AGAMA SEBAGAI INSTRUMEN GERAKAN SOSIAL Tawaran Teoritik Kajian Fundamentalisme Agama Syamsul Arifin Universitas Muhammadiyah, Malang Abstract: This article focuses on the study of the phenomenon of religious fundamentalism. Instead of empirical investigation, this article offers a theoretical framework of social movement that can be employed in studying religious fundamentalism phenomenon. In the previous researches, social movement theory is rarely considered. Though this theory, the complexity of religious fundamentalism can be systematically explained. Keywords: religion, fundamentalism, social movement.
Runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 terbukti memberikan pengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kehidupan keagamaan seperti yang terjadi dalam masyarakat Islam. Setidaknya terdapat dua fenomena yang membuktikan perkembangan tersebut. Pertama, semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Pada saat rezim Orde Baru masih kukuh kekuasaannya, tidak begitu banyak kelompok keagamaan yang secara terang-terangan menunjukkan identitas dan gerakannya. Kebijakan monolitik Orde Baru untuk menciptakan stabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, menimbulkan pengaruh cukup kuat terhadap kehidupan keagamaan pada zaman Orde Baru. Sulit membayangkan suatu kelompok keagamaan seperti FPI (Front Pembela Islam) bisa melakukan sweeping yang dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan ‘amr bî al-ma`rûf wa al-nahyi `an al-munkar. Di luar FPI, juga bermunculan kelompok keagamaan lainnya seperti, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia. Di samping ditandai dengan munculnya kelompok keagamaan dalam jumlah yang lumayan banyak, kehidupan keagamaan di tanah air pascaOrde Baru—sebagai fenomena kedua—ditandai dengan lahirnya sejumlah parpol keagamaan. Dalam masyarakat Islam, indikasi menguatnya identitas keagamaan dalam ranah politik mudah dilihat. Jika menoleh kembali pada zaman Orde Baru, yang hanya diwakili oleh satu partai politik Islam Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
39
yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada saat ini, umat Islam memiliki banyak pilihan wadah politik. Munculnya banyak parpol di tubuh umat Islam, di sisi lain dapat dinilai sebagai bentuk pararel atau kelanjutan dari heteregonitas pemikiran dan ideologi keagamaan masyarakat Islam. Sebagaimana telah dimaklumi oleh publik secara luas, dalam masyarakat Islam terdapat aliran keagamaan yang bergerak baik secara dialektis maupun kontinum dalam garis besar aliran keagamaan antara tradisionalisme dan modernisme. Mengikuti perkembangan ini, parpol Islam juga terbelah setidaknya ke dalam dua arus besar kecenderungan sosiologis antara tradisionalisme dan modernisme. Dalam komunitas Islam tradisional terdapat parpol besar yang didirikan oleh sejumlah kyai berpengaruh di NU, yaitu PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Dalam komunitas modernis, berdiri PAN (Partai Amanat Nasional), dan partai lainnya yang memiliki pengaruh politik cukup kuat pula seperti PBB (Partai Bulan Bintang) dan PK (Partai Keadilan) yang kemudian bermetamorfisis menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Semua fenomena keagamaan yang diungkap sekilas di atas, memberikan peluang untuk dikaji lebih jauh secara sosiologis. Pertanyaan yang biasanya muncul berkaitan dengan upaya pemahaman dan pemaknaan terhadap fenomena tersebut; apakah fenomena tersebut murni bercorak keagamaan, ataukah ada kaitannya dengan variabel sosial yang lain. Secara common sense memang bisa dimaknai sebagai fenomena keagamaan saja. Tetapi karena agama dalam realitas empirik selalu ber-sentuhan dengan sejumlah variabel sosial, maka terlalu dangkal jika hanya dipandang sebagai fenomena keagamaan. Oleh karena itu, penjelasan sosiologis yang menggabungkan antara faktor keagamaan dengan faktor sosial sangat dibutuhkan dalam memahami fenomena sosial umat Islam kontemporer di Indonesia. Artikel ini memfokuskan pada kajian terhadap fenomena pertama yang sering juga disebut sebagai gejala menguatnya fundamentalisme agama di Indonesia. Alih-alih kajian empirik, artikel ini ingin menawarkan suatu bingkai teori terutama teori gerakan sosial yang dapat digunakan dalam mengkaji fenomena fundamentalisme agama. Dalam kajian terdahulu—sebagaimana dipaparkan pada bagian bagian kedua artikel ini—teori gerakan sosial jarang digunakan. 1.
Peta Bumi Kajian Fundamentalisme Agama: Kasus Masyarakat Islam Islam di Indonesia, meskipun dari segi geografis termasuk wilayah pinggiran , telah menarik perhatian dari sejumlah ahli Islam (Islamisist) sebagai sasaran kajian. Islam di wilayah ini memang memiliki sejumlah keunikan yang menjadi daya tarik bahan penelitian. Dari segi jumlah, Islam merupakan agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Dengan jumlah yang besar itu juga, Islam kemudian memiliki
40
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat dan negara. Di wilayah ini pula, wajah empirik Islam penuh dengan warna-warni kultural setelah terjadi persentuhan dengan tradisi lokal. Proses kontinum antara tradisi, purifikasi, dan modernisasi menjadi tak terhindarkan. Penelitian Islam di Indonesia antara lain ditujukan kepada proses-proses sosial semacam ini. Satu di antaranya yang paling berpengaruh adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dengan judul The Religion of Java1 . Seringkali, proses-proses sosial tersebut juga menimbulkan pertarungan wacana untuk memperebutkan hegemoni Islam yang dipandang paling otentik. Proses ini pada gilirannya melahirkan organisasi keagamaan di kalangan umat Islam pada awal abad ke-20 seperti Muhammadiyah, Persis, NU, al-Irsyad dan lain sebagainya. Tak pelak, fenomena institusionalisasi Islam ke dalam wadah organisasi ini juga menarik perhatian para peneliti. Ada sisi menarik yang mewarnai perkembangan tradisi penelitian terhadap organisasi Islam tersebut yaitu, adanya pertarungan wacana antara pendekatan yang didominasi modernitas dan wacana yang menghormati tradisi seperti yang diungkap oleh Fealy. Pendekatan pertama, menurut Fealy, cenderung apriori dan negatif dalam memandang keberadaan kelompok Islam modernis. Pendekatan pertama ini digunakan oleh para cendekiawan muslim modern di Indonesia serta para ilmuwan dan para pengamat Barat. Mereka begitu terpesona dengan modernitas dan modernisasi yang memberikan pengaruh negatif terhadap mereka dalam memahami budaya dan kepercayaan tradisional. Di ujung yang lain, terdapat wacana yang berusaha memahami dunia Islam tradisionalis dengan segala atribut budaya dan organisasinya dari perspektif pelaku agar terhindar dari bias seperti dialami oleh pendekatan modernis2 . Di samping perhatian para peneliti tertuju pada kedua kelompok dominan dalam Islam tersebut (tradisionali-modernis), belakangan ditujukan kepada keberadaan kelompok Islam meskipun dari segi jumlah pengikut tidak sebesar kelompok Islam tradisionalis dan modernis, tetapi memiliki ideologi dan pola yang berpengaruh juga. Kadang-kadang kelompok ini disebut dengan kelompok sempalan. Ada juga yang menyebut dengan fundamentalisme. Penelitian yang mengambil fokus permasalahan tentang gerakan keagamaan dan fundamentalisme juga banyak dilakukan. 1
2
Lihat, Clifford Geertz, The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe CollierMacmillan Limited, 1960. Geertz juga melakukan penelitian untuk membandingkan Islam di Indonesia dengan Islam di Maroko. Judul penelitiannya adalah Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indoensia oleh Hasan Basari berjudul, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982. Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967,Yogyakarta: LKIS, 2002, 2-17.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
41
Namun begitu, penelitian terhadap permasalahan tersebut tetap menarik dikerjakan. Di samping fenomena gerakan sosial dan fundamentalisme terus berkembang, dari hasil penelitian terdahulu dimungkinkan memiliki sejumlah kekurangan, meskipun, tentu saja, kelebihannya pasti ada yang perlu diapresiasi. Di bawah ini coba dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik pembahasan ini. Kita mulai dengan penelitian berjudul, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia3 . Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian terhadap sejumlah gerakan Islam yang oleh editornya disebut gerakan Islam kontemporer. Terdapat lima kelompok keagamaan yang diteliti dalam buku ini, yaitu: Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis, Gerakan Jamaah Islam Qur’ani, Gerakan Kaum Muda Islam Masjid Salman, dan Gerakan Kelompok Islam di Yogyakarta. Menurut penyunting buku ini, munculnya lima —sebagai representasi—gerakan keagamaan Islam kontemporer di Indonesia dilatarbelakangi, oleh: pertama, keinginan melakukan pemurnian ajaran agama. Kedua, ingin mendobrak kemapanan dalam beragama terutama terhadap struktur taqlid berbagai kelompok masyarakat Islam selama ini. Mereka menghendaki agar setiap anggota masyarakat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, terutama dalam rangka memahami ajaran agama. Oleh sebab itu, para pengikut gerakan-gerakan tersebut didorong untuk menggali ajaran Islam secara bebas dari sumbernya, tanpa harus terpaku pada interpretasi para tokoh agama yang oleh kebanyakan orang dianggap telah mapan. Ketiga, gerakan keagamaan itu berkeinginan menciptakan masyarakat ideal. Dalam pandangan gerakan ini, masyarakat ideal yang dimaksud adalah masyarakat yang diatur melalui kepemimpinan tunggal. Juga, masyarakat ideal dalam bayangan gerakan keagamaan itu adalah, masyarakat yang terbebaskan dari pengaruh Barat. Dengan alasan ini, gerakan keagamaan kontemporer menawarkan Islam sebagai alternatif. Dalam pandangan mereka, ajaran Islam memiliki totalitas, dalam arti bahwa Islam bukan hanya ajaran yang menyangkut sistem kepercayaan dan ritus semata, melainkan ajaran yang meliputi aqidah, syariah, dan niz?âm (way of life). Kumpulan penelitian dalam buku itu memang cukup lengkap mendeskripsikan gerakan keagamaan kontemporer sebagai “sempalan” dari kelompok keagamaan mainstream. Tetapi penelitian dalam buku itu memiliki kelemahan, terutama pada analisis sosiologis yang kurang begitu mendalam. Penelitian terhadap kelima gerakan Islam kontemporer itu belum mengungkap secara mendalam pola gerakan sosial yang digunakan. Padahal, aspek ini akan memberikan gambaran nyata bagaimana kelima gerakan keagamaan tersebut merumuskan strategi aksi dalam rangka mencapai cita-cita ideologis yang diyakininya.
