Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PROSES TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KOMUNITAS MEREK SEBAGAI GERAKAN SOSIAL Azmil Chusnaini Free Researcher Abstrak Menggunakan teori gerakan sosial, penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi percepatan sebuah komunitas baru untuk cepat tumbuh dan berkembang. Dengan pendekatan grounded theory, data penelitian diperoleh dengan in-depth interview pada 16 informan dari dua komunitas besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga proses yang dialami oleh komunitas yang awalnya hanya perkumpulan sedikit konsumen yang melakukan konsumsi pada merek yang sama, berubah menjadi komunitas besar yang dapat diterima oleh masyarakat. Ketiga proses tersebut terdiri dari (1) Perbedaan (Differentiation); (2) Pembangunan legitimasi (Legitimacy Building); (3) Mobilisasi (Mobilization). Peneliti juga menemukan bahwa ketiga proses ini berjalan bersamaan dan saling mendukung, ditambah dengan adanya norma-norma tertulis maupun tidak tertulis (normative community preasure) yang mengarahkan para anggota komunitas berjalan sesuai dengan tujuan. Implikasi managerial dan akademik juga dijelaskan bagaimana cara membangun dan mengembangkan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Kata kunci: komunitas merek, strategi pemasaran, teori gerakan sosial. ABSTRACT Using social movement theory, this study identify factors that influence likelihood and speed of acceptance new brand community. With grounded theory approach, data collected by in-depth interview from 16 informants within 2 famous brand communities. These brand communities exhibit three processes that transform aspiring community from a few costumer who consume similar brand and product become a big brand community that accepted in environment. These processes consist of (1) Differentiation; (2) Legitimacy Building; and (3) Mobilization. The author also reveals some norms call normative community pressure that protect members of community to interact and cooperate within community stay on the right track. Managerial and academic implication also explained how to build and grow brand community which can be very usefull to firms. Keyword: Brand community, marketing strategic, social movement theory. PENDAHULUAN Banyak perusahaan yang merasakan keunggulan dengan memanfaatkan keberadaan konsumen sebagai subyek dan partner bisnis, diantaranya: Starbucks, Dell, Amazon, Harley Davidson, Wall Mart (Palupi, 2009). Banyaknya jumlah komunitas saat ini membuktikan bahwa konsumen tidak lagi berperan pasif, konsumen cenderung lebih independen dalam menentukan produk dan bagaimana mengkonsumsi produk (Soehadi dan Ardianto, 2007). Strategi brand community sangat tepat guna menghadapi turbulensi pasar yang dinamis dengan tipikal konsumen saat ini yang haus akan identitas sosial (Fournier dan Lee, 2009), selain komunitas dapat memberikan identitas kepada para konsumen, komunitas juga dapat memberikan kampanye dan promosi gratis tentang produk perusahaan dan citra dari perusahaan sendiri dapat terangkat
(Palupi, 2011). Saat anggota komunitas berkumpul, mereka melakukan interaksi yang intens dengan sebuah merek, jadi aktivitas sebuah komunitas berarti aktivitas sebuah merek dan makin solid komunitas maka maakin solid merek (Palupi, 2007). Sederet keuntungan yang didapat dari adanya komunitas membuat para marketer menyadari bahwa kini, brand community merupakan marketing tool yang efektif dimana didalamnya terjadi interaksi yang melibatkan konsumen maupun perusahaan (Hidayat, 2007). Penelitian-penelitian sebelumnya membahas tentang bagaimana mengorganisasi, mempelajari dan memfasilitasi brand community (McAlexander, Schouten dan Koenig, 2002) yang didasarkan pada hubungan terstruktur diantara penggemar suatu brand (Muniz
- 146 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
dan O'guinn, 2001), penelitian kemudian berkembang sampai pada ranah tentang kemampuan brand community dalam mempengaruhi persepsi dan aksi anggota (Muniz dan Schau, 2005), bagaimana melalui brand community bisa menyebarkan informasi (Brown, Kozinets, dan Sherry, 2003), mempelajari evaluasi konsumen dari produk yang baru dari perusahaan, dan memaksimalkan kesempatan untuk mengikat customer yang loyal (Franke dan Shah, 2003). Tetapi bagaimana brand community yang terbentuk dari inisiatif konsumen yang memiliki kecintaan terhadap merek yang sama bisa berkembang dan kuat? dan faktor apa yang berkontribusi dalam pengembangan brand community agar menjadi kuat dan besar? Dua pertanyaan mendasar ini adalah pembahasan yang masih jarang sekali diteliti, dan akan memberikan panduan bagi pemasar yang hendak membangun atau ingin mengembangkan brand community menjadi lebih besar. Gerakan sosial menurut Buechler (2000) adalah usaha kolektif yang dimaksudkan oleh aktifis-aktifisnya untuk merubah struktur social. Teori ini digunakan oleh Kozinets dan Handelman (2004) untuk mejelaskan adanya gerakan konsumen, dimana suatu jenis dari gerakan sosial yang berusaha untuk merubah beberapa elemen dari struktur sosial yang berkaitan dengan konsumsi dan marketing. Dan selama ini, social movement theory banyak digunakan pada confrontational social movement (oberschall, 1973; Tilly, 1978) yang mendeskripsikan bagaimana pergerakan sosial lahir dan ada untuk merubah persepsi yang salah dari masyarakat atau meruntuhkan rezim yang ada melalui peran antagonis dan jiwa memberontak misalnya pada gerakan anti-Nike dan anti-makanan yang direkayasa secara genetik-transgenic (Kozinets dan Handelman, 2004). Pada era saat ini, pergerakan
konsumen dalam upayanya merubah pasar terkadang disebut sebagai “consumerism” (Hollenbeck and Zinkhan, 2006), dimana menurut Kotler (1972) consumerism merupakan gerakan sosial yang mencari perluasan hak dan kekuatan dalam hubunganya antara pembeli dan penjual. Dalam komunitas merek terjadi apa yang dinamakan collective consumption, dimana kesamaan konsumsi pada suatu merek kemudian memberikan identitas kolektif kepada para konsumen yang mana identitas ini memicu terjadinya aksi atau gerakan bersama (collective action), dan pada akhirnya dapat memberikan perubahan sosial. Karena dalam penelitian ini dibutuhkan pemahaman mendalam tentang analisis bagaimana collective consumption dalam komunitas dapat menopang terjadinya suatu collective action yang berdasar pada budaya, ideology, dan politik, peneliti menggunakan Social Movement Theory sebagai dasar teori penelitian. Alasan lain penggunaan Social Movement Theory juga dikarenakan teori ini dapat menjelaskan tentang pergerakan konsumen untuk pengembangan suatu organisasi dalam hal ini komunitas yang mana terjadi mobilisasi sumber, aksi bersama, pengakuan masyarakat serta faktor-faktor lain untuk menjaga suatu perkumpulan agar semakin besar, diterima masyarakat, dan tetap survive. Social Movement Theory memberikan penjelasan yang lebih baik tentang sumber munculnya pergerakan dengan latar identitas kolektif, serta terjadinya pembentukan mobilisasi identitas, dimana teori ini dapat mengkombinasi tujuan politik dengan orientasi budaya (Polleta and Jasper, 2001).
TINJAUAN PUSTAKA Brand Community Brand Community adalah komunitas yang khusus, dan terikat tidak terbatas secara geografi, yang didasarkan pada struktur hubungan sosial diantara para penggemar dari sebuah merek (Muniz, and O'Guinn 2001). Komunitas ini berbagi identifikasi sosial dengan orang lain atas ketertarikannya terhadap suatu merek tertentu, dan studi empiris telah menunjukkan bahwa brand community dapat mempengaruhi word-of-mouth serta intensitas pembelian (Algesheimer et al., 2005). Bagi konsumen, brand community adalah suatu sumber penting untuk mendapatkan informasi produk dan suatu experience normative yang mengakibatkan
customer tetap loyal kepada brand yang digunakan tersebut dan loyal kepada komunitas (Muniz, and O'Guinn 2001). Sebelum memulai mengembangkan suatu brand community yang kuat, beberapa penulis menjelaskan tentang apa yang menandai suatu perkumpulan tersebut bisa dikatakan sebagai komunitas. Penelitian Muniz dan O'Guinn (2001) menjelaskan bahwa ada 3 komponen penting atau tanda dari adanya suatu suatu komunitas. Pertama, elemen yang paling penting dari komunitas adalah consciousness of kind yang berarti adanya koneksi/hubungan yang dirasakan oleh anggota komunitas terhadap sesama anggota dan rasa perbedaan yang ada diantaranya
- 147 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
(Gusfield 1978). Ikatan yang terjadi diantara anggota komunitas sangat erat dan kuat mereka membagi cara berpikir yang lebih kuat dari sekedar berbagi attitude atau hanya sekedar merasakan kesamaan. Kedua, indicator dari suatu komunitas adalah adanya berbagi ritual dan tradisi, dimana tradisi dan ritual ini dapat memperkuat sejarah komunitas, membentuk budaya dan kesadaran anggota (Muniz, and O'Guinn 2001). Ketiga komunitas selalu memberikan penekanan pada tanggungjawab moral (sense of moral responsibility), dimana akan memberikan sesama anggota rasa memiliki dan merasakan bagian dari suatu komunitas secara keseluruhan (Muniz, and O'Guinn 2001).
bungan dengan distribusi ekonomi. Di Eropa pada tahun 1968 gerakan sosial banyak diwarnai aksi protes para pelajar yang berada di Berlin, Perancis dan di Itali pada tahun 1969 dan di Amerika, bangkitnya gerakan anti perang marak pada pertengahan tahun 1960. Disini terjadi pergeseran bahwa teori marx yang lebih menekankan pada masalah redistribusi perlu untuk merumuskan kembali idenya, dan kemudian muncul teori gerakan sosial yang baru. Teori gerakan sosial yang baru memiliki paradigma yang berbeda dengan teori gerakan sosial yang lama, perbedaan ini terlihat pada: ideologi, goal, taktik, struktur dan partisipan.
