak Platon menjadikan manusia sebagai mahkluk yang terasing. Keter asingan muncul akibat pengutamaan kaum cendekia pada dunia ideal dibandingkan dunia fenomena. Di tengah-tengah situasi tersebut, Arendt menawarkan dunia fenomena dengan segenap kemajemukan opininya. Dengan kata lain, bagi Arendt, kemajemukan dan penerimaan terhadap opini yang berbeda-beda merupakan suatu kondisi hakiki manusia (Swift, 2009: 24). Implikasinya, aktivitas berpikir tidak melulu menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang ideal. Namun, berpikir terutama berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seharihari. Sederhananya, kita memikirkan tindakan-tindakan yang “biasa” kita lakukan. Lantas, apa kaitan “memikirkan hal 1
03-yulius.indd 163
yulius tandyanto 163
ihwal yang biasa kita lakukan” dengan pengampunan? Persis pada titik itulah Arendt memperlihatkan bahwa manusia sudah selalu membutuhkan pengampunan. Pendek kata, pengampunan bersifat eksistensial. Pasalnya, manusia modern kerap bertindak dalam modus produksi dan logika sarana-tujuan. Salah satu bahaya terbesar bertindak dalam modus dan logika tersebut adalah perusakan diri sendiri. Menurut Arendt perusakan diri bersifat inheren dalam tindakan (Arendt, 1998: 238). Perusakan diri terjadi karena “bertindak” berarti melakukan kekerasan-kekerasan yang dibutuhkan untuk menghasilkan atau pun membatalkan segala jenis daya cipta. Barangkali kekerasan-kekerasan tersebut dapat diibaratkan seperti seorang pengrajin tembikar yang menempa tanah liat untuk menghasilkan tembikar yang apik. Namun, ketika hasilnya tidak sempurna (cacat) ia harus menghancurkan tembikar tersebut dan memulainya lagi dari awal. Dalam kasus Komaruddin, baik perselingkuhan maupun penyesalan dirinya merupakan perwujudan kekerasan yang berpotensi merusak diri. Karena itu, pengampunan niscaya dibutuhkan untuk memulihkan kerusakan-kerusakan diri. Pengampunan memungkinkan manusia untuk terus berdaya cipta tanpa dihantui oleh tindakan-tindakan masa lampaunya. Kendati demikian, Arendt berpendapat bahwa pengampunan bukanlah satu-satunya alternatif yang berjalin erat dengan tindakan manusia. Dua bentuk aktivitas lainnya yang memiliki posisi diametral dengan pengampunan ialah balas dendam dan hukuman.1
Balas dendam merupakan reaksi terhadap suatu tindakan yang salah, tetapi tidak mengakhiri dampak dari tindakan tersebut. Malahan, balas dendam membungkam kebebasan tiap pihak dalam suatu rantai tindakan yang tak pernah berakhir. Lain halnya dengan balas dendam, hukuman memutus rantai tindakan sebagaimana pengampunan. Kesamaan struktur antara hukuman dan pengampunan dapat dideskripsikan sebagai berikut: manusia tak dapat mengampuni tindakan yang tak dapat dihukum dan juga tak dapat menghukum tindakan yang tak terampuni. Berdasarkan struktur itulah, dapat pula disimpulkan adanya suatu jenis tindakan yang tidak dapat dihukum maupun terampuni, yakni kejahatan radikal. Bagi Arendt, kejahatan radikal melampaui dunia kemanusiaan dan segala daya potensialnya. Bahkan, ketika kejahatan radikal tampil, dunia kemanusiaan dan segala daya potensialnya musnah (Arendt, 1998: 241-242).
4/16/2015 6:19:26 AM
164
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Vol II, 2014
Meski demikian, Arendt tetap memprioritaskan pengampunan. Barangkali prioritas tersebut muncul karena perhatian Arendt tertuju pada kekhasan daya yang memungkinkan pengampunan, yakni respek. Ia menyatakan,
ekspresikan dalam tradisi Kristianitas (Arendt, 1998: 242). Cinta tidak memedulikan kualitas, kekurangan, keberhasilan, kegagalan, dan pelanggaran seorang individu. Cinta pulalah yang meleburkan ruang perantara—yang menghubungkan sekaligus memisahkan—seorang individu dari “Respek merupakan suatu perhatian yang yang lainnya. ditujukan pada pribadi dari kejauhan, yang Namun, justru karena kekhasan itumemberi ruang di antara kita. Perhatian ini lah, cinta bersifat tidak mendunia. Cinta tidak dipengaruhi oleh berbagai kualitas yang bertransformasi menjadi kekuatan apolitis kita puja atau pun keberhasilan-keberhasilan terbesar karena ia selalu menerima siapa yang kita hargai sangat tinggi. Dengan demikian, modernitas kehilangan respeknya. Atau, pun dan rela mengampuni apa pun. Karkita meyakini bahwa respek muncul karena ena itu, “Pengampunan menjadi sesuatu kita mengagumi atau menghargai [kualitasyang berada di luar pertimbangan-pertimkualitas tertentu]. Respek macam ini hanya bangan kita,” papar Arendt (Arendt, 1998: mengkonstitusi gejala akan lucutnya kema242-3). Melalui paparan Arendt tersebut, nusiaan dalam kehidupan publik dan sosial. kita dapat menyimpulkan bahwa respek Bagaimanapun juga, respek hanya berkaitan pada pribadi sehingga ia memadai untuk memiliki ruang lingkup yang lebih luas mengampuni tindakan seseorang demi pribadi dibandingkan cinta, yakni sifatnya yang tersebut. (Arendt, 1998: 243).” politis dan mendunia. Dengan demikian, pengampunan mePendek kata, respek di mata Arendt mungkinkan berkembangnya pelbagai adalah suatu jenis perhatian tanpa keinti- tindakan antarmanusia meskipun sarat man. Respek berorientasi pada pribadi ma- dengan kekerasan. Hubungan sekaligus nusia tanpa memperhitungkan beragam keterpisahan antarmanusia tersebut diperkualitas yang melekat padanya, seperti ke- antarai oleh respek—sebagai daya utama baikan, kepandaian, keluhuran, dan segala pengampunan. Dengan kata lain, pengammacamnya. Tentu pandangan ini berten- punan menjadi semacam ambang batas tangan dengan masyarakat modern yang bagi manusia untuk memikirkan tindakan cenderung menghargai manusia berdasar- dan kemanusiaannya. kan kualitas atau atribut-atributnya. Pada ambang batas itulah Derrida hadir Perhatian Arendt pada respek seba- untuk memeriksa praktik-praktik pengamgai daya pengampunan tidaklah muncul punan dalam kehidupan sehari-hari. sekonyong-konyong. Tampaknya Arendt telah menjajaki daya lainnya, yakni cinta. Kemustahilan Pengampunan Arendt berpendapat bahwa cinta memiliki daya yang tak tertandingi untuk mengge Kehadiran Derrida di ambang batas menrakkan pengampunan, sebagaimana ter- gungkapkan sisi liyan2 pengampunan. 2
03-yulius.indd 164
Penulis menggunakan kata “liyan” untuk merujuk pada “yang-lain”. Istilah “liyan” merupakan kata serapan dari bahasa Jawa “liya” yang berarti “lain” atau “asing” (Prawiroatmodjo, 1981: 310). Lema ini belum terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)—selanjutnya disingkat sebagai KBBI. Hal tersebut penulis lakukan untuk menekankan nuansa asing, gelap, terselubung, dan yang tak terpahami dari “yanglain”—seperti yang dialami oleh penutur non-Jawa ketika berhadapan dengan istilah “liyan”. Dengan kata lain, “keliyanan” selalu luput untuk didefinisikan atau ditotalisasi dalam kerangka berpikir yang ontis, yang-sama, atau pun oposisi biner.