3
42
Abdul Aziz, dkk., Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Penelitian lain yang coba memaparkan perkembangan gerakan Islam adalah yang dilakukan Riaz Hassan4. Dalam penelitiannya, Hassan tidak hanya menyoroti perkembangan Islam di Indonesia, tetapi juga perkembangan Islam di India, Pakistan, dan Iran. Fokus penelitiannya juga bukan hanya fundamentalisme. Tetapi penelitian Hassan memiliki daya tarik terutama kalau membaca bagian lima yang menyoroti kebangkitan Islam di Indonesia. Sementara banyak peneliti yang terkesima dengan perkembangan agama di Indonesia yang dipandang lebih didominasi Islam, Hassan memiliki pandangan lain. Tidak hanya Islam, tegas Hassan, yang mengalami kebangkitan. Agama-agama lain, lebih-lebih kecil, menunjukkan gejala yang sama meskipun dari segi jumlah tetap masih jauh dari Islam. Penelitian yang bertitik tolak dari perspektif sosiologis tentang fundamentalisme dilakukan oleh Yusril Ihsa Mahendra 5. Penelitian Mahendra disamping menelusuri doktrin keagamaan kaum fundamentalis, juga melihat pengaruhnya terhadap terbentuknya institusi politik. Dalam penelitiannya itu, Mahendra membandingkan fundamentalisme dengan modernisme. Ada dua institusi politik yang dijadikan kasus pengaruh fundamentalisme dan modernisme, yaitu Masyumi di Indonesia dan Jamaati Islami di Pakistan. Salah satu yang menarik dari penelitian Mahendra adalah perspektif yang digunakan dalam memahami fundamentalisme dan modernisme sebagai aliran politik, lebih dari sekedar aliran keagamaan. Untuk sampai pada pemahaman yang demikian, Mahendra melakukan dua tahapan analisis secara simultan. Pertama, Mahendra terlebih dahulu memahami karakteristik doktrin keagamaan menurut kaum fundamentalis dan modernis. Berikutnya, yang kedua, Mahendra menganalisis pengaruh doktrin keagamaan terhadap masalahmasalah yang berhubungan dengan partai politik, yaitu organisasi politik, program partai dan perilaku aktor politiknya. Penelitian berikutnya tentang gerakan fudamentalisme di Indonesia dilakukan oleh Abdul Syukur yang berjudul, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 19896. Penelitian Syukur ini berusaha mencari hubungan antara kelompok usroh yang berkembang di Indonesia dari 1980 – 1986 dengan meletusnya Peristiwa Lampung 1989, atau lebih dikenal dengan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Warsidi. Menurut Syukur, sebagian anak muda Islam yang terlibat dalam Peristiwa Lampung 1989 adalah mantan aktivis kelompok usrah Abdullah Sungkar. Temuan Syukur ini
4 5
Riaz Hassan, Islam: dari Konservatisme sampai Fundamentalisme,Jakarta : Rajawali, 1985. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’ati Islami (Pakistan),Jakarta: Paramadina, 1999.
6
Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989,Yogyakarta: Ombak, 2003.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
43
sekaligus bantahan terhadap tesis Sartono Kartodirjo bahwa GPK Warsidi merupakan Gerakan Ratu Adil. Jika ketiga penelitian yang disebut pertama di atas dilakukan dalam konteks waktu Orde Baru, penelitian fundamentalisme pada masa sesudah Orde Baru dilakukan oleh Zainuddin Fananie, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto yang berjudul, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial7. Penelitian ini mengambil locus di Surakarta, salah satu wilayah strategis di Jawa Tengah. Di wilayah ini berkembang sekitar sepuluh kelompok keagamaan yang bisa dikategorikan sebagai kelompok keagamaan radikal, yaitu: Santri Hizbullah Sunan Bonang, Brigade al-Islah, Gerakan Pemuda Ka’bah, Laskar Pemuda, Front Pemuda Islam Surakarta, Laskar Jundullah, Laskar Jihad Ahlussunnah Wal-Jamaah, KAMMI. Adapun permasalahan yang disoroti adalah implikasi keberadaan kelompok keagamaan radikal terhadap agenda transformasi sosial mereka. Penelitian ini menunjukkan agenda transformasi sosial kelompok keagamaan radikal acapkali menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan masyarakat di Surakarta, karena digunakan cara-cara kekerasan oleh beberapa kelompok keagamaan itu. Penelitian yang dilakukan oleh Fananie, Sabardila, dan Purnanto di atas, memiliki nuansa kurang lebih sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Khamami Zada8. Seperti penelitian yang disebut sebelumnya, Zada juga meneliti kelompok keagamaan radikal yang muncul setelah kejatuhan Soeharto, seperti FPI, Majelis Mujahidin, Laskar Ahlussunnah Waljamaah dan KISDI. Dalam pengamatan Zada, keempat kelompok keagamaan tersebut memiliki karakteristik yang sama. Pertama, mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalistik). Kedua, mereka mendasarkan praktik keagamaannya pada orientasi masa lalu (salaf). Ketiga, mereka sangat memusuhi Barat dengan segala praktik peradabannya seperti modernisasi, sekularisasi dan lain sebagainya. Keempat, perlawanannya dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah berkembang di kalangan muslim Indonesia9.
7
Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.
8
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.
9
Karakteristik kelompok fundamentalisme seperti ditemukan oleh Zada, sebenarnya merupakan ciri umum yang melekat pada semua gerakan fundamentalisme. Menurut Rubin, ada tiga premis utama yang dipegang kuat oleh kelompok fundamentalis. Pertama, Islam merupakan jawaban dari permasalahan yang berkembang di masyarakat, negara, dan wilayah mereka. Kedua, Implementasi terhadap Islam dan penyelesaian terhadap sejumlah persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara, kelompok fundamentalisme mensyaratkan perebutan dan pembentukan sistem politik. Ketiga, kelompok fundamentalisme hanya menganggap penafsiran terhadap Islam yang berasal dari kelompok
44
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Sebagaimana penelitian kelompok Fananie, Zada juga menemukan fenomena yang sama pada kelompok keagamaan radikal yang ditelitinya yakni, mereka selalu gigih melakukan advokasi terhadap nasib umat Islam yang dianggap tidak berdaya dalam menghadapi berbagai tantangan dari luar. Aktivitas advokasi inilah yang juga ditemukan oleh Prasetyo dalam penelitiannya terhadap kelompok Laskar Jihad. Tak pelak, advokasi yang dilakukan oleh antara lain Laskar Jihad, menimbulkan benturan dengan kelompok keagamaan lainnya seperti terlihat dengan nyata di Ambon. Menurut Prasetyo, advokasi terpaksa ditempuh oleh Laskar Jihad karena tidak puas dengan pemerintah dalam mengelola politik10. Fenomena gerakan Islam pasca-runtuhnya Orde Baru rupanya terus mengundang perhatian banyak peneliti. Untuk melengkapi review ini, bisa disebut lagi di sini adalah penelitian Ali Said Damanik yang berjudul, Fenomena Partai Keadilan : Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia11. Damanik mengatakan bahwa penelitiannya itu ingin mengungkap proses transformasi gerakan keagamaan di kampus sejak pertengahan 80an menjadi parpol politik bernama Partai Keadilan. Menurut analisis Damanik, lahirnya PK merupakan salah satu bentuk keberhasilan gerakan sosial Islam dalam membina basis sehingga terus berlanjut menjadi kekuatan politik dalam wadah partai. Pada tahun 2000-an, penelitian yang mengangkat tema fundamentalisme atau radikalisme memang tampak marak di Indonesia. Selain penelitian yang telah disebutkan di atas, masih ada penelitian berikutnya yang coba mengangkat topik seputar fundamentalisme atau radikalisme12. Meskipun penelitian tentang fundamentalisme dan gerakan keagamaan di Indonesia telah banyak dihasilkan, penelitian terhadap fenomena fundamentalisme tetap saja mengundang daya tarik. Gerakan fundamentalisme atau radikalisme sepertinya memiliki “watak keabadian” karena seperti dikemukakan Azra13, gerakan radikalisme bisa dipastikan
10 11 12
13
dan pemimpin mereka yang paling benar. Lihat, Barry Rubin, “Islamic Radicalism in the Middle East: A Survey and Balance Sheet”, Middle East Review of International Affair, Vol. 2, No. 2, May 1998, 17 –18. Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, Yogyakarta : Insist, 2002. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia,Jakarta : Teraju, 2002. Setidaknya ada tujuh penelitian yang dapat dikemukakan, yakni sebagai berikut: Yunanto, dkk., Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, Jakarta: The Ridep Institute, 2003; Jamhari dan Jahroni, Gerakan salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 2004; Afadal, dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI, 2005; M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005; Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam Simbolik: Politik Kepentingan FPI, Yogyakarta: LKIS, 2006, dan; Sunarko, Ideologi Teroris Indonesia, Jakarta: PTIK, 2007. Azyumardi Azra, “Radikalisasi Salafi Radikal”, Tempo, 25 Mei 2003, 102-103.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
45
akan muncul sewaktu-waktu dalam sistem keagamaan, sosial, budaya, politik yang dipandang tidak menguntungkan Islam dan kaum muslim. “Keabadian” gerakan fundamentalisme atau radikalisme menarik diteliti secara mendalam terutama aspek ideologi, jaringan, dan gerakan sosialnya. 2.
Pengertian dan Karakteristik Fundamentalisme Setelah beberapa lama dari peristiwa Revolusi Iran 1979, istilah fundamentalisme tidak begitu ramai dibicarakan. Tetapi sejak peristiwa terorisme pada 11 September 2001 yang telah menghancurleburkan menara kembar World Trade Centre (WTC) New York, Amerika Serikat, dan disusul dengan peristiwa yang sama pada 12 Oktober 2002 di Bali, fundamentalisme agama kembali menjadi wacana publik yang berskala internasional14 . Bagi sementara kalangan, adanya usaha menghubungkan kedua peristiwa dengan agama, apalagi mengarah pada komunitas agama tertentu, Islam, dinilai terlalu gegabah dan mengandung muatan politik yang begitu kental. Sementara kalangan lainnya, memandang sebagai hal yang wajar, karena di samping fenomena fundamentalisme merupakan masalah klasik semua agama, sehingga kedua peristiwa itu, di sisi lain, dihubungkan dengan komunitas Islam adalah hal yang wajar pula karena dalam Islam fundamentalisme juga telah menjadi fenomena klasik. Kenapa ada sementara kalangan begitu alergi terhadap istilah fundamentalisme? Agaknya hal ini tidak bisa dilepaskan dari penggunaan istilah fundamentalisme sendiri seperti dikemukakan Abdul Salam Sidahmad dan Anonshiravan Ehteshami, selalu digunakan sebagai label yang bermakna pejoratif. Jelas Sidahman dan Ehteshami:15 The use of label Islamic fundamentalism has become widespread, especially in the media, and is increasingly penetrating academic circles. Yet, if tolerated or even employed as a label, the term is still far from being established as a concept. Scholars still find it difficult to accept and use it because of its indiscriminate deployment by the media and similar circles, and because of its populer association with estremism and fanaticism.
