NYANYIAN UNTUK BIDADARI Alkisah, di sebuah negara di utara, hiduplah seorang pemuda baik hati yang bekerja sebagai pembuat patung dari kayu. Walau masih muda, tapi rambut hitam pemuda itu sudah dihiasi uban. Hal itu membuatnya mudah dikenali di kota kecil tempat tinggalnya. Pemuda itu bernama Turan, dan dia adalah anak angkat dari Tuzan, seorang lelaki tua yang juga seniman pembuat patung. Turan sudah lama menyadari kalau dia adalah anak angkat, tapi dia tetap menyayangi seniman itu seperti orangtuanya sendiri. Turan adalah seniman pembuat patung yang amat berbakat. Bakatnya bahkan melebihi ayah angkatnya sendiri. Patung-patung buatannya selalu lebih diminati orang, dan banyak orang dari luar kota datang untuk membeli patung buatannya. Walaupun patung anaknya lebih disukai, Tuzan tidak keberatan. Hal itu malah membuatnya semakin bangga pada anaknya itu. Tapi Turan sebenarnya mempunyai bakat terpendam lain. Bakat itu tidak lain adalah suara nyanyiannya yang merdu dan indah. Tuzan sering mendengar anak angkatnya menyanyi, dan dia bersumpah bahwa selama hidupnya dia belum pernah mendengar suara lain seindah nyanyian anak angkatnya. Namun sayangnya, Turan tidak ingin bakatnya ini diketahui orang lain. Padahal, mereka mungkin bisa jadi kaya bila Turan mau menyanyi untuk orang lain. Seringkali, setiap seminggu sekali, Turan akan pergi menuju sebuah danau besar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pemandangan di sana indah, tapi sangat jarang ada orang kota yang pergi ke sana. Turan senang datang ke danau itu. Di sana, dia akan duduk di sebuah batu besar di tepi danau, lalu mulai bernyanyi. Bila dia sudah mulai menyanyi, maka binatangbinatang yang ada di sekitar situ akan bermunculan dari hutan di sekitar danau, dan mendengarkan suara indahnya. Bahkan burung-burung yang bersuara merdu pun akan berhenti bernyanyi dan lebih memilih mendengarkan nyanyiannya. Tapi bukan hanya para binatang yang menyukai suara indah Turan. Bahkan jauh di sana, di atas langit, para bidadari pun penasaran. Dari mana datangnya suara indah yang sering mereka dengar itu? Mereka sudah mencoba mencari di negeri mereka, tapi tidak ada satu pun bangsa mereka yang bisa menyanyi seindah itu. Belakangan, mereka pun tahu kalau sumber suara itu berasal dari dunia manusia. Didorong oleh rasa penasaran, mereka kemudian memutuskan untuk turun ke dunia manusia mencari sumber suara itu.
Pada suatu hari, setelah berpamitan pada ayah angkatnya, Turan pun pergi meninggalkan rumah. Dia ingin pergi ke danau seperti biasa, untuk melatih suaranya. “Aku pergi dulu Ayah,” kata Turan pada ayahnya. “Baiklah,” kata ayahnya. Pria tua berjanggut lebat itu melambai pada putranya. “Tapi ingat, kau harus menyelesaikan pahatan pesananmu nanti malam.”
“Ya, aku tahu!” Turan berjalan meninggalkan rumahnya, bergerak turun menyusuri jalan yang berbatu. Baginya, menyanyi bukanlah pekerjaan untuk mencari uang. Dia lebih suka membantu ayahnya memahat patung dari kayu. Walau dia juga menyadari bakatnya, dia lebih memilih untuk melatihnya tanpa diketahui orang lain. Danau yang dituju Turan terletak sedikit ke arah selatan dari kota tempat tinggalnya. Menurut cerita orang-orang di kota, daerah pinggir danau itu dulu pernah ditinggali segerombolan penyamun. Mereka bersembunyi di sana hingga dua tahun lamanya, sebelum akhirnya tertangkap dan dihukum mati oleh pihak yang berwajib. Konon, arwah mereka kembali ke danau itu dan menetap di sana hingga sekarang. Namun Turan tidak perduli pada cerita aneh seperti itu. Di danau itu dia merasa damai dan tenang. Udara segar yang dihirupnya, dan jernihnya permukaan danau yang dilihatnya, mampu menghilangkan rasa