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Derrida berpendapat bahwa ada semacam kedaulatan kekuatan yang telah diandaikan dalam praktik-praktik pengampunan tradisional—termasuk model pengampunan Arendt. Syahdan, kekuatan yang berdaulat tersebut seolah-olah menjadi tolok ukur pengampunan. Derrida menyatakan, “Jika seseorang dapat mengampuni setelah seseorang tersebut dihakimi dan dihukum sebagaimana yang dinyatakan oleh Jankélévitch dan Arendt, maka penilaian, mendudukkan perkara, institusi terkait putusan segera mengandaikan adanya suatu kekuasaan, suatu daya, suatu kedaulatan. Seperti argumen kaum ‘revisionis’: Pengadilan Nuremberg merupakan reka cipta dari sang pemenang; ia tetap memiliki fitrahnya untuk menegakkan hukum, putusan, dan hukuman sebagaimana juga untuk menyatakan ketidakbersalahan dan sebagainya (Derrida, 2001a: 59).”
yulius tandyanto 165
bagai “pengampunan” apabila ia mengampuni hal-hal yang terampuni. Sebaliknya, pembalikan logika yang dilakukan oleh Derrida justru memperlihatkan bahwa pengampunan sejati adalah pengampunan yang mustahil. Implikasinya, muncul semacam tuntutan etis untuk mengampuni yang tak terampuni. Oleh karena itu, pengampunan sejati merupakan pengampunan yang tidak mungkin3—dalam pengertian logika tradisional. Barangkali Derrida sadar bahwa bentuk pengampunan yang ia tawarkan sangatlah sulit tercapai, alih-alih mustahil. Kendati hipotesisnya dianggap “sinting”, Derrida tetap mengupayakan jenis pengampunan murni tersebut. Demikian ia ungkapkan, “Apa yang saya impikan, apa yang saya pikirkan sebagai ‘kemurnian’ pengampunan yang cocok dengan nama pengampunan itu sendiri adalah pengampunan tanpa kekuatan: mutlak tetapi tanpa kedaulatan. Tugas yang paling sulit, sekaligus penting dan tampaknya mustahil, adalah memisahkan kemutlakan dan kedaulatan. Apakah mungkin hal tersebut dilakukan suatu saat kelak? Seperti yang telah dinyatakan, hal tersebut tidak akan pernah segera terjadi. Namun, karena hipotesis mengenai tugas yang tak dapat dikerjakakan ini menyatakan dirinya, entah sebagai impian, barangkali kesintingan ini tidaklah terlalu sinting ... (Derrida, 2001a: 59-60).”
Berdasarkan pernyataan tersebut, secara implisit Derrida mengajukan suatu bentuk pengampunan tanpa kekuatan yang berdaulat baik berupa cinta atau pun respek. Bagaimanapun, usulannya tersebut tidak dapat dilepaskan dari keniscayaan bahwa logika tradisional tidak lagi memadai dalam mendeskripsikan setiap fenomena. Bagi Derrida, suatu kemungkinan yang sejati akan selalu melampaui tatanan yang mungkin menuju ketakmungkinan (Glendinning, 2011: 80). Dengan kata Kalangan tradisional (klasik) acap kali lain, satu-satunya yang mungkin adalah menyejajarkan “kesintingan”4 atau kemuskemustahilan. Logika tradisional memperlihatkan tahilan yang dipaparkan oleh Derrida sebahwa pengampunan layak dinyatakan se- bagai etika hiperbolis. Dalam pandangan
Konsep kemustahilan atau ketakmungkinan (impossibility) yang diungkapkan oleh Derrida bukanlah lawan dari “kemungkinan” (possiblity). Derrida menyatakan bahwa bertindak dalam kategori “yang mungkin” adalah mengikuti suatu kesepakatan, norma, atau hukum. Contohnya: menyambut yang dapat disambut, mengampuni yang dapat diampuni, menciptakan yang dapat diciptakan, atau memutuskan yang dapat diputuskan. Derrida justru akan mempertanyakan, “Mengapa peristiwa keramahtamahan, pengampunan, penciptaan, atau putusan selalu beroperasi dalam bentuk-bentuk yang terbatas atau bersyarat?” Sebaliknya, Derrida akan mengajukan bahwa putusan baru akan terjadi dalam situasi yang tidak dapat diputuskan. Atau, pengampunan terjadi dalam situasi yang tidak dapat diampuni. Melalui pemikiran ini Derrida hendak mengajak kita untuk memikirkan ulang dan mengubah yang-bersyarat (conditional) demi yang-mutlak (unconditional) [Wortham, 2010:75-76]. 4 Derrida menggunakan istilah Søren Kierkegaard untuk menggambarkan syarat ideal pengampunannya sebagai “suatu kesintingan akan yang mustahil (une folie de l’impossible)” [Oliver, 2003: 280]. 3
03-yulius.indd 165
4/16/2015 6:19:26 AM
166
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
kalangan tradisional, pengampunan yang dimaksudkan oleh Derrida bersifat buntet (aporetis)5, dekonstruktif6, dan “oto-interuptif” (Caputo, dkk, 2001: 8). Pasalnya, pengampunan model Derrida mengandung sesuatu yang tak terkandung, sebut saja sebagai daya hiperbolis atau “sebutan apa pun yang engkau kehendaki”. Boleh jadi salah satu tafsiran mengenai daya hiperbolis yang diutarakan oleh Derrida merujuk pada peradikalan syaratsyarat ideal Kantian yang menuntut kemurnian—termasuk kemurnian pengampunan (Oliver, 2003: 282). Namun, berbeda dengan Kant, Derrida tidak menganggap kewajiban demi kewajiban merupakan suatu motif yang murni. Derrida menolak tuntutan Kant bahwa hukum moral ditegakkan melalui kewajiban. Sebaliknya, Derrida justru memperlihatkan bahwa hukum moral mereduksi kewajiban sebagai suatu pelunasan hutang yang sesuai dengan skema ekonomi pertukaran7. Bila tujuan Kant menuntut suatu kemurnian adalah untuk membangun kedaulatan kehendak, Derrida justru meniadakan kedaulatan kehendak. Menurut Derrida, praanggapan mengenai kedaula-
