MISTISISME YOGA : POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA Oleh: I Made Sugata Pembantu Dekan II Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar ABSTRAK Mysticism is understood as one of the practice of esoteric (secret) that aims to awaken the divine nature within oneself through yoga exercises. Yoga practices include moral training, physical training, mental training and spiritual training. When the yoga mysticism is a requirement by the public, there will be a polarization of spirituality movement regardless of his religion. Religion is a quest of mankind to God. Throughout the ages, mankind has always struggled in his quest for the secret and essence behind this life, and religion is a means or a connecting road and provides solutions to solve these problems. Spiritual journey undertaken by many people in order to search for meaning in a very individualistic modern life in a capitalist industrial society, as well as the rapid global developments affecting human life to fill in the blanks themselves. Thus, the approach described spirituality yoga mysticism in religious experience, mysticism polarization form of yoga in the movement of spirituality and mysticism influence of yoga in the interfaith community. Keywords: Mysticism, polarization, religion and spiritual I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan keragaman suku, agama, ras dan adat istiadat (SARA) bangsa yang luar biasa, memiliki potensi positif seperti pariwisata dan potensi negatif seperti konflik antar suku bangsa. Oleh karena itu pemahaman akan keragaman suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing menjadi penting. Untuk dapat memanfaatkan keragaman Suku Bangsa menjadi kekayaan Bangsa tentu sangat diimpikan sebuah keadaan keteraturan dalam masyarakat. Untuk menciptakan keteraturan tersebut maka dipandang perlu memahami konsep lintas budaya (cross cultural) dan diakhiri dengan perspektif multikultural dalam memahami keragaman di Indonesia.
Fenomena yang terjadi karena heterogenitas agama-agama setidaknya secara normative berpeluang melahirkan konflik di daerah-daerah secara meluas, jika pola hubungan sosial lintas agama yang dipraktikkan cenderung tertutup atau eksklusif (Abdullah, 2008: 49). Lebih lanjut dijelaskan, dengan pola hubungan sosial lintas agama yang didasari sikap inklusif, sikap ini relatif mampu menjaga keharmonisan bahkan meredam bentuk-bentuk konflik baik yang berakibatkan oleh benturan hubungan keagamaan tertentu maupun faktor penyebab sosial lainnya. Oleh karena itu, heterogenitas agama-agama yang ada tidak menjadi persoalan, bahkan jika mampu mengelola, pluralitas agama-agama akan menjadi kekayaan budaya yang tidak mudah 162
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
dipengaruhi olek aktor-aktor profokatif yang bisa melahirkan kerusuhan seperti terjadi di beberapa daerah. Manusia adalah makhluk yang terbatas, maka kebebasan yang dimiliki juga terbatas oleh kebebasan dari luar diri maupun dalam diri. Kebebasan tersebut apabila tidak terkontrol akan menimbulkan kehancuran mental dan moral manusia, dan berdampak buruk pada perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Peradaban manusia yang terus berkembang mengharuskan adanya proses adaptasi terhadap fenomena yang hadir dimana menuntut manusia untuk mengembangkan reaksi mental dan emosional yang tidak terbatas. Hakikat kehidupan merupakan suatu proses dan pemikiran manusia dalam mencapai kesempurnaan. Agama sebagai suatu keyakinan yang mutlak diperlukan oleh manusia untuk memperoleh kedamaian dan ketenangan dalam mencapai kesempurnaan. Keyakinan terhadap kekuatan gaib dan supernatural berpengaruh pada kehidupan manusia dan terhadap segala gejala alam, yang menimbulkan perilaku tertentu yang bersifat religius dan spiritual. Agama disamping bersifat dogmatis, yang mengandung ajaran moral dan keimanan yang menuntun perilaku manusia, juga menjadi keperluan mendasar dan hakiki bagi manusia, sehingga agama terdapat pada sepanjang jaman dan dalam segala situasi. Agama memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat yang multikultur. Multikultur adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia,
ISSN : 1412-7474
suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. Agama masuk dalam setiap lini kehidupan umatnya. Harsojo (dalam Agus, 2007: 202) mengungkapkan sistem kepercayaan (religi) sebagai salah satu aspek kebudayaan di samping; (1) teknologi dan kebudayaan materil, (2) sistem ekonomi dan mata pencaharian, (3) organisasi sosial, (4) sistem kepercayaan, dan kesenian. Agama membentuk dan mewarnai sistemsistem budaya. Agama menurut Glock dan R. Stark (dalam suci, 2008: 1) mempunyai lima dimensi, yakni: dimensi ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan yang meliputi tiga aspek, yakni keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa (Tuhan) dan takwa. Dimensi ideologikal mengacu kepada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk Tuhan. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama. Dimensi sosial, yakni manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan pendapat Glock dan R. Stark, realita yang terdapat dalam dimensi mistik menunjukkan getaran intuisi yang mendalam dari pengalaman religius manusia. Saranam (dalam Widana, 2011: 6) menjelaskan bahwa agama dan spiritual memiliki tujuan yang sama yaitu membantu manusia agar dapat menjalani kehidupan yang penuh dengan kebajikan. Namun dalam
163
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
kenyataannya agama sering gagal menyampaikan visi ini dengan cara yang bajik pula. Negara agama dan Negara yang mengharuskan penduduknya pemeluk agama pun memiliki penjara yang penuh dengan orang-orang beragama, yang taat menjalankan perintah agama yang paling dekat konotasinya dengan beragama yaitu sembhayang. Di penjarapun mereka taat sembhayang, namun tidak berbanding lurus dengan kebajikan kepribadiannya. Beberapa orang menjadi exstrem dan menyangkal kebutuhan akan agama, sedang yang lain mengadopsi cara sendiri-sendiri dalam beragama seperti penyerahan diri dan mistisisme. Dinamika yang terjadi memunculkan sebuah paradigma masyarakat postmodern yang tidak terlalu memperdulikan kebenaran dari suatu ajaran. Yang penting bagi mereka adalah ajaran tersebut mendatangkan perasaan nyaman dan kepuasan spikologis. Perjalanan spiritual dilakukan oleh banyak orang dalam rangka pencarian makna dalam kehidupan modern yang sangat individualistik dalam masyarakat industri yang kapitalis, serta perkembangan global yang begitu cepat mempengaruhi kehidupan manusia, dengan berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini memunculkan sebuah polarisasi atau proses permikiran mengenai spiritulalitas yang dapat meningkatkan harkat dan martabat, baik dalam pemenuhan kebutuhan jasmani duniawi maupun kebutuhan rohani. Pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani harus medapat perhatian dan dilakukan latihan secara terus menerus. Yoga merupakan cara untuk mencapai keselarasan antara
I Made Sugata, 162-181)