lelah setelah bekerja selama seminggu penuh. Ketika Turan akhirnya sampai di sana, dia menghampiri sebuah batu besar di pinggir danau dan duduk di atasnya. Dia mengambil waktu sejenak menikmati suasana tenang di sekitar danau. Setelah puas memandang sekeliling, dia lalu mengambil napas dalam dan mulai menyanyi. Ketika dia menyanyi, suaranya yang indah menyebar ke seluruh danau, menambah kesejukan suasana di sekitarnya. Di dekat situ, seekor rusa yang sedang merumput langsung menoleh karena mendengar sebuah suara. Suara itu begitu menarik di telinganya, sampai-sampai dia meninggalkan acara makannya demi mencari sumbernya. Saat dia berjalan, di dekat kakinya tampak seekor kelinci yang melompat keluar dari sarangnya. Kedua telinga kelinci itu tegak berdiri, dan tampaknya dia juga mendengar sebuah suara yang sama. Keduanya kemudian pergi ke arah yang sama, menuju sebuah danau besar tidak jauh dari sana. Ketika mereka tiba, mereka melihat seorang manusia sedang duduk di atas batu sebuah batu besar. Dari mulutnya, terdengar sebuah suara indah, suara yang telah menarik perhatian mereka. Suara itu seolah menghipnotis mereka, membuat mereka tidak mau beranjak dari situ. Ternyata bukan hanya mereka yang tertarik oleh suaranya. Beberapa ekor tupai tampak berlarian keluar dari lubang pohon dan berdiri berjejer di sebuah dahan. Burung-burung yang sedang terbang pun menukik turun dan mendarat di atas bebatuan. Dalam waktu singkat, di pinggiran danau, dan juga di hutan sekeliling danau besar itu, telah tampak puluhan ekor binatang besar dan kecil. Semuanya terpesona oleh suara nyanyian Turan yang merdu. Turan menyadari kehadiran binatang-binatang itu, dan dia menyenanginya. Baginya, itu adalah sebuah penghargaan untuk nyanyiannya.
Sementara itu, di negeri atas langit, sedang terjadi kehebohan. Seorang bidadari menyampaikan sebuah berita kepada bidadari yang lain, lalu bidadari itu menyampaikannya ke bidadari lain. Berita itu terus tersebar secara berantai, dan setiap bidadari yang mendengarnya langsung tertawa gembira. Isi berita itu adalah bahwa suara nyanyian yang indah itu terdengar
lagi. Seperti yang direncanakan sebelumnya, beberapa dari mereka berniat untuk turun ke dunia manusia dan mencari tahu sumber suara itu. Kemudian, seiring dengan cahaya matahari, tampak sepuluh bidadari cantik rupawan melayang turun ke bumi. Pakaian mereka yang bercahaya dan berwarna-warni tampak melambai-lambai ditiup angin saat mereka melayang di angkasa. Mata mereka yang berwarna biru terang memantau tanah di bawah mereka, mencari asal suara indah itu. “Asalnya dari danau besar di sana!” seru salah seorang dari mereka. “Rupanya benar, suara itu memang dari dunia manusia,” kata seorang yang lain. Mereka lalu mendarat di antara rimbunan pepohonan di sekitar danau. Kemudian, sambil tetap menyembunyikan diri, mereka bergabung dengan para binatang yang sudah ada di sana, mendengarkan Turan yang sedang menyanyi. Sama seperti para binatang itu, mereka pun terpesona mendengarkan suara Turan. “Indah sekali,” kata salah seorang bidadari. “Aku belum pernah mendengar suara seperti itu.” Turan masih tampak terus bernyanyi. Dia tidak sadar kalau dia telah mendapatkan beberapa penggemar baru yang tidak disangka-sangka. Lalu, setelah bernyanyi setengah jam lamanya, dia pun merasa lelah dan membaringkan tubuhnya di atas batu besar itu. Suasana sejuk di sana perlahan-lahan membuat matanya mengantuk. Tak lama kemudian, dia pun tertidur lelap. Ketika nyanyian itu berhenti, para binatang pun bergerak meninggalkan tempat itu. Para bidadari tampak kecewa karena nyanyian indah itu sudah berakhir. “Kenapa dia berhenti menyanyi?” salah satu