46
Artikel Gerakan Sosial Sebagai Peristiwa Sejarah Peninna Simanjuntak Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU Proses gerakan sosial dapat dipahami sebagai proses yang luar biasa, kasar, dan merupakan gerakan terpadu. Sebab-sebab gerakan sosial tidak hanya dipahami sebagai peristiwa kontemporer atau manifestasi frustrasi marginal atau kegelisahan saja. Gerakan sosial dapat terjadi karena berbagai pergeseran (anomali) sosial atau ketimpangan yang fundamental terutama perjuangan antar elit, perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan sosial, maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas, seperti konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial, juga organisasi-organisasi politik dari kelompok sosial yang lebih besar.
Pengantar Sejarah adalah segala kegiatan manusia dan segala kejadian atau peristiwa yang ada hubungannya dengan kegiatan manusia pada masa lampau yang mengakibatkan perubahan dalam aspek kehidupan manusia. Menurut Sartono Kartodirdjo, ada dua pengertian sejarah. Pertama, sejarah dalam arti objektif. Kedua, sejarah dalam arti objektif. Sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi tidak dapat diulang lagi. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subjek manapun; jadi, objektif berarti tidak memuat unsurunsur subjek pengamat atau pencerita. Sejarah dalam arti objektif adalah suatu konstruksi, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kesatuan itu menunjukkan koherensi, pelbagai unsur bertalian satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Fungsi unsur-unsur itu saling menopang dan saling bergantung satu sama lain (1992: 14-15). Sejarah berupa urutan, kejadian yang mengawali dan rangkaian sebab-akibat. Oleh karena itu, sejarah tidak hanya mengemukakan keumuman dari ilmu yang nomotetik (menyusun hukum), tetapi juga mengemukakan keunikan-keunikan dari ilmu yang ideografik (mendeskripsikan hal-hal yang khusus). Sejarawan dalam hal ini perlu menciptakan model untuk merekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 1994: 39). Van der Meulen mengungkapkan bahwa ilmu sejarah berusaha untuk menganalisis dan mengadakan klasifikasi tentang gejala-gejala sejarah, mengumpulkan beberapa pola (patterns) dalam tingkah laku manusia sehingga dapat dimengerti oleh akal budi, maka berdampingan dengan itu mencatat penyimpanganpenyimpangan manakah yang pernah dikonstalasikan sehingga dapat didekati secara rasional. Tugas ilmu sejarah adalah untuk mengerti masa silam dan menerangkannya, tidak untuk menciptakan kembali atau menghidupkan kembali pada masa sekarang, sebab sejarah menginginkan adanya kemajuan. Ilmu sejarah mencoba untuk mengerti struktur suatu peristiwa yang HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
bersifat kompleks. Dengan demikian, ilmu sejarah mencoba membangun kepastian dan objektivitas sejarah (1987: 7). Pengetahuan yang terperinci mengenai masa silam tentu saja tidak bisa membawa kita kepada suatu ramalan yang sempurna mengenai apa yang terjadi besok atau hari sesudahnya, namun ia bisa dan harus menyediakan suatu pengertian yang lebih baik mengenai masa sekarang. Dan suatu pengertian baik mengenai masa sekarang merupakan salah satu jaminan yang paling baik terhadap suatu uraian yang bijaksana mengenai masa sekarang ini dengan suatu pandangan terhadap masa depan yang hendak kita tuju (Renier, 1997: 244). Gerakan sosial adalah aktivitas manusia dan sekaligus peristiwa sejarah. Gerakan sosial berdimensi tiga yaitu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Gerakan sosial telah berlangsung, sedang berlangsung dan akan tetap berlangsung dalam kehidupan manusia yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan menuju ke arah modernisasi. Gerakan sosial sebagai peristiwa sejarah adalah lahan resmi penelitian sejarah. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Khususnya citra utopis atau pembebasan yang bertumpu pada simbol-simbol persamaan, kemajuan, kemerdekaan dengan asumsi sentral gerakan sosial akan menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik. Proses gerakan sosial dapat dipahami sebagai proses yang luar biasa, kasar, dan merupakan gerakan terpadu. Sebab-sebab gerakan sosial tidak hanya dipahami sebagai peristiwa kontemporer atau manifestasi frustrasi marginal atau kegelisahan saja. Gerakan sosial dapat terjadi karena berbagai pergeseran (anomali) sosial atau ketimpangan yang fundamental terutama perjuangan antar elit, perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan sosial, maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas, seperti konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial, juga
Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/ Agustus 2005
47
Artikel organisasi-organisasi politik dari kelompok sosial yang lebih besar. Gerakan sosial tidak dapat disamakan dengan kampanye-kampanye bagi reformasi institusional, tetapi dapat disebut sebagai kontra-kultural atau bentukbentuk alternatif dari tindakan kolektif atau sebagai gerakan protes. Gerakan sosial yang dimulai dari belakang aktor dapat ditransformasikan ke dalam kekuatan sosial positif atau ke dalam bentuk baru dari solidaritas sosial. Sejak abad ke-19, gerakan sosial sebagai gerakan protes telah bergejolak di mana-mana, di dalam masyarakat di lokasi yang beraneka ragam di seantero dunia termasuk di Indonesia. Gerakan sosial menyajikan bentuk-bentuk tertua dari segala tingkah laku kelompok yang pernah diketahui orang, beragam, mulai dari pemberontakan lokal dan spontan sampai kepada gerakan yang terorganisasi yang dapat menghanyutkan seluruh masyarakat. Bentuk dan isi gerakan sosial juga berbeda-beda. Beberapa di antaranya menggunakan kekerasan dan perlawanan rapi, sedang yang lainnya lebih menekankan pada pembaharuan yang bersifat damai dan menarik diri secara pasif. Banyak dari gerakan sosial tersebut memusatkan diri pada pembentukan sekte-sekte