Kisah Wali Kota Pelaku Tragedi 1965 Minta Maaf ke Korban Prima Gumilang, CNN Indonesia Kamis, 30/06/2016 11:29 WIB http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160630112959-20-142052/kisah-wali-kota-pelaku-tragedi-1965-minta-maaf-ke-korban/
Rusdy Mastura berayahkan tokoh Masyumi, lawan politik PKI. Pada 1965, dia mengganyang PKI --menangkap korban dan menjaga penampungan orang yang hendak dieksekusi. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dialog terbuka di Taman GOR, Palu, 24 Maret 2012, jadi momen penting bagi Rusdy Mastura. Acara itu digelar sederhana di lapangan terbuka, beralas karpet dengan bentangan spanduk putih bertuliskan “Stop Pelanggaran HAM.” Dialog itu mempertemukan Rusdy dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia Tragedi 1965. Pria asli Palu itu diundang untuk menyampaikan sambutan. Saat itu dia menjabat sebagai Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sebelum memenuhi undangan, Rusdy sempat membaca buku berjudul Memecah Pembisuan yang diberikan panitia. Buku itu berkisah tentang pengakuan korban yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia. Rusdy tersentuh kisah mereka. Melihat wajah orang-orang renta yang duduk bersila di hadapannya, Rusdy membayangkan pengalaman pahit para korban selama puluhan tahun. Di tempat itu, dia mendengar langsung kesaksian korban. Mereka ditangkap tanpa diadili dan diperlakukan semena-mena karena dianggap terlibat PKI, partai yang dituduh mendalangi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Keluarga mereka dikucilkan karena stigma jahat orang komunis.
"Saya melihat penderitaan. Mereka mengalami kehancuran. Kerja paksa tanpa gaji, tanpa jaminan kesehatan. Mereka, tua-tua, dipertemukan kembali hari itu," kata Rusdy sendu di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, semalam. Rusdy menceritakan pengalaman itu saat menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran bukunya yang berjudul Palu dan Godam Melawan Keangkuhan, Kisah di Balik Permohonan Maaf pada Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966. Dalam buku itu disebutkan mengenai 16 jenis pelanggaran HAM terkait peristiwa 1965-1966 di Kota Palu. Beberapa di antaranya yaitu kerja paksa, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pemutusan sumber kehidupan, kekerasan seksual, hingga usaha eksekusi. Rusdy berpikir, mungkin PKI bersalah saat itu, tapi tidak seharusnya diperlakukan kejam. Bagaimanapun, mereka tetap warga negara Indonesia. "Kami dulu terlalu kejam. Semangat kami membalas PKI. Mungkin tokoh PKI kurang ajar, tapi kami membalasnya juga kelewatan. Sebagai orang beragama masak membalas secara berlebihan," ujar Rusdy. Baca juga: Kesaksian dari Kediri tentang Serangan PKI Dalam dialog empat tahun lalu di Taman GOR Palu itu, ketika Rusdy diminta memberi kata sambutan, dia memakai kesempatan tersebut untuk menyampaikan rasa sesalnya. Bukan hanya selaku individu, tapi juga sebagai kepala daerah. "Sebagai Pemerintah Kota Palu, saya minta maaf kepada Bapak, Ibu, saudaraku semua yang menjadi korban Peristiwa 1965," ujar Rusdi. Ucapan itu spontan dia lontarkan tanpa persiapan sebelumnya. Wali Kota Palu periode 2005-2015 itu mengatakan, permintaan maaf bukan ditujukan kepada PKI, tapi atas ketidakadilan yang diterima korban peristiwa 1965-1966. "Bukan masalah PKI dimaafkan atau tidak, tapi rakyat kita yang harus diperjuangkan agar nasibnya kembali setara dengan yang lain," kata dia. Mengganyang dan berdamai Di hadapan para korban, Rusdy mengaku terlibat pengganyangan PKI. Dia ikut menangkap korban dan mengawasi rumah yang dipakai untuk menampung orang-orang PKI sebelum
dieksekusi. "Saya bisa dikatakan pelaku pada saat itu karena ikut menangkap dan menjaga rumah tahanan," kata pria kelahiran Palu, Februari 1950 tersebut. Ketika itu usia Rusdy masih 15, dan duduk di bangku SMA. Dia aktif dalam kegiatan Pramuka. Keterlibatannya mengganyang PKI tak lepas dari peran tentara yang memanfaatkan peristiwa. "Saya ikut menangkap, dipakai oleh Staf I Korem." Sejak 1965 hingga kini, para korban mengalami perlakuan tidak adil selama hampir setengah abad. Mereka takut berkumpul meski dengan sesama korban, apalagi dengan masyarakat. Dalam keluarga sendiri bahkan tidak mau bercerita mengenai masa lalu. Keturunan korban terhambat dalam sosialisasi karena stigma anak PKI. "Mereka kehilangan kepercayaan, harga diri, sehingga sulit untuk