Turbulensi yang terjadi di dunia pemasaran dan bisnis pada akhirnya menuntut para marketer untuk menyusun sebuah strategi pemasaran yang handal dan membawa suatu competitive advantage bagi brand dan perusahaan. Keberadaan komunitas bukan lagi sekedar sebagai tempat berkumpul para pengguna brand tetapi menjadi ajang berbagi identitas customer yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan yang didapat marketer dengan adanya brand community diantaranya adalah, kemampuan dari brand community untuk mempengaruhi persepsi dan tindakan anggota komunitas (Muniz, and O'Guinn 2001), brand community memiliki kecepatan dalam menyebarkan informasi (Brown et al, 2003), brand community dapat memberikan evaluasi dan perkembangan produk baru bagi perusahaan (Franke and Shah, 2003), dan brand community memiliki kemampuan untuk mengajak anggota ikut serta berkolaborasi dengan perusahaan serta menjaga loyalitas anggota agar tetap tinggi (Franke and Shah, 2003).
Dalam penelitian Kozinets dan Handelman (2004) menjelaskan bahwa consumer movement merupakan jenis dari social movement yang berusaha untuk merubah beberapa hal dari struktur sosial yang berada pada kegiatan konsumsi dan marketing. Karena kegiatan konsumsi memiliki peran penting dalam kehidupan saat ini, gerakan konsumen bangkit untuk merubah apek dengan propaganda ideology konsumsi (Kozinets dan Handelman, 2004), dan goal dari konsumsi kolektif, budaya komunitas, dan management politik akan ditemukan di dalam setting budaya yang ada dalam konsep social movement (Buechler 1995).
Social Movement Theory Social movement merupakan fenomena modern yang menghubungkan suatu masa ideology dimana perkumpulan muncul untuk dipahami sebagai suatu kreasi sosial yang juga dapat dibentuk (Eder 1993). Menurut Buechler 1995, teori social movement ini bermula dari tradisi Eropa tentang teori sosial dan filosofi politik, dimana pendekatan ini muncul sebagai respon kekurangan dari teori klasik Marxism untuk menjelaskan adanya aksi kolektif. Dalam teori new social movement ini lebih menjelaskan aksi berdasarkan pada politik, ideology dan budaya sebagai dasar dari aksi kolektif, dan teori ini juga mempertimbangkan sumber dari identitas seperti etnik, gender, dan jenis kelamin sebagai penentu dari identitas kolektif. Menurut Pichardo 1997, social movement sebagian besar dibentuk oleh struktur sosial, dimana pada era industry marxis, social movement merupakan sentral dari kelas pekerja yang aksinya berhu-
Penelitian ini kemudian mengadopsi model admittance-seeking model (McCarthy dan Zald, 1977) untuk menjelaskan bagaimana suatu komunitas dapat berkembang. Dua logika pertama yang digunakan adalah logika dari Merton (1973) yang berpendapat bahwa berkembangnya bidang sosiologi melewati dua tahap, yaitu differentiation, dan legitimacy building. Differentiation: Menurut Merton (1973) bahwa ketika suatu komunitas baru muncul, dibutuhkan untuk menjadi berbeda dengan komunitas yang telah ada. Pada setiap komunitas harus ada sesuatu yang membedakan tentang ritual, tradisi, dan cara lain untuk membedakan komunitasnya. Karena komunitas yang baru membutuhkan daya tarik untuk menarik member sebanyak-banyaknya, consumer yang percaya bahwa sebuah organisasi yang berbagi dengan mereka memiliki karakteristik yang berbeda, adalah organisasi yang tepat untuk membentuk identitas mereka dan pengisian status sosial (Ahearne, Bhattacharya dan Gruen, 2005). Legitimacy building: Komunitas yang baru butuh untuk mengklaim perbedaan yang dia miliki, dimana bahwa komunitas layak dan bisa diterima dalam masyarakat. Merton (1973) menekankan ada dua hal
- 148 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
penting untuk membentuk legitimasi: Persuasion dan Emulation. Persuasion dimana komunitas mampu mendapat status dengan menunjukkan melalui suara, bukti dan kontribusi unik pada masyarakat. Komunitas yang baru juga bisa mendapatkan legitimasi melalui Emulation yaitu dengan menyesuaikan kebiasaan paradigma dari komunitas yang lebih besar dan dan benar. Mobilization: Mobilisasi sendiri diartikan sebagai proses yang mana sekelompok group yang memiliki kekuatan untuk mengontrol sumber daya yang dibutuhkan untuk aksi yang kolektif (Jenkins 1983). Menurut Davis dan Thomson (1994), ada 3 faktor yang menentukan suatu efektifitas mobilisasi yaitu: (1) Political Opportunity Structure: gerakan sosial punya kesempatan sukses yang lebih besar ketika kondisi lingkungan kondusif, dan gerakan sosial muncul untuk merespon agenda public (Davis &
Thomson 1994) dan meraih momentum dibawah kondisi ketidakstabilan sosial dan politik. (2) Shared Interest: untuk meningkatkan sebuah gerakan sosial, sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa actor harus terikat dalam sebuah ketertarikan yang sama (Davis & Thompson, 1994), dimana kesamaan ketertarikan ini yang membantu menentukan identitas kelompok dan kekompakan dari anggota-anggotanya (Hambrick, dan Chen 2008). (3) Social Infrastructure: kemampuan kelompok untuk memobilisasi suatu tujuan tergantung pada kuat tidaknya ikatan diantara para penyokong atau pelopor (Marwell, Oliver, & Prahl, 1988). Dalam gerakan sosial, ketika para aktor kunci memiliki hubungan yang erat antar sesama, maka kesuksesan sebuah komunitas akan cepat (Marwell et al. 1988).
Metode Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian serta mengacu pada rumusan masalah yang telah ditetapkan, penelitian ini ingin mengeksplorasi dan menginvestigasi perilaku individu, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode riset grounded theory. Peneliti mengadopsi penelitian menurut Steven Pace (2003), grounded theory merupakan metode yang menggunakan proses investigasi secara induktif dimana peneliti merumuskan sebuah teori tentang fenomena dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan secara sistematis. Tujuan metode ini adalah untuk membangun sebuah teori dan bukan untuk menguji teori. Didukung Grounded theory menurut Christina Goulding (2003) yang menjelaskan bahwa grounded theory merupakan methodology dimana teori didasarkan pada perkataan dan tindakan individual dalam suatu penelitian, dan metodologi ini cocok untuk mempelajari tindakan individu yang memiliki elemen interaksi dalam tindakannya. Pengembangan teori merupakan tujuan dari peneliti sesuai dengan relevansi yang muncul dari data. Keuntungan dari penggunaan grounded theory adalah membuat peneliti melihat permasalahan melebihi apa yang terlihat di permukaan, memasuki setiap kemungkinan interpretasi sebelum mengembangkan konsep terakhir, dan ketika konsep akhir terbentuk peneliti dapat menunjukkan penjelasan bukti dan data pendukung.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, yang didapat langsung dari hasil wawancara pada responden. Penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dengan sumber data dipilih secara Snowball Sampling dimana partisipan memberikan rujukan kepada peneliti kepada partisipan lain yang memiliki karakteristik, pengalaman, dan tingkah laku yang dinilai sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Semi-structured in-depth interview digunakan sebagai teknik pengambilan data karena dengan wawancara pengambilan data dapat flexible dan data yang tidak tampak bisa diobservasi. Peneliti menggunakan panduan pertanyaan dalam melakukan interview, tetapi tidak seperti structure interview, teknik ini lebih flexible dan dinamis tergantung kualitas data yang diberikan oleh responden. Pengambilan data akan dilakukan terus-menerus sampai peneliti mencapai Theoretical saturation, yang mana tidak ada data tambahan yang dapat ditemukan yang akan ditambahkan ke dalam kategori yang dikembangkan dan diuji (Pace, 2003). Obyek dari penelitian ini adalah anggota dari brand community dalam hal ini TMC dan Vespa Club. Pendekatan ini diharapkan dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada perkembangan suatu komunitas merek. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi bagaimana upaya yang dilakukan suatu komunitas untuk menjadi sebuah brand community yang kuat besar dan diterima masyarakat.
- 149 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
ANALISA DAN PEMBAHASAN Peneliti melakukan wawancara kepada 24 orang yang tergabung dalam ketiga komunitas diatas dengan ratarata durasi sekitar 1 jam wawancara. Adapun demografi dari informan adalah sebagai berikut, Tabel 1 Demografi Responden Komunitas Merk
TMC (Tiger Surabaya)
Tirecs (Tiger Sidoarjo) Scooter Club Vespa Hari Jum'at Surabaya Scooter Club
Nama
Umur
Lama bergabung
Informan 1
28th
15 tahun
Informan 2
38th
18 tahun
Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9
26th 40th 35th 49th 47th 27th 45th
8 tahun 15 tahun 8 tahun 16 tahun 10 tahun 6 tahun 8 tahun
Ketua umum 2007 - sekarang Anggota
Informan 10 Informan 11 Informan 12 Informan 13
41th 30th 44th 55th
5 tahun 2 tahun 28 tahun 37 tahun
Ketua th 2011- sekarang Bendahara th 2011 - sekarang Humas sampai sekarang Pembina th 1976 - sekarang
Informan 14
36th
7 tahun
Informan 15 Informan 16
60th 35th
35 tahun 10 tahun
Jabatan
Pendiri dan Ketua sampai sekarang Penasihat Anggota
Peneliti kemudian menganalisis hasil wawancara dengan menemukan pola dari transkip hasil wawancara dan merumuskannya dalam laporan. Mengadopsi Gremler (2008), uji realibility dilakukan dengan memfokuskan pada interjudge realibility, yaitu sejauh mana satu atau dua juri setuju dengan cara peneliti mengklasifikasikan dan memberi kode dengan cara tertentu. Dua juri didatangkan dan menyaksikan peneliti melakukan coding, kemudian memberikan koreksi terhadap apa yang telah diklasifikasikan peneliti. Uji validitas dalam penelitian ini mengadopsi cara dari Shah dan Corley (2006), validasi dicapai dengan triangulasi berupa pengumpulan data yang lebih dari satu sumber, wawancara dilakukan terus menerus dan berhenti ketika data yang didapat secara garis besar sudah sama. Data yang didapat juga diperkuat dengan dokumentasi berupa foto kegiatan. Selain itu, peneliti juga melakukan peer debriefing yaitu dengan membicarakan masalah penelitian dengan orang lain, diskusi dan tanya jawab kepada teman sejawat yang cukup mengerti dengan permasalahan.
