Forum Bangun Aceh is a Local NGO based in Banda Aceh Our Mission is to assist Tsunami’s Survivors in Aceh to raise their life up through their own potential: Rebuilding from Inside Our current program in Education and Livelihood sectors are based on the pholosophy of one to one assistance: People to People, Family to Family, School to School, Organization to Organization, and Community to Community, as another way to help
Contact Information: FORUM BANGUN ACEH Jl. Soekarno Hatta No. 41 Geuce Menara - Banda Aceh 23237 INDONESIA Ph/Fax: +62-651-45204 eMail:
[email protected] website: www.forumbangunaceh.org
The Human Spirit Can Overcome Tragedy Stories of Hope and Agency from Tsunami Survivors
Semangat Mengalahkan Tragedi Kisah-kisah Nyata Para Korban Tsunami
The Human Spirit Can Overcome Tragedy Stories of Hope and Agency from Tsunami Survivors
Semangat Mengalahkan Tragedi Kisah-kisah Nyata Para Korban Tsunami
FORUM BANGUN ACEH 2006
_____________________________________________ Writer/Penulis : Juliette Yu-Ming Lizeray Translation/Penerjemahan: Asnawi, Wan Putra Editor: Wan Putra Lay-Out/Design: Kusnandar Zainuddin Photographer Front Cover : M. Anshar Photographer Back Cover : Luciana Ferrero
Forum Bangun Aceh
Acknowledgements Ucapan terimakasih To Fatmawati, Zulkifli, Lukmanul Hakim, Jamil and Heli: Thank you for sharing your stories. We sincerely hope that through our writing, your message and sentiments were expressed in so far as words permit. Thank you to our generous donors, volunteers, friends and all who has supported us thus far. Keep in the struggle! ____________________________ Kepada Fatmawati, Zulkifli, Lukmanul Hakim, Jamil dan Heli: terimakasih atas cerita yang anda berikan. Kami dengan tulus berharap melalui tulisan ini, pesan dan perasaan tertulis selayaknya. Terimakasih pada para donatur, sukarelawan, rekan dan semua yang mendukung kami selama ini. Tetap berjuang!
Thanks to ACPF, Afri Sya’ali, AJWS, Asti House, Barry Potter, Cambarwell Grammar School, Catalana Spain, Creative Associates, Deakonie, DFW, Dublin Port Company, DR. SM Kenny, Eric Outard, Erma Witoelar, Green Grand Fund, Heather Foley, IBO, Irland Military Barrack, Iskandarsyah Madjid, James Beal, JANNI, Jarlath Moloy, Jennifer Hegarty Owens, Joe Wood, John Wagee, Kendartanti Subroto, Kate M Fuller, King Khalid Islamic College, Luciana Farero, M. Al Arief, M. Iqbal, Meijling Consultant, Mirza Mubarak, Nena Soeprapto, Nina Ekawati, Nonette, Peter Bauman, PPI Gotingen, Potro Soeprapto, Retno Smith, Robert Cowhert, Ryan, Sharon Hughes, Sri Dato Sanusi Junid, Stephen Lee, Mark Sunkar, Susan, Tamalyn Dallal, Tedjo, Therese Condit, Uri Tadmor, UWCSEA, Wan Putra, Wahid Institute, Willy Brillianto, YBK, Yenny Wahid, And All FBA Volunteers
Forum Bangun Aceh
Table of Contents Daftar Isi A word from FBA’s founder Sepatah kata dari pendiri FBA
6
What is the FBA? 10 Apa itu FBA? Rebuilding Livelihoods 14 Membangun Kembali Perekonomian Rakyat Remembering Tsunami Survivors 18 Mengenang Korban Tsunami Fatmawati: Lampoh Daya’s devoted advocate 22 Fatmawati: Advokat desa Lampoh Daya Zulkifli: Empowerment begins with believing in yourself 30 Zulkifli: Pemberdayaan mulai dengan keyakinan diri Heli: Living life on your own terms 36 Heli: Hidup atas jerih payah sendiri Lukmanul Hakim: Socially responsible entrepreneur 44 Lukmanul Hakim: Pengusaha berjiwa sosial tinggi Jamil: Skill training brings hope for the otherwise unemployed 52 and success to his business Jamil: Pelatihan keahlian membawa harapan untuk pengangguran dan sukses usahanya Afterword Penutup
60
The Writer, Juliette Yu-Ming Lizeray: How I Came to Aceh Penulis, Juliette Yu-Ming Lizeray: Bagaimana Saya Datang ke Aceh
64
A word from FBA’s founder A journey of a thousands miles begins with a single step. This proverb truly helped motivate me to do something to help myself, my family and my homeland of Aceh when in December 2004, the tsunami destroyed everything dear to me. I felt like I had lost everything in my life. It was hard to believe what I saw: There was nothing left after the tsunami. More than 200,000 people lost their lives. We lost beloved parents, brothers, sisters and friends. How were we to start life again? From almost nothing, from rubble? Thousands people with no place to stay, not enough food to eat and water to live. I felt hopeless. I didn’t know what to do. That day, wandering helplessly, I found myself standing at the corner of the Banda Aceh Baiturahman Great Mosque. Watching the many dead bo-dies and the people walking without hope amongst them, I cried, I still didn’t know what happened to my family. After a couple hours wandering helplessly in at the Great Mosque, I pushed myself to keep searching my family. I could only pray that they were alright. Nevertheless, I kept thinking of what I could possibly do to rebuild my homeland and my people’s lives. Then, I remembered the saying that a journey of a thousand miles begins with a single step and I realized that I couldn’t do everything at once for my family, for Aceh and all tsunami survivors. I knew I must not be deterred by the immensity of the task at hand, that I must do what I can. This principle has driven me to always do something, however small, because it can make a significant difference in our life and the lives of others. Tsunami survivors need quick and immediate help; so even the smallest help can save their life. But how? Then an idea comes, if one person can help one tsunami victim, more survivors will be able to recover their life as soon as possible. This principle which we would later call “People-to-People”, I found was suited to deliver quick, thus life-saving, emergency aid. I realized I was not alone to make this dream comes true. Many friends, particularly other young Acehnese tsunami survivors joined the Forum Bangun Aceh (FBA) to work and volunteer, and expressed the same commitment to do something however small but make a significant difference. The FBA has benefitted from strong support for our People-to-People initiative approach, and has now expanded to start a Community-to-Community program.
Forum Bangun Aceh
Sepatah kata dari pendiri FBA Seribu langkah ke depan dimulai dari satu langkah pertama. Petuah ini sangat memotivasi diri saya dalam membantu keluarga dan kampung saya di Aceh yang hancur akibat tsunami Desember 2004. Saya merasa telah kehilangan semuanya dalam hidup karena tsunami. Sangat sulit untuk mempercayai apa yang saya lihat pada waktu itu. Tidak ada yang tersisa setelah tsunami tersebut. Lebih dari 200,000 manusia meninggal dan hilang. Banyak diantara kami yang hilang orang tua, abang, kakak dan kawan-kawan kami tercinta. Bagaimana kami bisa memulai hidup kembali? Mulai dari mana, dari sampah tsunami yang tersisa? Ribuan orang tidak mempunyai tempat tinggal, tiada makanan dan minuman untuk bertahan hidup. Saya sempat putus asa. Saya tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Waktu itu, dalam keputusasaan saya menemukan diri saya sendiri berdiri di salah satu sudut Mesjid Raya Baiturrahman. Melihat mayat bergelimpangan dan orang-orang berjalan tanpa arah dan harapan dengan tatapan mata kosong, saya menangis, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga saya. Setelah beberapa jam terbenam dalam keputusasaan di Mesjid Raya, saya memaksa diri untuk meneruskan pencarian keluarga sambil berdo’a agar mereka semua selamat. Walaupun demikian, saya mencoba berpikir tentang apa yang bisa saya lakukan untuk para korban tsunami dan membangun kembali kampung halaman yang sudah hancur total. Saya teringat sebuah petuah lama yang mengatakan bahwa ribuan langkah kedepan dimulai dari satu langkah pertama dan saya sadar bahwa saya tidak mungkin melakukan segalanya untuk keluarga saya, untuk Aceh dan semua korban tsunami yang ribuan jumlahnya. Saya mencoba menyadari bahwa saya tidak boleh terhalangi hanya karena begitu rumitnya permasalahan di depan mata, saya harus melakukan sesuatu yang saya bisa. Prinsip ini mendorong saya untuk selalu mencoba berbuat sesuatu bagaimanapun kecilnya, karena itu dapat membawa manfaat yang berarti bagi kehidupan kita dan orang lain. Para korban tsunami membutuhkan bantuan cepat walau kecil sekalipun untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi bagaimana caranya? Lantas tercetuslah ide, jika satu orang dapat membantu satu korban tsunami saja, barangkali lebih banyak korban tsunami tertolong dan dapat segera memulai hidupnya kembali. Ide ini kemudian berkembang yang kemudian disebut program ‘People-to-People’, dan ternyata membantu mempercepat proses penyaluran bantuan untuk menyelamatkan korban tsunami. Saya sadar bahwa saya tidak sendiri dalam mewujudkan mimpi ini.
Volunteers have made a significant contribution to FBA and our development work. For instance, Juliette Lizeray, who wrote these stories, has made a real contribution not only to the FBA, but also to the people we serve, to our donors and to the world by identifying success stories and sharing the lessons they give us for the future. Likewise Tamalyn Dallal who wrote first success story about our revolving fund, Therese Condit who initiated film documentary on Aceh, and Wan Putra that persistently assists FBA internally. These volunteers have shown us, sincerity and strong willingsess can do so much and help others in our own capacity. Thank you sincere volunteers. These success stories would not be possible without the hard work of all higly dedicated FBA staff and volunteers. We are very thankful to our partners who support and fund our work without complicated bureaucracy. We thank the Dublin Port Company; DIAKONIE; Catalonia Cooperation Agency; AJWS; GGF and the many private individual donors who continue to support the FBA. We all hope that we shall do more to make this world better. Banda Aceh, March 19, 2006 Azwar Hasan
Forum Bangun Aceh
Banyak kawan, terutama kawan-kawan Aceh lainnya yang juga korban tsunami bergabung dengan FBA untuk bekerja maupun sukarela yang mempunyai komitmen yang sama untuk melakukan sesuatu kecil namun berarti nyatanya. FBA sangat beruntung mendapatkan dukungan dari inisiatif pendekatan ‘People-to-People’ ini dan sekarang sudah berkembang ke program yang lebih luas ‘Community-to-Community’. Para relawan telah banyak membantu FBA dan juga dalam mengembangkan program-program FBA. Misalnya, Juliette Lizeray, yang menulis cerita sukses dalam buku ini, bukan saja telah memberikan kontribusi nyata kepada FBA, tetapi juga para korban yang kami bantu, para donor dan kepada dunia dengan mengidentifikasikan cerita sukses yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua di masa yang akan datang. Demikian juga dengan Tamalyn Dallal yang menulis cerita sukses pertama tentang program dana bergulir FBA dan juga Therese Condit yang memproduksi film dokumenter tentang Aceh, dan Wan Putra yang secara konsisten membantu FBA dari dalam. Mereka para relawan ini telah menunjukkan kepada kami dengan niat dan ketulusan kita dapat berbuat dan menolong sesama dalam kapasistas kita masing-masing. Terima kasih para relawan yang tulus. Cerita sukses ini mungkin tidak pernah ada tanpa usaha keras semua kawan FBA dan para relawan yang penuh dedikasi. Kami sangat berterima kasih kepada mitra yang memberikan dukungan donasi tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Terima kasih kami kepada Dublin Port Company; DIAKONIE; Catalonia Cooperation Agency; AJWS; GGF and juga donatur individu yang terus mendukung FBA. Semoga kedepan kita bisa berbuat lebih banyak lagi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Banda Aceh, 19 Maret, 2006 Azwar Hasan
What is the FBA?