bidadari bertanya-tanya. “Manusia itu cepat lelah, tidak seperti kita,” jawab temannya. “Ayo, kita lihat dia lebih dekat!” seru bidadari yang lain. Para bidadari lain mengangguk setuju pada usul itu. Tanpa suara, mereka melayang perlahan menyeberangi danau besar, kemudian mendarat mengelilingi batu besar tempat Turan tertidur. Wajah polos Turan yang sedang terlelap membuat mereka tertawa cekikikan. “Dia tampan juga.” “Dia pasti baik hati. Orang yang wajahnya tampan biasanya hatinya juga baik.” “Coba dengar, dia mendengkur pelan seperti kucing.” Para bidadari itu asyik mengomentari Turan yang sedang tidur. Mereka merasa begitu tertarik pada manusia itu. “Sayang sekali, kita tidak bisa lama-lama di sini.” Salah satu dari mereka mengingatkan. Kata-katanya disambut suara keluhan bidadari yang lain. “Aku sebenarnya juga masih ingin di sini,” kata bidadari itu, “tapi dia mungkin akan bangun sebentar lagi. Dan kalian semua tahu, kita tidak boleh sampai terlihat olehnya. Lagipula hari sebentar lagi gelap, dan aku yakin dia pasti akan pulang sebelum malam tiba.” Perlahanlahan, tubuh bidadari itu terangkat dari tanah. “Ayo kita tinggalkan tempat ini. Aku yakin kita pasti akan melihatnya lagi di lain waktu.” Dengan berat hati, tubuh mereka satu persatu terangkat dari tanah dan melayang ke udara. Namun ada satu yang tetap tinggal, seorang bidadari yang pakaiannya seluruhnya
berwarna ungu. Mata birunya masih saja memandangi Turan yang sedang tidur. Dia seolah tidak menyadari kalau teman-teman bidadarinya sudah meninggalkannya. “Hei, Viana! Ayo kita pergi!” kata salah seorang temannya mengingatkan. “Oh...ya! Aku...aku datang!” Dia tampak kaget karena terbangun dari lamunannya. Dia lalu melayang ke angkasa menyusul teman-temannya, sementara kedua matanya terus memandangi Turan. Di dalam hatinya, dia bertekad untuk bertemu dengan pemuda itu lagi.
Ketika matahari nyaris terbenam, Turan terbangun dari tidurnya. Dia memandang ke sekelilingnya, dan mendapati dirinya sendirian di sana. Dia ingat kalau dia baru saja bermimpi, di mana dirinya dikerumuni sosok-sosok yang bersinar. “Ah, itu ‘kan cuma mimpi!” katanya pada dirinya sendiri. Dia lalu berdiri dan meregangkan tubuhnya. Sekarang sudah saatnya untuk pulang. Ayahnya di rumah pasti sudah menunggunya.
Selanjutnya, Turan terus melanjutkan kebiasaannya mendatangi danau besar itu. Setiap kali dia menyanyi, para bidadari itu akan datang dan mendengarkan nyanyiannya. Dan bila dia tertidur sehabis menyanyi, maka para bidadari itu akan mengerumuninya sambil tertawa-tawa. Turan pun lama-lama merasa ada yang aneh. Belakangan ini, setiap kali dia tidur di samping danau, dia bermimpi dirinya dikerumuni sosok-sosok yang bercahaya. Dia tidak bisa melihat jelas wajah mereka, karena tertutup cahaya yang menyilaukan. Dia menyangka sosoksosok itu adalah roh-roh penghuni danau, yang juga tertarik pada suaranya. Namun pikiran itu tidak membuatnya merasa takut. Dia tetap sering datang ke danau seperti biasa. Sementara itu, di negeri atas langit, tampak seorang bidadari berpakaian serba ungu sedang termenung di sebuah taman. Di taman itu tampak rumput hijau mengkilat yang menghampar luas, dan juga petak-petak tanah yang ditumbuhi bunga beraneka warna. Di kejauhan, tampak pohon-pohon yang terpangkas rapi berjejer teratur, mengelilingi bangunanbangunan berpilar yang megah. Bidadari yang dipanggil Viana itu akhir-akhir ini sering melamun sendirian. Tapi apa yang sedang dilamunkannya, tidak ada yang tahu. Bila ditanya, dia selalu mengelak untuk mengatakannya. Pada akhirnya, teman-temannya hanya membiarkannya. Mereka berharap bila waktunya tiba, maka Viana akan bercerita pada mereka.
