TARI BIDADARI YANG HILANG Oleh: Dwi Astuti
Ketika aku bertanya, semuanya diam seolah tak ada kata yang bisa disuguhkan untuk menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba dari seorang wanita renta terdengar nada acuh “Sudah tidak ada lagi yang cinta, mau bagaimana lagi?” begitu ucapnya bila ku terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Aku adalah seorang pengagum seni. Aku sering berkeliling untuk melihat keragaman seni khususnya seni yang ada di Indonesia, negara seribu budaya. Hingga aku tiba pada suatu daerah. Desa kecil waktu itu. Desa ini sangat asri berada di kabupaten yang saat ini menjadi topik hangat dalam berita. Cilacap, namanya sudah tak asing lagi ditelinga. Karena tempat ini memiliki pulau tempat beberapa nara pidana mati ditahan dan diadili. Desa yang kusinggahi kala itu bernama kawunganten. Letaknya cukup jauh dari kota cilacap. Kawung yang berarti lukisan batik dan anten yang memiliki arti pengantin. Membuatku terhenti untuk singgah dan menengok kebudayaan apa yang ada didalamnya. Aku pun terkesan dan sangat menyukai keramah tamahan yang warga desa itu sajikan untukku. Tak ingin menghabiskan waktu lama, aku langsung bertanya kepada salah satu warga desa mengenai dimana letak rumah Bapak Kepala Desa. Orang itu kemudian menuntunku menuju rumah berwarna putih yang ukurannya bisa dibilang cukup besar dibanding rumah warga lainya. Sesampainya disana, tak ku temui Bapak Kades. Panggilan ini adalah panggilan akrab untuk menyebut seorang kepala desa. Dirumah Pak Kades, hanya ada seorang putri cantik yang menjawab salam ketika aku mengetuk pintu dan memberikan salam sebagai keramah tamahanku. Dia membuka pintu dan tersenyum, lalu aku masuk dan duduk diruang tamu. Aku mulai memperkenalkan diri dan bertanya basa-basi. Akan 1
tetapi, sampai pada sebuah pertanyaan dia hanya tersenyum. Senyuman ini bukanlah senyuman keramahan atau senyuman seorang yang jatuh cinta karena ketampanan seorang pria yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. Dia tersenyum seperti kebingungan. Padahal kala itu, aku sangat ingin tahu apa jawaban yang tepat untuk satu hal yang aku tanyakan tersebut. Ya sudah, tidak ingin memaksa. Langsung ku tutup percakapan kami dengan senyuman yang ramah. Ku tak ingin niat baik ku ini disangka jelek. Kemudian aku berpamitan keluar dari pintu rumah megah itu. Kutelusuri jalanan desa agar tanda tanya yang ada dikepala ini bisa terpecahkan. Sepertinya kakiku tak kuat lagi untuk melangkah. Lalu mataku dengan jeli mencari tunggangan yang pas dengan isi dompet ini. Walaupun pengagum seni, aku juga harus berhemat supaya bisa berkeliling Indonesia tanpa membebani siapapun. Kemudian tangan ini menghadang becak untuk ku naiki mencari jawaban atas semua pertanyaan yang tak terjawab tadi. “Pak, asli sini?” tanyaku dengan nada akrab kepada tukang becak yang sedari tadi mengayuh becaknya. “Nggih mas, saya asli sini” jawab tukang becak itu dengan nada ramah khas daerahnya. “Mas-e si dari mana dan mau kemana?” tanya tukang becak itu kembali. “Begini pak, saya itu asli Jakarta. Saya itu suka seni pak, makanya saya ke Jawa Tengah. Saya ingin melihat keragaman seni disini. Tapi kok saya tidak bisa melihat ada seni apa di daerah sini ya pak?” jawabku dengan nada penuh tanya. “Oh begitu, dulunya disini terkenal dengan tari khasnya mas. Tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi” kata tukang becak yang kemudian menceritakan beberapa hal tentang penari yang menurutnya cantik pada masanya itu. Sembari mengayuh pedal, tukang becak itu berkata akan mengantarkanku kerumah penari yang dulu sangat terkenal didesanya tersebut. Setelah turun dari kendaraan beroda tiga tersebut, nampak seorang nenek tua usianya sudah lebih dari separuh baya menurutku. Rambutnya beruban, tak hanya satu dua bahkan sepenuhnya lusuh seperti tak pernah disisir. 2
