NYANYIAN ELANG TERLUKA Kurnia Effendi
Kepergianku ini justru karena aku mulai
mencintaimu. Satu hal yang sangat kuhindari, setelah bertahun-tahun sulit memahami perempuan. Seharusnya aku meminta maaf, karena telah menjadi pengecut. Tapi aku yakin kamu mengerti, bahwa banyak hal sering diakhiri tanpa ucapan perpisahan. Tanpa sungguhsungguh selesai. * MALAM larut pada genangan suaramu. Kutinggalkan lounge yang hangat, bahkan ketika kamu masih menyanyikan lagu favoritku. Lagu yang selalu terngiang di antara desau gerimis, bunyi getar mesin, dan degup jantungku sendiri. Aku akan segera mengunyah kesepian, memasuki gelap malam, menuju rumah. Tempat itu hampir dua ratus kilometer dari sini. Tak terlalu jauh, namun tidak berarti dekat. Aku bisa ngebut kurang dari tiga jam, lewat tol Cikampek atau
jalur Puncak. Di sana, putriku menunggu. Aku berjanji tiba sebelum subuh, karena hendak menemani dia lari pagi di Lapangan Gasibu. Entah kenapa, kali ini permintaannya ingin kupenuhi. Bukan permintaan ibunya. Hanya karena aku laki-laki, aku tak hendak menangis. Bukan semata hatimu yang teriris pedih, tapi ternyata aku telah melukai diri sendiri. Apalagi, setiap usaha melupakanmu, lebih berarti mengingatmu. Selalu saja ada kelebat peristiwa yang menghubungkan dengan dirimu: suaramu, sentuhan gemetar tanganmu, alun napasmu... “Aku kehabisan meja. Boleh duduk di sini?” Sejak awal, aku tak bermaksud pura-pura agar bisa mendekatimu. Sejak awal, bayangbayang gelap piano membuat wajahmu tidak tampak jelas dari jauh. “O, please! Aku hanya sebentar.” Kamu tersenyum. Mengambil rokok dari atas meja dan
siap berdiri. Aku menahanmu, dengan perasaan bersalah. “Duduk saja di sini. Aku tak akan mengganggu. Aku betul-betul kehabisan meja.” “Aku tahu. Tidak seharusnya aku duduk di sini. Aku harus bersiap-siap…” “Maksudmu?” Kamu hanya tersenyum. “Sudah pesan minum?” Aku mengangguk, dan membiarkanmu pergi. Kulihat, kamu tidak menuju pintu ke luar atau lobby, tapi masuk ke rest room. Aku memberi isyarat pada pelayan yang mencariku. Warna lampu di mejaku amat temaram. Meski berkilat keemasan. Di luar, gerimis semakin rapat. Gerimis itu yang membatalkan keinginanku berjalan-jalan. Semula seseorang akan menjemput, tapi aku mengurungkan niat untuk pergi. Kupikir masih ada malam lain. Bukankah hujan di Jakarta tidak selalu tampak indah? Kadang-kadang justru berkesan sebaliknya. Apakah karena alasan yang sama, membuat lounge ini jadi penuh? Malam baru meninggalkan pukul 21, jam yang mengakhiri acara dinner. Jam ketika suara laut di belakang hotel terdengar lebih jelas, karena angin darat mulai berhembus keras. Debur ombaknya menghancurkan setiap lamunan. Setelah sebuah instrumental dari homeband hotel berakhir, pemain gitar memanggil nama penyanyi. Kulihat kamu naik ke panggung. Selanjutnya, sebuah lagu jazz ringan mengalir dari bibirmu. Nomor pembuka yang riang, dan segera mendapat tepuk tangan. Aku hampir tak mengalihkan pandangan dari wajahmu. Ternyata kamu seorang penyanyi! Ya, sungguh-sungguh penyanyi. Aku tak ingat persis, berapa gelas softdrink telah kuhabiskan. Dan berapa judul lagu telah kamu nyanyikan. Sampai agak serak suaramu, menjelang tengah malam. Kamu tidak pamit ketika pergi, kecuali kata-kata singkat di panggung. Tentu saja. Tidak seorang pun di ruang remang ini jadi lebih istimewa malam itu, sehingga kamu perlu menghampiri dan repotrepot mohon diri. “Banyak meja kosong, tapi aku ingin duduk di sini. Boleh aku menemanimu?” Belum jam sembilan, malam berikutnya, aku sudah