Kemudian dari kumpul-kumpul tersebut berkembang dan berinisiatif untuk menjadi besar dengan melakukan proses-proses selanjutnya yang akan dibahas kemudian. Salah satu informan dari Tiger menjelaskan awal mula TMC terbentuk, “Awalnya kita hanya beberapa orang, teman gitu saja. Waktu itu kita kumpul di kayoon, tempatnya ga strategis, kemudian pindah ke Weta. Kemudian jadi ramai, kita ajak temen kampus yang punya Tiger. Terus di bengkelbengkel juga kita ajakin.” Informan 7. Dari beberapa orang yang beraspirasi untuk berkumpul, kemudian komunitas berkembang dengan mengalami beberapa proses. Terdapat 3 faktor yang dapat membantu percepatan suatu komunitas yang baru dapat tumbuh dan berkembang, yaitu: 1. Pembeda (Differentiation), 2. Mobilisasi (Mobilization) dan 3. Pembentukan Legitimasi (Legitimacy Building).
Pada mulanya, komunitas terbentuk dari beberapa anggota yang memiliki hobi yang sama, biasanya berjumlah hanya segelintir orang yang kemudian beraspirasi dan mengadakan kumpul-kumpul biasa.
Dalam hasil wawancara, peniliti menemukan bahwa ketiga faktor ini merupakan proses yang saling mendukung satu sama lain, perbedaan yang tercipta juga ikut membantu pembentukan legitimasi dan
- 150 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
dapat mendorong efisiensi mobilisasi, dan dalam waktu yang sama proses ini dapat secara bersamaan berjalan tanpa harus menunggu salah satu proses satu selesai. Pelanggan suatu merek yang beraspirasi
Community Pr essu ative re
Differentiation • Physical • Mental • Action
Mobilization • Political Opportunity Structure • Shared Interest • Social Infrastructure
ativ rm o N
e Community Press ure
rm No
Legitimacy Building • Persuation • Emulation • Promotion
Kemungkinan dan kecepatan brand community baru diterima masyarakat
Gambar 1. Proses tumbuh dan berkembangnya suatu komunitas
Penelitian ini juga menemukan bahwa disamping ketiga proses diatas, hal yang mendukung agar tujuan komunitas terjaga dan dengan cepat mencapainya adalah semacam aturan yang berfungsi untuk mengatur interaksi antara para anggota dan komunitas sehingga membentuk tingakah laku para anggota. Aturan ini sebagian besar tertulis rapi menjadi pedoman para anggota dan komunitas sendiri, dan sebagain menajadi norma yang tidak tertulis, yang keduanya memberikan batasan kepada para anggota dalam melakukan tindakan selama berhubungan dengan komunitas. Perbedaan (Differentiation) Menurut Merton (1973) bahwa ketika suatu komunitas baru muncul, dibutuhkan untuk menjadi berbeda dari komunitas yang sudah ada. Komunitas yang baru terbentuk ini masih rentan dan membutuhkan anggota baru untuk memperkuat perkumpulannya. Informan 22, 36 tahun pendiri dari komunitas Vespa hari Jumat juga menjelaskan bagaimana dia mendirikan sebuah
komunitas pada awalnya dan memberikan nuansa yang berbeda dengan komunitas vespa yang lain, “Waktu itu banyak temen-temen yang nongkrong di toko saya. Akhirnya aku bilang, gimana kalau kita buat komunitas aja. Tempatnya dimana mas? dulu tempatnya di hotel mojopahit, vespa temen-temen itu antic tahun 1950an, kalau backgroundnya juga ikut klasik, kan kena gitu loh. Mereka akan berfikir, Ohyaa tongkronganya anak vespa hari jumat itu gedungnya antic, motornya antic, tempatnya antic, stylenya juga antic.” Informan 14. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa perbedaan itu perlu dan tidak bisa serta-merta ditetapkan. Perlu adanya nuansa lain yang menonjolkan ciri khas dari komunitas tersebut yang pada akhirnya lambat laun masyarakat mulai menyadari apa yang menjadi ciri khas dari komunitas dan Vespa dapat mengklaim ciri ini. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Muniz dan O'guinn (2001) kesadaran bersama (consciousness of kind) dalam komunitas, anggota selalu membuat suatu batasan antara dia dan anggota komunitas yang lain, dan perbedaan ini tidak hanya melalui kata-kata, dan hal-hal yang tampak lainnya tetapi merupakan sesuatu yang menciptakan kualitas suatu komunitas secara keseluruhan yang membedakan dirinya dengan komunitas yang lain. Perbedaan ini biasanya membuat para anggota juga merasa bahwa dirinya berbeda dan special jika dibandingkan dengan anggota komunitas yang lain. Perbedaan yang dijelaskan oleh kutipan narasumber menjelaskan bahwa perbedaan tidak hanya sekedar menjadi pembeda, bahwa pada akhirnya pembeda ini menjadi suatu identitas komunitas. Dalam penelitian ini kemudian ditemukan bahwa pembeda dapat diterapkan dalam tiga hal yaitu: fisik, mental, dan aksi. a) Fisik: Atribut yang relevan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharya, Rao dan Glynn (1995) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memberikan identitas kepada anggota bahwa dia termasuk bagian dari suatu komunitas, dan identitas ini dapat berupa atribut yang terlihat dan berhubungan dengan produk yang dipakai. Atribut-atribut yang membedakan ini dapat berupa baju dengan tema tertentu, atau atribut yang lain yang dianggap relevan. Kesesuain atribut yang dipakai oleh komunitas penting untuk membentuk image komunitas, dan kesesuaian ini bisa didasarkan pada sejarah atau budaya komunitas, seperti dijelaskan oleh informan 22, “Kita flashback dulu, pada tahun 60an di Italia itu stylenya kan udah bagus, motornya vespa, style-
- 151 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
nya bagus. Di inggris pada saat itu ada suatu krismon, temen-temen dulu yang naik vespa tergolong para pekerja/buruh, dia buat style sendiri memakai sepatu mereknya Dogmark, itu sepatu yang handmade, dibuat sendiri, baju juga buat sendiri, ya kayak gitu motor yang paling murah itu motor vespa yang dipakek itu, dia melihatkan ke dunia luar bahwa inggris itu gak kalah sama italia, penampilan vespanya itu dibuat modern, banyak lampunya, banyak kacanya, namanya waktu itu mod dari kata modernisasi. Penampilanya kayak parka pake dogmark, pakek jeans.” Informan 14, pendiri Vespa hari Jumat. Tidak hanya seragam, atau pakaian dengan karakter tertentu, atribut ini bisa berupa benda lain yang dianggap relevan oleh komunitas. TMC menggunakan Helm berwarna merah. Seperti yang dijelaskan oleh ketua regional II pangda Jatim: “Anggota TMC wajib memakai helm merah, karena artinya berani. Kita berani di jalan dengan prosedur-prosedur sesuai dengan aturan. Dan kedua, biar tampak serasi, jadi kita bisa membedakan ini memang anggota klub atau anggota dari luar.” Informan 1. Selain perbedaan itu harus mencolok, penjelasan nara-sumber sebagai pendiri dan senior komunitas menunjukkan bahwa komunitas tidak asalasalan memilih atribut apa yang akan melekat dan memberikan identitas bagi komunitas dan anggotanya, semua ada dasarnya, kenapa memakai baju rapi, dan di Tiger kenapa harus bercelana panjang serta memakai sepatu. Semakin relevan atribut yang digunakan dengan product, semakin kuat perbedaan yang dibentuk. Kutipan wawancara berikut merupakan alasan TMC menggunakan celana panjang dan sepatu, “Terus yang utama waktu kita kumpul, di club lain mereka agak bebas, klo di TMC harus pake celana panjang, sepatu dan helm merah. Kalau tidak pakai sepatu kena sanksi. Soalnya motornya aja tiger masak beli sepatu dan celana panjang tidak bisa.” Informan 2, Penasihat TMC.
yang kuat dari opini publik, maka semakin relevan atribut yang digunakan anggota dengan komunitas dan pembeda yang digunakan menarik maka semakin kuat identitas komunitas sehingga masyarakat dengan mudah mengidentifikasinya.