Vol II, 2014
tan kehendak hanya akan menempatkan pengampunan dalam skema ekonomi pertukaran (Oliver, 2003: 280). Misalnya, seseorang akan memberikan pengampunan kepada orang lain demi mendapatkan rekonsiliasi. Lantas, bagaimana Derrida mengupayakan syarat-syarat ideal Kantian tersebut agar tidak menjadi semacam filsafat kritis yang mustahil diwujudkan? Sebagai langkah awal, Derrida akan membedakan postulat yang mendasari syarat-syarat ideal pada filsafat Kant maupun dirinya. Menurut Derrida, syarat-syarat ideal Kant berhubungan dengan pengandaian tentang kedaulatan kehendak manusia yang rasional dan baik (Oliver, 2003: 282). Postulat Kant tersebut jelas berbeda dengan Derrida yang menyatakan bahwa pengampunan yang ideal adalah tanpa kehendak dan kedaulatan. Bagi Derrida pengampunan yang ideal tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh nalar karena melampaui skema rasionalitas. Namun, model pengampunan Derrida tersebut tidak serta-merta hanya dapat “dipahami” dalam skema iman. Bagi Derrida pengampunan terjalin erat dengan istilah
“Aporia” merujuk pada istilah Yunani yang berarti situasi yang tidak ada jalan keluarnya. Situasi ini tidak dapat dipecahkan baik melalui analisis rasional maupun pemikiran dialektis. Dengan kata lain, aporia adalah suatu “situasi” yang tidak dapat diidentifikasikan situasinya (Wortham, 2010: 31-33). Dalam tulisan ini, penulis memadankan istilah “aporia” dengan “buntet” (KBBI) yang juga memiliki nuansa kebuntuan dan tidak ada jalan keluar. 6 Dekonstruksi dapat dianalogikan seperti gempa bumi. Ia muncul secara tiba-tiba dan bukan disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan suatu gerak internal yang ada pada dirinya. Nicholas Royle mendefinisikan “dekonstruksi” sebagai kata benda yang berarti, “Bukan hal yang kita pikirkan; pengalaman akan yang mustahil; hal yang terisa untuk dipikirkan; suatu logika ketidakstabilan yang sudah selalu bergerak dalam ‘dirinya sendiri’; perihal yang menjadikan tiap identitas sesuai dan sekaligus berbeda dengan dirinya; suatu logika kehantuan”; suatu virologi atau parasitisme teoretis dan praktis; hal yang memungkinkan masyarakat, politik, diplomasi, ekonomi, realitas historis, dan sebagainya hadir saat ini; awal masa depan itu sendiri (Royle, 2003: 25).” 7 Penulis menafsirkan “ekonomi pertukaran” sebagai salah satu konsep khas yang diajukan Derrida. Untuk sedikit memahaminya, kita perlu terlebih dahulu mengenal keterkaitannya dengan konsep “peristiwa” (event). Bagi Derrida, peristiwa haruslah bersifat tunggal, eruptif, tak dapat diantisipasi, dan melampaui pemahaman. Dengan kata lain, suatu peristiwa selalu melampaui muatan (isi) dan representasinya. Derrida merefleksikan pandangannya mengenai berbagai peristiwa, seperti: keputusan (decision), penciptaan (invention), keramahtamahan (hospitality), pemberian (gift), dan pengampunan (forgiveness). Dalam teks “A Certain Impossible Possibility of Saying the Event”, Derrida menyatakan bahwa pemberian sebagai suatu peristiwa melampaui nilainilai “ekonomi pertukaran” (economy of exchange) [Wortham, 2010: 48-49]. Artinya, pemberian selalu melampaui apa yang diberikan, siapa yang memberikan, dan kepada siapa diberikan. Singkat kata, ekonomi pertukaran selalu terkait dengan hal ihwal mengenai apa, siapa, dan kepada siapa. 5
03-yulius.indd 166
4/16/2015 6:19:26 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
“pemberian”. Pada pokok itulah Derrida memperlihatkan kebuntetan yang ada dalam kedua istilah tersebut.8 Syahdan, Derrida menawarkan suatu jalan panjang untuk memeriksa kembali konsep pengampunan yang telah diterima begitu saja. Derrida kembali menunjukkan bahwa pengampunan tradisional terjebak pada suatu transaksi antara yang mengampuni dan yang terampuni.9 Bagi Derrida, kalkulasi antara pihak yang mengampuni dengan yang terampuni bukanlah pengampunan. Pengampunan murni justru mengacaukan ekonomi pertukaran, kesetimbangan, dan ketersalingan. Pengampunan terjadi ketika pengampunan tak lagi dimungkinkan. Demikan Derrida menyatakan, “Lebih dari sekali kita berhadapan dengan kebuntetan [pengampunan] yang hampa dan kering, tetapi ia pun gigih menuntut untuk senantiasa diuji. Kebuntetan pengampunan, jika memang ada, harus dan hanya dapat mengampuni yang tidak terampuni, yang tak mungkin terampuni, dan melakukan yang mustahil. Mengampuni yang dapat terampuni (pardonable), kesalahan yang ringan, yang dapat dimaklumi, ketika siapa pun dapat selalu
yulius tandyanto 167
mengampuni bukanlah pengampunan (Derrida, 2001b: 30).”
