SPIRITUALITAS ZEN DALAM SENI RUPA KONTEMPORER JEPANG Djuli Djatiprambudi * Abstrak Seni rupa kontemporer Jepang memiliki watak khas yang bersumber pada peradaban klasik yang didasarkan pada Zen Budhisme. Pengaruh Budhisme yang datang dari Cina dan Korea dan kemudian berasimilasi dengan kepercayaan Shinto di Jepang membuahkan sekte Budha yang kemudian dikenal dengan Zen Budhisme. Prinsip kesederhanaan yang menjadi inti ajaran Budha bertemu dengan inti ajaran Shinto yang melebur dengan alam menjadi inti dasar dari paham estetik Zen, yang lebih cenderung bersifat esoterik. Semua ekspresi seni Jepang mulai periode Nara hingga sekarang tetap menjadi sumber inspirasi dan atruran normatif terhadap berbagai ekspresi seni seperti arsitektur, taman, interior, pakaian, lukisan, patung, dan sebagainya merujuk pada norma-norma estetik Zen Budhisme. Demikian pula spiritualitas Zen Budhisme terdapat pada karya-karya perupa kontemporer Jepang, antara lain Shigeo Toya,Tsuguo Yanai, Kurita Hiroshi, Maeyana Tadashi, dan Yukio Fujimoto. Prinsip-prinsip dasar estetik Zen Budhisme baik secara intuitif maupun formalistik serta simbolik menelusup pada dimensi estetik karya-karya mereka sebagai perupa kontemporer Jepang, sehingga membentuk identitas, karena itu berbeda dengan mainstream seni rupa Barat. Kata Kunci: seni rupa kontemporer, Zen Budhisme, estetik, spiritualitas, identitas.
Pendahuluan Seni rupa kontemporer Jepang memiliki watak yang khas. Kekhasan ini tidak lain bersumber pada peradaban klasik. Spirit peradaban klasik Jepang bersumber pada ajaran Zen Budhisme (selanjutnya disingkat “ZB”). Sebagai sebuah ajaran, yang tentu saja bersifat dogmatis, ZB telah berakar kuat dalam kebudayaan Jepang. Ajaran ini seakan-akan telah bersenyawa dalam setiap tarikan nafas orang Jepang. Dalam setiap ekspresi hidupnya, misalnya dalam gaya pakaian tradisional, arsitektur, olah raga, kesenian, ekonomi dan sebagainya, hampir dapat dikatakan spiritualitas ZB menjadi landasan normatifnya. Sebenarnya kalau dirunut secara historis, pengaruh ZB dalam berbagai aspek seni dan budaya belum tampak sebelum terwujudnya pemerintahan Ashikaga di Kyoto. Pemerintahan Ashikaga itu sendiri muncul ketika kekaisaran terpecah dua menjadi Dinasti Selatan dan Dinasti Utara pada abad ke-14. Setelah itu, seni ZB mendominasi berbagai aspek kebudayaan Jepang (periksa Matsubara, Saburo 1987:6 dan Yoshikawa, Itsuji 1976:13-134). *
Penulis adalah seorang dosen seni rupa Universitas Negeri Surabaya, kurator independen, kandidat doktor PPs ITB Bandung.
1
2
Kebudayaan ZB mengalami penghalusan, dalam arti memperlihatkan ketajaman warna religiusnya baru dimulai pada periode berikutnya, yaitu periode Muromachi (abad ke-15 hingga ke16). Dua produk budaya yang mencerminkan zaman ini ialah Gozan Bungaku (karya sastra pendeta Budha ZB) dan Suiboku-ga (lukisan yang memiliki corak dan teknik khusus lukisan Timur). Lukisan klasik peninggalan zaman Muromachi ini merupakan lukisan berdasarkan pemikiran “Sumi ni Goshikiari” – yaitu lukisan yang terdiri satu warna yang dengan tebal tipisnya goresan sumi atau tinta Jepang, mengungkapkan perasaan, mengagungkan keanggunan alam. Alam ditangkap dengan perasaan amat puitis. Sebuah lukisan bernafas ZB bersifat khas, ekspresif, dan sugestif. Dalam kaitan ini Matsubara (1987:67) menyatakan, ZB amat menghargai suiboku-ga atau lukisan pemandangan alam, karena lukisan ini menggambarkan sentuhan alam dengan hati manusia. Para pendeta ZB sendiri menyukai lukisan tersebut sebagai penghibur spiritual, dan bahkan di antara mereka menjadi seniman profesional yang berketerampilan atau dikenal sebagai pendeta-pelukis. ZB berbeda dari sekte-sekte Budha lainnya. Sekte ini menitikberatkan ajarannya pada cara hidup yang benar aturannya atau disiplin dan melatih diri. Seni Dinasti Sung dan Yuan, yang dibawa oleh para pendeta ZB ke Jepang bersama agama, lebih berorientasi ke arah apresiasi dan pemahaman dari pada pemujaan. Seni yang berpadu dengan ZB ini mudah diterima oleh kebudayaan prajurit (Matsubara 1987:64)1. Dalam kesenian, ajaran ZB memiliki prinsip atau norma keindahan yang dijunjung tinggi. Untuk menggambarkan prinsip keindahan ZB sebenarnya secara visual dapat dilihat di taman Kuil Ryoanji. Alam yang maha luas diperkecil dalam ruang yang terbatas dan dicoba diungkapkan kembali alam itu secara simbolis. Batu karang, pohon dan pasir yang ditata sedemikian rupa, rasanya memberikan ruang batin pada penikmatan tenang, anggun, halus, dan perasaan pilu. Semuanya terasa meditatif dan intuitif. Di taman inilah, konon para pendeta ZB bermeditasi mencerap segala kenikmatan inderawi, yang pada akhirnya akan sampai pada kenikmatan yang bersifat immaterial (katarsis). Sementara itu, pada tahap sejarah Jepang sampai dengan zaman mutakhir sekarang, ajaran ZB tetap menjadi pusat nilai-nilai normatif yang dijunjung tinggi. Aktualisasi ajaran ZB, terutama yang bersangkut-paut dengan pengekspresian karya seni, telah memberikan citra estetis yang kuat pada karya perupa kontemporer. Nilai-nilai normatif keindahan ZB, secara intuitif maupun struktural-material dapat dirasakan dalam sejumlah karya perupa kontemporer, yaitu seperti dalam karya Shigeo Toya (Tatehata, Akira 1993:78-85), Tsuguo Yanai (Katalogus The First Asia-Pacific of Contemporary Art Triennial 1993), Kurita Hiroshi dan Maeyana Tadashi (Katalogus
3