agama baru dan sering organisasi semacam ini aktif menghembuskan pertikaian politik. Pada gerakan-gerakan tertentu, para partisipan secara sadar berjuang untuk menghidupkan kembali adat tradisional atau kepercayaan mereka dan membersihkan dari elemen-elemen asing. Gerakan sosial disebut juga gerakan revitalisasi. Anthony Wallace mendefinisikan revitalisasi sebagai ikhtiar yang disengaja, diorganisasi, dan disadari oleh pada anggota masyarakat untuk membentuk budaya yang lebih memuaskan. Para partisipan dalam gerakan ini merasa bahwa aspek utama dalam budaya mereka saat itu tidak mampu lagi bertahan. Revitalisasi tidak saja melibatkan perubahan yang mempengaruhi hal-hal yang hampir punah, tetapi juga akan mengarah pada penciptaan budaya baru. Konsep revitalisasi Wallace mencakup pergerakan sosial dalam bentuk gerakan nativistik, millenial, mesianik, nostalgik, sektarian, dan revivalis (Adas, 1988: xii). Revitalisasi dan berbagai situasi yang menimbulkannya memberikan bahan kajian dislokasi dan deprivasi, demikian juga sebagai pendorong inovasi yang dihasilkan dari kontak budaya dan proses akulturasi. Gerakan–gerakan sosial ini memberikan kesempatan emas untuk meneliti tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh perubahan yang dipercepat dan beberapa respon yang potensial terhadap gerakan itu. Jika diperhatikan bahwa beberapa masyarakat pada zaman kolonial atau sesudah kolonial di Asia, Afrika, dan Oceania yang dijadikan fokus berbagai kajian gerakan sosial, revitalisasi telah terlihat sebagai contoh kunci dari protes sosial terhadap kondisi yang
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
dihasilkan oleh pemerintahan Eropa. Gerakan sosial dipandang sebagai usaha untuk menciptakan ideologiideologi baru, lembaga-lembaga, dan persatuan sosial di mana pandangan dunia lama dan hubungan adat terkikis oleh transformasi yang dihasilkan oleh penaklukan Eropa. Gerakan sosial merupakan mobilisasi awal politik massa dan pengungkapan cikal bakal sentimen nasionalis di kalangan masyarakat terjajah. Gerakan sosial sebagai suatu proses merupakan hal yang sangat kompleks. Situasi yang serba kompleks dapat ditinjau dari segi-segi insiden-insiden yang menentukan hubungan sebab-akibat di antara faktorfaktor variabel (ekonomi, sosial, politik, keagamaan). Gerakan sosial menghendaki penjelasan genetis dan analisis. Analisis berdasarkan interpretasi satu faktor, misalnya ekonomi, tidak akan cukup untuk menerangkan pola-pola sejarah. Pendekatan menurut satu garis penelitian akan berpihak dan uraian terlalu sederhana. Untuk mencakup suatu kehidupan historis yang bersegi banyak perlu diadakan analisis multidimensi yang mampu mengungkapkan faktorfaktor atau unsur-unsur ekonomi, sosial, politik, religius, dan sebagainya. Kompleksitas kehidupan historis akan dapat diuraikan tidak hanya sebagai kesatuan yang terdiri atas faktor-faktor di atas, tetapi juga bagaimana jalinan faktor-faktor itu dalam interaksinya dan memberi tekanan mana di antara faktor-faktor itu yang lebih dominan. Gerakan sosial termasuk kajian sejarah lokal. Sejarah lokal sebagai mikro-historis perlu didekati dari sudut pendekatan multidimensional. Pendekatan ini mampu mengungkapkan kehidupan pada tingkat lokal yang beraneka ragam dan penuh dinamika di berbagai bidang. Gerakan sosial sebagai peristiwa mikro-historis mungkin saja tidak memiliki pengaruh yang berarti pada jalannya sejarah nasional, akan tetapi pola-pola atau perbandingan-perbandingan dari kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat lokal akan turut menerangi pola-pola struktur pada umumnya. Pendekatan ini membuka kemungkinan untuk melakukan perbandingan antara pelbagai daerah sebagai unit sosio-kultural. Dengan sejarah komparatif dapat ditonjolkan faktorfaktor yang pokok yang menjadi penentu pola-pola perkembangan historis. Sebagai contoh dapat disebut, antara lain hubungan antara agama, petani dengan kegelisahan agraris, relasi antara lembaga-lembaga religius di sekitar kraton dan di daerah pedesaan, relasi antara elit agama dan elit sekuler. Pendekatan multidimensional juga diperlukan untuk mencari keterangan proses perubahan sosial yang sangat kompleks; perpecahan yang terjadi antara golongan elit dalam menghadapi unsur-unsur baru dan pergolakan yang timbul karena perebutan kekuasaan, munculnya golongan elit baru karena modernisasi. Proses-proses historis semacam ini biasanya mengikuti pola-pola perkembangan tertentu sehingga dapat Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
48
Artikel diadakan generalisasi. Dengan demikian, kita dapat menguraikan perkembangan historis, pola-pola, struktur-struktur, dan tendensi-tendensi yang umum dalam sejarah nasional. Studi mengenai gerakan sosial mencakup masalah-masalah solidaritas dan konflik golongan dengan penekanan pada aspek-aspek golongan seperti perilaku, organisasi, pengelompokan, pemimpin, ideologi, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan dinamis antara kelompokkelompok sosial dalam gerakan sosial. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah konfigurasi sosial, lembagalembaga sosial, norma-norma, nilai-nilai, dan sikap ideologis yang membentuk dan mengkondisikan gerakan sosial. Konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan tiap-tiap masyarakat. Oleh karena itu, melekat pula dalam tiaptiap bangsa. Akan tetapi, konflik-konflik sosial di dalam berbagai masyarakat selalu memiliki derajat dan polanya masing-masing. Mengapa? Karena sumber yang menyebabkanpun memiliki ragam dan pola yang tidak sama. Bertolak dari uraian di atas dan berkaitan dengan judul tulisan ini, maka permasalahan pokok adalah faktor-faktor laten apakah yang sesungguhnya telah menyebabkan gerakan sosial dan yang menjadi sumber konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di kemudian hari? dan faktor-faktor apakah yang mengintegrasi-kan masyarakat yang memiliki konflikkonflik semacam itu?