14 Segera setelah terjadinya peristiwa terorisme di Amerika tersebut bermunculan publikasi yang mencoba menghubungkan dengan gerakan fundamentalisme Islam seperti yang dihasilkan oleh John L. Esposito dengan judul Unholy War: Terror in the Name of Islam. Buku ini sudah diterjemahkan oleh Syafruddin Hasani ke dalam Indonesia dengan judul, Unholy War: Teror atas Nama Islam,Yogyakarta: Ikon, 2002. Publikasi lainnya dihasilkan oleh Benjamin R. Barber berjudul, Jihad vs McWorld: How Globalisme and Tribalism are Reshaping the World. Buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yudi Santosa dengan judul, Jihad vs McWorld: Fundamentalisme, Anarkisme Barat, dan Benturan Peradaban , Surabaya: Pustaka Promethea, 2002. 15 Abde Salam Sidahmeh dan Anonshirawan Ehterhami, Islamic Fundamentalism, Westview Press, USA, 1999, 2. Lihat juga, William Shepard, “What is Islamic Fundamentalism”, Study
46
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Penggunaan istilah fundamentalisme memang mengandung kontroversi. Banyak kalangan dari ilmuwan memilih tidak menggunakan istilah fundamentalisme. Misalnya, John L. Esposito, Mark Jurgensmeyer. Alasan penolakan mereka bermacam-macam. Jurgensmeyer16 mengemukakan tiga alasan. Pertama, istilah fundamentalisme bersifat merendahkan. Ia menunjuk kepada orang-orang yang memegang literalisme religius yang tidak toleran, merasa paling benar, dan nyaris dogmatik. Istilah ini lebih bersifat tuduhan ketimbang penjelasan. Kedua, fundamentalisme merupakan kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural karena berasal dari tradisi keagamaan Protestan sehingga terdapat kesulitan kalau diterapkan kepada kelompok lain 17 . Ketiga, istilah fundamentalisme cenderung tidak mengandung gerakan politik; dan lebih mementingkan unsur keagamaan ketimbang urusan keduniawian. Sedangkan alasan penolakan Esposito18 terhadap istilah fundamentalisme sebagai berikut: pertama, istilah fundamentalisme memiliki pengertian yang terlalu generik karena semua yang menghendaki untuk kembali ke kepercayaan dasar atau dasar-dasar suatu agama dapat dikatakan fundamentalisme. Kedua, pengertian dan persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh Protestanisme Amerika. Ketiga, fundamentalisme kerap disejajarkan dengan aktivitas politik, ekstrimis, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerika. Atas alasan tersebut, ketika membicarakan gerakan Islam kontemporer, Esposito lebih suka menggunakan istilah kebangkitan Islam atau aktivis Islam, bukan fundamentalisme Islam. in Religion/Sciences Religionces 17/1, 1988, 5. Adanya kontroversi seputar penggunaan istilah fundamentalisme juga diungkap Voll. Menurut Voll, kontroversi ini dimulai dari implikasi istilah ini yang memperburuk, bahwa tatkala digunakan untuk menggambarkan orang Kristen. Banyak orang beranggapan bahwa istilah ini mempunyai konotasi kebodohan dan keterbelakangan dan dengan demikian, menghina gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang absah. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa tidak ada istilah yang benar-benar serumpun dalam bahasa Arab atau bahasa-bahasa utama kaum muslimin lainnya, dan hal ini menunjukkan bahwa tidak ada fenomena serumpun dalam masyarakat muslim yang bisa istilah ini diterapkan. Lihat, John O. Voll, “Fundamentalisme”, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, ed.John L. Esposito, Bandung: Mizan, 2001, 84-85. 16 Mark Jurgensmeyer, Menantang….., 1998, 17-18. 17 Seperti dikatakan juga oleh Beinin dan Joe Stork. Menurut kedua penulis ini, istilah fundamentalisme mengandung a problematic comparative. Lebih lanjut dikemukakan: “It is inescabaly rooted in a specific Protestant exerience whose principal theological premise is that the Bible is the true word of God and should be understood literally. In this regard, it makes no sense to speak of fundamentalist Islam because one of the core element of the creed of all believing Muslim is that the Qur’an is the literal (hence absolutely true) worrd of God as revealed to his Prophet Muhammad through the intermediacy of the angel Gabriel”. Lihat, Joel Beinin dan Joe Stork, dalam, “On the Modernity. Historical Spesificity, and International Context of Political Islam”, dalam Political Islam : Essay from Middle East Repost, ed. Joel Beinin dan Joe Stork, London: I.B. Taurus Publishers, 1997, 3. 18 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Bandung: Mizan, 1994, 17-18.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
47
Meskipun terdapat beberapa keberatan terhadap istilah fundamentalisme, istilah fundamentalisme tetap bisa digunakan sebagai suatu tipe ideal (ideal type)19 dalam menggambarkan adanya salah satu varian dalam orientasi ideologis gerakan Islam. Untuk itu, penulis sependapat dengan pernyataan Amstrong terhadap ketidaksempurnaan istilah fundamentalisme, tetapi bagaimanapun ia merupakan tipe ideal yang berguna untuk menunjuk gerakan-gerakan keagamaan tertentu yang saling memperlihatkan kemiripan, sehingga fundamentalisme juga bisa diterapkan tidak saja pada Islam, melainkan pula pada semua gerakan yang lain, baik yang bersifat keagamaan maupun yang sekuler. Cara pandang seperti digunakan oleh Garaudy dan Burrel. Burrel berpendapat—untuk menghindari eksklusivisme dalam penggunaan istilah fundamentalisme— fundamentalisme bisa digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda. Bagi Burrel, konsep fundamentalisme tidak terbatas pada Islam, karena banyak juga contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler 20 . Sebagai sebuah tipe ideal, maka tidak ada pretensi apapun dalam penggunaan istilah fundamentalisme. Pengertian fundamentalisme yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada rumusan Euben21 yang memberikan rumusan terhadap fundamentalisme sebagai gerakan religiopolitik kontemporer yang berusaha kembali kepada dasar-dasar kitab suci, dan menafsirkan kembali fondasi-fondasi tersebut untuk diterapkan pada dunia politik dan sosial kontemporer22. Dengan rumusannya ini, Euben ingin menekankan tiga hal penting dalam fundamentalisme, yaitu: pertama, meskipun tetap memiliki motivasi keagamaan, fundamentalisme juga memiliki aspek politik23. Ia bukan gerakan yang hanya berorientasi pada
19 Pengertian tipe ideal (ideal type) di sini mengacu pada rumusan dari Hoult, yakni sebagai: “ A hypothetical idea of a phenomenon in which the phenomenon’s most characteristic feature are exaggerated, the function of such a conception being the creation of a standard against which reality can be measured (and hence the ideal type is not to mirror reality nor to represent the “better”). Lihat, Thomas Ford Hoult, Dictionary of Modern Sociology, New Jersey: A Little Field Adan & Co, Totowa, 1977, 156. 20 Lihat, Roger A. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, Bandung: Pustaka, 1992; dan R.M. Burrel (ed.), Fundamentalis Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, 2. 21 Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, Jakarta: Serambi, 2002, 42. 22 Bassam Tibi juga mengidentifikasikan fundamentalisme agama sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan sosiopolitik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Lihat, Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Poltical Islam and The New World Disorder, London: University of California Press, 1998. 23 Seperti juga dikemukakan oleh Jansen ketika menjelaskan fenomena fundamentalisme dalam Islam. Menurutnya, fundamentalisme Islam memiliki dua watak (the dual nature) yang saling terkait, yaitu politik dan agama. Lihat, Johannes J.G. Jansen, The Dual Nature of Islamic Fundamentalism, London:Huerst and Company, 1997. Bandingkan juga dengan Youssef Choueri.
48
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
keakhiratan sebagaimana dikatakan Jurgensmeyer. Dalam pandangan kaum fundamentalis, keselamatan tidak hanya dilakukan dengan pengasingan diri dari urusan duniawi, melainkan harus didapatkan dengan turut serta dalam dunia, atau lebih tepat dalam institusi dunia. Kedua, fundamentalisme dibatasi pada paham dan gerakan kembali kepada tradisi religius skriptual dan—sebagai konsekuensinya—yang menolak segala bentuk interpretasi. Dengan sikap yang demikian rigid pada teks, fundamentalisme kemudian diposisikan sebagai kelompok yang menolak pluralisme. Sebab, bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks-teks suci 24. Ketiga, kelompok fundamentalisme di samping memiliki sikap yang keras dan reaksioner terhadap modernisme, tapi juga mereka sebagai ekspresi dari modernitas25. Fundamentalisme bukanlah fenomena yang berkembang hanya pada komunitas agama tertentu. Keberadaan fundamentalisme sudah berkembang ke dalam bentuk yang bercorak trans-national karena bisa dijumpai pada hampir wilayah di negara di muka bumi ini. Keberadaan fundamentalisme juga bercorak trans-religions karena dialami oleh agama manapun. Setidaknya dengan menelusuri awal sejarah munculnya fundamentalisme, bisa memperkuat terhadap pandangan tentang corak fundamentalisme yang bercorak lintas agama itu. Istilah fundamentalisme menurut Abdul-Rahman Momin26, semula digunakan sebagai konstruks Dalam tulisannya, Islam dan Fundamentalisme, Chouiri, menjelaskan bahwa fundamentalisme seperti dalam Islam merupakan suatu ideologi yang memiliki keinginan kuat membangun kembali agama Islam sebagai sistem politik dalam dunia modern. Dalam pandangan kalangan fundamentalis, Islam dipahami sebagai suatu sistem organik utuh yang kelengkapan dan cakupannya menyaingi ideologi dan sistem negara lain. Lihat, Youssef Chouiri, “Islam dan Fundamentalisme”, dalam Ideologi Politik Kontemporer, ed. Roger Eatwell dan Anthony Wright, Yogyakarta: Jendela, 2004, 351. 24 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme,Jakarta: Paramadina, 1996, 110. 25 Seperti juga dikemukakan oleh Zubaida bahwa, seluruh fundamentalisme adalah modern dalam pengertian berusaha untuk merekonstruksi dasar sistem pemikiran dalam masyarakat modern. Lihat, Sami Zubaida, Islam, The People and the State: Essays on Political Ideas and Movement in the Middle East,London: I.B. Tauris & Co. Ltd . Publisher, 1989, 38. 26 Abdul-Rahman Momin, “On Islamic Fundamentalis: The Genealogy of a Stereotype”, Hamdars Islamicus, 10,4 (1987), 35. Seperti juga dikatakan dalam, Fundamentalism as a Religions Ideology in Multiple Contexts: “ The Characteristic of Fundamentalism as a religius ideology that mobilizes not only progressive patriotic Protestant but also their Jewish and Muslim counterparts”. Lihat juga, John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas,Bandung: Mizan, 1994, 17. Menurut Esposito, bagi banyak orang Kristen, kata fundamentalis menunjukkan hinaan, yang digunakan agak sembarangan terhadap orang-orang yang menganjurkan posisi Injil yang literalis dengan demikian dianggap statis, kemunduran, dan ekstrim. Sebagai akibatnya, fundamentalisme acapkali dianggap secara umum sebagai mengacu kepada orang-orang yang literalis dan yang ingin meniru masa lalu.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
49
konseptual untuk menjelaskan gerakan militan dan konservatif dalam Protestan di Amerika Serikat pada 1920. Sepanjang awal abad ke-20, lanjut Momin, gereja Protestan Amerika pecah ke dalam dua kelompok; fundamentalisme dan modernis. Apabila kelompok modernis berusaha mengasimilasikan modernitas ke dalam Bible, sebaliknya, kelompok fundamentalis berusaha kuat mempertahankan apa yang dipandang sebagai “the total infallibility of the Bible in all matters of faith and doctrin”. Ciri yang semula menonjol dari gerakan fundamentalisme seperti terlihat pada gerakan fundamentalisme Protestan adalah pemahamannya yang literal atau skriptual terhadap teks-teks agama, dan pandangannya yang negatif pada kemajuan (modern). Pemahaman yang literal terhadap teks-teks agama agaknya dilandasi oleh dorongan untuk memegang teguh ajaran fundamental agama. Segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks agama, bagi kaum fundamentalis dikhawatirkan mereduksi ajaran fundamental agama. Kritik dan kekhawatiran terhadap fundamentalisme agama tertuju pada implikasi pemahaman tersebut yang dapat mendorong kepada apa yang diungkap William Shepard27 dengan “to do battle royal” guna mempertahankan ajaran fundamental agama. Pada gerakan fundamentalisme kemudian dilekatkan ciri perlawanan (oppositionalism) atau perjuangan (fight) seperti yang dilakukan Martiy E. Martin dan R. Scott Appbley. Menurut editor buku Fundamentalism and the State dan buku Fundamentalism and Society ini, dalam gerakan fundamentalisme ditandai setidaknya oleh lima jenis perlawanan, pertama,melawan kembali (fight back) terhadap kelompok yang mengancam keberadaan atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Kedua, fight for, berjuang untuk menegakkan citacita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain. Ketiga fight with, berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Keempat, fight againts, berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Kelima, fight under, berjuang atas nama Tuhan atau ide-ide lain28 . Dengan ciri yang melekat pada gerakan fundamentalisme itu, bisa dimaklumi jika keberadaannya dinilai sebagai sebuah ancaman, setara dengan ancaman yang berasal dari ideologi tertentu. Dalam konteks persaingan politik global, fundamentalisme agama dijadikan sebagai ancaman baru, menggantikan ancaman komunis seperti diungkap Martin E. Marty dan R. Scott Appleby29:
27 William Shepard, “Fundamentalism Christian and Islamic”, Religion (17, 1987), 356. 28 Seperti dikutip Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo dalam kata pengantar buku yang mereka edit, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, xix. 29 Lihat kata pengantar (“Introduction”) dalam kedua buku yang mereka edit, Fundamentalisms
50
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
In the early 1990s, poundering the collapse of communism across Eastern Europe and the unraveling of Marxist ideology even in the Soviet Union, American political commentators speculated at some length: Whence will come the new enemy? Who or the focus of American reaction and enmity? What ideology, fortified by military, economic, or political power, will be virulent and contagious enough to challenge the efforts of liberal Western democracies to direct the course global development? “Religious fundamentalism” was an the answer that came from some quarters.