Invisible Boundary: Metamorphosed Asian Art 2000), serta Yukio Fujimoto (Katalogus Sharaku Interpreted by Japan’s Contemporary Artists 1996). Sebagai bangsa modern yang telah mencapai tingkat kemajuan di segala bidang, Jepang muncul sebagai suatu fenomena tersendiri di kawasan Asia Pasifik. Sejak dicanangkan restorasi Meiji pada tahun 1868, Jepang membuka dirinya sebagai bangsa terbuka. Pada tahap periode sejarah yang penting ini, Jepang mengakhiri pengasingan diri dari eksistensi feodalnya, yang kemudian tampil sebagai bangsa modern. Dari sudut sejarah kebudayaan, mulai zaman inilah Jepang mulai menyerap kebudayaan modern Eropa dan Amerika, dan sejak itulah kebudayaan Barat terus mengalir ke Jepang (bandingkan Soebantardjo 1956:7-21). Kontak dengan Barat yang terjadi pada akhir periode Tokugawa pada mulanya menimbulkan kesadaran keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, khususnya di bidang militer dan medis. Langkah pertama yang diambil oleh pemerintah Meiji setelah pembentukan negara adalah menjalankan politik “peradaban dan pencerahan”, termasuk usaha-usaha memperkenalkan teknologi asing (Matsubara, S. 1987:107) Proses modernisasi itu, pada gilirannya mempertemukan spirit kebudayaan tradisional yang didasarkan pada ZB dengan kebudayaan Barat yang material dan rasional. Proses pertemuan dua kebudayaan yang memiliki sifat bertolak belakang itu pada awalnya menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam meletakkan strategi kebudayaan. Ketegangan ini sangat dirasakan dalam berbagai dimensi kebudayaan, termasuk seni rupanya. Seni rupa Jepang klasik yang telah berakar lama dalam kebudayaan visual Jepang, agaknya tidak mudah larut begitu saja dalam menghadapi pengaruh Barat. Bahkan, akibat ajaran ZB yang telah menyatu dalam gerak tradisi bangsa Jepang, proses asimilasi itu justru menimbulkan bentukan budaya visual baru yang elegan. Dasar-dasar bentuk ekspresi budaya baru yang kemudian termanifestasi dalam artefak-artefak klasik, secara kontinyu terus direspons sampai pada zaman sekarang. Artinya, penampilan karya seni rupa klasik yang dijiwai spiritualitas ZB dijadikan sumber inspirasi dan pijakan konsep estetik oleh sejumlah perupa kontemporer Jepang dalam karya mereka. Seni rupa kontemporer sebenarnya suatu fenomena kebudayaan yang sedang bergerak, yang ciri sosok dan wacananya masih menggelinding terus. Seni rupa kontemporer lahir dan berwacana dalam ruang lingkup kebudayaan kontemporer, sedangkan kebudayaan kontemporer merujuk pada suatu pengertian perkembangan kebudayaan yang didorong oleh relasi kapitalisme lanjut, cyberspace dan posmodernisme (Piliang, Yasraf Amir 2001, 1999, dan 1998). Persoalan-persoalan yang hendak diuraikan dalam paper sederhana ini ialah: (1) Bagaimanakah para perupa kontemporer Jepang memanfaatkan teks estetik ZB dalam karya
4
mereka?; (2) Tanda-tanda visual yang seperti apakah sehingga karya seni rupa kontemporer Jepang dapat dikatakan memiliki kandungan nilai estetik ZB? Karya seni rupa kontemporer Jepang dalam tulisan ini lebih menyoroti karya-karya pada dekade 90-an dengan mengambil sebagian kecil sample karya perupa kontemporer Jepang. Karya perupa kontemporer Jepang yang dijadikan sample ialah; (1) “Scatter” – 1992 (Shigeo Toya), (2) “Death of the kiln of the elephant of the woods” – 1989 (Shigeo Toya), (3) “Numen-spirit of tree” – 1991 (Tsuguo Yanai), (4) “Creation” – 2000 (Kurita Hiroshi), (5) “Untitled” – 1994 (Maeyama Tadashi), (6) “Untitled I” – 1999 (Maeyama Tadashi), (7) “Sharaku Box” – 1996 (Yukio Fujimoto). Pendekatan Karya seni sebagai sebuah objek kajian sebenarnya mengundang banyak penafsiran. Pernyataan tentang kualitas atau kandungan nilai dalam suatu karya seni menurut pemahaman filsafat Hermeneutik hanyalah hasil atau bentuk dari suatu konstruksi penafsiran. Kerangka pikir dari penafsiran itu sendiri sangat bergantung dari “siapa yang menafsirkan” dan “dalam ruang penafsiran” macam apa ( lihat Sumaryono 1999, Gadamer, H.G. 1976). Dengan mengingat luasnya wilayah tafsir, maka dalam tulisan ini penulis mencoba meletakkan perspektif ZB sebagai metode yang dipakai menganalisis karya-karya sejumlah perupa kontemporer Jepang. Artinya, ZB dijadikan metode pendekatan dalam menafsirkan karya-karya perupa kontemporer Jepang. Tentu saja, pendekatan ini memiliki keterbatasan. Namun, sebagai salah satu pendekatan, ZB agaknya memiliki kelebihan-kelebihan yang cukup signifikan. Kelebihan-kelebihan itu antara lain; (1) ZB merupakan sistem kepercayaan yang telah berkembang luas dan mengakar dalam masyarakat Jepang hingga sekarang, (2) Perilaku budaya Jepang baik dalam skala filosofis, tindakan etis dan praksis keseharian sangat sulit dipisahkan dengan etik dan moral ZB, (3) ZB telah menjadi semacam way of life bangsa Jepang hingga kini. Zen Budhisme dan Pembentukan Seni Rupa Klasik Kapan agama Budha masuk ke Jepang? Mengenai hal ini sebenarnya terdapat silang pendapat. Menurut Matsubara Saburo (1987:21) dan juga Yoshikawa, Itsuji 1976:27), abad ke-6 merupakan periode masuknya agama Budha ke Jepang. Masuknya agama Budha ke Jepang menurut teori yang banyak dianut oleh para ahli adalah tahun 538, yaitu dari Paekche, salah satu dari tiga negara bagian Korea yang mempunyai hubungan dengan Jepang. Namun, menurut Smith (1979:49-50) agama Budha diperkenalkan oleh pendeta Budha asal Cina, Ganjin, yang datang ke Jepang pada 754 M. Sementara ZB sendiri yang masuk dari
5
Dinasti Sung di Cina pada masa Kamakura (1185 – 1333) disebarkan oleh beberapa pendeta Jepang setelah pulang belajar Budhisme dari negeri Cina. Mereka antara lain, Myon Eisai dan Kigen Dougen. Setelah agama Budha masuk dan mengadakan kontak dengan agama asli Jepang, Shinto, dalam perkembangan selanjutnya menjadi sekte Budha, yang kemudian terkenal dengan sebutan Zen Budhisme2. Sekte baru ini pada awalnya terutama pada periode Nara belum terlihat jelas pengaruhnya dalam berbagai ekspresi seni rupa (patung, lukis, arsitektur). Pada masa awal itu, berbagai bentuk ekspresi seni rupa masih sangat kuat pengaruh gaya Cina dan India yang telah bercampur dengan kesenian Helenistik3. Hal ini misalnya terlihat dari kain yang dikenakan pada patung Budha sangat jelas terlihat pengaruh gaya Helenistik. Pengaruh itu berangsur-angsur semakin kelihatan samar-samar, setelah ZB secara kuat mempengaruhi paradigma berkesenian, terutama setelah memasuki periode Heian. Pada periode ini