beradaptasi karena mengalami trauma," kata Rusdi. Permintaan maaf kepada korban tak berarti apa-apa tanpa adanya kebijakan Pemerintah Kota Palu. Konsekuensi dari permintaan maaf adalah pemenuhan HAM terhadap korban sehingga mereka tidak lagi berstatus sebagai warga negara yang mengalami diskriminasi dan stigmatisasi. Rusdy kemudian menerbitkan Peraturan Wali Kota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Daerah. Perwali tersebut sebagai tindak lanjut permintaan maaf Pemerintah Kota Palu. Awalnya, jajaran pemerintahan Kota Palu belum siap secara mental maupun teknis dengan kebijakan Rusdy. Pengakuan atas kesalahan masa lalu tidak mudah dilakukan aparat pemerintahan. Berebut klaim sebagai korban atau saling tuding pelaku kejahatan bakal menghambat penyelesaian persoalan pelanggaran HAM. "Mungkin mereka yang menolak (meminta maaf) karena tidak pernah saling bertemu. Coba sekali waktu ketemu, lihat kehidupan korban, kan jadi tersentuh," ujar Rusdy yang juga Ketua DPRD Palu periode 1999-2005.
Rusdy Mastura meluncurkan buku Palu dan Godam Melawan Keangkuhan, Kisah di Balik Permohonan Maaf pada Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966 di Komnas HAM, Jakarta, Rabu malam 29 Juni 2016. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Secara teknis, Pemkot Palu mendata dan memverifikasi para korban. Dalam Ringkasan Eksekutif, Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Persitiwa 1965-1966 di Kota Palu terdapat 768 korban yang terverifikasi. Hampir semua korban tingkat kehidupan sosial ekonominya berada di kelas bawah. Peningkatan pendapatan menjadi kebutuhan mendesak para korban. Pemenuhan hak korban mulai dilakukan Pemerintah Kota Palu melalui program pengentasan kemiskinan. "Ada yang dapat perbaikan rumah, layanan kesehatan, BPJS, beasiswa. Dulu mereka tidak diperhatikan. Masyarakat seperti alergi kepada mereka," kata Rusdy. Harapan terbesar para korban adalah rehabilitasi nama baik. Selama ini negara telah memperlakukan mereka dengan tidak semestinya, mengabaikan dan merendahkan harkat martabat mereka sebagai manusia. Karena itu, menurut Rusdy, permintaan maaf yang diikuti keluarnya kebijakan pemerintah bisa menjadi alat untuk memberi kesempatan bagi korban dalam memperbaiki hidup mereka di masa mendatang dengan jaminan pemenuhan HAM tanpa diskriminasi dan stigmatisasi. "Masak saudara kita karena kebetulan dia kiri, enggak kita berikan penghormatan sebagai manusia? Apa moral seperti itu masih kita punya? Berbeda (pemikiran) itu soal lain" ujar Rusdy.
Baca juga Komnas HAM: Tak Boleh Sebarkan Kebencian pada Kelompok Kiri Darah Masyumi Keberanian Rusdy meminta maaf lebih dilandasi persoalan kemanusiaan, bukan urusan politik. Rusdy dibesarkan dalam didikan ayahnya sebagai tokoh Partai Masyumi, lawan politik PKI. Rusdy belajar menghargai perbedaan dari para pendiri bangsa. Suatu hari dia berdiskusi dengan Mohammad Natsir, pendiri Masyumi. Cudi, panggilan Rusdy, mendapat cerita tentang perdebatan ideologi tanpa mencederai kemanusiaan. "Saya belajar cara berpikir demokratis. Seperti dikatakan Pak Natsir, dia dengan Aidit (Ketua PKI) dalam sidang seperti mau lempar-lemparan, tapi keluar sidang mereka boncengan pergi makan. Itu kan tidak pernah ada lagi sekarang," tutur Rusdy. Baca juga: Negara Jangan Cuci Tangan Koordinator Subkomisi Media Komnas HAM Nur Kholis menilai upaya Rusdy meminta maaf kepada korban Tragedi 1965 sulit dikaitkan dengan pertimbangan politis. "Apalagi Pak Rusdy pernah aktif dalam Pemuda Pancasila yang juga diduga terlibat dalam kekerasan (Tragedi 1965) ini," ujar Nur Kholis. Pada 1983, Rusdy menjabat sebagai Ketua Pemuda Pancasila. Setahun sebelumnya dia menduduki posisi Sekretaris Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Dia juga pernah menjadi Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Sulawesi Tengah. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM seperti yang dilakukan Rusdy diharap Komnas HAM dapat menyebar ke daerah lain meski hal itu tidak mudah dilakukan, sebab tiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Bagi Rusdy, pemimpin daerah hanya butuh keberanian dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Dukungan masyarakat ikut berperan besar dalam mewujudkan kota ramah HAM. "Saya punya harapan agar para aktivis di daerah bisa membujuk bupatinya untuk bertemu korban, menginventarisasi korban, dan menggelar dialog," ujar Rusdy.