masuk ke lounge. “Menginap di sini atau sengaja datang?” tanyamu sambil menyalakan rokok. “Menginap. Sampai Rabu. Kamu menyanyi tiap malam?” “Ya. Kecuali Kamis, atau sedang sakit.” Kau tertawa kecil. Menghisap rokok mentol, menghembuskan asapnya, hampir singgah ke hidungku. “Wajahmu mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu…” “Memangnya kenapa?” Kamu kurang berminat, kurasa. Bahkan matamu tidak sungguh-sungguh menatapku. Kamu pasti berpikir ini rayuan basa-basi. Tanganmu memainkan korek api. “Aku serius.” Kuteguk orange juice. Kamu memanggil pelayan, minta segelas bir. “Kamu mau minum bir?” “Aku tidak minum bir,” kataku. Tidak dengan rasa malu. Kamu menatapku aneh. “Kenapa? Takut mabuk?” “Tidak. Itu hanya sebuah pilihan saja. Seperti, kenapa kamu memilih rokok itu?” Kuambil kartu nama. Kuberikan padamu. Sesaat kamu membaca namaku, nama perusahaanku, jabatanku dalam perusahaan itu, alamat kantor dan rumah. Kamu mengisap rokokmu dalam-dalam. Lalu: “Aku sudah tahu siapa kamu. Jadi, kukembalikan saja. Aku tak biasa menyimpan kartu nama.” Aku mencoba tidak tersinggung. “No problem. Tapi aku ingin tahu namamu.” “Iris,” sahutmu tanpa menunda. Iris? Seperti nama bunga. Dan memang secantik bunga. Cantik yang tersembunyi, kurasa. Mirip irish, bunga yang tidak terlalu mencolok di antara sulur-juntai daunnya. “Boleh aku memanggilmu Airis?” “Terserah saja. Mm…rasanya lucu juga. Enak didengar.” Kamu tertawa lepas. Aku suka mendengar suaramu. Istriku tak pernah bisa tertawa lepas. Ya. Akhirnya aku ceritakan tentang istriku kepadamu. Lebih cepat dari laki-laki lain, katamu. Kamu boleh tidak percaya, Airis: sejak awal aku tidak bermaksud nakal. Semua kulakukan dengan kesungguhan. Bahkan ketika suatu malam, di kesempatan tugas yang lain, aku
menggenggam tanganmu. Mengantarmu pulang ke Tebet. Atau menunda mengantarmu sampai keesokan harinya, setelah menghabiskan malam yang hangat. Di kamar hotel yang lain. Bagiku, itu cukup serius. Aku merasa harus menghormatimu. Aku tidak membiarkanmu keluar sendiri dari hotel. Aku selalu mengajakmu sarapan, dengan rambut masih basah. Mengajakmu membeli sesuatu di mall, dan berpisah di sana. Kadang-kadang kutunggu sampai kamu benar-benar masuk ke dalam taksi. Lalu menelepon beberapa kali sebelum tenggelam dalam tugas. Dan aku akhirnya tahu, ketika panggilanku tidak kamu jawab, berarti kamu sedang terlelap di rumah kosmu. * KAMU memasuki celah hidupku lewat gerimis malam. Lewat kesepian yang tak seharusnya singgah, sementara jadwal demikian padat. Tapi, gerimis panjang itu, telah mengubah perasaanku menjadi berbeda dari biasa. Gerimis yang lain menampar kaca jendela. Kita menonton Jakarta yang kuyup dari