http://news.detik.com/read/2013/09/30/154108/2373384/10/sejarah-gerwis-dan-munculnya-gerwani?nd772204btr
Senin, 30/09/2013 15:41 WIB
Gerwani dan Tragedi 1965 Sejarah Gerwis dan Munculnya Gerwani Idham Khalid - detikNews Para bekas tahanan politik Gerwani yang menjadi korban pembersihan peristiwa G30S/PKI berkumpul dan bernostalgia pada Minggu, 14/10/2012. (Fotografer Pool)
Jakarta - Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) merupakan cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi perempuan yang sangat disegani. Gerwis didirikan pada 4 Juni 1950 oleh enam organisasi perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Tokoh-tokoh yang mendirikan Gerwis antara lain adalah S.K. Trimurti, bekas Menteri Perburuhan dan pimpinan Barisan Buruh Wanita yang tergabung dalam Partai Buruh Indonesia, Salawati Daud, wali kota Makassar yang berhadapan dengan Kapten Westerling, Umi Sardjono, Tris Metty, dan Sri Panggihan, anggota PKI ternama sebelum Peristiwa Madiun 1948. “Pejuang-pejuang Gerwis rata-rata terlibat dalam gerilya kemerdekaan, apakah menjadi anggota Lasykar Wanita (Laswi), mendirikan dapur umum, atau menjadi kurir. Ketua Gerwis pertama adalah Tris Metty, tapi segera digantikan oleh S.K.Trimurti,” kata sejawaran I Gusti Agung Ayu Ratih kepada detikcom awal pekan lalu melalui surat elektronik. Ayu Ratih, yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia, menjelaskan karena para pimpinan Gerwis semuanya aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan sendirinya politik Gerwis sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka.
1
Sejak berdirinya, Gerwis antara lain aktif mendorong perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dianggap tidak adil terhadap perempuan. Untuk itu Gerwis secara aktif memberi kursus-kursus penyadaran tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan. Kendati demikian, tak ada satu cerita tentang perubahan Gerwis menjadi Gerwani. Satu versi menyebutkan Gerwis dianggap terlalu elitis dan hanya berurusan dengan perempuan-perempuan yang sudah 'sedar', sudah memahami politik, sementara sebagian besar perempuan miskin di Indonesia yang baru merdeka masih buta politik dan pendidikannya rendah. Gerwani berusaha untuk menjangkau lebih banyak perempuan yang belum 'sedar' ini. Sedangkan versi lain melihat para pimpinan Gerwis, kecuali Trimurti, sangat dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bawah pimpinan Trimurti, Gerwis kurang bisa dikendalikan oleh partai dan terlalu independen. Ada pula yang mengatakan Gerwis didesak untuk segera menjadi partai massa,
2
bukan partai kader yang kecil, pada 1954 karena PKI ingin memanfaatkan organisasi ini untuk menggalang suara bagi PKI pada Pemilu 1955. “Ideologi Gerwani, seperti juga organisasi-organisasi yang lahir dari rahim perang kemerdekaan, nasionalisme kerakyatan,” ujar Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) ini. Ayu Ratih melanjutkan, bidang-bidang kegiatan Gerwani tak jauh berbeda dengan Gerwis seperti pendidikan, politik nasional, dan politik perempuan. “Setiap organisasi di masa itu biasanya terlibat dalam kegiatan kesenian karena dorongan pemerintah Sukarno untuk melakukannya di tingkat rakyat,” ujar Ayu Ratih. Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan, pada Juli 1950, sekitar 500 pejuang yang tergabung dalam organisasi istri sedar dan enam organisasi perempuan lainnya membentuk Gerwis. Pada kongres Gerwis yang pertama pada tahun berikutnya atau setahun kemudian di Semarang, diputuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). “Tapi baru pada 1954 nama itu (Gerwani) baru dipakai secara resmi,” ujar Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F Nadia dan kawan-kawan tersebut. Dengan semangat revolusioner pada masa itu, Gerwani aktif memperjuangkan hak-hak perempuan di wilayah politik di antaranya mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.
