GERWANI, SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN YANG HILANG Mustaqim Judul
: Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI Penulis : Saskia E. Wieringa Penerjemah : Harsutejo Penerbit : Galang Press Tahun terbit : 2010 Tebal : 542 halaman
……. kami telah berseru dari balik dinding pingitan dari dendam pemaduan dari perdagangan di lorong malam dari kesumat kawin paksa ”kami manusia!” (Sugiarti, Lekra 1962) Mendengar kata Gerwani, maka akan terbayang kebrutalan dan kekejaman kaum wanita, hal itu yang setidaknya penulis alami waktu masih remaja. Sebagaimana induk organisasinya PKI, Gerwani yang merupakan onderbrow PKI inipun mempunyai asosiasi yang sama. Pada masa Orde baru, PKI dan seluruh organisasi yang bernaung di dalamnya di tahbiskan sebagai organisasi yang biadab. Propaganda anti PKI ditanamkan dalam segala aspek, dan memiliki implikasi politis. Setiap orang yang memiliki garis keturunan PKI, maka akan dikucilkan dan mendapat stigma yang luar biasa buruk. Tidak hanya berhenti di situ, PKI kemudian dianggap sebagai organisasi yang terlarang di Indonesia.
GERWANI, SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN YANG HILANG (Mustaqim)
Salah satu propaganda yang cukup efektif adalah pemutaran film G30S/PKI yang diputar setiap malam tanggal 30 September. Dalam salah satu adegan tersebut, ditampakkan kebrutalan dan kekejaman yang di lakukan oleh PKI dengan menculik, menyiksa, membunuh dan mengubur hiduphidup para jendral ABRI. Dan adegan itu dilengkapi dengan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum wanita yang tergabung dalam Gerakan wanita Indonesia atau Gerwani. Buku ini, adalah salah satu buku yang akan berbicara banyak tentang Gerwani. Dengan analisis kritis sejarah, bahkan terkadang menggunakan teori konspirasi, buku karangan Saskia E. Wieringa ini memunculkan beberapa fakta ”tersembunyi” sekitar Gerwani. Kenyataan bahwa kekuasaan seringkali menggenggam sejarah, dengan menampilkan sejarah versi penguasa akan terlihat jelas dalam telisikan terhadap sejarah ’yang disembunyikan” oleh penguasa. PKI dan Gerwani selama ini di tampakkan menjadi sejarah kelam, dengan menguak sisi negatifnya. Padahal banyak hal tersembunyi - dan hal itu merupakan fakta yang sesungguhnya – dalam kasus G30S/PKI tersebut. Buku yang berjudul ”Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia pasca Kejatuhan PKI” ini merupakan buku terjemahan yang diterbitkan oleh Galang Press dengan tebal 542 halaman. Buku yang merupakan thesis untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Amsterdam ini berkontribusi besar dalam menguak sisi gelap dan digelapkan atas peristiwa kudeta militer 1965. Akibat tragedi itu terjadilah pembunuhan massal masyarakat sipil tak bersalah serta upaya demonisasi salah satu organisasi perempuan terkuat pada zamannya sebagai dasar untuk melakukan pembungkaman bahkan upaya penghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Wieringa adalah salah satu Indonesianis yang melakukan riset tentang gerakan Perempuan di Indonesia. Selain melakukan riset tentang Gerwani, Wieringa juga melengkapinya dengan beberapa organisasi perempuan lainnya seperti Aisyiyah (Muhammadiyah), Wanita Katolik dan Perwari. Dalam riset
385
386
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
ini, Wieringa memilih dua daerah sebagai fokus penelitian, yaitu Jakarta dan Jawa Tengah. Jakarta menjadi pilihan, bukan saja karena merupakan ibukota negara, tetapi karena sebagian besar organisasi perempuan berkantor pusat di Jakarta. Selain itu, Jakarta juga merupakan tempat sejumlah pusat dokumen penting. Sedangkan Jawa Tengah menjadi pilihan karena di Propinsi tersebut merupakan basis gerakan PKI, termasuk Gerwani ( hal 54).