Bagi Derrida hal yang tak terampuni adalah satu-satunya yang memungkin kan pengampunan sekaligus menjadikan pengampunan sebagai suatu pemberian. Derrida meradikalkan ketakmungkinan pengampunan murni pada kebuntetan yang membatasi pemberian dan pengampunan. Analisisnya memperlihatkan bahwa pengampunan murni bukanlah penerapan dari logika aporetis pemberian. Malahan, pengampunan melampaui pemberian. Ia berpendapat, “Kita selalu bergulat dalam jerat kebuntetan yang abstrak dan kering, tetapi juga dalam logika yang gigih dan tak terbantahkan: Jika ada yang namanya pengampunan, ia hanya mengampuni yang tak terampuni. Dengan demikian, jika mungkin ada pengampunan, ia adalah ketidakmungkinan. Pengampunan tidak hadir sebagai kemungkinan. Ia ada hanya dengan cara mengecualikan dirinya dari hukum kemungkinan. Ia memustahilkan dirinya dalam rentang ketak-mungkinan abadi sebagai yang tidak mungkin. Inilah persamaannya dengan pemberian. Namun, kita perlu memilah simetri atau analogi antara
Derrida menyatakan, “Dan lebih dari sekali kita menunda berbagai persoalan dan kebuntetan mengenai ‘pemberian’ ... dan memindahkannya pada persoalan dan juga yang bukan persoalan—terkait kebuntetan pengampunan, kebuntetan yang serupa, dan bahkan yang saling terkait. Namun, kita jangan menyerah dahulu pada analogi antara pemberian dan pengampunan, atau pun menolak keniscayaannya; melainkan kita perlu mengartikulasikan keduanya, mengikuti keduanya hingga pada titik yang sekonyong-konyong mereka tidak lagi saling berkaitan. Setidaknya di antara pemberian dan pengampunan terdapat afinitas mengenai pemewaktuan di samping prinsip mutlak kedua hal tersebut terhadap waktu—satu dan yang liyan, memberi dan mengampuni, memberi untuk memberi [don par don]. Afinitas tersebut hadir meskipun ada hal yang mengikat pengampunan pada masa lalu sehingga pengampunan menjadi suatu pengalaman yang tak dapat direduksi pada pemberian—suatu pemberian yang bersifat umum di masa kini, dalam suatu presentasi atau kehadiran dari yang kini (Derrida, 2001b: 22).” 9 Derrida berpendapat, “Kita memulai dengan mempertimbangkan kata benda ‘maaf’ sebagai ujaran performatif (Maaf! Saya minta maaf [je te demande pardon/je vous demande pardon], kami minta maaf [nous te demandons, nous vous demandons pardon]). Dalam bahasa Prancis, Anda melihat bahwa kata tersebut dapat digunakan sebagai bahasa performatif—dengan pengertian ‘memohon pengampunan’, tidak dalam kasus pengampunan sudah diberikan atau ditolak. Benarkah bahwa agar pengampunan dapat diberikan atau bahkan dipertimbangkan, ia haruslah diminta, dan diminta di atas dasar [sur fond] pengakuan dan penyesalan? Dalam pandangan saya, kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang telah ditentukan, bahkan perlu dikecualikan sebagai kekeliruan yang mendasar ketika seseorang memberikan pengampunan. Jika saya memberi pengampunan dengan kondisi bahwa orang lain mengakui, bahwa orang lain mulai menebus dirinya, mengubah kesalahannya, memisahkan diri dari perbuatannya untuk meminta pengampunan, maka pengampunan yang saya berikan terkontaminasi oleh suatu ekonomi, suatu kalkulasi yang mengkorup pengampunan itu sendiri (Derrida, 2001b: 45-46).” 8
03-yulius.indd 167
4/16/2015 6:19:26 AM
168
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Vol II, 2014
gala identifikasi, spiritualitas, ekonomi pertukaran, dan semua momen penebusan kesalahan, meskipun pihak yang bersalah tidak meminta ampun, tidak menyesal, tidak mengakui, tidak memperbaiki, atau pun tidak menebus dirinya. Bagi Derrida kedua kutub tersebut tidak dapat direduksi atau pun dipisahkan. Malahan, kedua kutub itulah yang menentukan putusan dan tindakan individu sebagai ruang yang di dalamnya kita hidup di antaranya. Oleh karena itu, Derrida menawarkan suatu alternatif yang dapat di sebut sebagai “selain-rekonsiliasi”.10 Menurut Derrida, selain-rekonsiliasi merupakan perjumpaan tak terduga denDengan demikian, sangat dimungkink- gan keliyanan (Oliver, 2003: 287). Pengaman dalam model Derridean bahwa kejaha- punan sebagai perjumpaan tak terduga tan radikal yang diutarakan oleh Arendt dengan keliyanan juga mengandaikan justru memperlihatkan sifat dekonstruktif adanya kesangsian tanpa batas. Kesangkonsep pengampunan tradisional. Di satu sian tersebut muncul melalui pertanyaankutub, Arendt “mengkalkulasi” kengerian pertanyaan tanpa henti dan merupakan kejahatan radikal yang telah terjadi sehing- hal yang pokok bagi Derrida untuk memga tak ada suatu pun yang dapat memu- pertahankan pengampunan murni. Ia lihkan kembali keseimbangan hubungan menyatakan bahwa semua orang perlu antarsesama—atau bahkan kemanusiaan berupaya untuk mencapai pengampunan itu sendiri. Walhasil, tidak ada hukuman murni dengan cara menginterogasi diri seyang setimpal karena kejahatan tersebut cara terus-menerus. Namun, Derrida juga menegaskan bahwa setiap orang juga perlu tidak dapat ditebus dan diampuni. Namun, di kutub lain Derrida juga mengakui kemustahilan diri dalam mencamenggambarkan bahwa pengampunan— pai kemurnian tersebut. Penekanan berlebihan pada kemurdalam pengertiannya yang asali—mennian dan kemustahilan (etika hiperbolis) gandung suatu daya, hasrat, dorongan, gerakan, tarikan, atau “sebutan apa pun yang dikemukakan oleh Derrida menunyang engkau kehendaki” yang menuntut jukkan bahwa manusia tidak pernah puas agar ampunan diberikan (Derrida, 2001b: dengan dirinya sendiri (Oliver, 2003: 287). 28). Bahkan, “sebutan apa pun yang eng- Ketidakpuasan ini terlihat ketika manusia kau kehendaki” tersebut melampaui se- menanggapi sesamanya, khususnya yang pemberian dan pengampunan ketika fakta persamaan tersebut menghantarkan kita untuk berpikir mengenai yang-mungkin dan yang-tak-mungkin dalam sejarah kebudayaan kita—di mana yang-mungkin dan ‘kekuasaan’ disebut sebagai filsafat atau pengetahuan. Jika urgensi pengampunan-yang-tak-mungkin bukanlah hal yang abadi dan pengalaman tak sadar akan ketak-mungkinan menghasilkan keadaan terampuni, sebagaimana pengampunan bukanlah suatu modifikasi atau hasil kerumitan sekunder yang muncul dari pemberian, maka pengampunan berada dalam kebenarannya yang utama dan ultima. [Dengan kata lain] Pengampunan merupakan kebenaran mustahil akan pemberian yang mustahil. Sebelum pemberian, ada pengampunan (Derrida, 2001b: 48).”