Beberapa hari kemudian, beberapa bidadari tampak terlihat sedang bersiap-siap turun ke dunia manusia. Seperti biasa, mereka berniat untuk mendengarkan suara indah Turan. Tapi kali ini, ada satu orang bidadari yang menolak untuk ikut. Dia adalah Viana, si bidadari berpakaian
ungu. Hal ini mengagetkan teman-temannya, karena Viana biasanya tidak pernah ketinggalan untuk ikut serta mendengarkan suara Turan. “Kau yakin tidak mau ikut?” tanya seorang bidadari berpakaian merah. “Apa kau sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” kata Viana. “Pergilah tanpa aku. Sekarang aku tidak bisa ikut karena ada yang harus kukerjakan. Mungkin lain kali, aku akan ikut dengan kalian.” Walaupun merasa agak aneh, tapi teman-teman Viana akhirnya pergi tanpa dirinya. Mereka lalu turun ke danau tempat Turan biasa bernyanyi, mendengarkan nyanyiannya sambil berusaha agar tidak terlihat. Ternyata, di luar pengetahuan mereka, Viana juga datang secara sembunyi-sembunyi. Dia bersembunyi di tempat yang agak jauh dari teman-temannya, sambil ikut mendengarkan nyanyian Turan. Dia tidak menampakkan diri ketika Turan berhenti bernyanyi dan tertidur. Dia juga tidak menampakkan diri ketika teman-temannya mengerumuni Turan sambil tertawa-tawa. Ketika akhirnya semua temannya telah pergi, barulah dia keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Turan. Sama seperti teman-temannya, dia juga senang mengamati wajah Turan. Wajah pemuda itulah yang selalu ada dalam lamunannya selama ini. Di dunia tempat dia tinggal, dia menunggu waktu berlalu sambil memikirkan wajah itu. Dia menunggu dengan sabar sampai tiba saatnya dia bertemu dengannya. Perlahan-lahan, diusapnya wajah yang sedang tidur itu dengan penuh kasih. Dia sedih saat berpikir bahwa dunia mereka sebenarnya berbeda, dan kenapa pemuda itu harus terlahir sebagai manusia. Tiba-tiba, Turan menggeliat dalam tidurnya. Gerakan itu mengagetkan Viana, membuatnya langsung menarik tangannya. Ketika Turan membuka mata, dia terkejut melihat seorang gadis yang amat cantik berdiri di dekatnya. Wajah gadis itu tersenyum, memperlihatkan sebuah senyum paling indah yang pernah dilihatnya. “Kau siapa?” tanya Turan. Matanya memandangi gadis itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Gadis misterius itu berpakaian serba ungu, mulai dari pakaian, selendang, hingga gelang dan bandonya. “Namaku Viana,” gadis itu menjawab sambil masih tersenyum kepada Turan. Turan untuk beberapa saat lamanya terus memandangi gadis cantik itu. Hal itu membuat Viana sedikit tersipu malu. “Aku tadi mendengarkan nyanyianmu,” kata Viana kemudian, menyembunyikan wajahnya yang merona. “Sungguh?” kata Turan. Dia memang belum pernah mendapatkan penonton manusia sebelumnya. “Bagaimana menurutmu mengenai suaraku?” “Suaramu bagus. Siapa yang mengajarimu?” Turan tertawa. Walau tidak berniat sombong, dia sadar kalau suaranya memang bagus. “Aku tidak belajar dari siapapun, tapi aku memang senang menyanyi.” Viana dan Turan terus mengobrol, mencoba untuk saling mengenal satu sama lain. Turan bercerita mengenai asal usul dirinya yang seorang pembuat patung dari kayu, sementara Viana mengaku kalau dirinya adalah anak seorang petani dari desa tetangga. Tanpa terasa, mereka mengobrol terus hingga matahari hampir terbenam.
Saat melihat cahaya matahari di sekelilingnya mulai menghilang, Viana tersadar dia sudah terlalu lama di sana. “Maaf, aku harus pergi! Aku harus segera pulang ke rumahku!” Viana tampak terburu-buru berlari ke hutan. “Tunggu!” kata Turan. “Bisakah aku bertemu denganmu lagi?” Viana membalikkan tubuhnya. Dia tersenyum dan berkata, “Aku pasti akan datang untuk mendengarkan nyanyianmu. Setelah kau bernyanyi, pergilah tidur. Saat kau bangun nanti kau akan bertemu denganku. Nah, sampai jumpa lagi!” Dia lalu berlari ke hutan meninggalkan Turan. Saat dia sudah cukup jauh, dia pun terbang ke angkasa.
Sejak saat itu, Turan menjadi tambah semangat untuk bernyanyi di tepi danau. Ayahnya pun sedikit heran melihat Turan pergi dengan langkah terburu-buru. Dia memang sudah tahu akan kebiasaan anaknya, tapi kenapa harus terburu-buru? Bukankah danau besar itu tidak akan kemana-mana? Bagi Turan, pertemuannya dengan Viana telah menambah semangat pada nyanyiannya. Setelah bernyanyi dia lalu langsung tidur. Saat terbangun, dia akan sangat senang melihat Viana sudah ada di sana. Sementara itu, walau Viana sangat ingin mendengar nyanyian Turan dari dekat, dia harus selalu menunggu dengan sabar sampai semua teman-temannya kembali ke dunia mereka. Bila semua temannya sudah pergi, barulah dia keluar dari persembunyiannya. “Aneh, kenapa aku tadi tidak melihatmu?” tanya Turan saat mereka sedang mengobrol. Dia memang merasa aneh karena dia baru bisa bertemu Viana setelah dia bangun dari tidur. “Aku mendengarkan nyanyianmu di antara pepohonan,” jawab Viana. “Aku tidak ingin mengganggu konsentrasimu saat sedang menyanyi.” “Kenapa dibilang mengganggu?” kata Turan. “Bila ada kau di dekatku, aku yakin aku pasti bisa menyanyi lebih baik lagi.” Turan lalu menggenggam tangan Viana. “Lain kali, aku ingin kau ada di dekatku bila aku menyanyi. Bagaimana, apa kau mau?” Viana tampak ragu. Yang diminta Turan ini adalah permintaan sulit. Dia ragu apakah dia bisa memenuhinya saat mereka bertemu lagi kelak.