Beberapa Buku Pembanding Ada beberapa buku tentang Gerwani yang juga menjadi pelengkap hazanah tentang gerakan perempuan. Diantaranya adalah buku yang berjudul ”Kembang-Kembang Genjer” karangan Fransisca Ria Susanti. Buku setebal 169 halaman ini juga menceritakan tentang kiprah gerwani, dan eksistensinya pasca peristiwa 1965. Buku ini merekam wawancara sejumlah eks tahanan politik pasca peristiwa 1965, dimana berkisah tentang kepiluan dan kesengsaraan akibat politik pemberangusan komunisme yang dilakukan oleh negara di era Orde Baru. Anggota Gerwani belum tentu anggota PKI. Namun buku karya Ria susanti ini belum mampu meng-cover perjalanan gerwani sedetail buku karya Wieringa. Buku Wieringa ini mampu menyajikan data tentang Gerwani secara detail, mulai dari latar belakang kelahiran, kiprahnya samapai pada penghancuran yang dilakukan penguasa kepadanya. Testimoni dari beberapa mantan tokoh dan anggota gerwani menjadikan buku ini semakin ’empirik’ dan bermakna. Selain itu berbagai macam analisis ideologi, mulai dari Fasisme, Komunis sampai Kapitalis semakin memperjelas kecenderungan gerakan Gerwani dalam perjuangan kebangsaan. Buku pembanding lainnya adalah buku karya Hikmah Diniah yang berjudul ”Gerwani Bukan PKI: sebuah gerakan Feminisme terbesar di Indonesia”. Tidak seperti yang tersirat dalam judulnya, buku ini malah menjelaskan bahwa PKI dan Gerwani tak bisa dipisahkan. Kebijakan PKI sangat berpengaruh
GERWANI, SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN YANG HILANG (Mustaqim)
di tubuh Gerwani. Sejak dari idiologi, struktur kepengurusan, dan keberadaan tokoh-tokoh gerwani yang sebagian besar merupakan keluarga Komunis, penjelasan buku ini justru mengukuhkan keberadaan Gerwani sebagai organisasi sayap PKI untuk gerakan perempuan di Indonesia. Satu-satunya pembelaan terhadap Gerwani adalah ketidakterlibatan Gerwani pada pemberontakan G 30 S/PKI yang di uraikan melalui kutipan buku dan wawancara yang bersumber dari tokoh Gerwani. Nah, sekali lagi disinilah kelibihan buka karya Wieringa ini. Mampu menganalisis secara tajam keterkaitan anatara Gerwani dengan PKI, serta gerakan sosialis lainnya. Sebagai Gerakan perempuan sosialis, gerakan ini mempunyai tujuan dan peran dalam pembangunan perempuan dalam ranah publik, sebagaimana di jelaskan Wieringa. Analisis sejarah dan ideologi, sebagaimana dipaparkan pada Bab I dan II menjadi ketuntasan dalam mengkaji tentang gerakan wanita ini. Sepertinya Wieringa ingin mengatakan bahwa sejarah tidak hanya milik penguasa, meskipun penguasa telah membuat sejarah mainstream. Namun siapapun bisa menghadirkan nilai sejarah yang boleh jadi berbeda dengan sejarah yang telah ada, namun lebih memiliki akurasi dan semangat kebenaran yang tinggi.
Gerwani: Feminisme, Sosialisme dan Nasionalisme Untuk mengetahui akar geneologi Gerwani ini, Wieringa melakukan analisis ideologi. Menurutnya keberadaan Gerwani, tidak lepas dari pola 3 ideologi, yakni feminisme, sosialisme dan nasionalisme (hal 62). Feminisme menjadi proses mendekonstruksi tema, proses pembentukan diri, menjungkirkan representasi gender dan menciptakan representasi gender baru, keperempuanan, identitas dan kolektif diri. Feminisme digunakan oleh gerakan perempuan di Negara Selatan pada permulaan abad ke 20. Dalam hal ini, Gerwani sebagai salah satu gerakan perempuan di Indonesia, yang notabene merupakan negara Selatan mengadopsi konsep ini. Berbeda dengan gerakan
387
388
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
perempuan di negara–negara maju (Utara) yang lebih mengusung feminisme radikal, Gerakan perempuan negara-negara Selatan lebih berorientasi Sosislais. Biasanya gerakan perempuan di negara-negara yang berada dalam proses perubahan sosialis mendapatkan dukungan penuh dari seluruh aparat negara, seperti federasi Perempuan Tiongkok di China. Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) adalah organisasi yang menjadi cikal bakal Gerwani. Gerwis ini berdiri pada tanggal 4 Juni 1950 di Semarang, yang merupakan koalisi dari 6 organisasi perempuan, yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan. Organisasi ini berasal dari latar belakang sosial yang berbeda, banyak diantaranya keturunan priayi rendah, tetapi mereka semua ikut terjun dalam gerakan nasional. Gerwis memiliki tujuan bersama bagi kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktek feodal. Semangat komunisme menjadi basis perjuangan dalam membangun gerakan perempuan. Meskipun tidak semua anggota mempunyai pemahaman tentang komunisme, namun tak jarang dari mereka didukung oleh para suami yang mempinyai keanggotaan di PKI. Pada konggres pertama pada bulan Desember 1951, Gerwis berada dalam kondisi sulit. Banyak utusan yang seharusnya hadir masih berada di penjara. Hal ini tidak lepas dari peristiwa Pemberontakan PKI 1948 di madian yang dipimpin Muso. Pasca peristiwa tersebut, PKI dan semua onderbrow nya banyak yang ditangkap, termasuk para aktifis perempuan yang bernaung dalam PKI. Dalam konggres pertama inilah nama Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani. Hak perempuan dan anak-anak menjadi tema konggres ini. Selain itu, peralihan nama menjadi Gerwani semakin menjadikan Gerwani organisasi yang inklusif, semua agama, sektarian boleh masuk ke wadah oraganisasi ini.