“What do you need? What can we do for you?”… Sometimes these questions are the last to be asked. When disaster strikes, just as the December 2004 tsunami did, it is hard and often unlikely to be both the victim and the decision-maker. Yet tsunami survivors in Aceh know what they want and need. With 80% of all businesses and small enterprises in the coastal areas in Aceh destroyed, they want their livelihoods back. What began, in the immediate aftermath of the tsunami, as a grassroots endeavor by survivors, has grown into what is now the Forum Bangun Aceh (FBA), a local NGO, trusted and recognized for its commitment to direct action. The FBA was officially established in March 2005, with the aim of empowering inhabitants of Aceh to rebuild their lives and communities. Investing in local people by developing their capacity is the key to long-term rehabilitation of the economy and of society of Aceh. The FBA is a local community-based organization whose members have strong ties and partnerships with communities across Aceh. Thanks to these grassroots partnerships, the FBA is able to effectively serve people’s needs and be an effective catalyst in Rebuilding Aceh from the Inside. FBA Philosophy & Vision : Rebuilding from the Inside We believe that Small Makes a Difference: every individual can be a catalyst for change, if only they find the opportunity. For tsunami survivors many of whom have been completely dispossessed, the price-tag of opportunity is cheap. $50 is all it takes to start a small business. More than just a source of income, that business equals food for a family, respect of friends and neighbours, and a life of economic independence, lived on one’s own terms, with dignity and hope for the future. Small is no excuse for inaction! Instead small should be an impetus for quick and effective action. In the first few months after the tsunami, FBA volunteers mainly dealt with sums of under $100, but 100% of it reached survivors in the form of in-kind assistance. Since the start of the FBA’s Livelihood Program in March 2005, many micro-enterprises born out of even the smallest seed money have grown into self-sufficient livelihoods. It’s the realization—that small can make such a difference—which keeps us going. Faced with the enormity of the tsunami, this important les10
Forum Bangun Aceh
Apakah FBA ? “Apa yang anda butuhkan? Apa yang dapat kami lakukan untuk anda?”... Sering pertanyaan ini adalah pertanyaan terakhir yang ditanyakan. Ketika bencana datang, seperti yang terjadi pada bulan Desember 2004 lalu, sangat sulit berada di posisi korban sekaligus sebagai pembuat keputusan. Sampai sekarang, masyarakat korban di Aceh tahu apa yang mereka butuhkan. Dengan hancurnya 80% usaha-usaha kecil di wilayah tepi pantai, mereka semua menginginkan bisnis mereka kembali hidup. Persis setelah tsunami, sebuah upaya dari bawah yang dilakukan oleh para korban, sekarang telah tumbuh menjadi Forum Bangun Aceh (FBA), sebuah NGO lokal, yang terpercaya dan diakui komitmen mereka dalam upaya menyalurkan bantuan langsung. FBA didirikan untuk merespon tsunami yang menghancurkan Aceh pada Desember 2004. FBA bertujuan memperkuat masyarakat Aceh untuk membangun kembali kehidupan mereka dan masyarakatnya. Membangun masyarakat lokal dengan mengembangkan kapasitas mereka merupakan kunci pembangunan kembali ekonomi dan masyarakat Aceh dalam jangka panjang. FBA adalah organisasi berbasis masyarakat yang anggotanya mempunyai ikatan dan hubungan yang kuat dengan masyarakat Aceh sendiri. Terima kasih kepada kemitraan berbasis akar rumput (grassroots), FBA kini lebih membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi katalis yang efektif dalam Membangun Aceh dari Kekuatan Sendiri. Filosofi dan Visi FBA: Membangun dari Kekuatan Sendiri Kami percaya bahwa Kecil Dapat Membuat Suatu Perbedaan: setiap individu dapat menjadi katalis untuk perubahan, jika mereka mendapatkan kesempatan. Bagi korban tsunami yang kebanyakan dari mereka hampir kehilangan segalanya, peluang untuk membantu mereka sebenarnya cukup besar. Hanya dibutuhkan sekitar Rp 500 ribu rupiah untuk memulai kembali sebuah usaha kecil. Usaha tersebut lebih dari sekadar sebagai sumber pendapatan semata, usaha tersebut dapat mencukupi makanan bagi sebuah keluarga, pengakuan dari kawan dan lingkungannya, serta sebuah kemandirian ekonomi, kehidupan di tangan mereka sendiri dan dapat menumbuhkan harapan bagi masa depan mereka. Meskipun kecil tidak berarti dilupakan! Kecil merupakan rangsangan untuk bertindak cepat dan efektif. Beberapa bulan setelah tsunami, para relawan FBA bekerja dengan modal rata-rata dibawah 1 juta rupiah, akan tetapi 100% sampai kepada masyarakat dalam bentuk bantuan peralatan (in-kind assistance). Sejak berdirinya FBA secara hukum dan juga program 11
son, garnered from our own experience, gives us all an alternative to being the helpless onlooker. Never underestimate the potential of even the smallest intervention, and in particular, the acts of any single individual. Mission • To motivate and empower survivors to rebuild their lives and break the cycle of aid-dependency; • To reduce poverty in both rural and urban communities across Aceh province particularly thoses effected by tsunami; • To identify and reach those individuals, families and communities that have the greatest need; • To assist people in achieving economic self-reliance by establishing positive income generating enterprises; • To strengthen human capacity by improving levels and quality of education; • To promote cross-cultural understanding in order to build a strong global civil society.
12
Forum Bangun Aceh
livelihood kami pada bulan Maret 2005, program usaha kecil dana bergulir ini lahir dengan modal yang sangat kecil dan sekarang sudah tumbuh menjadi usaha-usaha yang cukup banyak dan berkesinambungan. Realisasinya-kecil dapat membuat perbedaan begitu nyata, yang membuat kami terus maju. Berhadapan dengan besarnya dampak tsunami, pelajaran yang sangat penting disarikan dari pengalaman kami sendiri dan tidak menjadikan kami hanya sekedar penonton yang putus asa. Janganlah pernah meremehkan sebuah potensi walaupun itu sangat kecil sekalipun dan dari siapapun. Misi •
• • •
• •
Memotivasi dan memberdayakan para korban untuk membangun kehidupan mereka dan menghilangkan siklus ketergantungan bantuan; Mengurangi kemiskinan baik di pedesaan maupun perkotaan terutama di wilayah yang terkena dampak tsunami di Propinsi Aceh; Mengidentifikasi dan membantu individu-individu, keluarga dan komunitas yang benar-benar membutuhkan bantuan; Membantu masyarakat dalam mencapai kemandirian ekonomi dengan membangun usaha yang dapat mendatangkan pendapatan; Memperkuat kapasitas manusia dengan memperbaiki kuantitas dan kualitas di bidang pendidikan; Turut serta mempromosikan saling pengertian antar budaya untuk membangun sebuah masyarakat sipil dunia yang kuat
13
Rebuilding Livelihoods Imagine, if you can, that you are tsunami survivor. Imagine that you must rebuild your life, after losing family, home, and livelihood. Now imagine you want to restart a business so you can feed yourself and your children. You went to the bank but they deemed you “high-risk.” You couldn’t offer any repayment guarantees, they said. And where you could get funds, you couldn’t afford the interest rates and strict repayment timeline. So now I ask you: What exactly are we rebuilding, after the tsunami? Poverty? If small entrepreneurs are not supported in their efforts at restarting their businesses, then we are not giving them the opportunity to be economically independent. These tsunami survivors will remain in poverty, depending on hand-outs from external donors who won’t be around indefinitely. The benefits of creating sustainable businesses are many. On top of giving people hope for their future and empowering them to take charge of their lives, supporting local entrepreneurs helps create a stable and thriving economy. Small and medium enterprises (SMEs) are very labor intensive and hire many people. They also constitute a large percentage of the economy. A great deal of people depend on SMEs for their livelihoods in Aceh, both before and after the tsunami. Even in times of economic crisis and natural disasters, SMEs have proven to be resilient. They have a relatively high degree of elasticity and adaptability to changing circumstances, including market demands and supply. They keep the economy going. However, while SMEs in general are resilient, the individual entrepreneur is vulnerable to change because of a lack of assets that can be sold in times of economic hardship and act as a buffer to insecurity. So being a successful small entrepreneur is no easy feat. You must be savvy at calculating business risk, have great motivation, be very achievement driven, be adaptable and lastly, be willing to take risks. The volunteers, who would later form the Forum Bangun Aceh (FBA), found that many tsunami survivors had either been entrepreneurs, or had been employed in a small enterprise. Helping an individual restart his or 14
Forum Bangun Aceh
Membangun Kembali Perekonomian Rakyat Bayangkan, jika bisa, Anda adalah seorang korban tsunami. Bayangkan, Anda harus membangun kembali kehidupan Anda, setelah kehilangan keluarga, rumah, dan mata pencaharian. Sekarang bayangkan Anda ingin memulai kembali usaha supaya bisa menghidupi diri dan anak-anak. Anda pergi ke bank, tetapi mereka menyatakan bahwa Anda ”beresiko tinggi”. Anda tidak memiliki jaminan pembayaran, kata mereka. Dan ditempat manapun bisa mendapatkan dana, Anda tidak mampu untuk membayar tingkat suku bunga dan jangka waktu pembayaran yang ketat. Sekarang, Saya bertanya kepada Anda: Apa yang sebenarnya kita bangun kembali setelah tsunami? Kemiskinan? Jika tidak ada dukungan bagi upaya pengusaha kecil untuk memulai kembali usaha mereka, berarti secara ekonomi kita tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berdiri sendiri. Para korban tsunami ini akan tetap berada dalam kemiskinan, tergantung pada bantuan donor luar yang tidak akan berada selamanya. Banyak sekali keuntungan yang bisa dipetik dengan membangun usaha yang berkesinambungan. Selain memberikan harapan bagi masa depan dan memberdayakan orang untuk mengatur hidup mereka sendiri, membantu pengusaha lokal berarti turut menciptakan ekonomi yang lebih menjanjikan dan stabil. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) banyak menyerap tenaga kerja. Juga, persentase terbesar perekonomian berasal dari UKM. Begitu banyak penghidupan orang di Aceh yang tergantung pada UKM, baik sebelum maupun setelah tsunami. Walaupun berada pada masa krisis ekonomi dan bencana alam, UKM terbukti mampu bertahan. Mereka relatif sangat elastis dan mudah beradaptasi terhadap perubahan keadaan, termasuk permintaan dan penawaran pasar. Mereka menjaga perekonomian untuk terus bergulir. Meskipun demikian, walau pada umumnya UKM mampu untuk bertahan, para pengusaha individu rentan terhadap perubahan karena kurangnya aset yang bisa dijual pada saat mengalami kesulitan ekonomi yang berlaku sebagai penahan pada keadaan tidak menentu. Sehingga, menjadi seorang pengusaha kecil yang sukses tidaklah mudah. Diperlukan kemampuan untuk menghitung resiko bisnis, memiliki motivasi besar, ambisi untuk 15
her business therefore would have a ripple effect on a larger number of other survivors, including families and dependents. The next question was “How?” In the FBA’s experience, providing in-kind assistance to people has been highly effective. Cash disbursements require careful management and must be calculated on a case by case basis. Loans may have inhibiting interest rates and repayment deadlines, while complicated micro-finance cluster models may not be suitable to the cultural context and post-tsunami realities. That is why the FBA carefully identifies individuals who are capable and competent entrepreneurs. We then assess their needs (what equipment, material, etc do they need to start up?) and purchase the capital for them. The cost of the capital is to be repaid according to a flexible and customized schedule. Our Livelihood Program is a Revolving Fund and each interest-free loan to a tsunami-affected small entrepreneur is an investment in a sustainable future—of each business and of our Livelihood Program. With the success of the business, the reimbursements return to our Revolving Fund and fund the next enterprise. This creates a snow-ball effect of positive economic development. It’s a simple concept. But, who said providing small loans to businesses ought to be complex? Replace complicated and bureaucratic with Direct and Efficient and let the numbers do the talking: Over 200 small and medium enterprises restarted since the tsunami on FBA revolving funds. Now imagine. That’s over 1,000 beneficiaries. 16
Forum Bangun Aceh
berhasil, mudah beradaptasi dan yang terakhir, bersedia untuk mengambil resiko. Para relawan yang kemudian membentuk Forum Bangun Aceh (FBA), menemukan banyak diantara korban tsunami yang sebelumnya adalah pengusaha atau bekerja sebagai karyawan di UKM. Karenanya, dengan membantu seorang individu membangun kembali usahanya, akan memberikan dampak bergulir pada sejumlah besar korban lainnya, termasuk keluarga dan tanggungannya. Pertanyaan selanjutya adalah ”Bagaimana?” Pengalaman FBA membuktikan cara yang paling efektif adalah dengan memberikan bantuan peralatan usaha kepada mereka. Pemberian bantuan dalam bentuk ’uang’ membutuhkan pengelolaan yang hati-hati dan harus diperhitungkan berdasarkan pada kasus demi kasus. Pinjaman dana bisa menghambat tingkat suku bunga dan jangka waktu pembayaran, sementara model mikro-ekonomi berbasis kelompok yang pelik mungkin saja tidak cocok dalam konteks budaya dan kenyataan pasca tsunami. Itulah sebabnya mengapa FBA secara hati-hati mengidentifikasi individu yang mampu dan mau untuk berusaha. Kami kemudian menilai kebutuhan mereka (peralatan apa, material, dsb. yang dibutuhkan untuk memulai usaha?) dan selanjutnya membelanjakan peralatan modal tersebut untuk kebutuhan mereka. Program livelihood kami berbentuk Dana Bergulir dan setiap pinjaman tanpa bunga kepada pengusaha kecil korban tsunami, merupakan investasi untuk keberlangsungan masa depan setiap usaha dan program livelihood kami. Dengan berhasilnya usaha mereka, proses pembayaran cicilan akan masuk kembali ke kas Dana Bergulir dan dialihkan ke usaha yang lain. Ini akan menciptakan dampak bergulir yang positif terhadap perkembangan perekonomian. Konsep yang sederhana. Tetapi, siapa yang mengatakan bahwa memberikan pinjaman kecil kepada usaha itu harus kompleks? Gantikan kesukaran dan birokrasi dengan cara Langsung dan Efisien dan biarkan bukti yang berbicara: Lebih dari 200 usaha kecil dan menengah telah memulai usahanya kembali sejak setelah tsunami melalui program Dana Dergulir FBA. Sekarang bayangkan, jumlah tersebut mencakup lebih dari 1000 penerima manfaat langsung.