10
03-yulius.indd 168
Derrida menyatakan, “Jika dengan rekonsiliasi … saya mengacu pada sesuatu yang tidak memiliki identifikasi, tidak ada pemulihan, tidak ada terapi, sederhananya hanya suatu relasi tertentu dengan yang lain, maka itulah yang saya pikirkan tentang pengampunan. Namun, pemikiran seperti ini tidak umum dalam benak orang-orang ketika berbicara tentang rekonsiliasi. Tidak hanya pada [pemikiran] Hegel, tetapi juga pada orang lain yang berbicara tentang rekonsiliasi yang mengimplikasikan komunitas, pendidikan, keterlibatan dengan tindak kejahatan, dan seterusnya. Itu bukanlah pengampunan murni (Kearney, 2001: 57).”
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
tidak ia kenali. Ia tidak pernah berhenti untuk mempertanyakan diri, “Mengapa saya melakukan apa yang sedang saya lakukan, mengapa saya menilai apa yang sedang saya nilai, mengapa saya menghasrati apa yang sedang saya hasrati, mengapa saya menakuti apa yang sedang saya takuti?” Berdasarkan ketidakpuasan itulah, wacana tentang kemurnian merupakan salah satu pokok penting yang didekonstruksi oleh Derrida. Oleh karena itu, etika hiperbolis Derrida menuntut untuk menginterogasi batasan-batasan mengenai yang murni dan yang tidak murni. Derrida sendiri akan mempertahankan kutub ideal nan mutlak (sebagai pengampunan murni) yang bersifat tak terpisahkan dari kutub yangbersyarat (sebagai pengampunan dalam kehidupan sehari-hari). Dengan demikian, pengampunan bukanlah suatu kalkulasi yang menuntut terpenuhinya syarat-syarat yang memungkinkannya. Tuntutan Derrida perihal mengampuni yang tidak terampuni bukanlah perkara kekerasan atau tanpa kekerasan. Ia bukan pula suatu bentuk imperatif moral Kantian yang diradikalkan (murni). Namun, mengampuni yang tidak terampuni merupakan suatu daya internal yang mengaduk-aduk konsep tersebut sehingga kita tidak pernah tenang dengan istilah kemenduniaannya, yakni “pengampunan”.
yulius tandyanto 169
Melalui skema Derridean tersebut pengampunan ditarik menuju dua arah sekaligus, efektif sekaligus labil. Di satu sisi, pengampunan digerakkan oleh suatu daya efektif tertentu sehingga ia menjadi tindakan konkret di dalam beragam institusi sehari-hari—baik bersifat politik, yuridis, maupun religius. Namun, di sisi lain, pengampunan juga digerakkan oleh daya hiperbolis yang labil sehingga ia merupakan kemenjadian terhadap “yang akan datang”. Dalam konteks tersebut, pengampunan digerakkan oleh suatu dorongan, atau hasrat, atau sebutan apa pun yang engkau kehendaki, sehingga struktur berbagai institusi tersebut memiliki tujuan yang terbuka, dapat direvisi, dan terarah pada masa depan yang tidak terkira.11 Berdasarkan uraian singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep “pengampunan” Arendt dan Derrida berada dalam dua aras yang berbeda—kendati sama-sama “menempatkan” pengampunan sebagai ambang batas kemanusiaan. Pengampunan model Arendt memperlihatkan kondisi eksistensial manusia yakni, dimensi “keterampunan” yang memungkinkan tindakan-tindakan manusia. Pendek kata, bagi Arendt, pengampunan (dan janji) merupakan mekanisme kontrol terhadap keberadaan (tindakan) manusia.12 Di aras yang lain, pengampunan model
Ann Murphy mengistilahkan dorongan tersebut sebagai “keheningan”. Ia menyatakan, “Keheningan yang melandasi wacana pengampunan Derrida layak untuk diperhatikan karena kesengajaan Derrida untuk menolak isu-isu tertentu terkait pengampunan. Malahan, wacana Derrida mengenai pengampunan tidak dialamatkan pada motifmotif populer sebagaimana yang dilakukan oleh keadilan historis dan politik ingatan. Di antaranya adalah perdebatan terkait apakah mengingat atau melupakan yang menjadi strategi paling produktif untuk mengatasi kekejaman sejarah. Apakah pengampunan menghasilkan semacam ingatan kolektif atau bertujuan untuk menjahit luka-luka dengan harapan untuk bergerak maju? Sebagian kritisi menekankan pentingnya dan kesahihan hukuman untuk tindak kekerasan. Sebagian yang lain keberatan dengan amnesti dan pengampunan karena merupakan strategi yang tidak adil secara moral terhadap kekerasan masal. Terkait debat dan diskusi mengenai isu-isu tersebut, Derrida tidak berkata banyak. Keheningannya jelas; persoalan-persoalan yang tak dijawab oleh Derrida memperlihatkan bahwa ia memahami pengampunan sebagai suatu tanggapan atau saran yang lebih positif (Murphy, 2014: 538-5399).” 12 Arendt menyatakan, “[P]engampunan dan janji muncul dari itikad untuk hidup bersama-sama dengan orang lain yang terejawantahkan dalam tindakan dan pernyataan. Jadi, pengampunan dan janji seolah-olah merupakan mekanisme kontrol untuk memulai proses yang baru dan yang tidak akan pernah berakhir (Arendt, 1998: 246).” 11
03-yulius.indd 169
4/16/2015 6:19:27 AM
170
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Derrida menyingkapkan tuntutan etis dari wacana dan praktik-praktik pengampunan itu sendiri. Dengan kata lain, Derrida memperlihatkan dimensi “praktik” antara sang pengampun dan yang terampuni. Di dalam praktik tersebut terdapat ketegangan yang tak terselesaikan antara pengampunan mutlak dan pengampunan bersyarat. Lantas, bagaimana kita dapat menjembatani dua aras pengampunan yang berbeda tersebut agar dimensi eksistensial dan etis dari pengampunan tersebut dapat dihayati dan dihidupi secara bersamaan? Pada pokok itulah penyelidikan akan aras ketaksadaran memampukan kita untuk mencurigai dan menginterogasi ilusi-ilusi yang tersembunyi ketika kita berupaya mencapai hal-hal ideal, termasuk pengampunan murni. Melalui penyelidikan tersebut manusia dimungkinkan untuk bertanggung jawab tidak hanya akan keberadaan tindakannya, tetapi juga akan ketakutan dan hasrat-hasrat dalam dirinya. Singkatnya, aras ketaksadaran meradikalkan ope rasi pengampunan di dalam yang Liyan. Perjumpaan dengan yang Liyan Barangkali ketaksadaran tidak ubahnya seperti wacana mengenai yang Liyan. Pasalnya, yang Liyan ini dibutuhkan untuk
13
03-yulius.indd 170
Vol II, 2014
mengkondisikan ketaksadaran manusia. Lacan menyatakan, “[…] yang Liyan dengan L besar merupakan suatu lokus yang penting dalam struktur simbolik. Yang Liyan ini dibutuhkan untuk mengkondisikan ketaksadaran dalam kebenaran, yakni untuk menstrukturkannya sehingga seluruh rangkaian neurosis menjadi suatu persoalan dan bukan suatu daya pikat—suatu pembedaan yang perlu digarisbawahi terkait fakta bahwa subyek menggunakan daya pikat (umpan) hanya untuk ‘mengitari persoalan’ (Lacan, 2006: 379 [454]).”
