Kolom IBRAHIM ISA Kemis, 09 Juli 2015 ------------------
TABIR ASAP MENJELANG LEBARAN Masyarakat Melakukan Salam Minal 'Aidin Walfaidzin' . .
Presiden Jokowi Dituntut JANGAN MINTA MAAF . . . . * * * Peristiwa penting dan merupakan 'breaking news', dalam periode Reformasi selama lebih 10 tahun ini --- sekaligus penjebolan terhadap "misteri" dan "tabu" sekitar pelanggaran HAM besar-besaran dan berat dalam "Peristiwa 1965-66" . . . , adalah Kesimpulan-laporan KomnasHAM tertanggal 23 Juli 2012. KomnasHAM adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh negara untuk mendorong pemberlakuan HAM di negeri kita, untuk tegaknya supremasi hukum. Tiga fasal dari tujuan yang dinyatakan oleh KomanasHAM sebagai tujuan strategisnya, sbb: Tujuan Strategis 1. Mendorong terwujudnya kebijakan dan implementasi di bidang ekosob dan sipol yang berbasis HAM dan keadilan social (social justice); 2. Memperkuat kesadaran aparat Negara dan civil society tentang pentingnya perlindungan dan pemajuan HAM; 3. Mendorong reformasi dan supremasi hokum berbasis HAM; Adalah lembaga KomnasHAM ini yang mengambil kesimpulan teramat penting, --setelah 4 tahun lamanya tertunda-tunda akibat cara diskusi yang berketiak-ular, sebagai akibat digunakannya taktik mengulur-ulur waktu, untuk mengagalkan samasekali diambilnya kesimpulan sekitar pelanggaran HAM berat dalam periode 1965-66 dst. Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965--1966 setelah melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran tersebut benar terjadi. Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan dan untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" untuk membawa pelaku ke pengadilan sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM. 1
*** Duduk perkaranya jelas: Masalahnya ialah pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965. Pelakunnya adalah aparat negara, dng keterlibatan sementara fihak. Tuntutannya jelas pula: Agar Jaksa Agung mulai melakukan penyeledikan resmi berdasarkan temuan dan membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" UNTUK MEMBAWA PELAKU. *** "Tabuhan genderang perang ala Orba" yang disulut sementara orang di bawah bendera “awas bahaya bangkitnya PKI”, adalah manifestasi paniknya pahlawan-pahlawan "Perang Dingin", yang meneriakkan semboyan usang 'awas komunisme'. Desakan belakangan ini kepada Presiden Jokowi agar JANGAN MINTA MAAF* kepada para KORBAN pelanggaran HAM berat 1965, adalah tabir asap belaka. Hiruk-pikuk desakan supaya JANGAN MINTA MAAF kepada para korban pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sesungguhnya adalah PENOLAKAN TERHADAP KESIMPULAN KOMNASHAM 23 Juli 2012. *** Mereka-mereka itu, . . . . dari kalangn elite, sipil dan militer – khususnya pejabat-pejabat lembaga hukum negeri seperti Kejaksaan Agung serta lainnya yang mengatasnamakan agama, sudah merasa gelisah dan kecut dengan ditembusnya 'misteri' dan 'tabu' sekitar Peristiwa 1965. Mereka sudah merasakan 'bara api kebenaran’ yang mulai marak di kalangan masyarakat sampai ke lembaga negara seperti KomnasHAM. Dengan pengumuman kesimpulan KomnasHAM sekitar pelanggaran berat HAM oleh aparat negara, terhadap warga yang tidak bersalah, hancur-luluhlah kebohongan mereka bahwa kekerasan yang berlaku pada periode itu adalah suatu "konflik di kalangan rakyat", adalah "sebagai akibat dari balas dendam golongan agama terhadap PKI yang tidak bertuhan", dan kebohongan-kebohongan lainnya . . . . . . "Misteri" dan "tabu" sekitar persekusi dan pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah, dengan dalih terlibat atau ada indikasi terlibat dengan G30S, dan terhadap lapisan luas massa rakyat yang mendukung Presiden Sukarno, -- telah berakhir dengan diumumkannya Kesimpulan KomnasHAM tertanggal 23 Juli, a.l bahwa: "Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966 menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. Dalam
2
menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah pengaduan dari sebanyak 349 (tiga ratus empat puluh sembilan) orang. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah dalam rangka pelaksanaan penyelidikan." Selanjutnya: “Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965-1966. Bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. “ “Dikemukakan dalam kesimpulan KomnasHAM, a.l telah terjadinya pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang; penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan (persekusi); dan penghilangan orang secara paksa. Dikemukakan juga sejumlah individu dan lembaga yang diduga kuat sebagai pelaku dalam rentetan peristiwa 1965-1966. “ *** Perkembangan kesadaran berbagai lapisan masyarakat sekitar pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sudah tidak bisa dibendung lagi. Cara apapun yang akan digunakan untuk menyetop perkembangan ini. Sehubungan dengan ini tampak absurd pandangan yang diajukan oleh a.l mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen. Ia berpendapat bhw rencana Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Pidato Kenegaraan pada 15 Agustus 2015. . . . artinya pemerintah mengakui seluruh rakyat Indonesia bersalah. (Surabaya – Panjimas.com, 8/7,'15), Logis timbul reaksi marah dari seorang pembaca, a.l. Sbb: Mestinya pak Kivlan Zen juga turut minta maaf atas nama pelaku. Kalau korban memaafkan, tentu pak Kivlan akan merasa lebih tenang, tidak selalu dibayangi oleh tangan berdarahnya atas pembunuhan terhadap warga Indonesia tidak berdosa di masa lalu. Belajarlah dengan baik, karena suara pak Kivlan sekarang ini merupakan suara sumbang yang ingin memelintir sejararah. Pelajarilah temuan-temuan Komnasham dengan baik. Dengan demikian pak Kivlan akan berusaha masuk melewati pintu taubat demi meringankan beban bapak di masa lalu. Kalau bapak bertaubat warga Indonesia masih 3
bersedia memaafkan kesalahan bapak di masa lalu itu. Jangan sampai seperti Suharto, yang membawa dosa-dosanya sampai masuk ke liang kubur. (Chalik Hamid, di Mailist Perhimpunan Persaudaraan, 09/7/'15) *** Respons penting lainnya dari pengelola mailist GELORA 45, Chan CT, a.l. Sbb: Tergelitik oleh judul tulisan Laode Ida, “Perlukah Jokowi Minta Maaf Pada Keluarga PKI?” saya ingin mengajukan pendapat, yang berbeda. Lebih dahulu harus ada kejelasan kenyataan yang terjadi sekitar G30S meletup 1965, bahwa PKI adalah salah satu dari 4 Partai Politik terbesar yang sah dan resmi diakui oleh Pemerintah RI, Presiden Soekarno. Jadi, tidaklah BERALASAN menyatakan bahwa PKI ketika itu berupaya mengganti Pancasila sebagai DASAR Filsafah Negara! Juga tidak beralasan mengatakan PKI, atau tepatnya KOMUNISME musuh ideologi negara ini! Bagaimana bisa PKI merupakan Partai Politik yang sah dan resmi ketika itu seandainya PKI ketika itu menentang Pancasila, bagaimana pula komunisme menjadi musuh Ideologi Negara, seandainya Presiden Soekarno saja berani menepuk dada dirinya adalah penggagas NASAKOM, satu gagasan yg jadi idamannya sejak muda ditahun 1926, untuk mempersatukan ketiga kekuatan politik yang nyata ada dalam masyarakat Indonesia, Nasionalisme, Agama dan Komunisme! Dan ingat, 3 kekuatan NASAKOM inilah yang nyata berjuang dan membawa bangsa Indonesia mencapai KEMERDEKAAN. Dan lebih lanjut Presiden Soekarno ditahun-tahun terakhir menjelang G30S, ... bukan saja berusaha mempersatukan NASAKOM lebih kokoh didalam negeri, tapi juga berusaha menggalang kekuatan New Emerging Forces, yang berporoskan Jakarta, Penom Phen, Hanoi dan Peking, yang membuat AS lebih garang berusaha menggulingkan dan mengganti Presiden Soekarno! Yang anti-KOMUNIS dan hendak gulingkan Soekarno itu kan jenderal Soeharto, kuda tunggang AS/CIA! Bagaimana bisa dikatakan komunisme adalah MUSUH NEGARA??? Adalah KENYATAAN yang terjadi, jenderal Soeharto lah yang ketika itu menjalankan politik anti-komunis, dengan fitnah tanpa bukti nyata, menggunakan alasan G30S menuduh PKI melancarkan makar! Soeharto bukan saja membangkang tidak lagi menuruti Perintah Panglima Tertinggi Presiden Seokarno, untuk menghentikan segala gerakan, dan tidak mengakui pengangkatan Presiden/Panglima Tertinggi atas diri Jenderal Pranoto 4