Kulit dibawah mata dan disekujur tubuhnya keriput bak siput. Sekejap diriku tertegun dan bertanya-tanya, bagaimana bisa jaman mampu merenggut semua kecantikan yang ada pada nenek tersebut. Tak apa jika menjadi tua, tapi paras cantik kenapa hilang dan terbalut dengan lipatan-lipatan keriput? Entahlah akan ku sudahi segala pertanyaan tak penting ini. Aku mendekat, dan memberi sapaan hangat. “Apa benar ini mbah jemu?” tanyaku lembut untuk menghormati orang tua yang duduk diam diatas dipan. Yang ku heran, dia hanya diam dan memandangiku dengan tatapan kosong. “Ning, metu. Ana tamu” teriaknya keras hingga mengagetkanku. “Nggih, mbah” Jawab seseorang dari dalam rumah. Seorang ibu lalu menghampiri, aku kembali tersenyum dan kemudian memperkenalkan diri. Tak memakan waktu yang lama untuk berbasa basi, aku langsung bertanya tentang masa lalu nenek yang sedari tadi ikut duduk dan memandangiku. “Kalo mau ngobrol sama simbah, suaranya agak keras ya mas. Soalnya simbah ini sudah agak kurang pendengaranya, maklum sudah tua.” Jelas anak perempuan nya itu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku mengeraskan suaraku dan mulai bertanya. Pertanyaan ringan awalnya. Mengenai hal lalu yang pernah terjadi didesa ini. Senyum di bibirnya yang keriput itu mulai merekah. Kita berdua sudah semakin akrab satu sama lain. Hingga pada akhirnya, aku bertanya tentang masa lalunya sebagai penari yang terkenal dan diidamkan banyak pria didesanya. Lalu beliau mulai bercerita. Dahulu beliau adalah seorang penari sintren. Tarian ini biasa disuguhkan ketika ada salah satu warga di desa yang menanggap kelompok sintren ini untuk menari dalam acara pernikahan atau hajat lainnya. Tarian ini sangat kental dengan hawa mistik. Bagaimana tidak? Menurut cerita sang nenek, saat menari nenek dan temannya dikurung didalam kurungan ayam yang dibungkus dengan kain. Sebelumnya kedua tangan nenek pun diikat kencang dan saat itu posisi nenek setengah sadar. Antara diri nenek atau bukan.
3
Saat itu penonton sangat riuh, berkumpul didalam satu tempat hanya untuk menonton tarian nenek. Tari ini biasa disuguhkan pada malam hari. Untuk menambah hawa mistik yang ada. Gendhing musik mulai ditabuh, awalnya nenek yang masih muda kala itu menari biasa dengan wajah manis biasa. Polos masih tanpa riasan diwajahnya. Akan tetapi, setelah ada aba-aba dari seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam, dua orang maju mendekati nenek lalu mengikat nenek mulai dari pergelangan tangan hingga kepergelangan kakinya. Badan nenek yang masih langsing pun diikat. “Men ra ucul” kata nenek dalam bahasanya. Lalu laki-laki yang memberikan perintah tadi mendekat dan membacakan mantra-mantra gaib sehingga tubuh nenek lemas. Nenek pun kehilangan kesadaranya. Setelah itu kurungan ayam yang telah dibalut jarit ditutupkan ketubuh nenek. Nenek terkurung di dalam bersama alat rias lainya. Saat di dalam kurungan, nenek tidak menyadari apa yang terjadi pada tubuhnya. “Ya ora kerasa” ujar nenek menggambarkan dirinya saat berada didalam kurungan. Anak beliau pun ikut melanjutkan ceritanya. Butuh waktu yang lama ketika nenek berada didalam kurungan. Apabila kurungan itu bergerak-gerak sendiri itu artinya penari telah siap untuk keluar. “Wis rampung dandane” kata nenek lirih sambil menaruh tangannya di depan mulutnya seperti berbisik. Setelah itu, tubuhnya yang tadi tidak sadar lalu keluar dari kurungan dalam keadaan yang sudah cantik dan rapi. Sudah memakai selendang. Nenek berkata bahwa saat kurungan disingkap banyak penonton yang bersorak karna kecantikannya. Nenek pun menjadi setengah sadar. Alunan gendhing mulai ditabuhkan lagi, dan sinden bernyanyi semakin lantang. Nenek merasa sadar tapi ia tidak bisa menggerakan tubuhnya. Tubuhnya bergerak tanpa ada perintah darinya. Beliau sudah tau resiko apa yang beliau dapat ketika menjadi penari sintren. Tetapi beliau tak menghiraukan apa yang akan terjadi pada dirinya dikemudian hari. Beliau pun terus menari, menari seirama dengan gendhingan jawa yang ditabuh oleh para pemain musik. 4