badan fisik, pikiran dan jiwa atau roh karena gerakan yoga dapat mempengaruhi fisik dan mental untuk menjadi sehat, sehingga jiwa terkonsentrasi. Maka peranan yoga disini sangat jelas membawa pikiran menjadi tentram dan merenungkan kebebasan jiwa yang abadi (Somvir, 2009: 17). Manusia mempunyai pengetahuan yang luas tentang dunia luar, bagian-bagian luar tubuh manusia, tetapi hanya beberapa yang mengetahui apa yang terjadi dalam hidup mereka, termasuk jiwa (roh). Minat terhadap mistisisme yoga makin meningkat yang memberikan sebuah pengalaman religius bagi pelakunya. Gejala ini, dengan munculnya pemikiran-pemikaran yang spiritualistik, meningkatnya kelompok dan lembaga spiritual, seperti Pasraman, Asram, Perguruan dan lain sebagainya. Kegiatan yang dilakukan sampai pada aktivitas yoga yang bersifat mistik. Ketika mistisisme yoga ini menjadi kebutuhan oleh masyarakat, maka akan terjadi polarisasi pergerakan spiritualitas tanpa melihat agama yang dianutnya. Melalui pendekatan spiritualitas akan diurai mistisisme yoga dalam pengalaman religius sebagai bahasan pertama. Sebagai bahasan kedua, bentuk polarisasi mistisisme yoga dalam gerakan spiritualitas. Terakhir, bagaimana pengaruh mistisisme yoga dalam masyarakat lintas agama. II. PEMBAHASAN 2.1. Mistisisme yoga sebagai pengalaman religius Mistisisme adalah pengalaman kemistikan. Kemistikan berasal dari kata mistik atau mystic (Inggris) yang berarti tersembunyi, gaib, atau jalan rohani menuju Tuhan. Dalam
164
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
Ensiklopedia Indonesia dikatakan bahwa mistik berarti keinginan orang untuk mencapai hubungan mesra, kekal, dan sempurna dengan Tuhan. Inti sari mistisisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antar roh manusia dengan Tuhan dengan mengambil bentuk bersatu dengan Tuhan, dimana antara yang dicintai dengan yang mencintai menjadi satu. Aspek rohaniah dinamakan dengan mysticism dalam bahasa Inggris. Hornby mengatakan bahwa mysticism, adalah kepercayaan atau pengalaman tentang kemistikan. Kemistikan adalah makna tersembunyi, kekuatan spiritual yang menimbulkan sikap kagum dan hormat. Mistisisme juga berarti bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki hanya mungkin didapatkan melalui yoga dan meditasi atau perenungan spiritual, tidak melalui pikiran dan tanggapan panca indera. Mistik adalah aspek esoteris dari penghayatan seseorang atau suatu organisasi yang disebabkan oleh ketaatan spiritual (Hornby, 1984:559). Menurut Bouyer, kata sifat mistik digunakan dalam tiga konteks, yaitu: (1) digunakan ketika berbicara mengenai kitab suci. Kitab suci tersebut, mistik sifatnya karena kitab tersebut memuat misteri; (2) menyangkut misteri iman; dan (3) menyangkut pengalaman religius, pengalaman rohani, sebagaimana dipertentangkan dengan pengalaman ragawi, sehingga disebut pengalaman mistik (Johnston, 2001:35). Menurut Zaehner, mistisisme dideskripsikan sebagai sikap hidup, permasalahan hati, sebuah hubungan dengan Tuhan. Jadi, mistisisme adalah pengulatan diri mencari cahaya, petunjuk, jalan dan upaya untuk
ISSN : 1412-7474
menyatu dengan Tuhan. Mistisisme merupakan jalan membuka alam gaib, yang tidak semua orang mampu menempuhnya. Untuk dapat mencapai kesempurnaan dalam laku mistik, seseorang harus dapat melewati tanggatangga berjenjang menuju penyatuan diri dengan Tuhan. Tangga-tangga penghampiran menuju Tuhan harus dilewati oleh setiap orang yang menjalani laku mistik, dan harus bisa menyingkirkan nafsu-nafsu lahiriah (Zaehner, 2004: 8). Sesuai dengan teori asal mula religi dari E.B. Tylor (Kontjaraningrat, 2009: 48), asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati; (2) Peristiwa mimpi. Bertitik tolak dari pemikiran Tylor, mistisisme dipahami sebagai pengalaman religius yang merupakan pengalaman dalam keadaan transcend atau dalam kondisi menyadari akan ketidak sadaran diri (ancounciousness), menuju keberadaan Tuhan (counciousness). Pengalaman ini sebagai kebutuhan ketenangan secara psikologis dan spiritual untuk membangkitkan perasaan ingin meningkatkan kerohanian dan memurnikan melalui yoga. Dengan mencapai kesempurnaan dalam laku mistik seseorang harus melalui tanggatangga kejenjang menuju penyatuan diri dengan Tuhan. Tangga-tangga penghampiran menuju Tuhan harus dilewati dengan menyingkirkan nafsunafsu lahiriah yang menggerakan pikiran. Dalam hubungan mistik dengan yoga di paparkan oleh Istambul, 14 September 1979 (Ananda
165
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
Vacanamrtam Part 14) dalam Psikologi Yoga, 1992. Apabila perasaan estetik, didasarkan pada ilmu estetik yang indah, mencapai standar tertentu, itulah yang disebut mistisisme. Dan ketika mistisisme ini mencapai puncak kemuliaan manusia, atau puncak dari keagungan manusia, hal itu disebut sebagai spiritualitas. Mistisisme merupakan satu dari sekian banyak keinginan manusia karena manusia tidak pernah terpuaskan dengan sesuatu yang terbatas sifatnya. Mereka tidak pernah puas dengan sesuatu yang mempunyai batas. Dalam bahasa Sansekerta dikatakan: Nalpe sukhamasti bhunaeva sukhamasti ”Keinginan manusia tidak pernah terpuaskan dengan sesuatu yang terbatas, kelaparan manusia tidak terpuaskan oleh sesuatu yang terbatas”. Dengan demikian, dalam usaha mencari ketidak-terbatasan, pertama sekali manusia melakukan hubungan dengan ilmu estetik. Ilmu estetik tidak selalu berarti nendapatkan sesuatu yang menyenangkan; mungkin juga berarti mendapatkan sesuatu yang menyulitkan. Pada hal inilah terjadinya sebuah polarisasi, dimana proses pengalaman religius setiap penekun yoga tanpa melihat perbedaan dari sebuah faktor utama. Namun yang menjadi inti dari seorang yang ingin memasuki pintu yoga untuk tujuan mencapai realisasi diri. Tanpa terlalu berorientasi dan terlena pada keinginan untuk mendapatkan pengalaman mistik berupa kepemilikan siddhi (kekuatan gaib). Sebab kepemilikan siddhi (kekuatan gaib) tidak jarang dapat membawa seorang pencari realitas sejati atau sang yogi kepada kemunduran dari tujuan semula yaitu realisasi diri yang sesungguhnya,
I Made Sugata, 162-181)
karena sang yogi terlena dan terbuai dalam kenikmatan, dan melupakan tujuannya yang sejati. Dalam pengalaman religius tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh setiap penekun yoga, dan setiap agamapun memiliki cara dalam memperoleh religius tersebut. Berbagai teks keagamaan meresepkan praktek meditasi untuk mencapai keadaan kesadaran yang khas dari pengalaman religius. Teks dari Yoga dan Tantra menyebutkan metode fisik, nutrisi, etika, dan meditasi yang spesifik untuk mencapai jenis tertentu pengalaman religius. Berbagai cara lain tidak spesifik dari agama apapun termasuk meditasi maupun berdoa dilakukan untuk menemukan pengalaman yang bersifat mistis. Doa
merupakan gejala yang umum yang ditemukan dalam semua agama. Dalam berbagai macam bentuknya, doa muncul dari kecenderungan kodrati manusia untuk memberikan uangkapan dari pikiran dan rasa dalam hubungannya dengan Tuhan. Sebagaimana manusia dalam menghadapi kehidupan, apapun yang muncul dalam pikiran dan itu di ulangulang secara terus menerus baik itu bersifat positif naupun negatif, bagi seseorang yang sedang menjalakan sadhāna keseluruhan dari pengulangan pikiran itu merupakan bagian dari kekuatan doa. Sebagaimana manusia berkomunikasi secara kodrati dengan manusia-manusia lain dengan berbicara, demikian pula ia menyapa Tuhan dengan cara yang sama, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Doa merupakan suatu tindakan rekolektif, artinya dengan itu manusia menetapkan dan memupuk kesatuan dengan Tuhan. Doa merupakan bentuk pemujaan universal, dengan diam ataupun dengan suara, pribadi maupun