Jepang memasuki zaman di mana ajaran-ajaran Z dijadikan rujukan (referensi) dalam proses pembentukan karya seni. Pengaruh ZB yang begitu kuat pada akhirnya memberi kharakter terhadap seni rupa Jepang yang esoterik. Sifat ini begitu terasa kental, karena ZB dijadikan sumber normatif dalam mengekspresikan hasrat estetik manusia Jepang. Penyebaran pengaruh ZB ke seluruh lapisan masyarakat secara politis didukung oleh kalangan istana. Dalam hal ini Matsubara (1987:22) menyatakan: “Keputusan istana untuk menggunakan agama Budha sebagai sarana politik, sejalan dengan pemikiran pangeran Shotoku yang ingin melindungi serta menerima dengan sungguh-sungguh agama baru ini, sehingga merupakan jaminan bahwa agama Budha akan berhasil dengan pemikiran pangeran Shotoku yang ingin melindungi serta menerima dengan sungguh-sungguh agama baru ini, sehingga merupakan jaminan bahwa agama Budha akan berhasil berkembang dalam lingkungannya yang baru.” Akibat dukungan politik yang kuat dari pihak istana, ZB dengan cepat berasimilasi dengan local genius setempat. Hasil dari proses asimilasi ini berupa perwujudan kesenian yang memiliki nilai klasik (adiluhung), sebagaimana tercermin pada bentuk-bentuk arsitektur, taman, seni pahat, seni lukis, kerajinan, pakaian, upacara dan berbagai bentuk folklor4. Dukungan politis istana terhadap ajaran ZB dalam upaya membentuk kebudayaan Budha tampak dilakukan semaksimal mungkin, terutama selama pemerintahan Kaisar Shomu. Ia mendekritkan agar dibangun kuil-kuil Budha di setiap daerah di seluruh negeri (Kokubunji) dan memerintahkan pula pembangunan kuil besar Todaiji di Nara sebagai kuil pusat untuk menyimpan Daibutsu (arca Budha maha besar). Semangat terhadap Budha yang ditunjukkan penganut Budha
6
terutama di kalangan penguasa ketika itu, agaknya mendekati apa yang sekarang disebut sebagai kegandrungan (lihat Judoseputro 1986:13 dan Sudiana 1984:34). Pembentukan kebudayaan yang dilandasi spiritualitas ZB merupakan tahapan historis di mana Jepang berada pada periode kebudayaan Budha. Pada periode ini seluruh aspek kebudayaan, di dalamnya termasuk seni rupa, mengalami ‘pen-jepang-an’, yang kemudian membentuk struktur sebagai kebudayaan klasik (baca: seni rupa klasik). Proses ‘pen-jepang-an’ itu sebenarnya sudah mulai terjadi sejak periode Heian, sebagai kelanjutan periode Nara, berlangsung selama empat abad, yaitu mulai pembentukan ibukota di Heian (Kyoto sekarang) tahun 794 sampai jatuhnya keluarga Taira tahun 1185. Pada masa kurang lebih empat abad ini proses asimilasi berlangsung sangat gencar sampai akhirnya membentuk identitas budaya baru, yang memiliki kekhasan. Artinya, pengaruh yang datang dari Cina, India dan Korea, selama periode itu ‘dibentuk kembali’ sesuai dengan kosmologi manusia Jepang. Asimilasi kebudayaan Benua tidak berarti bahwa sekaligus menerima falsafah serta pola dasar struktur sosial yang merupakan sumber penggerak produk-produk budaya itu. Kebudayaankebudayaan asing ini tidak mengakibatkan akulturasi besar-besaran dalam kehidupan dan pemikiran orang Jepang dan tidak menjungkirbalikan kebudayaan tradisional Jepang, melainkan yang berkembang di sini adalah dua pola budaya yang saling berdampingan (Matsubara 1987:22). Teks Estetik Budhisme Zen: Keindahan Klasik Dari manakah sumber teks estetik ZB? Tentu saja ia bersumber dari ajaran BZ itu sendiri. Sumber pokok ajaran ZB ialah kosmos. Manusia adalah bagian kecil dari kosmos. Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan Barat, yang justru antara subjek (manusia) dan objek (alam) mengambil jarak. Bagi ajaran ZB eksistensi subjek melebur dalam objek. Pendekatan ZB terhadap realitas demikian yang juga mempengaruhi ekspresi seni mereka dapat dirunut lewat pendekatannya yang berlawanan dengan pendekatan ilmiah (subjek mengeksploitasi objek). ZB masuk dalam objek itu sendiri, ke inti realitas (noumenon). Maka pengamatan terhadap realitas bagi ZB selalu didahului dengan permenungan dalam keheningan untuk melihat apakah semuanya itu memang ada sebagaimana adanya 5. Sementara itu, di Jepang Zen berkembang menjadi dua aliran besar yaitu Soto dan Rinzai, yang muncul karena adanya perbedaan tafsiran dalam ajaran menyangkut penerangan. Soto lebih bercirikan ketenangan, menekankan kerja dan kepatuhan, dan untuk mencapai penerangan menggunakan metode Zasen, sikap doa dengan bersila lotus. Sementara aliran Rinzai mengandalkan usaha aktif untuk mencapai penerangan yaitu dengan metode ‘koan’ dan ‘mondo’, sehingga aliran ini memang lebih dinamis karena ada unsur tanya jawab. Koan dan mondo yang
7
berisi ajaran-ajaran Zen dalam selubung kata-kata parable sering mengilhami para pelukis Jepang. Kedua aliran ini masih berkembang sampai saat ini (Sutrisno 1993). Zen ini tidak mempunyai ajaran atau rumusan-rumusan pemikiran, kecuali berusaha membebaskan seseorang dari ikatan lahir dan mati dengan cara memahami kekhasan diri sendiri secara intuitif. Karena kesederhanaannya, Zen amat mudah menyesuaikan diri dengan hampir setiap ajaran filsafat dan moral (Sutrisno 1993:112). Maka itu, ketika Zen bertemu dengan Shintoisme di Jepang, kedua ajaran itu langsung terjadi kontak secara harmonis. Zen sangat percaya pada kekuatan intuisi personal, sedangkan Shinto percaya pada kekuatan alam (kosmos). Prinsip intuisional dan penyatuan dengan alam ini merupakan inti sari ajaran ZB. Pokok ajaran inilah yang kemudian diterjemahan ke dalam berbagai bentuk perupaan dalam karya seni rupa sebagai norma estetik yang dipegang teguh. Teks estetik ZB secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Ide mengenai kehampaan Berbeda dengan estetika Barat, estetika Timur bagaimana pun menganggap kehampaan itu mempunyai arti, memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Ruang kosong bagi pemahaman Timur pada hakekatnya berisi. Kekosongan adalah ruang di mana intuisi dikembangkan di dalamnya. Kepekaan imajinatif