Saat menari, beliau melihat banyak manusia disekelilingnya. Tapi semua nampak begitu kecil dan seperti bayang-bayang. “Kabur” katanya. “Apa hanya itu?” aku bertanya. “Oh tidak mas, masih banyak lagi” jelas anak perempuan nenek yang sedari tadi duduk berdampingan dengan Mbah Jemu. Katanya untuk sekali tanggap, ada juga acara sawer. Waktu itu penari sintren akan menarik seorang pria untuk menari bersama dan akhirnya pria tersebut harus mau mengeluarkan uangnya untuk nyawer. Ada beberapa atraksi lagi yang disuguhkan, diantaranya adalah penari memanjat tangga yang terbuat dari bambu yang cukup tinggi kemudian menari diatasnya. Penari sintren tak sadar. Sehingga dia tidak merasa ketakutan sedikit pun untuk menari diatas. Saat penari menggoyangkan pinggulnya diatas tangga bambu, sontak seluruh penonton bertepuk tangan dan terkesan kagum dengan kemahiran dari penari tersebut. Tak sedikit ada beberapa orang yang ngeri melihat atraksi itu, khususnya ibu-ibu. Banyak dari mereka yang menjerit ngeri. Takut jika penari sintren itu tiba-tiba jatuh kebawah. Sintren juga dipercaya mampu menurunkan hujan. Jadi tak heran pada jaman dahulu, tarian ini juga biasa ditarikan ketika musim kemarau panjang dan saat petani gusar karna memerlukan air untuk mengairi sawahnya. Malam hari yang dingin saat musim kemarau, biasanya orang berkumpul dilapangan melihat nenek menari sembari berharap hujan datang. Entah ini bisa dibuktikan dengan fakta atau tidak, hujan selalu turun ketika musik dari tarian mistik ini ditabuhkan. Saat ritik-rintik kecil itu berubah menjadi tetesan yang deras semua warga besorak. Ada juga yang ikut menari bersama lantunan lagu. Akan tetapi semeriah apapun suasana kala itu, nenek tetap tidak sadar dan terus menari dibawah tetes hujan. Tarian ini biasa disebut tari bidadari, karena saat pingsan dan berada didalam kurungan. Masyarakat kala itu percaya bahwa yang merasuki tubuh penari adalah jelmaan dari bidadari. Maka tak heran ketika kurungan disingkab, 5
keluarlah penari dengan paras cantik jelita. Banyak pula lirik lagu yang menyebutkan bidadari dalam nyanyian nya. Sehingga tarian ini disebut juga tari bidadari. Bahkan untuk menjadi seorang penari sintren, seseorang harus rela bertapa untuk mendapatkan selendang bidadari. “Aku? Ulih nang sumur tua” kata nenek saat aku bertanya dimana beliau mendapatkan selendang bidadari miliknya. Setelah semua selesai, yang beliau rasakan hanyalah rasa sakit ditubuhnya. “Pantas saja sakit, dia baru saja selesai menjadi wadah bagi jin yang merasuki tubuhnya” pikirku kala itu. Akan tetapi beliau tetap merasa puas dengan perolehannya kala itu. Disamping beliau mendapatkan ketenaran, beliau juga mendapatkan rupiah yang lumayan untuk memenuhi kebutuhanya seharihari. Karena pada masa itu, mencari pangan sangat sulit. Dibutuhkan kerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi. Maklumlah jika menjadi penari sintren adalah jawaban dari kebutuhan ekonomi saat itu. Nenek bercerita bahwa dia memiliki kelompok yang beranggotakan dua belas orang. Kedua belas orang itu merupakan teman akrab beliau. Tetapi saat ini semuanya sudah hilang satu persatu. Hanya tinggal nenek yang sudah renta didesanya. Lalu aku bertanya “kenapa nenek tidak membuat paguyuban seni tari, agar tarian ini tidak lenyap dimakan zaman?” “Saniki nggih mpun mboten onten sing remen, pripun malih?” kata nenek dengan nada yang masam. “Sebenarnya sudah pernah mas, tapi hilang dengan sendirinya. Anakanak kini tak suka lagi menari. Apalagi tarian mistik seperti ini. Banyak orang tua yang menganggap tarian ini sudah tidak perlu bagi anak-anak mereka. Bahkan ada beberapa orang yang memandang tarian ini dengan sebelah mata. Ya mas tau sendiri lah bagaimana sulitnya. Apalagi sekarang tinggal simbah saja yang
6
hidup” jelas anak perempuan mbah jemu yang sedari tadi mau mengartikan semua perkataan simbah. Aku sontak terdiam, pantas saja anak gadis kepala desa yang kutanyai tentang budaya didaerah ini hanya tersenyum kebingungan. Ternyata budaya didaerah ini mulai luntur karena perkembangan zaman. Aku sangat berterimakasih kepada keluarga Mbah Jemu yang berkenan berbagi ceritanya kepadaku. Lalu berpamitan dan kini aku sangat ingin menuliskan kisah hidup seorang penari bidadari yang telah hilang ini kedalam sebuah karya sastra. Agar kisahnya pun tak hilang tertelan jaman.
7