Pengertian Gerakan Sosial Gerakan sosial adalah suatu organisasi informal yang mungkin mencakup unit-unit yang terorganisasikan secara formal, yang bertujuan mencapai tujuan-tujuan tertentu (Soekanto, 1993: 324). Eric Hoffer secara agak berani mendalilkan bahwa semua gerakan massa, tak peduli apa sifatnya (agamawi, rasial, sosial, nasionalistis, atau ekonomis) tak peduli apa misi suci yang diemban, memiliki sekelompok ciri tertentu yang sama, semua mampu membangkitkan pada diri para pengikutnya kerelaan untuk berkorban sampai mati; kecenderungan untuk beraksi secara kompak; fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta, dan kesetiaan tunggal. Semua gerakan massa betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya yang pertama dari satu jenis manusia, yakni manusia yang kecewa, tidak puas, dan frustrasi. Orang-orang frustrasi sedang mengalami kekecewaan pada diri sendiri karena kegagalankegagalan, merasa hidupnya tersia-sia, rusak, tak tertolong, dan tidak ada harapan. Tipe orang seperti inilah merupakan panen pertama dari gerakan massa yang mampu di satu pihak membangkitkan pada jiwa dari gerakan massa suatu arti hidup yang baru, dengan HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan memberi gambaran serta janji-janji akan hari depan yang gemilang penuh kepuasan diri (1993: viii-ix). Gerakan sosial seperti kerusuhan, pemberontakan, sektarisme dapat di-klasifikasikan sebagai gerakan keagamaan karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung untuk berhubungan dengan gerakan-gerakan yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Kebanyakan pergolakan cenderung me-miliki segi-segi yang bercorak keagamaan (Kartodirdjo, 1992: 10). Gerakan keagamaan mencakup gerakan mesianisme (juru selamat), milenial (ratu adil), nativisme (pribumi), prophetisme (kenabian), dan revitalisasi (penghidupan kembali) atau revivalisme (menghidupkan kembali). Istilah gerakan-gerakan keagamaan ini tidak selalu digunakan melalui tingkat kaca mata yang sama atau melalui tingkat ketajaman konsepsi yang tinggi. Gerakan sosial pada dasarnya dapat dianggap sebagai proses dinamika intern dalam masyarakatmasyarakat lokal atau regional. Orang masuk menjadi anggota suatu gerakan sosial karena terpikat oleh kemungkinan perubahan tiba-tiba dalam kehidupannya. Suatu gerakan sosial dapat dijadikan alat pembawa perubahan. Sejarah gerakan-gerakan sosial sebenarnya merupakan sejarah mikro yang bertalian dengan catatancatatan mendetail tentang kelompok-kelompok sosial khusus. Sejarah infra-nasional semacam ini jelas bukan sejarah berskala besar, tetapi tidak disangsikan bahwa hal itu mempunyai hubungan yang lebih luas dengan kerangka perkembangan sejarah umum.
Tipe-Tipe Gerakan Sosial Gerakan sosial merupakan salah satu proses dan mekanisme perubahan sosial. Gerakan sosial secara langsung berhubungan dengan masyarakat yang terintegrasi oleh adanya kesatuan mitos dan ekonomi. Gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang terorganisasi ditujukan pada transformasi susunan sosial. Gerakan sosial sebagai salah satu tipe khusus organisasi mengartikulasikan tuntutan-tuntutan politik dalam masyarakat Ada beberapa tipe gerakan sosial yang dapat dibedakan: (1) Gerakan yang berorientasi pada pencapaian tujuan umum yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan konkret suatu kelompok artikulasi tertentu, melainklan mengetengahkan diterapkannya prinsip keadilan yang lebih luas; misalnya gerakan yang menentang perlakuan modal (capital punishment) untuk membenahi sejumlah kelompok yang tercerabut dari masyarakatnya (para penjahat) atau untuk menghapus perbudakan. (2) Gerakan pembaharuan yang bertujuan mengubah kelembagaan politik sentral; misalnya, perluasan Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
49
Artikel hak pilih pada kelompok khusus. Tipe gerakan ini sering merupakan unsur yang penting dalam opini publik. (3) Gerakan ideologis yakni gerakan totalitas yang biasanya mengarah pada pengembangan segenap masyarakat atau pemerintahan yang benar-benar baru. Tipe ini merupakan tipe yang sangat ekstrim dalam gerakan sosial. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan nilai-nilai atau tujuan yang inklusif dan meresap ke dalam struktur kelembagaan tertentu atau untuk mengubah struktur tersebut sesuai dengan nilai-nilai atau tujuan tersebut. Gerakan ini biasanya memiliki orientasi ke masa depan yang sangat kuat dan cenderung melukiskan masa datang sebagai suatu yang sangat berbeda dari yang ada sekarang dan selalu berjuang untuk merealisasikan perubahan yang dicita-citakannya. Sering gerakan ini bersikap apokaliptis atau milenial. Tegasnya gerakan ini cenderung menuntut ketaatan total dan kesetiaan total pihak anggotanya dengan membedakan secara tegas antara teman dan musuh (Eisenstadt, 1986: 224-225). Tipe-tipe gerakan protes dan perjuangan politik yang berda-beda berakar pada tradisi pergolakan politik chiliastik, pemberontakan-pemberontakan, gerakan pembaharuan, dan heterodoksi (bid’ah). Gerakan sosial sama dengan proses pemberontakan, konflik, dan perubahan dalam masyarakat tradisional dalam lingkup atau intensitas pemberontakan, heterodoksi, gerakangerakan politik yang terartikulasi, dan perjuangan elit yang berhubungan dengan gerakan sosial tersebut.