Reksomasudra menjabat caretaker Men/PANGAD menggantikan Jenderal Jani yang meninggal, korban G30S, bahkan merebut inisiatif menobatkan dirinya PangKOSTRAD yang pengganti Jenderal Jani dan segera saja melancarkan pengejaran dan membunuh tokoh-utama PKI tanpa proses pengadilan! Lebih lanjut melancarkan pengejaran, penangkapan, memenjarakan belasan sampai 20-an tahun bahkan membantai jutaan orang yang dituduh PKI dan Soekarnois juga tanpa proses pengadilan yang sah dan adil. Sikap dan tindakan biadab Soeharto demikian ini, adalah pelanggaran HAM berat yang terkutuk dan mutlak harus ada KETEGASAN Pemerintah yang berkuasa mennyatakan sebagai satu KESALAHAN, PELANGGARAN HAM berat yang pernah dilakukan oleh Pemerintah ORBA ketika itu. Dan, oleh karena itu, Pemerintah yang berkuasa sekarang ini, Presiden Jokowi hendaknya bisa menyatakan MAAF pada seluruh KORBAN dan juga keluarga korban yang selama lebih 1/2 abad ini harus diperlakukan sebagai warga yang disisihkan, warga yang dinajiskan dengan stigma “TIDAK BERSIH LINGKUNGAN”. Hanya dengan Pemerintah yang berkuasa sekarang ini secara resmi mengakui KESALAHAN pelanggaran HAM-berat, yang pernah dijalankan Pemerintah Soeharto dengan menangkap, memenjarakan dan membunuhi jutaan warga tanpa proses pengadilan inilah, secara resmi merehabilitasi nama baik Bung Karno, Proklamator, Presiden/Panglima Tertinggi RI, dengan mencabut TAP MPRS 33/1967, keputusan SALAH yang menjadikan Presiden Soekarno sebagai pesakitan, terlibat G30S dan harus digulingkan. Begitu juga sudah seharusnya Pemerintah yang berkuasa bisa mencabut TAP MPRS 25/1966 yang melarang ideologi komunisme, hanya dengan KETEGASAN sikap sejalan dengan merehabilitasi nama baik Bung Karno, penggagas NASAKOM! Demikian reaksi pembaca terhadap mereka-mereka yang menuntut agar Presiden Jokowi tidak minta maaf kepada para korban Peristiwa 1965. *** Dalam salah satu percakapan serius baru-baru ini dengan salah seorang cendekiawan asing pemerhati dan pemeduli Indonesia, kawan ini menyatakan kepadaku sbb: “Sampai sekarang mereka-mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat sekitar periode1965 itu, SATUPUN TIDAK ADA YANG MERASA BERSALAH.” Mungkin demikianlah situasinya. Tetapi, kataku kepada kawan asing tsb: Barangkali ada pengecualian. Yaitu : GUS DUR dan Jendral SARWO EDHIE. Yang pertama adalah pimpinan NU dan tokoh agama penting lagipula mantan Presiden RI. 5
Yang seorang lagi adalah mantan Jendral Komandan Kostrad, yang ambil bagian penting dalam menggulingkan Presiden Sukarno dan persekusi terhadap rakyat yang tak bersalah. Dua-dua tokoh ini, sudah menyatakan penyesalannya. Gus Dur malah sudah minta maaf atas keterlibatan orang-orang NU dan pemuda-pemuda Anshor dalam pembantaian terhadap orang-orang PKI dalam periode 1965-66 di Jawa Timur. Ya, kata kawan itu, tetapi baik Gus Dur maupun mantan Jendral Sarwo Edhie, dua-duanya sudah meninggal dunia. Mantan Presiden Suharto, pelaku-penanggung-jawab pelanggara HAM berat itu, juga sudah meninggal dunia, kataku. Tetapi, sama halnya, seperti apa yang terjadi di mancanegara, a.l di Argentina, Chili, Afrika Selatan, Ruwanda, Sebrenica dll, pelanggar HAM berat tidak akan bisa selamanya luput dari berlakunya kebenaran. Mereka-mereka itu tidak akan bisa selamanya bebas dari pemberlakukan PROSES KEADILAN NEGARA HUKUM. Akhirnya mereka-mereka itu, pada gilirannya akan diseret ke mahkamah pengadilan.
6