Lacan membedakan yang Liyan dengan “L” besar dan yang liyan dengan “l” kecil. Bagi Lacan, “yang liyan” selalu mengacu pada sesuatu yang imajiner. Kita memperlakukan yang liyan sebagai keseluruhan, ego yang utuh, dan refleksi akan sosok yang utuh. Di sisi lain, “yang Liyan” merupakan keterasingan mutlak yang tidak dapat dileburkan ke dalam subyektivitas manusia. Yang Liyan merupakan tatanan simbolik. Ia adalah bahasa asing yang melingkupi manusia. Ia perlu dipelajari sehingga manusia dapat mengartikulasikan hasrat dirinya. Yang Liyan merupakan wacana dan hasrat-hasrat yang berada di sekeli ling manusia—yang di dalamnya manusia menginternalisasi dan mengekspresikan
Dalam penafsiran Lacan, ketaksadaran model Freudian merupakan warisan subyek Cartesian (Homer, 2005: 67). Oleh karena itu, Lacan mengabaikan semua filsafat yang diturunkan darinya. Jika Descartes berangkat dari kesangsian metodis sehingga dapat memastikan dirinya ada, maka dalam perspektif Lacanian, suatu hal yang dapat dipastikan adalah ia tidak ada. Bagi Lacan, Freud adalah seorang Cartesian karena masih berpikir dalam skema Cartesian, meskipun ia memprioritaskan kajiannya pada ketaksadaran. Implikasinya, kepastian kesadaran selalu didukung oleh keraguan, yang tidak diketahui, atau yang Freud sebut sebagai ketaksadaran. Sebaliknya, Lacan memperlihatkan bahwa hanya ada satu kepastian yang berbeda dengan Freud, yakni subyek tak sadar yang menyatakan dirinya. Subyek tak sadar berpikir sebelum mendapat kepastiannya. Lacan menulis, “Descartes tidak mengetahui—terkecuali bahwa pengetahuannya hanya meliputi kepastian subyek dan menolak segala pengetahuan sebelumnya—tetapi kita mengetahui berkat bantuan Freud bahwa subyek yang tak sadar menyatakan dirinya; bahwa ia berpikir sebelum ia memperoleh kepastiannya. Inilah yang ditinggalkan pada kita. Inilah satu-satunya persoalan kita yang pasti. Namun, persoalan itu telah menjadi suatu wilayah yang tidak dapat kita hindari—setidaknya sejauh persoalan itu terkait (Lacan, 1998a: 37).” Dengan kata lain, ketaksadaran bersifat pra-ontologis (Homer, 2005: 67). Ia tidak dapat ditundukkan dalam kesadaran atau pun skema berpikir Cartesian. Ketaksadaran bukanlah persoalan tentang eksistensi, ada atau non-ada, tetapi yang tidak disadari—yang tidak diketahui dalam posisi keraguan Cartesian. Dengan demikian, ketaksadaran adalah ketidaktahuan yang melampaui keraguan.
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
hasratnya (Homer, 2005: 70). Dalam kutipan Lacan di atas juga telah diandaikan bahwa ketaksadaran memiliki struktur simbolik seperti bahasa. Pengandaian tersebut dimungkinkan karena Lacan memprioritaskan ketaksadaran dibandingkan kesadaran manusia.13 Berdasarkan prioritas itulah Lacan mengembangkan hipotesis ketaksadaran yang terstruktur seperti bahasa. Ketaksadaran model Lacan diatur oleh aturan-aturan penanda sebagaimana bahasa menerjemahkan imaji-imaji di dalam strukturnya (Homer, 2005: 68-69). Manusia hanya mengetahui ketaksadaran melalui pernyataan dan bahasa. Karena itu, ada persamaan antara unsur-unsur ketaksadaran dengan penanda dan bentuk-bentuk bahasa lainnya. Bagi Lacan, bahasa bukan hanya pernyataan verbal atau teks tertulis, tetapi segala sistem penanda yang berdasarkan hubungan diferensial. Dengan kata lain, dalam ketaksadaran terjadi proses penandaan yang meliputi pengkodean dan pemecahan kodenya atau pembentukan isyarat dan penerjemahannya. Ketaksadaran hadir dalam tatanan simbolik sebagai celah14 antara penanda dan yang ditandai—melalui pergeseran yang
yulius tandyanto 171
ditandai dan kegagalan untuk menetapkan maknanya. Singkatnya, ketaksadaran adalah kode atau pun isyarat yang menandai dan sekaligus perlu diuraikan. Dalam Seminar XX, Lacan merumuskan pembedaan antara istilah “bahasa” yang digunakannya dengan linguistik secara umum melalui neologismenya, yakni ekstralinguistis (la linguisterie).15 Jika linguistik berkaitan dengan bahasa, maka ekstralinguistis adalah sisi kebahasaan yang diabaikan oleh bahasa. Ekstralinguistis mengacu pada kegagalan bahasa dalam membentuk maknanya. Dengan kata lain, ekstralinguistis adalah ilmu mengenai kata yang tak memiliki maknanya. Bruce Fink menerjemahkan ekstralinguistis sebagai “linguistrick” (Homer, 2005: 69). Melalui istilah tersebut, Fink menitikberatkan sifat ketaksadaran yang penuh permainan, yang selalu menjadi batu sandungan subyek, dan menipu kesadaran. Dalam pengertian inilah ketaksadaran Lacanian terstruktur seperti bahasa. Melalui ciri khas ketaksadaran itulah—sebagai celah, terstruktur seperti bahasa, dan ihwal keliyanan—pengampunan beroperasi. Aras ketaksadaran memperlihatkan bahwa pengampunan selalu ber-