166
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
umum, spontan maupun menurut aturan (Dhavamony, 1995: 241). Karena doa merupakan ungkapan religius yang paling khas dan satusatunya tindakan religius yang berlaku untuk semua agama. Dari pernyataan diatas, sekarang doa merupakan ekspresi keinginan manusia yang paling berkembang dan paling berharga, jadi tahap pertama dari doa adalah dimana seseorang mengekspresikan dirinya melalui berbagai macam seni dan ilmu pengetahuan. Titik akhir dari segala dan titik final dari segala cabang ilmu adalah sumber tertinggi, sumber yang kekal bagi semua energi, kedudukan tertinggi dari semua energi. Mistisisme yang merupakan pengalaman rahasia, gaib dalam hubungan dengan Tuhan, dipahami sebagai pengalaman religius. Makna dari pengalaman tersebut hanya dapat dirasakan oleh mereka atau masyarakat yang telah mengalami, sehingga hanya ada di dalam perasaan yang paling dalam yang sifatnya sangat personal bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang mengikuti yoga. Dalam mistisisme yoga, kebenaran spiritual tidak memerlukan saksi dari luar dalam pengalaman religius yang dialami. Karena, pendapat orang lain bukanlah penentu sebuah kenenaran. Ketika telah menyadari kebenaran secara langsung maka tidak perlu menanyakannya kepada tetangga atau yang lain apakah pengalaman yang dimiliki adalah kebenaran atau tidak. Juga tidak perlu mencari pembenaran dalam kitab suci. Selama masi meragukan, maka itu berarti belum mengetahui. Jalanilah lebih jauh jalan pengalaman ini hingga menemukan keadaan dimana semua tampak jelas, hingga semua keraguan terleburkan. Hanya pengalaman
ISSN : 1412-7474
langsung yang memiliki akses langsung menuju kepada yang sejati (Rama, 2005: 73). Latihan spiritual melalui yoga membawa dan memberikan manfaat yang besar dalam merubah manusia menjadi lebih baik dan kesadaran secara spiritualitas. Ini terbukti dari perubahan yang tampak dari cara pandang dalam berpikir kehidupan yang santai dan menjalani yang ada. Memang sangat sulit untuk mengetahui barometer yang jelas terkait kesadaran spiritual sebagai pengalaman religius. Tentang asal mula religius manusia, yaitu bahwa pangkal religius adalah suatu “emosi” atau suatu “getaran jiwa” yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejalagejala tertentu yang sifatnya luar biasa (Kontjaraningrat, 2009:61). Menurut Suryadiputra (1993: 248), harus diingat bahwa budi dan kecerdikan rohani tidak dapat di ukur dengan pengetahuan kita yang diperoleh di dalam kesadaran, dan apa yang diketahui oleh jasmani, oleh rohani diketahui lebih dahulu, dan apa yang diketahui oleh rohani tetap merupakan rahasia bagi jasmani. Namun hal itu bisa ditangkap dari perubahan perilaku peserta yang sudah mengarah ke konsep Tri Kaya Parisudha (berpikir, berkata dan bertindak yang suci). Ketika sifat-sifat kedewataan seperti welas asih memiliki dominasi dalam kesehariannya makan kesadaran akan spiritualitas dirinya mulai terbangun. Disaat spiritual diri terbangun makan berbagai godaan, baik secara diri maupun lingkungan akan bermunculan. Kenapa bermunculan? Ini merupakan sebuah konstruksi alam semesta sejauh mana kita mampu menjaga kesadaran itu secara realitas dalam pemahaman
167
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
mistikal. Seperti contoh, dalam hal meditasi, rasa malas akan muncul sekali waktu atau beberapa waktu. Dimana saat malas itulah manusia diuji untuk melakukan meditasi dalam sadhāna dan memiliki nilai lebih tinggi dan semacam ujian sadhāna. Dengan menjalankan kedisiplinan tersebut bahwa pada dasarnya kita sudah sadar akan spiritualitas dan kesuksesan dalam sadhāna.Satu dari sekian banyak keuntungan sadhāna adalah mejaga pikiran agar bebas dari penyakit psikis dan mendorong perkembangan pikiran yang wajar ke arah spiritualitas. Pada tingkat kesempurnaan yang disebut samadhi, pikiran seseorang sepenuhnya tenang, bebas dari kegiatan mentalitas duniawi dengan mempraktekkan yoga. Hal ini ditandai oleh kemampuan seseorang melihat sang diri dengan pikiran yang suci dan ia merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Dalam keadaan riang tersebut, kebahagiaan rohani tidak terbatas, dan dia berpuas hati melalui indera-indera rohani. Dengan mantap ia tidak pernah menyimpang dari kebenaran, dan menganggap bahwa tidak ada keuntungan yang lebih agung daripada itu. Dalam keadaan seperti itu orang tidak pernah tergoyahkan, walaupun berada di tengah kesulitan yang paling besar sekalipun. Dalam tingkat kesadaran seperti itu hanya akan ada satu yang terucap, terlihat, terdengar dan terasa, yaitu indah. Kahlil Gibran (dalam Vashdev, 2009: 212) menulisnya dengan, “ketika kamu mencapai inti kehidupan, kamu akan menemukan keindahan dalam semua hal, bahkan di mata yang tidak melihat keindahan itu”. 2.2. Bentuk polarisasi mistisisme yoga dalam gerakan spiritualitas
I Made Sugata, 162-181)
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu dan bersifat abstrak. Menemukan sesuatu sebuah kesadaran yang tujuannya mencapai spiritualitas yang sejati, tidaklah semudah seperti membalikan telapak tangan. Bagaikan diam menghasilkan sesuatu untuk orang banyak dibandingkan bergerak tapi tidak ada apa-apanya. Pergerakan dari perjalanan spiritual setiap orang akan menemui jalan yang panjang dan berliku-liku seperti, keteguhan, kesabaran, ketulusan, kebaktian dan sifat-sifat manusia yang universal terhadap kehidupan yang holistiklah yang akan mampu merubah menjadikan sebuah polarisasi sikap manusia dalam menanggapi sendi-sendi kehidupan menuju spiritualitas. Tanpa melihat adanya sekat-sekat baik agama, suku, adat-istiadat, ras, warna kulit, kasta maupun hal-hal yang lain yang memunculkan pembanding setiap manusia. Yang paling penting dalam setiap jalan adalah kejujuran, ketaatan, kebenaran dan kesetiaan pada jalan yang ditempuhnya. Dengan unsur kebersamaan dan kesamaan adalah sebuah mutlak menjadikan setiap manusia ditekankan dalam menempuh jalan spiritualitas. Menurut Yudiantara (2009: 14) spiritualitas sebenarnya bukanlah sebuah sampingan yang kita perlukan dalam hidup, namun boleh saja kita abaikan. Namun spiritualitas adalah kebutuhan pokok yang teramat dibutuhkan manusia. Yang kalau spiritualitas ini tidak ada maka terjadilah dunia yang carut marut seperti sekarang. Dan kurangnya kecerdasan spiritual (SQ) secara
168
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