17
Remembering Tsunami Survivors What’s the relevance of writing about tsunami survivors, one year later? Although nobody may have dared ask this question aloud, is anyone thinking it? Our mediatized world has de-sensitized us, truncated our attention spans and given us a consumerist conscience. The whole gamut of manmade and natural disasters that ravage man-kind with dizzying frequency, compete for a fleeting moment of our attention. One year ago, all eyes and ears were enraptured by the unraveling magnitude of the December 2004 tsunami which unleashed devastation on coastlines across the Indian Ocean. Although the tsunami received relatively more coverage than any other natural disasters until then, images and tales of shattered lives, grief, loss and the fragility of human existence, were soon replaced by the next new faces and stories in our symbolic consciousness. The result is a loss of interest, an oblivious complacency that nestles inside us, making us believe that what we saw, then, is being fixed, now. There’s a myth that’s told. A myth that if we shut our eyes and ears tight enough, we can build a wall, strong enough to withstand the tide of suffering, of change, of reality. But life can’t be walled out. Because beyond these concepts, are the people. They can not be reduced to statistics that can be “fixed.” In Aceh, some 70,000 still live in tents, 80,000 people still get their water trucked to them by NGOs, and 80% of tsunami survivors lost their livelihoods. How quickly we forget the human face behind figures so unfathomable! This collection of the stories of five survivors, are an attempt to help us remember. Their humility would make them balk at the term, but their convictions and courage are nothing short of heroic. The tsunami overturned their world. But their determination to regain a life of dignity, to see their children grow up, has driven them forward to this day. They refused to let fear be an impetus for inaction, dependency and hopelessness. So let this be a small tribute to Zulkifli, Lukmanul Hakim, Fatmawati, Jamil and Heli. With the assistance of the FBA’s Livelihood Program, they have shown us that however small the window of opportunity, there are many ways to grow. And let this also be a call to action, for you the reader, to believe in them. Knowing that a little help can go such a long way, help them help themselves! These survivors were able to rebuild their businesses and lives, with loans as small as US$150. But for every survivor’s story that gets published, there are thousands of those who still search for the opportunity to overcome adversity and whose struggle and strength remain untold. While 18
Forum Bangun Aceh
Mengenang Korban Tsunami Seberapa relevan penulisan tentang tsunami setelah setahun kemudian? Meski tak satu pun yang berani menanyakan pertanyaan ini dengan nada keras, adakah diantara kita yang berpikir demikian? Dunia kita telah melemahkan, mengurangi perhatian dan menjadikan kita seorang konsumen tetap. Semua hasil buatan manusia dan bencana alam yang menghancurkan umat manusia dalam skala besar, yang membuat mereka bersaing untuk menarik perhatian kita untuk sementara waktu. Setahun yang lalu, semua mata dan telinga telah dikoyak oleh berita tsunami yang tak terkirakan pada bulan Desember 2004 yang megakibatkan kerusakan yang parah di pantai barat sepanjang Samudra India. Meskipun tsunami mengakibatkan lebih banyak liputan dari pada bencana alam lainnya, sampai hari ini, gambaran dan cerita-cerita trauma kehidupan, luka, kehilangan manusia, akan segera digantikan oleh wajah dan cerita baru dalam kesadaran simbolis kita. Hasilnya adalah hilangnya minat, kepuasan dalam diri kita, yang membuat kita percaya bahwa apa yang telah terjadi sudah terperbaiki (red-dengan sendirinya). Ada satu cerita mitos, mitos yang jika kita tutup mata serapat-rapatnya, kita akan dapat membangun dinding, yang kuat dari perubahan, goncangan, dan realitas, tapi hidup tak dapat dibendung. Karena dibalik konsep ini adalah masyarakat. Mereka tak dapat dikurangi pada tingkat statistik yang dapat diperbaiki sesuai dengan keinginan kita. Di Aceh, 70.000 orang masih tinggal di tenda, 80.000 korban masih belum kebagian air bersih dan 80 % dari para korban kehilangan mata pencaharian mereka.Lihat, berapa cepat kita melupakan wajah manusia dibalik fenomena yang sangat menyedihkan ini! Kumpulan lima cerita sukses ini merupakan salah cara yang dapat membuat kita kembali mengingat peristiwa tersebut. Ketabahan mereka yang membuat mereka memulai hidup kembali, kepercayaan dan dorongan yang kuat menjadi dasar dalam perjuangan hidup mereka. Tsunami telah merubah dunia mereka. Akan tetapi keinginan untuk menggapai kehidupan mereka, melihat anak-anak mereka tumbuh, telah membuat mereka terus berjuang untuk masa mendatang. Mereka tidak mau ketakutan yang membuat mereka menyerah, menjadi ketergantungan dan tak berdaya. Sebagai contoh Zulkifli, Lukmanul Hakim, Fatmawati, Jamil dan Heli. Dengan adanya bantuan dari FBA melalui program livelihood, mereka sekarang telah menunjukkan bahwa seberapapun kecil kesempatan, ada banyak cara untuk tumbuh besar. Dan jadikan ini sebagai panggilan bagi anda pembaca untuk bertindak dan percaya pada mereka. Dari cerita sukses ini terbukti bahwa walaupun sedikit bantuannya namun dapat benar-benar berguna 19
tragedy and poverty are anonymous and universal, these people should not be. It is the hope of the people of Aceh, that you be moved, if not to action, then at least to remember. Because each and every survivor continues to fight to this day. Because they show us not only what it is to survive, but what a gift it is to be alive.
20
Forum Bangun Aceh
untuk membantu mereka sendiri! Hikmah dari cerita dalam buku ini, banyak korban yang dapat kembali membangun bisnisnya hanya dengan modal kecil sebesar 1.5 juta rupiah. Selain dari contoh yang telah dibantu dan dipublikasikan ini, masih ada ribuan korban lain yang membutuhkan bantuan dan perhatian. Tragedi dan kemiskinan bukan milik siapapun dan dapat terjadi dimana dan kapan saja, kita berharap para korban tsunami tidak akan terus berada dalam kondisi yang terpuruk. Merupakan suatu harapan masyarakat Aceh, anda dapat tergerak, jika tidak bertindak atau paling tidak dapat mengenangnya. Karena setiap korban masih tetap berjuang hingga saat ini. Karena mereka menunjukkan kepada kita tidak hanya bagaimana bertahan hidup tapi juga apa maknanya anugerah hidup.
21
Fatmawati: Lampoh Daya’s devoted advocate So you don’t believe Superwoman exists? Here’s one, walking, talking, real superwoman. Her name is Fatmawati. Just sitting in her presence, you feel her inner strength; it warms and humbles you. Some people get worn down by hardships, but in Fatmawati’s case, she’s risen above them and never given up.
22
Forum Bangun Aceh
Advokat Lampoh Daya Jadi anda tidak percaya kalo wanita super itu ada? Ada satu lagi wanita super yang benar-benar hidup saat ini, namanya Fatmawati. Hanya dengan duduk didekatnya, Anda akan merasakan kekuatan dalam dirinya; kehangatan dan kesahajaannya. Sebagian orang mudah menyerah dengan kesulitan hidup, tapi dalam kasus Fatma, dia bangkit di atas mereka dan tak pernah menyerah. 23
Lampoh Dayah village, Jaya Baru subdistrict, Banda Aceh, is where her heart is, where she and her three children, Rini, Dena and Ami grew up. She is a kind of champion for her community, working tirelessly to advance the lives of the people in Lampoh Daya. For the past 22 years, she has been an English teacher at SMP Peukan Bada secondary school. Besides being involved in two community groups, she regularly assists people in writing proposals for housing and small businesses to be submitted to NGOs. Fatmawati seeks no popularity, compensation or recognition. “All I want to do is help people the best way I can,” she says, “when you care about the community and your work, there are no days off.” It’s a wonder Fatmawati even found time, to sit down and share her life with us! We are blessed because it’s one of those rare stories whose power is able to inspire the shiftless into action. She at once, empow- Fatmawati (second to left) and three of her employers and challenges us in realizing that as an individual, ees at her rice production you can achieve great things if you choose to. factory Time heals and ever so slowly, something like pain sinks below the surface. New laughs and new joys deposit themselves like scar tissue, but that something like pain still sometimes emerges, piercing through new flesh like a needle. That, is remembering… ‘I was there, in my home, when the earthquake shattered the vase sitting on our dining table and when those pots flew out of the cupboard in a clattering of metal. I was there, in my home, when the black water rushed towards me like a freight train. And when it swung a car into my back and sent me reeling underwater. She was there, too, Dena, my daughter, under the car, under the water. And her voice calling out “Bunda! Bunda!” (Mother! Mother!) now echoes inside the void she left behind, when the 24
Forum Bangun Aceh
Desa Lampoh Daya, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh adalah tempat tinggalnya, dimana dia dan ketiga anaknya, Rini, Dena dan Ami tumbuh. Dia adalah salah satu tokoh masyarakat, yang bekerja tanpa lelah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Lampoh Daya. Selama 22 tahun terakhir, dia mengajar Bahasa Inggris di SMP Peukan Bada; dia juga terlibat dalam dua kelompok masyarakat di desanya dan secara bergiliran membantu orang-orang menulis poposal untuk pembangunan rumah dan usaha kecil yang diserahkan ke NGO. Fatma tidak mencari popularitas, kompensasi, atau pengakuan ”Yang saya inginkan adalah membantu masyarakat sebisa mungkin” katanya, “Jika peduli akan masyarakat dan pekerjaan Anda, tidak akan pernah ada hari libur”. Satu hal yang mengejutkan karena Fatmawati mendapatkan waktu untuk duduk dan bercerita tentang hidupnya dengan kami. Kami sangat bersyukur karena itu cerita yang jarang sekali, dimana kekuatan mampu menginspirasi kelemahan menjadi perbuatan nyata. Satu saat, Dia pernah menantang memberdayakan dan menantang kami untuk menyadari bahwa sebagai individu, kita dapat mencapai hal besar kalau kita memilih untuk mencapainya. Waktu telah mengobati rasa sakit dan berlalu begitu lambat, seperti rasa sakit yang tenggelam di bawah permukaan. Kegembiraan dan kesenangan baru mengendap seperti goresan tipis, tetapi rasa sakit itu terkadang masih muncul, bak jarum mengiris daging, saat mengingat... “Saya ada di sana, di dalam rumah saya, ketika gempa memecahkan pot bunga yang ada di atas meja makan kami dan ketika ketel-ketel teh berhamburan keluar lemari. Saya ada disana, di dalam rumah saya, ketika air hitam yang seperti gerobong kereta api menyapu saya. Dan ketika gelombang itu menghantamkan sebuah mobil ke punggung saya dan menggulung saya didalamnya. Dia juga disana, Dena, anak peremFatmawati (nomor puan saya, dibawah mobil di dalam air. Dan suaranya 2 dari kiri) bersama memanggil ”Bunda! Bunda!” Sekarang suara-suaranya tiga orang pegawainya masih terasa, ketika tsunami merampasnya dari saya.
di pabrik berasnya.
