GERAKAN-GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM KOMUNITAS BUDHA Rosmani Ahmad Dosen Fakultas Dakwa IAIN SU Mahasiswa S3 PPS IAIN SU
Abstrak Esensi Ajaran Buddha tercakup dalam tiga kaidah dari Jalan: pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata). Pada awalnya, manusia berusaha untuk keluar dari kemelut masalahmasalah mereka dan sebab-sebabnya. Lalu, mereka melihat dirinya juga mempunyai masalahnya sendiri, dan dengan cinta kasih dan belas kasih, mereka mengabdikan hati ini untuk mejadi seorang Buddha, agar mereka dapat benarbenar menolong yang lain. Untuk melakukan hal ini, mereka mengembangkan kebijaksanaan dengan menyadari hakikat sebenarnya dari dirinya dan fenomena lainnya. Kata Kunci: Spritualitas,Komunitas, Budha
Pendahuluan Pada umumnya manusia sepakat bawa agama datang untuk kedamaian dan kerukunan hidup manusia berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Semua agama mengajarkan prinsip dasar saling mengasihi, menyayangi, dan mencintai antara sesama manusia, makhluk Sang Maha Pencipta. Jika umat beragama mengabaikan prinsip dasar tersebut atau menjadikan agama sebagai legitimasi terhadap tindak kekerasan dan kekejaman tehadap manusia, itu berarti telah mengingkari nilai paling pokok ajaran agama itu sendiri, yakni nilai rahmatan lil ’alamin atau kasih sayang bagi alam semesta. Hanya saja, ibarat kasih sayang tak sampai, ajaran-ajaran agung itu hanya indah diucapkan dan enak didengar. Kenyataannya, konsep kasih dan damai begitu rumit dijabarkan dalam perilaku kehidupan umat beragama. Seyogianya inti ajaran yang bersifat universal tersebut dikedepankan dan menjadi kepedulian, melebihi kepedulian kita terhadap hal-hal yang bersifat partikular. Hanya dengan cara seperti itu, agama akan hadir ke tengah-tengah pemeluknya sebagai sumber kebenaran, bukan sumber identitas yang justru mengkotak-kotakan umat beragama secara ekslusif. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana gerakangerakan spiritual komunitas agama Budha dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat Indonesia.
164 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 Sekilas tentang Agama Budha Agama Budha adalah salah satu agma besar yang hingga kini penganutnya terdapat di setiap negaradi dunia. Agama ini lahir dan mulai berkembang pda abda ke 6 SM. Adapun namanya diambil dari nama pendirinya, Sidharta Gautama (563483 SM) yang lebih terkenal dengan panggilan Budha.1 Sidharta Gautama2 atau Budha Gutm (563-483 SM) adalah putra Raja sudhodhana, penguasa kerajaan Kavitalawastu, yang wilayahnya meliputi Nepal, Bhutan, dan Sikkim (pada saat ini). Pada saat kelahirannya, Sidharta Gautama oleh ahli nujum diramalkan bahwa ia akan meninggalkan istana orang tuanya kelak. Untuk menganitisipasi ramalan ini Raja Sudhodana menyediakan kehidupan yang serba berkecukupan bagi putranya itu. Ramalan itu akhirnya menjadi kenyataan. Dalam empat kali lawatannya keluar istana secara diam-diam, Budha Gautama mengalami empat peristiwa yang sangat kuat mepengaruhi jiwanya. Pertama, ia menyaksikan orang tua renta yang sudah bungkuk. Kedua, ia menyaksikan seseorang yang sakit para hampir senemui ajalnya. Ketiga, ia menyaksikan sekelompok orang yang mengusung mayat diiringi dengan ratap tangisan. Keempat, ia melihat kafir berkeliling (Sanyasin) bercukur kepala, dan mengenakan jubah kuning.3 Apa yang disaksikan Sidharta Gautama ini membawanya kepada satu kesimpulan bahwa hidup ini adalah sebuah proses penderitaan. Dari sinilah bangkit keinginannya untuk mencari jawaban apa sebenarnya makna dari kehidupan manusia itu. Pada 524 SM, di saat ia berumur 39 tahun, Sidharta Gautama berontak dengan segala keadaan yang ada di sekitar dirinya, pergi mengasingkan diri dan bertapa dengan maksud menemukan kebenaran yang dapat mengatasi kesengsaraan manusia ndalam hidup ini. Dalam pertapaan itu ia digoda secara keras oleh iblis (Mara) akan tetapi dapat dilawan dengan keteguhan hatinya.4 Kendatipun demikian lima rahib temannya menilai Budha gagal dalam menjalani hidup suci pada pertapaan ini. Semangat Budha masih tetap membara ingin mencari jawaban atas masalah yang selalu mengganggunya, ia mengembara untuk belajar dari alam dan manusia. Pada suatu malam di bawah sebuah pohon rimbun, terletak di kota Goya sekarang ini, ia mendadak memperoleh kunci hikmat tentang kehidupan.5 Namun,