Gambar 2. Atribut fisik yang digunakan TMC dalam manghadiri event
b. Mental: saudara dengan hobi yang sama Komunitas yang baru muncul membutuhkan banyak daya tarik untuk membuat dia cepat berkembang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa keinginan bertemu dengan saudara yang baru sengan hobi yang sama adalah misi para anggota dalam bergabung komunitas. Muniz dan O'guinn (2001) menjelaskan bahwa salah satu pertanda komunitas adalah consciousness of kind dimana anggota merasakan sebuah hubungan penting kepada merek, tetapi lebih penting, mereka merasakan hubungan yang lebih kuat terhadap sesama anggota, mereka merasa memahami satu sama lain meskipun mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Seperti dijelaskan oleh informan 12, 30 tahun: “Kita ini orang vespa terkenal dengan persaudaraanya. Semakin kita bisa menunjukkan persaudaraan kita, dan kenyataanya kita selalu menujukkan kesolidaritasan kita. Itu yang selalu melandasi kita dan dengan begitu aku yakin, kita akan cepat berkembang.” Informan 12.
Penggunaan atribut ini diwajibkan terutama ketika ada event, dimanapun dan kapanpun ketika event itu berlangsung gambar (4.1.). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan dalam peneitian Dutton, Dukerich dan Harquail (1994) dalam menjelaskan bagaimana suatu organisasi perlu membentuk external image melalui atribut-atribut yang membedakan dirinya dengan organisasi lain secara positif, dan image ini merupakan refleksi - 152 -
Dalam penjelasan diatas, bahwa persaudaraan selalu menjadi dasar para pengguna Vespa, seperti kekuatan yang mengikat antar anggota satu dengan yang lain. Rasa persaudaraan ini yang akan menguatkan semua anggota komunitas dan melandasi komunitas bergerak sebagai suatu kesatuan dalam komunitas. Informan 16 dari komunitas Tiger menjelaskan hal yang sama dengan mengatakan: “Menjaga dan menjalin rasa persaudaraan antara satu anggota dengan yang lainnya, kapanpun dan dimanapun. Ketika kita
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
bertamu ke kota lain, walaupun kita belum pernah bertatap muka dengan anggota tiger di daerah tersebut, pasti akan selalu dapat menerima anggota tiger dimana saja.” Informan 8.
rosok-rosok. Kita selalu rapi, dan kita selalu menunjukkan ke masyarakat bahwa vespa itu banyak yang dirawat.” Informan 14, pendiri Vespa hari Jumat.
Uniknya adalah rasa persaudaraan yang timbul antar para anggota tidak luntur dengan waktu dan dimanapun mereka berada, dan rasa ini menjadi suatu idealisme tersendiri bagi setiap anggota. Penelitian lain sebelumnya yang dilakukan oleh Schouten dan McAlexander (1995) juga menjelaskan bahwa prinsip persaudaraan antara para pengguna motor Harley-Davidson memiliki arti keyakinan, yang kemudian membuat para anggota berbagi kepercayaan, tujuan, dan pengalaman, dan dalam kondisi apapun para anggota akan loyal kepada sesama, dan kekuatan ini ketika seseorang rela dan bersedia memberikan arti hidup mereka melalui konsumsi, seseorang tidak peduli waktu dan rela mengeluarkan uang untuk sesuatu yang dirasa sama dengan dirinya merupakan kekuatan penting dalam pemasaran. Walaupun di dalam dua komunitas ini rasa persaudaraan antara anggota sama-sama kuat, tetapi mental yang dibentuk selalu berbeda dengan komunitas yang lain. Vespa dikenal dengan persaudaraanya yang sangat kuat dan lebih egaliter. Dalam vespa semua orang adalah sederajat. Berbeda dengan Tiger, persaudaraan di komunitas ini dikenal dengan caranya yang agak militan. Ada status hirarki tetapi tetap tidak membedakan rasa persaudaraan pada masing-masing anggota. Karakter persaudaraan ini terbentuk karena budaya, dan sejarah yang dimiliki komunitas masingmasing, tetapi tidak kekuatan persaudaraan yang diciptakan sangat kuat dan mengikat para anggota. Dengan pondasi persaudaraan yang cukup kuat, suatu komunitas kemudian tidak hanya cukup menjadi kuat dan berkembang, masyarakat harus menerima keberadaan komunitas untuk menjadi komunitas yang baik. Beberapa kutipan wawancara menjelaskan sebagai berikut: “Kita memang sering dijadikan icon club, apalagi tentang safety riding. Yang pastinya setiap ada acara, kita selalu dijadikan icon. Kita punya manner dalam berkendara, kelengkapan, dll” Informan 8, ketua komunitas tiger. “Masyarakat sekarang sudah menerima keberadaan Vespa, dalam artian mereka sekarang berpikir vespa itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan kayak yang
Dari kutipan diatas, dapat ditarik bahwa perbedaan yang positif itu perlu untuk merubah mindset masyarakat. Masyarakat tadinya yang memiliki image buruk tentang geng motor, yang melakukan touring tidak rapi dan cenderung berantakan. Perlu menjadi berbeda dan lain daripada yang lain untuk membalikkan stigma masyarakat tentang geng motor. Menjadi rapi, tertib dan memberikan contoh yang baik lambat laun akan merubah image masyarakat tentang komunitas. c) Aksi: Rutinitas kegiatan Komunitas selalu memiliki rutinitas baik mingguan, bulanan dan event-event besar lainnya. Rutinitas dalam komunitas dapat berupa pertemuan setiap minggu, touring atau kirap, serta menghadiri undangan-undangan baik dari masyarakat, instansi, ataupun komunitas lain. Pertemuan rutin yang diadakan oleh komunitas selain memberikan perbedaan tersendiri juga berguna untuk menjaga eksistensi komunitas sehingga antara anggota tidak pernah putus berkomunikasi, tukar pendapat dan saling memberi informasi bisa terus dilakukan. Informan 1, 28 tahun menjelaskan: “Agenda tahunan, setiap bulan puasa kita pasti Baksos, jadi untuk jawa timur sendiri ada kepengurusan daerah. Selain Baksos untuk internal daerah, ada Baksos untuk wilayah Jawa Timur. Event-event bulanan kita tergantung undangan, ada ultah dari klub mana, dan undanganya itu dari seluruh Indonesia. Ini aja kita dapet undangan dari krawang dan bandung bebarengan. Untuk kegiatan tiap minggu ya kumpul jam 22.00 di halaman depan tunjungan Plaza. Setiap kumpul kita selalu mulai briefing berbagai informasi, tuker pendapat, tuker pikiran, kendalakendala yang dialami, safety riding, tuker informasi, dll. Setelah briefing habis kita lanjut dengan rolling tunder, jadi kita keluar basecamp untuk latihan touring. Kita belajar bersama bagaimana berkendara yang benar, rambu-rambu saat touring dan kebiasaan touring. Kita biasakan melakukan itu setiap habis kumpul, entah itu puter Surabaya atau kemana.” Informan 1.
- 153 -
Kutipan diatas menjelaskan bahwa perkumpulan yang dilakukan komunitas punya peran lebih dari hanya sekedar berkumpul. Bahwa terjadi berba-
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
gai macam praktek oleh anggota dalam setiap berkumpul. Sharing informasi, cerita dan pengalaman adalah yang paling sering dibicarakan ketika sedang berkumpul, touring, kirap, dan jarang sekali membicarakan urusan pribadi para anggota. Bahkan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah komunitas yang benar dan peduli masyarakat, kegiatan sosial juga kerap dilakukan seperti sunatan massal bahkan bagi-bagi sembako pada bulan puasa.
Gambar 3. TMC dalam acara “Road to Timor Leste”
Tidak lupa mereka selalu membawa atribut fisik yang menjadi identitas mereka dalam setiap pertemuan. Akhirnya masyarakat kemudian familiar dengan kegiatan komunitas, dan komunitas sendiri selain untuk menjaga eksistensi, perkumpulan dan rutinitas lain yang diadakan juga dapat ikut membantu memperkenalkan ke masyarakat dan serta mempromosikan komunitas. Hal ini mendukung hasil penelitian McAlexander, Schouten, dan Koenig (2002) yang menjelaskan tentang fungsi adanya Brandfest bagi para anggota komunitas untuk berbagi pengalaman yang berarti, memperkuat ikatan interpersonal, meningkatkan apresiasi terhadap produk. Ikatan yang tadinya dengan pertemuan bisa menjadi ikatan yang nyata, dan ikatan yang lemah bisa menjadi kuat, dan hal ini akan memperkuat kesatuan suatu komunitas.
bahwa sumber yang minim ini harus dimaksimalkan agar perkumpulan yang awalnya kecil bisa terus berkembang dan semakin menarik banyak perhatian. Terdapat tiga faktor yang menentukan suatu efektifitas mobilisasi yaitu Political Opportunity Structure, Shared interest dan Sosial Infrastructure. a) Political Opportunity Structure: Menghadiri Event Besar Kalau sebelumnya diceritakan bahwa komunitas memiliki rutinitas yang turut menciptakan perbedaan dan menguatkan tali para anggota, dalam proses ini komunitas memerlukan momentum penting yang bisa mendorong percepatan pertumbuhan komunitas. Momentum ini dapat berupa respon dari agenda publik atau tradisi-tradisi yang relevan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa momentum yang mendorong percepatan perkembangan komunitas adalah kehadiran dan partisipasi pada event-event negara (17 Agustus, 10 November, dll), event-event besar, dan kegiatan rutin komunitas sendiri. Informan 9, dari komunitas Tiger menjelaskan: “Jamboree Win day, adalah ajang berkumpulnya pengendara Tiger se Indonesia. Mengikuti acara-acara seperti ini membantu semakin berkembangnya komunitas. Kita sering ikut seperti acara 10 November, seperti ulang tahun Sidoarjo, kita juga ikut. Selain itu banyaknya yang melakukan touring kemudian di share di social network seperti facebook, twitter. Dealer Honda pun juga merekomendasi kepada para pembeli yang suka touring untuk bergabung dengan HTCI atau HTML, sehingga komunitas semakin berkembang.” informan 9.