dan keanekaragaman interpretasi serta ketenangan jiwa hanya dapat dinikmati dalam ruang yang hampa, kosong. b. Keindahan alam: Titik estetika Jepang adalah alam. Kalau kita mau mengenal Jepang, kenalilah alamnya dengan segala kekayaannya. Karena alamlah yang mengisi hampir semua objek seni budaya Jepang, mulai dari perkakas dapur sampai dengan lukisan di ruang tamu. Alamlah tempat pendekar menimba semangat perang. Alam pulalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh makna hidupnya. Alam pulalah yang memenuhi puisi-puisi mereka. Dan alam pulalah yang saling memperdalam antara religiositas dan semangat hidup (Sutrisno 1993:118). Teks estetik itu secara nyata dipakai dasar normatif bagi penciptaan seni rupa Jepang sejak zaman pertengahan hingga kini. Hal ini secara jelas dapat diamati melalui bentuk-bentuk arsitektur istana, kuil, rumah rakyat, interior, perabot rumah tangga, seni bonsai, suseki, lukisan, patung dsb. Maka, dalam kajian lebih jauh nanti, teks estetik itulah yang nanti dipakai sebagai pedoman analis karya-karya perupa kontemporer Jepang. Apakah prinsip-prinsip itu masih ditaati sebagai dasar normatif-estetik karya-karya mereka?
8
Wacana Seni Rupa Kontemporer Istilah seni rupa kontemporer selalu menimbulkan polemik. Ada pendapat yang menghubungkan istilah kontemporer dari sudut arti harfiahnya (artinya: sezaman dengan kita). Artinya, apa-apa yang disebut seni rupa yang kini berlangsung dan menjadi fenomena dapat disebut seni rupa kontemporer. Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa seni rupa kontemporer bermula dari kesadaran budaya Barat tentang relativisme kebudayaan. Seni di mana pun selalu berada dalam ruang kosmis yang beragam. Seni selalu berkaitan erat dengan kesadaran citra diri dan orientasi diri terhadap kosmologi yang melingkupinya. Karena itu seni kemudian kini didekati dengan cultural studies 6. Studi ini hendak membuktikan bahwa setiap fenomena kesenian selalu berkonteks dengan setting budaya tertentu dan dilingkupi oleh relasi-relasi psiko-sosial yang rumit. Seni rupa kontemporer juga sering dihubung-hubungkan dengan pengaruh pemikiran kaum post-strukturalis, yang kini amat kuat pengaruhnya dalam pemikiran kebudayaan. Pemikiran kaum post-strukturalis ini amat beragam, secara umum sebenarnya bersumber pada filsafat bahasa dan linguistik. Mereka secara umum menganggap bahwa eksistensi seni sangatlah bergantung dari bagaimana peran bahasa dapat menafsirkan dan menjelaskan terhadap fenomena yang bersumber pada logika imajerial itu. Bermakna atau bernilainya suatu ungkapan seni sebenarnya sangat ditentukan oleh desain besar yang berpola pada kekuatan bahasa. Akibat pengaruh ini, maka dalam memaknai seni rupa kontemporer, kita akhirnya sering terjebak oleh ungkapan-ungkapan verbal (konseptual), yang akhirnya melupakan segi unikum dari ungkapan visual. Pendapat lain yang tidak kalah menariknya ialah bahwa seni rupa kontemporer tumbuh dan berkembang dalam bingkai kebudayaan kapitalisme lanjut, cyberspace dan posmodernisme. Dalam ruang pemahaman ini seni rupa kontemporer memainkan hasrat-hasrat manusia yang didasarkan atas dominasi kapital, kecanggihan sistem informasi dan media serta pengakuan terhadap keragaman. Atas dasar ini, maka seni rupa tidak lagi dilihat secara kualitatif dengan memaksakan dominasi estetis yang tunggal, namun seni rupa lebih dilihat sebagai gejala kebudayaan yang masing-masing memiliki kekhasan. Itulah sebabnya, pada kurun terakhir ini, istilah kerjasama muncul dalam forum-forum pameran seni rupa internasional, jika dibanding dengan istilah universalitas yang pada waktu sebelumnya sangat mendominasi penilaian 7. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, seni rupa kontemporer yang dimaksudkan ialah yang dengan mengambil gejala umum, yang melihat bahwa kurator, penulis dan sejarahwan seni sering menghubungkan seni rupa kontemporer dengan perkembangan seni rupa setelah dekade 70-an. Penulis seni rupa kontemporer Honnef (1992:7-8) mengidentifikasi seni rupa kontemporer sebagai
9
perubahan paradoksal dari avant-garde ke post avant-garde. Sementara Supangkat (1997:65) menyatakan “Contemporary art, as a post-modern symptom has opened up a new platform for exploration in the world of art. Along with the questioning of tradition of modern (western) thinking and its domination, discussions of diversity, differences, plurality, localness, traditions of “the other” grew and intensified.” Seni Rupa Kontemporer Jepang Agaknya sebagai negara yang telah melesat maju di bidang ekonomi, Jepang ingin menunjukkan kepeloporannya dalam bidang seni rupa dan kebudayaan secara umum. Setelah perang Asia-Pasifik berakhir dan Jepang berada dalam kekalahan total, Jepang menyadari perlunya diletakkan desain pembangunan dan kebudayaan baru yang mengacu pada kekuatan ekonomi dan industri. Modernisasi yang telah dicanangkan sejak restorasi Meiji, telah mampu menopang pilar-pilar kebudayaan Jepang sebagai negara modern. Maka, Jepang dalam waktu relatif singkat mampu mengejar ketertinggalan dan bahkan menunjukkan suatu fenomena yang prestisius dalam bidang ekonomi. Oleh futurolog John Naisbitt, Jepang dicatat sebagai negara yang paling prestisius dalam kemajuan di bidang industri di kawasan Tepi Pasifik (lihat Naisbitt dan Patricia Aburdene 1990:164-200). Memang, ketika dunia menjelang tahun 2000, di kawasan Tepi Pasifik diwarnai berbagai kejutan prestasi di bidang ekonomi. Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura juga tercatat sebagai raksasa-raksasa baru di bidang ekonomi. Bahkan negara besar Cina dengan potensi penduduknya yang luar biasa mulai menempati posisi prestisius dalam kebangkitan ekonomi, yaitu dari sistem ekonomi tertutup (sosialis) menuju ekonomi bebas dan terbuka (liberal-kapitalistik). Atas fenomena ini, lantas menimbulkan berbagai spekulasi tentang arah perubahan konstelasi ekonomi dunia dengan berbagai perangai perubahannya. Dalam kerangka pikiran itu, muncul pandangan yang melihat pula kemungkinan AsiaPasifik menjadi pusat perkembangan seni rupa internasional di masa mendatang. Pandangan ini bukannya tidak berdasar. Jepang, Australia dan bahkan Singapura terlihat telah memancang ancang-ancang (Supangkat dalam Kalam Edisi 3 – 1994 hal 99). Selanjutnya dituturkan bahwa pengembangan institusi seni di negara-negara itu, khususnya Jepang dan Australia, bisa dilihat sebagai indikator. Jepang mendirikan Japan Art and Culture Foundation – yang kita kenal sebagai The Japan Foundation – khusus untuk menyelenggarakan program-program tingkat internasional. Anggarannya sekitar US $ 500 juta per tahun. Australia Council for the Art, lembaga federal yang mengatur subsidi kesenian, telah pula menempatkan program-program internasional sebagai prioritas. Tahun lalu (1993, pen), program
10
kerja sama dengan Asia Tenggara saja, menyerap sekitar 50 persen dari jumlah total subsidi yang dikeluarkan badan itu. Sementara itu, sekali lagi, di kawasan tepi Pasifik, pertumbuhan ekonomi melaju sangat meyakinkan. Perputaran kapital bergerak sangat cepat dan secara sinergis berakumulasi menjadi kekuatan ekonomi dan pasar baru. Gejala ini akhirnya menciutkan nyali Amerika dan sejumlah negara Eropa Barat dalam merebut pengaruh kekuatan pasar, terutama di kawasan Asia. Penguatan nilai mata uang Yen yang terus merangkak ke atas terhadap Dollar US, pada sisi lain semakin menambah panik Wall Street sebagai simbol Amerika atas hegemoni ekonomi dunia. Di samping booming ekonomi yang luar biasa itu, Jepang juga melakukan kejutan lain yang tak kalah serunya. Sejumlah saudagar kaya Jepang menyerbu pusat-pusat lelang dunia untuk memborong karya-karya masterpiece. Milyaran Yen telah dibelanjakan untuk kepentingan prestisius itu. Misalnya, seorang konglomerat Yasuda Kasai, tahun 1985 mengawali boom masterpiece dengan memboyong karya van-Gogh, Sunflower, seharga US $ 39 juta. Lima tahun kemudian menyusul saudagar besar Ryoei Saito membeli Portrait of Dr. Gachet, juga karya vanGogh sebesar US $ 82,5 juta dan sebuah karya Renoir berjudul Moulin de la Gallete seharga US $ 78,1 juta (Supangkat dalam Kalam Edisi 3 – 1994 hal 100). Pembelian karya masterpiece itu berkaitan dengan usaha Jepang mengisi museummuseum baru. Kemajuan ekonomi di Jepang agaknya berkorelasi dengan pertumbuhan museum. Di negeri ini sampai 1990 tercatat 500 museum per tahun. Kini di seluruh Jepang sampai pertengahan dekade 90-an tercatat kurang lebih 2393 museum (tidak semua museum seni rupa). Di Tokyo ada sekitar 200 museum. Ini jelas angka yang fantastik. Anggaran yang disediakan untuk kepentingan koleksi museum mencapai angka yang fantastik pula, rata-rata US $ 1 milyar per tahun. Angka itu tidak beda jauh dari Amerika yang mengeluarkan US $ 1,2 milyar. Tahun 1990, tercatat angka yang mencengangkan, US $ 6 milyar. Fenomena yang begitu fantastik ini semakin memperteguh spekulasi bahwa Jepang akan menjadi pusat seni rupa kontemporer. Pada sisi lain, fenomena itu juga berdampak sangat luas terhadap gejala komodifikasi seni rupa secara besar-besaran. Gejala terakhir ini sampai saat ini masih terasa kuat pengaruhnya terhadap iklim seni rupa di berbagai kawasan negara Asia Pasifik. Kawasan ini secara pasti menjadi medan baru bagi bergulirnya isu-isu baru dalam kerangka perdebatan wacana seni rupa kontemporer dunia. Untuk memperkuat citra sebagai negara terdepan dalam seni rupa kontemporer di Asia Pasifik, Jepang juga banyak menggelar perhelatan akbar seni rupa berskala internasional. Sejumlah peristiwa pameran penting yang banyak mendapat sokongan dana dari The Japan Foundation antara lain; Traditional Symbols in Contemporary Life, Asian International Art
11
Exhibition, Asian Art Show, Modernism Asia, The Birth of Modern Art in South East Asia, The Mutation; Paintstaking Realism in Indonesia Contemporary Paintings. Tentu saja, dalam perhelatan itu perupa-perupa kontemporer Jepang ikut mengambil bagian aktif. Sejumlah perupa yang patut dicatat, antara lain Shigeo Toya, Tsuguo Yanai, Kurita Hiroshi, Maeyama Tadashi, Yukio Fujimoto, Yasumasa Morimura, Takashi Murakami, Miran Fukuda dan sebagainya. Sejumlah perupa kontemporer Jepang ini dalam sejumlah perhelatan akbar, karya-karyanya boleh dibilang menyodok perhatian. Kekhasan Jepang yang sederhana, kontemplatif dan intuitif sangat tampak dan terasa kuat dalam karya-karya mereka. Rupa-rupanya dalam kesadaran sebagai perupa kontemporer, sejumlah perupa itu tampak menggali spirit atau ruh yang paling diakrabinya. Jargon seni rupa kontemporer yang sering dihubungkan dengan sumber-sumber lokal, tampak terpancar kuat dalam karya mereka. Sumber lokal itu tidak lain ialah teks estetik ZB, yang secara intuitif telah bersenyawa dengan dorongan kreatifnya. Menurut Taki, Seiichi (1931:152), seni rupa Jepang tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari pengaruh ZB. Meskipun Jepang telah menjadi negara modern terdepan di kawasan Asia, dalam praksis budaya, Jepang tetap mempertahankan nilai-nilai ZB sebagai dasar untuk membentuk karakter budaya Jepang di era kontemporer. Prinsip-prinsip seperti satori (penerangan), zendo (tatatertib/disiplin) dan konsep diri, ternyata banyak mewarnai perilaku kreatif orang Jepang dalam berbagai bidang. Tindakan kreatif yang diwarnai oleh norma-norma ZB itu, pada gilirannya menyorongkan wacana yang kental terhadap identitas seni rupa kontemporer Jepang. Sebagian besar seniman Jepang, baik disadari atau tidak, baik disengaja atau tidak, karya-karyanya terasa berada dalam aura estetika ZB. Membaca Karya Seni Rupa Kontemporer Jepang Dalam bagian terakhir ini akan diuraikan sejumlah karya perupa kontemporer Jepang, yang pernah dipamerkan dalam berbagai event internasional. Karya-karya itu akan dianalisis dengan kerangka tafsir berdasarkan teks ZB. Sejauh mana karya-karya tersebut baik secara artistik maupun estetik dapat dipahami dalam konteks estetik ZB? Bagaimana para perupa mengejawantahkan teks estetik ZB dalam karya mereka? 1. Shigeo Toya Shigio Toya adalah pematung kontemporer Jepang yang amat terkenal. Ia lahir di Nagano 1947. Ia menyelesaikan pendidikan pascasarjana tahun 1975 di Aichi Prefecture University of Fine Art. Sejak 1974 ia sudah mulai menggelar sejumlah pameran tunggal, baik di dalam negeri