pribadi akan membuat jiwa manusia “gersang” dan selalu terasa “ada yang kurang”. Lebih jauh dijelaskan, ada lima dimensi spiritualitas dalam Hindu: spiritualitas yang nyata, meliputi (1) Tuhan (Brahman); (2) Atman (Sang Diri Sejati), (3) Rsi, Veda, Avatara; (4) Karma-phala; (5) Moksha (Yudiantara, 2009: 51-57). Kelima dimensi tersebut merupakan dasar hidup seorang Hindu, yang mampu memberikan kesegaran secara nyata dan menyeluruh. Suryadiputra (1993: 132-133) sesuai dengan aliran spiritualismus mengemukanan bahwa, semua keadaan di dalam alam terjadi roh, sukma, jiwa, budi yang tak terbentuk dan menempati ruang. Orang-orang yang yakin terhadapnya roh dalam ajaran agama Hindu di Bali dikodifikasi didalam ajaran Panca Sradha. Di era globalisasi seperti sekarang ini, kehidupan manusia semakin terjebak dalam hal-hal yang bersifat duniawi. Manusia cendrung sangat mudah diikat oleh harta, kekuasaan, dan ambisi yang begitu besar sehingga kadang ada kekosongan dan kekurangan yang dirasa dalam dirinya. Hanya harta, kekuasaan dan ambisi dipandang mampu memenuhi emosi, egositas dan jasmani manusia, sementara hal terpenting yang harusnya diutamakan jarang mendapatkan perhatian, hal itu adalah jiwa dan kebutuhan rohani manusia. Proses global dengan kecepatan tanpa kendali tersebut tidak seimbang dengan kemampuan manusia dalam menerima dan mencerna, sehingga manusia dihadapkan dengan berbagai tekanan, seperti: tekanan psikis, tekanan perseptual, tekanan sosial, tekanan moral, dan tekanan spiritual yang menyebabkan manusia kehilangan
ISSN : 1412-7474
aspek moral sebagai fungsi kontrol (Pilliang, 2004:19). Kehidupan yang terlalu berorientasi pada kemajuan dalam bidang material untuk pemenuhan kebutuhan biologis selalu menelantarkan supra empiris manusia, sehingga terjadi pemiskinan rohani dalam dirinya. Kondisi ini sangat penting bagi perkembangan kepribadian yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti perasaan cemas, perasaan terasing, stres dan terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai. Gaya hidup modern di negara-negara industri menunjukkan munculnya berbagai problem sosial dan personal yang cukup kompleks. Problem tersebut seperti: (1) ketegangan fisik dan psikis; (2) kehidupan yang serba rumit; (3) kekhawatiran atau kecemasan akan masa depan; (4) makin tidak manusiawinya hubungan antar individu; (5) rasa terasingnya dari anggota keluarga dan masyarakat lainnya; (6) renggangnya hubungan kekeluargaan; (7) terjadinya penyimpangan moral dan sistem nilai; dan (8) hilangnya identitas diri (Yusuf, 2004: 79). Untuk itu dibutuhkan polarisasi bagi manusia untuk kembali kepada hakikat hidupnya di dunia sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, makhluk individu dan kewajibannya melanjutkan peradaban. Selain itu manusia hendaknya kembali pada tujuan hidup yang tertinggi, yaitu kebahagiaan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan Yoga, karena mampu menjalankan prinsip pengembangan potensi spiritualitas yang dimiliki manusia, manusia harus berpikir positif, dengan mengubah keadaan mulai diri sendiri. Sebagai
169
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
manusia seutuhnya, manusia terdiri dari tiga dimensi yaitu dimensi fisik, dimensi mental dan dimensi spiritual, untuk pengembangan aspek kepribadian. Yoga menurut Maha Rsi Patanjali merupakan ajaran praktek yang dapat dilakukan dengan jalan astangga yoga, yaitu delapan tahapan yoga: (1) yama; (2) niyama; (3) pranayama; (4) asanas; (5) prathyahara; (6) dharana; (7) dhyana; dan (8) samadhi (Saraswati, 2005:45). Sebagaimana halnya spiritualitas melakukan hubungan dengan ketidakterbatasan, dengan kata lain keterbatasan melakukan hubungan dengan ketidak-terbatasan, maka hal semacam ini disebut "Yoga". Yoga berarti kesatuan bergerak dalam mencari ketidak-terbatasan, keterbatasan gerak menuju ketidakterbatasan, dalam cara mistik. Dalam bahasa Sansekerta, Yoga berarti "penambahan". Sebagai contoh, dua tambah dua sama dengan empat. Tetapi dalam dunia mistik, bagi seorang yang ingin mencapai tujuan mistik, Yoga tidak hanya berarti penambahan; tetapi di sini yoga berarti juga "penyatuan". Bagaimanakah bentuk penyatuan itu? Ia seperti air dan gula. Katakanlah dua apel ditambah dua apel, dalam pengertian penambahan hanya ada satu apel, kemudian dua apel, tiga apel, dan empat apel. Masing-masing apel tetap mempunyai individualitas dan identitasnya sendiri-sendiri. Identitas masing-masing apel tetap tidak berubah sebelum dan sesudah penambahan. Dalam hal penyatuan, yakni dalam contoh air dan gula, gula sudah tidak memiliki identitasnya sebab ia telah menyatu dengan air. Ini merupakan penyatuan. Dalam dunia mistis, Yoga berarti penyatuan seperti itu. Penyatuan
I Made Sugata, 162-181)
itu adalah penyatuan seperti air dan gula, dan tidak semata-mata penambahan seperti dua ditambah dua. Jadi tilik tolaknya adalah perasaan estetik atau ilmu estetik. Titik kulminasi, tegasnya, dari titik kulminasi, bermula gerakan menuju Pesona Yang Maha Agung. Dalam polarisasi yoga tujuan Pesona Yang Maha Agung, manusia akan menyatu dengan Entitas Tertinggi, yang berkedudukan di atas segala yang ada. Gerakan seperti ini bagi yoga, yakni penyatuan unit dengan yang Tertinggi, keterbatasan dan ketidak-terbatasan, merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia. Struktur fisik dan psikis manusia adalah paling cocok untuk tujuan ini. Hewan dan tumbuhan berperilaku sesuai dengan naluri bawaan mereka. Hewan dan tumbuhan secara mental belum berkembang, dan ini disebabkan karena otak mereka juga belum berkembang. Tempurung kepala mereka sangat kecil dan hanya cukup untuk porsi kesadaran bagi mereka, tidak adanya bagi lingkup bawah-sadar atau supra-sadar dari pikiran mereka. Tumbuhan mendapatkan kegembiraan manakala naluri bawaan mereka terdorong atau terangsang, dan akan mendapatkan kesedihan bila naluri bawaannya kehilangan rangsangan atau tertekan. Inilah cara kerja otak atau pikiran dari tumbuh-tumbuhan dan hewan berfungsi. Tetapi dalam kasus psikologi manusia, gerakan psikospiritual manusia tidak dapat ditekan, tidak bisa diperiksa. Di sana terletak kekhususan dari eksistensi manusia. Polarisasi yoga tidak lepas dari aktivitas yang dilakukan oleh setiap masyarakat yang mengarah ke spiritualitas tanpa melihat suku, adat istiadat, ras maupun agamanya. Teori
170
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia menunjukan adanya kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya (Widana, 2011: 4). Dalam masyarakat lintas agama, spiritualitas yang mampu menampung dan memenuhi harapan tentang makna yang lebih dalam dan sederhana namun secara tidak disadari memberikan manfaat baik scara fisik, mental maupun spiritual seperti, cara duduk, cara bernafas, gerakan tangan (mudrā), gerakan tubuh (asanas), tersenyum, tertawa, menangis, menulis, berteriak, menari, jalan kaki, mandi, makan, dan tidur mendalam (savasnas). Aktivitas yang tanpa disadari merupakan bentuk polarisasi dari aktualisasi kehidupan keseharian yang berkaitan erat dari konsep ajaran yoga. Aktivitas tersebut berpengaruh pada pikiran manusia yang memiliki tiga tingkat: kasar (crude), halus (subtle) dan kausal (causal) dan ada tiga keadaan dalam eksistensi manusia: keadaan sadar (wakeful), tidur (sleep), dan mimpi (dream) (Sarkar, 1992: 7). Bentuk dari polarisasi Yoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri dan pengendalian pikiran. Yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran. Bagaimana mengembangkan konsentrasi dan bagaimana bergaul dan berprilaku dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat bahwa manusia terdiri dari tubuh, pikiran dan jiwa, gerakan spiritual juga menemukan kedamaian serta ketenangan pada pikiran dan yang terakhir merasakan kebahagiaan jiwa. Dalam Hathayoga terdapat disiplin