25
tsunami stole her from me.’ Fatmawati lost her two daughters: Dena who was fourteen and Ami who was seven. They had been only three kilometers from the sea. After she was rescued to safety, Fatmawati set out in search of her family to Lambaro, where survivors had begun to gather following the tsunami. It was there that she was reunited with her husband and eldest daughter Rini. They too had been separated. Each had faced their own mortality, alone. “We have been just the three of us, since” But preferring not to dwell in the past, Fatmawati shifts to the present and draws a picture of post-tsunami Lampoh Daya. The community counts some 30 people still living in tents, 100 to 200 people living in barracks— temporary housing with no electricity One of Fatmawati’s or running water— and the many people who have employees collects the final taken refuge in the homes of relatives outside Lampoh product in a bucket before Daya. In terms of livelihood, she estimates that 70% transferring its contents work in small or medium enterprises, 20% work in the into 15 kg sacks for sale service industry and 10% in civil service. With her experience as a teacher and as a marketing manager for a real estate company before the tsunami, Fatmawati plays an important role in KERAP — the Committee for Housing Rehabilitation. She joined KERAP in March of 2005 and has been helping to write and submit proposals to international NGOs and the UN, on behalf of the internally-displaced community members of Lampoh Daya. Fatmawati is also a member of the Banda Aceh City Forum, where she represents the sub district of Jaya Baru on matters of rehabilitation and reconstruction. Until now, she has helped secure 89 houses from the Aceh and Nias Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR) on behalf of villagers. In October 2005, Fatmawati was lauded by the city mayor for her out26
Forum Bangun Aceh
Salah satu karyawan Fatmawati menampung beras dalam timba sebelum dikemas dalam kemasan sak 15 kg
Fatmawati kehilangan dua anaknya: Dena yang ketika itu berumur 14 tahun dan Ami yang masih berusia 7 tahun. Mereka tinggal sejauh 3 km dari tepi pantai. Setelah diselamatkan, Fatmawati mulai mencari keluarganya di daerah Lambaro, dimana para korban yang selamat berkumpul menyusul terjadinya tsunami. Disanalah dia menjumpai suaminya dan Rini. Mereka juga sempat terpisahkan. Masing-masing telah menghadapi mortalitasnya sendiri. “Sejak itu, kami hanya tinggal bertiga”. Namun, tidak mau berlarut dengan masa lalu, Fatmawati mengalihkan cerita ke kenyataan saat ini dan mencoba menggambarkan desa Lampoh Daya pasca Tsunami. Tercatat sekitar 30 orang masih tinggal di tenda, 100 sampai 200an orang masih tinggal di barak – tempat tinggal sementara, tanpa listrik atau air – dan ada banyak orang yang tinggal di luar desa bersama sanak saudaranya. Berbicara tentang livelihood, dia memperkirakan bahwa sekitar 70% masyarakatnya bekerja di UKM, 20 % bekerja di sektor pelayanan, dan 10 % pegawai negeri. Dengan pengalamannya sebagai seorang guru and manajer pemasaran di perusahaan real estate sebelum tsunami, Fatmawati memainkan peran penting dalam KERAP— Panitia Rehabilitasi Rumah. Dia bergabung dengan KERAP sejak Maret 2005 dan telah banyak membantu masyarakat dalam mengusulkan pembangunan rumah ke NGO internasional dan UN, atas nama anggota masyarakat Desa Lampoh Daya. Fatmawati juga anggota Forum Kota Banda Aceh, mewakili Kecamatan Jaya Baru yang berhubungan dengan rehabilitas dan rekonstruksi. Hingga saat ini, dia telah menolong pembangunan 89 rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias atas nama penduduk desa. Pada bulan Oktober 2005, Fatmawati dianugrahi oleh walikota atas pengabdiannya yang luar biasa kepada masyarakat. Dia juga belum lama ini ditunjuk sebagai sekretaris di Neu Sayang Sabee, suatu kelompok kepanitiaan di daerah tempat tinggalnya. Semua pengabdiannya kepada masyarakat atas dasar sukarela. Pendapatan utama keluarganya berasal dari penggilingan padi. Keluarga Suaminya telah 27
standing community work. She was also recently appointed secretary of Neu Sayang Sabee, the committee group in her residential complex. All of her community work is done on a voluntary basis. Her family’s main income comes from selling rice. Her husband’s family set up a small rice business in 1979, in the town of Lam Lhom village, in district of Aceh Besar. They’d buy rice (with the husk) from local farmers, process it and sell the white rice, ready to be cooked. But the tsunami destroyed all machinery. How was her family going to save enough to buy the capital to re-open her business? When, in November 2005, she learned that an organization called the Forum Bangun Aceh was rebuilding the SD 101 primary school in Lampoh Daya, she asked for help in restarting her business, indicating the capital she needed. In December 2005, the FBA purchased the pieces of equipment Fatmawati had requested, worth a little over $900. Now their rice business employs 3 other tsunami survivors and their rice is sold everyday at the market in Setui, Banda Aceh. She encourages people to apply for funding from the FBA and other NGOs to restart their businesses because she knows the important roles that small and medium businesses play in community and economic development, and on the personal level, in healing trauma and learning how to move on after the tragedy. Woman, mother, wife, teacher and friend—allround superwoman: Fatmawati undoubtedly is a pillar for her community. Added to her charisma, are her wide ranging competence and her unflagging dedication to help others. It is no surprise that people are naturally drawn to her, be it for advice, support and strength—all served straight from the heart. 28
Fatmawati’s warehouse in Lam Lhong village, Aceh Besar, stores her equipment and processed rice.
Fatmawati calls this table the “rule of rice”: it defines the yield (of final product) per kilogram of unprocessed raw material, where 1 kg of unprocessed rice makes 0.58 kg white rice
Forum Bangun Aceh
Gudang Fatmawati di desa Lam Lhong, Aceh Besar, menyimpan peralatan kerja dan beras.
Fatmawati menyebut daftar ini sebagai ”aturan beras”: yang menjelaskan beras per kilogram dari padi yang belum digiling, dimana 1 kg padi menghasilkan 0,58 kg beras
memulai usaha ini sejak tahun 1979, di desa Lam Lhom, Kabupaten Aceh Besar. Mereka membeli padi dari petani setempat, menggiling dan kemudian menjualnya sebagai beras putih, siap untuk dimasak. Tetapi semua peralatan dan mesin musnah diterjang tsunami. Bagaimana bisa keluarganya menabung untuk mendapatkan modal memulai lagi usahanya? Ketika dia tahu bahwa Forum Bangun Aceh membangun SD di desa Lampoh Daya, pada bulan November 2005, dia datang minta bantuan FBA untuk memulai kembali usahanya dengan menyebutkan jumlah modal yang dibutuhkan. Pada bulan Desember 2005, FBA menyerahkan bantuan peralatan usaha senilai lebih dari 9 juta rupiah. Sekarang, usahanya mempekerjakan 3 orang karyawan korban tsunami. Beras yang mereka hasilkan sekarang dipasarkan setiap hari di pasar Setui, Banda Aceh. Dia juga membantu masyarakatnya untuk menperoleh bantuan dari FBA dan NGO lainnya untuk memulai usahanya kembali karena dia tahu pentingnya usaha kecil dan menengah dalam masyarakat dan pembangunan ekonomi dengan menyuntikkan dana ke dalam rehabilitasi, dan pada tingkat perorangan, dalam mengobati trauma dan belajar untuk maju setelah tragedi. Wanita, ibu, istri, guru dan kawan—wanita super. Tak diragukan lagi Fatmawati adalah pilar bagi masyarakatnya. Selain karismanya, dia juga memiliki kompetensi dan dedikasi yang tak terkirakan untuk membantu yang lain. Tidak mengherankan jika banyak orang yang memerlukannya, baik untuk mendapatkan nasehat, dukungan dan kekuatan—semuanya dilakukan langsung dengan senang dan sepenuh hati.
29
Zulkifli: Empowerment begins with believing in yourself When you speak to Zulkifli, his eyes seem to smile back at you. He has reason to smile, he says, he no longer has to struggle to survive. One year ago, it was quite a different story. He’d worked so hard to build his bengkel business or iron-fence workshop. What took 12 years to build up from scratch was destroyed in a matter of seconds.
30
Forum Bangun Aceh
Pemberdayaan dimulai dengan keyakinan diri Jika berbicara dengan Zulkifli, Anda akan merasakan senyuman hangat di matanya. Dia tersenyum karena tidak perlu lagi berjuang keras untuk hidup. Satu tahun lalu, ceritanya sangat berbeda. Dia harus bekerja keras untuk membangun usaha bengkel las atau usaha pagar besinya itu. Usaha yang telah dia tekuni selama 12 tahun, hancur dalam sekejap oleh tsunami. 31
It was a uncanny twist of luck that made him survive at all. All his equipment—metal-working machines that he’d accumulated as his business grew over the years—was stored in Punge, in the sub-district of Jaya Baru, Banda Aceh city, close to the coast. On that day, he intended to be there at 8 AM, but his son got a flat tyre and was late in meeting him. It was at around 8:30 AM, as Zulkifli reached Simpang Surabaya, some four kilometers from Punge, that he first saw the water. And the people—victims and survivors. Although he did not yet grasp the enormity of the disaster, he was grateful he was alive. Two of his employees went missing. They had been working in Punge. Before the tsunami, his business had been earning a net profit of $280 a month. All that was gone. Zulkifli couldn’t afford new machinery. His bengkel grinded to a halt. He had to find alternate ways to survive from day to day. Eventually Zulkifli got hired in another bengkel while his other workers found jobs in construction. For the next 10 months, Zulkifli struggled to make ends meet. But at the back of his mind, his dream remained. One day, he told himself, sooner rather than later, he hoped, he knew, he would re-start his business. Somehow. Some opportunities for funding had come his way, but he’d been wary of the complicated pay-back procedures and the high interest rates. What if he couldn’t pay back, and became dependent on the lending institution, or had to borrow from other sources like loan32
Zulkifli (second to left) and his workers at his bengkel
Forum Bangun Aceh
Zulkifli (kedua dari kiri) bersama para pekerja di bengkelnya
Suatu keberuntungan ajaib yang telah menyelamatkannya. Semua peralatan usahanya—mesin-mesin kerja penampah besi yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun, di simpan di Punge, kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, yang dekat pantai. Pada hari itu, dia berniat pergi jam 8 pagi ke tempat kerjanya di Punge, tapi ban motor anaknya kempes sehingga terlambat menemui Zulkifli. Sekitar pukul 8:30 pagi, ketika mereka baru sampai ke Simpang Surabaya, sekitar empat kilometer dari Punge, dia melihat air tsunami dan semua orang—korban dan yang selamat. Meskipun dia belum sadar dahsyatnya tsunami, dia bersyukur karena berhasil selamat. Dua karyawannya hilang dalam kejadian itu. Mereka sedang bekerja di Punge. Sebelum tsunami, usahanya mampu mengeruk keuntungan sekitar 3 juta rupiah per bulan. Semuanya telah hilang. Dia tak dapat membeli satupun mesin baru. Usahanya bengkelnya berhenti total. Dia harus mencari cara lain agar dapat bertahan hidup. Akhirnya Zulkifli bekerja di bengkel lain, sementara karyawannya bekerja sebagai buruh bangunan. Selama 10 bulan ke depan, Zulkifli berjuang untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Tapi dalam benaknya dia masih menyimpan harapan. Suatu hari, ia berkata kepada dirinya sendiri, cepat atau lambat, dia berharap dan dia tahu bahwa dia akan memulai kembali usahanya. Bagaimanapun caranya. Beberapa kesempatan untuk mendanai usahanya datang kepadanya, tapi dia ragu akan sulitnya prosedur pengembalian dan suku bunga yang tinggi. Bagaimana kalau dia tidak sanggup mengembalikan dan menjadi tergantung pada institusi peminjam, atau dia harus meminjam lagi pada lintah darat jika dia tidak dapat mengembalikannya? Kemudian Pada bulan Oktober 2005, dia mendengar tentang Forum Bangun Aceh melalui Afwan, salah seorang motivator lokal FBA. Setelah bertemu dengan staff program livelihood FBA, dia mengajukan proposal. Beberapa minggu kemudian Afwan melakukan kunjungan ke tempat kerja Zukifli untuk menilai dan menentukan jumlah serta jenis bantuan yang diperlukan. Dalam satu bulan, Zulkifli menerima bantuan dari FBA berupa lima mesin baru senilai 10 juta rupiah. 33
sharks if he couldn’t repay his loan? Then in October 2005, he heard about the Forum Bangun Aceh through Afwan one of FBA’s Local Motivators. After meeting with FBA livelihood program staff, he submitted a proposal. Over the next few weeks, Afwan carried out assessment visits to Zulkifli’s workplace to determine the amount and nature of assistance needed. Within one month, Zulkifli had 5 new machines to his name, bought for him by the FBA for approximately $900. At last, his bengkel shop, that had languished in silence for those long months, was filled once again by the familiar sounds of drilling and soldering. His four former employees were happy too: they got their jobs back. Zulkifli’s bengkel was like their alma mater where, as apprentices, years back, they’d first learnt the trade. All around him, Zulkifli saw people struggling to survive and rebuild their livelihoods. Even though it was a stretch at the time, because his business was only just breaking even, he hired two new Acehnese staff, because he wanted to help other tsunami survivors. Today, his bengkel constitutes the sole means of income to his 6 employees and represents livelihood for a total of 15 beneficiaries. Over the last two months, Zulkifli received orders amounting to $2,300 from buyers in the construction sector. With business running smoothly, he can now plan for the future. Putting his savings in a bank, he hopes to get a second revolving fund from the FBA to expand his bengkel. In order to increase his production capacity, Zulkifli is set on purchasing new equipment and more raw materials as well as hire more employees. “Believing in yourself and making quality products has been my key to success,” Zulkifli affirms, “People knew me before the tsunami because they liked my products, thanks to the FBA, people still know where to get work done…and I am making a good living for my family.” 34
The machines bought by the FBA
Zulkifli’s metal-workshop, called Tekun Karya, specializes in making door frame and fences
Forum Bangun Aceh
Mesin yang dibeli oleh FBA
Usaha bengkel Las Zulkifli yang bernama Tekun Karya, khusus mengerjakan tralis dan pagar besi
Akhir-nya, suara-suara yang akrab di telinga Zulkifli dan hilang berbulanbulan kembali mengisi ruang dan relung bengkelnya. Empat mantan karyawannya juga turut gembira, karena mereka memperoleh pekerjaannya kembali. Bengkel Zulkifli sudah seperti almamater mereka, tempat mereka pertama kali belajar bertahun-tahun yang lalu. Di sekitarnya, Zulkifli menyaksikan orang-orang berjuang untuk hidup dan membangun kembali kehidupannya. Walaupun usahanya baru berkembang dan mencapai titik impas, dia memutuskan untuk mempekerjakan dua orang Aceh sebagai karyawan baru, karena dia ingin menolong korban tsunami. Usaha bengkelnya sekarang menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian bagi enam karyawannya yang menghidupi 15 orang. Selama dua bulan terakhir, Zulkifli sedang mengerjakan pemesanan senilai 25 juta rupiah untuk sektor konstruksi. Dengan usahanya yang berjalan mulus, dia sekarang bisa merencanakan masa depannya. Dengan menyimpan sebagian uangnya di bank, dia berharap untuk mendapatkan bantuan yang kedua dari FBA untuk lebih mengembangkan usahanya. Untuk me-ningkatkan kapasitas produksi, Zulkifli berencana untuk membeli barang-barang baru serta bahan baku dan karyawan yang lebih banyak. “Percaya pada diri sendiri dan menghasilkan produk yang berkualitas adalah kunci keberhasilan saya”, tegas Zulkifli. “Orang-orang sudah kenal saya sejak sebelum tsunami karena mereka menyukai produk produk saya. Terimakasih kepada FBA yang membuat orang-orang masih tahu dimana tempat menyelesaikan kebutuhannya… dan saya mampu menghidupi keluarga”.