12
maupun di sejumlah kota besar Amerika dan Australia. Karyanya telah tersebar di sejumlah museum dan galeri ternama, antara lain di Museum of Modern Art di Saitama, National Museum of Modern Art di Tokyo, Tokyo Motropolitan Art Museum. Karya patung Shigeo Toya tampak inspiratif. Patung Scatter mengingatkan pada komposisi taman kuil Ryoanji. Sebuah bentuk tunggal, menyerupai balok berdiri dengan permukaannya tidak rata atau berlubang-lubang, tampak berdiri di sudut kanan. Pada ruang bagian kiri, dalam ritme tertentu diletakkan bentuk-bentuk lebih kecil dalam komposisi menyebar. Semua unsur tampak sengaja diatur dengan mengikuti pola komposisi asimetris. Kesan tenang, sederhana, dan intuitif segera terasa dalam karya ini. Karya yang terbuat dari bahan campuran (kayu, abu, lilin, plaster dan akrilik) secara cerdik mampu memperlihatkan perubahan dari sesuatu yang material menjadi terasa immaterial. Kata Takeshi Kanazawa (dalam Katalogus The First AsiaPacific of Contemporary Art Triennial 1993:77), Shigio Toya has succeeded in bringing the invisible in a level of ‘existence’. Patung Death of the kiln of the elephant of the woods, secara intuitif menggugah imajinasi penonton pada bentuk binatang gajah. Kesan yang diperoleh dari pengolahan bentuk itu sungguh merupakan kepekaan Toya dalam ‘menakhlukkan’ material. Ia secara visual menggarap permukaan dengan cekungan-cekungan tak beraturan, dan tetap memperhitungkan aspek redundansi yang luar biasa. Cekungan-cekungan permukaan yang variatif itu, lantas menimbulkan bangunan bentuk, yang secara menyeluruh menimbulkan asosiasi yang sangat kaya. Karya ini juga mampu merangsang penonton, bukan hanya melalui penikmatan visual, tetapi juga perabaan (tactile). Dua karya Toya tersebut terkesan diilhami oleh aspek-aspek pencitraan estetik yang cenderung sederhana dan anggun, tenang,dan terasa dalam ruang imaji alam yang heningkontemplatif. Karya Toya mengingatkan penonton pada bentuk Suseki yang secara imajinatif dekat dengan keindahan alam. 2. Tsuguo Yanai Tsuguo Yanai lahir di Yamaguchi, 1953. Secara formal ia memperoleh pendidikan di Departemen Seni Grafis, Sokei Academy of Fine Arts, 1977. Ia juga belajar grafis secara khusus pada S.W. Hayter di Paris, 1978 – 1979. Selama dikenal sebagai seniman grafis, ia kerap mendapat penghargaan atas karya-karya grafisnya yang dianggap fenomenal. Berbagai pameran grafis bertaraf nasional maupun internasional sering diikutinya. Tsuguo Yanai diakui sebagai seniman grafis yang inspiratif dan kreatif. Karyanya selalu menyuguhkan fenomen kreatif. Dengan menggunakan teknik khusus yang ia sebut metode ‘Mashi’, ia membuat karya grafis yang dicetak di atas bahan dasar rami. Seperti terlihat dalam Numen-spirit
13
of tree, sejumlah susunan rami yang telah dicampur dengan bahan sintetik lain, membentuk struktur tiga dimensi. Bentuk itu terasa sederhana, tidak terlalu banyak pernik (ornamen). Masingmasing bentuk diletakkan dalam komposisi berkelompok. Secara intuitif, bentuk-bentuk itu mengingatkan bentuk pohon, yang tertutup salju. Semuanya tampak tenang, seolah masingmasing membawa beban persoalan. Pengolahan visual yang bercitra sederhana, anggun, tenang merupakan refleksi dari teks estetik ZB. 3. Kurita Hiroshi Kurita Hiroshi melalui karyanya Creation, spirit BZ terasa kental. Ia sengaja memilih unsur dasar visual berupa titik (noktah) yang disusun sedemikian rupa dengan tekanan berbeda, pada gilirannya memberi kesan lembut. Gerak perubahan nuansa noktah yang tegas menuju ke yang transparan, menimbulkan asosiasi kelembutan dan sekaligus keanggunan halus. Melalui karya ini ia terasa ingin mengajak menikmati imaji ruang yang memiliki sugesti meditatif. Tak bisa dibantah, karya ini jelas amat dekat dengan prinsip estetik ZB, wabi dan sabi. Karya ini mengingatkan hamparan pasir di taman kuil Ryoanji, yang membentuk pola larikan pasir dengan irama teratur. Kurita Hiroshi ialah salah seorang perupa kontemporer Jepang yang mulai diperhitungkan. Ia lahir di kota Shirane-Niigata, 1952. Ia sering tampil dalam perhelatan seni rupa kontemporer di berbagai kota Jepang dan di antaranya luar negeri. Penampilannya dalam Biennale Kwangju 2000, membuktikan sosok Kurita Hiroshi sebagai perupa yang handal. Karya-karyanya kerap menyuguhkan fenomena kreatif yang berangkat dari unsur-unsur visual yang sederhana dan tak banyak variasi. Namun, dengan meminimalkan unsur-unsur visual, karyanya justru tampil dengan kharakter kuat dan inspiratif. 4. Maeyama Tadashi Ia adalah perupa kelahiran desa kecil Sanwa – Niigata. Sarjana muda seni lukis dari Niigata University memulai debutnya sebagai pelukis sejak tahun 1967. Berbagai pameran penting di dalam negeri dan luar negeri aktif diikutinya, hingga akhirnya ia dikenal sebagai perupa kontemporer Jepang yang cukup popular. Sekitar delapan kali ia menggelar pameran tunggal di kota Tokyo, Niigata, Takada. Kecenderungan karya Tadashi belakangan menunjukkan ke arah seni rupa instalasi. Dalam karyanya Untitled dan Untitled I yang pernah digelar di Kwangju Biennale 2000, citra Jepang sangat kuat. Bongkahan batu, sepotong balok panjang, sebuah cermin besar bentuk segi empat disusun dalam komposisi asimetris. Kehadiran cermin besar itu jelas disengaja untuk menghadirkan ilusi ruang yang lebih kaya dan imajinatif. Bentuk cermin mampu membuka ruang interpretasi, baik pada diri sendiri maupun sesuatu yang lebih metafisik.