Kategori Gerakan Sosial Pada umumnya, gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) Perbanditan sosial. Gerakan ini mencakup perampokan, pengecuan, dan penyamunan. Kegiatan ini bertentangan dengan pihak yang berkuasa atau tertib masyarakat. Yang tergabung dalam gerakan ini ialah unsur-unsur yang mengacau dan tidak termasuk sebagai warga masyarakatnya. Golongan ini dipandang sebagai rural underworld. Contohnya, pemberontakan yang dipimpin oleh Bagus Sanda dan Bagus Jabin di daerah Cirebon pada tahun 1816. (b) Gerakan protes. Gerakan ini dimaksudkan untuk memprotes keadaan atau peraturan yang dirasakan tidak adil. Contohnya, pada tahun 1839, rakyat di Krauang menuntut penggantian seorang wedana yang tidak termasuk keluarga bupati di daerah itu. (c) Gerakan revivalistik. Gerakan ini bertujuan agar rakyat lebih rajin menjalankan kewajiban agamanya. (d) Gerakan nativistik. Gerakan ini bertujuan untuk menegakkan kembali kerajaan kuno. Contohnya, Kerajaan Banten dalam gerakan Cikandi Udik tahun 1845. HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
(e) Gerakan mesianistik. Gerakan ini memuat harapan akan kedatangan ratu adil atau imam mahdi. (f) Gerakan perang sabil. Gerakan ini dapat diamati pada peristiwa Bandung tahun 1885 (Kartodirdjo, 1982: 211-213).
Pola Kepemimpinan Kepemimpinan adalah suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan (concoersive) untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu (Gibson, 1992: 334) Kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh. Pemimpin berurusan dengan tujuan individu, kelompok, dan organisasi. Keefektifan pemimpin dipandang dengan ukuran tingkat pencapaian satu atau kombinasi tujuan tersebut. Berpangkal pada premis bahwa kelompok inti sosial terdiri atas golongan kecil ada sejak masyarakat manusia diorganisasikan. Golongan kecil (minority) sebagai elit kekuasaan mempunyai peranan kepemimpinan dalam organisasi sosial. Masalah kepemimpinan sebagian besar dapat dikembalikan kepada masalah khusus struktur sosial yakni struktur kekuasaan. Kekuasaan berdasarkan imbalan dan legitimasi ditentukan oleh peranan individu dalam suatu hirarki. Peranan itu terdapat dalam kelompok formal dan informal. Kekuasaan keahlian dan kekuasaan referen pemimpin ditentukan oleh ciri-ciri pribadi. Dalam masyarakat tradisional, kepemimpinan berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Kepemimpinan formal ada pada raja, bangsawan, dan golongan aristokrasi. Golongan ini lazim disebut elit politik. Sebagai pemegang kekuasaan, elit ini mencakup formasi sosial yang merupakan asal mula kepemimpinan itu. Pengaturan lembaga untuk keputusan politik menunjukkan suatu hirarki di mana ketentuan politik adadi tangan golongan aristokrasi. Elit ini memegang peme-rintahan, administrasi, dan memimpin perang. Lazimnya golongan aristokrasi ini mencakup para penguasa daerah, birokrasi, angkatan bersenjata, pengadilan, dan urusan keagamaan. Kehidupan golongan ini terpisah dari rakyat kebanyakan. Tidak hanya karena perbedaan kedudukan politik tetapi juga perbedaan kekayaan dan status sosialnya. Dalam masyarakat tradisional, perbedaan antara golongan yang kultural superior dengan golongan yang kultural inferior diterima sebagai kenyataan dan dibenarkan sebagai susunan yang telah dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Konsep kepemimpinan pada masyarakat tradisional terbentuk atas dasar kekuasaan legal-rasional dan kharismatik. Kharisma terdiri atas kharisma murni dan kharisma rutin. Kharisma murni adalah kharisma yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil usaha atau prestasi. Sedangkan kharisma rutin dalah kharisma yang diperoleh seorang pemimpin karena menjabat
Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
50
Artikel suatu jabatan tertentu atau yang diwariskan menurut garis keturunan. Konsepsi pribumi tentang kharisma lebih dikenal dengan sebutan wahyu, pulung, atau cahaya nurbuat. Pendiri kerajaan atau dinasti mendapat pulung. Dinasti akan tetap berkuasa selama pulung tetap dimiliki. Bila pulung berpindah, dinasti akan runtuh. Pulung digambarkan secara konkret sebagai benda bercahaya sebesar buah kelapa yang dapat bergerak di udara dan jatuh di tempat seseorang. Prinsip kharismatik, baik berupa pulung, ndaru, dan wangsit yang terwujud sebagai keajaiban seperti sinar yang dipancarkan dari tubuh menjadi dasar legitimasi kekuasaan raja dan dinastinya, atau utusan suci pemimpin mesianistik. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa gerakan sosial, baik yang evolusioner maupun yang revolusioner berkisar sekitar pemimpin religius sebagai minoritas kreatif. Contohnya, Haji Hasan dari Cimareme tahun 1919. Pemimpin religius atau elit kultural ini dianggap oleh pengikutnya sebagai seorang nabi (utusan Tuhan). Tokoh kenabian digunakan sebagai wahana wahyu Tuhan yang menyediakan kerangka tindakan bagi kelompok-kelompok yang tertindas dan mengembangkan potensi mendasar yang menentang keyakinan dan pranata-pranata yang ada. Nabi tersebut menjanjikan keselamatan bagi para pengikutnya, diungkapkan melalui bayangan masa depan yang penuh kesejahteraan (millenial vision), yang beraneka ragam sesuai dengan idiom kebudayaan di mana dia berada. Tiap-tiap gerakan memiliki keyakinan akan tercapainya keselamatan abadi yang melibatkan perubahan radikal di dunia. Kekuatan supernatural diharapkan berperan dalam perubahan ini dan akan menuntun manusia ke dalam dunia penuh kesempurnaan. Dunia penuh kesempurnaan hanya dapat diperoleh dengan cara memberi kesetiaan penuh kepada utusan Tuhan yang bertindak sebagai motor gerakan sosial. Unsur pokok dari gerakan sosial, khususnya gerakan keagamaan berkisar pada seorang pemimpin keagamaan, yang merupakan seorang prophet atau guru atau mesias. Pemimpin ini mengaku diilhami oleh wahyu. Kekuatan gaib para pemimpin agama ini terutama didasarkan pada kharisma yang mereka miliki, yang idenya pada umumnya ada dalam masyarakat yang secara umum disebut keramat, wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat orang-orang yang dikaruniai dengan itu diliputi oleh alam kesucian. Umum beranggapan bahwa pimpinan yang berkharisma merupakan bahaya laten bagi para pejabat dalam kekuasaan karena kekuatan kharisma pada dasarnya bersifat revolusioner. Tak disangsikan lagi, hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional. Pemimpin keagamaan merupakan tantangan bagi kekuasaan raja. Dengan meningkatnya dampak kekuasaan asing pada zaman kolonial, ada kecenderungan bahwa
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
gerakan-gerakan keagamaan digunakan sebagai jubah bagi oposisi politik. Kecenderungan lain gerakan keagamaan adalah mendorong gerakan ini untuk mengembangkan orientasi politik yang lebih ekstrem dan muncul sebagai gerakan politik yang radikal. Di samping hidupnya kembali nilai-nilai tradisional, milenial biasanya mengidamkan suatu mayarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman keemasan.