35
36
Forum Bangun Aceh
Heli: Living life on your own terms Her beautiful large eyes have seen a lot in a year. Many times they’ve blinked into the darkness of what seemed like an endless tunnel. But Heli’s gaze has neither been tarnished nor hardened by the struggle.
Hidup atas jerih payah sendiri
Matanya yang cantik telah melihat banyak hal dalam setahun. Seringkali mereka seolah berkedip ke dalam kegelapan yang rasanya seperti trowongan tanpa akhir. Tetapi pandangan Heli tidak pudar ataupun jera oleh perjuangan. 37
“We saw everyone run, so we ran. That is how we From left to right, Samare alive.” Had Heli, her husband Samsuar and her two suar, youngest son Zikra, sons, Zikra and Ismi, not reached the roof of a nearby Heli and eldest son Ismi inside their store building in time, they would not have stood a chance. As the tsunami flood-waters retreated, they returned to their home to find the contents of the ground floor had been swept away and the walls had been smashed in. With nowhere else to go, they slept on the top floor, although parts of it threatened to collapse. Heli’s retail store which she had opened in 1996, was now a pile of rubble and spoilt goods. The reality of the disaster sunk in... They had no food nor water. Samsuar’s right ankle was badly injured and required urgent medical attention, but this had to wait—where was he to go? And with what money? Then, for the next few months, they scraped through with some extra cash they had, surviving off instant noodles and tinned sardines distributed at a nearby mosque. Living like this, Heli knew, would never provide a secure future for their children and their education. She realized that restarting their business was the only way that to survive in the long-term. In April, Heli’s family in Lhokseumawe, on the eastern coast of Aceh, managed to put together $100 for them. Heli’s store re38
Forum Bangun Aceh
Dari kiri ke kanan Samsuar, anak bungsu Zikra, Heli dan anak tertua Ismi di toko mereka
“Kami melihat semua orang berlarian, jadi kami pun ikut lari. Sehingga kami selamat dan hidup sekarang” Seandainya Heli, suaminya Samsuar dan juga dua anaknya, Zikri dan Ismi, tidak sempat menggapai atap bangunan terdekat pada waktu kejadian tsunami, mereka mungkin tidak memiliki kesempatan lagi. Begitu air surut, mereka pulang ke rumah, yang ditemukannya adalah semua barang-barangnya terlah disapu air dan dinding-dinding rumah telah rusak. Karena tak tahu kemana harus pergi, mereka menginap di lantai dua rumah meskipun bangunannya hampir roboh. Usaha kelontong Heli telah dirintisnya sejak tahun 1996 dan kini yang tersisa hanyalah setumpuk puing dan barang-barang yang berserakan. Kenyataan setelah bencana yang luar biasa tersebut sangatlah menyesakkan, Heli dan keluarganya selama tiga hari tanpa makanan. Mata kaki kiri suaminya Samsuar benar-benar parah dan membutuhkan pertolongan kesehatan secepatnya, akan tetapi lagi-lagi harus menunggu—kemana ia harus pergi dan berapa biayanya? Mereka bertahan hidup dengan makan mie instan yang dibelinya dengan uang yang tersisa dan makan ikan sarden sumbangan dari mesjid. Keadaan ini tidak akan memberikan jaminan masa depan untuk anak-anak dan pendidikan mereka. Heli sadar bahwa memulai usaha adalah satu-satunya cara supaya mereka bisa tetap bertahan hidup untuk jangka panjang. Pada bulan April, keluarganya di daerah pantai timur Aceh mengumpulkan uang sebesar Rp 1 juta untuk keluarga Heli. Heli membuka kembali tokonya dengan menjual BBM dan rokok untuk penduduk setempat. Dengan kondisi pas-pasan demikian, tidaklah mudah menghidupi 4 orang anggota keluaraya. Heli bercerita tentang keyakinanya dan bagaimana dia percaya bahwa Allah telah menuntunnya sehingga dia mendengar adanya program dana bergulir FBA dari salah satu pelanggannya. Mereka memperoleh bantuan sebesar 8 juta yang cukup untuk barang-barang kebutuhannya. FBA membeli barang kebutuhan tersebut di Banda Aceh dan menyarankan supaya menjual barangnya sedikit lebih murah dari harga normal untuk meringankan korban tsunami lainnya. Sekarang 39
opened, selling kerosene and cigarettes to mostly local Heli and Samsuar’s petcustomers. Still this was far from enough to feed the 4 rol service station beside their shop members of her family. Heli speaks of her unfaltering faith and how she believes that God guided her to hear of the FBA’s revolving fund program from one of her customers. They received $800 worth of groceries to sell. The FBA purchased the goods from retailers around Banda Aceh and suggested they sell each product below the usual price in order to help other survivors, and guarantee they’d make some sales in the crucial first months. That was 8 months ago, now they make $300 a day. Although their retail business and bensin or petrol service brings them profits, they do not have enough money to meet daily needs and save for the future. They need more money but can’t take out a loan from a bank because of the high interest, and they haven’t got any aid from other organizations besides FBA. With the winning combination of their business acumen and experience and the strategic location of their shop, Heli and Samsuar’s business has proven to be viable. That was the first hurdle: to survive through the reconstruction period. One year on, life has recovered many of its old patterns and many survivors have returned. The next hurdle is to increase the profit margin. But for the business to really thrive, one needs to take into account market forces. In the case of retailers in the city of Banda Aceh, the market for groceries, toiletries and products for daily use is growing. Heli says that she must expand her store to cater to the demand, as her goods get sold out before there is enough money to buy more. She would like to expand the business to become wholesalers. But her enterprise needs another cash injection because the little savings they put aside are not enough to even provide for unforeseen emergencies. She expects to get assistance from the FBA one last time in order for her business to truly thrive. Meeting Heli, you are first struck by her beauty, then her charming soft-spoken ways. Listening to her, you begin to see that behind her composure and kindness lie firm convictions about her life and her faith. But her belief that God guides one through life does not 40
Forum Bangun Aceh
Tempat jualan minyak Heli dan Samsuar di samping toko mereka
usahanya berkembang sehinnga dapat menghasilkan sekitar 3 juta per bulan. Meskipun usaha kelontong dan penjualan bensin mendatangkan keuntungan, mereka belum mempunyai cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk masa depan. Mereka membutuhkan lebih banyak uang akan tetapi tidak meminjam dari bank karena suku bunga tinggi, dan juga mereka belum memperoleh bantuan dari NGO lain selain FBA. Dengan pengalaman bisisnis dan lokasi toko yang strategis, Usaha Heli dan Samsuar telah terbukti berjalan lancar. Tantangan awalnya: mempertahankan hidup selama masa rekonstruksi berlangsung. Setahun kemudian pastilah sudah banyak usaha yang pulih kembali. Hambatan berikutnya adalah bagaimana meningkatkan laba. Akan tetapi apabila memang ingin maju, satu yang harus dipertimbangkan adalah permintaan pasar. Dalam hal penjual eceran di kota Banda Aceh, pasar grosir, barang kecil dan barang kebutuhan sehari-hari sangat penting. Kata Heli dia harus mengembangkan usahanya untuk memenuhi permintaan, sebagaimana terlihat barangnya sudah habis terjual sebelum sempat membeli yang lain. Dia ingin 41
You can buy anything make her passively complacent. She is an active agent in improving her own life. Her faith gives her the strength from shampoo to petrol to snacks at Heli’s store to keep a sense of self and keep moving forward. Her belief in God, she says, opens her eyes to opportunities that she can take. In Heli’s opinion, there is only one difference between herself and those survivors who are still living in the barracks (temporary shelters) depending on external assistance: the opportunity to get another chance at living on your own terms.
42
Forum Bangun Aceh
Ditoko Heli anda dapat membeli apasaja, dari shampo minyak tanah dan juga makanan kecil
mengembangkan usahanya menjadi penjual grosir. Tetapi usahanya sangat membutuhkan suntikan dana karena simpanan selama ini belum mencukupi dan sering digunakan untuk menanggulangi kebutuhan mendadak. Dia beharap FBA dapat memberikan bantuan kepadanya sekali lagi agar usahanya benar-benar berkembang. Kalau anda bertemu Heli, anda akan terpana degan kecanikannya, kemudian nada bicaranya yang menawan. Kalau anda mendengarnya, pasti kelihatan dibaliknya ada keunikan dan kebaikan yang tetap yakin akan hidup dan nasibya. Tetapi imannya kepada Allah yang menuntunya sepanjang hidup tidak membuat dia putus asa. Dia adalah seorang sosok yang aktif dalam merubah hidupnya. Nasibnya mendorong untuk tetap kuat dan pantang menyerah. Kepercayaannya kepada Allah, katanya, membuka matanya untuk meraih kesempatan yang dapat digapainya. Dalam benak Heli, hanya ada satu perbedaan antara dirinya dengan mereka yang masih tinggal di barak (tempat penampungan sementara) adalah menggunakan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan kembali dengan jerih payah sendiri.