Ikuti berbagai peristiwa hangat yang terjadi hari ini di "Reportase Sore" pukul 16.30 WIB, hanya di Trans TV (brn/brn)
3
http://news.detik.com/read/2013/09/30/155141/2373398/10/gerwani-menentang-poligami-tapi-diam-saat-sukarno-nikah-lagi?9911012
Senin, 30/09/2013 15:51 WIB Gerwani dan Tragedi 1965 Gerwani, Menentang Poligami tapi Diam Saat Sukarno Nikah Lagi idh,erd - detikNews Para bekas tahanan politik Gerwani yang menjadi korban pembersihan peristiwa G30S/PKI berkumpul dan bernostalgia pada Minggu, 14/10/2012. (Fotografer Pool)
Jakarta - Isu kesetaraan gender dan poligami merupakan permasalahan yang diperjuangkan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Muhadjir Darwin dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 3, Maret 2004 (283-294) menyebutkan isu poligami muncul ketika Sukarno yang merupakan simbol bapak bangsa dan telah beristri Fatmawati menikahi Hartini. Perbuatan Sukarno ketika itu mendapat penentangan dari organisasi perempuan yaitu Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Dalam Jurnal berjudul Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa itu, menurut Muhadjir . Gerwani yang merupakan sebuah organisasi massa dan berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menunjukkan pembelaannya terhadap perempuan dalam masalah poligami atau dalam memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan karena kedekatan politik Gerwani/PKI dengan Sukarno. “Mungkin Presiden RI pertama tersebut dianggap sebagai sekutu strategis bagi perjuangan komunis di Indonesia ketika itu untuk menghadapi politisi Islam yang anti- komunis. Perlu juga dicatat bahwa Sukarno pada awalnya sangat mendukung kaum perempuan,” kata Muhadjir dalam tulisannya. Dari Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan hubungan Gerwani retak dengan anggota federasi organisasi-organisasi perempuan di tingkat nasional, yaitu Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan juga dengan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di 4
tingkat daerah lain yang berlatar belakang politik undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.
untuk
mereformasi
“Hubungan Gerwani dengan organisasi-organisasi perempuan lain, terutama di tingkat pusat, tampaknya memiliki masalah sejak Gerwani memutuskan untuk tidak mengecam pernikahan Sukarno dengan Hartini pada tahun 1954 walaupun sebelumnya Gerwani mengambil posisi yang tegas menentang poligami,” sebut Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F. Nadia dan kawan-kawan tersebut Sementara itu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih mengatakan keengganan Gerwani untuk mengkritik Sukarno antara lain karena tekanan dari pihak organisas-organisasi kiri lainnya, terutama PKI, untuk tidak memperlemah pemerintahan Sukarno. Pilihan organisasi-organisasi kiri pada saat itu adalah sepenuhnya mendukung Sukarno dalam membangun Front Nasional untuk menghadapi kekuatan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat). “Pilihan Gerwani membuat organisasi-organisasi perempuan lainnya, terutama Persatuan Wanita RI (Perwari), kecewa dan jengkel terhadap aktivis-aktivis Gerwani karena mereka sebenarnya berharap kekuatan massa Gerwani akan dapat menekan Sukarno untuk tidak melanjutkan praktik poligaminya,” ujar Ayu Ratih yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di University of British Columbia kepada detikcom, awal pekan lalu, melalui surat elektronik. Sri Sulistyawati, seorang aktivis Gerwani mengatakan saat itu Gerwani juga mengkritik rencana Bung Karno nikah lagi. Namun, menurut dia keputusan Bung Karno menikahi Hartini adalah masalah pribadi. “Itu tanggung jawab pribadi,” kata Sri kepada detikcom, Sabtu (14/9) di Kramat VII, Jakarta Pusat. Apalagi, dia menegaskaan, saat itu Bung Karno berjuang keras untuk mengajak kaum perempuan terlibat aktif dalam perjuangan melawan neo-kolonialisme dan imperialisme.
5