Ketakutan terhadap fundamentalisme agama semakin bertambah setelah belakangan ini sering muncul aksi terorisme sebagaimana juga terjadi di Indeonesia. Sebagai contoh adalah pristiwa yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Terhadap peristiwa tersebut banyak kalangan kaget dan masygul, bukan saja karena peledakan bom itu telah menewaskan hampir 200 nyawa manusia, tapi, sebuah sinyal maha penting telah muncul dari daerah yang menjadi ikon penting parawisata Indonesia. Sinyal itu adalah, fundamentalisme dan terorisme, suatu ungkapan yang dulunya ditolak keberadaannya di Indonesia. Kata “paranoid” kemudian diajukan kepada pihak luar yang memberikan warning mengenai keberadaan kelompok yang kini menjadi common enemy negara-negara di dunia. Siapa saja layak khawatir dan takut terhadap keberadaan gerakan fundamentalisme karena ada kecenderungan kuat pada gerakan ini untuk menggunakan cara-cara kekerasan (violence) dalam mencapai target yang ditetapkan. Salah satu cara yang mengundang rasa takut semua orang adalah teror. Karena ada kecenderungan menggunakan cara seperti ini, gerakan fundamentalisme kemudian mudah diidentikkan dengan terorisme. Peristiwa pengeboman seperti yang terjadi di Bali itu, dan tindakan sejenis di beberapa tempat lainnya yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama, membuka kembali perbincangan tentang hubungan agama dengan kekerasan. Bagi sementara kalangan, mengaitkan agama dengan kekerasan bisa mengundang sikap kontra, karena mempertimbangkan pesan fundamental agama yang lebih
and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance, dan Fundamentalisms and Society: Reclaiming the Science, the Familiy, and Education,Chicago and London: The University of Chicago Press, 1993, 1. Dalam kasus Islam, istilah fundamentalisme seringkali memperburuk citra agama ini sebagai agama fundamentalis. Citra ini setidaknya masih melekat kuat pada orang-orang Amerika seperti dikatakan Newson:”If there is a broadly negative view of Islam in the United States, it spring primarily from two perceptions. One is that Islam, particularly fundamentalist Islam, represent a threat to the interest of the United States. The other is that Islam basically an in humane religion”. Lihat, David D. Newson, “Islam in Asia: Ally or Adversary?”, dalam Islam in Asia: Religion, Politics, and Society , ed. John L. Esposito, New York and Oxford: Oxford University Press, 1987, 4.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
51
menekankan pesan perdamaian. Dalam ranah sosiologis, kemungkinan agama terlibat dalam praktik kekerasan selalu saja terjadi, meskipun perlu juga dipahami, agama bukanlah satu-satunya faktor determinan pemicu praktik kekerasan. Kemungkinan yang sama bisa terjadi pada gerakan fundamentalisme untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Konsep kekerasan yang dijadikan acuan dalam menghubungkan dengan fundamentalisme agama dalam tulisan ini adalah apa yang oleh Douglas dan Waksler30 disebut kekerasan kolektif (collective violence), yakni kekerasan yang melibatkan banyak orang. Konsep ini sengaja dipilih karena hampir semua praktik kekerasan selalu melibatkan banyak orang dan institusi pendukung. Sebagai contoh, kekerasan yang dilakukan oleh negara (state of violence) didukung oleh banyak orang dan, tentu saja, institusi di dalamnya yang menurut Max Weber mendapat legitimasi melaksanakan kekerasan31 . Dengan konsep ini pula, maka kekerasan dari segi aktor atau pelaku tidak dibatasi hanya pada level individual saja, meskipun banyak juga kekerasan muncul dari sana sebagaimana telah diteoritisasikan oleh ahli psikologi32 . Adapun kekerasan yang dimaksud dalam tulisan ini tidak terbatas pada perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau benda, seperti pengertian kekerasan dari Salim dan Salim33 . Lebih luas dari pengertian ini, menurut Galtung, semua tindakan yang dapat menghambat realisasi diri manusia disebut dengan kekerasan34 . Dengan konsep, pengertian, dan level praktik kekerasan yang dipilih, maka analisis terhadap praktik kekerasan yang di dalamnya terkandung nuansa agama, juga ditempatkan dalam suatu konteks yang kompleks pula. Banyak pendekatan yang bisa digunakan dalam menganalisis munculnya praktik kekerasan. Di antaranya adalah, perspektif dikotomik yang menempatkan dominasi tindakan aktor di satu pihak, dan dominasi struktur di pihak lain. Perspektif ini bisa menggiring pada pemahaman sepihak mengenai munculnya praktik kekerasan. Melengkapi kerangka analisis ini, berkembang analisis yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu, kekerasan dipandang sebagai jejaring antaraktor dan struktur35 .
30 Thomas Santoso, Kekerasan Tanpa Agama,Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002, 7. 31 Norbert Elias, “Violence and Civilization: the State Monoply of Physical Violence and Its Infringement”, dalam Civil Society and the State: New European Perspective, ed. John Keane, London: Verso, 1988, 179. 32 Lihat, misalnya, Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. 33 Peter Salim dan Yuny Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer,Jakarta: Modern English Press, 1991, 716. 34 Seperti dikutip Mochtar Mas’od, dalam, Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK, 2000, 5. 35 Thomas Santoso, Kekerasan…, 3
52
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Kedudukan agama dalam kerangka analisis demikian menjadi tambah jelas; keterlibatan agama dalam praktik kekerasan bukan karena faktor agama dan aktor saja, tetapi karena adanya rangsangan dari struktur sosial tertentu. Meskipun dalam banyak kasus kekerasan sebenarnya bukan disebabkan oleh faktor agama, tetapi seringkali agama dijadikan sebagai legitimasi bagi praktik kekerasan. Terlibatnya agama dalam praktik kekerasan yang sebenarnya bukan murni alasan agama, disebut oleh Galtung sebagai kekerasan budaya yakni, kekerasan yang selalu menyertakan aspek-aspek simbolik dari suatu kebudayaan masyarakat seperti agama, ideologi, bahasa, seni, ilmu pengetahuan sekedar untuk menjustifikasi praktik kekerasan36. Di antara beberapa aspek simbolik kebudayaan itu, tidak bisa dipungkiri, dalam banyak kasus agama menempati posisi teratas sebagai pemberi justifikasi. Masuknya agama dalam wilayah kekerasan dengan begitu gampangnya bisa dimaklumi. Di samping mengingat posisi agama yang demikian sublim dan emosional dalam kehidupan manusia, juga karena dalam agama terkandung ajaran yang menuntut adanya penerimaan melalui kepercayaan dan pelaksanaan sekaligus. Inilah yang disebut dengan aspek ortodoksi (orthodoxy) dan ortopraksis (orthopraxy) agama. Ortodoksi merupakan aspek agama yang menuntut penerimaan dalam bentuk kepercayaan (rightness in believe). Sedangkan ortopraksis merupakan dimensi yang menuntut pelaksanaan sebagai bukti dari kepercayaan tersebut (rightness in action)37. Sebagai contoh, pada setiap agama pasti terdapat doktrin yang berhubungan dengan realitas yang sakral dan supernatural yaitu, Tuhan38. Terhadap doktrin ini, semua agama menekankan sikap ortodoksi dan ortopraksis sekaligus. Dengan ortodoksi, semua pemeluk agama dituntut mempercayai secara taken for granted. Tidak ada alasan menolak terhadap eksistensi Tuhan. Kepercayaan terhadap Tuhan, menuntut pula pembuktian (ortopraksis) melalui pelaksanaan ritual-ritual tertentu. Karena adanya keterikatan semacam inilah, banyak pemeluk agama yang rela melakukan pembelaan-pembelaan dengan mengatasnamakan Tuhannya. Wacana atas nama Tuhan seringkali menjadi permasalahan krusial, karena banyak tindak kekerasan seringkali bersumber di sini padahal tidak berkaitan secara langsung dengan agama. Dalam agama sendiri memang sering dijumpai banyak istilah pencakup (cover term) yang mudah sekali 36 Johan Galtung, “Kekerasan Kultural”, Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, IX/2002, 11. 37 Catherine Bell, Ritual: Perspective and Dimensions,New York: Oxford University Press, 1997, 191. 38 Ronald J. Johnstone, Religion in Society: A Sociology of Religion,New Jersey: Prientice-Hall, Inc.,1983, 12.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
53
dijadikan pembenaran terhadap tindak kekerasan. Istilah itu, misalnya, jihad dalam Islam. Bisa dikatakan, dari sekian banyak istilah dalam Islam, jihad merupakan salah satu istilah yang paling sering dirujuk untuk melakukan apa yang disebut dengan kekerasan suci (sacred violence), atau juga, perang suci (holy war). Dari sudut pandang pelaku, kekerasan suci dipandang absah secara agama, moral, dan sejarah karena sasaran kekerasan adalah orang-orang salah. Berbeda dengan jenis kekerasan pada umumnya, kekerasan suci memiliki aturan-aturan kehormatan atau kemuliaan serta memiliki monopoli moral dan religius. Ada tugas-tugas suci yang diyakini dalam tindak kekerasan39. Salah satu bentuk kekerasan (suci) kolektif yang sering dilakukan dan ditakuti oleh banyak orang adalah terorisme seperti pada kasus peledakan Bali yang lalu. Terorisme merupakan metode yang didorong oleh semangat melakukan aksi kekerasan secara berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau aktor penguasa bawah tanah (clandestine), karena alasan ideosinkratis, kriminil, atau politik. Dalam praktiknya, aksi kekerasan yang dilakukan oleh para teroris, pihak korban sebenarnya bukan sasaran utama. Korban yang sering dipilih secara acak (target of opportunity), atau yang dipilih (representative or symbolic target), menurut Achmad Jainuri, sebenarnya hanya dijadikan semacam mediator untuk mencapai target yang sesungguhnya. Seperti pada kasus penghancuran WTC pada 11 September 2002, merupakan target yang dipilih (representative or symbolic target), yang target utamanya adalah Amerika Serikat. Sedangkan peledakan bom di Bali dipilih secara acak (target opportunity) yang target teror sesungguhnya kemungkinan besar adalah kelompok yang menurut pelaku peledakan bom
39 Syafiq A. Mughni, “Agama dan Kekerasan Suci: Jejak Sejarah Kekerasan Manusia”, Makalah dalam Kajian Rutin kekerasan di Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang, Mei-September 2001. Penjelasan yang lengkap dan kompleks tentang makna kekerasan dan perang suci dikemukakan oleh Johnson. Ada sepuluh makna yang diungkap Johnson, yaitu: pertama, perang suci sebagai perang yang dilakukan karena perintah Tuhan;kedua, perang suci sebagai perang yang dilakukan atas nama Tuhan oleh wakilnya yang diberi kuasa; ketiga, perang suci sebagai perang yang dijalankan oleh Tuhan sendiri; keempat, perang suci sebagai perang yang dijalankan untuk mempertahankan agama melawan para musuhnya, di dalam dan di luar; kelima, perang suci sebagai perang yang dijalankan untuk mempropagandakan agama yang benar atau mendirikan sebuah tatanan sosial yang sejalan dengan otoritas Tuhan; keenam, perang suci sebagai perang yang dijalankan untuk mendukung kesesuaian (conformity) agama dan atau menghukum penyimpang; ketujuh, perang suci sebagai peperangan di mana para peserta perang sendiri secara ritual dan/atau moral adalah suci; kedelapan, perang suci sebagai perjuangan militan demi keyakinan dengan memakai senjata di samping cara yang tanpa kekerasan; kesembilan, perang suci sebagai peperangan di bawah pemimpin agama (kharismatik); kesepuluh, perang suci sebagai fenomena yang diakui selama atau setelah fakta sebagai sebuah keajaiban yang absolut. Lihat, James Turner Johnson, Ide Perang Suci dalam Tradisi Islam dan Barat, Yogyakarta: Qalam, 2002, 64-71.
