newsletter FBA, Satu Tahun Mengenang Tragedi Tsunami Tak terasa kita telah setahun lebih melewati tragedi tsunami, bayang-bayang tsunami sungguh pahit dan menyisakan luka mendalam. Serangkaian acara peringatan telah dilaksanakan untuk mengenang dan menunjukkan perasaan pedih, meskipun ada juga diantara kita yang tidak merasakan langsung tragedi tersebut. Kita tentunya sadar bahwa tragedy tsunami tak akan pernah hilang dari benak kita, apa lagi bagi mereka yang merasakan langsung dahsyatnya tragedy ini, sebuah tragedy yang menyisakan keputusasaan dan kesengsaraan. Tapi Kita tidak ingin larut terus-menerus dalam duka ini. Banyak cara untuk tetap bertahan dan berjuang agar bisa tetap hidup dan bertahan seperti sedia kala, seperti membangun kembali usaha yang hancur akibat bencana dll. Bantuan dana yang besar sekarang mengalir ke Aceh. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi terus berjalan seiring dengan waktu yang terus mengejar para pelaksananya. Seberapa cepat kita merespon keadaan yang tak terduga
Edisi V, Mei 2006
FBA, on one year of tsunami anniversary Time passed by, tsunami tragedy has already more than a year left behind, the tsunami memories that bitter out feeling and remain pain. A series of memorial ceremony were conducted to represent our deep concern and express the feeling to the disaster even we are never ever underwent the worst tragedy. We all are certainly aware that tsunami is the unforgettable, moreover for those who were directly affected by tsunami and remain misery and hopelessness. We also never wish that we remain sadness for uncertainty of time. There are a lot of ways to survive and fight for lives to return to normal lives as it was used to be, e.g. by rebuilding of livelihood that has already swept by the water and mud during the disaster, etc. A huge amount of aid has been being delivered to Aceh. The process of rehabilitation and reconstruction keeps going in the same way as the time that haunts the reconstruction actors. How quick do we respond the unpredictable condition that remains incompletion? Some meetings are established and held for coordination and information sharing that is basically is a bowl of ideas and experience as well as constrains of NGOs a n d agencies, however, there are very few of them hold meeting to overcome the problems raised during the year. The celebration of one year after tsunami
Founder and Chair Person: Azwar Hasan; Board: T.Mufizar Machmud, Mirza Mubaraq, Iqbal Rahman. Staff: Musafir, Fakhrurrazi, Veri Budiansyah, Yusri Abdul Fatah, Asnawi Nurdin, M.Rafiq Joessoef, Zakiah, Afwan AB, Asri Ali, Bustami, Syaruddin; IT Consultant: Aceh MasterWeb. Volunteers: Wan Eka Putra, Potro Joyo Soeprapto, Sharon Huges, Jarlath Molloy, Therese Condite, Juliette Yu-Ming Lizeray Alamat: Jl. Soekarno Hatta No. 41, Geuce Menara, Banda Aceh, Indonesia, Phone/Fax: +62(651)45204 Account Bank: Bank Mandiri, Name: Forum Bangun Aceh, No.: 105-0004687988 (Rupiah), 105-0004717215 (Dollar) SWIFT Code: BEIIIDJA No. V, MEI 2006 Website: http://www.forumbangunaceh.org, Email:
[email protected]
artikel
ini dan yang tak kujung selesai? Banyak rapat digelar untuk alasan koordinsi dan sharing informasi yang pada dasarnya hanyalah proses pengumpulan ide dan pengalaman juga menjadi hambatan NGO selama ini, meskipun begitu ada beberapa rapat yang memang diadakan untuk mengatasi masalah yang muncul sepanjang tahun. Peringatan satu tahun setelah tsunami yang diadakan pada tanggal 24-26 Desember 2005 lalu tersebut merupakan satu refleksi rehabilitasi dan rekonsruksi di Aceh untuk semua sektor. Acaranya bertempat di desa Ulee Lhue, Banda Aceh yang dipadati oleh banyak pengunjung. Tidak banyak hal yang bisa disaksikan pada acara tersebut hanya pameran yang di gelar di hari terakhir yaitu tanggal 26 yang sempat dihadiri oleh Presiden Indonesia. Beberapa NGO hadir pada acara tersebut untuk menunjukan hasil pekerjaan mereka dan mewakili ratusan NGO lainnya yang sedang beroperasi di Aceh. Kegiatan ini dilaksanakan dibawah koordinasi BRR (Forum Bangun Aceh). BRR adalah satu-satunya NGO yang mendapat tempat pada acara tersebut, oleh karenanya ini merupakan suatu kehormatan bagi organisasi kecil seperti FBA untuk menujukkaan dalam pameran tersebut tentang apa yang telah dilakukannya selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi. BRR lah yang mensponsori FBA untuk ikut dalam acara ini. Kami percaya bahwa pencapaian ini bukanlah hanya dipilih berdasarkan sisitem acak dari organisasi lainnya yang bekerja di sektor yang sama—livelihood. FBA berhasil mendatangkan 28 usaha kecilnya yang telah dibantu dan dibina selama ini. Para pemilik usaha diundang ke lokasi pameran untuk mewakili mereka yang telah dibantu berdasarkan pencapaian dalam membangun atau mengembangkan usaha mereka kembali. Sebagai contoh, usaha kerajinan rotan berhasil memamerkan keberhasilannya dalam meningkatnya jumlah permintaan dan pendapatan. Semua usaha yang telah dibantu FBA dimonitor oleh tim program usaha kecil menengah (UKM) untuk mempelajari dan mengevaluasi perkembangan usaha dalam segala ienis: pelayanan, produksi dan perdagangan. Kesuksesan ini diperoleh oleh FBA berkat hasil kerja keras para staff dan juga relawan yang tetap membantu program-program FBA selama ini (Asnawi Nurdin) __________ Usaha rotan yang dibantu oleh FBA Ratan Craft honated by FBA
FORUM I BANGUN I ACEH