Minggu berikutnya, saat Viana bersiap untuk turun ke dunia manusia, dia merasa ada yang ganjil. Teman-temannya, para bidadari yang biasa mendengarkan nyanyian Turan, tidak ada satupun yang terlihat. Biasanya mereka selalu berkumpul lebih dulu sebelum pergi melihat Turan. “Viana!” tegur seorang bidadari yang berpakaian merah. “Hei, Ariela!” sahut Viana dengan berusaha tampak wajar. “Apa kalian akan mendengarkan nyanyian manusia itu lagi?”
“Sayangnya tidak,” kata bidadari yang disapa Ariela. “Aku juga ingin menyampaikan sesuatu padamu. Kita sebaiknya berhenti datang ke dunia manusia untuk sementara waktu. Kau tahu ‘kan kita seharusnya tidak terlalu sering pergi ke dunia manusia?” Viana terkejut mendengarnya. Dia kemudian teringat pada sebuah aturan yang sudah sangat lama diikutinya. Dia tahu bahwa sesuatu yang buruk pasti akan terjadi pada bidadari yang terlalu lama berada di dunia manusia. “Kau benar,” kata Viana kemudian, sambil menekan perasaannya. “Kita memang tidak boleh seenaknya datang dan pergi ke dunia manusia.” “Ya, aku juga sebenarnya masih ingin mendengar nyanyian pemuda itu lagi. Tapi apa boleh buat, negeri kita punya aturan sendiri.” Setelah berkata demikian, Ariela pun pergi. Dia hendak memberitahukan hal yang sama pada bidadari yang lain. Sepeninggal Ariela, Viana tampak berpikir keras. Dia tampak kembali termenung di taman tempat dia biasa menyendiri. Ariela memang benar, dunia manusia sangat berbahaya bagi seorang bidadari. Namun perasaannya pada Turan sudah terlalu dalam. Dia tidak bisa membayangkan dirinya berpisah dari pemuda itu. Dia lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon besar di belakangnya. Pikiran bahwa dirinya tidak bisa lagi bertemu dengan pemuda pujaannya membuatnya menitikkan air mata. Di dalam benaknya muncul sebuah pertanyaan: haruskah dia berhenti menemui Turan?
Di tepi danau, Turan tampak sedang duduk menunggu. Biasanya dia akan langsung menyanyi, tapi kali ini ada seseorang yang sedang ditunggunya. Begitu pentingnya orang itu, sampai dia berpikir untuk tidak jadi menyanyi dan pulang ke rumah bila orang itu tidak muncul. Viana, nama orang itu. Gadis cantik itu telah merubah Turan dalam beberapa hal. Gadis itu kini menjadi satu-satunya pendorong semangat Turan untuk menyanyi. Dulu, dia menyanyi di tepi danau hanya untuk kesenangan pribadi. Kini, dia hanya mau menyanyi bila gadis itu muncul di hadapannya. “Turan?” Sebuah suara yang lembut memanggil namanya. Turan menoleh dan tersenyum lebar mendengar suara itu. “Viana! Akhirnya kau datang!” Dia berlari ke arah Viana dan tanpa sadar memeluknya. Viana terkejut melihat sikap Turan, tapi dia diam saja. Dia kini tahu Turan juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Hal itu semakin menetapkan hatinya. Dia juga menginginkan Turan melebihi apapun di dunia ini. Hingga beberapa minggu ke depan, mereka tetap melanjutkan pertemuan mereka di tepi danau. Viana memilih untuk tetap pergi ke dunia manusia diam-diam, walau dia tahu bahwa dia telah melanggar peraturan dunianya. Saat dia bersama Turan, dia merasa semua kegalauan hatinya terlupakan. Dia tidak lagi memikirkan tentang aturan yang dilanggarnya, dan dia bahkan tidak lagi memikirkan tentang dunianya. Baginya, tidak ada lagi yang lebih penting selain menghabiskan waktu bersama pemuda itu. Turan pun merasakan hal yang sama. Dia telah yakin bahwa dirinya telah jatuh cinta pada gadis misterius itu. Dia merasa nyanyiannya kini berbeda dengan yang dulu. Kini, dia