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 165 sesudah itu ia masih melanjutkan meditasinya di bawah pohon itu selama tujuh hari lagi. Setelah memperoleh hikmat, Budha Gautama bangkit dari pertapaannya dan berangkat menuju kota Bunares, kota suci tempt ziarah ara penganut Hindu. Di Sarnath, suatu tempat tidak berapa jauh dari Benares ia bertemu dengan lima orang rahib bekas temannya, kemudian mereka berhenti di Taman Menjangan (deer Park).6 Di tempat inilah ia menyampaikan khutbah pertamanya (first sermon) yang kemudian menjadi ajaran dasar agama Budha yang dikenal dengan sebutan Empat Kebenaran Utma (Catu Arya Sacca) dan Delapan Jalan Kebajikan (arya Attha Ngika Magga).7 Selama empat puluh tahun berikutnya Budha Gautama bersama dengan murid-muridnya8 mengembangkan ajarannya adari satu kerajaan ke kerajaan lain. Akhirnya di saat berumure delapan puluh tahun ia meninggal dunia di pangkuan saudara sepupu dan sekaligus murid yang dikasihinya, Ananda. Di saat sebelum menghembuskan naps yang terakhir ia masih sempat menyampaikan suatu nasihat yang maknanya: “kerontokan itu suatu kemestian setip susunan. Ikhtiarkan keselamatan dirimu dengan rajin.”9 Jenazah Sidharta Gautama yang disemayamkan selama tujuh hari tujuh malamdi kerajaan Kusinara dikunjungi oleh raja-raja dan masyarakat tanpa hentihentinya. Pada hari ketujuh jenazahnya dibakar dn abunya dibagi menjadi sepuluh bagian untuk diberikan kepada sepuluh raja yang pernah dikunjungi oleh Sidharta Gautama semasa hidupnya. Masing-masing raja itu membangun Stupa (Pagoda) guna menyimpan abu jenazah yang dipandang suci itu. Namun lambat laun terjadi pengkultusan terhadapnya yang berakhir dengan pemujaan.10 Khutbah pertama Budha Gautama di Isipathana bertemakan uraian secara rinci mengenai Empat Kebenaran dan delpan jalan kebijakan yang kemudian dijadikan dktrin atau pokok ajaran agama Budha. Adapun keempat kebenaran utama itu adalah : 1. Dukkha
(Penderitaan). Doktrin ini menegaskan bahwa hidup adalah
penderitaan. 2. Samodaya (Sebab). Keinginan kepada hidup menyebabkan orang dilahirkan kembali, sebab haus akan kesenangan. 3. Nirodha (Pemadaman). Keinginan itu mesti dipadamkan agar lepas dari kesengsaraan.
166 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 4. Magga atau marga (jalan Kelepasan). Pemadaman keinginan itu adalah dengan delapan jalan.11 Delapan jalan tersebut adalah: 1. Percaya yang benar. Ini disebut Sradha (iman). 2. Maksud yang benar. 3. Perkataan yang benar. 4. Perbuatan yang benar. 5. Hidup yang benar. 6. Usaha yang benar. 7. Ingatan yang benar (dari no. 2 sampai no 7 disebut Sila). 8. Samadhi yang benar.12 Sedangkan Kitab Suci agama Budha adalah Tripitaka. Tri berarti tiga dan Pitaka bermakna bakul. Bakul yang dimaksud di sini adalah hikmat. Dengan demikian Tripitaka bermakna tiga himpunan hikmat. Esensi Ajaran Buddha juga tercakup dalam tiga kaidah dari Jalan: pelepasan yang pasti, hati yang mengabdi, dan kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata). Pada awalnya, manusia berusaha untuk keluar dari kemelut masalah-masalah mereka dan sebab-sebabnya. Lalu, mereka melihat dirinya juga mempunyai masalahnya sendiri, dan dengan cinta kasih dan belas kasih, mereka mengabdikan hati ini untuk mejadi seorang Buddha, agar mereka dapat benarbenar menolong yang lain. Untuk melakukan hal ini, mereka mengembangkan kebijaksanaan dengan menyadari hakikat sebenarnya dari dirinya dan fenomena lainnya. Dalam agama Budha ada yang disebut dengan berlindung kepad tiga permata. Tiga permata adalah Buddha, Dharma, dan Sangha. Buddha adalah Ia yang telah sempurna menyucikan pikiran-Nya dari semua noda – nafsu yang membawa penderitaan, dan ucapan-perbuatan yang lahir dari nafsu itu beserta karat-karatnya; Ia yang telah mengembangkan semua nilai kebajikan, seperti cinta kasih dan belas kasih universal, kebijaksanaan tentang keberadaan, dan metoda mengajar yang jitu. Dharma berisikan aturan-aturan yang menjauhkan umat Budha dari semua masalah dan penderitaan. Dharma mencakup Ajaran Buddha, serta praktek atau jalan menuju lenyapnya masalah dan penderitaan itu.