Mobilisasi (Mobilization) Komunitas yang baru muncul memiliki sumber daya yang masih minim, berawal dari perkumpulan segelintir orang yang melakukan konsumsi pada sebuah produk yang sama, sehingga perlu adanya efektifitas dalam mengorganisir kesempatan dan sumber daya yang ada untuk mengembangkan komunitas. Komunitas baru yang muncul memerlukan leader untuk mengkoordinir jalannya komunitas. Komunitas yang baru juga perlu moment-moment yang dapat mendorong perkembangan komunitas, serta komunitas baru perlu berbagi ketertarikan yang sama antar anggota agar perkumpulan menjadi kuat. Artinya - 154 -
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa momentum yang banyak membantu perkembangan komunitas bisa muncul dari internal komunitas maupun external komunitas. Undangan instansi pemerintah misalnya adalah event diluar komunitas, sedangkan touring atau kirap muncul dari internal komunitas. Moment-moment ini diikuti secara rutin dan terus dilakukan untuk menunjukkan keberadaan komunitas. Momentum seperti agenda negara, event besar dan kegiatan rutin yang biasa diikuti memiliki tujuan untuk memasyarakatkan komunitas agar cepat dikenal. Seperti penjelasan dari Informan 10, 42th: “Itu salah satu visi Club juga, untuk memasyarakatkan vespa ke khalayak umum. Ini loh vespa itu, kita menjalin persahabatan dan persaudaraan antara para pemudi.
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Selain itu juga menumbuhkan semangat teman-teman yang lebih dengan mengikuti acara yang seperti itu.” Informan 10. Ketika masyarakat mulai tau dengan keberadaan komunitas, maka yang muncul kemudian adalah pengakuan dari masyarakat bahwa komunitas ini ada. Event besar ini mengumpulkan para pengguna, penggemar bersama, dan tidak ada motif lain kecuali membawa nama komunitas ke masyarakat. “Kalau kita ingin besar dan masyarakat umum tahu, ya harus ikut itu, event-event penting. Kalau ga ikut, ya ga kelihatan. Anggota juga ikut senang, kadang masuk TV. Ada rasa ajang menunjukkan diri.” Informan 2, penasihat TMC. Hal ini mendukung penelitian Leudicke (2006) yang menjelaskan bagaimana komunitas dan lingkungan sosial dapat saling mengakui dan menerima, dijelaskan bahwa komunitas HUMMER melakukan pembedaan politik, dalam waktuwaktu tertentu komunitas HUMMER juga terlibat dan berpartisipasi dalam acara politik, tetapi mereka tidak pernah bekerjasama lebih ketika sudah menyinggung kebebasan untuk memilih. Hal ini dilakukan komunitas HUMMER untuk bisa membangun hubungan dengan lingkungan luar. Kedua komunitas yang menjadi subyek penelitian menerangkan hal yang sama, bahwa karena komunitas merupakan organisasi sosial yang dilandasi oleh kesamaan hobi dan persaudaraan, mereka tidak akan menerima pendekatan jenis apapun dan imbalan sebesar apapun yang membawa kepentingan dan membahayakan kesatuan komunitas, misalkan calon bupati yang ingin menitipkan nama di komunitas. “Kita kemarin punya acara di basuki rahmat ulang tahun TMC, kita kemarin tanpa sponsor dengan modal sendiri, dari situ rame-rame kampanye dateng, pak karwo dateng, pak cip dateng, dari khofifah dateng nawarin ini itu macem-macem. Tapi kita sudah berkomitmen bahwa TMC ini tidak akan tercampuri masalah dan urusan politik apapun yang ditawarkan.” Informan 6.
undangan atau sambutan dari aparat pemerintah, semata-mata karena undangan dan untuk memenuhi agenda public bukan untuk mengikuti politik praktis. Event-event yang dihadiri oleh komunitas murni karena ingin mempromosikan nama komunitas, dan kerjasama yang dilakukan komunitas adalah kerjasama yang tidak mengikat dan tidak membahayakan kebebasan anggota. b) Shared Interest: Semua adalah keluarga dimanapun dan kapanpun Cepat atau lambat pertumbuhan suatu organisasi tergantung pada sejauh mana mereka secara efektif terorganisir dan mampu untuk mengamankan sumber yang ada (McAdam, 1982). Salah satu efektifitas mobilisasi adalah dengan berbagi ketertarikan, perkumpulan harus memiliki ketertarikan yang sama. Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketertarikan anggota komunitas bergabung dengan komunitas bervariasi diantaranya persaudaraan, menjaga keunikan, serta menyalurkan hobi. Tugas selanjutnya komunitas adalah bagaimana mengakomodasi berbagai ketertarikan ini sehingga semua tersalurkan dan efektif untuk memajukan komunitas.
Walaupun pihak berkepentingan menawarkan imbalan yang cukup banyak, dan di internal komunitas pun sempat mengalami kontroversial. Komunitas pada akhirnya mampu menolak karena dianggap akan membahayakan kesatuan komunitas. Komunitas tidak membatasi jika ada
- 155 -
Karena komunitas terbentuk karena kesamaan akan suatu product tertentu, dan landasan yang digunakan adalah karena hobi dan untuk mencari saudara, komunitas lebih menyesuaikan diri sebagai tempat untuk bersenang-senang, santai dan kekeluargaan. Komunitas-komunitas ini biasanya mengadakan kumpul-kumpul seminggu sekali, terkecuali ketika ada acara, dan setiap perkumpulan ini berbagai macam aktifitas dapat dilakukan, mulai memamerkan varian vespa sampai dengan sharing tukar informasi (Gambar 4)
Gambar 4. Berbagai varian vespa yang tersusun rapi di depan Grahadi
Rutinitas yang kekeluargaan, santai dan tetap berkarakter itu yang menarik para anggota untuk
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
bergabung dalam komunitas. Tiger juga mengadakan rutinitas yang sama. Informan 8, ketua komunitas Tiger juga mengatakan: “Tujuannya cuman satu: persaudaraan. Lebih mencari saudara, dan ikut club biar ga monoton bisa nambah saudara. Tujuan secara garis besar itu, mencari saudara.” Informan 8. Selanjutnya komunitas harus mampu mengakomodasi ketertarikan-ketertarikan ini agar komunitas bisa hidup. Pertemuan rutin yang dilakukan ternyata tidak hanya membahas tentang program apa yang akan dilaksanakan, tetapi dari setiap perkumpulan itulah ketertarikan para anggota selalu diakomodasikan, dan dari perbincangan setiap saat ini lah komunitas menjadi hidup. “Tiga ketertarikan dalam mengikuti komunitas, tuker informasi, penyalur hobi, dan menambah saudara. Kita setiap ketemu pasti ngobrol, dan ngobrolnya ya tentang ketiga hal itu, jadi otomatis kita berbagi ketertarikan kita. Ya itu dasarnya komunitas berdiri, kalau tidak ada itu ya komunitas tidak hidup. Itu dilakukan setiap saat, kemanapun” Informan 1, TMC. Dalam kasus komunitas HUMMER yang diteliti oleh luedicke (2006), bahwa diantara anggotaanggotanya, komunitas membentuk komunikasi seperti event-event, mailing list, forum online sebagai wadah komunikasi para anggota. Hubungan sosial antar anggota adalah inti dari suatu komunitas, untuk mempertahankan anggota, menambah anggota baru, dan memperdalam tali antar anggota, juga keluarga, teman, dan tamu. Komunitas tiger dan komunitas vespa juga mengakui pentingnya bertemu dan tukar informasi, pikiran dan pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Anas, bahwa tidak ada kegiatan tersebut komunitas tidak akan hidup. c) Social Infrastructure: Flexible dan tidak mengikat Dalam komunitas, ada actor kunci yang memiliki hubungan erat antar sesama, dan dia mampu mendorong efektifitas mobilisasi sehingga perkembangan komunitas akan cepat tercapai (Marwell et al, 1988). Untuk itu dibutuhkan struktur yang mampu mewarnai komunitas, dan meluruskan jalan serta tujuan didirikannya suatu komunitas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir semua menerapkan structur sosial di dalam komunitas. Struktur yang diterapkan memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan kebutuhan, tetapi pada dasarnya sama, ada pemimpin ada anggota dan ada bagian-bagian lain. - 156 -
TMC memiliki struktur yang lebih rigid, kepengurusan dibuat detail sesuai dengan tugasnya. Dijelaskan oleh pengurus TMC bahwa pembagian pengurus yang detail ditujukan agar komunitas mempunyai jalan yang jelas, tujuanya juga jelas, sehingga komunitas dapat terbentuk sesuai dengan goalnya. Hal ini dijelaskan oleh penasihat TMC, Informan 10: “Suatu komunitas itu harus ada aturan. Aturan-aturan itu yang menjalankan ya pengurus itu tadi. Jadi dengan susunan pengurus itu kita jadi tidak awur-awuran di klub. Goalnya jelas, tujuannya juga jelas.” Informan 2. Pembagian tugas yang detail ini berfungsi untuk memastikan apakah komunitas sudah berjalan dengan efektif dan benar. Di dalam TMC bahkan ada 4 kepala divisi dengan tugas yang berbeda, divisi logistic, keorganisasian, tata tertib, dan infokom. Tugasnya berbeda-beda, keorganisasian dan tata tertib misalkan bertugas menyaring calon anggota yang ingin bergabung dalam TMC. Karena banyaknya orang yang ingin bergabung, TMC memperketat proses untuk menjadi anggota TMC, dengan memberikan orientasi dan beberapa syarat lainnya. Dijelaskan oleh ketua TMC saat ini, Informan 3, 27 tahun: “Kita masuk, nongkrong di basecamp. Setelah 1 bulan kira-kira 4x pertemuan diberi formulir, daftar. Lalu ketika sudah pendaftaran itu kita namakan “calon prospek”, calon pospek itu ada waktu sekitar sampai 6 bulan untuk menyelesaikan administrasi, kita juga melihat keaktifan dan test touring dalam 6 bulan ini, minimal 2x. Kemudian satu lagi, keorganisasian, di keorganisasian kita selalu bikin acara, dan mereka harus jadi panitia tetapi bukan koordinator. Pokoknya ikut menyelenggarakan acara tsb. Setelah itu mereka akan ada yang namanya seleksi, seleksi calon pospek untuk menjadi pospek. Disitu, kita cek mental, fisik dan kemampuan teknik motor biasanya. Untuk mental, kita lebih menerapkan kedisiplinan, buka baju harus nuntun motor, terus pakai jas hujan siang-siang bolong bawa motor. Itu kita mengetes fisik dan mentalnya.” Informan 3. Penjelasan diatas, menceritakan bagaimana anggota baru masuk dan mengalami proses yang telah ditentukan oleh panitia. Dalam penelitian Schau, Muniz dan Arnaould (2009) juga menjelaskan bagaimana praktek di dalam komunitas
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
menciptakan nilai, salah satunya adalah praktek Social Networking dengan Welcoming yaitu memberikan ucapan selamat datang kepada anggota baru, memberikan arahan dalam proses pembelajaran dan sosialisasi terhadap komunitas. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan komunitas Tiger dan Vespa.