held on 24-26 December 2005 was a reflection of rehabilitation and reconstruction in Aceh in all sectors. The cite, Ulee Lhue in Meuraxa, Banda Aceh, was crowded by many people, and there were not a lot of things to see at that moment but the crowd itself. And on which peak of the cerimoney was visited by Indonesian President. . Some NGOs were available in the ceremony to display what they covers in Aceh and represent other hundreds NGOs and agency operating and concern to rehabilitation and reconstruction in Aceh. This memorial even was held under coordination and organization of the Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR). Forum Bangun Aceh (FBA) was the only local NGO involved in the event. Consequently, it is an honor for the small organization to display what it has already done during reconstruction and rehabilitation, with full sponsorship of BRR. We believe that this achievement was not merely chose randomly among the others who are working for the same sector—livelihood. FBA exhibit 28 small medium businesses that have been assisted and guided by FBA. The business proponents invited to the exhibition cite are representatives of those who assisted and chosen on the basis of their achievement in restarting or developing the businesses. For instant, rattan craft who participated in the event for reason of achievement in developing business as seen from the total amount of order and income. Assisted businesses are monitored by FBA’s micro economic team to evaluate the development for any business such as service, production, and trade. This success is impossible without heard work of all FBA staff and committed volunteers
Program
Program Pendidikan FBA sengaja didirikan untuk merespon terjadinya bencana tsunami di Aceh. Pada awalnya, oleh para pendirinya, FBA hanya bertujuan membantu keluarga dan kerabat sendiri. Tapi kemudian FBA lebih mengarah pada tujuan memajukan masyarakat Aceh secara keseluruhan untuk jangka panjang. Salah perspektif apabila ada yang berpendapat bahwa NGO yang lahir setelah tsunami hanya bertujuan(sesaat) yaitu membantu korban tsunami saja. Salah satu program FBA adalah program pendidikan. Kita percaya bahwa Program pendidikan adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Tapi pertanyaannya adalah: Siapakah yang bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan di Aceh, setelah terjadinya konflik yang berkepanjangan dan bencana tsunami yang dahsyat? Tentunya masyarakat Aceh sendirilah yang harus berbuat banyak, bukan hanya sekedar menjadi penonton. Dalam beberapa bulan terakhir ini FBA telah berkonsetrasi bekerja di 3 kabupaten yaitu: Banda Aceh, Aceh Besar dan Pidie. Khusus di wilayah kecamatan Kembang Tanjong, FBA memfokuskan diri membantu penyediaan peralatan dan buku penunjang kegiatan belajar mengajar (sudah menjangkau 12 sekolah/TPA yang disalurkan dalam beberapa tahap). Di wilayah Banda Aceh, khususnya wilayah Kecamatan Jaya Baro, FBA telah membangun satu SD dan sarana air bersih untuk sekolah dan masyarakat sekitar di desa Lampoh Daya. FBA juga telah memberikan beasiswa untuk anak yatim dan korban tsunami, dan juga mengirimkan 5 siswa ke Australia. Di wilayah Aceh besar kami membantu beberapa sekolah dengan memberikan peralatan sekolah yang mereka butuhkan. Kedepan FBA diharapkan bisa menjadi media informasi beasiswa dan pertukaran pelajar/mahasiswa yang akan dimulai secara bertahap. Pelatihan yang menekankan pada peningkatan kapasitas diri juga merupakan target program jangka panjang. FBA akan tetap memandu masyarakat secepat mungkin dan semampu mungkin untuk masa depan pendidikan masyarakat Aceh (Asnawi Nurdin)
Education Program FBA was indeed established to response tsunami disaster in Aceh. At the beginning of the steps, the initiators merely sought after their families and relatives. It not impossible that our organization is fully hunts and able to turn to long term development of Aceh, consequently it is totally incorrect that the perception of NGOs established after tsunami corresponds and operate for temporary period. FBA includes education program as one of the programs integrated because basically we believed that education is one of the process to recover education to the better level of quality. Then, the question: Who will be responsible to establish better education atmosphere in Aceh? After long conflict and damaged by the disasters remaining long misery. The Acehnese themselves indeed responsible and act more that the outsiders for the people, not merely being watcher but without meaningful work. FBA in these months has been focusing in three districts: Banda Aceh, Aceh Besar and Pidie. In Kembang Tanjong, Pidie, FBA is focusing on school equipment and text books that support teaching learning process in 12 schools, delivered partially. In Banda Aceh, in particularly in Jaya Baro Sub district, we have already built an elementary school and clean water installation for the school and the community around the school. Scholarship is also provided for the elementary school students, orphans as well sending five students to Australia. In Ache Besar FBA also support some schools. For the future, FBA is becoming a center of information pertaining to scholarship and exchange program that will be started step by step. Capacity building training will be FBA long term commitment program. The organization is also committed to guide the people as soon as possible and to better education future of Aceh (Asnawi Nurdin) No. V, MEI 2006
Programs
Program Micro Finance Selama program FBA dibidang Usaha Kecil Menengah (UKM) berjalan, telah tejadi banyak perkembangan yang luar biasa dalam program pemberdayaan perekonomian masyarakat. FBA telah bekerja di 15 kecamatan yang tersebar di 4 kabupaten yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Sebanyak 190 orang yang meliputi 60 jenis usaha telah mendapat saluran dana dan pembinaan dari FBA dengan jumlah benificieries 1000 orang yang sebagian besar adalah perempuan (55%). Setelah melalui beberapa diskusi internal yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan mendasar misalnya pertimbangan perkembangan usaha dan sustainabilitas program, FBA mampu menjalankan program micro credit dengan baik. Setelah masa Grace Period, 60% usaha yang telah dibantu mulai mengembalikan ke kas FBA yang kemudian akan digunakan kembali untuk membantu usaha lainnya yang belum tersentuh sama sekali oleh FBA. Dengan dana relatif lebih sedikit, FBA berupaya bisa bertahan untuk membantu masyarakat membangun usaha mereka sebisa mungkin. Dana