Pendekatan Teoretis dan Alternatif Pemecahannya Menurut teori perubahan sosial bahwa perubahan merupakan gambaran nyata dari realitas sosial. Perubahan sosial mengandung tiga unsur utama yang tetap berhubungan satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Determinan struktural, seperti perubahan populasi, dislokasi akibat perang, kegentingan, dan kontradiksi. 2. Proses dan mekanisme, seperti mekanisme percepatan, gerakan sosial, konflik politik dan akomodasi, dan aktivitas pengusaha. 3. Arah perubahan sosial, seperti perubahan struktural, pengaruh-pengaruh, dan konsekuensi. Perubahan sosial dapat mengarah pada banyak hal yang berbeda. Ada tiga varietas perubahan sosial yang dapat dibedakan. Pertama, perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan merupakan bagian dari gerakan sosial khusus dan dapat memperkuat atau menentang ide tertentu. Kedua, perubahan sosial yang digambar-kan sebagai proses lambat, terjadi akibat pergantian dalam pola sosialisasi. Ketiga, perubahan kebudayaan yang terjadi secara kasar, pada skala besar, dan sebagai bagian dari gerakan sosial atau serangkaian gerakan sosial. Sebuah protes mengungkapkan ketegangan antara kompleksitas dan fragmentasi hubungan manusia yang inheren dalam pembagian kerja kelembagaan dan kemungkinan total tidak terkondisi serta kesenjangan partisipasi tatanan sosial dan kebudayaan. Tema protes yang meluas biasanya mengenai pembatasan dalam pembagian kerja dan penggantiannya dengan suatu komunitas yang ideal, yang langsung tanpa adanya kesenjangan partisipasi. Tema-tema protes lain menyangkut realitas kehidupan kelembagaan untuk lebih dekat dengan model masyarakat ideal serta prinsip-prinsip pemerataan dalam distribusi kekuasaan di dalam tatanan sosial dan budaya (Eisenstadt, 1986: 54). Protes-protes cenderung bertemu dan menjadi sangat terartikulasi dalam aspek kehidupan kelembagaan yang merupakan fokus utama aturan dasar interaksi sosial. Dalam arti menyangkut spesifikasi kesamaan atribut, perincian keanggotaan dalam kolektivitas, dan distribusi kekuasaan dalam lingkungan
Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
51
Artikel masyarakat yang berbeda-beda, men-definisikan makna kegiatan sosial, dan membangun tujuan-tujuan kolektif. Perubahan dalam hubungan antar subkelompok biasanya melahirkan gerakan sosial secara meluas, pemberontakan, gerakan bid’ah, pandangan milenial, dan konflik yang meningkat yang merupakan ungkapan konkret dari berbagai protes. Gerakan heterodoksi, pemberontakan, protes, dan perjuangan politik dapat melahirkan kontra-koalisi di antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda dan berbagai usahawan kelembagaan yang mencoba memperbaiki aturan dasar interaksi sosial. Gerakan protes menimbulkan konflik dan kontradiksi serta proses perubahan dan transformasi yang berkaitan dengan parameter utama keorganisasian struktur sosial bagi kekuasaan yang ada. Konflik seperti di atas dapat melahirkan perubahan sistem dalam tatanan ke-embagaan di mana terdapat ketegangan antarkelompok. Ketegangan cenderung meruntuhkan kerangka dan aturan dasar sistem kelembagaan. Proses peruntuhan aturan dasar dan sumber kelembagaan bisa menghasilkan tuntutan baru pada pusat sistem atau tatanan. Mungkin tuntutan bagi kepentingan konkret atau prinsip baru alokasi kekuasaan dan akses ke pusat. Protes juga menyangkut keinginan akan pola baru partisipasi dalam kolektivitas dan peran dalam menentukan batasan dan kriteria keanggotaan. Protes, pemberontakan, dan konflik politik selalu berhubungan dengan ledakan kekerasan. Kekerasan selalu ada di mana-mana dalam hubungan antarmanusia. Hubungan manusia dalam arti teratur didasarkan pada peraturan dan transformasi simbolik dari kekerasan dan agresi. Untuk membangun organisasi yang relatif stabil diperlukan kontrol terhadap agresi. Eratnya hubungan antara kekerasan dan perubahan jelas terlihat dalam gerakan protes. Walaupun potensi protes, konflik, dan perubahan adalah inheren dalam tiap bangunan tatanan masyarakat makro, namun sifat, lokasi, dan orientasi dari fenomena tersebut sangat beragam. Tema-tema protes dalam masyarakat tidak didistribusikan secara sembarangan, melainkan secara sistematik terjalin dengan berbagai parameter tatanan sosial maupun tradisi kebudayaannya. Gerakan protes dalam masyarakat secara sistematik bertalian dengan berbagai parameter dasar keorganisasiannya. Gerakan protes dapat melahirkan perubahan yang melembaga dan dapat memperoleh pengawasan terhadap sumber serta akses ke dalam kekuasaan. Dimensi simbolik dan ke-organisasian masyarakat dapat mem-pengaruhi strukturnya dan perkembangan proses perubahan di dalamnya. Kombinasi dimensi simbolik dan keorganisasian sangat berarti mempengaruhi lingkungan yang mereka bangun, perluasan internal, dan kecenderungan penyesuaian diri terhadap lingkungan historis yang berbeda dan berkembang.