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 167 Sangha adalah para suci yang memiliki persepsi non-konseptual tentang kekosongan (sunyata) atau kebenaran tertinggi. Kadang-kadang, Sangha juga mengacu
kepada
mereka
yang
mengabdikan
seluruh
hidupnya
untuk
mempraktekkan Ajaran Buddha. Dharma adalah perlindungan umat Budha yang sebenarnya, obat yang akan menyembuhkan penyakit manusia, tuntas sampai ke akar-akarnya. Seperti seorang dokter ahli, Sang Buddha dengan tepat memberikan diagnosis, apa penyakit manusia, sebab-sebabnya, serta memberikan obat yang tepat. Sedangkan Sangha, yang membimbing umat Budha dalam latihan, mirip perawat yang membantu umat Budha menelan obat itu. Berlindung kepada Tiga Permata berarti umat Budha yakin dengan sepenuh hati pada Tiga Permata sebagai pembawa inspirasi dan penuntun hidup kita ke arah yang benar dan konstruksif. Berlindung tidak berarti secara pasif bersembunyi di balik Buddha, Dharma, dan Sangha. Sebaliknya, ialah suatu proses yang aktif dalam mengambil arah (menjalani) petunjuk mereka, serta meningkatkan kualitas hidup umat Budha.
Makna spiritual Spiritual makna literalnya kejiwaan; rohani; batin; mental; moral.13 Adapun secara istilah spiritual dideskripsikan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan sensetivitas diri terhadap di luar dirinya, juga kepada Tuhan.14 Maksudnya dalam pembahasan ini adalah sesuatu usaha seseorang untuk mengembangkan diri yang telah menjadi keyakinannya terhadap Tuhan. Keyakinian terhadap Tuhan tidak terbatas pada sesuatu agama tertentu. Jadi, bila dikatakan spiritual dalam komunitas Budha, maksudnya adalah bagaimana komunitas Budha mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupannya dengan semangat ajaran Budha. Orang Budha mesti terikat kepada 8 hal, sehingg ia mampu mencapai kemenangan dan mengalahkan hawa nafsunya. Delapan hal itu, adalah : 1. Cenderung kepada yang benar dan lurus serta kosong dari pengaruh syahwat dan kelezatan. Ini semua harus menjelma pada waktu akan melakukan perbuatan apa saja. 2. Bersifat benar dan lurus, tidak terpengaruh hawa nafsu.
168 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 3. Bernampilan benar dan lurus. 4. Keyakinan yang lurus yang dibarengi ketenagan dan ketentraman jiwa terhadap apa yang dilakukannya. 5. Sesuai antara ucapan dengan apa yang di dalam hati. 6. Sesuai antara perilaku dan qalbu serta lisan. 7. Kehidupan yang benar yang bersendikan meninggalkan segala kelezatan. 8. Usaha yang benar yang megarah kepada kelurusan hidup berdasarkan ilmu dan kebenaran serta meninggalkan segla kelezatan duniawi.15 Sang Buddha menyebarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena makhluk hidup (semua makhluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan manusia semua cocok dengan satu bentuk, sehingga ajaran-Nya pun di berikan dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri – dengan demikian tiap orang bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya. Dengan keahlian dan belas-kasih-Nya dalam menuntun yang lain, Sang Buddha memutar roda Dharma sebanyak tiga kali – setiap kali selalu dengan sedikit perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari semua ajaran itu sama: tekad yang teguh untuk keluar dari lingkaran penderitaan yang berulang-ulang (samsara), belas-kasih kepada makhluk lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.
Latar Belakang Gerakan-gerakan spiritualnya Khususnya di Indonesia, agama Budha diperkirakan masuk ke Indonesia melalui Laut Selatan pada tahun 68 M dibawa oleh seorang pengembang agama ini yang bernama Ajisaka. Ia mendarat di Pulau Majeti, salah satu kumpulan pulau di sekitar Nusa Kambangan, di depan kota Cilacap sekarang, di muara kali Serayu.16 Ajisaka juga dikenal sebagai pencipta carakan (huruf) Jawa yang terdiri dari 20 huruf dan dipakai hingga kini sebagai huruf Jawa. pelajaran agama Budha yang dibawa dan diajarkan Ajisaka tercatat sebagai tahun satu dari kalender Jawa dengan cara perhitungan Chandara-Sengkala; tanggal 1 Syura adalah tahun baru bagi tahun jawa ini.