bergulir akan sangat efektif apabila diikuti oleh pembinaan yang berkesinambungan. Kami bekerja berdasarkan proposal yang langsung diterima dari masyarakat dengan persetujuan kepala desa dimana calon penerima tersebut berasal. Kami sama sekali tidak mengklaim satu desa atau kecamatan sebagai satu wilayah konsentrasi program FBA. FBA akan selalu menampung dan memperhatikan siapa saja yang ingin membangun usahanya kembali pasca tsunami dan dana bantuan pun akan dialirkan berdasarkan jumlah permohonan yang termaktup dalam empat wilayah kabupaten tersebut diatas. Untuk kedepan kami sedang membuka jalur baru yaitu wilayah kabupaten Aceh Jaya yang tersebar dibeberapa kecamatan. Program ini akan disebarkan ke wilayah lain dengan mempertimbangkan permintaan donatur baru kami yaitu Calana Agencia Decorporacio, Spanyol. Juga akan dibantu oleh lokal motivator (orang yang dibantu dan dibina oleh FBA), dengan bantuan lokal motovator, tim ini akan lebih mudah melaksanakan program dari awal hingga selesai. FORUM I BANGUN I ACEH
Micro Economic Program During FBA project in small medium interprises, there are significant and meaningful developments in the project. FBA, particulary in developing people economy is focusing in 15 subdistricts in three districts i.e. Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, and Aceh Jaya, with total number of 190 bussinesses cover 60 types of activities with more than 1000 derect benificieries. 55% of the bussiness proponents are women . After long internal discussion with grassroot based consideration for instance, people bussiness development and program sustainability in Aceh, FBA keep working on micro credit project which is running well up to the present time. After grace period phase, 60 % of them have begun to returned credit under revolving program . It will be used to assist other potential people, to restart their new business. With relatively small budget, FBA tries to manage the people and keep rebuilding their business as soon as possible. Revolving fund is very effective if it is followed by training and guidance as facilitation to long last program. We are working on the basis of incoming proposal to the committee received directly from the people, under approval of the village leader from which the proponent is from. We are not to claim that a certain village or sub district will be tackled by FBA as concentration. At the moment we work within the four districts and strongly consider whoever wants to restart their business post tsunami. FBA works on the basis of incoming proposal received by FBA’s micro economic team. Now we are doing new project, FBA opens new path to Aceh Jaya, particularly Calang and sub districts and villages covered. As a pilot project in Aceh Jaya, FBA is sponsored by donor Catalana Agencia Decorporacio, Spain. Micro economic program is spread to the other areas is under policy and support of donor and FBA scope of work. With assistance of local motivator, whom are also assisted by FBA in the revolving program, the micro economic team will work very easily.
Azwar Hasan dan “ The Habitat Scroll of Honor” Peringatan Hari Habitat Dunia Tahun 2005, oleh Wakil Presiden RI M. Yusuf Kalla World Habitat Day Anniversary 2005, by Indonesia Vice President M.Yusuf Kala
Azwar Hasan adalah pendiri dan ketua Forum Bangun Aceh (FBA) yang berkomitment membantu masyarakat Aceh pasca tsunami. Program-program inovasi yang dicetuskannya terbukti sangat efektif dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Bersama beliau FBA terus tumbuh menjadi organisasi lokal yang terus berkembang membantu masyarakat korban. Pengalaman dibidang pemerintahan dan kemasyarakatan memberikanya landasan yang kuat dalam membina organisasi FBA. Keberhasilan tersebut telah diakui oleh organisasi PBB, Habitat for Humanity pada bulan Oktober 2005 lalu. Pendiri sekaligus pemimpin FBA ini menjadi salah satu penerima “ The Habitat Scroll of Honor” untuk pengabdiannya kepada masyarakat tahun 2005. Penghargaan ini diberikan dalam rangka memperingati hari habitat sedunia. Tokoh lain yang mendapat penghargaan adalah Prof. Johan Silas, atas jasanya dibidang pembangunan perumahan dan pemukiman. Habitat Indonesia juga memberi penghargaan kepada institusi yang menunjukkan komitmen tinggi dan tindakan nyata untuk pencapaian target Millenium Development Goals ( MDGs), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Sejahtera (Gunung Kidul, Yogyakarta), dan Pemerintah Kota Tarakan ( Kalimantan Timur)
Azwar Hasan and “ The Habitat Scroll of Honor” Azwar Hasan is the founder and chairman of Forum Bangun Aceh (FBA) is committed to help the help Acehnese people post tsunami. Innovative program planned gives significant proof in rehabilitation and reconstruction phase. Under guidance of Azwar, FBA then grows to be a local NGO that keeps developing to help the people of Aceh. His experience about government and habitat is a strong starting point in administering the organization. The success has been approved by UN organization, Habitat for Humanity in October 2005. The chairman and also chairman of FBA becomes one of the awards receivers of “The Habitat for Scroll of Honor”. The honor is awarded in commemoration of the world habitat day. The persons who received the honor are Azwar Hasan from Forum Bangun Aceh for his dedication to the community in 2005 and Prof. Johan Silas, for his dedication in building housing and community sectors. Habitat Indonesia also awarded to institutions which is highly committed and real activity in attaining the target of Millennium Development Goals (MGDs), Badan Kewasdayaan Masyarakat (BKM) Sejahtera ( Gunung Kidul, Yogyakarta), and Government of Kota Tarakan ( East Kalimantan) No. V, MEI 2006
Disaat kondisi masyarakat korban tsunami dipenuhi kesedihan dan perasaan keputusasaan, masih ada sesorang wanita yang menjadi sumber inspirasi bagi warga sekitarnya. Fatmawati, wanita bersahaja yang tak kenal lelah apalagi menyerah.