54
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
dinilai sebagai kaum imperialis baru yang berlaku tidak adil dalam mengatur politik dunia40. Bagi pelaku aksi teroris, tindakannya yang acapkali membawa korban sipil itu tidak perlu diakui sebagai tindakan kejahatan melawan kemanusiaan. Alih-alih tindakannya itu diyakini sebagai bagian dari tugas suci agama, atau apa yang disebut Magnus Ranstorp41 dengan, terrorism in the name of religion. Bahkan, secara provokatif, Bruce Hoffan42 menyebut dengan religions terrorism. Dalam kasus Islam, doktrin jihad sering dipakai sebagai alat untuk menjustifikasi aksi kekerasan antara lain dalam bentuk teror43. Karena pandangan yang demikian, banyak dijumpai pelaku teroris bersedia menjadi martir seperti dengan cara membawa bom bunuh diri. Kata Ranstop44 :”They have utilized the notion of martyrdom and self-sacrifice though sucicide-bombings as a means of last resort againts their conventionally more powerful enemies”. Tentu saja, dengan cara yang dipilihnya itu, semua kalangan bersikap menentang gerakan fundamentalisme, karena di samping, yang sudah pasti, terbukti menimbulkan korban yang banyak, juga, yang tidak kalah pentingnya adalah, kerugian terhadap kelangsungan peradaban umat manusia. Ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena agama sebagaimana juga menjadi referensi utama kaum fundamentalis, lalu hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, boleh jadi, bukan yang dimaksud oleh pesan universal agama. Bassam Tibi45 bisa dibenarkan ketika mengatakan bahwa, gerakan fundamentalisme telah melakukan politisasi terhadap agama, hanya demi mencapai tujuan yang sebenarnya non-agama. Karena itu, salah satu akar permasalahan gerakan fundamentalisme adalah pemahamannya yang “banal” baik terhadap doktrin agama, maupun terhadap cara mereka dalam memahami realitas sosial yang menjadi sasaran perjuangan mereka. Dengan potensi destruktif yang melekat di dalamnya, muncul harapan agar fundamentalisme agama tidak berkembang di masa depan. Tapi,
40 Achmad Jainuri, “Terorisme: Arti dan Karakteristiknya”, Surya, 17 Nopember 2002, dan “Terorisme, Streotyping, dan Target”, Surya, 18 Nopember 2002. Lihat juga, Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan”, dalam Teori-teori kekerasan, ed. Thomas Santoso, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, 17. 41 Lihat artikel Magnus Ranstop, “Terrorism in the Name of Religion”, http://www.ciaonet.org/ wps/ram01/, 7/6/97. 42 Bruce Hoffman, “The Confluence of International and Domestic Trends in Terrorism”, http:/ /www.cianet.org/wps/hob01/, 7//6/97. 43 Seperti dikatakan David Zeidan, “The Islamic Fundamentalist View of Life it’s a Perenial Battle”, Middle East Review of International Affairs, Vo. 5, No. 4 (December 2001), 41. 44 Magnus Ranstop, Terrorism…., 9 45 Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley: University of California Press, 1998, ix.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
55
harapan ini agaknya sulit menjadi kenyataan. Fundamentalisme agama diperkirakan akan terus berkembang, menyertai perkembangan gerakan agama yang lain seperti deisme (faith without religion), gerakan falsafah kalam (the philosophical movement), dan gerakan etno-religion46. Kenapa bisa demikian? Bagaimanapun, keberadaan fundamentalisme agama tidak bisa dilepaskan dari agama itu sendiri yang seperti dikatakan Anselm von Feurbach47, dalam bentuk apapun agama muncul, ia tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Fundamentalisme, jika bertolak dari pernyataan Feurbach, dengan demikian merupakan wadah bagi munculnya salah satu bentuk agama. Bagi sebagian kalangan, fundamentalisme agama diyakini sebagai tempat pemenuhan kebutuhan terhadap agama. Dan, kebutuhan terhadap agama selalu meningkat manakala seseorang menurut pemahamannya didera oleh krisis. 3.
Fundamentalisme Agama Sebagai Fenomena Gerakan Sosial: Suatu Tawaran Teoritik Sebagai fenomena yang telah berlangsung lama dan tersebar pada semua agama yang ada di muka bumi, kajian tentang fenomena fundamentalisme menjadi sesuatu yang menarik 48. Pembahasan ini selanjutnya coba memberikan penafsiran dari sudut pandang sosiologis untuk memahami faktor-faktor sosiologis munculnya fundamentalisme agama. Penjelasan semacam ini dipandang perlu, karena munculnya fundamentalisme agama tidak saja disebabkan oleh dorongan yang terdapat dalam ajaran agama itu sendiri, melainkan juga bertali-temali dengan berbagai macam faktor sosiologis baik yang bersifat makro maupun mikro. Dengan penjelasan sosiologis juga diharapkan bisa memahami adanya hubungan yang dialektis antara agama dan realitas sosial yang dapat
46 Lihat, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama…, 89-112. 47 Dikutip kembali dari Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif,Bandung: Mizan, 1986, 36. 48 Dalam mengkaji fenomena fundamentalisme setidaknya bisa bertolak dari tiga paradigma. Pertama, paradigma “Islamic exceptionalism”. Menurut paradigma ini, teori-teori dalam ilmu sosial Barat tidak bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam karena memiliki keunikan dan berbeda dengan fundamentalisme yang muncul di dunia lain, lebih-lebih yang muncul di Barat. Kedua, paradigma “comparative fundamentalism”. Menurut paradigma ini, fenomena fundamentalisme tidak unik karena merupakan bagian dari fenomena fundamentalisme secara global. Ketiga, paradigma “class analysis”. Paradigma ini menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial untuk menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam. Paradigma ini memfokuskan pada analisis kelas dan perjuangan kelas sebagai faktor utama munculnya fundamentalisme Islam. Hampir semua ilmuwan yang bertolak dari paradigma ketiga ini mengakui bahaya fundamentalisme terhadap perkembangan demokrasi, kebebasan sipil (civil liberties), hak azasi perempuan, kemajuan ilmu pengetahuan, etnik dan agama minoritas. Lihat, Masoud Kazemzadeh, Teaching the Politic of Islamic Fundamentalism, Political Science & Politics, March, 1998, http://www.findarticle.com/, 2-6.
56
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
membentuk fundamentalisme agama sebagai gerakan sosial (social movement). Terhadap fenomena fundamentalisme Islam misalnya, jihad seringkali disebut sebagai penyebab munculnya gerakan fundamentalisme dalam masyarakat Islam. Pemahaman seperti ini memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, tidak boleh juga dilupakan, adalah realitas sosial yang berkembang di luar yang dapat memicu penafsiran tipikal kaum fundamentalis dengan implikasi sosial yang mendasar pula. Salah satu cara memahami fenomena fundamentalisme dari perspektif sosiologi adalah dengan menempatkannya sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement). Cara ini memang akan membuka peluang munculnya kritik karena memang jarang sekali agama dikaitkan dengan gerakan sosial. Fokus analisis gerakan sosial terutama yang bertitik tolak dari paradigma gerakan sosial lama (old social movement paradigm) sama sekali tidak menyertakan agama, melainkan kelas (class) sebagai faktor utama munculnya gerakan sosial. Cara penafsiran semacam inilah yang disebut dengan class interpretation49. Kelas yang dimaksud di sini seperti dikemukakan Karl Marx, yaitu mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi (means of production)50. Gerakan sosial dalam perspektif Marxist dengan demikian identik dengan perjuangan kaum buruh untuk melakukan transformasi sosial yang lebih egaliter dan berkeadilan. Kesadaran yang mendorong gerakan sosial ini adalah kondisi material yang dialami kaum buruh yang disebabkan oleh adanya eksploitasi dari para pemilik modal (owner). Kalimat ini sengaja ditambahkan sekedar ingin mengeksklusi faktor lain yang tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap munculnya gerakan sosial. Agama misalnya. Dapat dimaklumi jika agama dieksklusikan dari proses gerakan sosial, sebab Marx sendiri berpandangan sangat negatif terhadap agama. Pernyataan Marx yang sangat terkenal adalah “the religion is the opiate of the people”51. Dengan pernyataan yang sangat mungkin membuat kaum agamawan gusar itu, Marx ingin mengungkap kenyataan agama dalam kehidupan sosial yang ia nilai hanya bisa memberikan hiburan sekedar menutupi penderitaan yang dialami umat manusia. Dengan fungsinya yang dinilai Marx tidak berarti, agama malah menjadi alat legitimasi atas penderitaan yang dialami manusia. Hal yang senada dikemukakan juga oleh Max Weber. Dengan mengaitkan fungsi agama dalam suatu konteks stratifikasi sosial tertentu, Max Weber
49 Jan Pakulski, “Social Movement and Class: The Decline of the Marxist Paradigm”, dalam Social Movement and Social Classes: The Future of Collective Action, ed. Louis Maheu,London: Sage Publication Ltd., 1995, 55. 50 Ken Marrison, Marx, Durkheim, Weber: Formation of Modern Social Thought, London: Sage Publication, 1995, 36. 51 J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion,New York: Macmillan Publishing Co, Inc.,1970,107.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
57
menemukan fungsi yang berbeda pada agama. Bagi stratifikasi sosial yang mempunyai hak-hak istemewa, agama berfungsi terutama sebagai alat untuk melegitimasi atau membenarkan posisi sosial mereka yang berkuasa dan memiliki hak-hak istimewa. Untuk stratifikasi yang tidak mempunyai hak-hak istemewa, di pihak lain, agama terutama penting sebagai suatu alat kompensasi dalam kehidupan lain terhadap kegagalan dan ketidakcukupan dalam hidup yang dialami. Akibatnya, peran agama dalam orde sosial sangat cenderung ke arah konservatif. Tetapi baik pandangan Marx maupun Weber, menurut Sanderson, mengabaikan peran agama yang sebaliknya, di mana agama di beberapa peristiwa berfungsi sebagai katalisator penting dalam usaha untuk melakukan perubahan. Dengan pernyataan ini, Sanderson ingin menunjukkan bahwa agama juga bisa tampil sebagai fenomena gerakan seperti yang diperlihatkan oleh gerakan revitalisasi dan milenarian. Gerakan sosio-religius seperti ini, menurut Sanderson, acapkali muncul jika dalam kehidupan sosial terjadi ketegangan dan krisis sosial yang ekstrim52. Dari paparan tentang peran sosial agama tersebut, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa agama bisa berperan secara sosial atau sebaliknya. Menurut Henri Desroche, ahli sosiologi agama dari Perancis, itu semua sangat tergantung bagaimana agama didefinisikan. Ia membagi definisi dalam tiga skema, yaitu: (1) definisi secara positif, agama merupakan suatu faktor dalam perkembangan sosial; (2) didefinisikan secara negatif, agama merupakan rintangan bagi perkembangan sosial; (3) didefinisikan secara kompleks hubungan agama dengan perkembangan sosial sangat tergantung pada fase atau tahapan agama; atau macam, fase atau tahapan perkembangan sosial53. Sejak tahun 1970-an, paradigma gerakan sosial yang memfokuskan pada perjuangan kaum buruh mengalami deklinasi karena tidak terbukti melahirkan revolusi. Di samping itu, pendekatan Marxis terhadap gerakan sosial dinilai terlalu determisnistik dan reduksionis sebab terlalu menekankan ekonomi dan kelas sebagai faktor utama perubahan. Kelemahan dalam pendekatan Marxist, mendorong munculnya paradigma gerakan sosial baru (new social movement paradigm). Paradigma baru ini, menurut Laode Ida54 tidak melihat gerakan sosial hanya terbatas pada konflik material, melainkan meluas sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat kontemporer. Gerakan sosial, menurut paradigma ini, dilakukan 52 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1991,531-532. 53 Seperti dikutip Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Rasionalitas Praindustri dalam Era Ilmu pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1994, 111. 54 Laode Ida, “Gerakan Sosial Kelompok Nahdatul Ulama (NU) Progresif”(Disertasi: Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), 36.