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 169 Dari kota Cilacap para ulama Budhis menyusuri Kali Serayu hingga di Wonosobo sekrang dan daerah pegunungan Dieng. Pegunungan ini dlam ukuran kecil mirip dengan pegunungan Himalaya. Daerah Kedu utara dan pegunungan Dieng adalah tempat awal dari penyebaran agama Budha di Indonesia, sebab kali (sungai) merupakan satu-satunya jalan pintas pada waktu itu. Lalu penduduk di sekitar Kali Serayu itu memeluk agama Budha.17 Secara garis besar dapat dikemukakan perkembangan agama Budha di Indonesia dapat dibagi dalam empat penggalan masa/zaman, yaitu : (1) zaman Sailendra di Mataram, (2) zaman Majapahit, (3) Zaman Kebangkitan Agama Budha di Indonesia, dan (4) zaman kebangkitan secara terorganisir. Ad. (1) Zaman Sailendra di Mataram Rentang waktu antara tahun 775 sampai tahun 850 M adalah zaman keemasan bagi Mataram. Saat ini berkuasalah di daerah bagelan dan Yogyakarta raja-raja dari Sailendra yang memeluk agama Budha, dan memerintah secara arif lagi bijaksana, yang menyebabkan kerajaan menjadi aman dan makmur. Sebagaimana yang berlaku dalam hokum sejarah bahwa
keamanan dan
kemakmuran secara positif akan memunculkan kemajuan bidang ilmu, maka di kerajaan ini pun ilmu pengetahuan tentang agama Budha dan kesenian, terutama seni pahat maju dengan pesat. Para seniman bangsa init telah menghasilkan karyakarya yang mengagumkan. Lihat saja misalnya betapa megahnya candocandi yang mereka ciptakan, antara lain:
Candi Kalasan, terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta yang didirikan oleh Rakai Panakaran pada tahun 778 M atas perintah raja Sailendra.
Candi Sewu, yang terletak di Prambanan (perbatasan solo-Yogyakarta), didirikan pada tahun 800 M.
Candi-candi Borubudur, Pawon, Mendut yang terletak dekat kota Muntilan, didirikan tahun 825 M, atas perintah Raja Sailendraa bernama Samoratungga.18 Ad. (2) zaman Majapahit Pada masa pemerintahan raja-raja Majapahit (1292-1476 M) agma Budha
berkembang dengan baik berdampingn dengan agama Hindu. Bahkan kejayaan
170 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 keprabuan Majapaahit dapat terwujud antara lain disebabkan adanya keturunan intern dan antar umat beragama di zaman itu. Maharaja Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahanny didampingi oleh penasihat agung dalam bidang keagamaan yaitu Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Hindu dan Dharmadhyaksa Ring Kasogatan dari golongan Budha. Kerukunan hidup umat beragama di zaman Majapahit dirintis oleh Pujangga Budhis, Mu Tantular yang dalam bait syairnya di dalam buku Sutasoma menulis : Siwa Budha Bhinika Tunggal
Ika
Tan
Hana
Dharma
Mangrwa,
kalimat
sakti
ini
dapat
memperrsatukan rakyat Majapahit waktu itu, dan kini dapat mempersatukan rakyat Indonesia. Setelah Majapahit rutuh pada tahun 478 M, kedudukan agama Budha dan Hindu digeser oleh agama Islam.19 Ad. (3) zaman kenbagkitan Agama Budha di Idonesia Kebangkitan kembali agma Budha di Jawa terjadi setelah kedatangan Bikhu Narada Thera dari Sri lanka (Ceylon) ke Jawa pada bulan maret 1934 M. selama berada di Jawa bikhu ini melakukan aktivitas sebagai berikut :
Ia menyampaikan khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran agama BudhaDharma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
Membantu pendirian Jawa Budhis Association (perhimpunan Agama Budha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
Menjalin kerjasama yang erat dengan bikhu-bikhu (hweshio-hweshio) dan kelenteng-kelenteng Kim Tek Le, Kwan im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, keleteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan im Tong di Banadung, kelenteng Tim Kok Si di Solo, dan perhimpunan-perhimpunan Theosofi di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa tengah.
Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang dikunjunginya. Ia menarik S.Mangunkowojo, tokoh agma Budha Jawa tengah dn aanggota MPR menjadi upasaka di Yogyakarta pada 10 Maret 1934.20
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 171 Ad. 4 Zaman Kebangkitan secara terorgisir. Kebangkitan agama Budha secara terorganisir di Indonesia dimulai 1954 M, ketika terbentuknya Persaudaraan Upasaka-upasaka Indonesia (PUUI) yang berkedudukan di Semarang. Pada 1958 dibentuklah organisaasi masyarakat Budhis dengan nama perhimpunan Budhis Indonesia (PERBUDI) yang kedudukan di Semarang. Namun, pada tahun 1962 kedudukan PUUI dan PERBUI dipindahkan ke Jakarta. Pada tahun 1958 beberapam bikhu dan Samanera ditahbiskan oleh para bikhu dari negara-negara sahabat seperti dari Bima, Thailand, Sri Langka. Sangha suci Indonesia berdiri tahun 1960, namun 1972 terjadi perbedaa pendpat di dalamnya sehingg pecah menjadi dua, masing-masing sangha Indonesia dan Maha sangha Indonesia. 