ISSN : 1412-7474
fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran. Sehingga bentuk polarisasi mistisisme yoga dalam gerakan spiritualitas dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: a. Moral training (latihan moral) Moralitas adalah dasar dari ketinggian spiritual, namun bukanlah puncak tujuan hidup rohani, dengan dasar pijakan moral yang luhur serta melanjutkan tujuan perjuangan mencapai kesadaran tertinggi akan diraih (Kamajaya, 1998: 45). Yama (keseimbangan sosial) dan Niyama (Penyatuan pribadi) merupakan prasyarat yang sangat diperlukan dalam yoga sebagai latihan moralitas sebagai unsur kemurnian “suci nirmala tan keneng papa klesa”. Karena Yama dan Niyama membangun kualitas moralitas spiritualitas dengan berkesinambungan abadi dalam Brahman. Yama adalah pengendalian diri yang awal dan menampakkan pengendalian diri dalam penampilan lahir. Yama dibagi atas lima bagian. Dengan bagian-bagiannya ini maka yama menjadi panca yama, sebagai berikut. Ahimsā satyāsteya brahmacaryāparigrahā yamāh. Yogasūtra.II.30). Terjemahan: Yama (pengekangan diri) terdiri dari tanpa kekerasan (Ahimsā),kebenaran (satya), tiada mencuri (asteya), pembunjangan (selibat: brahmacari), dan ketiadaan keserakahan (aparigraha). Menurut Yogasūtra, Niyama juga memiliki lima aspek: pemurnian, kepuasan, malu, pembacaan suara suci,
171
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
dan menyembah makhluk ilahi. Ajaran ini merupakan kewajiban harian menuju kesucian untuk datang kepada Tuhan. Praktik-praktik ini berkaitan dengan perilaku pribadi seseorang, berbeda dengan moralitas sosial yang merupakan dasar dari ketaatan Yama. Dengan melaksanakan ajaran ini baikbaik orang akan dapat menemukan dirinya sendiri, karena kabut kegelapan dunia menipis. Niyama terdiri dari lima bagian seperti tersebut dalam Yogasūtra Patañjali (dalam Saraswatī, 2005: 290) sebagai berikut. Ṡauca saṁtoṣa tapaḥ swādhyāyeṡwara praṇidhāni niyamaḥ (Yogasūtra, II. 32). Terjemahan : Pemurnian internal dan eksternal (ṡauca), kepuasan (kesejahteraan; Saṁtoṣa), kesederhanaan (tapaḥ); belajar sendiri (swādhyāya), dan penyerahan dari pada Tuhan (Īṡwara praṇidhāna) semuanya ini termasuk kepatuhan yang mantap (Niyama). Yama dan niyama sadhāna telah menggariskan ideologi moral sedemikian rupa sehingga mampu menumbuhkembangkan, dan melengkapi manusia dengan daya kemampuan serta inspirasi untuk bergerak maju di dalam jalan kerohanian moralitas tergantung daripada daya upaya untuk menjaga keseimbangan mental sesuai dengan waktu, tempat dan pribadi. Dengan demikian, akan terdapat keanekaragaman kode moral, namun sasarannya yang terakhir adalah tercapainnya kebahagiaan tertinggi yang sama sekali bebas dari hal-hal yang bersifat relatif. Mereka yang mantap dalam Yama dan Niyama akan
I Made Sugata, 162-181)
cepat maju dalam melaksanakan Yoga pada umumnya. Dengan yama dan niyama seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi (kesucian hati). Sesuai dengan pandangan weber tentang historis moralitas manusia, setiap kelahiran kedunia dia selalu membawa dua hal yang dikotomi atau paradoks. kecendrungan manusia menyikapi hidup dan kehidupannya menuju ke arah evolusi yang akan menghantarkan setiap karma akan menuju keranah kebaikan, penyempurnaan, pemuliaan dan pada akhirnya akan mencapai pembebasan. Sedangkan ranah degradasi kecendrungan setiap karma akan berbuah pada keburukan bahkan ada dalam titik nadir kegelapan hidup. Manusia dalam ranah spiritualitasnya berpegang teguh kepada prinsip kemurnian moral dalam rangka membangkitkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya melalui latihan yoga. Disinilah aspek kebudayaan memiliki peran penting sebagai penanaman nilai-nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan (nilai estetika), kemerdekaan (nilai politik), persaudaraan (nilai keagamaan) dan seterusnya. Dengan demikian, empat prinsip yang harus diikuti oleh praktisi yoga dalam kehidupan sehari-hari menurut Patañjali yaitu maītri (memperlakukan semua umat manusia sebagai teman dan memperlakukan penuh cinta kasih), karuna (belas kasih), muditā (tersenyum) dan upeksa (menghindar dari orang yang jahat/tidak baik dan tidak melawan dengan kekerasan) (Somvir, 2009: 126). Dari pelatihan konsep-konsep ajaran yama dan niyama kencendrungkan sifat-sifat rajasika seperti keangkuhan, sombong,
172
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
iri hati, menganggap diri yang benar dan hal-hal yang lainnya cendrung mulai melemah dan dipenuhi oleh sifatsifat satwam yang penuh dengan cinta kasih. Dan dengan menetralkan sifatsifat rajasika dengan latihan moralitas kedamaian hati setiap peserta terbangun sehingga memiliki keakraban dan persemetonan (kekeluargaan) dengan peserta lain sangat rukun, sekaligus merubah perilaku dirumah dan lingkungan kearah lebih baik. b. Physical training (latihan fisik) Jasmani dan rohani terjadi hubungan yang sangat erat dalam mistisisme yoga. Kegoncangan rohani akan membawa kegoncangan jasmani dan demikian pula sebaliknya. Yang termasuk dalam latihan fisik dalam mistisisme yoga dalam polarisasi gerakan spiritual yaitu āsana dan prāṇayāma. Āsana dan prāṇayāma menyembuhkan macam-macam penyakit, memberi kesehatan, menggiatkan bekerjanya pencernaan, menguatkan urat-urat, meluruskan Sushumna Nadi (urat-urat kecil dalam Sungsum), menghapus keserakahan dan membangun kundalini. Āsana adalah tujuan untuk mendiamkan gerak-gerak badan hingga pikiran tak ada gangguan dari gerak gerik itu. Dengan tenangnya badan orang dapat mengendalikan jalannya nafas dan geraknya pikiran. Kamajaya (1998: 111), menjelaskan āsana berarti sikap tubuh yang enak dilakukan, tekanan lembut dari sikap āsana yang tenang dalam jangka waktu tertentu memperbaiki pengeluaran cairan hormon yang mengakibatkan keseimbangan hormon, meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Sehingga āsana dapat menguasai badan maka
ISSN : 1412-7474
kesadaran akan sang diri semakin halus yang akan mengantar seseorang menemukan dirinya. Prāṇayāma dapat diartikan sebagai suatu rangkaian teknik yang merangsang dan meningkatkan energi yang sangat penting, pada akhirnya menimbulkan pengendalian yang sempurna pada aliran prāṇa dalam tubuh (Sarasvatī, 2002: 301). Prāṇayāma mempercepat perkembangan spiritual, dengan menumpuk banyak tenaga dalam, yang kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan seseorang untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Secara historis sesuai penekanan weber, latihan fisik (physical training) yang meliputi āsana dan prāṇayāma memiliki kecendrungan untuk memperoleh kesehatan, kedamaian dan mengendalikan panca indra, pikiran serta badan. Sehingga dengan berāsana dan prāṇayāma lebih tetap, mantap dan stabil serta secara continue, akan lebih mudah memusatkan pikiran dan bermeditasi. Minat dan kemampuan untuk berlatih dipengaruhi oleh pergaulan serta lingkungan. Mengingat bahwa perikelakuan manusia mempunyai corak khusus, maka faktorfaktor luaran geografi, iklim, pemaksaan dari luar, maupun umur, kelas sosial, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain (Veeger, 1993: 178). Kebudayaan lokalitas juga sangat mempengaruhi individu dalam berlatih, padahal secara jelas, yoga dimulai berdasarkan kesadaran untuk melakukan latihan. Ini tidak terlepas dari perilaku manusia yang berkeinginan untuk bersama-sama atau kolektif (prawrti) sebagai makhluk sosial dan individual (niwrti) sebagai