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
Dari sudut analisis konflik bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan (collectivities), dan antarindividu dengan kumpulan. Konflik, baik yang bersifat antarkelompok maupun intrakelompok (intern) selalu ada di tempat orang yang hidup bersama. Konflik dapat dioptimalkan sebagai unsur interaksi yang penting dan tidak selalu bermakna memecah belah atau merusak. Konflik dapat menyumbang banyak kepada kelestarian kelompok dan mempererat hubungan antara anggotanya. Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa tidak mungkin dapat memikirkan masyarakat tanpa menyadari dialektik stabilitas dan perubahan, integritas dan konflik, fungsi dan daya motivasi, konsensus dan paksaan (coersive) (Veeger, 1993: 212). Berhubungan dengan kerangka konseptual, Dahrendorf menempatkan teori konflik dengan berbagai pengertian: 1. Tiap-tiap masyarakat mengalami proses perubahan; perubahan sosial terdapat di mana-mana. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai oleh para pendahulunya. 2. Tiap-tiap masyarakat memperlihatkan perbantahan dan konflik di segala bidang; konflik sosial ada di mana-mana. Tidak semua orang sepaham dan satu suara. Tidak semua orang sama-sama setuju. Selalu ada pihak pro dan kontra yang mengeksplisitkan banyak perselisihan yang sering dialami atau dirasakan sebagai ancaman terhadap kesatuan masyarakat atau kelompok. 3. Tiap-tiap unsur di dalam masyarakat menyumbang kepada desintegrasi dan perubahannya atau tiaptiap unsur mengandung dan memiliki potensi untuk menjadi faktor yang mencerai-beraikan. 4. Tiap-tiap masyarakat berdiri atas dasar paksaan yang dikenalkan oleh segelintir anggota atas sesama anggota lain. Analisis masyarakat dari sudut pandang konflik bertolak dari kenyataan bahwa anggotanya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu orang yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Dualisme ini, termasuk struktur dan hakikat tiap-tiap kehidupan bersama, mengakibat-kan kepentingan berbeda dan mungkin saling berlawanan. Pada gilirannya diferensiasi kepentingan dapat melahirkan kelompok yang berbenturan. Dengan mengingat adanya segelintir orang yang berkuasa dan sebagian besar orang yang dikuasai, maka masyarakat dapat dilihat sebagai suatu jaringan relasi-relasi yang ditafsirkan sebagai berikut: 1) Ada dua tipe relasi, yaitu superordinasi (relasi atasan dengan bawahan) dan subordinasi (relasi bawahan dengan atasan). 2) Di mana ada relasi superordinasi dan subordinasi menandakan bahwa pihak atasan mengontrol pihak bawahan melalui instruksi, perintah, dan larangan. 3) Pengontrolan ini dianggap oleh atasan menjadi kewajibannya dan sah (menurut hukum). Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
52
Artikel 4) Karena unsur hukum ini, baik pihak atasan yang berwenang selalu dapat mengetahui dengan pasti sampai di mana batas wewenang seseorang dan batas kewajiban untuk taat. 5) Karena relasi superordinasi dan subordinasi mempunyai status hukum, maka tiap pelanggaran dapat menimbulkan hukuman atau tindakan disipliner bagi yang bersangkutan. Distribusi wewenang di dalam suatu masyarakat tidak merata. Perbedaan dalam posisi sosial mengakibatkan kepentingan antagonistik di antara mereka yang bersangkutan. Pihak yang sedang berwenang mempunyai ruling interest yang berlainan dari pihak yang dikuasai. Hal ini disebut dengan pembagian kerja (oleh Karl Marx) sebagai permulaan masyarakat kelas dan kesadaran sesat (false consciousness). Pihak yang berwenang berkepentingan dengan ketahanan dan kelestarian status quo atau susunan sosial yang telah memberikan kedudukan tinggi pada mereka. Jadi, mereka akan cederung membela dan mempertahankan status quo itu. Sebaliknya, pihak yang dikuasai selalu merasa tertekan dan terkekang oleh status quo sehingga menginginkan perubahan dan bahkan perombakan. Kedua macam kepentingan ini bersifat antagonistik dan kontradiktif. Integrasi dan pengakuan sah terhadap pimpinan selalu merupakan hal yang tidak dapat dipastikan dan penuh bahaya. Banyak peristiwa dalam sejarah dunia, termasuk sejarah Indonesia membuktikan bahwa suatu struktur sosial yang nampaknya mantap dapat berubah dalam waktu singkat. Pihak yang dikuasai, yang kepentingannya lain tidak akan cenderung untuk memperkokoh dasar sahnya kedudukan mereka seperti halnya dengan the ruling class. Sebaliknya mereka akan mempermasalahkan dan menjadi peka bagi setiap penyalahgunaan wewenang. Dahrendorf membuat perbedaan antara kelompok kepentingan potensial dengan kelompok kepentingan aktual. Kalau sejumlah orang mempunyai kepentingan bersama entah kepentingan itu disadari atau tidak, namun mereka belum berorganisasi dan bersatu, mereka disebut kelompok konflik potensial. Mereka mempunyai kemungkinan (potensi) untuk menjadi kelompok kepentingan aktual, tetapi untuk sementara waktu hanya benihnya saja. Ginsberg mengatakan bahwa mereka merupakan recruiting field for groups (ladang dari mana kelompok dapat dikerahkan) (Veeger,1993: 217). Selama mereka belum mempunyai organisasi, tidak bertemu, tidak saling mengenal, tidak tukar-menukar pandangan atau menyusun rencana juang bersama, di antara mereka belum dapat lahir suatu solidaritas dan perasaan bersatu. Apabila orang yang sekepentingan dipertemukan ke dalam suatu partai, serikat buruh, tentara, dan organisasi lain, dan kepentingan mereka menjelma menjadi suatu program konkret, mereka menjadi kelompok konflik aktual. Mereka menyadari di
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