benar-benar menyanyi dengan hatinya, dan bukan hanya dengan mulutnya. Viana adalah sumber inspirasi baginya, dan mungkin juga belahan jiwanya yang telah dicarinya selama ini. “Viana, aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” kata Turan setelah selesai menyanyi. “Apa itu?” jawab Viana. “Aku ingin tahu apa aku boleh bertemu dengan orangtuamu?” Viana terkejut mendengar permintaan Turan. Dia tampak terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Aku...aku sebenarnya sudah tidak punya orang tua,” katanya berbohong. “Apa?” tanya Turan dengan bingung. “Jadi kau hidup sendirian?” “Orang tuaku meninggal saat aku remaja. Aku kini hidup dari belas kasihan orang-orang di desaku.” Dia masih tidak ingin Turan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dia takut Turan akan menjadi takut padanya dan meninggalkannya. “Tapi, kenapa kau tiba-tiba ingin bertemu dengan orang tuaku?” Turan tersenyum. “Karena aku ingin tahu apakah mereka setuju punya menantu seorang pembuat patung kayu.” Viana terdiam memandang wajah Turan. Dia tidak menyangka pemuda itu akan melangkah hingga begitu jauh, dan begitu cepat. Meskipun begitu, Viana tidak menolaknya. Kata-kata itu, walau mengejutkan, terdengar begitu indah di telinganya. Dia langsung memeluk Turan. Dia menangis, mengeluarkan luapan kebahagiaan hatinya. Turan balas memeluknya. Dia sudah tahu jawaban apa yang didapatnya.
Tidak lama setelah itu, Viana dan Turan pun menikah. Peristiwa itu agak mengejutkan bagi Tuzan, walau dia sudah menduga kalau anaknya sering menemui seseorang di tepi danau. Orang-orang di kota tempat tinggal Turan tampak takjub melihat kecantikan Viana. Mereka belum pernah melihat gadis secantik itu di kota kecil mereka. Bahkan mungkin di seluruh negeri ini tidak ada yang bisa menyamai kecantikannya. Ketika Viana menerima lamaran Turan, dia mengajukan dua syarat. Yang pertama adalah Turan tidak boleh lagi menyanyi di danau. Yang kedua, dia meminta Turan pindah ke kota lain dan memulai hidup baru di kota tersebut. Turan merasa heran, dan mendapat kesan kalau Viana mencoba menjauhi danau itu untuk suatu alasan. Walaupun begitu, dia tidak merasa keberatan menuruti kedua syarat itu. Bersama dengan Tuzan, mereka berdua kemudian pindah ke kota lain di sebelah barat. Di sana, Turan dan Tuzan membangun dua bangunan terpisah. Yang satu adalah rumah untuk Tuzan, dan yang satunya lagi adalah rumah untuk Turan dan Viana. Mereka juga membuat sebuah toko kecil di mana mereka kembali membuka usaha sebagai pembuat patung dari kayu. Seperti halnya di kota sebelumnya, wajah cantik Viana kembali menarik perhatian para penduduk kota. Wajahnya yang cantik dan sifatnya yang ramah membuat banyak orang ingin dekat dengannya. Para lelaki di kota itu akhirnya harus kecewa saat mengetahui kalau gadis cantik itu sudah bersuami. Mereka menjuluki Turan sebagai pria paling beruntung di dunia.
Semenjak pindah ke kota baru, Turan memang tidak lagi menyanyi. Sebagai gantinya, Viana menjadi sumber inspirasi baginya dalam membuat patung. Dia membuat lusinan patung dengan istrinya sebagai model. Patung-patung itu ternyata lebih disukai daripada patungpatungnya yang lama. Di kota baru itu, mereka hidup bahagia. Dan walaupun mereka hidup apa adanya, mereka tidak pernah merasa kekurangan sedikit pun.