Lacan berpendapat bahwa ketaksadaran bagaikan celah atau patahan. Celah inilah yang menghubungkan antara persepsi dengan kesadaran. Lacan menyatakan, “Sekali lagi, proses utama—yang saya selalu definisikan bagi Anda dalam beberapa kuliah terakhir saya terkait bentuk ketaksadaran—haruslah dipahami dalam suatu pengalaman patahan antara persepsi dan kesadaran. Celah tersebut merupakan lokus yang tak mewaktu, yang memaksa kita untuk menempatkan sesuatu yang Freud sebut sebagai die Idee einer anderer Lokalitdt—sebagai penghormatan kepada Fechner, yakni gagasan tentang lokalitas yang liyan, ruang yang liyan, suasana yang liyan, perantara antara persepsi dan kesadaran (Lacan, 1998a: 56).” Dalam Seminar XI, Lacan menyelidiki teks-teks Freud tersebut dan mendefinisikan ketaksadaran sebagai “kegagapan”, “peruntuhan”, dan “pemisahan” (Homer, 2005: 68). Ketaksadaran menyatakan dirinya ketika bahasa kandas dan tergagap-gagap. Dengan kata lain, ketaksadaran hadir persis ketika ada celah atau patahan dalam rantai simbolik. 15 Lacan menyatakan, “Suatu hari saya menyadari bahwa sangatlah sulit untuk tidak mengkaji bahasa ketika ketidaksadaran ditemukan. Berdasarkan hal itulah, saya merumuskan suatu sanggahan terhadap Jakobson yang telah Anda dengar melaluinya bahwa semua yang disebut bahasa (tout ce qui est du langage) terjebak dalam kerangka linguistik—yang dalam analisis finalnya berada dalam karangka si linguis. Ketidaksetujuan saya terhadapnya bukan hanya terkait mengenai puisi di mana ia pun telah memberikan argumennya. Namun, jika seseorang mempertimbangkan bahwa melalui bahasa segala sesuatu selalu seturut subyek—yang telah ditumbangkan dan diperbaharui secara mendalam oleh Freud bahwa segala sesuatu yang didaku sebagai tak sadar dapat didasarkan—maka seseorang perlu menempa kata lain untuk meninggalkan pengaruh (domaine réservé) Jakobson. Saya menyebutnya sebagai ekstralinguistis (linguisterie) [Lacan, 1998b: 14-15].” 14
03-yulius.indd 171
4/16/2015 6:19:27 AM
172
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
hubungan erat dengan keliyanan. Hasrat, ketakutan, dan harapan dari yang Liyan mengalir pada sang pengampun dan penerima ampunan melalui bahasa. Oleh karena itu, pengampunan selalu dibentuk dan dicetak oleh bahasa. Kita hanya dapat mengekspresikan pengampunan melalui bahasa yang kita miliki, dan bahasa tersebut kita pelajari melalui orang lain. Implikasi lainnya adalah manusia selalu hadir melalui sesamanya. Manusia hanya dapat mengungkapkan dirinya dalam lokus yang Liyan. Manusia (subyek) model Lacanian tidak memiliki kepastian akan kesadaran diri—seperti aku berpikir, maka aku ada. Manusia Lacanian adalah ketiadaan, yakni ia yang kehilangan keberadaannya (Homer, 2005: 71). Bahkan, dalam Seminar XI, Lacan menggambarkan bagaimana manusia menyadari dirinya di dalam yangLain, yakni melalui keterasingan (bahasa) dan keterpisahan (hasrat). Lacan selalu mendeskripsikan bahwa manusia akan tiba atau telah tiba (Homer, 2005: 74). Jadi, tidak akan ada suatu momen pasti bahwa dirinya muncul dalam wujud yang stabil dan utuh. Manusia selalu muncul melalui serangkaian proses subyektivikasi—keterasingan dan keterpisahan— dibandingkan melalui suatu peristiwa yang khusus. Dalam kondisi tersebut, pokok yang perlu diperhatikan adalah bahwa manu-
16
03-yulius.indd 172
Vol II, 2014
sia mengasumsikan posisi dirinya dalam tatanan simbolik sehingga ia dapat bertindak. Manusia tidak melulu ditentukan oleh struktur. Ia harus berhubungan dengan hasrat yang Liyan untuk menjadi manusia. Unsur itulah yang memungkinkan perubahan dan yang melampaui ketetapan tak terhindarkan dari tatanan simbolik. Walhasil, manusia mampu membuat pilihan yang menentukan masa depannya, meskipun secara paradoksal pilihan tersebut didasarkan pada hasrat dan ketaksadaran yang tidak tentu. Dalam pengertian tersebut, manusia tertunda antara “manusia yang menjadi” dan wilayah yang Liyan. Ia berada dalam kebimbangan tak berkesudahan. Ia tidak pernah hadir di saat ini secara substantif. Lantas, apa yang disebut dengan manusia bila ia tidak memiliki konsistensi dan juga tidak hanya merupakan dampak bahasa (wacana)? Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam pemahaman psikoanalisis mengenai naluri (drive).16 Secara karikatural, bagi Lacan, manusia tidak ubahnya adalah naluri (Homer, 2005: 74). Berdasarkan uraian mengenai ketaksadaran inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa (kesadaran) manusia bukanlah agen yang menentukan pengampunan. Sebaliknya, tatanan (wacana) lentur pengampunanlah yang memungkinkan identitas kemanusiaan. Pengampunan memang
Dalam konteks ini, naluri perlu dibedakan dengan insting. Menurut Freud, naluri merupakan suatu konsep perbatasan antara yang somatis (ragawi) dan yang mental. Naluri memuat energi dan representasi psikis. Di sisi lain, insting adalah kebutuhan yang dapat dipuaskan. Dengan kata lain, naluri adalah sesuatu yang berasal dari tubuh dan mencari ekspresinya dalam psikis sebagai representasi. Freud sendiri memusatkan perhatiannya pada tujuan naluri dan bagaimana ia terpuaskan. Lacan akan mempertahankan dan mengembangkan gagasan Freud mengenai naluri untuk memahami subyektivitas. Bagi Lacan, naluri tidak pernah mencapai tujuannya. Naluri selalu mengitari obyeknya dan tidak pernah mendapat kepuasan. Kendati demikian, teori naluri Lacan berbeda dengan Freud setidaknya dalam dua aspek. Pertama, sifat naluri yang terbagi-bagi. Freud berpendapat bahwa seksualitas terdiri dari serangkaian naluri yang terbagi-bagi dalam fase oral, anal, dan penis. Fase-fase tersebut akan menyatu menjadi naluri genital melalui kompleks Oidipus. Sebaliknya, Lacan berpendapat bahwa semua naluri bersifat terbagi-bagi karena tidak akan pernah ada kesatuan naluri di dalam subyek. Kedua, berkaitan dengan dualisme naluri. Lacan mempertahankan dualisme naluri Freudian, tetapi menolak pembedaan dua naluri, yakni Eros dan Thanatos. Bagi Lacan, secara alamiah setiap naluri bersifat seksual sekaligus mematikan—yang oleh Lacan diistilahkan sebagai yang-nyata dan jouissance (Homer, 2005: 76).