43
Lukmanul Hakim: Socially responsible entrepreneur Down a quiet road in Lam Asan, in the Pukan Bada sub-district of Banda Aceh, Lukmanul Hakim’s wood-working and bengkel (metal-working) shop is like an oasis abuzz with activity. Entering, you are greeted by the smell of freshly cut wood, friendly faces and Lukmanul Hakim’s warm welcome: “Assalamu’alaikum! Welcome to my shop! Please, this way.” 44
Forum Bangun Aceh
Pengusaha yang berjiwa sosial Di jalan sepi dan senyap di Lam Asan, Peukan Bada, usaha perabot dan bengkel Lukmanul Hakim berkembang dengan sangat pesat. Begitu masuk ke tempat usahanya, anda akan mencium bau kayu yang sedang diolah, Lukmanul Hakim menyapa dengan saambutan yang hangat “assalamu’alaikum! Silahkan, masuk” 45
Lukmanul Hakim shows us to his office and pulls up some chairs. His manners are impeccable, disarmingly gracious and almost self-effacing. Yet, it’s hard for anyone not to be impressed. At only 35, he has mastered two trades and built up his own business from nothing—twice. The first time was in 1998. After his vocational high-school, Lukmanul Hakim opened a business from his home. He was naturally savvy at managing his business and soon began to make a small profit. That allowed him to rent a space to set up his shop in Lam Asan village, Banda Aceh, in 2000. Up until December 2004, he had seven people working in his shop. Two have been missing ever since the tsunami. Along with his pregnant wife, he moved into the camp for internally displaced people (IDP) in Lampeuneurut village, Banda Aceh. Lukmanul Hakim has always been highly self-motivated and resourceful. He refused to wait for handouts and depend on others to survive. He was determined to restart his business, even if he knew making a profit would be impossible without a minimum amount of capital. They sold his wife’s dowry jewelry for $650. With it, they bought basic equipment for his bengkel. He still could not support his family, even less its recent addition: his first child born shortly after the tsunami. Lukmanul Hakim remembers how the long months after the tsunami were filled with uncertainty about their future and with dehumanizing powerlessness. They just about survived on the food aid in the IDP camp. Everyday, on his way from the IDP camp in the village of Lampeuneurut to his workplace, Lukmanul Hakim would pass the Forum Bangun Aceh’s headquarters on Jalan Soekarno Hatta. One day he decided to go in and learned about FBA’s livelihood program and how it serves people like him: former enterpreneurs whose businesses have been destroyed by the tsunami. This 46
Lukmanul Hakim at his bengkel
Forum Bangun Aceh
Lukmanul Hakim di bengkelnya
Lukmanul Hakim menunjukkan kepada kami kantornya dan menyodorkan kursi untuk kami. Tingkah lakunya benar-benar mengagumkan, dan sangat menyentuh. Rasanya sukar sekali bagi orang yang menjumpainya untuk tidak terkesan karena keramahtamahannya. Pada usianya yang ke 35, dia telah menguasai dua jenis usaha yang dibangunnya dari nol—sebanyak dua kali. Usaha pertama yang ditekuninya dimulai sejak tahun 1998. Setelah tamat sekolah kejuruan (STM), Lukmanul Hakim mulai membuka usahanya di rumahnya sendiri. Dia sebenarnya sangat berani dalam memulai usahanya dan mulai menghasilkan walaupun sedikit, yang kemudian membuat dia mampu menyewa tempat kecil tahun tahun 2000 lalu di Lam Hasan. Sampai bulan Desember 2004, dia mampu mempekerjakan 7 orang karyawan. Dua diantaranya hilang karena tsunami. Bersama istrinya yang sedang mengandung dia mengungsi ke tempat pengungsian di Lam Peuneurut, Banda Aceh. Lukmanul Hakim selalu penuh termotivasi dan berdedikasi tinggi. Dia tidak mau selalu menunggu dan bergantung pada orang lain untuk hidup. Dia memutuskan menghidupkan usahanya kembali, meskipun dia tahu untuk mendapatkan keuntungan sudah tak mungkin tanpa modal yang memadai. Dia jual maskawin untuk istriya senilai 7 juta rupiah untuk memulai usahanya. Dengan uang itu dia beli beberapa peralatan dasar untuk bengkelnya. Dia masih belum mampu menghidupi keluarganya meskipun keadaan sudah berubah: anaknya yang pertama lahir tak lama setelah tsunami. Lukmanul Hakim masih ingat betapa susahnya hidup setelah tsunami yang dipenuhi dengan ketidakpastian masa depan dan membuat merasa dirinya tidak berdaya. Mereka hanya hidup dari bantuan di kamp pengungsian. Setiap harinya dia sering melewati kantor FBA di jalan Soekarno Hatta ketika berangkat dari tempat tinggalnya di Lam Peuneurut ke tempat kerjanya di Lam Hasan. Suatu hari dia memutuskan untuk singgah dan menanyakan FBA tentang program livelihood yang mungkin bisa membantu orang-orang seperti dia: yang usahanya hancur karena tsunami. 47
was the opportunity he’d been looking for! In July 2005, an FBA Local Motivator purchased 7 new machines for Lukmanul Hakim, totaling $900. Before the tsunami, his net profit had been $200 per month and his production used 10 million square meters of plywood. Today, in February 2006, Lukmanul Hakim’s bengkel’s production and net profit have doubled! He now employs 8 people, all new staff and tsunami survivors. He says he wants to expand his business with a second revolving fund from the FBA as soon as he pays back the first one. His eagerness to make his business grow is motivated not simply by his desire to improve his family’s standard of living—including one day rebuilding his old home in Lam Asan—but also by his commitment to developing Aceh’s local economy. He is continually reminded of the humbling sensation of helplessness he’d once felt, whenever he sees others in situations of powerlessness, such as in the IDP camp at Lampeuneureut. When he had taken refuge there, Lukmanul Hakim had met many former enterpreneurs now reduced to being dependent on outside help. He 48
Lukmanul Hakim’s business earns $400/ month; or double his pretsunami earnings!
Forum Bangun Aceh
Usaha Lukmanul hakim menghasilkan 2 juta rupiah per bulan atau dua kali lipat daripada pendapatannya sebelum tsunami!
Kesempatan yang dia cari selama ini akhirnya datang! Pada bulan Juli 2005, Lokal Motivator FBA membeli 7 mesin baru kepada Lukmanul hakim senilai 9 juta rupiah. Sebelum tsunami, pendapatan bersihnya 2 juta rupiah per bulan dan dia menghabiskan kayu sebanyak 10 juta kubik meter kayu lapis. Sekarang, bulan Februari 2006, produksi bengkel Lukmanul Hakim mendapatkan keuntungan dua kali lipat! Sekarang mempekerjakan 8 karyawan baru dan mereka semua adalah korban tsunami. Dia berkeinginan untuk mengembangkan usahanya dengan memperoleh bantuan dana bergulir kedua secepat mungkin setelah dia mampu mengembalikan bantuan tahap yang pertama. Keinginannya untuk membuat usahanya tumbuh tidak hanya didorong oleh rasa ingin meningkatkan standar hidup keluarganya—termasuk membangun rumahnya kembali di Lam Hasan — tetapi juga dengan komitmen untuk membangun perekonomian masyarakat lokal. Pengalamannya dimana merasa tak berdaya bahkan untuk membantu diri sendiri tidaklah mudah. Terlebih lagi dia melihat orang lain juga merasakan hal yang sama dan bahkan lebih buruk lagi dan tak berdaya di Desa Lam Peuneurut. Disana dia menemukan banyak orang yang dulunya mempunyai usaha dan sekarang tergantung pada bantuan luar. Dia melihat ketidakmampuan ekonomi mengakibatkan ketidakberdayaan mentalitas. Dia juga mendapatkan banyak pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan (un-skilled workers) yang tidak tahu berdagang dan juga bahkan tidak tahu cara memulai usaha. Selama setahun setelah tsunami, orang-orang tersebut masih tinggal di barak pengungsian atau tenda karena penghidupan diluar pengungsian masih belum memungkinkan. Sekarang dia mampu membantu dirinya sendiri, dia kemudian berfikir bahwa tanggung jawabnya juga membantu orang lain. Filosofi dan misinya adalah membantu memulihkan ekonomi dan memaksimalkan kesempatan bagi korban tsunami untuk bekerja. Dia memahami pentingnya untuk mempekerjakan orang Aceh dan membeli produk Aceh walaupun itu membutuhkan waktu yang lebih lama. Meskipun demikian, masalahnya adalah, banyak organisasi dan 49
saw this economic helplessness translate into psychological helplessness. Lukmanul Hakim also met many un-skilled workers, who did not practice any trade and thus could not even open a business. Over one year after the tsunami, many of these people are still living in tents or barracks for the internally-displaced because their livelihood options outside the camps are bleaker yet. Now that he can support himself, he sees it as his responsibility to help others become self-sufficient. His philosophy and mission is to help rebuild Aceh’s economy and maximize the opportunities for tsunami survivors to get work. Affirming his solidarity with fellow survivors and community members, Lukmanul Hakim says “more than our business, we must rebuild other survivors’ lives.” He understands the importance of hiring Acehnese and buying Acehnese products, even if they take longer to manufacture compared to larger factories outside of Aceh. However, the problem is that many organizations and companies currently operating in Aceh get their raw materials from outside of the province because it is often more cost effective (larger manufactures, unaffected by the tsunami, faster rate of production). But he is emphatic that the benefits of hiring and buying local, outweigh the costs. “If we are truly committed to rebuilding Aceh, Lukmanul Hakim explains, “NGOs and international agencies in particular should make it a point to contract and purchase locally. “
50
Forum Bangun Aceh
perusahaan yang sekarang berasal dari Aceh memasok barang-barang bangunan dari luar Aceh dikarenakan transaksi biaya (manufaktur yang besar, yang tak terkena tsunami, dan dapat berproduksi dengan cepat). Tetapi dia benar-benar empati bahwa keuntungan akan menutupi biaya. “Jika kita benar-benar teguh dalam membangun Aceh, LSM dan badan internasional khususnya, harus melakukan kontrak dan pembelian ditingkat lokal.”
51
52
Forum Bangun Aceh
Jamil Skill training brings hope for the otherwise unemployed and success to his business Judging from its appearance, you wouldn’t suspect this rudimentary two-room structure, with a corrugated iron roof, produces goods sold in markets across the whole of Banda Aceh. But Jamil, the owner of Bina Usaha—a mop and mat producing business— says he produces $800 worth of products every month and he can not cater to the city’s demand.
Menilai dari penampilannya, Anda tidak akan menduga bangunan dua kamar yang sederhana dengan atap besi yang kasar ini, memproduksi barang-barang yang dijual di pasar diseluruh Banda Aceh. Akan tetapi Jamil, pemilik Bina Usaha—usaha pembuatan keset dan sapu pel—memproduksi senilai 8 juta rupiah per bulan dan bahkan tidak sanggup memenuhi permintaan pasar.
Pelatihan memberikan harapan bagi pengangguran dan keberhasilan usahanya 53
However, Jamil’s business produces a fraction of what it did, in the years prior to the tsunami. By the end of 2004, his Bina Usaha, which opened in 1982, had grown to be quite a phenomenon. He had over 70 employees and his mops and mats were sought after by clients—mostly retailers—from as far away as Padang in Southern Sumatra. Where the windowless building now stands, there once was a large warehouse, which stored large quantities of raw material and finished products. Nevertheless, Jamil keeps high spirits, because knowing what he, his employees and his manufacture had been capable of, enables him to envision better days ahead. In fact, what Jamil fought to achieve following the tsunami is probably more remarkable than his previous success. His story isn’t unlike that of many survivors. His home and manufacture, in Krueng Raya village, Aceh Besar district, only a few kilometers the sea, were swept away. He lost many members of his extended family—including his mother and his brothers—but his wife and children escaped. They’d heard the warning roar and seen the dark mass of what was water, but looked more like a solid mountain and sounded as deafening as a plane reactor inches from your eardrums. People ran to the highest buildings. Some in time, others not. After the third wave, the survivors moved to the hills where they stayed for the next three days. There was no food or water. But thankfully, the people from neighbouring villages, which weren’t as badly damaged, brought them rice, noodles and water. It wasn’t until 5 days later that the first government aid reached them. Apparently, the roads had been impassable, leaving Krueng Raya completely cut off. Jamil then walked 7 km to the rice mill in Cot Keueung. The rice he lugged back lasted them the next few days. In total, his family—a total of 9 dependents—had a little under $30. The question was how to maximize this money and make it last because relying on outside aid meant great insecurity, and it wasn’t a risk he was willing to take with children to feed. Instead of spending it all on food, which would eventually be consumed, leaving nothing, Jamil invested in a small amount of palm husk to make mats. He also managed to salvage some of his equipment from the rubble. His business, a shadow of its former self, had a second chance at life. But the meager production and even more meager sales weren’t enough to feed nine mouths. The first three months after the tsunami were the bleakest: humiliating destitution and dependency with no end in sight. Yet Jamil’s hope motivated his loved ones to envisage new lives, hopefully, in the not so distant future. Then three months after the tsunami, he received $100 from a personal friend. With it, Jamil bought more raw materials and repaired some equipment. Around that time, Jamil had no more than 10 employees. Then in May 2005, he learned about the FBA and requested for help. A Local Motivator 54
Forum Bangun Aceh
Akan tetapi, jumlah hasil usaha itu hanyalah sebagian kecil dari jumlah yang dihasilkannya sebelum tsunami. Perkembangan Bina Usaha yang dirintisnya sejak tahun 1982 cukup fenomenal hingga tahun 2004 silam. Karyawannya mencapai tujuh puluh orang and sapu pel dan kesetnya dicari peminat – kebanyakan retailer – dari Medan hingga Padang, Sumatra Barat. Bangunan tanpa jendela yang sekarang ini berdiri, dulunya adalah gudang besar tempat penyimpanan bahan baku dan barang jadi. Jamil tetap bersemangat: karena dia sadar akan kemampuannya, karyawan, serta usahanya lah yang mampu membuat Jamil untuk memandang hari depan yang lebih baik. Tetapi apa yang telah dia raih setelah tsunami, jauh lebih luar biasa. Kisahnya tidak sama dengan kebanyakan korban lain yang selamat. Rumah dan usahanya, di desa Krueng Raya, kecamatan Aceh Besar, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari laut, tersapu bersih. Dia kehilangan banyak sanak keluarga – termasuk ibu dan saudara laki-lakinya – tetapi anak dan istrinya selamat. Mereka mendengar suara gemuruh dan menyaksikan air hitam yang sangat besar, seperti gunung padat dan suaranya seperti mesin pesawat yang menusuk gendang telinga. Orang-orang berlarian ke bangunan yang lebih tinggi. Sebagian berhasil, lainnya tidak. Setelah gelombang ketiga, para korban berbondong-bondong pergi ke bukit dan tinggal selama tiga hari. Tidak ada makanan ataupun air. Untungnya, masyarakat desa tetangga yang tidak rusak membawakan mereka makanan dan minuman. Bantuan pemerintah baru bisa menjangkau mereka 5 hari kemudian, karena terputusnya jalan membuat Krueng Raya terisolasi. Jamil kemudian berjalan sejauh 7 km ke desa Cot Keueng untuk mendapatkan beras. Beras yang dibawanya pulang, membuat mereka mampu untuk bertahan selama beberapa hari selajutnya. Seluruh keluarganya yang berjumlah 9 orang hanya memiliki uang sisa sebesar 300 ribu rupiah. Pertanyaannya adalah bagaimana memaksimalkan dan mempertahankan uang itu, karena menggantungkan diri pada bantuan luar berarti ketidakamanan yang cukup besar, sebuah resiko yang tidak mau Jamil inginkan untuk menghidupi anak-anaknya. Daripada membelanjakan semuanya untuk makanan, yang akan habis dimakan, dan tidak akan menyisakan apapun, Jamil membeli sabut kelapa untuk membuat keset. Dia juga berhasil untuk mendapatkan beberapa peralatan dari puing-puing perusahaannya. Usaha sebelumnya adalah bayangan dirinya dan masih memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Tetapi produksi dan lebihlebih penjualan yang tidak memadai, tidak sanggup untuk mencukupi 9 orang tanggungan. Tiga bulan pertama setelah tsunami adalah yang paling me-nyengsarakan dan ketergantungan tanpa akhir. Namun, Harapan yang dibangun Jamil memotivasi orang-orang tercintanya untuk tetap yakin akan kehidupan baru yang lebih baik, tak lama lagi. 55