Tanpa terasa, waktu sudah mencapai tiga tahun lamanya. Selama tiga tahun itu, Turan dan Viana masih tetap bersama dan tetap terlihat bahagia. Sayangnya, setelah sekian lama menikah, mereka tidak juga mempunyai anak. Walaupun begitu, hal itu tidak mengganggu kehidupan mereka berdua. Mereka saling memiliki satu sama lain, dan itu sudah cukup bagi mereka. Namun belakangan, Turan melihat ada yang ganjil pada istrinya. Kedua matanya mulai terlihat agak cekung, dan di wajahnya juga mulai tampak keriput-keriput yang dirinya tampak lebih tua. Dia sering memergoki istrinya mendudukkan dirinya di kursi dapur dengan wajah yang tampak kelelahan dan napas yang terengah-engah. Karena merasa khawatir, dia sering menanyakan kondisi istrinya, tapi istrinya selalu mengatakan kalau dia tidak apa-apa. Tetapi tubuh Viana tidak bisa berbohong. Kondisinya menjadi semakin lemah, dan lama kelamaan dia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tabib-tabib yang datang untuk menyembuhkannya semua menemui jalan buntu. Mereka tidak tahu penyakit apa yang diderita gadis cantik itu. Turan pun menjadi semakin sedih. Dia merasa tidak berdaya menolong istrinya. Hatinya terasa teriris setiap melihat istrinya yang sakit memaksa diri untuk tersenyum. Pada suatu hari, Turan tampak sedang duduk termenung di depan rumahnya. Dia terus saja memikirkan istrinya yang tampak semakin lemah dari hari ke hari. Dia khawatir bila ini berlangsung terus, maka istrinya akan meninggal. Tapi apa lagi yang bisa dilakukannya? Siapa yang bisa menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh para tabib terkenal sekalipun? “Kau yang bernama Turan, bukan?” tanya sebuah suara. Turan menoleh, dan melihat seorang gadis cantik sedang menatap dirinya. Pakaiannya berwarna serba merah, bahkan sampai ke gelang dan bandonya. Gaya berpakaian gadis itu sangat mirip dengan istrinya dulu. “Apa aku mengenalmu?” tanya Turan sambil menatap gadis itu dengan penuh selidik. Gadis berpakaian merah itu tersenyum. “Aku mengenalmu, tapi kau tidak pernah mengenalku.” Jawaban itu membingungkan Turan. “Tujuanku datang kemari sebenarnya adalah untuk bertemu dengan istrimu. Aku dengar dia sedang sakit, bukan?” Turan tertunduk sedih. “Ya, dia sedang sakit. Hingga kini tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Kini aku tidak tahu harus berbuat apalagi.”
“Izinkan aku bertemu dengannya,”kata perempuan itu. “Aku ingin bicara padanya.” Alis mata Turan berkerut. Haruskah dia percaya pada gadis asing ini? “Apa kau bisa menyembuhkan istriku?” tanyanya dengan curiga. Gadis berpakaian merah itu tersenyum lagi. “Itu semua tergantung kau dan dia.” Walau masih tidak mengerti dengan kata-katanya, Turan lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju ke kamar Viana yang sedang sakit. Di kamar itu, di atas sebuah ranjang kayu, tampak Viana sedang berbaring. Wajahnya yang sekarang tampak jauh lebih tua dari umurnya. Matanya yang dulu indah kini tampak cekung menyedihkan. Rambutnya, walau masih terlihat tebal, kini tampak telah memutih seluruhnya dan terkulai halus di atas bantal. Tubuhnya tampak kurus, dan kulitnya tampak keriput seperti layaknya orang yang sudah tua. Gadis berpakaian merah itu tampak sedih saat melihat Viana. Dia terlihat bagai seorang sahabat yang sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Merasakan kehadiran orang di kamarnya, Viana membuka mata. Kedua matanya yang dulu berwarna biru penuh keceriaan, kini telah menjadi abu-abu pucat. Kedua mata itu memandang ke arah Turan, yang kemudian tersenyum balik padanya. Setelah itu, kedua mata itu beralih pada orang yang satunya lagi. Ketika matanya bertemu pandang dengan gadis itu, dia tersenyum lebar. “Ariela, apa kabarmu?” katanya dengan suara yang lemah. “Viana!” Ariela sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia langsung berlari ke tempat tidur dan memeluk Viana. Air matanya tumpah melihat penderitaan sahabatnya itu. “Kenapa kau jadi begini, Viana?” katanya sambil menangis. “Kenapa kau meninggalkan kami?” Viana balas memeluk dengan tangannya yang lemah. “Maafkan aku, Ariela. Aku sebenarnya ingin cerita padamu, tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam masalahku.” Ariela kembali menatap wajah sahabatnya. Sulit dipercaya kalau wanita tua di hadapannya ini dulunya adalah seorang bidadari yang cantik. Dia menghapus air matanya, lalu berkata pada Turan, “Dia tidak pernah cerita tentang masa lalunya, bukan?” Turan terdiam karena heran. “Bagaimana kau tahu?” katanya. “Sudah saatnya kau tahu tentang dirinya yang sebenarnya.” Ariela memandang Viana sejenak, lalu kembali berbicara pada Turan. “Aku dan Viana bukan berasal dari duniamu. Kami sebenarnya bukan manusia, melainkan para bidadari yang berasal dari negeri atas langit.” “Apa?” kata Turan dengan nada tidak percaya. “Apa maksudmu?” “Ingatkah kau dulu, waktu kau sering menyanyi di pinggir danau besar? Saat kau tertidur, apakah kau mendapat mimpi tentang tubuh-tubuh yang bercahaya?” Turan sekali lagi merasa heran, tapi lalu dia mengangguk dan berkata, “Ya, aku memang bermimpi seperti itu, tapi bagaimana kau...” “Tubuh-tubuh bercahaya itu adalah kami, para bidadari. Kami merasa kagum mendengar nyanyianmu dan turun ke duniamu untuk mendengar suaramu dari dekat. Kami lalu mengelilingimu dan...”