serta merta terbentuk. Ada dua hal penting untuk membentuk legitimasi dalam komunitas, Persuasion dan Emulation. Komunitas harus mampu menunjukkan bukti kontribusi yang unik kepada masyarakat (Persuasion) serta komunitas juga bisa mendapat legitimasi dengan menyesuaikan paradigma dari komunitas yang lebih besar dan benar (Emulation).
Dalam komunitas vespa, struktur yang tercipta lebih longgar dan sangat flexible. Karena mayoritas anggota vespa adalah orang yang independence, tidak suka terlalu banyak yang mengatur. Ketua, wakil, bendahara, tetap ada, dan hampir disetiap komunitas ada hal tersebut. Yang membedakan kemudian adalah implementasi dan detail dari kepengurusan yang ada tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Informan 13, 55th, penasihat komunitas Vespa: “Namanya komunitas itu kan tidak mengikat. Misalkan ketua, dia kan juga bekerja yang lain. Kita flexible. Siapapun bisa melaksanakan tugas ini.” Informan 13.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses pembentukan perbedaan dan mobilisasi hal yang penting untuk mengembangkan komunitas, dan dua proses ini mendukung proses pembangunan legitimasi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa komunitas membangun legitimasi pada awalnya dengan mendaftarkan diri ke dalam wadah resmi seperti IMI (ikatan motor Indonesia), Pemerintah Kota, dan instansi-instansi lain yang berhubungan. Terdaftarnya komunitas dalam wadah resmi seperti ini telah membuktikan bahwa komunitas menunjukkan citra yang bagus dengan berada jalur yang benar. Untuk dapat terdaftar dalam instansi resmi, internal komunitas harus sudah kuat serta memiliki aturan yang jelas, dan komunitas mampu membuktikan bahwa mereka adalah perkumpulan legal yang berada pada jalur yang benar.
Yang dapat ditarik garis merah dari ketiga komunitas adalah, pentingnya ada suatu kepengurusan untuk memberikan arah bagi jalannya komunitas. Yang membedakan adalah bagaimana struktur itu bergerak mengendalikan komunitas, dan hal ini tergantung pada karakteristik komunitas tersebut. Karena komunitas merupakan perkumpulan para penggemar suatu merk tertentu mereka berkumpul untuk persaudaraan dan hobi, tentunya kepengurusan cenderung tidak mengikat dan lebih flexible agar yang tercipta adalah suasana nyaman. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Whatley, Popa, dan Kliewer (2012) membuktikan bahwa leadership (kepemimpinan) dalam komunitas itu perlu dan menemukan bahwa kepemimpinan yang tepat memberikan kontribusi dalam perkembangan komunitas. Dijelaskan bahwa kepemimpinan ini mempengaruhi proses individu dan kelompok dalam mencapai tujuan bersama dan meningkatkan huungan fungsional antara anggota dan komunitas. Pembangunan Legitimasi (Legitimacy Building) Dalam peneitian Muniz dan O'Guinn (2001) dijelaskan bahwa komunitas membutuhkan proses legitimasi, dimana anggota komunitas dapat membedakan mana anggota sebenarnya dan mana yang bukan. Karena komunitas merupakan organisasi sosial yang terbuka, komunitas membutuhkan status hirarki. Komunitas yang baru muncul perlu untuk mendapat pengakuan akan keberadaan dirinya, dan pembentukan pengakuan ini merupakan proses yang tidak bisa
Dibantu dengan kegiatan-kegiatan rutin yang telah dilakukan oleh komunitas seperti touring, bakhti sosial, dan event-event perayaan lain yang positif, proses ini kemudian dengan sendirinya akan membentuk citra yang baik bagi komunitas karena komunitas dapat menunjukkan bukti kontrbusi yang baik kepada masyarakat. Pada akhirnya komunitas dapat dengan mudah mendekati masyarakat, instansi bahkan kepolisian. Berikut kutipan wawancara yang menjelaskan proses pembangungan legitimasi komunitas: “Kita diakui karena kita bagus dan taat. Surat juga sudah kebayar, kita kemana saja kita pede, karena kita ga urakan. Polisi akhirnya tau record kita. Orang lain pun ingin gabung karena mereka tertarik sendiri, karena kita unik dan rapi.” Informan 13, 55th, Penasihat Vespa. Selain membuktikan bahwa suatu komunitas itu berada pada jalur yang benar, legitimasi juga bisa muncul dari meniru komunitas yang sudah ada dan dinilai bagus. Tiger menjelaskan bahwa awal mula cikal bakal komunitas tiger, tiger berkaca pada vespa, dijelaskan oleh pendiri TMC: …Kita itu berteman bersahabat, bersaudara tidka memandang dari sesuatu motor, kekayaan atau apa, tidak begitu. Makanya itulah yang sudah mengalami kalau touring misal di Aceh waktu itu belum ada klub tiger, yang
- 157 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
nolong malah orang-orang Vespa, diajak jalan, makan tempat tinggal kan memang aceh waktu itu masi tidak aman, jadi kita dikawal vespa waktu itu jadi tenang hati. Saya mempelajari karakter vespa.” Informan 15. Emulasi adalah tahap menyesuaikan atau menirukan pada komunitas yang lebih dulu ada dengan paradigma yang benar, vespa selalu menunjukkan integritas dan toger menirunya tau paling tidak ingin bisa setara dengan komunitas yang sudah ada. Penelitian ini juga menemukan bahwa legitimasi juga didapat melalui promotion, adanya peran media masa untuk turut mempromosikan keberadaan komunitas sehingga masyarakat cepat mengenali dan mengetahui keberadaan komunitas. Tiger dan Vespa mengakui bahwa adanya peran media dalam mempercepat pekembangan komunitas, media meliput keunikan yang dimiliki oleh kedua komunitas, acara-acara yang besar dan modifikasi-modifikasi yang unik. Seperti dijelaskan oleh Informan 7 dari Vespa; “Pandangan anak muda sekarang, tahun 65an banyak diburu. Sinteron memang banyak yang memakai begitu, seperti anak saya dulu ga suka vespa, gara-gara masuk sinetron, sering masuk tv, lama-lama banyak yang suka. Dulu sering masuk majalah, autotrens itu sering meliput, belakang-belakang ini banyak meliput jepang. Kalau masalah modif, vespa bisa, walaupun dipanjangi sepanjang apa bisa. Pernah punya teman saya dipanjangkan sampe 9 meter, waktu itu masuk di majalah motorplus Jakarta.” Informan 7. Dari ketiga proses tersebut legitimasi komunitas dapat cepat terwujud. Bahwa mendapatkan legitimasi merupakan proses yang tidak singkat, perlu pembentukan citra bahwa komunitas ini benar, memberi contoh yang baik rapi dan taat. Berdasrkan hasil wawancara, bahwa proses pembangunan legitimasi ini membutuhkan waktu yang cukup lama, minimal dua tahun. Komunitas membutuhkan pengakuan ini untuk dirinya dan untuk anggota, keuntungannya adalah akses pun menjadi mudah bagi komunitas, ingin mengadakan event perizinan tidak akan dipersulit kepolisian atau instansi lain, dan pengakuan ini membuktikan bahwa komunitas bukan suatu perkumpulan legal yang tidak benar, dengan begitu keuntungannya banyak orang tertarik bergabung dengan komunitas ini, pertumbuhan komunitas pun menjadi lebih cepat dibantu dengan pengakuan masyarakat, instansi dan aparat lain, dari dalam anggota juga semakin merasa diakui dan senang sehingga solidaritas juga semakin kuat.