Fatmawati:
Wanita Kuat dari Lampoh Daya Strong Women from Lampoh Daya Oleh: Juliette Lizeray Tinggal bersama ketiga anaknya Rini, Dena dan Ami, Fatmawati menjalani rutinitas keseharianya dengan mengajar bahasa inggris di SMP peukan Bada semenjak 22 tahun yang lalu dan mengurus usaha penggilingan padi miliknya. Disamping itu, wanita yang sudah dianggap masyarakatnya sebagai tetua ini dengan ikhlas membantu masyarakat korban tsunami memperbaiki kehidupan dan masa depannya. Secara bergantian Fatmawati membantu kelompok masyarakat membuat proposal baik proposal pembangunan rumah maupun proposal usaha yang kemudian diajukan kepada NGO-NGO yang banyak berdiri di Aceh semenjak tsunami melanda. Dia tidak hanya membantu proses penulisannya, iapun juga mengarahkan bagaimana membuat proposal yang baik dan benar, meskipun pada dasarnya wanita berdarah tanah rencong asli inipun masih dalam proses belajar juga. Dia melakukan semua ini bukan untuk mencari popularitas, kompensasi apalagi pegakuan. Yang saya inginkan adalah membantu masyarakat sebisa mungkin” katanya. “Ketika anda peduli masyarakat, anda tidak penah merasakan libur” Jarang sekali wanita ini dijumpai dalam kondisi santai karena itu kami sangat beruntung bisa mengobrol dan mendengar cerita langsung dari ibu bersahaja ini bagaimana dia menjadi saksi keganasan tsunami dan bagaimana kehilangan keluarga menjadi cerita pilu yang susah dihilangkan dari pikiran. Proses penyembuhan dari trauma terasa bergerak sangat lambat, seperti luka mendalam. Ketika teringat: “Saya masih disana, dalam rumah saya, ketika gempa mengoncang pot yang ada diatas meja makan kami dan ketika pot jatuh berantakan. Saya masih disana, dirumah saya, ketika air hitam menyapu saya seperti gerobong kereta api. Dan ketika gelombang menghantam satu mobil ke punggung saya dan menguyah saya dalamnya. Dia juga disana , Dena, anak perempuan saya, dibawah mobil dalam air. Dan suaranya FORUM I BANGUN I ACEH
Some people get worn down by hardships, but in Fatmawati’s case she’s risen above them. She’s experience of surviving the tsunami has strengthened her conviution to live rebuild her community.. Lampoh Daya is where her heart is, where she and her children grew up. She is a kind of champion for her community, working tirelessly to advance the lives of the people in Lampoh Daya. For the past 22 years, she has been an English teacher at SMP Pehkambada secondary school; she is involved in two community groups and she regularly assists people in writing proposals for housing and small businesses to be submitted to NGOs. Fatma seeks no popularity, compensation or recognition. “All I want to do is help people the best way I can,” she says, “when you care about the community and your work, there are no days off.” It’s a wonder Fatma even found time to sit down and share her life with us! We are blessed because it’s one of those rare stories whose power is able to inspire the shiftless into action. She at once, empowers and challenges us in realizing that as an individual, you can achieve great things if you choose to. ‘I was there, in my home, when the earthquake shattered the vase sitting on our dining table and when those pots flew out of the cupboard in a clattering of metal. I was there, in my home, when the black water rushed towards me like a freight train. And when it swung a car into my back and sent me reeling underwater. She was there, too, Dena, my daughter, under the car, under the water. And her voice calling out “Bunda! Bunda!” (Mother! Mother!) now echoes inside the void she left behind, when the tsunami stole her from me.’ After she was rescued to safety, Fatma set out in search of her family to Lam Baru, where survivors had begun to gather following the tsunami. It was there that she was re-united with her husband and eldest daughter Rini. They too had been separated. Each had faced their own mortality, alone. “We have been just the three of us, since” But, preferring not to dwell in the past, Fatma shifts to the present and draws a picture of post-tsunami Lampoh Daya. The community counts some 30 people still living in tents, 100 to 200 people living in barracks— temporary housing with no electricity or running water— and the many people who have taken refuge in the homes of relatives outside Lampoh Daya. With her experience as a teacher and as a marketing manager for a real estate company before the tsunami, Fatma plays an important role in KERAP — the Committee for Housing Rehabilitation. She joined KERAP in March of 2005 and has been helping to write and submit proposals to international NGOs and the UN, on behalf of the internally-displaced community members of Lampoh Daya. Fatmawati is also a member of the Banda Aceh City Forum, where she represents the sub district of Jaya Baru on matters of rehabilitation and reconstruction. Until
memanggil” Bunda! Bunda!” Sekarang suara-suaranya masih terasa, ketika tsunamii merampasnya dari saya. Setelah diselamatkan, Fatma mulai mencari keluarganya di daerah Lambaro, dimana para korban berkumpul. Disanalah dia menjumpai suaminya dan Rini anaknya. Mereka juga sempat terpisah. Setiap dari mereka menghadapi mentalitas yang berbeda “Kami hanya tinggal bertiga ketika itu” katanya. Akan tetapi karena tidak mau berlarut dengan masa lalu, Fatma membangun kembali masyarakatnya pasca tsunami. Di daerah desa Lampoh daya, tercatat sekitar 30 orang masih tinggal di tenda, dan 200an orang masih tinggal di barak. Dan masih banyak orang yang tinggal diluar desa bersama keluarnya. Dengan pengalamannya sebagai seorang guru dan manager marketing di perusahaan real estate sebelum tsunami, dia sekarang berperan penting dalam kepanitiaan pembangunan rumah di desanya dan telah banyak membatu masyarakat dalam pembuatan proposal pembangunan kembali rumah ke NGO internasional dan UN. Dia juga membantu masyarakatnya untuk memperolah bantuan dari FBA dan NGO lainnya untuk memulai usahanya kembali. karena dia tahu betapa usaha kecil dan menengah ini yang akan mampu mengembalikan kondisi masyarakat Aceh pasca tsunami. Sekarang pendapatan utama keluarganya dari penggilingan padi. Suaminya telah memulai usaha ini sejak tahun 1979, di daerah Lhok Nga. Mereka membeli padi dari petani setempat, setelah menggilingnya ia menjual dalam bentuk beras. karena peralatan dan mesin semuanya musnah diterjang tsunami ia berfikir bagaimana cara mendapat modal untuk memulai lagi usahanya?. Ketika ia tahu bahwa Forum Bangun Aceh (FBA) membangun SD di desa Lampoh Daya, dia memberanikan diri datang minta bantuan FBA untuk memulai kembali usahanya. Pada bulan December 2005, Fatma menerima bantuan peralatan pabrik senilai 10 juta rupiah dari FBA. Sekarang dia mempunyai karyawan sebanyak 3 orang. Beras yang mereka hasilkan sekarang dipasarkan di pasar Setui, Banda Aceh. Seorang wanita, ibu, istri, guru sekaligus kawan. Tak diragukan lagi bahwa Fatmawati adalah penopang dalam masyarakatnya. Selain kharismanya dia juga memiliki kompeten dan dedikasi yang tak terkirakan untuk membatu orang lain. Makanya tidak heran banyak orang yang memerlukannya, untuk nasehat, support dan tanaga—semuanya dilakukan dengan senang hati, luar biasa!!