173
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
penyerahan diri. Disamping itu āsana memiliki nilai estetika kehidupan yang sangat tinggi seperti kehidupan yang ada di dunia ini, sesuai dengan salah satu unsur budaya yang diungkapkan Kluckohn yaitu kesenian. Menurut Wariati (2009: 90), yoga selain sebagai suatu latihan fisik, mental dan spiritual namun dalam gerakan-gerakan (āsana) yoga itu sendiri memiliki unsur keindahan yang bisa dinikmati oleh panca indera. Setiap gerakan dalam yoga memang bukan diciptakan sebagai suatu seni, namun di dalam yoga terdapat unsur keindahan, baik gerakan yang berasl dari hewan, tumbuh-tumbuhan, alam maupun manusia. Dalam perkembangannya gerakan yoga mulai dipadukan dengan musik-musik atau ditambahkan dengan gerakan-gerakan yang terlihat seperti tarian. Namun gerakan yoga yang mulai dikreasikan itu hanya sebagai untuk memperindah gerakan yoga tanpa menghilangkan dan merubah gerakan-gerakan inti dari yoga. c. Mental training (latihan mental) Keseimbangan mental menjadi suatu latihan yang berkaitan dengan jiwa, batin atau kerohanian dalam mistisime yoga. Latihan mental seperti melatih konsentrasi, menyeimbangkan emosi, menenangkan pikiran, serta positive thinking dalam memandang suatu keadaan. Secara istimewa, kemurnian mental membantu menjaga kesehatan seseorang. Terkait dengan latihan mental dalam yoga hal ini termasuk dalam pratyāhāra dan dhārāṇā. Pratyāhāra adalah pemusatan pikiran dengan cara penarikan indraindra dari segala obyek luar (Mawisnara, 1999: 166). Sulit sekali
I Made Sugata, 162-181)
memengendalikan pikiran, karena ia tidak dapat diam, selalu gelisah, pergi dan melompat-lompat ke mana-mana, dari satu objek ke obyek yang lain. Pikiran manusia mempunyai dua kecendrungan bawaan yang saling bertolak-belakang, satu perolehan dan yang lain adalah pengorbanan (Sarkar, 1992: 48). Semakin seseorang berkembang di jalur evolusi, maka kecendrungan kedua, yakni semangat pengorbanan, semakin dominan pada dirinya. Orang tersebut berkeinginan untuk dapat memberikan kebahagian mental kepada orang lain. Dhārāṇā merupakan pemusatan pikiran secara mantap pada suatu obyek tertentu (Mawisnara, 1999: 166). Dalam konsep ini konsentrasi yang tetap atau menetapkan cipta pada satu “tempat” secara terfokus atau dalam suatu wilayah mental yang dibatasi (deṡa bandhaṡ cittasya dhārāṇā, Yogasūtra, III. 1). Tempat disini dimaksudkan adalah obyek konsentrasi, yakni chakra-chakra di dalam tubuh halus manusia melalui manah kesadaran yang lebih tinggi digali (Yudhiantara, 2006: 25). Dapat dipahami sesuai pandangan weber dari dalam, yaitu sesuai dengan arti dan maksudnya, proses pratyāhāra dan dhārāṇā sebagai gerbang historis untuk memasuki alam kemistisan. Pengisi pikiran yang telah dikosongkan dari gangguan-gangguan adalah mengisinya dengan ketertarikan pada diri batin. Untuk itu, pemusatan batin merupakan sesuatu yang penting, seseorang yang bermeditasi berusaha untuk membawa pikirannya menuju satu titik, tetap konsentrasi ke dalam sehingga tak ada lagi gangguan atau hambatan. Seseorang harus melakukan Pratyahara untuk dapat melihat di dalam batin dan memiliki kemusatan
174
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
pikiran. Seseorang yang bisa merasakan kesunyiaan dalam keramaian maupun kebisingan berarti telah mampu memusatkan pikiran pada suatu obyek tertentu dan tidak goyah (dhārāṇā). Dalam ranah budaya menilik hubungannya dengan pola masyarakat lintas agama sebagai objek mistisisme, secara rinci pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan melalui kemampuan menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Disamping itu pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Dunia nyata penuh dengan masalah dan fungsi pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang beroperasi lebih efektif dalam kehidupan. Sehingga menarik pikiran dalam management pikiran dari obyek yang menjadikan kegelisahan atau masalah pikiran, dan memusatkan pikiran dengan mempelajari pikiran dan mengembangkan metode sendiri untuk mengontrolnya adalah sebuah resep untuk diri pribadi. Tidak ada suatu resep dokter yang mampu berlaku untuk semua orang. Pikiran yang harmonis, akan mampu membawa jiwa yang harmonis. Hal inilah yang mesti dikembangkan dalam membangun kebudayaan kebiasaan pola pikiran yang baik dan terarah serta secara sadar. d. Spiritual training (latihan spiritual) Dalam yoga, dhyāna merupakan latihan spiritual dari konsep astangga yoga ajaran Rsi Patañjali. Dhyāna adalah kontemplasi, atau popular disebut meditasi yaitu harus
ISSN : 1412-7474
pikiran yang tidak putus-putusnya dalam renungan pada satu tujuan yakni Tuhan atau diri Agung (Mawisnara, 2006: 166; Yudhiantara, 2006: 26; dan Saraswatī, 2005: 232). Secara sifat historisnya sesuai teori Weber, Dhyana, atau meditasi pengaliran yang tak henti-hentinya dari pemikiran satu objek, yang nantinya membawa kepada keadaan Samadhi, saat seperti itu yang bermeditasi dan yang dimeditasikan menjadi satu. Semua vritti yakni gejolak pikiran mengendap. Pikiran kehilangan fungsinya. Segala samskara, kesankesan dan vasana (kecenderungan dan pikiran halus) terbakar sepenuhnya dan Yogi (pelaksana Yoga) terbebas dari kelahiran dan kematian. Ia mencapai kaivalya atau pembebasan akhir (kemerdekaan mutlak). Yogi berkonsentrasi pada cakracakra, pikiran, matahari, bintang, unsur-unsur alam semesta dan sebagainya dan mencapai pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-unsur tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah tempat penyimpanan kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat muncul dalam waktu seminggu atau sebulan, karena ia memerlukan waktu. Pengaturan dalam melaksanakan konsentrasi merupakan kepentingan yang utama. Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai, pergaulan dengan orang-orang suci (satsanga) dan sattvika merupakan alat bantu dalam konsentrasi. Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju Samadhi atau pengalaman supra sadar, yang memiliki beberapa tingkatan pendakian, disertai atau tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka), analisa (vicara), kebahagiaan (ananda), dan
175
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