ketinggian. Dalam kamar temaram, kamu menyukai suhu 16 derajad. Kamu menyukai bulubulu halus di lenganku. Dan kamu bercerita tentang orang tuamu. Mula-mula tampak ragu. Mungkin khawatir akan kutanggapi dengan separuh perhatian. Atau dengan ucapan: ah, kisah klise gadis zaman sekarang! Tapi kurasa mataku terlihat berbeda dengan yang lain. Mata yang selalu bersungguhsungguh. Dari awal, kita berdua menyukai keterbukaan. Karena aku sulit berpura-pura. Kecuali – mungkin – terhadap istriku yang memang tak pernah bertanya perihal kegiatanku. Tak pernah mencari noda lipstik, wangi parfum lain, atau sesuatu yang aneh dari tingkahku. Aku memang tidak cerita karena tidak ditanya. Aku tahu, semua ceritamu benar. Ayahmu pergi dengan perempuan lain. Ibumu berubah emosional, dan suka melampiaskan kemarahan kepadamu. Lantas diam-diam kamu berjanji, tidak akan berhubungan dengan laki-laki beristri. Karena akan menyakitkan perkawinan
perempuan lain. Tapi, ternyata garis tanganmu bicara lain. Kamu dengan sadar melangkahi janji. Ketika wajahmu jatuh ke dadaku, ada perasaan tenteram pada dirimu. Aku selalu menangkapnya melalui tarikan napasmu. Saatsaat seperti itu, terasa aku lebih mampu memahamimu dibanding seseorang di rumah. Itu yang membuat aku bertambah sedih. “Kamu tidak ingin merokok?” tanyamu. Aku menggeleng. “Kenapa? Takut sakit? Istrimu melarang?” “Itu hanya pilihan saja. Aku merokok sejak kelas empat SD.” “Percaya. Semua yang kamu katakan, aku percaya. Juga tentang putri tunggalmu.” Ah, hanya itu satu-satunya yang selalu membuat aku rindu rumah. * IRIS. Seperti nama bunga. Memang secantik bunga. Tapi kata iris mengingatkan sebilah pisau. Entah perasaan siapa yang teriris oleh hubungan kita. Aku, kamu, atau istriku? Atau, kelak, anakku? Kusentuh jendela dingin. Gerimis di luar masih melelehkan cahaya lampu. Bercak kuning berhamburan ke aspal jalan, berulang-kali digilas mobil yang meluncur sepi. Waktu beranjak meninggalkan tengah malam. Sepotong hati tersuruk ke dasar malam. Cinta, bisa jadi tak pernah ada, karena hampir selalu salah tempat. Aku bahkan sulit mengerti, mengapa seorang istri harus kehilangan inisiatif? Sehingga segala keputusan dibebankan ke pundakku. Menurut dan pasrah saja pada setiap kehendakku. Bahkan ketika di tempat tidur, ia menjadi mentimun dingin yang boleh dibuat apa pun. Dikupas, dipotong, dicincang, tanpa melawan. Seperti tidak memiliki getah yang menyebabkan tangan lengket. Aku menjadi terbiasa melawan sepi sendiri. Hanya menyaksikan sebuah mesin yang terampil menyelesaikan semua urusan dapur dan kebersihan rumah. Ia telah membersihkan seluruhnya, termasuk keinginan-keinginan liarku. Tentu saja karena ia bukan Olenka, tokoh utama pada novel Budi Darma yang mirip magma. “Kau seorang yang setia, Glen.” Ucapanmu sangat mengejutkan. Ya. Ketika sedang kupilih sepasang sepatu untuk istriku, di tengah sebuah plaza yang riuh, tiba-tiba kamu