now, she has helped secure 89 houses from the Aceh and Nias Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR) on behalf of villagers. All of her community work is done on a voluntary basis. Her family’s main income comes from selling rice. Her husband’s family set up a small rice business in 1979, in the town of Lam Long, Lhok Nga. They’d buy rice (with the husk) from local farmers, process it and sell the white rice, ready to be cooked. But the tsunami destroyed all machinery. How was her family going to save enough to buy the capital to re-open her business? When she learnt that an organization called the Forum Bangun Aceh was rebuilding the SD 101 primary school in Lampoh Daya, she asked for help in restarting her business. In December 2005, Fatma received $960 from the FBA which went into purchasing a new set of equipment. Now their rice business employs 3 other tsunami survivors and their rice is sold everyday at the Setui market in Banda Aceh. She encourages people to apply for funding from the FBA and other NGOs to restart their businesses because she knows the important roles that small and medium businesses play in community and economic development, and on the personal level, in healing trauma and learning how to move on after the tragedy. Woman, mother, wife, teacher and friend — all-round superwoman: Fatma undoubtedly is a pillar for her community. Added to her charisma, are her wide ranging competence and her unflagging dedication to help others. It is no surprise that people are naturally drawn to her, be it for advice, support and strength—all served straight from the heart. (Juliette)
No. V, MEI 2006
Programs
FBA bersama Dublin Port Company membangun SD 101 berlokasi di Kec. Jaya Baru, Banda Aceh. Lengkap dengan fasilitasnya dan telah di resmikan oleh Bapak Walikota Banda Aceh. SD 101 sekarang telah dapat melangsungkan kegiatan belajar mengajar kembali dan bahkan lebih bagus dari sebelumnya.
SD 101, Sekolah Perintis Pasca Tsunami Setelah musibah tsunami, banyak bantuan berdatangan dari berbagai kalangan dan sumber untuk membantu masyarakat yang terkena dampaknya. Sejauh pengamatan saya banyak organisasi atau lembaga yang memfokuskan pada sektor-sektor pembangunan dan livelihood. Sementara sektor pendidikan Kurang mendapat banyak perhatian baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Merupakan satu kepuasan batin yang tak terkirakan bagi FBA apabila bisa menjadi NGO yang memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar, meskipun uang yang kami peroleh kebanyakan berasal dari perorangan atau lembaga. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kami miliki kami berupaya membangun fasilitas pendidikan baik fisik maupun nonfisik. kerena itu merupakan salah satu cita-cita kami dalam mendirikan FBA. Proposal-proposal yang di ajukan FBA kepada beberapa NGO kadang menjadi bumerang bagi FBA sendiri karena waktu dan tenaga yang telah dikerahkan hasilnya percuma bahkan mengalami kerugian. Dan beberapa kali FBA mendapat tawaran kerjasama dari beberapa NGO besar, akan tatapi FBA menolaknya dengan alasan NGO-NGO ini bergerak lambat dalam aksinya, sebagi contoh banyak dijumpai bantuan yang terlambat atau tidak tepat sasaran, serta programprogram yang ditawarkan tersebut bukan bagian dari tujuan FBA, bahkan menjadi titipan ataupun keinginan donor. FBA sangat gembira dan bersungguh-sungguh bisa bekerjasama dengan lembaga atau organisasi yang mau membantu masyarakat Aceh dengan cepat terutama FORUM I BANGUN I ACEH
bantuan di sektor pendidikan. Sebagi contoh FBA telah membangun kerjasama dengan Diakonie dan Dublin Port Company, dengan hasil output yang memuaskan. Dalam waktu yang tidak begitu lama, FBA telah berhasil membangun satu sekolah SD di desa Lampoh Daya, kecamatan Jaya Baro, Banda Aceh. Sekolah yang bisa dikatakan lengkap ini dibangun pada bulan Juni 2006 selesai pada bulan November 2006 dan telah telah diresmikan oleh Joe Berk dari Dublin Port Company, Mawardi Nurdin, walikota Banda Aceh dan Azwar Hasan selaku pimpinan FBA. Sekolah ini adalah satu-satunya sekolah SD yang ada di wilayah kecamatan Jaya Baro dan sekitarnya secara permanent, sebuah Pengalaman yang sama dialami oleh masyarakat Irlandia ratusan tahun yang lalu, yaitu musibah tsunami, inilah yang membuat mereka merasa senasib dengan masyarakat Aceh. Mereka berkomitmen membantu masyarakat Aceh mulai dari sektor pendidikan hingga pembangunan pelabuhan. Sekarang SD ini telah aktif kembali seperti sedia kala hanya saja kurangnya murid dan guru. Hal ini terjadi kerena murid yang ada sekarang adalah mereka yang selamat dari bencana tsunami. Mereka berasal dari masyarakat sekitar sekolah di desa Lampoh Daya. Akan tetapi akan ada penambahan jumlah siswa dan para guru menyusul tahun ajaran baru mendatang. Tentunya ada kepuasan tersendiri bagi guru, murid dan orang tua siswa karena mereka tidak harus berkejar-kejaran dengan waktu untuk mengantar dan menjemput anakanak mereka ke dan di sekolah yang letaknya jauh dari rumah atau ditenda tenda darurat.