carried out a needs assessment at Jamil’s enterprise and estimated Jamil needed $1200 worth of machinery and raw materials. With this capital, his Bina Usaha became economically sustainable and Jamil and his family, no longer relied on relief aid. Moreover, he was also able to hire several more employees. Jamil trains his employees in the trade and currently hires some 30 people. The impact of his Bina Usaha is significant to the community of Krueng Raya. It takes an average of three days before employees are able to manufacture quality products. Jamil is everyone’s dream boss—flexible and keen to stimulate personal development in each of his employees. He allows people to work from home if they prefer to. He also encourages them to bring their infants to the work area, which functions as a childcare center and manufacture in one. Everyone is paid per unit. The day of our visit, the workers present were for the most part unmarried Jamil’s Bina Usaha: his young women, who worked in order to support their mops are sold in most markets across Banda parents and relatives. Aceh Now, he employs 5 men and 15 women. Before the tsunami it was 50% men and 50% women. So, why are more women working for him now? Jamil believe that male survivors now tend to work in other fields such as construction, where there is a great demand for manpower. He says that women who would otherwise be housewives appreciate the work because it is flexible and can be based out of the home. The tsunami has also softened Acehnese society’s gendered division of labor, because women who lost their husbands are suddenly compelled to be the primary breadwinner. What are the main challenges to starting a business after the tsunami? Mostly, it is acquiring raw material and finding employees. The processed palm husk used to make mats comes from the Banda Aceh neighbourhoods 56
Forum Bangun Aceh
Tiga bulan setelah tsunami, dia dibantu oleh kawannya sebesar 1 juta rupiah. Dengan uang itu, Jamil membeli lebih banyak bahan baku dan memperbaiki beberapa peralatan kerja. Saat itu, pekerjanya tidak lebih dari 10 orang. Kemudian pada bulan Mei 2005, dia mendengar tentang FBA dan didatangi oleh lokal motivator yang memutuskan untuk memberikan bantuan sebesar 12 juta rupiah berupa mesin dan bahan baku yang dapat memperkuat usaha dan keluarganya, tanpa harus tergantung pada bantuan luar. Dia juga mampu untuk menambah karyawan. Jamil melatih keahlian karyawannya dan sekarang ini telah mempekerjakan 30 orang. Dampak Bina Usahanya sangat berarti bagi masyarakat Krueng Raya. Kira-kira dibutuhkan tiga hari sebelum karyawannya mampu menjual produknya. Jamil adalah atasan impian setiap orang—fleksible dan mau membantu perkembangan pribadi tiap karyawannya. Dia membolehkan karyawannya untuk bekerja di rumah, jika mereka suka dan menganjurkan mereka untuk membawa anak-anak mereka ke ruang kerja, yang berfungsi seBina Usaha milik bagai tempat pabrik dan tempat bermain anak. Setiap Jamil: sapu pelnya dijual orang dibayar per unit yang dihasilkan. Pada saat kami hampir di semua pasar di berkunjung, kebanyakan dari karyawannya adalah Banda Aceh. wanita muda lajang yang bekerja untuk membantu keluarga atau saudaranya. Sekarang dia mempekerjakan 5 laki-laki dan 15 perempuan. Sebelum tsunami yang bekerja 50% perempuan dan 50% laki-laki. Jadi kenapa lebih banyak wanita bekerja untuk dia sekarang? Jamil percaya kalau yang laki-laki cenderung bekerja di bidang yang berbeda—banyak sekali pekerjaan yang berhubungan dengan kontruksi. Para wanita yang suaminya bekerja, menghargai pekerjaan tersebut karena fleksible dan dapat dikerjakan di rumah.Tsunami juga telah merubah peran jender dalam hal pekerjaan, karena wanita yang kehilangan suami secara otomatis akan menjadi sumber pendapatan. Apa yang menjadi kendala utama dalam memulai usaha setelah tsunami? Kebanyakan adalah mencari bahan baku dan karyawan. Bahan baku pembuatan yaitu sabut kelapa berasal dari sekitar Banda Aceh: Krueng Raya, Lam Baru dan sebagainya. Tetapi, benang pu57
of Krueng Raya, Lam Baru, etc. However, the white thread for the mops isn’t produced locally and originates from Medan. Inflation has been hard on his Bina Usaha: the price of a roll of palm husk thread has increased four-fold! Nevertheless, despite the higher costs of production and higher pricetag for his goods, Jamil sells to some 50 shops across Banda Aceh, Lam Baro, Neusu, Keutapang and his mats and mops make their way into stalls in virtually all the pasar or open-air markets. He could sell much more, because of the huge market for it, but the limiting factor is in the production. He can’t afford to expand anymore, because as it is, Jamil already has difficulty transporting his goods to his buyers. He currently uses the labi-labi, or public mini-van, but what he needs is his own vehicle. He would like to get a second revolving fund from the FBA to get a becak, or pedicab. His final message is addressed to aid agencies, international NGOs, governments, and anyone whose aim is to rebuild local businesses. Jamil says: train survivors in a marketable trade, train them in business management then help them start their business by giving them capital. Both the training and the capital investment need to go hand in hand. A lot of economic development assistance stops at the training then doesn’t provide capital, or provides too little funding to start a sustainable business. Jamil remembers how, shortly after the tsunami, a large international NGO gave a (cluster) loan of $300 to be shared among 5 people, himself included. Jamil was appointed the person in charge, responsible for paying the money back. However, none of the others were able to start their businesses. Jamil’s Bina Usaha was the only success, and he paid the loan back in full. Jamil suggests non-local aid groups should approach the village leader, organize a convocation of all the entrepreneurs, ask what they need, in terms of technical and market information, skill training, capital assistance, then provide it. The key to sustainability is follow-up.
58
Forum Bangun Aceh
tih untuk sapu lantai tidak diproduksi secara local dan berasal dari Medan. Tingkat inflasi turut menyulitkan Bina Usaha: harga segulung sabut kelapa menjadi empat kali lipat! Namun, walau biaya produksi yang tinggi dan harga barang jadinya lebih tinggi, Jamil mampu menjualnya ke 50 toko di sekitar Banda Aceh, Lam Baro, Neusu, serta Keutapang. Keset dan sapu pelnya terpajang di toko-toko dan pasar terbuka. Dia bisa menjual lebih banyak lagi, karena permintaan pasar yang cukup besar, namun faktor pembatas adalah produksi. Dia tidak sanggup untuk memperluas lagi, karena saat ini saja dia mengalami kesulitan untuk menyalurkan barang-barang jadinya ke pembelinya. Saat ini, dia menggunakan labi-labi, atau mini-van kecil (sudako/angkot), padahal yang dia butuhkan adalah mobil sendiri. Dia akan berusaha untuk mendapatkan revolving fund kedua dari FBA untuk membeli becak atau pedicab. Pesan terakhirnya adalah agar pemberi bantuan, LSM internasional, pemerintah,dan siapapun yang bertujuan untuk membengun kembali usaha lokal: latihlah para korban untuk usaha yang ada pasarnya dan bagaimana mengelola usahanya serta membantu mereka untuk untuk memulai usahanya dengan bantuan modal. Kedua cara itu harus dilakukan bersamasama. Kebanyakan bantuan pembangunan ekonomi berhenti pada training dan tidak memberikan bantuan modal, atau memberikan bantuan modal yang sangat sedikit untuk memulai usaha. Jamil ingat bagaimana sebuah NGO internasional memberikan pinjaman sebesar tiga juta rupiah untuk dibagi 5 orang sebagai bantuan kelompok tahun 2005 lalu. Jamil ditunjuk sebagai penanggung jawab dan usahanya adalah satu-satunya yang berhasil, sehingga dia mampu untuk membayar balik sepenuhnya pinjaman yang diberikan. Jamil menyarankan kelompok pemberi bantuan non-lokal untuk mendekati kepala desa, mengorganisasi pertemuan para pengusaha, untuk menanyakan apa kebutuhan mereka dalam artian teknis, informasi pasar, pelatihan keahlian, bantuan modal, dan kemudian memberikannya. Kunci keberlangsungan adalah tidak lanjut.
59
Afterword Forgive me if this afterword smacks of self-involvement. It may be the way I most truthfully write. I have struggled to adequately express these stories, chosen words only to throw them out again, disgusted at their sensationalist connotations. I have tried to tread as lightly as possible, so as to not violate, trespass the sovereignty of their words which would, inevitably, become mine. But writing this has given me more than an exercise of my conscience. It’s made me realize a couple of things worth realizing. Firstly, that the human spirit can overcome tragedy and find in it the potential of opportunity. Even a disaster on the scale of the tsunami can not obliterate hope. Secondly, that in today’s world, the experience of displacement and terror defies the boundaries of race and culture, replaying themselves across time and space, broadcast on our TV screens. Like many experiences of war and natural disasters of the past half century, the tsunami was a mass-mediated event. So I wonder what is the relationship between mass-mediated events such as the tsunami and the audiences around the world that view it? Are we all simply spectators? To what extent is it a part of our own life? Or is it all just generalized “external commotion?” I believe not. The fact that it was televised played an undeniable part in how I myself came to Aceh to volunteer with the local NGO Forum Bangun Aceh. Similarly, events like Hiroshima or the Holocaust can move us half way across the world and half a century later. As we become witnesses to suffering, we internalize some of it. Sometimes it is unfamiliar; other times, however, it reminds us that we were like that too. In this age, suffering is post-national, we are beyond the nation-state; our social imaginary is now deeply interconnected. That means we long for Nike shoes and Coca-Cola, but it also means we have become acutely aware of our relative location in our world. Just as East - West, North - South, Developed - Emerging are so intimately bound, individuals are linked through communities of suffering, but also, of agency. More than ever, we are compelled to understand and to use our power as global citizens; to be responsible for our actions. So to the often-asked question: “What can I do?”, there are many answers. I know it’s often hard to extricate ourselves from our ethnocentric cocoons. But there’s a fascinating world beyond, and it needs your help. And the first step out, is asking. The next step is limitless.
60
Forum Bangun Aceh
Penutup Mohon maaf apabila penutup tulisan ini menunjukan keterlibatan pribadi saya. Mungkin itulah cara saya menulis dengan sejujurnya. Saya telah berusaha sekuatnya untuk menuangkan cerita-cerita ini ke dalam kata-kata yang akhirnya saya buang kembali karena konotasi yang terlalu sensasionalis. Saya telah mencoba untuk merancang se-sederhana mungkin, agar tidak merusak, melewati kedaulatan kata-kata yang pada akhirnya akan menjadi milik saya sendiri. Tapi, menulis cerita dalam buku ini bukan hanya sekedar memberikan latihan akan kesadaran diri, lebih jauh telah membuat saya sadar kan beberapa hal yang jauh lebih berharga. Pertama, bahwa semangat manusia bisa mengatasi tragedi dan menemukan kesempatan yang berpotensi tinggi. Bahkan, bencana alam sebesar sebesar tsunami pun tak dapat memudarkan harapan. Kedua, bahwa di dunia sekarang ini, pengalaman tanpa tempat tinggal dan teror menantang batas-batas ras dan budaya, memutar kembali mereka sendiri sepanjang ruang dan waktu, ditayangkan dilayar TV. Seperti halnya kebanyakan pengalaman perang dan bencana alam setengah abad yang lalu, tsunami merupakan kejadian media massa. Sehingga membuat saya bertanya-tanya apa hubungannya antara kejadian yang dimediakan secara massal seperti tsunami dan pemirsa di seluruh dunia yang menontonnya? Apakah kita semua hanya sekedar penonton? Sampai sejauh mana kejadian itu adalah bagian dari hidup kita? Atau ini hanyalah sekedar ”hiruk-pikuk pihak luar?” yang biasa? Saya yakin tidak. Kenyataannya adalah karena kejadian yang telah ditayangkan itu, memainkan peranan yang tak terelakkan pada diri saya sehingga saya datang ke Aceh menjadi sukarelawan di NGO lokal, Forum Bangun Aceh. Sama halnya dengan kejadian Hiroshima atau pembantaian masal jaman Nazi dulu yang mampu menggerakkan kita ke setengah belahan dunia dan setengah abad kemudian. Karena kita menjadi saksi mata penderitaan, kita juga merasakan sebahagiannya. Kadang-kadang tidak seperti biasanya; pada saat lain mengingatkan bahwa kita juga sama. Di zaman ini, penderitan adalah diluar batas nasional, kita berada dibalik batas kenegaraan; gambaran kehidupan sosial kita saat ini adalah saling keterkaitan. Artinya, kita merindukan sepatu Nike dan Coca Cola, tapi itu juga berarti kita telah menjadi sadar akan keberadaan sanak saudara kita di dunia ini. Seperti halnya Timur—Barat, Utara—selatan, Maju—Berkembang semuanya terjalin erat, para individu dihubungkan melalui masyarakat yang menderita, tapi juga oleh badan pemberi bantuan. Lebih dari sekedar pernah, kita dituntut untuk mengerti dan menggunakan kekuatan kita sebagai 61
The Forum Bangun Aceh proposes the People-To-People Approach. Imagine if one person helped one survivor to restart a business? Donations, however small, make a difference, provided they reach the people they are meant for. The FBA stands by the principle of Direct and Efficient Action, whereby a survivor is matched to a donor according to survivor needs and donor requirements, the donation becomes in-kind assistance and a business is rebuilt. No complex business proposals. No long-winded assessments. No bureaucratic red-tape. Why? Because most of FBA staff are Acehnese tsunami survivors and have knowledge of the local context, including: • Each entrepreneur’s background and business acumen (thanks to Local Motivators who live in each community served), • Which villages have been worst hit, • Which of these are not receiving assistance, • Those individuals with the most beneficiaries, • Local and regional markets, • How to foster long-term relationships with communities. If people are directly aware of those survivors who need help, more donors, volunteers and partners would emerge. Become an ally in our struggle! Be a catalyst for change!