“Cukup!” hardik Turan tiba-tiba. “Aku tidak tahu dengan sihir apa kau bisa tahu semua itu, tapi aku tidak mau mendengar kata-katamu lagi! Kau pasti seorang ahli nujum yang telah mempengaruhi istriku! Kau pasti cuma ingin mengambil keuntungan dari kami yang sedang susah!” “Turan! Sabarlah!” kata Viana mencoba menenangkan Turan. “Mana mungkin aku sabar?” kata Turan dengan marah. “Apa kau mau aku diam saja mendengar omong kosong darinya?” Ariela lalu bangkit berdiri. “Kalau kau masih belum percaya, maka akan kutunjukkan padamu!” Ariela merentangkan kedua tangannya. Secara perlahan-lahan, tubuhnya tampak mulai diselimuti cahaya. Cahaya itu makin lama tampak makin terang dan makin menyilaukan, hingga Turan terpaksa menutup matanya dengan sebelah tangannya. Tubuhnya tampak terhuyung ke belakang, terdorong oleh kekuatan cahaya itu. “Ariela, cukup!” Viana tampak tidak tega melihat keadaan Turan. Ariela pun menghilangkan cahaya itu, dan kamar itu kembali seperti sediakala. Turan yang masih merasa kaget, tampak melihat ke sekeliling kamar. Dia ingin memastikan kalau kejadian yang baru dialaminya bukanlah mimpi. “Maafkan aku, Turan,” kata Viana dengan wajah penuh penyesalan. “Aku takut kalau kau tidak bisa menerimaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Waktu itu, saat aku pertama melihatmu, aku menatapmu bukan dengan rasa kagum, tapi dengan rasa cinta. Aku begitu bahagia saat kau melamarku, sampai-sampai aku lupa kalau aku sebenarnya tidak boleh berada di duniamu.” “Istrimu sekarang sedang sakit, Turan.” Ariela membelai rambut Viana yang memutih. “Dia bahkan kini sedang dalam kondisi sekarat. Dia telah terlalu lama berada di dunia manusia. Tubuhnya perlahan-lahan digerogoti oleh sifat-sifat buruk yang ada di dunia ini. Jika dia berada di sini lebih lama lagi, maka umurnya pasti tidak akan lama.” “Tidak mungkin.” Turan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memandang Viana. “Tidak mungkin!” Suaranya terdengar meninggi, menyiratkan berbagai emosi yang bercampur aduk. “Itu tidak benar ‘kan Viana? Itu bohong ‘kan?” Viana tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajahnya dari Turan karena merasa bersalah atas kebohongannya. Matanya tampak membasah oleh air mata. “Kenapa kau tidak katakan semua ini padaku dari awal?” Turan berjalan ke pembaringan istrinya, dan memeluk tubuh rapuh itu. “Mana mungkin aku tidak mau menerimamu? Aku mencintaimu! Apa kau tidak percaya padaku?” Dia tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Air mata mengalir turun ke pipinya. Sebenarnya yang membuatnya sedih bukanlah kebohongan istrinya, melainkan kenyataan kalau dia harus melihat istrinya meninggal tanpa mampu berbuat apa-apa. Viana pun membalas pelukan Turan dengan tangannya yang lemah. Dia sungguh merasa berdosa karena telah sekian lama membohongi orang yang dicintainya. Dia sebenarnya tidak ingin Turan bersedih karenanya, tapi ternyata kebohongannya kini membuat keduanya menderita.
Ariela pun terharu melihat pasangan itu. Dia turut berbahagia karena sahabatnya telah menemukan pria yang mencintainya dengan setulus hati, bahkan dia sedikit merasa iri karenanya. Namun dia juga merasa sedih karena penderitaan yang kini dialami oleh keduanya. “Katakan,” kata Turan pada Ariela, “apa yang bisa kulakukan untuk menyembuhkannya? Aku akan melakukan apapun untuknya.” “Turan...” Viana hendak memprotes, namun Turan menyuruhnya diam dengan menempelkan jari ke bibirnya.