58
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
dengan cara melibatkan entitas sosial yang disebut dengan civil society. Salah seorang teoritikus yang berpengaruh terhadap paradigma gerakan sosial baru adalah Antonio Gramsci. Dalam penjelasannya mengenai gerakan sosial, Gramsci keluar dari determinisme ekonomi dan reduksinisme kelas Marxist menuju ke analisa yang didasarkan pada non kelas55. Jika dalam paradigma gerakan sosial lama, buruh ditempatkan sebagai entitas yang memiliki kesadaran melakukan perubahan, maka dalam paradigma gerakan sosial baru, kesadaran mengenai pentingnya perubahan justru berasal dari para kelas menengah terdidik ketimbang kelas pekerja (working class)56. Dalam paradigma sosial baru ini, agama nampaknya kurang memperoleh elaborasi yang memadai sebagai salah satu faktor yang dapat mendorong terjadinya gerakan sosial. Hal ini bisa saja terjadi mengingat kurang memadainya konstruksi sosiologis Barat terhadap agama, sebagaimana kritik Sharon Siddique. Menurutnya, konsep-konsep sosiologis Barat tentang agama lebih menekankan individu sebagai pusat analisa. Bahkan, ketika berbagai usaha yang dimaksudkan untuk menghadapi konsep-konsep yang lebih luas peran agama dalam masyarakat, arti motivasi individual masih tetap terpenting57. Meskipun agama kurang mendapatkan porsi yang memadai dalam analisis gerakan sosial, penelitian ini tetap ingin menempatkan fundamentalisme agama sebagai bagian dari jenis gerakan sosial dengan beberapa alasan sebagai berikut: pertama, gerakan fundamentalisme melibatkan banyak orang dan jaringan yang cukup luas yang bisa disebut dengan tindakan kolektif (collective action). Dari semua definisi tentang gerakan sosial, tindakan kolektif selalu dijadikan patokan utama gerakan sosial. Dengan kata lain, tanpa tindakan kolektif, gerakan sosial tidak mungkin bisa dilakukan. Sebagai contoh adalah definisi Herbert Blumer: “Social movement can be viewed as collective interpretes to establish a new order of life”58. Definisi lainnya berasal dari Turner dan Killan yang mendefinisikan gerakan sosial:”suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri”59.
55 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, 54. 56 Laode Ida, Gerakan…, hal. 38 57 Sharon Siddique, “Islam Kontemporer: Agama atau Ideologi?”, Pesantren No. 3/Vol. IV/ 1987, 17 58 Herbert Blumer, “Social Movement”, dalam Principle of Sociology , ed. Alfred Mclung Lee, New York: Barnes&Noble, Inc., 1966, 199. 59 Seperti dikutip Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1987, 195.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
59
Berikutnya definisi gerakan sosial dari Barbara Marliene Scott dan Mary Ann Schwartz60: “ Social movement is any collection of people who organize together to achieve or prevent some social or political change”. Terakhir, Gidden: “ A social movement maybe defined as a collective attempt to further a common interest, or secure a common goal, through collective action outside the sphere of established institutions”61. Tindakan kolektif pada dasarnya merupakan tindakan yang melibatkan orang dalam jumlah yang banyak. Bisa dimaklumi jika, misalnya Georg Simmel—salah satu pengembang teori gerakan sosial— menekankan signifikansi jumlah anggota (number) pendukung gerakan sosial, di samping, tentu saja, dukungan materi dan energi yang lain. Sebab, semakin banyak jumlah anggota bergerak, semakin besar pula pengaruhnya terhadap upaya perubahan yang dikehendaki atau tercapainya tujuan gerakan, dan sebaliknya, semakin sedikit kecil pula peluang tercapainya tujuan gerakan62 . Oleh karena itu, agar gerakan sosial bisa dilakukan secara efektif, jumlah yang besar itu perlu dibina menjadi apa yang disebut Mahasin63 dengan basis massa. Dengan kata lain, gerakan sosial harus memiliki dukungan basis massa yang juga mencerminkan suatu kesadaran sosial atau kelas tertentu. Tentu saja, membentuk basis massa bukanlah pekerjaan mudah. Seperti dikemukakan dalam teori mobilisasi sumber daya, gerakan sosial membutuhkan jaringan dan komunikasi serta organisasi yang canggih. Melalui organisasi, jaringan, dan organisasi, bisa dilakukan rekruitmen untuk kemudian dijadikan sebagai basis massa gerakan sosial. Setara dengan unsur-unsur gerakan sosial yang disebutkan tersebut, tidak boleh diabaikan juga peran ideologi dalam menggerakkan gerakan sosial. Alasan berikutnya, setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi64. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan. Karena itu, gerakan sosial perlu merumuskan kerangka ideologinya yang berisi: pertama, pernyataan tujuan gerakan; kedua, kumpulan kritik dan penilaian terhadap struktur yang akan diubah; ketiga, kumpulan doktrin yang bisa men60 Barbara Marliene Scott and Mary Ann Schwartz, Sociology: Making Sense of the Social World , Boston: Ally and Bacon, 2000, 76. 61 Anthony Giddens, Sociology,Cambridge: Politiy Press, 1991, 642. 62 Laode Ida, Gerakan…, 34. 63 Aswab Mahasin, “Gerakan Pinggiran”, Prisma 7, 1989, 4-6. 64 Ideologi yang dimaksud di sini mengacu pada pengertian yang netral seperti dirumuskan oleh Martin Seliger: “ Ideology is a set of ideas by which men posit, explain, and justify the ends and means of organized social action, resprective of wheter such action aims to preserve, amend, uproot or rebuild a given social order.”. Seperti dikutip kembali oleh Andrew Heywood, Political…,6.
60
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
justifikasi tujuan gerakan; keempat, seperangkat kepercayaan yang berhubungan dengan kebijakan, taktik, dan pelaksanaan gerakan dan; kelima, mitos gerakan65. Gerakan fundamentalsisme agama juga memiliki ideologi yang di dalamnya menurut Martin Riesebrodt66 mengandung dua hal utama yang saling berhubungan, yaitu: sejarah penyelamatan (salvation history) dan kritik sosial (social critique). Sebagaimana gerakan sosial pada umumnya, kritik sosial ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis dalam kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin diselamatkan oleh gerakan fundamentalisme agama dengan kembali kehidupan ideal masa lalu serta memberikan harapan eskatologis di masa depan. Hal inilah yang menyebabkan gerakan fundamentalisme disebut juga dengan gerakan nativis, messianis, dan millenarian. Alasan lainnya yang bisa digunakan untuk menempatkan fundamentalisme agama sebagai bagian gerakan sosial adalah latar belakang munculnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama tidak muncul dalam ruang hampa. Meskipun pertimbangan keagamaan tetap menempati peran utama dalam fundamentalisme67, tidak boleh dilewatkan juga realitas dan perkembangan yang ada di luar agama. Dalam hal ini diperlukan rujukan paradigma dan teori yang bisa menjelaskan
65 Herbert Blumer, Social Movement…, 210. 66 Martin Riesebrodt dan Pious Passion: The Emerge of Modern Fundamentalism in the United State and Iran, Berkeley: University of California Press, 1993, 22. 67 Kasus fundamentalisme Kristen bisa dijadikan contoh. Seperti yang dikaji Rifyal Ka’bah, fundamentalisme Kristen memiliki padangan teologis sebagai berikut: pertama, fundamentalisme melihat teks Bibel (Bible world) mempunyai pengertian mutlak, jelas dan tidak berubah. Kedua, kaum fundamentalis Kristen melihat ungkapan Bibel sebagai satusatunya ukuran kebenaran. Ketiga, kaum fundamentalis menyangkal segi manusiawi dalam ungkapan Bibel. Keempat, interpretasi kaum fundamentalis sering berhubungan dengan pandangan ramalan (apocalyptic view). Lihat Rifyal Ka’bah, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, Jurnal Ulumul Quran Nomor 3, Vol. IV, Th. 1993, 27. Perhatikan juga penjelasan Smart mengenai karakteristik kelompok fundamentalisme Kristen yang dilihat pada masing-masing dimensi keberagamaan dalam Kristen, yaitu: pertama, dimensi narasi (narrative dimension). Pada dimensi ini fundamentalisme Kristen lebih menekankan pada pemahaman cerita-cerita dalam Bibel seperti cerita tentang Eden, Israel, Kristus dan kedatangan Ruh (the spirit). Kedua, dimensi doktrin (doctrinal dimension). Pada dimensi ini mereka berpegang teguh pada ajaran trinitas. Ketiga, dimensi pengalaman (expriential dimension). Dalam dimensi ini mereka memiliki gairah yang kuat dalam memperoleh pengalaman yang mempribadi dengan Kristus. Keempat, dimensi ritual (ritual dimension). Dalam dimensi ini mereka menekankan pentingnya ibadah pribadi, dan pengajaran bentuk-bentuk ibadah utama , dengan menyanyikan himne dan pembacaan Bibel. Kelima, dimensi sosial dan institusional (social and institutional dimension). Pada dimensi ini mereka cenderung membuat garis keras untuk memisahkan dari para evangelis yang dipandang terlalu lemah atau bekerja sama dengan orang-orang yang salah. Keenam, dimensi etika (ethics dimension). Dalam dimensi ini mereka lebih menekankan pada pembentukan individu yang konservatif. Lihat, Ninian Smart, The World’s Religion, Cambridge: Cambridge University Press, 1989, 383-384.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
61
faktor di luar agama terhadap munculnya fundamentalisme agama. Sebagai bagian dari gerakan sosial, munculnya fundamentalisme bisa dijelaskan melalui tiga paradigma gerakan sosial seperti dikemukakan James L. Wood dan Maurice Jackson68. Paradigma yang dimaksud adalah, paradigma struktur-sosial (the social-structural paradigm); paradigma psikologi (the pschological paradigm), dan paradigma psikologi sosial (the social-pschological paradigm). Paradigma pertama, memfokuskan pada segala hal bentuk determinasi sosial yang berpengaruh pada munculnya gerakan sosial, seperti keluarga, kelompok kecil, struktur ekonomi, dan lain sebagainya. Paradigma kedua, memfokuskan kajian pada peran pribadi seperti motivasi pribadi, kebutuhan, nilai-nilai, yang mendorong munculnya gerakan sosial. Sedangkan paradigma ketiga, menekankan pada adanya hubungan antara struktur sosial dan karakter pribadi yang mendorong seseorang berpartisipasi dalam gerakan sosial. Fundamentalisme Islam bisa dijadikan contoh adanya pengaruh luar seperti diungkap terutama oleh paradigma ketiga. Sejarah perkembangan fundamentalisme memiliki akar pada Wahabisme di bawah pimpinan Muhammad ibn Abd al-Wahâb yang bekerja sama dengan seorang tokoh atau elit lokal di Nejd, Ibn Sa’ud. Gerakan Wahabi ini oleh beberapa ahli sejarah Islam, dianggap sebagai prototype gerakan fundamentalisme Islam yang muncul dalam masa-masa lebih belakangan, atau yang disebut dengan fundamentalisme modern dan kontemporer. Sedangkan gerakan Wahabi merupakan eksemplar gerakan fundamentalisme pra-modern. Munculnya fundamentalisme pra-modern ini tidak bisa dilepaskan dari suasana buram budaya keagamaan umat Islam pada abad ke-18 yang menyimpang jauh dari ajaran Islam murni dan mempraktikkan bid‘ah, khurafat, takhayul, dan semacamnya69. Dalam pandangan gerakan Wahabi, kondisi semacam inilah yang mengakibatkan umat Islam berada dalam kondisi yang sangat 68 James L. Wood and Mauri Jackson, Social Movement: Development, Participation, and Dynamics,California: Wodsworth Publishing Company Belmount, 1982, 33-35. 69 Praktik Islam demikian dalam tipe ideal yang dibuat Charles Kurzman disebut dengan tradisi Islam adat (customary Islam). Tradisi Islam jenis ini—sebagaimana juga dalam pandangan gerakan Wahabi—adalah Islam yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Di luar Islam adat, terdapat dua tradisi Islam lagi, yaitu: Islam revivalis (revivalist Islam) yang dikenal juga dengan sebutan Islamisme, fundamentalisme, atau Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi Islam adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Terakhir, Islam liberal (liberal Islam). Tradisi ini memiliki perbedaan dengan Islam adat, dan menyerukan keutamaan periode Islam paling awal untuk mengejar modernitas. Dalam Islam liberal ini, terdapat tiga model penafsiran syari‘ah, yaitu: syari‘ah liberal (liberal shari‘a), syariah diam (silent shari‘a), dan syari‘ah yang ditafsirkan (interpreted shari‘a). Lihat Charles Kurzman, Islam Liberal: A Source Book (Oxford: Oxford University Press, 1988), 5-18. Lihat juga, Charles Kurzman, “Liberal Islam: Prospects and Challenges”, Middle East Review of International Affairs, Vol. 3, No. 3/September 1999, 1-19.