Baca juga: Taufiq Ismail Tersambar 'Petir' akibat Manifes Kebudayaan (agk) Ikuti survei CNNIndonesia.com dan raih kesempatan memenangkan iPhone 6 serta hadiah senilai jutaan rupiah lainnya. Ikuti survei
Kesaksian dari Kediri tentang Serangan PKI Prima Gumilang, CNN Indonesia Jumat, 03/06/2016 18:27 WIB
Keluarga korban PKI memberikan kesaksian pada acara Simposium Nasional di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/6). (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ingatan Muawanah Ibrahim masih jernih. Ia merekam jelas tragedi yang terjadi 51 tahun lalu itu. Para santri dan kiai diserang massa bersenjata. Mereka tergabung dalam Partai Komunis Indonesia dan sejumlah organisasi sayap partai itu. Perempuan 70 tahun itu sengaja datang dari Kediri untuk menghadiri acara Simposium Nasional bertajuk "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain" di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/5). Di sela acara, Muawanah bercerita tentang pengalaman kelam itu. Tragedi penyerangan besar-besaran oleh PKI kepada kalangan pesantren untuk pertama kalinya di Kediri. Kala itu Muawanah masih berusia 18 tahun. Dia baru menamatkan sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA), setaraf Madrasah Aliyah Negeri.
Muawanah mengikuti pelatihan kaderisasi yang diadakan Pelajar Islam Indonesia di Pondok Pesantren Al-Jauhar, Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, Jawa Timur. Liburan sekolah di bulan Ramadhan dimanfaatkan untuk mengikuti pelatihan. "Memang sudah menjadi kebiasaan Pelajar Islam Indonesia, setiap ada liburan diadakan pelatihan," katanya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com. Muawanah mengikuti pelatihan mental yang berisi kegiatan penguatan nilai keagamaan. Pada waktu yang bersamaan digelar pula pelatihan tingkat dasar dan training kepemimpinan. Pelatihan itu dimulai pada 9 Januari dan direncanakan berakhir pada 22 Januari 1965. Pesertanya terdiri dari 127 santri usia sekolah menengah atas. Pelatihan berhenti di tengah jalan. Baca juga: Rekomendasi Simposium 'Anti-PKI': Lupakan Masa Lalu Rabu, 13 Januari 1965. Langit masih gelap ketika Muawanah dan teman-temannya berada di asrama putri. Usai melaksanakan salat subuh, mereka hendak mengikuti kuliah umum. Dor... dor... dor... Dari dalam ruangan, Muawanah mendengar suara tembakan. "Itu kode ternyata," katanya. Setelah bunyi tembakan, sekitar ribuan orang datang berbondong-bondong menyerang asrama putra dan putri serta masjid. Pintu asrama putri digedor. Ketika dibuka, para pria langsung menyerang masuk. Muawanah dan santriwati lain pun ketakutan. "Bayangkan, kami masih anak usia SMA," katanya. Para penyerang langsung melontarkan kata makian. "Ini antek Belanda, antek Nekolim (neokolonialisme-imperialisme), seret saja!" ujar Muawanah menirukan para penyerang. Muawanah juga menyaksikan bagaimana salah satu temannya dilecehkan oleh sejumlah pria yang masuk ke asrama. Namanya Khotijah, asal Kertosono. "Dia memang cantik anaknya, dilecehkan kemudian digerayangi semua, itu tidak hanya satu anak, kurang ajar sekali," ujar perempuan kelahiran Blitar, 1946. Para penyerang lalu mengambil Alquran, menginjak-injak, kemudian memasukkannya ke