Normative Community Pressure Dalam penelitian Algesheimer, Dholakia dan Hermann (2005) menjelaskan bahwa normative community pressure merupakan persepsi konsumen terhadap permintaan ektrinsik komunitas kepada seseorang untuk berinteraksi dan bekerjasama di dalam komunitas. Permintaan ini biasanya diikuti oleh paksaan untuk mematuhi norma komunitas, ritual dan tujuannya. Dalam hasil wawancara, penelitian ini menemukan bahwa hampir seluruh komunitas memiliki anggaran dasar rumah tangga, yang mana di dalamnya berisikan aturan tertulis tentang aturan di dalam komunitas, hak dan kewajiban anggota, dan sanksi atas pelanggaran. Kedua komunitas ini memiliki ADART dan norma-norma yang tidak tertulis, dan aturan ini yang menjadi landasan para pengurus dan anggota dalam menjalankan komunitas. Selain itu juga berfungsi memberikan legalitas atas acara-acara yang akan diselenggarakan oleh komunitas, dan pemerintah juga mengakui akan keberadaan komunitas sehingga ketika ada event-event penting komunitas diundang untuk berpartisipasi. Ada aturan maka akan ad apelanggaran, dan sanksi. Komunitas Tiger menjelaskan pernah memberikan sanksi kepada anggotanya karena perilaku yang tidak dapat diterima oleh komunitas. Dijelaskan oleh Informan 4, “Sejak kepengurusan saya ada 3 orang yang dikeluarkan masalah attitude, kalau di jalan buat salah dengan menggunakan nama TMC, padahal dia oleh pengurus belum dilantik, ada satu yang sudah dapat nomer lambung. Omonganya gak bisa dijaga, di luar kota dia juga ngerepotin, jadi membuat nama club jadi jelek.” Informan 4. Norma tidak tertulis lebih kepada semacam tradisi yang melekat pada anggota komunitas. Seperti dicontohkan dalam penelitian Algesheimer, Dholakia dan Herman 2005, bahwa norma ini juga dapat mempengaruhi interaksi antar anggota komunitas seperti pemilik mobil Saab ketika bertemu dengan pengendara Saab lain mereka melambaikan tangan sebagai tanda persahabatan (Muniz dan O'Guinn, 2001). Ketiga komunitas ini melakukan hal yang sama, salah satu anggota Vespa menjelaskan: “kita kalau ketemu, mesti melambaikan tangan, kalau ga gitu blayer-blayer, kalau ngedim lampu ga semua pengendara vespa ada lampunya, jadi yang paling sering melambaikan tangan, kenal atau ga kenal asal naik Vespa” Informan 11. Di Indonesia, setiap perkumpulan memang diharuskan memiliki landasan tertulis dan akte kenotariatan
- 158 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
untuk dapat selanjutnya terdaftar dalam instansi yang bersangkutan. Tiger dan Vespa misalnya terdaftar dalam IMI (ikatan motor Indonesia), dan di dalam ini beberapa prosedur harus dipenuhi diantaranya aturan itu, selanjutnya keuntungan bagi komunitas adalah dia dia tidak illegal. Bergabung dengan IMI artinya komunitas udah memiliki perizinan, akte kenotariatan dan memiliki AD & ART, selain itu komunitas diuntungkan dengan acara-acara yang diselenggarakan IMI dan hal ini sangat membantu memperkuat komunitas. Keterbatasan Penelitian keterbatasan penelitian ini adalah lingkup yang diteliti hanya pada komunitas roda dua, sehingga varian komunitas kurang bisa terpenuhi. Lebih baik jika penelitian ini diperluas dengan menambah subyek penelitian dari komunitas yang beroda empat dan komunitas-komunitas jenis lain. Sehingga data yang didapat bisa lebih mewakili seluruh jenis komunitas yang ada. Selain itu, sample yang dipilih terbatas pada wilayah Surabaya dan sekitarmya, sehingga kurang bisa mewakili seluruh komunitas. Pengklasifikasian data hasil wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri tanpa orang lain. Peneliti mengundang 2 orang juri untuk mengkoreksi, tetapi tidak untuk mengklasifikasikan. Lebih baik jika hasil wawancara diklasifikasikan oleh orang lain juga sehingga subyektifitas dapat terminimalisir. Implikasi Dalam akademisi Penelitian ini memperluas aplikasi social movement theory dalam konteks brand community. Selain itu penelitian ini dapat memberikan inspirasi bagi peneliti-peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian, sebagai acuan untuk mengembangkan teori.
Penting untuk turut berpartisipasi dan meramaikan agenda-agenda public seperti perayaan kemerdekaan, hari pahlawan dan lain-lain. Selain memberikan contoh yang baik, hal ini juga menjadi ajang mempromosikan diri ke khalayak umum. Rutinitas, ritual dan tradisi komunitas adalah wadah untuk berbagi informasi akan produk tertentu serta berbagi ketertarikan. Sebaiknya jangan membawa masalah lain yang bisa menimbulkan perpecahan komunitas. Komunitas merupakan organisasi sosial yang berlandaskan hobi yang sama, dan banyak orang berkepentingan yang ingin masuk memanfaatkan. Komunitas harus punya jati diri untuk menolak hal-hal yang bisa membahayakan integritas komunitas, misalnya ikut kampanye calon bupati/gubernur/aparat negara lain. Ketika komunitas membuat event, sebaiknya buat yang bagus dan menarik. Karena rutinitas dan acaraacara yang dilakukan komunitas dapat mendatangkan pengakuan masyarakat dan aparat negara seperti kepolisian. Keuntungannya jika sudah dikenal baik, maka akses perizinan dan kelancaran acara bisa lebih mudah didapat. Aturan tertulis maupun tidak tertulis berperan penting dalam menjaga perilaku anggota agar tidak menyalahi jalur yang telah dibuat oleh komunitas. Aturan ini seperti petunjuk yang dipegang oleh para anggota komunitas sebagai batasan dalam bergerak. Bagi akademis, penelitian ini memperluas wawasan strategi pemasaran tentang bagaimana mengembangkan komunitas merek, yang selama ini dalam kaca mata gerakan sosial belum pernah diteliti.
Secara managerial implikasi yang dapat diberikan adalah komunitas sebaiknya memiliki ciri khas yang berbeda dengan komunitas lain dan menjadi identitas mereka agar cepat dikenal oleh masyarakat dan banyak orang lain yang tertarik untuk bergabung. Identitas ini bisa berbentuk atribut fisik, visi misi, ataupun kegiatan rutin dan sebaiknya ciri khas ini unik dan relevan dengan karakter komunitas. Selain itu, Komunitas tidak bisa terlalu diatur dengan struktur yang kaku, karena kebanyak komunitas merupakan wadah bagi mereka yang memiliki hobi yang sama. Biarkan para anggota bebas bersuara, beride asalkan semua sesuai dengan aturan yang ada dan sesuai dengan tujuan komunitas.
- 159 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
PENELITIAN LEBIH LANJUT Dari hasil penelitian ini serta batasannya, untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan subyek penelitian yang lebih luas, tidak hanya komunitas yang beroda dua tetapi juga pada komunitas yang lainnya. Sample yang digunakan juga bisa lebih besar lagi. Selain itu, sample yang digunakan terbatas pada wilayah Surabaya dan sekitarnya, lebih baik lagi jika dibandingkan dengan wilayah lain yang cakupannya lebih luas lagi. Selain itu, walaupun dalam penelitian ini telah ditemukan tiga proses yang dapat mempercepat tumbuh dan berkembangnya komunitas, tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan lagi proses lain yang
dapat melengkapi dengan komunitas yang lebih banyak. Dan juga, mungkin dapat dengan jelas menunjukkan faktor mana yang dapat mempengaruhi banyak, mana yang saling lebih berhubungan, dan ketika salah sau faktor tidak ada apa yang mungkin terjadi pada komunitas. Dan dari sudut pandang perusahaan tidak dibahas dalam penelitian ini, tentang bagaimana dan kapan perusahaan seharusnya memberikan campur tangan dalam proses tersebut sehingga komunitas dapat lebih cepat lagi berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Ahearne, M., C.B. Bhattacharya, and T. Gruen. 2005. Antecedents and Consequences of Customer–Company Identification: Expanding the Role of Relationship Marketing. Journal of Applied Psychology. 90: 574–585. Algesheimer, R., U.M. Dholakia, and A. Herrman. 2002. The Social Influence of Brand Community: Evidence From European Car Clubs. Journal of Marketing. 69: 19-34. Ashmore, R.D., K. Deaux, and T. McLaughlin-Volpe. 2004. An Organizing Framework for Collective Identity: Articulation and Significance of Multi-Dimensionality. Psychological Bulletin. 130: 80–114. Bagozzi, R.P., dan U.M. Dholakia. 2006. Open Source Software User Communities: A Study of Participation in Linux User Groups. Management Science. 52: 1099-1115. ______. 2006. Antecedents and Purchase Consequences of Customer Participation in Small Group Brand Communities. International Journal of Research in Marketing. 23: 45-61. ______, 2002. Intentional Social Action in Virtual Communities. Journal of Interactive Marketing. 16:2. Bhattaacharya, C. B., H. Rao, and M.A Glynn. 1995. Understanding the Bond of Identification: An Investigation of Its Correlates Among Art Museum Members. Journal of Marketing. 59: 46-57. Brown, K. R. 2010. Interaction Ritual Chain and the Mobilization of Conscientious Consumers. Qual Sociol. 34:121-141. Brown, S., R.V. Kozinets and J.F. Sherry Jr. 2003. Teaching Old Brands New Tricks: Retro Branding and The Revival of Brand Meaning. Journal of Marketing. 67: 19-33. _______. 2000. Social Movement in Advanced Capitalism. New York: Oxford University Press. Buechler, S.M. 1995. New Social Movement Theories. The Sociological Quarterly. 36 (3): 441- 464. Burns, A.C., and R.F. Bush. 2010. Marketing Research. Pearson Education Inc. Cooper D.R. and Schindler P. S. 2012. Business Research Methods. McGraw Hill. Cova, B., and S. Pace. 2006. Brand Community of Convenience Product: New Forms of Customer Empowerment – The Case “My Nutella The Community”. European Journal of Marketing. 