kesadaran diri (asmita). Demikian, kailvaya atau kemerdekaan tertinggi dicapai. Siddhi atau daya-daya gaib, terwujud dengan sendirinya, apabila Yogi maju dalam pelaksanaan yoga. Siddhi ini semacam tembus pandang, tembus dengar, merupakan halangan jalan spiritual. Ia harus menjauhkan diri dari padanya tanpa ampun dan tetap tegap langsung menuju tujuan, yaitu Asamprajnata atau Nirvikalpa Samadhi. Spiritual yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan daya-daya ini merupakan hasil sampingan dari konsentrasi. Mereka yang mengejar siddhi semacam ini adalah seorang tokoh manusia duniawi, atau tokoh kepala rumah tangga. Bila tidak hatihati, ia dapat terjerumus dalam lautan tanpa tepi dan terus terhapung di dalamnya. Menurut Swami Rama (2011: 26-27), praktik spiritual dibagi menjadi tiga tahapan utama yaitu: 1. Tingkat awal: pada tahap ini, murid berpikir bahwa dia sedang menjalankan latihan, tapi sebenarnya dia sedang mempersiapkan dirinya sendiri untuk berlatih. Apa yang dia sebut dengan berlatih, mengandung proses pembelajaran teknik-teknik yang diperlukan dan mengumpulkan sumberdayasumberdaya untuk memulai pencarian dan terus tetap berada dalam jalur. 2. Tingkat menengah (Intermediate): Pada tahap ini, seorang murid sepenuhnya dilengkapi dengan semua sumberdaya-sumberdaya yang dia perlukan untuk dapat menjalankan latihan. Waktu dan energinya tidak dicurahkan untuk mempelajari metode-metode, tapi
I Made Sugata, 162-181)
dia menghabiskan waktunya untuk latihan. 3. Terakhir: Pada tahap ini, seorang murid mengalami kebenaran. Dia mungkin hanya mempunyai sebuah kilasan singkat (tentang kebenaran), tapi setidaknya ini merupakan sebuah pengalaman langsung, yang membantu dan memahami kehebatan dari tujuannya. Sekarang, sādhanā mengandung upaya untuk mempertahankan keadaan ini. Ketika praktik spiritualnya semakin berkembang matang, dia menjadi sangat terlatih; maka dia tidak lagi perlu untuk terus mencoba, karena pengalaman tentang realitas ke-Esaan dipertahankan secara tanpa upaya dan secara spontan. Dari ribuan orang yang sangat tertarik pada spiritual, hanya segelintir orang yang menempuh jalan spiritual dengan mencurahkan waktu untuk mempelajari teks-teks spiritual. Kebanyakan orang-orang yang bekerja, merasa puas dengan pelajaran itu sendiri; mereka sebenarnya tidak mempraktikan apa yang telah mereka pelajari. Sebagai akibatnya, mereka menjadi bingung oleh ajaran-ajaran dari buku-buku yang tampaknya bertentangan. Menurut beberapa kitab suci, realitas itu bersifat Esa; menurut yang lain, Tuhan dan jiwa adalah dua prinsip yang berbeda. Menurut yang satu, Tuhan itu riil dan alam semesta tidak riil, sebaliknya, menurut yang lain, baik Tuhan dan alam semesta itu sama-sama riil. Karena para pembaca ini tidak mempratikkan ajaran spiritual, maka sulit untuk memahami mana filsafat yang benar dan mana yang salah. Namun, bagi seorang praktisi spiritual, semua pernyataan-pertyataan
176
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
ini merupakan pengalamanpengalaman yang sama-sama valid pada tahap-tahap yang berbeda sepanjang jalan spiritual ini. Oleh karena itu, menggunakan teori-teori maupun metode sebagai bimbingan untuk kontemplasi. 2.3. Pengaruh mistisisme yoga dalam masyarakat lintas agama Secara umum dan mendasar, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnnya, mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam konteks ini, agama dipandang sebagai teks atau doktrin sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak tampak tercakup didalamnya. Agama juga dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakantindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan atau memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagi sesuatu yang gaib dan suci. Agama dapat dikatakan sebagai suatu yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaranajaran mengenai kebenaran hakiki tentang keberadaan manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang takwa kepada Tuhannya, beradab, humanis dan manusiawi (Tim, 2007: 3). Agama sebagai sebuah sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam budaya masyarakat
ISSN : 1412-7474
bersangkutan dan sekaligus menjadi pendorong, penggerak, dan pengontrol bagi tindakan-tindakan para penganutnya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan agamanya. Agama memberikan pengaruh terhadap sistem nilai kehidupan masyarakat yang dikaji dari fungsi agama dalam masyarakat, yaitu: (1) fungsi edukatif; (2) fungsi penyelamat; (3) fungsi pengawasan sosial; dan (4) fungsi memupuk persaudaraan (Tim, 2007: 3-4). Secara fenomenologis agama adalah sebuah ekspresi simbolik tentang yang suci. Sakral atau suci, adalah suatu realitas yang transenden dan metafisik. Agama tidak bisa lepas dari sebuah unsur-unsur spiritual dalam meraih kesucian dan penyatuan dengan Tuhan, seperti berserah diri. Spiritualitas adalah cara bersama Tuhan bukan berjalan sendirian. Yoga adalah ilmu universal untuk meningkatkan diri dan semua metode pemahaman diri yang ditemukan di dalam semua agama terdapat di dalam literature yoga. Posisi dari mistisisme yoga tertuang di dalam filsafat yoga yang dioratori oleh maha ṛṣi patañjali yang keseluruhan ajarannya menyebar diseluruh kitab dan susastra veda. Puncak ajaranya termaktub dalam kitab darsāna yang merupakan bagian dari upaṅgaveda. Berbicara pengaruh mistisisme yoga, maka tidak akan ada habisnya, karena pada kenyataannya melakukan yoga secara rutin memang sangat banyak mempengaruhi baik moral, fisik, mental dan spiritual. Sehingga yoga adalah penyatuan kembali semua pikiran, intelektual, rasa, emosi, insting, dan sifat-sifat lainnya (Rama, 2005:211). Untuk bisa merasakan implikasi yang begitu hebat,
177
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
maka hendaknya yoga dilakukan secara rutin (continue) dan total, tidak hanya setengah-setengah atau sekedar lewat. Maka terjadilah sebuah interaksi antara penerapan dari sebuah ajaran dengan subjeknya. interaksi dalam praktiknya terdapat simbol-simbol yang memiliki makna. Sesuai dengan teori interaksi simbolik oleh Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2009: 98), mereka mengatakan ada tiga tema besar, yaitu (1) pentingnya makna bagi perilaku manusia; (2) pentingnya konsep mengenai diri; (3) hubungan antara individu dengan masyarakat. Ini menegaskan manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka (masyarakat lintas agama). Tidak serta merta ajaran mistisme yoga itu diperuntukan khusus bagi kalangan Hindu semata-mata. Menurut teori interaksi simbolik memahami bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat. Dalam konteks ini, kaitannya dengan masyarakat lintas agama mistisisme yoga dalam polarisasi spiritualitas masyarakat, juga mampu menarik minat kelompok masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda-beda untuk dinikmati (dipelajari) dalam rangka kebahagiaan, kedamaian, kesentausaan, dan keharmonisan. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individuindividu yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya tampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung di antara individu dalam masyarakat tersebut dalam tindakan simbolik (Rohim, 2009: 53). Melalui
I Made Sugata, 162-181)