Programs
SD 101, The Pioneer School After Tsunami
sector, partnership established between FBA and Diakonie and Dublin Port Company makes significant output. For instance, in relatively short time, we have established one elementary school in Lampoh Daya, Jaya Baro, and Banda Aceh. The allegedly well After tsunami destroyed, there are lot of sources from agencies, equipped books has been built in June and ended in November countries, and NGOs poured to Aceh to support the survivors. 2005. Joe Berk, former City Mayor Mr Mawardi Nurdin dan In my point of view, most NGOs or agencies are focusing on Azwar Hasah, The Chairperson of Forum Bangun Aceh has reconstruction and livelihood sectors. Few of them tends to cover inaugurated the school formally. This school in the first school education—physical and non physical sectors. built in Jaya Baro permanently. The same experience undergone To FBA, as a local NGO, able to provide good assistance to by the people in Ireland hundred years ago, encourage them feel the people is an indescribable self-achievement. We indeed get the sympathy to Acehnese. Dublin Port Company is committed to assistance from other people or agencies, and with strength and build education in Aceh and also other sectors e.g. port. weaknesses we have to struggle to rebuild education—physical Now the elementary school are back to work as it use to be and non physical sectors—which is one of our main missions in even there are very few students and teachers. This happened establishing FBA. Proposals are submitted to big NGOs gives because the current students are survivors who live around the disadvantaged feedback to FBA. We also are less interested to school in lampoh Daya. There will more students in the incoming work with big international NGOs if we should work very slow new academic year. Of course, the parents, the teachers and the and make benificieries keep waiting. Or the project offered is not people are happy to see this since they don’t need to be hurry every included in our main programs. day to take and pick their children up to their school located far FBA are truly committed to work with organization or agency from house. that moves quickly to respond the people. For example, in education _________________________________________________________________________ Pelajaran dari konferensi ICVA, Jenewa, 1 February 2006 Patuhlah pada prinsip; dengarkan para korban Lessons from ICVA Conference, Geneva, 1 February 2006: Abiding by our principles; listening to the survivors (By T. Mufizar Machmud, FBA Board Member) Sebagai dewan penasehat FBA, suatu kehormatan bagi saya bisa mewakili Forum Bangun Aceh (FBA) pada sebuah konfrensi internasional yang di adakan oleh ICVA (International Council for Voluntary Agencies) yang bertema Prinsip-prinsip dan politik NGO dalam aksi kemanusiaan, yang diadakan di Jenewa, 1 february 2006. Para pembicara berpengalaman dan para peserta yang datang dari level pusat sampai level daerah termasuk mereka yang datang datang dari Washington DC, New York, Jenewa, Eropa, Afrika, Asia dan bahkan dari Amerika Latin. Apa yang saya peroleh dari konfrensi tersebut sangat berguna untuk menambah pengalaman saya tentang apa yang sebenarnya dibicarakan orang ketika membicarakan hal yang menyangkut agenda kemanusiaan ditingkat Internasioanal. Proyek pemberian bantuan pasca tsunami telah memicu timbulnya banyak isu dan masalah tentang berapa banyak jumlah dana yang dimanipulasikan, diindustrialisasikan, dan bahkan di swastakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkena dampak.