62
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
terbelakang. Maka, untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran Islam murni, gerakan Wahabi melakukan purifikasi dan pemusnahan terhadap monumen-monumen sejarah yang mereka pandang sebagai sumbersumber praktik menyimpang70. Pengaruh yang sama juga dialami oleh gerakan fundamentalisme kontemporer. Bedanya, faktor sosial yang mempengaruhi gerakan fundamentalisme kontemporer bukan hanya praktek menyimpang dari Islam murni, melainkan kondisi keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh penetrasi Barat terhadap umat Islam dalam semua aspek kehidupan. Gerakan fundamentalisme kontemporer yang dipandang fenomenal karena bisa meruntuhkan dominasi Barat (Amerika Serikat) adalah Revolusi Iran pada 1979. Bagi sementara ilmuwan sosial, revolusi yang terjadi di Iran itu, memiliki makna teoritik untuk merevisi kembali teori gerakan sosial (social movement) terutama yang disebut dengan teori gerakan sosial lama yang lebih menekankan pada analisis kelas.Jelas Moeslim Abdurrahman71: Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan untuk melakukan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, sebab faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance” sering diremehkan
Sukses gerakan fundamentalisme kontemporer yang terjadi di Iran bisa dijadikan contoh untuk memperkaya kajian gerakan sosial. Apa yang terjadi di Iran pada tahun 1979 itu, bisa dijadikan sebagai contoh kasus implementasi gerakan sosial dengan pola revolutif dan redemtive sekaligus. Dalam kajian sosiologi, di samping pola gerakan sosial tersebut, juga terdapat pola gerakan sosial yang lain, yaitu: gerakan transformatif (transformative movement), gerakan reformatif (reformative movement), dan gerakan alteratif (alterative movement)72. Gerakan transformatif merupakan gerakan untuk merubah masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan gerakan reformatif adalah gerakan untuk merubah masyarakat dalam segi-segi tertentu. Adapun gerakan alteratif
70 Azyumardi Azra, Pergolakan…, 112. 71 Moeslim Abdurrahman, “Sumbangan Intelektual Ali Shariati”, Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional di Universitas Muhammadiyah Malang pada 4-6 Oktober 2002, 72 Dalam pembagian tipe gerakan sosial yang dibuat oleh Macionis, gerakan sosial alteratif disebut juga dengan alternative social movement yang mengandung pengertian sama seperti pengertian dari Giddens. Lihat, John J. Macionis, Socioloy,New Jersey: Printice-Hall,1991, 601. Lihat juga, Charles L. Hunter, dalam, Exploring Social Change (New Jersey: PrinticeHall,), 128. Dalam buku ini, Hunter juga membuat kategori gerakan sosial seperti gerakan sosial instrumental dan ekspresif. Gerakan sosial pertama berusaha mengubah struktur sosial masyarakat. Sedangkan yang kedua, merupakan gerakan sosial yang berusaha mengubah prilaku individu.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
63
merupakan gerakan yang bertujuan merubah sebagian perilaku perorangan. Sedangkan redemtif adalah gerakan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan masyarakat dari pandangan hidup yang dipandang korup dan tidak bermoral. Terakhir, gerakan revolusioner adalah gerakan untuk melakukan perubahan terhadap seluruh tatanan sosial seperti sistem politik dan sistem sosial73 . Dari penjelasan tentang paradigma gerakan sosial di atas, maka bisa dipahami bahwa gerakan fundamentalisme akan terus menjadi fenomena sosial, sepanjang tersedia faktor-faktor sosial yang mendorongnya. Bahkan, situasi yang berkembang dewasa ini, bisa berpotensi menjadi kondisi yang meniscayakan (sufficient condition) munculnya gerakan fundamentalisme agama. Situasi yang dimaksud adalah modernitas, yang di sisi lain, telah menimbulkan berbagai macam persoalan fundamental dalam kehidupan manusia, meskipun di sisi yang lainnya lagi, memberikan manfaat yang demikian besar bagi kehidupan manusia, terutama manfaat yang diperoleh berkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberadaan bidang ini nampak begitu mendominasi kehidupan manusia. Tak berlebihan jika John Naisbitt74 mengatakan, saat ini manusia sedang berada dalam “zona mabuk teknologi”. Tetapi, berkelindan dengan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi, sejumlah krisis fundamental mendera kehidupan manusia seperti diungkap oleh Nurcholish Madjid75 , yaitu: pertama, deprivasi relatif, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal pada orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti laju kemajuan, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kedua, dislokasi, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Ketiga, disorientasi, yaitu perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat yang ada tidak lagi bisa dipertahankan karena tidak cocok. Keempat, negativisme, yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada tatanan yang sudah mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan lain sebagainya. Nurcholish Madjid kemudian mengingatkan, jika krisis yang ditimbulkan oleh kemajuan tidak segera ditangani, akan menciptakan lahan subur bagi munculnya gejala-gejala radikalisme, fanatisme, sektarianisme, dan lainlain yang serba negatif. Namun demikian, menyebut agama sebagai satu-satunya faktor penggerak gerakan sosial memang beresiko pada terjadinya penarikan 73 Anthony Giddens, Sosiology…, 643. Lihat juga, Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, 202. 74 John Naisbitt, Nana Naisbitt, dan Douglas Philip, High Tech, High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi,Bandung: Mizan, 2001, 23. 75 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,Jakarta: Paramadina, 1997, 194-195.
64
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
kesimpulan yang berlebihan, yang dalam logika disebut fallacy of dramatic instance. Pandangan yang proporsional adalah dengan meletakkan agama bersama-sama dengan variabel sosial lainnya yang menggerakkan gerakan sosial. Pembahasan ini selanjutnya coba memaparkan kondisi sosial sebagai pemicu munculnya gerakan sosial. Meskipun banyak sekali perspektif teori dalam sosiologi, pembahasan berikut ini hanya mengambil salah satu teori saja, yaitu dari Neil J. Smelser yang berhasil menemukan enam faktor determinan penyebab munculnya gerakan sosial. Dalam pandangan Smelser, keenam faktor tersebut saling terkait dalam memicu terjadinya gerakan sosial. Keenam faktor yang dimaksud sebagai berikut76: Pertama, structural condusiveness. Gerakan sosial bermula dari adanya struktur yang mendukung. Dengan mengambil contoh perubahan yang terjadi di Indonesia, struktur pendukungnya adalah munculnya krisis. Pada mulanya krisis ekonomi yang terus berlanjut pada krisis multi dimensi. Akumulasi krisis ini menjadi struktur kondusif terhadap munculnya gerakan sosial. Hal yang sama juga terjadi pada gerakan sosial keagamaan. Munculnya gerakan sosial keagamaan juga diawali oleh adanya krisis antara tuntutan doktrin agama dengan praktiknya. Pada kasus gerakan Islam modern misalnya, kondisi krisis yang menjadi pemicu munculnya gerakan ini adalah keterbelakangan umat Islam setelah tidak lagi konsisten dengan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân dan alSunnah. Kedua, Structural strain. Gerakan sosial semakin tidak terbendung apabila struktur kondusif menimbulkan ketegangan struktural. Dengan adanya krisis eknomi, misalnya, daya beli masyarakat turun. Daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja juga menurun. Maka terjadilan pengangguran. Dalam kasus seperti ini social malaise tidak bisa dihindarkan. Ketegangan, bahkan konflik, terjadi di mana-mana. Keadaan seperti ini dapat mempercepat gerakan sosial. Ketiga, the growth of a generalized belief. Ketegangan struktural menurut Smelser belum begitu mencukupi dalam menghasilkan tindakan kolektif. Maka agar gerakan sosial bisa diwujudkan diperlukan penjelasan mengenai permasalahan dan solusinya. Dalam konteks ini, interaksi sosial sangat diperlukan untuk saling bertukar pikiran dalam merespon persoalan yang dihadapi bersama. Keempat, precipatating factors. Dari segi waktu, gerakan sosial seringkali membutuhkan waktu yang lama. Tetapi gerakan sosial bisa dipercepat jika ada faktor yang mendukungnya. Faktor-faktor itu bisa berupa peristiwa, bisa juga dalam bentuk kehadiran tokoh kharismatik.
76 James W. Vander Zanden, Sociology the Core,New York: McGraw-Hill Publishing Company, 1990, 371-373.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
65
Kelima, the mobilization of participant for action. Terjadinya gerakan sosial sangat tergantung juga pada tersedianya kelompok yang bisa diorganisasi dan dimobilisasi untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Pada tahapan ini, pemimpin dan komunikasi serta suplai dana sangat dibutuhkan bagi eksistensi gerakan sosial. Keenam, operation of social control. Tidak seperti faktor determinan lainnya, kontrol sosial justru mencegah, menyela, dan menghalangi gerakan sosial. Kontrol ini biasanya dilakukan oleh negara. Ada dua bentuk kontrol terhadap gerakan sosial dari pemerintah. Kontrol pertama berbentuk upaya pencegahan terhadap munculnya tindakan kolektif dengan cara mengurangi faktor pendukung dan ketegangan struktural seperti melalui peningkatan kesejahteraan. Kontrol kedua dengan cara menekan perilaku kolektif setelah gerakan dimulai seperti mengerahkan petugas keamanan dan menerapkan jam malam. Tetapi tekanan ini tidak selamanya efektif. Bahkan banyak kasus menunjukkan, semakin mendapatkan tekanan, semakin mempercepat terjadinya gerakan sosial. 4.