40 (9): 10. Cova, B., and S. Pace, and D.J. Park. 2007. Global Brand Communities Across Borders: The Wharhammer Case. International Marketing Review, 24 (3). Davis, G.F., and T.A. Thompson. 1994. A Social Movement Perspective On Corporate Ccontrol. Administrative Science Quarterly. 39: 141–173. - 160 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Dholakia, U.M., R.P. Bagozzi, and L.K. Pearo. 2004. A Social Influence Model of Consumer Participation in Network- and Small-group-based virtual communities. International Journal of Research in Marketing. 21: 241-263. Durkheim, E. 1965. The Elementary Forms of the Religious Life. New York: Free Press. Dutton, J. E., J.M. Dukerich, and C. V. Harquail. Organizational Images and Member Identification. Administrative Science Quarterly. 39(2): 239-263. Eder, K. 1993. The New Politics of Class. Newbury Park, CA: Sage. Fournier S., and L. Lee. 2009. Getting Brand Communities Right. Harvard Business Review.105-111. Franke N., and S. Shah. 2003. How communities support innovative activities: an exploration of assistance and sharing among end-users. Research Policy. 32: 157–178. Fuller, J., G. Jawecki, dan H. Muhlbacher. 2006. Innovation Creation by Online Basketball Communities. Journal of Business Research. Fuller, J., K. Matzler, and M. Hoppe. 2008. Brand Community Members as a Source of Innovation. The Journal of Product Innovation Management. 25: 608-619. Gould, R. V. 1993. Collective action and network structure. American Sociological Review. 58: 182–196. Gremler, D.G. 2004. The Critical Incident Technique in Service Research. Journal of Service Research. Gruen, T.W., T. Osmonbekov, and A.J. Czaplewski. 2007. Customer-to-customer Exchange: Its MOA Antecedents and Its Impact on Value Creation and Loyalty. Journal of The Academic Marketing Science. 35: 537-549. _____. 2005. How e-communities Extebd the Concept of Exchange in Marketing: An Application of the Motivation, Opportunity, Ability (MOA) Theory. SAGE Publications. Hambrick, D.C., and M. Chen. 2008. New Academic Fields As Admittance-Seeking Social Movement: The Case Of Strategic Management. Academy of Mangement Review. 33 (1): 32-54. Heere, B. et al. 2011. Brand Community Development Through Associated Communities: Grounding Community Measurement Within Social Identity Theory. Journal of Marketing Theory and Practice. 19 (4): 407–422 Hesse-Biber S.N. and L. Patricia. 2011. The Practice of Qualitative Research. Los Angeles: SAGE Publications. Hidayat, T. 2007. Potret Komunitas Konsumen di Indonesia. Majalah SWA 21. November 2007.28-31. Hollenbeck, C.R. and G.M. Zinkhan. 2006. Consumer Activism on the Internet: The Role of Anti-brand Communities. Advance in Consumer Research. 33. Hunter, A. J. and G.D. Suttles. 1972. The Expanding Community of Limited Liability in The Social Construction of Communities. Chicago: University of Chicago Press, 44–80. Jenkins, J. C. 1983. Resource mobilization theory and the study of social movements. Annual Review of Sociology. 9: 527–553. Kozinets V.R., and J.M. Handelman. 2004. Adersaries of Consumption: Consumer Movements, Activism, and Ideology. Journal of Consumer Research. 31. Leigh, T.W., C. Peters, and J. Shelton. 2006. The Consumer Quest for Authenticity: The Multiplicity of Meanings Within the MG Subculture of Consumption. Journal Of Academy of Marketing Science. 34 (4): 481-493. Luedicke, M.K. 2006. Brand Community Under Fire: The Role of Social Environment for the HUMMER Brand Community. Advances in Consumer Research. 33. Mael, F., and B.E. Ashforth. 1992. Alumni and their almamater: A Partial Test of the Reformulated Model of Organizational Identification. Journal of Organizational Behavior. 13: 103-123.
- 161 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Mathwick, C., C. Wiertz, and K.D. Ruyter. 2008. Social Capital Production in a Virtual P3 Community. Journal of Consumer Research. 34. McAdam, D. 1982. Political process and the development of black insurgency 1930–1970. Chicago: University of Chicago Press. McAlexander, J.H., and H.F. Koenig. 2002. Building Brand Community. Journal of Marketing. 38-54. McAlexander, J.H., S.K. Kim, dan S.D. Roberts. 2003. Loyalty: The Influences of Satisfaction and Brand Community Integration. Journal of Marketing theory and practice. McAlexander, J.H., H.F. Koenig and John W. Schouten. 2004. Building a University Brand Community: The LongTerm Impact of Shared Experiences. Journal of Marketing. 14: 61-79. McCarthy J.D., and M.N. Zald. 1977. Resource Mobilization and Social Movement: A Partial Theory. The American Journal of Sociology. 82 (6): 1212-1241. Mariampolski H. 2001. Qualitative market research: a comprehensive guide. California: Sage Publication. Giesler M. 2003. Social System In Marketing. European Advances in Consumer Research. 6. Marwell, G., P.E. Oliver, and R. Prahl. 1988. Social networks and collective action: A theory of the critical mass. III. American Journal of Sociology. 94: 502–534. Merton, R.K. 1973. Social Conflict Over Styles of Sociological Work. The sociology of science: The theoretical and empirical investigations. Chicago: University of Chicago Press. Mohammad A., dan A.M. Dewanda. 2009. Harley-Davidson Kegiatan Komunitas Lahirkan WOM Marketing. Majalah SWA. 5-18 Maret: 52-54. Muniz A., and O'Guinn T.. 2001. Brand Community. Journal of Consumer Research. 27: 412-32. Muniz A., and H.J. Schau. 2005. Religiosity in the Abandoned Apple Newton Brand Community. Journal of Consumer Research. 31 (4), 737–47. Offe C. 1985. New Social Movement: Challenging the boundaries of institutional politics. Social Research. 52: 817-68. Ouwersloot, H., and G. Odekerken-Schroder. 2007. Who's who in brand communities and why?. European Journal of Marketing. 42 (5/6): 5710585. Pace, S. 2003. A Grounded Theory of The Flow Experiences of Web Users. International Journal of HumanComputer Studies. 60: 327-363. Palupi, D.H. 2011. Community Marketing 2011: Menuju Aliansi Komunitas & Perusahaan. Majalah SWA. Edisi 26, Desember, 32-40. ____, D.H. 2009. Dunia Bisnis Semakin Datar. Majalah SWA. Edisi 5-18 Maret, 32-40. ______. 2007. Survey Konsumunitas 2007: Potensi dan Ekspresi Komunitas Konsumen Indonesia. Majalah SWA 21. November 2007. 28-31. Pichardo, N.A. 1997 New Social Movement: A Critical Review. Annual Review of Sociology. 23: 411-430. Poletta F., and J.M. Jasper. 2001. Collective Identity and Social Movement. Annual Review of Sociology. 27: 283-305. Pongsakornrungsilp, S., and J.E. Schroeder. 2011. Understanding Value Co-Creation in a Co-Consuming Brand Community. SAGE Publication. Schau, H.J., and A.M. Muniz. 2006. A Tale of Tales: the Apple Newton Narratives. Journal of Strategic Marketing. 14: 19-33.
- 162 -
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
, 2002. Brand Communities and Personal Identities: Negotiation in Cyberspace. Advance in Consumer Research. 29. Schouten J.W., J.H. McAlexander. 1995. Subcultures of consumption: An ethnography of the new bikers. Journal Consumer Research. 22: 43-61. Silverman D. 2005. Doing Qualitative Research. London: SAGE Publication. Snow, D. A., L.A. Zurcher Jr., and S. Ekland-Olson. 1980. Social network and social movements: A microstructural approach to differential recruitment. American Sociological Review. 45: 787–801. Soehadi, A. W. dan E. Ardianto. 2007. Teori Konsumunitas. Majalah SWA 21. November 2007. 46 - 47. Stewart, D. 2009. Social Status in an Open-Source Community. American Sociological Review. 70 (5): 823-842. Suddaby, R. 2006. From The Editors: What Grounded Theory Is Not. Academy of Management Journal. 49 (4): 633-642. Sugiyono. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Sukoco, B.M. 2011. Individual Differences in Participations of a Brand Community: A Validation of the Goal-Directed Behavior Model. The South East Asian Journal of Management. Tajfel, H. 1978. The Achievement of Group Differentiation in Differentiation Between Social Groups: Studies in the Social Psychology of Intergroup Relations, Henri Tajfel, ed., London: Academic Press. 77–100. Thompson, S.A., and R.K. Sinha. Brand Communities and New Product Adoption: The Influence and Limits of Oppositional Loyalty. Journal of Marketing. 27: 65-80. Tsai, Hsien-Tung, Heng-Chiang Huang, and Ya-Ling Chiu. Brand Community Participation in Taiwan: Examining The Roles of Individual-, Group-, and Relationship-level Antecedents. Journal of Business Research. 65: 676-684. Whatley, L. R., A.B. Popa, and H. Kliewer. 2012. Community and Leadership: The Role of Humility, Rhythm, and Experiential Learning. Journal of Leadership. 9(4): 113-142. Wu, Wann-Yih, and B.M. Sukoco. 2009. Why Should I Share? Examining Consumers' Motives and Trust On Knowledge Sharing. Journal of Computer Information Systems. Januari 13. Zimmerman, M.K. 1987. The women's health movement: a critique of medical enterprise and the position of women. In analyzing genqaaader, ed. BB Hess, MM Ferree, Newbury Park, CA: Sage. http://www.hdci.or.id/sejarah-hdci/ diakses tanggal 31 Juli 2012. http://jukeindonesia.com/ diakses tanggal 31 Juli 2012. http://sepedaonthel.com/index.htm diakses tanggal 31 Juli 2012. http://www.solopos.com/ diakses tanggal 8 September 2012. http://www.alive-indonesia.co.id diakses tanggal 8 September 2012
- 163 -