4/16/2015 6:19:27 AM
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
mengakomodasi pelbagai tindakan ke kerasan manusia yang digerakkan oleh naluri. Namun, pada saat yang bersamaan, kemanusiaannya selalu berada dalam ketegangan dan dibentuk oleh hal-hal yang tidak terpahami oleh pribadi yang bersangkutan. Karena itu, pernyataan permohonan atau pemberian maaf boleh jadi merupa kan ekspresi kegamangan terhadap realitas legap yang dihidupi oleh manusia itu sen diri. Dalam keterbatasannya, ia menginterogasi segala afek akibat naluri yang tidak pernah mencapai tujuannya. Kendati demikian, pengucapan kata, “Saya mohon maaf” atau “Saya memaafkan Anda” juga merupakan momen pengutuhan identitas dirinya yang siap terserak kembali di dalam keliyanan. Dengan demikian, ekspresi pengampunan menyingkapkan selubungselubung kemanusiaan yang misterius, buntet, dan tidak pernah selesai. Dalam konteks itulah, ekspresi-ekspresi pengampunan yang terejawantahkan dalam kebudayaan menjadi ambang batas kemanusiaan.
yulius tandyanto 173
Kemanusiaan justru dibentuk oleh keterampunan sebagai perwujudan yang Liyan. Pada aras itulah, tiap individu menyangsikan dan menginterogasi berbagai afek (amarah, takut, putus asa, benci, pengharapan, dsb.) dirinya yang terekspresikan melalui bahasa. Secara karikatural, pada tabel 1 di bawah ini penulis tampilkan perbandingan pandangan Arendt, Derrida, dan Lacan terkait pengampunan. Tabel 1. Perbandingan Konsep “Pengampunan” dalam Arendt, Derrida, dan Lacan Unsur
Arendt
Derrida
Lacan
Aras pengampunan
eksistensial
etis
ketaksadaran
Fokus pengampunan
keterampunan subyek
proses pengampunan
hasrat akan yang liyan
Dengan demikian, permohonan dan pemberian maaf boleh jadi menuntaskan kegamangan manusia akan realitas yang dihadapinya. Namun, penuntasan kegamangan tersebut tidak serta-merta menempatkan manusia dalam keadaan yang stabil. Malahan, ia diperhadapkan pada kemanusiaan yang misterius dan ambivalen karena selubung-selubung simbolik yang tersingkap. Barangkali permohonan maaf yang di Penutup utarakan Komaruddin terhadap Nita—atau Pengampunan adalah ambang batas kema- pun Nita yang memberi ampunan terhadap nusiaan. Pernyataan tersebut menggaris- Komaruddin—merupakan ekspresi kebawahi bahwa ada suatu “sebutan apa pun gamangan terhadap perselingkuhan yang yang engkau kehendaki” yang mengako- telah dilakukannya. Mungkin saja Koma modasi pelbagai kekerasan yang dilakukan ruddin mengharapkan rekonsiliasi, tetapi manusia, yakni pengampunan. Pengampu- mungkin pula ia tidak tahu secara jelas akan nan memungkinkan setiap orang untuk apa yang ia harapkan. Pada momen itulah, senantiasa berdaya cipta tanpa dihantui terbuka berbagai kemungkinan identitas oleh berbagai tindakan (kekerasan) yang kemanusiaan yang boleh jadi melampaui telah dilakukannya. pakem tradisi yang melingkupi dirinya. Kendati demikian, pengampunan tidak Ya, Komaruddin tengah berjumpa dengan hanya merupakan suatu transaksi pertu- keliyanan sebagaimana pula Nita. karan untuk membuat hubungan antarsTentu saja berbagai ekspresi peng esama menjadi seimbang atau harmonis. ampunan tidak dengan mudahnya melegitMalahan, pengampunan adalah tindakan imasikan (atau pun mendelegitimasikan) yang mustahil karena manusia bukanlah berbagai kekerasan dan kejahatan manuagen yang menentukan keterampunan. sia—dari contoh kasus perselingkuhan
03-yulius.indd 173
4/16/2015 6:19:27 AM
174
Maaf, Maaf, Maaf ... Pengampunan sebagai Ambang Batas Kemanusiaan
Komaruddin hingga perdebatan mengenai hukuman mati yang mungkin masih hangat hingga kini. Toh, di hadapan tindakan-tindakan yang tidak terampuni itulah pengampunan justru beroperasi secara optimal. Agaknya memang dibutuhkan ke sintingan untuk menyelami tindakan manusia dan keabsurdan pengampunan demi kemanusiaan itu sendiri. Kiranya sidang pembaca sekalian dapat memafhumi suguhan penulis yang boleh jadi agak sinting dan naif. Karena itu, “Maaf, maaf, maaf ....” Daftar Pustaka Murphy, Ann V. (2014). “On Forgiveness and the Possibility of Reconciliation.” Dalam Zeynep Direk dan Leonard Lawlor (Tim Editor). A Companion to Derrida. Chichester (UK): John Wiley & Sons, Ltd, hlm. 537-549. Arendt, Hannah. (1998). The Human Condition. Chicago (USA) dan London (UK): The University of Chicago Press. Caputo, John D., Dooley, M., dan Scanlon, Michael J. (2001). “Introduction: God Forgive.” Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 1-18. Derrida, Jacques. (2001a). On Cosmopolitanism and Forgiveness. Diterjemahkan oleh Mark Dooley dan Michael Hughes. London (UK) dan New York (USA): Routledge. _____. (2001b). “To Forgive: The Unforgivable and the Imprescriptible.” Diterjemahkan oleh Elizabeth Rottenberg. Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 21-51.
03-yulius.indd 174
Vol II, 2014
Glendinning, Simon. (2011). Derrida: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. Homer, Sean. (2005). Jacques Lacan. London (UK) dan New York (USA): Routledge. Kearney, Richard. (2001). “On Forgiveness: A Roundtable Discussion with Jacques Derrida.” Dalam John D. Caputo, Mark Dooley, dan Michael J. Scanlon (Tim Editor). Questioning God. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 52-72. Lacan, Jacques. ---. (2006). Écrits: The First Complete Edition in English. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. _____. (1998a [1973]). The Seminar of Jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis 1964-1965. Editor J. A. Miller, Diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. _____. (1998b [1975]). The Seminar of Jacques Lacan, Book XX: Encore, On Feminine Sexuality, The Limits of Love and Knowledge 1972-1973. Editor J. A. Miller. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York (USA) dan London (UK): W. W. Norton & Company. Oliver, Kelly. (2003). “Forgiveness and Subjectivity.” Dalam Philosophy Today 47, 280-292. Prawiroatmodjo, S. (1981). Bausastra JawaIndonesia: Jilid I, Abjad A-Ny, Edisi ke-2. Jakarta: PT Gunung Agung. Royle, Nicholas. (2003). Jacques Derrida. London dan New York: Routledge. Swift, Simon. (2009). Hannah Arendt. Abingdon dan New York: Routledge. Wortham, Simon Morgan. (2010). The Derrida Dictionary. London dan New York: Continuum.
4/16/2015 6:19:27 AM