As Board Member of FBA, it was an honour to represent Forum Bangun Aceh (FBA) in an international conference organised by ICVA (International Council for Voluntary Agencies) which themed the event on NGOs Principles and Politics of Humanitarian Action, held in Geneva, February 1, 2006. Experienced speakers and attendees came from headquarters down to field level including those from Washington DC, New York, Geneva, Europe, Africa, Asia and even Latin America. I found the conference very useful to add my experience of finding out what do people actually discussed when it came to setting up an international agenda on humanitarian issues. The giving of aid in the post tsunami context has raised many issues and problems among others about how much aid has been manipulated, industrialised and even privatised to fulfil the needs of the affected population. Is this happening because of massive contributions made by the international community which must be spent quickly and wisely? Meanwhile, the tsunami relief has also given birth to many new organisations that want to assist the affected population. NGOs among others like FBA and Mecry No. V, MEI 2006
10
Artikel
Apakah ini terjadi karena terjadinya kontribusi secara massal oleh masyarakat dunia yang harus digunakan dengan cepat dan bijak?. Sementara bantuan tsunami telah melahirkan banyak NGO yang ingin membantu masyarakat yang terkena imbas. NGO seperti FBA dan Mercy Malaysia diminta untuk berbagi pengalaman dan menemukan apa yang dilakukan dilapangan menyangkut perbedaan NGO juga keunikan terutama pendekatan intervensi mereka. Banyak organisasi yang bangga memamerakan output dan outcome sebagai pencapaian utama mereka, tapi jarang sekali mengulas aspek yang paling penting dari proyek mereka, yaitu “dampak” Atau “outtake”. Saya katakan bahwa FBA dengan sepenuh hati menjalankan proyeknya untuk membuat perubahan dalam kehidupan masyarakatnya dan memastikan bahwa penerima bantuan mampu membantu diri meraka sendiri untuk kembali hidup secara bersama-sama. Penekanan pada penyelesaian yang berdasarkan metodologi pendekatan partisipasi, sehingga ”orang yang kami bantu adalah driver-seat” dengan tidak mendekati nilai-nilai partisipasi musyawarah jika cara-cara yang ada masih dicampuri oleh pihak lain. Hal yang mengejutkan saya, ketika konferensi ini lebih banyak dihabiskan untuk diskusi dan debat mengenai kebijakan – kebijakan bukan kearah diskusi praktis atau apa yang kita pelajari dari pengalaman lapangan. Saya kira ini hanyalah pemahaman saya saja bahwa pengalaman dan tantangan di lapangan sudah sering terdengar dan dibicarakan di berbagai konferensi dunia akan tetapi perubahan yang telah kita buat dan hal-hal telah kita pelajari dilapangan tidak banyak berpengaruh pada tingkat pusat atau level yang lebih tinggi. hal itu lupa untuk dibicarakan. Sementara hal-hal mengenai bagaimana “mendefinisikan dan memperbaiki kebijakan-kebijakan ”menjadi perdebatan yang tiada akhir. Dalam konteks ini, menjadi paradok saat kami menginginkan bekerja lebih efektif di lapangan sementara kita juga dituntut untuk bekerja akuntabel disaat kondisi darurat. Jadi yang disebut banyak belajar, mendengar, dan mengutamakan masyarakat rasanya selalu menjadi retorika belaka dan musyawarah biasa hanya ada ditingkat lapangan sementara isu-isu ‘lebih penting’ didiskusikan pada tingkat birokrasi yang lebih tinggi seperti politisasi bantuan, fund rising, pendanaan dan akuntabilitas permintaan donor, perubahan kebijakan, pendekatan atas dasar hak pada proyek pengembangan, dsb. Menyelamatkan nyawa dalam kondisi darurat
FORUM I BANGUN I ACEH
Malaysia were asked to share their experiences and findings within this forum on how they do things in the field of relief considering the diversity of NGOs as well as their uniqueness in terms of approach within their intervention. Many organisations have great pride in ‘showing off ’ the outputs and outcomes as their main achievements but they rarely look at the most important aspect of evaluating their projects, it’s the impact! Or ‘outtakes’ to put in other form of term. I expressed that FBA was whole hearted in its project to make a difference in peoples’ lives and ensuring that our beneficiaries help themselves patch their lives back together. The stressing of bottomup participation based approach methodology that ‘the people we are helping are in the driver’s seat’ doesn’t come near the values of participation discourse if ‘the road map is still stirred by others’. It was shocking to me just how much this conference was dominated to discussions on policy debates and not actually setting the tone for practical discussion on what we can learn from field experience. I supposed it was only my understanding that experiences and challenges in the field were often heard and talked about in many other themes of international conference, but making a change from what we have learned in the field doesn’t take much effect at the higher or headquarter levels. It somehow becomes forgotten so to speak. Redefining and amending policies of ‘how to do it better’ is always an endless debate. In this context, it becomes a paradox between when we want to get the job more effectively in the field against how do we ensure that we can be accountable to our donors/funders when the stakes and demands are great in times of emergency. So much of learning from the people, listening to the people, putting people first (empowering people) always seemed to me as ‘rhetoric’ discourse and that discourse should stay in the field whereas ‘more important’ issues are discussed at the higher levels of the bureaucracy such as politicization of aid, fund raising, budgetary and accountability to donor’s demands, policy reforms, rights-based approach to project development, etc. Saving lives in emergencies isn’t ‘rocket science’ but its takes great commitment and consent from colleagues at the top level to follow through to support others who are in direct contact in the bottom level. Indeed, I admit that I was a bit naive to begin with. I shared FBA’s success story about revolving fund program, it was the real ‘kick’ for the conference. Ibu Syarifah, the single survivor of a family with three children, with her ‘fishing weigh’ income generating project that has not only helped her to economically recover from the tsunami but also to help some 20 other widows and women to have a sustainable and profitable incomes. With only USD300, FBA has assisted her to ‘revive’ something that had existed before the tsunami and she incredibly obtained profitable income margins up to gross USD30/day enabling her to expand the small scale business to create employment opportunities for others. This doesn’t seem hard to do as long as one can identify
Artikel bukanlah menjadi ‘rocket science’ tapi komitment dan kepedulian besar dari rekan-rekan di tingkat atas, agar tetap membantu yang lainnya yang bekerja ditingkat bawah. sedikit naif untuk memulainya, memang. Saya berbagi cerita sukses FBA dalam menangani program dana bergulir, itu merupakan sindiran bagi konference. Ibu Syarifah, tsunami survivor, satu-satunya orang yang masih hidup dari satu keluarga dengan tiga anak, dengan usaha timah pancingnya, dia tidak hanya mampu menghidupi sendiri tapi juga menolong 20 janda lainnya untuk mengasilkan pendapatan yang lumayan. Dengan hanya 3 juta rupiah saja FBA telah membantunya bangkit kembali dengan apa yang telah diusahakannya sebelum tsunami. Ibu syarifah dapat menghasilkan 300 ribu per hari,sehingga ia mampu membuat usaha kecilnya meluas dan menampung lebih banyak tenaga kerja. Hal yang seperti ini rasanya tidak sulit dikerjakan selama dapat diindetifikasi sumbersumber mata pencaharian untuk masyarakat. Siapa yang mengidentifikasikan sumber mata pencaharian? Tentunya masyarakat itu sendiri. Bagi FBA, penilaian adalah penilaian masyarakat. FBA dibentuk dari korban, oleh korban dan untuk para korban, mereka adalah yang utama, tidak peduli darimana asal sumber dana, karena kami tahu bagaimana membelanjakan uang dengan pengetahuan yang kami punyai sebagai masyarakat lokal. Tentunya kami tidak pernah menjadi penonton di daerah kami sendiri. Masa depan Aceh adalah tanggung jawab kami dan bukannya orang luar ( terutama orang asing). Aktor –aktor international datang membatu dan kami terima dengan tangan terbuka tapi dengan pertimbangan bahwa kami adalah faktor penentu bagaimana melakukannya. Itulah alasannya kenapa pemitraan dibangun dan diperkuat dengan kepercayaan penuh antara kedua belah pihak untuk management yang transparan dan akuntabel dalam mengimplementasikan proyek bantuan. Di lapangan, kemitraan dalam berimbang ini, kami menemukan ada kekuatan perjuangan dan ketidakseimbangan antara orang luar ( kebanyakan internatioal) dan partner lokal. Sesuatu yang sering dianggap unggul yang nantinya menjadi lemah. Bahkan kemitraan yang secara retorika berdasarkan keseimbangan, pada kenyataannya mereka yang mempunyai sumber danapun tidak menentukan bukan hanya tujuan proyek tapi bahkan menjurus kepada keinginan donor yang menghambat ruang gerak partner lokal untuk bermanuver dan membuat keputusan secara praktis.