karung. Setelah itu para santri digiring keluar sambil diiringi umpatan kemarahan kader dan simpatisan PKI. Sebagian massa anggota PKI masuk ke masjid tanpa melepas alas kaki. Lantai masjid pun becek karena saat itu musim hujan. Mereka juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Ponpes Al-Jauhar. Muawanah menyaksikan para kiai diseret keluar dan dianiaya. "Mereka ditempeleng, pokoknya direndahkan, dihina, dimaki dan sebagainya," katanya. "Itu kiai sedang ada di masjid." Muawanah baru menyadari tim keamanan pesantren yang mayoritas pria telah diikat beruntun satu sama lain. Kaki dan tangan mereka diikat. Mereka kemudian digiring menuju kantor polisi. "Yang mestinya kalau ke kantor polisi Kras, kira-kira setengah kilometer tapi ini mubeng (berkeliling) sampe dua kilometer lebih," katanya. Mereka diajak menyusuri pematang sawah. Di tengah perjalanan, para santri dan kiai diintimidasi. Mereka diancam akan dibunuh. Makian tak hentinya dilontarkan kepada mereka. "Kalau sampai ada yang lari, bunuh," kata Muawanah mengenang. Pukul enam pagi, mereka diserahkan kepada kepala kepolisian. Lihat juga: Rumor PKI dan Deretan Tudingan Kivlan Salah seorang panitia pelatihan, Sunarsih, mengenali salah satu pelaku penyerangan. Namanya Suryadi, pimpinan organisasi sayap PKI, Pemuda Rakyat di desa itu. "Yang ambil pistol dan menembak ke atas itu namanya Suryadi, Ketua Pemuda Rakyat. Jadi semua tahu kalau itu PKI," kata Sunarsih. Dari situ warga pesantren mengidentifikasi bahwa penyerangan itu dilakukan oleh PKI dan underbouwnya, seperti Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI). "Yang tidak ada hanya Gerwani," kata Sunarsih. Saat itu, Muawanah tidak paham mengapa PKI menyerang kalangan pesantren. "Mungkin itu test case dia (PKI) untuk mengadakan pemberontakan 1965," katanya.
Sebelum kejadian di Kanigoro, sejumlah anggota PKI dibunuh di Madiun dan Jombang pada akhir 1964. Pembunuhan itu diduga dilakukan oleh kelompok santri. Kader PKI berusaha melakukan aksi balas dendam di Kanigoro. Usai penyerangan di Kanigoro, delapan bulan kemudian pecah peristiwa penculikan disertai pembunuhan tujuh jenderal di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kejadian itu dikenal dengan Gerakan 30 September. PKI dituding sebagai dalangnya. Kemarahan kelompok santri atas Tragedi Kanigoro akhirnya meluap pasca peristiwa G30S. Kaum pesantren ikut membantai kader, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh dekat dengan PKI. Pembunuhan massal mencapai klimaks saat Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 disahkan dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Baca juga Menteri Yasonna: Mana Ada Lagi PKI Sekarang? (abm)
Taufiq Ismail Tersambar 'Petir' akibat Manifes Kebudayaan Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia Sabtu, 25/06/2016 12:08 WIB
Taufiq Ismail ikut tanda tangan Manifes Kebudayaan yang anti-PKI. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami)
Jakarta, CNN Indonesia -- Petir di siang bolong benar-benar pernah dirasakan Taufiq Ismail. Saat itu, sekitar 1964, ia masih dosen muda di Institut Pertanian Bogor (IPB). Bersama 29 dosen muda lain dari kampusnya, Taufiq hendak melanjutkan studi ke
Kentucky, Amerika. Mereka dapat beasiswa. Paspor, tiket, semua sudah di tangan. Tiga hari lagi berangkat. Tapi mendadak Taufiq tidak diperbolehkan berangkat. Beasiswanya dicabut begitu saja. Pupus sudah harapan punya gelar S2 dan S3 dari kampus di Amerika. Penyebabnya, Taufiq termasuk salah satu seniman yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan, pernyataan kelompok seniman dan sastrawan yang bertentangan dengan keinginan-keinginan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni budaya. Dari 30 dosen di IPB dan 30 lagi di Institut Teknologi Bandung (ITB), Taufiq satu-satunya nama yang dicoret dari daftar penerima beasiswa, meski ia sendiri sebenarnya sudah pernah ke Amerika. "Ini seperti petir, halilintar." Bukan hanya itu, beberapa hari kemudian ia masih mengalami kesialan. "Saya ke kantor fakultas untuk ambil gaji. Di daftar gaji, nama saya sudah dicoret. Kata petugas TU [Tata Usaha], saya sudah dipecat," Taufiq bercerita pada CNNIndonesia.com, saat ditemui di kantornya di kawasan Utan Kayu, Jakarta, baru-baru ini. Kata Taufiq, seniman yang bernasib seperti dirinya banyak. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Apalagi Wiratmo Soegito, HB Jassin, dan Boen S. Oemarjati yang menggagas Manifes Kebudayaan. Pernyataan itu ditandatangani 20 sampai 30 seniman di Jakarta, dan meluas sampai ke ratusan orang di daerah. "Dalam Manifes [Kebudayaan] itu, kami menyatakan bahwa kemerdekaan atau kebebasan berkarya harus dihormati," ujarnya. Rupanya itu membuat marah PKI dan Lekra, kelompok budaya yang berafiliasi dengan PKI. "Kami diserang habis-habisan," ujarnya. PKI menganggap, berbudaya itu tujuannya untuk mendukung politik. Sementara Manifes Kebudayaan menyebut itu harus seimbang. PKI akhirnya berhasil menghasut Soekarno, Presiden RI kala itu, untuk membubarkan Manifes Kebudayaan. "Dinyatakan terlarang, karena berbahaya bagi revolusi." Sebutan buruk pun dilontarkan bagi Manifes Kebudayaan. "Diejek dengan istilah singkatan, Manikebu. Itu mengingatkan orang ke mani, sperma. Dan kebu, kerbau. Jadi seolah itu sperma kerbau," tutur Taufiq lagi. Seniman-seniman yang ikut tanda tangan
bernasib buruk. Karya-karya mereka dilarang. Selama dua tahun, 1964 sampai sekitar 1966, Taufiq dan kawan-kawan hanya bisa menulis dalam diam. Suara mereka seakan dibungkam. Kalau tidak dipublikasikan, maka terpaksa menggunakan nama samaran. Taufiq pun demikian. Ia juga ikut dalam berbagai gerakan yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang menurutnya sudah ‘dihasut’ PKI. Baru setelah meletusnya G30S dan anggota PKI banyak dikejar serta dibunuh, perlahan Taufiq bersuara kembali. "Tahun 1966 kembali lagi." Di Balik Manifesto Kebudayaan Taufiq tidak sembarangan saat memutuskan anti-PKI, bahkan hingga kini. Ia tergerak setelah menemukan buku ‘pedoman’ bagi internal PKI. Ia menyebut, buku itu dibikin oleh Vadim Valentinovich Zagladin, politikus Soviet yang menulis World Communist Movement. "Kebetulan ada kawan yang mendapatkan buku itu," katanya, tak menjelaskan lebih lanjut. Dalam buku itu, Taufiq bercerita, disebutkan ada 17 langkah bagi partai komunis untuk merebut kekuasaan. "Nomor satu sekali berdusta. Yang lain seperti memalsukan dokumen. Nomor 17, membunuh atau membantai," ujarnya menyebutkan langkah-langkah itu. Saat itu, sekitar 1960-an, kondisi politik memang tengah memanas. PKI berusaha keras merebut kekuasaan dengan melarang partai-partai Islam serta membreidel surat kabar, seperti Pedoman dan Indonesia Raya. Menurut Taufiq, tujuan PKI yang diklaim akan memakmurkan kehidupan ekonomi dan memberikan kehidupan layak bagi buruh tani hanya dusta belaka. Perebutan kekuasaan merupakan tujuan utama ideologi dari Soviet itu. "Kami melihat itu tidak baik. Seniman-seniman berkumpul membuat pernyataan," katanya. Dibentuklah Manifes Kebudayaan. Sebelumnya, perjuangan melawan PKI dilakukan politikus. Tapi partainya dibubarkan. Kemudian para wartawan. Medianya dibreidel. "Kami [seniman] tidak tinggal diam dan membuat Manifes Kebudayaan. Tapi ternyata pada akhirnya mengalami nasib yang sama," kata Taufiq. Sejak itu, mahasiswa lah yang bergerak.
Setelah PKI akhirnya digulingkan pada 1965 dan 1966, kebebasan berkarya Taufiq dan kawan-kawan pun kembali. Taufiq sendiri kemudian disebut sebagai seniman sastra Angkatan '66. (rsa/vga)