1974 kedua organisasi ini bersatu kembali dengan nama Sangha Agung Indonesia berkedudukan di Vihara Sakyawanaram, Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat.21 Dalam rangka tugasnya membantu Sangha meladeni kepentingan umat Budha dan perkembangan agama Budha PUUI kemudian berganti nama dengan majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI), namun istilah ini meski lebih popular, kurang sesuai dengan ajaran Budha, sehingga dicarikan nama yang sesuai dengan singkatan yang sama yakni MUABI, dan kemudian 1979 menjadi Majlis Budhayana Indonesia. Sehubungan dengan adanya penggabungan ormas oleh pemerintah, maka pada 1972 organisasi Budha dilebur menjadi ormas tunggal yang disebut Budha Dharma Indonesia (BUDHI) yang terkenal dengan Ikrar Mendut. Dewasa ini ormas Budhis yang berorientasi politik atau turut berpolitik adalah Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia (GUBSI) yang dibentuk pada 29 September 1976, dan Musyawarah Kekeluargaan Budhis Indonesia (MKBI). Untuk kelancaran pengurusan keagaman umat Budha, maka 11 Oktober 1976 dibentuklah Majlis Agung Budha Indonesia (MABI), dan pada akhir tahun 1978 dilebur ke dalam Perwalian Umat Budha Indonesia (WLUBI).22
Bentuk-bentuk spiritual Budha Sebagai manusia yang berketuhanan, manusia mempunyai fitrah untuk menyembah Tuhan dan melalui ajaran agama Tuhan mengarahkan hamba-hambaNya agar menyembah
dan melakukan kebaktian kepada-Nya. Dalam agama
172 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 Budha terdapat tiga macam kebaktian,23 yaitu : (1) kebaktian umum,24 (2) kebaktian pada setiap hari Uposattha,25 (3) kebaktian pada setiap hari raya suci agama Budha.26 Dalam melaksanakan berbagai kebaktian yang telah diatur dalam ajaran Budha itulah umat Budha membuat komunitasnya, terutama komunitas spiritual. Dengan demikian komunitas spiritual umat Budha dibentuk oleh nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah ditentukan dalam ajaran Budha. Dalam pelaksanaannya merekapun membentuk komunitas, dan komunitas ini selanjutnya membuat gerakan-gerakan yang bernilai spiritual. Salah satu gerakan spiritual komunitas agama Budha di Indonesia yang menonjol adalah berkenaan dengan kerukunan. Agama Buddha memberikan panduan yang konkrit kepada umatnya untuk hidup dalam rukun dan damai. Ajaran Dhamma27 dalam agama Buddha merupakan panduan dasar bagi pemeluknya untuk hidup saling berkerukunan antara sesama manusia. Cinta kasih dan menghilangkan perasaan benci kepada sesama manusia merupakan konsep teologis agama Buddha yang berhubungan dengan kerukunan sesama umat Buddha. Hal ini seperti digambarkan dalam kitab suci Dhammapada 5: Kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih. Ini telah menjadi hukum yang kekal abadi.28 Untuk menumbukan kesadaran terhadap sikap kerukunan, seseorang harus membuang sifat-sifat jahat dan kebencian dalam hatinya. Ini bersesuai dengan ajaran Budha yang berbunyi: Ia menghinaku Ia menyinggung perasaanku Ia menyalahkanku Ia merugikanku Bagi sesiapa yang selalu berpikiran demikian Maka keresahan, kebencian, kemarahan Akan ada pada dirinya Tetapi barang siapa yang tidak berpikir demikian Maka ia akan tetap tenang, sabar, dan tidak akan Melakukan tindakan kekerasan.29
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 173 Menurut ajaran Buddha, orang-orang yang berbuat jahat dan memendam benci di hati merupakan penganut Buddha yang tidak sadar dan ingkar terhadap ajaran Budha itu sendiri tentang kedamaian: Sebahagian besar orang tidak mengetahui bahawa dalam pertengkaran mereka akan binasa; tetapi mereka yang menyedaripada kebenaran ini akan segera mengakhiri semua pertengkaran Mereka tidak mengetahui, dalam pertiakaian mereka musnah. Mereka yang mengetahui, segera berdamai tenang.30 Bagi pemeluk agama Buddha, sikap kerukunan dalam beragama telah dilaksanakan dengan baik oleh Gautama ketika beliau berdialog tentang hukum karma dengan Upali, salah seorang murid yang pintar dari pemuka agama Jaina, Nighanta Nataputha. Setelah berdialog dengan Gautama, akhirnya Upali mengakui tentang kebenaran karma, dan beliau berminat untuk memeluk agama Buddha serta menjadi murid kepada Gautama. Namun permintaan Upali tersebut tidak langsung diterima oleh Gautama. Beliau menyuruh Upali pulang untuk memikirkan keinginannya tersebut secara bersungguh-sungguh. Kali kedua Upali bertemu dengan Gautama untuk menyampaikan keinginannya bagi pemeluk agama Buddha. Beliau menyuruhnya pulang dan mengingatkan akan posisi Upali yang dimiliki oleh penganut agama Jaina. Setelah beberapa lama Upali kembali berjumpa dengan Gautama dan bermohon agar diterima menjadi pengikut dan muridnya, akhirnya Gautama menerima Upali dan berkata: “Saya terima engkau sebagai umat dan muridku, dengan harapan engkau tetap menghargai agamamu yang lalu, menghormati bekas gurumu serta membantunya”.31