mana letak kepentingan mereka, struktur kekuasaan mana yang menjadi perintang, dan siasat apa yang perlu disusun dan dilaksanakan. Mereka mempermasalahkan dan menentang status quo. Kalau dibandingkan dengan kelompok kepentingan potensial kelompok kepentingan aktual selalu lebih kecil. Agar suatu kelompok kepentingan potensial dapat berubah menjadi kelompok kepentingan aktual dan kelompok konflik, maka perlu dipenuhi tiga macam kondisi. Kondisi tersebut sebagai berikut; (1) Kondisi struktural. Ini persyaratan teknik. Pertama, harus ada suatu program, charter (piagam) atau sistem nilai yang merumuskan kepentingan atau tujuan kelompok yang bersangkutan. Kedua, harus ada anggota, pemimpin, kaum aktivis, kader, petunjuk konkret, sarana material, dan kegiatan yang terarah. Ketiga, harus ada orang yang menegaskan dan membenarkan kepentingan, siasat, dan tujuan kelompok melalui rangkaian gagasan yang sekaligus mengarahkan dan menyemangati. Mereka adalah ideolog-ideolog dan pencipta teori yang fungsinya penting. (2) Kondisi politik. Kondisi politik melicinkan dan menguntungkan terbentuknya organisasi kelompok konflik dan sebaliknya menghambat. Semakin totaliter struktur negara, semakin sulit suatu organisasi oposisi terbentuk. Petugas dinas rahasia, informan, aparat intel, dan sebagainya mengawasi tiap gerak-gerik orang, mengambil tindakan preventif, mengontrol media massa dengan ketat, dan berinfiltrasi ke dalam kubu lawan dengan menyamar sebagai kawan. Di bawah kondisi negatif ini banyak orang akan takut dan merasa diri di-lumpuhkan. (3) Kondisi sosial. Hal yang penting bagi terbentuknya suatu kelompok konflik aktual adalah anggotanya bertemu dan berinteraksi. Tindakan paling radikal yang mencegah lahirnya suatu kelompok konflik ialah membunuh anggota-anggota potensial, khususnya calon pemimpinnya. Penahanan, pembuangan, pemojokan, pemindahan ke tempat jauh, tindakan mengadu domba dan memecahbelah, dan sebagainya, termasuk strategi pihak yang berwenang untuk mencegah pihak lawan bertemu dan berinteraksi. Artikulasi kegiatan politik yang tinggi tingkatannya mendorong perpaduan sejumlah tipe protes utama antara gerakan, pemberontakan, dan heterodoksi, antara gerakan tersebut dengan pembangunan kelembagaan lewat elit sekunder, terutama dengan lingkungan ekonomi dan politik dari pusat. Koalisi itu dapat berkembang menjadi struktur yang permanen. Menurut analisis fungsionalisme struktural, masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Hubungan pengaruh-mempengaruhi di antara bagianPeninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
53
Artikel bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi perubahan dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem akibatnya hanya mencapai derajat minimal. Sekalipun disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi, di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkat yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi tiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu. Perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian, dan tidak secara revolusioner. Perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsurunsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan. Pada dasarnya, perubahan sosial terjadi melalui tiga macam kemungkinan: penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan yang datang dari luar (extra systemic change); pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; penemuan baru oleh anggota masyarakat. Faktor penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota mayarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Tiap-tiap masyarakat, menurut pandangan fungsionalisme struktural memiliki tujuan dan prinsip dasar tertentu yang diterima sebagian besar anggotanya secara mutlak. Sistem nilai tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial budaya itu sendiri. Suatu sistem sosial pada dasarnya adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan itu. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum tersebut yakni norma-norma sosial. Norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Tiap-tiap orang menganut dan mengikuti pengertian yang sama mengenai situasi tertentu (sharing the same definition of the situation) dalam bentuk norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial tertentu. Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam tingkat integrasi sosial tertentu.
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
Dengan demikian, equilibrium suatu sistem sosial terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting untuk mengendalikan dan memelihara kontinuitas sistem sosial yakni mekanisme sosial dan pengawasan soial (social control) (Nasikun, 1995: 13). Tiap sistem sosial memiliki kecenderungan mencapai stabilitas atau equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu. Disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan kemasyarakatan dalam bentuk terjadinya diferensi sosial yang semakin kompleks adalah akibat pengaruh faktor yang datang dari luar. Sistem sosial memang mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang datang dari luar dan mampu mengikuti perubahan tersebut tanpa mengalami desintegrasi sosial. Akan tetapi, sistem sosial dapat juga bersikap menolak perubahan yang datang dari luar dengan cara tetap memelihara status quo dan melakukan perubahan yang bersifat reaksioner. Keadaan yang demikian dapat mengakibatkan bagian tertentu dari sistem sosial tersebut menjadi disfungsional. Sistem sosial yang mengalami disfungsi akan mengakibatkan timbulnya ketegangan sosial. Apabila faktor luar tersebut cukup kuat mempengaruhi bagian tersebut di atas tanpa diikuti oleh penyesuaian dari bagian yang lain, maka disfungsi dan ketegangan akan berkembang secara kumulatif dan mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner. Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah dengan konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang mereka pertentangkan. Pada umumnya, sebagai contoh dalam kehidupan politik, lembaga-lembaga yang bersifat parlementer atau quasi parlementer di mana berbagai kelompok kepentingan saling bertemu satu sama lain mewujudkan pertentangan mereka melalui cara damai. Agar lembaga yang dimaksud dapat berfungsi secara efektif, maka lembaga tersebut harus memenuhi sedikitnya empat syarat. Syarat-syarat dimaksud adalah: 1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan badan lain yang ada di luarnya. 2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolistik, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian. 3. Peranan lembaga tersebut harus sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain merasa terikat kepada lembaga tersebut sementara keputusannya mengikat kelompok tersebut beserta para anggotanya. Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
54
Artikel 4.