the sources of feasible livelihood for the survivors. Who identifies the sources of livelihood? It’s the survivors themselves of course.* For FBA, the judgments are the people’s judgments. FBA was formed from the survivors, for the survivors and by the survivors. They come first no matter where the funding sources come from because we decide how to make of the use of the funds because we are the local people that possess the local knowledge. We should never be spectators in our own home. The future of Aceh is our responsibility and not the outsiders (mainly foreigners). International actors are here to help and we welcome that with open arms but with a strong prerequisite and that we are the determinant factors in deciding how and the way we do it. It is that why partnership is established and strengthened with full trust between the two sides for accountable and transparent manageability in implementing the aid projects. In the field, partnership in this development world, we found there are power struggles and imbalances between the outside (often international) and the local partners. One is often viewed superior which makes the latter inferior. . Even though partnerships are rhetorically based on equal grounds, in reality those that have the funding source end up determining not only the goals of the project but even down to the activities based on the donor’s interest leaving little room for the local partner to manoeuvres and make judgments in the practical levels. This is where often many projects fail or have little life for sustainability. This is why the notions of partnership amongst the aid actors need to be redefined and the hegemony of international aids organizations need to be warned. London, 12 February 2005 The writer is a current board member of FBA under going his postgraduate degree at the School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. He can be reached at
[email protected] or
[email protected] for future correspondences. * see more success stories from the ground at FBA website: www. forumbangunaceh.org Lessons from ICVA Conference, Geneva, 1 February 2006: Abiding by our principles; listening to the survivors (By T. Mufizar Machmud, FBA Board Member)
No. V, MEI 2006
11
12
Volunteer corner
Sharing experience: FBA Volunteers Therese Condit Ironis sekali, kembali ke kampung halaman(USA) setelah menjadi relawan di Banda Aceh untuk membantu masyarakat korban tsunami kemudian menghadapi situasi yang sama di bagian selatan Amerika yaitu pasca badai Katrina. Tapi saya tidak berharap apakah hal-hal yang saya pelajari di Aceh bisa juga diterapkan juga di negara saya. Forum Bangun Aceh mengajarkan kepada saya mengenai program dengan pola pendekatan people to people, memang sesuatu yang besar selalu dimulai dari yang kecil, dan FBA telah membuktikan keyakinan akan hal itu. Mereka sekarang tumbuh menjadi organisasi yang kuat, efektif dan dihormati karena benar-benar membuat suatu perubahan dalam kehidupan masyarakat korban tsunami (menjadi lebih baik). Saya masih teringat masyarakat Aceh setiap hari, dan saya juga selalu teringat harapan dan kemauan mereka yang bekerja di Forum Bangun Aceh. FBA memberi saya inspirasi agar tetap bisa membatu mereka meskipun saya berada di negara saya dengan melalui jalur pendidikan dan membangkitkan kesadaran (orang lain) tentang situasi yang sebenarnya di Aceh. Dengan berbagi pengalaman kecil yang saya pelajari mengenai proyek bantuan ketika manjadi relawan di Aceh. Saya mendapatkan banyak donor di Amerika Serikat yang mau membantu program-program yang dijalankan oleh FBA. Karena mereka tahu, betapa mulia kegiatan seperti ini . Saya juga tahu bahwa FBA akan terus-menerus memberi inspirasi kepada masyarakat Aceh, relawan FBA dan mereka yang telah dibantu oleh FBA.
FBA Staff FORUM I BANGUN I ACEH
Therese Condit
It was ironic for me to arrive home after volunteering in Banda Aceh for Tsunami victims to find an all too similar situation in the southern part of the United States after hurricane Katrina. But I did not expect to find that so many of the lessons I had learned in Aceh could also be applied in my own country as well. Forum Bangun Aceh taught me so much about people to people connection. Sure, Large things always begin small, and FBA has proven how true this is. They have grown into a strong, effective and highly respected organization that is truly making a difference in the lives of tsunami victims. I still think of the people of Aceh every day, and I always remember the hope and zeal that I saw in every person working with Forum Bangun Aceh. Forum Bangun Aceh has inspired me to continue their work in my own country, by education people and building awareness about the situation in Aceh as well as by sharing the invaluable lessons I learned about relief work while volunteering for FBA in Aceh. I have found many donors here in the United States who have given time and money to promote the work that FBA is doing, because they recognize just how invaluable these efforts are. I know that FBA will continue to inspire the victims they serve, the volunteers they gather, and all those whose lives have been blessed with their dedication and spirit.