Pengaruh gerakan Spiritualis bagi Penganut Budha Fakta di atas merupakan bukti nyata bahwa Gautama sebagai pendiri Budhisme memandang pentingnya kerukunan antar umat beragama, sehingga beliau angat berhati-hati dan waspada terhadap konversi umat lain ke dalam agama Budha supaya tidak timbul persoalan intoleran, pertentangan dan perpecahan antara umat beragama. Inilah di antara pengaruh gerakan spiritualis bagi penganut Budha. Agama Buddha memberikan sebuah sarana transformasi yang amat efektif baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Secara tradisi, Dharma di
174 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 katakan sebagai sebuah “rakit” yang menyeberangkan setiap individu dari pantai ketamakan, kebencian, dan kesesatan ke pantai kebahagiaan batin, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Ajaran-ajaran agama Buddha bersifat sangat praktis. Ia memberikan garis-garis pedoman tentang bagaimanakah mengadakan perubahan pada kehidupan kini, dan bukan hanya pemecahan persoalan secara teoritis belaka. Inilah kualitas-kualitas yang pertama sekali menarik minat umat Budha terhadap agama Buddha dan yang terus menerus menginspirasi kehidupan umat Budha. Pengaruh gerakan spiritualis bagi penganut Budha, di antaranya mereka berusaha mengamalkan apa yang menjadi seruan ajaran Budha, antara lain toleransi, bergaul dengan baik, bersedekah pada fakir miskin, meninggalkan kemwahan, hidup sederhana, berhati-hati kepada wanita dan harta dan mendorong manusia agar menjauhkan diri dari perkawinan.32 Kendatipun kenyataannya sedikit yang mengamalkan secara maksimal ajaran Budha, namun dalam kehidupan masyarakat dapat juga terlihat dampaknya. Misalnya, komunitas umat Budha pun sering melakukan gerakan sosial terhadap masyarakat di lingkungannya sebagai implementasi dari nilai-nilai ajaran Budha, seperti menyantuni keluarga miskin, melaksanakan pengobatan gratis, dan sebagainya.
Penutup Gerakan-gerakan spiritual Komunitas Budha pada prinsipnya adalah bagaimana menciptakan kedamaian, keharmonisan dan kerukunan antara umat manusia. Gerakan ini didasari oleh ajaran yang diajarkan oleh Sidharta Gautama sebagai pendiri agama Budha. Dengan demikian gerakan spiritual komunitas Budha pada dasarnya menyeru kepada kedamaian dunia dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Hanya saja, ajaran ideal yang demikian bagus terkadang tidak selaras dengan fakta yang terjadi di lapangan. Masih ada juga kasus di daerah di mana komunitas Budha tidak banyak tetapi dipaksakan membuat rumah ibadah yang cukup besar sehingga akan mengusik ketentraman bagi masyarakat yang berbeda keyakinan yang berada di sekelilingnya. Hal inilah yang masih perlu dievaluasi terutama bagi komunitas penganut Budha itu sendiri.
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 175 Agama Buddha memberikan sebuah sarana transformasi yang amat efektif baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Secara tradisi, Dharma di katakan sebagai sebuah “rakit” yang menyeberangkan setiap individu dari pantai ketamakan, kebencian, dan kesesatan ke pantai kebahagiaan batin, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Ajaran-ajaran agama Buddha bersifat sangat praktis. Ia memberikan garis-garis pedoman tentang bagaimanakah mengadakan perubahan pada kehidupan kini, dan bukan hanya pemecahan persoalan secara teoritis belaka. Inilah kualitas-kualitas yang pertama sekali menarik minat umat Budha terhadap agama Buddha dan yang terus menerus menginspirasi kehidupan umat Budha. Gerakan spiritualitas komunitas Budha diakui memiliki peranaan dalam kehidupan masyarakat, terutama di mana mereka bertempat tinggal. Di antaranya, adanya gerakan sosial yang dilakukan mereka dalam rangka memanifestasikan ajaran Budha, seperti menyantuni fakir miskin, mengadakan pengobatan gratis kepada kaum du’afa’, dan lainnya.
Catatan 1
Nama tersebut berasal dari akar kata b odhi (hikmah), yang dlam deklensi (tashrif) selanjutnya menjadi budhi (nurani). Kemudian berkembang menjadi budha (yang beroleh nur). Pada perkembangannya lebih lanjut Budha itu dipahami dalam berbagai pengertian semisal awakened One (Yang Sadar), Illumined On (Yang Cemerlang), dan Enligtened One (Yang Beroleh Terang). Lihat, Yoesoef Sou’yb, Agama Budha: Agama Perbandingan, Medan : Fakultas Ushuluddin IAIN SU, 1981, h. 1. 2
Gautama adalah nama keturunan keluarga, yang termasuk suku Sakya. Sehingga Budha Gautama disebut juga Sakyamuni, Orang Suci dari Sakya. Lihat, The Teaching of Budha, Japan : Buddhist Promoting Foundation, 1985, h. 2-10. 3
Ling Trevor, A History of Religion East and West, London: Macmillan Press, 1982, h. 85.