14
Tadashi menjelaskan, “The depth of the surface of the mirror always makes me forget its back. I reach myself in its inner part, passing through the surface, but to the contrary, I find myself possed by the mirror. And as everyone does, even when vacantly gazing outside, I look back, thinking that I might possibly remain in the mirror” ( dalam Katalogus Kwangju Binennale 2000). Dengan susunan dari benda-benda sederhana, karya ini tampak jelas berada dalam wilayah aura cita rasa keindahan klasik Jepang yang bersumber pada ZB. Kesederhanaan secara fisik merupakan abstraksi alam dan pemurnian bentuk untuk pensucian jiwa. Keheningan, kepolosan merupakan ‘cara’ menuju orientasi diri, yaitu dari yang bersifat material menuju ke yang immaterial. Tujuannya bukan lagi pada keindahan fisik (gejala yang kasat mata), tetapi lebih menukik kepada inti atau hakekat kenyataan. 5. Yukio Fujimoto Secara formal Yukio Fujimoto mendapat pendidikan dari jurusan musik di Osaka University of Arts, 1975. Namun, aktivitas kesenimanannya banyak dicurahkan pada seni rupa. Ia lahir di Nagoya, 1950. Ketika berlangsung pameran Sharaku Interpreted by Japan’s Contemporary Artists, ia memamerkan beberapa patung yang ia beri judul Sharaku Box. Sharaku adalah seniman ukiyo-e zaman Edo. Karya Toshusai Sharaku sangat popular di Jepang dan bahkan telah menjadi karya klasik. Ia banyak membuat figur-figur aktor Noh dan Kabuki yang terkenal. Dari tangan Sharaku lahir berbagai kharakter aktor Noh dan Kabuki, dari yang bijaksana sampai yang bengis. Dua pertunjukan tradisional ini merupakan pertunjukkan rakyat yang amat terkenal. Hampir semua orang Jepang mengenal dan menyukainya. Lakon-lakon yang dibawakan merupakan cerita sejarah lama atau legenda yang sangat dihafal oleh orang Jepang. Pameran Sharaku Interpreted seolah sebagai pameran untuk mengenang kebesaran nama Sharaku. Sejumlah perupa kontemporer yang terlibat dibebaskan menafsir Sharaku, mulai dari wujud karyanya sampai pada spiritnya. Agaknya, dalam hal ini karya Yukio Fujimoto lebih mengarah pada spirit Sharaku. Patung yang tersusun atas tiga balok berbeda ukuran dan warna secara utuh tampak sederhana. Permukaan balok tampak halus/licin. Balok yang berukuran besar diletakkan di bagian belakang dan balok paling kecil diletakkan di muka agak menyerong ke ataskanan. Karya ini terasa simbolik dan kontemplatif. Tiga bentuk itu mengingatkan pada prinsip ZB, yaitu satori (penerangan), zendo (tata-tertib) dan konsep diri. Tenyata, melalui penampilan visual yang sederhana terdapat makna konotatif yang bersifat spiritual.
15
Simpulan: Sebuah Kebedaan Spirit seni rupa kontemporer Jepang adalah sebuah kebedaan (the other). Ini terjadi karena suatu proses asimilasi kebudayaan yang berlangsung sejak lama. Pengaruh Budhisme yang datang dari daratan Cina dan Korea, yang kemudian berasimilasi dengan sistem kepercayaan Shinto, pada akhirnya membuahkan sekte Budha, yang disebut Zen. Sekte ini mirip dengan Chan di Cina, tetapi Zen di Jepang telah mencapai bentuk pemahamannya sendiri terhadap ajaran Budha yang telah bersinkretis dengan Shinto. Prinsip kesederhanaan yang menjadi inti ajaran Budha bertemu dengan inti ajaran Shinto yang melebur dengan alam, akhirnya menjadi inti dasar dari paham estetik Zen. Maka, paham estetik Zen lebih cenderung bersifat esoterik. Nilai-nilai estetik ZB yang bersumber pada aspek kesederhanaan dan alam itu diterjemahkan dalam bermacam prinsip antara lain terkait dengan keanggunan, cita-rasa tenang, asimetris, dan sebagai dasar spiritual utamanya ialah satori, zendo dan konsep diri. Nilai-nilai dasar itu bersifat normatif. Semua ekspresi seni Jepang mulai periode Nara sampai kini tetap dijadikan sumber inspirasi dan aturan normatif terhadap ekspresi seni, bahkan ekspresi budaya lainnya. Seni Jepang seperti arsitektur, taman, interior, pakaian, lukisan, patung, suseki, bonsai, semuanya merujuk pada norma-norma estetik ZB. Demikian juga dengan ekspresi seni yang terdapat pada karya-karya perupa kontemporer. Bagaimanapun kesadaran estetik yang bersumber pada teks estetik ZB sedikit banyak merasuki konsep karya perupa kontemporer Jepang. Melalui sejumlah karya perupa kontemporer tersebut, dapat diketahui bagaimana kekuatan pengaruh teks ZB terhadap karya mereka. Prinsip-prinsip dasar estetik ZB, baik secara intuitif maupun formalistik serta simbolik menelusup pada dimensi estetik karya mereka. Dari sini akhirnya, dalam konteks wacana seni rupa kontemporer, karya-karya perupa Jepang memang menunjukkan kebedaan yang kuat. Karya mereka berada dalam jalur wacana yang jelas dengan memanfaatkan sumber-sumber lokal yang pada ujungnya membentuk identitas – berbeda dengan mainstream seni rupa Barat.