Lembaga tersebut harus bersifat demokratis dalam arti tiap pihak harus didengarkan dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya sebelum keputusan tertentu diambil. Tanpa keempat hal di atas, maka konflikkonflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial akan muncul ke permukaan dan sewaktu-waktu tanpa diduga akan meledak dalam bentuk kekerasan. Persyaratan yang dikemukakan di atas dapat terselenggara apabila kelompok yang saling bertentangan mampu memenuhi tiga prasyarat: 1. Masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka dan menyadari perlu dilaksanakan prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak. 2. Pengendalian konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas. Sejauh kekuatan sosial yang saling bertentangan berada di dalam keadaan tidak terorganisasi, maka pengendalian atas konflik yang terjadi di antara mereka pun akan merupakan hal yang sulit dilakukan. Sebaliknya, konflik yang terjadi di antara kelompok yang terorganisasi akan lebih mudah melembaga dan akan lebih mudah dikendalikan. 3. Tiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan permainan tertentu, hal yang akan memungkinkan hubungan sosial di antara mereka menemukan suatu pola tertentu. Aturan permainan tersebut pada gilirannya akan menjamin kelangsungan hidup kelompok itu sendiri. Dengan demikian, ketidakadilan dapat dihindarkan dan memungkinkan tiap-tiap kelompok dapat meramalkan tindakan yang akan diambil oleh kelompok yang lain dan menghindarkan munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan mereka sendiri. Bentuk pengendalian konflik sosial yang kedua adalah dengan mediasi (mediation). Mediasi merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa, di mana pihak yang bersengketa meminta bantuan pihak ketiga untuk menasehati dan memberi ide tentang tentang bagaimana cara penyelesaian konflik di antara pihak-pihak yang bertikai. Walaupun nasehat-nasehat yang disumbangkan oleh pihak ketiga sebagai pihak penengah tidak mengikat, namun cara ini cukup efektif digunakan. Cara ini memberi kemungkinan untuk mengurangi irasionalitas yang biasa terjadi dalam konflik. Cara ini juga memungkinkan pihak yang bertentangan menarik diri tanpa harus kehilangan muka, juga mengurangi pemborosan yang dikeluarkan membiayai pertentangan dan lain sebagainya. Bentuk pengendalian konflik yang ketiga adalah dengan arbitrasi (arbitration). Arbitrasi merupakan cara penyelesaian konflik, di mana pihak
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
yang berselisih mengundang pihak ketiga dan keputusan yang diambil harus disepakati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang berselisih. Dalam hal ini, keputusan yang diambil sepakat atau terpaksa harus dilaksanakan kedua belah pihak yang bertikai. Di dalam bentuk mediasi, kedua belah pihak yang berkonflik menyetujui untuk menerima pihak ketiga sebagai wasit, tetapi mereka bebas untuk menerima atau menolak keputusan wasit. Pada bentuk arbitrasi, kedua belah pihak yang berkonflik harus menerima keputusan yang diambil oleh wasit berterima atau terpaksa. Ketiga jenis pengendalian konflik sosial ini mampu untuk mengurangi dan menghindarkan kemungkinan timbulnya ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Selama hubungan sosial berdasarkan ketiga jenis mekanisme pengendalian konflik sosial berkembang, maka konflik sosial akan kehilangan pengaruhnya yang bertujuan untuk merusak. Melalui mekanisme pengendalian konflik sosial yang efektif, konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan sosial yang tidak mengenal akhir.
Kesimpulan Gerakan sosial adalah peristiwa sejarah dalam pengertian aksi atau aktivitas manusia yang bertujuan untuk menciptakan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Gerakan sosial secara langsung berhubungan dengan masyarakat yang terintegrasi oleh adanya kesatuan mitos, masyarakat, dan juga ekonomi. Gerakan sosial sebagai salah satu tipe khusus organisasi mengartikulasikan tuntutan-tuntutan politik dalam masyarakat. Gerakan sosial merupakan salah satu proses dan mekanisme perubahan sosial, berdimensi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Gerakan sosial sebagai gerakan protes mengungkapkan ketegangan antara kompleksitas dan fragmentasi hubungan manusia yang dalam pembagian kerja kelembagaan dan kemungkinan total tidak terkondisi serta kesenjangan partisipasi tatanan sosial dan kebudayaan. Konflik-konflik sosial akan tetap terjadi sebagai konsekuensi perubahan sosial. Untuk meredam konflik tersebut perlu suatu usaha pengendalian. Bentuk-bentuk pengendalian tersebut adalah konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga bentuk pengendalian ini memiliki kemampuan untuk mengurangi dan menghindarkan timbulnya ledakan sosial dalam bentuk kekerasan.
Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
55
Artikel Daftar Pustaka Adas, Michael, Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali, 1988. Bourdillon, Hillary, 1990. History and Social StudiesMethodologies of Textbook Analysis. Amsterdam: Swets & Zeitlinger B.V. Cartwright, Dorwin, Group Dynamic: Research and Theory. New York: Harper & Row Publishers, 1968. Eisenstadt, S.N., Revolusi dan Transformasi Mayarakat. Jakarta: Rajawali, 1986. Evers, Hans Dieter, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan Tentang, Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Gibsons, James L., Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga, 1990. Haferkamp, Hans, Social Change and Modernity. Oxford: University of California Press, 1992. Hoffer, Eric, Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982. ...................., Ratu Adil. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992. ...................., Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Vander Meulen, W.J., Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1987. Veeger, K.J., Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
Peninna Simanjuntak Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005