4
Sistem pertapaan yang dijalankan adalah dengan menyiksa diri, yakni dengan menahan makan sehingga fisiknya menjadi lemah dan daya pikirnya menjadi tumpul. 5
Pohon tersebut oleh umat Budha sampai saat ini dinamakan “pohon Bodhi” (pohon hikmatdan malamnya disebut Malam Suci (Sacred Night). 6
Dengan demikian, kelima rahib temannya itulh merupakan muridnya yang pertama.
7 8
Yoesoef Sou’yb, Agama Budha: Agama Perbandingan, Op. Cit. h. 4.
Murid-muridnya terkenal dan sering disebut namanya dalam Tripitaka adalah Kassapa, Sariputta, Devadatta, Assaji, Mogallana, Ajatasutta, Anurudha, Anatha pindika; dan dari pihakl wanita adalaha Visaka, Amabapali dan lain-lain.
176 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 9
Adapun berkenaan dengan uraian secara terinci riwayat hidup Sidharta Gautama antara lain dapat dibaca dalam, Z.A. Lu Gunapayuta, Riwayat Budha Gotama, Jakarta : Yayasan Dhannadipa Arama, 1981. 10
Dari sepuluh pagoda itu hanya beberapa saja yang masih diketahui identitasnya saat ini dengan pasti. Satu di antaranya adalah Stupa yang megah di Bhattibrolu, wilayah Madras. Piala Kristal penyimpan abu jenazah Budha Gautama itu pernah diboyong ke Inggeris untuk menjadi perbendaharaan Victori Museum dan Albert Museum di London, tetapi kini telah dipulangkan kembali ke India. Yoesoef Sou’yb, Agama Budha: Agama Perbandingan,Op. Cit. h. 5. 11
Geoffrey Parrinder (Ge.editor), Man and his God : Encyclopedia of The World’s Religions. London: The Hamlyn Publishing Group Limited, h. 229. 12
Samadhi yang dimaksud, mencakup persiapan Samadhi, upacara Samadhi dan Samadhi itu sendiri. 13
Tim Penyusun Kamus Pusatr Pedmbinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988, h. 857. 14
John R.Hinnells (Ed.), The Penguin Dictionary of Religions, second edition, London : Penguin Books Ltd, Blackwell Publishers, 1997, h. 495. 15
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran 9Akar Ideologis dan Penyebarannya), Jakarta : al-I’tishom, 2006, h. 71. 16
Nama Ajisaka berasal dari kata Adji atau Adji-Adji yang berarti pengetahua, dan saka berasal dari kata Sakya atau Shoka atau Asoka. Jadi, Ajisak berarti pembawa pelajaran Sakyamuni atau pelajaran soka, yaitu pelajaran Budha Gautama. Giriputra UP.W, Dhammavara, Medan : Yayasan Vihara Borubudur, 1977, h. 74. 17
Salah satu faktor yanag mempercepat menyebarnya agama Budha di pulau Jawa adalah karena sebelumnya penduduk Jawa memiliki Kamru Kejawen, sementara ajaran Budha sangat selaras dan seirama dengan ajaran kebatinan tersebut. Lihat, Widyadharma Pandita S, Intisari Agama Budha, Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, 1988, h.4-5, juga baca Moens J.L, Budhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir, Jakarta : Bhratara, 1974. 18
Selain candi-candi tersebut masih banyak lagi candi yang didirikan atas perintah Raja Saailendra. Hal ini merupakan bukti monumental betapa prestasi yang pernah diraih agama Budha di Indonesia dahulu. Lihat , Widyadharma Pandita S, Intisari Agama Budha,Op. Cit.h. 6. 19
Moens J.L, Budhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir. op. cit . h.
25. 20
Tercatat sejumlah tokoh perintis kebangkitan kembali agama Budha di Indonesia, di antaranya pandita Josias, Deputy General Buddhist Mission Java section, dan Kwee Tek Hoay Direktur majalah Moestika Dharma Jakarta. 21
Giriputra UP.W, Dhammavara,Op. Cit. h.78-79.
22
Fungsi WALUBI itu diperkokoh dalam Lokakarya Agama Budha tanggal 18-20 Februari 1979 dankongres Umat Budha Indonesia tanggal 7-9 Mei 1979 di Yogyakarta. Adapun anggota WALUBI terdiri dari majelis-majelis umat Budha di Indonesia yaitu : 1) Mejelis Budha Mahayana Indonesia. 2) Mejelis Pandita Budha Dharma Indonesia.