mengusik perasaanku. Seperti bunyi peluit di lapangan sunyi. “Maksudmu?” “Oleh-oleh itu, aku yakin, tidak bermaksud menutupi hubungan kita, bukan? Dari matamu aku tahu, kamu sangat paham apa yang disukai istrimu. Orang yang setia akan tahu persis segala yang dimiliki dan disukai pasangannya.” Aku tertegun. Karena kamu mengatakannya dengan perasaan tulus. Membuat perasaanku runtuh. Siang itu, aku sangat berharap kamu mampir ke hotel. Dan kita membangun percintaan paling panas yang pernah kita lakukan. Sampai kulihat matamu basah. Sesudahnya, kurasakan kamu menjadi lebih pendiam. Menyadari itu, aku gemetar. Menyadari sesuatu yang kutakutkan. Malamnya kamu tak datang menyanyi. Ingin sendiri di rumah, katamu melalui telepon. Aku tahu, itu saat yang baik untuk tidak saling mengganggu. Aku pun berjalan-jalan sendiri. Mungkin ini saatnya mencari sesuatu untukmu. Apa ya? Lalu terpikir: kostum yang akan membuatmu lebih kemilau! Ah, Iris! Seperti nama bunga. Seorang perempuan dengan tumpukan trauma masa kecil. Merasa gemilang hanya di malam hari. Bersinar ketika sekelilingmu padam, atau mabuk. Bayangan tentangmu membawa langkahku ke sebuah deretan baju wanita yang agak fantastik. Kuambil setelan paling seksi pada sebuah gantungan. Entah kenapa, aku jadi suka melihat bentuk kakimu yang ramping, paha yang berkilau ketika spot light menyambar. Juga punggung terbuka yang selalu meremang sewaktu kukecup. “Tolong, ini dibungkus dengan kertas yang bagus. Punya warna ungu?” tanyaku pada pramuniaga. Tiba-tiba teringat warna ungu. Kuku jemarimu sering berwarna ungu. Kutinggalkan Plaza Indonesia menjelang tutup. Aku menangkap keletihan pada mata pramuniaga. Seperti apa letih yang bergayut dan begitu erat kau sembunyikan? Telepon genggamku bergetar, ketika sedang kuminta kunci kamar pada receptionist hotel. Di seberang, anakku belum tidur. “Papa besok jadi pulang, kan?” “Ya, Sayang. Tapi mungkin tengah malam. Papa harus menyelesaikan pekerjaan sampai
sore.” Bagai ada embun yang mengalir ke rongga dada. “Kenapa belum tidur? Sudah larut, lho!” “Lala kangen!” ujarnya merajuk. “Sekarang mau bobo. Tapi hari Minggu Papa harus ikut lari pagi, ya!” Aku setuju pada perintahnya yang nyaring. Begitu nyaring, seperti lonceng yang membangunkan seseorang dari tidur lelap. Memalu jantungku. Membuatku nyaris tak bisa memejam mata. Sehingga kamu sempat bertanya – mengapa matamu sembap? – ketika pagi-pagi kusampaikan hadiah. Aku hanya menggeleng. Mengusir risau. Di muka pintu aku menciummu agak lama. Dan mengatakan, bahwa seharian bakal sangat sibuk. Kuingat senyummu di tangga lantai 4 rumah susun yang tidak terlalu terang. Tanganmu melambai, saat kakiku turun. Aku bergegas. Agar tak tergoda lagi untuk singgah ke kamarmu. Dan merasa sangat lega, sewaktu kembali berada di jalan raya. Menyusuri Jakarta yang padat, jadwal pekerjaan yang padat. Dan dadaku, tibatiba memadat dipenuhi perasaan bersalah. Entah kepada siapa. * AKU baru saja sampai ketika kamu naik panggung. Aku tak akan duduk lebih lama dari satu lagu. Tapi matamu memergoki kehadiranku, dan ingin menahanku dengan Through the Fire. Jika saja aku pantas melolong, ingin kukatakan padamu: kepergianku ini justru karena aku mulai mencintaimu. *** (untuk sahabat, Djenar Maesa Ayu) Jakarta, 22 April 2002 Pernah dimuat di Majalah Femina