Penutup Pada bagian kedua telah dikemukakan beberapa hasil penelitian terdahulu yang memfokuskan pada fenomena fundamentalisme. Meskipun terbilang melimpah, tidak berarti kajian terhadap fundamentalisme telah sampai pada titik jenuh. Dari perspektif pengembangan ilmu, kesinambungan penelitian mutlak diperlukan. Terutama terhadap hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh para peneliti tentang fenomena gerakan keagamaan yang ternyata begitu beragam, penting disadari terhadap adanya dua hal pokok apa yang dalam kajian filsafat ilmu disebut dengan context of discovery dan context of justification.77 Yang ingin ditekankan dalam context of discovery adalah bahwa, ilmu pengetahuan, tentu saja, di dalamnya termasuk hasil penelitian sosial tentang fenomena keagamaan, tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Adapun yang dimaksud dengan context of justification adalah konteks di mana kajian ilmiah dan hasil-hasilnya akan selalu diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Semua faktor di luar yang ilmiah ini, harus ditinggalkan. Satu-satunya yang dipentingkan adalah bukti empirik dan penalaran logisrasional dalam membuktikan kebenaran suatu tesis atau teori. Berdasarkan pada adanya context of discovery dan context of justification ini, maka apa yang telah dihasilkan oleh para peneliti, tentu saja,
77 A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta : Kanisius, 2001, 154.
66
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
terbuka sekali peluangnya untuk dikritik melalui mekanisme penelitian ilmiah pada masa-masa yang akan datang. Yang mendasari pemikiran ini, karena penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para ilmuwan, sangat berhubungan dengan suatu konteks ruang dan waktu tertentu, sehingga, misalnya, teori yang dihasilkan, akan selalu dipertanyakan relevansinya sebagai alat untuk menganalisis (tool of analysis) perubahan suatu fenomena. Dengan bertolak dari dua aspek dalam kajian filsafat ilmu itu, pembahasan ini diharapkan memberikan kontribusi untuk memperkaya pendekatan dalam meneliti fenomena keagamaan, lebih-lebih fenomena fundamentalisme. Teori yang ingin ditawarkan dalam memahami fenomena fundamentalisme adalah gerakan sosial (social movement). Baik dalam teori gerakan sosial lama (old social movement) maupun sosial baru (new social movement), peran agama jarang diperhatikan sebagai salah satu faktor determinan dalam mewujudkan gerakan sosial. Dengan demikian, pilihan pada teori gerakan sosial diharapkan dapat memberikan afirmasi teoritik terhadap peran agama. Agama, dengan demikian, tidak dapat dipahami hanya sebagai suatu epifenomena dari hubungan-hubungan produksi sebagaimana terungkap dalam kategori Marxis-ortodoks. Lebih dari itu, agama, seperti dikemukakan Hikam78, memiliki kemampuan mengkonstruksi sosial, kontra diskursus atau kontra hegemoni terhadap ideologi dan tindakan-tindakan dominan yang ada. Sebagai suatu gerakan keagamaan yang muncul dalam suatu konjungtur sosial dan historis tertentu, gerakan fundamentalisme sebenarnya bisa dipahami dalam kerangka kontra diskursus dan hegemoni, misalnya terhadap modernisme dan modernitas. Di sini, agama dalam gerakan fundamentalisme, menjadi instrumen konstruks sosial dan kekuatan perubahan sekaligus. *)
Syamsul Arifin: Doktor di dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya; kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat di Universitas Muhammadiyah, Malang
BIBLIOGRAFI Abdurrahman, Moeslem, “Sumbangan Intelektual Ali Shariati”, Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional di Universitas Muhammadiyah Malang pada 4-6 Oktober 2002. Aziz, Abdul, dkk., Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989. Azra, Azyumardi, “Radikalisasi Salafi Radikal”, Tempo, 25 Mei 2003.
78 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta : LP3ES, 1996, 133.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
67
Barber, Benjamin R., Jihad vs McWorld: Fundamentalisme, Anarkisme Barat, dan Benturan Peradaban,Surabaya: Pustaka Promethea, 2002. Beinin, Joel dan Stork, Joe, “On the Modernity. Historical Spesificity, and International Context of Political Islam”, dalam Political Islam : Essay from Middle East Repost, ed. Joel Beinin dan Joe Stork, London: I.B. Taurus Publishers, 1997. Bell, Catherine, Ritual: Perspective and Dimensions, New York: Oxford University Press, 1997. Blumer, Herbert, “Social Movement”, dalam Principle of Sociology , ed. Alfred Mclung Lee, New York: Barnes&Noble, Inc., 1966. Chouri, Youssef, “Islam dan Fundamentalisme”, dalam Ideologi Politik Kontemporer, ed. Roger Eatwell dan Anthony Wright, Yogyakarta: Jendela, 2004. Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan : Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia,Jakarta : Teraju, 2002. D. Douglas, Jack, dan Waksler, Frances Chaput, “Kekerasan”, dalam Teoriteori kekerasan, ed. Thomas Santoso, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Elias, Norbert, “Violence and Civilization: the State Monoply of Physical Violence and Its Infringement”, dalam Civil Society and the State: New European Perspective, ed. John Keane, London: Verso, 1988. Esposito, John L.,, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, Bandung: Mizan, 1994. Effendy, Bahtiar dan Prasetyo, Hendro, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIMIAIN, 1998. Esposito, John L., Unholy War: Teror atas Nama Islam, Yogyakarta: Ikon, 2002. Euben, Roxanne L., Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, Jakarta: Serambi, 2002. Fakih, Mansour, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Fananie, Zainuddin, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosia, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002. Fealy, Greag , Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKIS, 2002. Fromm, Erich Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Galtung, Johan, “Kekerasan Kultural”, Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, IX/2002 Geertz, Clifford , The Religion of Java, London: The Free Press of Glencoe Collier-Macmillan Limited, 1960. Geertz, Clifford, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982. 68
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Gidens, Anthony, Sociology , Cambridge: Politiy Press, 1991. Graudy, Roger A., Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya, (Bandung: Pustaka, 1992) Hasan, Riaz, Islam : dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, Jakarta : Rajawali, 1985. Hikam, Muhammad AS., Demokrasi dan Civil Society, Jakarta : LP3ES, 1996. Hoffman, Bruce, “The Confluence of International and Domestic Trends in Terrorism”, http://www.cianet.org/wps/hob01/, 7//6/97. Horton, Paul B., dan Hunt, Chester L., Sosiologi ,Jakarta: Erlangga, 1987. Hoult, Thomas Ford, Dictionary of Modern Sociology, New Jersey: A Little Field Adan & Co, Totowa, 1977. Ida, Laode, “Gerakan Sosial Kelompok Nahdatul Ulama (NU) Progresif”, Jakarta; Universitas Indonesia, 2001. Jainuri, Achmad, “Terorisme: Arti dan Karakteristiknya”, Surya, 17 Nopember 2002, dan “Terorisme, Streotyping, dan Target”, Surya, 18 Nopember 2002. Jamhari dan Jahroni, Jajang, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Johnstone, Ronald J., Religion in Society: A Sociology of Religion, New Jersey: Prientice-Hall, Inc.,1983. Johnson, James Turner, Ide Perang Suci dalam Tradisi Islam dan Barat, Yogyakarta: Qalam, 2002. Ka’bah, Rifyal, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, Jurnal Ulumul Quran Nomor 3, Vol. IV, Th. 1993. Keraf, A. Sonny dan Dua, Mikhael Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta : Kanisius, 2001. Kazemzadeh, Masoud, Teaching the Politic of Islamic Fundamentalism, Political Science & Politics, March, 1998, http://www.findarticle.com/. Kurzman, Charles, Islam Liberal: A Source Book, Oxford: Oxford University Press, 1988. Kurzman, Charles, “Liberal Islam: Prospects and Challenges”, Middle East Review of International Affairs, Vol. 3, No. 3/September 1999 Macionis, John J., Sociology, New Jersey: Printice-Hall,1991. Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’ati Islami (Pakistan,)Jakarta : Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997. Marliene, Barbara Scott and Schwartz, Mary Ann, Sociology: Making Sense of the Social World, Boston: Ally and Bacon, 2000. Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
69
Marrison. Ken, Marx, Durkheim, Weber: Formation of Modern Social Thought, London: Sage Publication, 1995. Mas’od, Mochtar, Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK, 2000. Mughni, Syafiq A., “Agama dan Kekerasan Suci: Jejak Sejarah Kekerasan Manusia”, Makalah dalam Kajian Rutin kekerasan di Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang, Mei-September 2001. Naisbitt, John, High Tech, High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung: Mizan, 2001. Newson, David D.,“Islam in Asia: Ally or Adversary?”, dalam Islam in Asia: Religion, Politics, and Society , John L. Esposito (ed.), New York and Oxford: Oxford University Press, 1987. Pakulski, Jan, “Social Movement and Class: The Decline of the Marxist Paradigm”, dalam Social Movement and Social Classes: The Future of Collective Action, ed. Louis Maheu, London: Sage Publication Ltd., 1995. Prasetyo, Eko, Membela Agama Tuhan : Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global , Yogyakarta : Insist, 2002. Ranstop, Magnus, “Terrorism in the Name of Religion”, http:// www.ciaonet.org/wps/ram01/, 7/6/97. Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif , Bandung: Mizan, 1986. Riesebrodt, Martin dan Passion, Pious: The Emerge of Modern Fundamentalism in the United State and Iran , Berkeley: University of California Press, 1993. Rubin, Barry, “Islamic Radicalism in the Middle East : A Survey and Balance Sheet”, Middle East Review of International Affair, Vol. 2, No. 2, May 1998. Santoso, Thomas, Kekerasan Tanpa Agama, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002. Salim, Peter dan Salim, Yuny, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 1991. Sanderson, Stephen K.,, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Sidahmeh, Abde Salam dan Ehterhami, Anonshirawan, Islamic Fundamentalism, Westview Press, USA, 1999. Shepard, William, “What is Islamic Fundamentalism”, Study in Religion/ Sciences Religionces 17/1, 1988. Siddique, Sharon, “Islam Kontemporer: Agama atau Ideologi?”, Pesantren No. 3/Vol. IV/1987, 17 Smart, Ninian, The World’s Religion, Cambridge: Cambridge University Press, 1989. 70
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 8 No. 1, Maret 2008
Syukur, Abdul, Gerakan Usroh di Indonesia : Peristiwa Lampung 1989, Yogyakarta : Ombak, 2003. Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Rasionalitas Praindustri dalam Era Ilmu pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1994. Tibi, Bassam, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley: University of California Press, 1998. Voll, John O., “Fundamentalisme”, dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, ed.John L. Esposito, Bandung: Mizan, 2001. Wood, James L., and Jackson, Mauri , Social Movement: Development, Participation, and Dynamics, California: Wodsworth Publishing Company Belmount, 1982. Yinger, J. Milton, The Scientific Study of Religion, New York: Macmillan Publishing Co, Inc.,1970. Yunanto, S.(ed.), Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, Jakarta: The Ridep Institute, 2003. Zada, Khamami, Islam Radikal : Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta : Teraju, 2002. Zanden, James W. Vander, Sociology the Core, New York: McGraw-Hill Publishing Company, 1990. Zeidan, David, “The Islamic Fundamentalist View of Life it’s a Perenial Battle”, Middle East Review of International Affairs, Vo. 5, No. 4 (December 2001). Zubaida, Sami The People and the State: Essays on Political Ideas and Movement in the Middle East, London: I.B. Tauris & Co. Ltd . Publisher, 1989.
Syamsul Arifin, Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial
71