GERWANI, SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN YANG HILANG (Mustaqim)
Selanjutnya gerakan strategis Gerwani sudah masuk pada kebijakan politis. Kritisi terhadap Undang-undang Perkawinan yang dinilai lebih merugikan kaum perempuan mrnjadi arah strategi organisasi. Selain itu resolusi Gerwani pada Konggres yang kedua tahun 1954 juga diarahkan pada upaya pemilihan umum (Pemilu), keamanan nasional dan protes terhadap percobaan nuklir (hal 235) Pata tahap selanjutnya, partai politik cenderung tidak lagi ”membutuhkan” kaum perempuan. Mereka berpandangan bahwa kaum perempuan harus meninggalkan panggung politik dan kembali ke rumah masing-masing. Mitologi perempuan sebagai Srikandi, yang berani , tegas dan patriotik harus dikembalikan pada sosok Sumbadra yang lemah, lembut dan penurut. Pada kondisi seperti inilah, organisasi perempuan secara umum mengalami polarisasi dan distorsi. Kebanyakan dari organisasi perempuan tersebut memilih kembali pada kodrat kewanitaan sebagaimana figur Sumbadra. Hanya Gerwanilah yang berani menyimpang dari gambaran kodrat wanita yang sesungguhnya Wanita tidak selamanya harus tunduk dan patuh pada suami. Tetapi ada pembagian kerja seksual, yakni memposisikan antara suami dan istri sebagai partner kerja sama. (hal 405) Kutipan puisi pada awal tulisan ini menunjukkan kegelisahan salah satu anggota Gerwani yang juga aktifis Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), salah satu organisasi onderbrow PKI. Di mana konstruksi sosial yang terjadi cenderung memposisikan perempuan dalam wilayah domestik rumah tangga dan hanya menjadi obyek. Tradisi kawin paksa yang mengakar, sebagaimana yang tergambar dalam raman Siti Nurbaya menjadi sistem sosial yang tak terbantahkan. Di sinilah peran Gerwani, sebagai organisasi yang memperjuangkan kesetaraan gender mengalami titik signifikannya. Semangat sosialisme yang merupakan kebangkitan kaum tertindas menjadi api pengobar semangat para aktifis gerwani. Sehingga Gerwani menjadi salah satu gerakan mainstreaming gender, yang pada saat itu sudah berani memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
389
390
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Orba dan Penghancuran Gerakan Perempuan Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, membawa implikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu pembantaian dan pemberontakan yang dialamatkan pada PKI menjadikan organisasi komunis ini kambing hitam. Stigma penghianat pancasila dan pemberontak yang disandangkan pada PKI, menjadikan PKI ini momok menakutkan. Kampanye kebiadaban PKI yang digulirkan oleh Orde Baru merasuk sampai pada jiwa manusia Indonesia yang paling dalam. Selain itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa diselamatkan dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan kembali simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah (hal 409). Depolitisasi gerakan perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa kontrol hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani. Gerakan perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut dan non-politis dilakukan di mana-mana. Pemerintah melalui figur Soeharto, ditampilkan sebagai satu-satunya kekuatan tunggal yang mampu memulihkan dan memelihara ketertiban masyarakat. Hal ini dilanggengkan dengan cara mereproduksi secara terus menerus mitos binatang komunis yang sesat. Subordinasi perempuan berupa penggambaran perilaku perempuan yang ”patut”, menjadi pilar masyarakat orde baru di mana Gerwani digambarkan sebagai berperilaku tanpa aturan dan merusak moral. Pada dataran inilah, politik hegemoni kekuasaan bermain. Relasi gender di Indonesia kemudian ditata secara kasar. Perjuangan gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan dalam politik serta menyerukan simbol perempuan sebagai “Srikandi” dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kodrat perempuan. Perempuan kemudian dikembalikan pada wilayah domestik rumah tangga. Dengan regulasi secara sosial
GERWANI, SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN YANG HILANG (Mustaqim)
dan norma, perempuan digiring untuk tidak ikut campur pada ranah publik dan politik. Orde baru menjadi masa stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan pada para perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Berbagai gerakan perempuan, gerakan subversif diberangus. Titik kulminasinya adalah matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan dan emansipasi. Era reformasi sudah semestinya menjadi momentum bagi gerakan perempuan untuk bangkit dan berjuang. Keterbukaan dan kebebasan dalam segala aspek, menjadi pemantik bagi menyalanya semangat perjuangan. Di era demokratis ini, gerakan perempuan harus ikut andil bagi pembangunan peradaban bangsa.
391