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 177
3) Mejelis Budhayana Indonesia. 4) Mejelis Dharma Duta Kasogatan. 5) Mejelis Pandita Budha Maitreya Indonesia. 6) Mejelis Agama Budha Nichiren Shosuo Indonesia. 7) Mejelis Rokhaniwa Tridharma Seluruh Indonesia. 8) Sangha Agung Indonesia 9) Sangha Mahayana Indonesia. 10) Sangha Threvada Indonesia. Di samping Majelis dan Sangha yang disebutkan di atas sebenarnya masih terdapat sangha dan majelis lain seperti; Sangha Wanita Indonesia, Sangha tantrayana Indonesia, dan Majelis Tantrayana Indonesia. 23
Wakil Umat Budha di Manado, Tata cara dan Upacara Peribadatan, Peringatan/ Perayaan Peristiwa-Peristiwa Keagamaan Umat Budha, dalam Departemen Agama RI, Tata Cara Peribadatan dan Peristiwa Keagamaan, Jakarta : Depag RI, 1980-1981., h. 165 24
Kebaktian umum dilaksanakan setiap hari Minggu sekitar pukul 17.00 sampai dengan pukul 19.00 dengan mata acara sebagai berikut: (a) memanjatkan paritta kepada Tuhan Yang Maha Esa, Samma-samma Budha dalam bahas Pali, (b) melaksanakan samadhi Metta Bhavana diiringi dengan paritta (untuk Indonesia digunakan bahasa Indonesia)., (c) pembahasan ayat-ayat Kitab Suci Dharmapada, (d) upanisad (khutbah) tetang pelajaran agama Budha dengan diselingi Vihara Gita (lagu-lagu rohani),Ibid.h. 166. 25
Kebaktian pada setiap Hari Uposattha ini dilaksanakan pada penaggalan bulan Lunar 1 sampai 15. mata acaranya sama dengan kebaktian umum, hanya saja ditambah dengan acara pemercikan air dan kembang. Ibid.h. 166. 26
Ada empat hari raya suci agama yang terdapat dalam agama Budha, yaitu (1) hari raya suci Waisak, (2) hari saya suci sadha, (3) hari raya suci Kathina, dan (4) hari raya suci Magha-Puja. Ibid.h. 167. 27
Dhamma dalam bahasa Pali atau Dharma dalam bahasa Sanskrit adalah suatu ajaran pokok dalam agama Buddha yaitu yang mengajarkan bagaimana cara melaksanakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat dan mengajarkan cinta kasih sebagai dasar atas sikap kerukunan samada internal Umat Buddha, Umat Buddha dengan lain-lain agama serta agama Buddha dengan pemerintah. Lihat Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, Sutta Pitaka Digha Nikaya X. Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Budha, 2001 h. i-ii. 28
Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, Dhammapada Atthakatha. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, tt, h. 9. lihat juga Hanuman Sakti, Dhammapada: Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dharma Nusantara Bahagia, 1996, I: 5. h. 5. 29
Lihat Pendeta. Sonika, Makna Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Tinjauan Buddha. Dalam Seminar dan Lokakarya Kerukunan Hidup Beragama se-Sumatera di Pekanbaru, Riau, 24-25 Jun 2000, h. 8. 30 31
Dhammapada bab I (Yamaka Vagga) I: 6. h. 5. dan Sonika, op. cit., h. 11.
Musthoha (1972), Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama, h. 147.
178 Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012: 163-179 32
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran 9Akar Ideologis dan Penyebarannya), Jakarta : al-I’tishom, 2006, h. 70
Daftar Pustaka Geoffrey Parrinder (Ge.editor), Man and his God : Encyclopedia of The World’s Religions. London: The Hamlyn Publishing Group Limited. Giriputra UP.W, Dhammavara, Medan : Yayasan Vihara Borubudur, 1977. Hanuman Sakti, Dhammapada: Sabda-sabda Buddha Gotama. Jakarta: Dharma Nusantara Bahagia, 1996. John R.Hinnells (Ed.), The Penguin Dictionary of Religions, second edition, London : Penguin Books Ltd, Blackwell Publishers, 1997. Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran 9Akar Ideologis dan Penyebarannya), Jakarta : al-I’tishom, 2006 Ling Trevor, A History of Religion East and West, London: Macmillan Press, 1982. Moens J.L, Budhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir, Jakarta : Bhratara, 1974. Musthoha, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama,1972. Pendeta. Sonika, Makna Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut Tinjauan Buddha. Dalam Seminar dan Lokakarya Kerukunan Hidup Beragama seSumatera di Pekanbaru, Riau, 24-25 Jun 2000. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, Dhammapada Atthakatha. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, tt. Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, terj. Oleh Suharsono, dkk, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama, Jakarta : Inisiasi Press, 2004. Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, Sutta Pitaka Digha Nikaya X. Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Budha, 2001. Wakil Umat Budha di Manado, Tata cara dan Upacara Peribadatan, Peringatan/ Perayaan Peristiwa-Peristiwa Keagamaan Umat Budha, dalam
Gerakan-Gerakan Spiritualitas dalam Komunitas Budha (Rosmani Ahmad) 179
Departemen Agama RI, Tata Cara Peribadatan dan Peristiwa Keagamaan, Jakarta : Depag RI, 1980-1981 Widyadharma Pandita S, Intisari Agama Budha, Jakarta : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, 1988. Yoesoef Sou’yb, Agama Budha: Agama Perbandingan, Medan : Fakultas Ushuluddin IAIN SU, 1981 Z.A. Lu Gunapayuta, Riwayat Budha Gotama, Jakarta : Yayasan Dhannadipa Arama, 1981.