latihan-latihan yang penuh dengan simbol-simbol memunculkan makna yang diciptakan dalam interaksi aktivitas yoga. Makna dapat ada, hanya ketika orang-orang memiliki interprestasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi yoga. Dalam mistisisme yoga, dalam aspek fisiknya, mereka dapat menyatu, setiap individu yang berbedabeda bisa berinteraksi bersama-sama dalam latihan-latihan dalam wujud gerakan-gerakan simbolik, yang pada prinsipnya kebersamaan dalam tujuan. Tujuannya adalah perbaikan moral (moralitas movement), kesehatan fisik (physical treatment), kestabilan mental (mental stability) dan kesadaran spiritual (spirituality counciouness). Mistisisme yoga memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat lintas agama yang memiliki multikulturalisme begitu beragam dan luas. Dalam proses interprestasinya pada pemberian makna sosial yang relevan dan yang secara agama dapat diterima. Gerakan spiritualitas memberikan dampak dan sekaligus menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam ajaran-ajaran agama. Agama-agama di zaman sekarang ini harus merevitalisasi diri mereka dengan cara menyingkap arus-arus batin cinta, pengetahuan, kedermawanan, keberanian, disiplin diri dan kesabaran yang di contohkan oleh para ṛṣī. Agama tidak berkembang dalam bukubuku sejarah, tapi berkembang dalam kehidupan dari mereka yang mempraktikkan agama secara tulus. Manusia-manusia yang agamis, harus hidup sesuai dengan ideal-ideal tinggi dan contoh-contoh teladan dari para leluhur mereka, daripada hanya sekadar mengagumi dan mengutip ujaranujaran mereka. Sehingga dengan
178
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
memahami nilai-nilai dasar setiap agama mewujudkan sifat sejati agama. Prinsip dasar pelaksanaan spiritual pada semua agama di dunia adalah sama, meskipun cara pemujaan mereka yang berbeda-benda. Perbedaan adalah cara untuk mendapatkan pencerahan, akan tetapi tujuannya sama dan satu. Jika para pemimpin spiritual bertemu, berdiskusi dan memahami ajaran agama lainnya, mereka akan dapat membantu masyarakatnya dan kemudian membimbing mereka untuk berkomunikasi dengan berbagai macam kelompok dan agama yang ada. Siapapun yang mengatakan bahwa agamanya adalah paling benar tidak perlu di perhatikan karena mereka dapat memberikan bimbingan yang salah kepada pengikutnya. Prasangka adalah seperti racun yang dapat membunuh manusia. Cinta kasih adalah dasar dari semua agama. III. SIMPULAN Kehidupan spiritual tidak lepas dari hal yang bersifat mistik. Mistisisme merupakan pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki yang hanya mungkin didapatkan melalui yoga dan meditasi atau perenungan spiritual, tidak melalui pikiran dan tanggapan panca indera. Dalam pergerakan spiritual membawa setiap insan kedalam perenungan yang mendalam tanpa melihat batas-batas yang ada dalam kehidupan. Polarisasi yoga tidak lepas dari aktivitas yang dilakukan setiap masyarakat yang mengarah ke spiritualitas tanpan melihat suku, adat istiadat, ras maupun agamanya serta kebenaran spiritual tidak memerlukan saksi dari luar dalam pengalaman religius yang dialami. Pergerakan dari perjalanan spiritual setiap orang akan menemui
ISSN : 1412-7474
jalan yang panjang dan berliku-liku seperti, keteguhan, kesabaran, ketulusan, kebaktian dan sifat-sifat manusia yang universal terhadap kehidupan dalam meraih pengalaman religius. Yoga sebagai jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri dan pengendalian pikiran. Dalam Hathayoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran. Bentuk dari polarisasi mistisisme yoga Meliputi latihan moral (moral training), latihan fisik (physical training), latihan mental (mental training), dan latihan spiritual (spiritual training). Gerakan spiritualitas dalam mistisisme yoga memberikan pengaruh dan sekaligus menghilangkan sekatsekat yang ada dalam ajaran-ajaran agama. Dengan memiliki tujuan akhir kebersamaan yaitu perbaikan moral (moralitas movement), kesehatan fisik (physical treatment), kestabilan mental (mental stability) dan kesadaran spiritual (spirituality counciouness). DAFTAR PUSTAKA Abdulah, Irwan dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Agus, Bustanuddin. 2007. Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultur Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integritas. Denpasar: Pustaka Larasan. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama (Dr. A.
179
MISTISISME YOGA :POLARISASI GERAKAN SPIRITUALITAS DALAM MASYARAKAT LINTAS AGAMA
Sudiarja, dkk Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius. Hornby, A.S. 1984. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Walton Street: Oxford University Press. Johnston, William. 2001. Teologi Mistik, Ilmu Cinta. Yogyakarta: Kanisius. Kamajaya, Gede. 1998. Yoga Kundalini (Cara Untuk Mencapai Siddhi dan Moksa). Surabaya: Parāmita. Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress). Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darśana Samgraha). Surabaya: Parāmita. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari. Mencari ”TuhanTuhan” Digital. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo Anggota IKAPI. Rama, Swami. 2005. Hidup Dengan Para Ṛṣi Himalaya (Penerjemah: I Gede Oka Sanjaya). Surabaya: Pāramita. ----------------. 2011. Spiritualitas Transformasi Ke Dalam Dan Ke Luar Diri (Alih Bahasa: Ahmad Kahfi). Surabaya: Pāramita. Rohim, Syaiful H. 2009. Teori Komunikasi Perspektif, Ragam, & Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Sarkar, Shrii Prabhat Rajan. 1992. Psikologi Yoga. Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia. Saraswatī, Svāmī Satya Prakās. 2005. Pātañjali Rāja Yoga (J.B.A.F.
I Made Sugata, 162-181)
Mayor Polak Penerjemah). Surabaya: Parāmita. Sarasvatī, Svāmī Satyānanda. 2002. Āsana Praņāyāma Mudrā Bandha. Surabaya: Pāramita. Somvir. 2009. Yoga & Ayurveda Selalu Sehat dan Awet Muda. Denpasar: Bali-India Fondation. Suci, Ni Ketut. 2008. Mistisisme Dalam Peningkatan Kerohanian Melalui Yoga Bagi Masyarakat Hindu Di dusun Silakarang, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali (Tesis), Denpasar: IHDN Denpasar. Suryadiputra, R.Paryana. 1993. Alam Pikiran. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Penyusun. 2007. Bahan Ajar Studi Agama-Agama. Denpasar: IHDN Denpasar Widana, I Ketut Arta. 2011. Spiritual Hindu Dalam Pariwisata Spiritual Sekuler, dalam Vidya Duta Jurnal Ilmiah Agama Dan Ilmu Sosial Budaya Volume V. Denpasar: Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar. Wariati, Ni Luh Gede. 2009. Aktivitas Yoga di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar (Suatu Kajian Filosofis) (Skripsi), Denpasar: IHDN Denpasar West, Richard dan Turner, Lynn H. 2009. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi (Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika. Vashdev, Gobind. 2009. Hapiness Inside. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika) Veeger, KJ. 1993. Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah
180
PANGKAJA, VOLUME 14, NO. 2, AGUSTUS 2012
ISSN : 1412-7474
sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yudhiantara, Kadek. 2006. Menyingkap Rahasia Yoga. Surabaya: Parāmita. Yudiantara, I Putu. 2009. Cerdas Spiritual Melalui Bhagavad Gītā. Surabaya: Parāmita. Yusuf. 2004. Mental Hygiene. Perkembangan Kesehatan Mental Dalam Kajian Psikologi Dan Agama. Bandung: Pusaka Bumi Quraisy. Zaehner, R. C. 2004. Mistisisme Hindu Muslim. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
181