62
Forum Bangun Aceh
masyarakat dunia; untuk bertanggung jawab atas tindakan-tindakan kita. Jadi, untuk menjawab pertanyaan yang sering kali ditanyakan: ”Apa yang dapat saya lakukan?” ada banyak jawabannya. Saya tahu betapa sulitnya membebaskan diri kita dari cengkraman etnosentis kita. Akan tetapi ada dunia yang mengesankan dibaliknya, dan membutuhkan pertolongan anda. Yang pertama harus dilakukan adalah bertanya. Langkah selanjutnya adalah tak terbatas. Forum Bangun Aceh menganjurkan pendekatan Orang-ke-Orang. Bayangkan jika satu orang menolong korban lainnya untuk memulai usahanya kembali? Bantuan, walaupun kecil akan membuat perbedaan, sepanjang bantuan tersebut sampai kepada orang yang dimaksudkan. FBA berprinsip pada Tindakan Langsung dan Efisien, dimana seorang korban dipasangkan dengan donor menurut kebutuhan korban dan permintaan donor, bantuan yang diberikan berbentuk barang dan selanjutnya sebuah usaha baru terbangun. Tanpa proposal usaha yang menyulitkan. Tanpa penilaian berbelitbelit. Tanpa kertas kerja yang birokratis. Mengapa? Karena sebagian besar staff FBA adalah orang Aceh korban tsunami dan mempunyai pengetahuan lokal, termasuk: • Setiap latar belakang pengusaha dan kelayakan usaha (terima kasih kepada lokal motivator yang tinggal dimasyarakat yang orangorangnya dibantu) • Desa yang paling parah terkena dampak tsunami. • Desa yang belum menerima bantuan • Individu yang memiliki banyak tanggungan • Pasar lokal dan regional • Bagaimana mempertahankan hubungan jangka panjang dengan masyarakat. Seandainya orang-orang sadar akan para korban yang membutuhkan bantuan, akan lebih banyak lagi donor, relawan dan mitra yang bermunculan. Mari bersatu dalam perjuangan kami! Jadilah katalis untuk perubahan!
63
The writer, Juliette Yu-Ming Lizeray: How I came to Aceh I was at home in Singapore when the tsunami hit. I had just returned to spend my winter break from university with my family, happy to escape the inevitable ice-box that Boston becomes in the wintertime. The more I witnessed nature’s destructive power, the harder it was for me to comprehend the scale of the tragedy. I think that when our mind must deal with figures such as 200,000 dead or missing, we gasp and truly feel sad, but we don’t know what it all means. We aren’t telepathically empathetic, so the full implications of human tragedies tend to escape us, and the lull of routine, swiftly, softly, nudges us back to our circumscribed realities. All I felt I could do was donate some clothes, cash and some of my time packing items to be shipped. Then, my holiday was over. Back at Tufts University, Boston, I completed my Bachelor’s in Anthropology in May ’05, officially bidding farewell to the microcosm of undergraduate life. Frustrating attempts at getting a job (I liked) resulted in a minor existential crisis, and my decision to do something more meaningful than filing office papers. I wanted to put my academic background to practical use in people’s lives and engage in development work. More than just “work experience,” I was seeking much needed perspective, before I’d feel ready to pursue my Master’s in Anthropology and Development at the London School of Economics (LSE), later this year. I hadn’t thought of the tsunami much, far away as I was. Till then, I assumed that there was little I could do, or that I was one year late. But with all the news of poor coordination leaving local people and organizations on the curb, I began to seek an opportunity to volunteer for a grassroots NGO in a tsunami-stricken region. I wanted to understand the native perspective in reconstruction and rehabilitation and help build local capacity. Local NGOs, I figured, are better placed to understand people’s needs and better able to mitigate the power differential between aid-giving and receiving. Moreover, their smaller size makes them less likely to be encumbered by bureaucracy and therefore my work could have a more direct impact. I chose Aceh because it was the worst hit by the tsunami and because Indonesian is relatively easy language to pick up. 64
Forum Bangun Aceh
Penulis, Juliette Yu-Ming Lizeray: Bagaimana saya datang ke Aceh Saya ada di rumah saya di Singapura ketika terjadi tsunami. Saya baru saja kembali untuk menghabiskan liburan musim dingin bersama keluarga, senangnya bisa melarikan diri dari kotak es kota Boston di musim dingin. Semakin saya menyaksikan kekuatan alam, semakin sulit bagi saya untuk memahami besarnya skala ukuran tragedi tersebut. Saya kira ketika pikiran kita harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sekitar 200.000 orang meninggal atau hilang, kita menarik nafas panjang dan benar-benar merasa sedih, tetapi kita tidak tahu apa arti semua itu. Kita tidak merasakan empati secara telepati, sehingga kita cenderung untuk melewatkan tragedi manusia begitu saja, dan kegiatan sehari-hari, dengan cepat, dengan lembut, mendorong balik kita ke realitas hidup kita. Yang saya rasakan bisa lakukan adalah menyumbangkan pakaian, uang dan waktu untuk mengemas barang-barang yang akan dikirim. Kembali ke Tufts University, Boston, Saya menyelesaikan tingkat sarjana di bidang Antropologi pada bulan Mei 2005, secara resmi berpisah dengan kehidupan kampus tingkat sarjana saya. Rasa frustasi untuk mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, menyebabkan krisis keberadaan tingkat kecil dan keputusan saya untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat ketimbang mengisi kertas-kertas kantor. Saya ingin menerapkan ilmu akademis saya menjadi lebih praktis dalam kehidupan manusia dan berhubungan dengan pekerjaan pembangunan. Lebih dari sekedar “pengalaman kerja”, saya ingin mencari perspektif yang lebih diperlukan, sebelum saya merasa siap untuk mengambil S2 dibidang Antropologi dan Pembangunan di London School of Economics (LSE), akhir tahun ini. Saya tidak pernah berfikir terlalu jauh tentang tsunami, seperti sebelumnya. Sampai kemudian, saya beranggapan bahwa sedikit hal yang dapat saya kerjakan, atau saya telah satu tahun terlambat. Tetapi dengan semua berita mengenai kurangya koordinasi yang membuat masyarakat lokal dan organisasi-organisasi kacau balau, saya mulai mencari kesempatan menjadi relawan untuk LSM yang bergerak dari bawah di wilayah yang terkena dampak tsunami. Saya ingin mengerti pandangan masyarakat lokal dalam hal rekonstruksi dan rehabilitasi dan membantu membangun kapasitas lokal. Lokal LSM, saya rasa adalah tempat terbaik untuk memahami kebutuhan masyarakat dan lebih mampu untuk mengkaji letak perbedaan antara pemberi dan penerima bantuan. Selain itu, ukuran yang kecil membuat mereka tidak 65
Now came the challenge of finding a local NGO to volunteer with. The problem is that some do not have websites, while many others do not have the capacity—English-proficiency and resources—to manage a volunteer. After sending a dozen emails with little luck, I found out about the Forum Bangun Aceh (FBA) through my high school in Singapore. A few weeks later, I was on the plane to Aceh. I have been a volunteer at the FBA since the 24th December 2005 and will be until the end of May 2006. I’m learning plenty—from the work I do, the survivors I meet, the FBA’s innovative strategies and its staff’s dynamism, and from being amidst all the rebuilding and rehabilitation efforts. The unprecedented scale of destruction and in-pouring of foreign assistance has been met with sluggish and spotty coordination among aid groups. Money is lost in bureaucratic bottlenecks, corruption and the running costs of the compassion industry. But there are also great opportunities, not least for the peaceful future of Aceh, with the end to the 30 year conflict between GAM separatists and the Indonesian government. The “rebuilding better” of Aceh must include bolstering this still fragile peace. There is much to learn about the links between conflict and tsunami, between long-lasting peace and people’s livelihoods, and the paths towards suitable and sustainable development. The question now is how will I use what I’m learning in Aceh, after I leave? I know that my time here is not an experience to be consumerized; it cannot merely be stored in my memory bank along with other achievements and adventures in the quote unquote developing world. Living in Aceh and working for the FBA has turned my interest in working for social justice from an imprecise conviction to an unequivocal personal imperative. I pledge to come back, better prepared and better equipped to serve Aceh’s development, and to keep close to me the friends I have made here. Juliette can be reached at
[email protected]
66
Forum Bangun Aceh
birokratis birokrasi dan karenanya pekerjaan saya akan lebih berdampak langsung. Saya memilih Aceh karena paling parah terkena dampak tsunami dan juga Bahasa Indonesia adalah bahasa yang relatif mudah dipelajari. Selanjutnya adalah tantangan untuk menemukan LSM lokal yang bersedia untuk menerima relawan. Masalahnya adalah banyak LSM masih belum mempunyai website, sementara yang lain masih kekurangan dalam penguasaan bahasa Inggris dan sumber daya untuk mengurus relawan. Setelah mengirim lusinan email dengan sedikit keberuntungan, saya mendapatkan informasi tentang Forum Bangun Aceh (FBA) melalui sekolah SMA saya di Singapura. Beberapa minggu kemudian saya sudah berada dalam pesawat menuju ke Aceh. Saya menjadi relawan di FBA sejak 24 Desember 2005 lalu dan akan berada di Aceh sampai akhir bulan Mei 2006. Saya belajar banyak dari pekerjaan yang saya lakukan, korban yang saya temui, strategi inovatif FBA dan dinamika staffnya dan juga semua upaya pembangunan dan rehabilitasi. Kerusakan yang luar biasa dan bantuan asing yang berlimpah dipertemukan dengan koordinasi lamban dan hanya jika diperlukan antar kelompom lembaga bantuan. Uang hilang dalam hambatan birokrasi, korupsi dan biaya industri ’rasa hati’. Akan tetapi ada juga kesempatan besar, setidaknya untuk masa depan Aceh yang damai, dengan berakhirnya 30 tahun konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia. ”Membangun Aceh dengan lebih baik” harus diikuti dengan penguatan perdamaian yang masih rentan ini. Ada banyak hal yang bisa dipetik dari hubungan antara konflik dengan tsunami, antara perdamaian jangka panjang dan mata pencaharian masyarakat, dan jalur menuju pembangunan yang berkesinambungan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana saya akan bisa menggunakan apa yang telah saya pelajari di Aceh, setelah saya pergi? Saya sadar bahwa waktu saya disini bukanlah satu pengalaman untuk dikonsumeriskan; bukan hanya sekedar disimpan dalam kepala saya bersamaan dengan pencapaian dan pengalaman dalam “dunia” berkembang yang tersebut maupun tak tersebutkan. Tinggal di Aceh dan bekerja di FBA telah merubah minat saya untuk bekerja dibidang keadilan sosial dari satu keyakinan yang tak pasti menjadi kebutuhan pribadi yang pasti. Saya berjanji untuk kembali, dengan persiapan dan peralatan yang lebih baik untuk membantu pembangunan masyarakat Aceh, dan juga untuk menjaga hubungan persahabatan yang telah terbina di sini. Anda dapat menghubungi Juliette ke
[email protected]
67
68
Forum Bangun Aceh