Daftar Pustaka Danandjaja, J. 1997. Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Gadamer, H.G. 1976. Philosophical Hermeneutics. Berkeley: University of California Press. Grossberg, Lawrence, cs.(ed). 1992. Cultural Studies. London: Routledge. Hartoko, D. 1984. Manusia dan Seni.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
16
Hasaharu, A. 1984. “Seni, Kehidupan dan Alam di Jepang”. Dalam Dick Hartoko, D. 1984. Hisamatsu, S. 1974. Zen and the Fine Art, trans. by Ishin Tokiara. Tokyo: Kodnusha International Ltd. Honnef, K. 1992. Contemporary Art. Koln: Benedikt Taschen Verlag GmbH. Joesoef Sou’yb, J. 1996. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: PT. Al Husna Zikra. Katalogus, “Invisible Boundary: Metamorphosed Asian Art”.Traveling Exhibition: Asian Section of the Kwangju Biennale 2000. Katalogus, “Sharaku Interpreted by Japan’s Contemporary Artists”. The Jepan Foundation, 1996. Katalogus, “The First Asia-Pacific of Contemporary Art Triennial”. Brisbane: Queensland Art Gallery, 1993. Matsubara, S. 1987. Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif, Jepang: Kementerian Luar Negeri. Naisbitt, J. dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990an, terjemahan: Drs. FX. Budijanto. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000. Piliang, YA. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. Piliang,YA.2001. “Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Tata Nilai Seni Rupa”, makalah Seminar Realitas Lokal dalam Konteks Global, Bandung, 12 –13 September 2001. Smith, Bradley. 1979. Japan: A History in Art. Tokyo: John Weatherhill, Inc. Soebantardjo. 1956. Sejarah Asia: Djepang. Tanpa keterangan penerbit; Cetakan V. Sudiana, D. 1984. Sejarah Kebudayaan Asia. Bandung: Perpustakaan FSRD ITB Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Supangkat, J. 1994. “Menyela Arus Utama: Asia Pasifik dan Seni Rupa Internasional”. Dalam Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi 3 – 1994, Jakarta: Penerbit Yayasan Kalam dan Pustaka Utama Grafiti. Supangkat, J. 1997. Indonesia Modern Art and Beyond, (Jakarta: The Indonesian Fine Arts Foundation. Sutrisno, M. FX., SJ dan Christ Verhaak SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Taki, Seiichi, T. 1931. Japanese Fine Art, trans. Kazutomo Takahashi, Tokyo: The Fuzambo. Takwin, B. 2001. Filsafat Timur. Yogyakarta: Jalasutra. Tatehata, A. 1993. “Contemporary Japanase Art Three Aspects”, dalam Art and Asia Pacific, Quarterly Journal, Sample Issue. Sydney: Dinah Dysart. Wijoso Judoseputro, W. 1986. Sejarah Kesenian Jepang. Bandung: Perpustakaan FSRD ITB. Yasraf Amir Piliang, YA. 1999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. Yoshikawa, I. 1976. “Major Themes in Japanese Art”. Dalam The Heibonsha Survey of Japanese Art, Volume 1. New York: John Weatherhill, Inc. 1
Kebudayaan prajurit muncul setelah pertikaian sipil antara Dinasti Utara dan Selatan. Kebudayaan ini mulai memberi andil terhadap pembaruan kebudayaan yang pada dasarnya bersifat aristokrasi. Kebudayaan prajurit mencapai puncaknya pada periode keshogunan Muromachi abad ke-16. 2 Di Cina sekte Budha yang mirip dengan Zen adalah Chan, lihat, Bagus Takwin, Filsafat Timur, (Yogyakarta: Jalasutra, 2001), 70 – 73. Bandingkan dengan Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), cet. ke-3, 121 – 123. 3
Kesenian Helenistik merupakan percampuran gaya India (Timur) dengan gaya Yunani yang dibawa oleh Alexander Agung ketika meluaskan daerah jajahannya ke Timur (India).
17
4
Mengenai kajian folklor Jepang, lihat, James Danandjaja, Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). 5
Bandingkan dengan FX. Mudji Sutrisno SJ, Dr., dan Christ Verhaak SJ, Prof. Dr., Estetika Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 129. Untuk mengecek lebih lanjut mengenai kaitan paham BZ dengan alam (kosmos), lihat tulisan pendek Hasaharu Anesahi, “Seni, Kehidupan dan Alam di Jepang”, dalam Dick Hartoko, Manusia dan Seni, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), 81- 89. 6
Culture Studies merupakan studi yang amat merangsang pada era akhir-akhir ini. Studi ini secara konseptual berusaha mendekati fenomena kebudayaan berdasarkan pendekatan emik. Studi ini mirip dengan studi etnografis, tapi cakupan cultural studies lebih luas dan beragam. Studi ini berangkat dari suatu kesadaran setelah era pascakolonial, bahwa kebudayaan non-Barat adalah kebudayaan yang memiliki sumber dan originalitas dalam konteks pemikiran, sosial dan artefaknya. Lebih jauh, lihat, Lawrence Grossberg, cs., Ed., Cultural Studies, (London: Routledge, 1992). 7
Penerapan istilah kontemporer terasa masih menghantui sejumlah pemikir seni rupa Indonesia. Apalagi, jika istilah ini dikaitkan dengan fenomena seni rupa di Indonesia, maka semakin tampak jelas bahwa sejarah seni rupa di Indonesia tidak berpola paralel. Akibatnya, istilah kontemporer terasa kurang jelas cakupan wilayah permasalahannya. Artinya, antara seni rupa modern dan kontemporer batas-batasnya sangat tipis. Maka, tidak aneh kalau kedua istilah itu, yaitu modern dan kontemporer digunakan secara tumpang-tindih dalam berbagai penulisan seni rupa. Kegamangan penggunaan istilah itu dapat dilihat, misalnya dalam sejumlah tulisan hasil penelitian tentang seni rupa kontemporer di Yogya. Selanjutnya, lihat, Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000).