PLURALITAS AGAMA SEBAGAI MEDIA INTEGRASI SOSIAL (Ikhtiar Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa) Amir Tajrid
Abstract: Dewasa ini umat beragama menghadapi tantangan teologis terbesar dalam mendefinisikan dirinya di tengah pluralitas agama. Dalam konteks keIndonesiaan terkadang tantangan teologis paling besar tersebut justru terjadi dikalangan intern umat beragama. Dalam konteks ini juga telah disadari semakin intensnya pertemuan-pertemuan di antara berbagai tokoh agama-agama untuk mendialogkan masalah-masalah umat. Pada tingkat individu memang hubungan mereka tampak harmonis. Tetapi pada tingkat teologis masih mengalami kendala yang cukup besar baik di tingkat elit agama maupun masyarakat awam. Dalam tingkatan ini kebenaran agama dikondisikan menjadi sesuatu yang absolut dan tidak mengenal pluralitas. Untuk itu, pandangan pluralitas agama menjadi sesuatu yang urgen sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
ﺺ ﰱ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ ﻗﺪ ﺗﻮﺟّﻪ ّ وﻣﺎ ﳜ.أﻧﻔﺴﻬﻢ وﺳﻂ ﺗﻌﺪد اﻷدﻳﺎن وﻗﺪ ﻋﻘﺪت ﻋﺪة اﻟﻠﻘﺎء.اﻟﺘﺤﺪّﻳﺎت اﻻﻋﺘﻘﺎدﻳﺔ ﻣﻦ داﺧﻞ اﻷﻣﺔ ﻧﻔﺴﻬﺎ وﰱ اﻟﺮﺗﺒﺔ اﻟﺸﺨﺼﻴﺔ.واﳌﺸﺎورة ﺑﲔ رؤﺳﺎء اﻷدﻳﺎن ﻟﺘﺤﻠﻴﻞ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻷﻣﺔ وﰱ اﻟﺮﺗﺒﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎدﻳﺔ ﺗﻮﺟّﻪ اﻟﺘﺤﺪﻳﺎت.ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻌﻼﻗﺔ ﺑﲔ ﻛﻞ اﻟﻔﺮد ﺧﲑ و ﰱ ﻫﺬﻩ اﻟﺮﺗﺒﺔ ﻓﺼﺎرت. ﻟﺬاﻟﻚ ﺻﺎرت ﻧﻈﺮﻳﺎت.ﺻﺤﺔ اﻟﺪﻳﻦ ﻗﻴﻤﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﻌﺮف اﻟﺘﻌﺪد ﺗﻌﺪد اﻷدﻳﺎن ﻣﻬﻤﺔ ﻟﻮﺳﻴﻠﺔ اﻟﺘﻮﺣﻴﺪ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﻟﺘﺄﻳﻴﺪ ﻗﻮة اﲢﺎد اﻟﺸﻌﺐ .واﻷﻣﺔ
Sekolah Tinggi Agama Islam Negari (STAIN) Samarinda dan Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Kutai Timur Kalimantan Timur.
1
At present, religious community faces big theological challenge in defining themselves in religious plurality. In Indonesian context, the biggest theological challenge sometimes happens in internal religious community. In this context, it is also understood that the meetings among religious figures to dialogue their communities’ problems. At individual level, their relationship seems harmony, but at theological level, it still experiences big enough obstacle, either at religious elite or laity. At this level, religious truth is conditioned be something absolute and not plural. Therefore, religious plurality view becomes something urgent as a medium of social integration in consolidating framework of nation unity. Kata Kunci: Pluralitas, Integrasi sosial, eksklusif
PENDAHULUAN Realitas dunia adalah plural. Pluralitas ini mewujud dalam bentuk budaya, bangsa, suku, agama, serta lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Realitas dunia yang plural ini berkembang menjadi sebuah pluralisme, sebuah paham yang mengakui adanya kemajemukan. Dalam konteks agamaagama inilah kajian pluralisme agama menjadi sangat relevan. Berangkat dari paham kemajemukan agama ini, kesadaran akan pluralitas agama dapat dijadikan medium dialog antar budaya (termasuk di dalamnya agama) bukan sebaliknya sebagai Clash of Civilization? sebagaimana tesis Huntington. Kesadaran pluralitas agama yang mengalami peningkatan dewasa ini, dalam kenyataannya, masih mengalami banyak problem dan tantangan yang cukup serius. Secara fungsional agama-agama dalam perspektif sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia dapat menjadi faktor disintegrasi dan disharmoni tatanan sosial yang berlaku pada masyarakat, negara, dan bangsa tertentu. Bukti-bukti sejarah dapat digunakan untuk mendukung adanya fakta tersebut. Pada abad pertengahan, misalnya, telah terjadi perang salib antara Islam dengan kristen yang menjadi noda hitam bagi hubungan keduanya. Memasuki abad modern, perang ini pun masih terjadi walaupun mengambil bentuk yang berbeda. Pluralitas agama masih dipandang sebagai barang haram dan belum diterima secara total oleh umat beragama. Hal ini ditandai oleh beberapa hal.
2
Pertama, masih adanya toleransi basa-basi antar pemeluk agama seperti dapat dilihat pada penampilan pemimpin dan tokoh agama pada acara formal ketika meredam konflik. Ia masih sebatas ceremonial, bersifat pemikiran, belum menyentuh pada tindakan faktual, dan masih bersifat persepsif dikalangan elit agama. Kedua, masih adanya konflik atau bahkan perang antar agama. Di abad modern ini, perang Amirika-Irak, dapat dipahami sebagai perang atas nama agama, karena dalam pidatonya, G.W. Bush, menyebutnya “Crusade”, perang suci atas nama agama. Ketiga, adanya klaim kebenaran (truth claim). Inilah problem terberat umat beragama dalam menampilkan diri di tengah-tengah pluralitas agama yang juga menjanjikan jalan kebenaran dan keselamatan yang seringkali memunculkan truth claim. Ajith Fernando menyatakan: ”Other relegions are false paths that mislead their followers” (Rahman, 2001: 34). Hugh Goddard dalam Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995), menyimpulkan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam: apa yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman dan saling menjadi ancaman diantara keduanya adalah suatu kondisi adanya standar ganda. Standar ganda ini memunculkan prasangkaprasangka teologis dan memperkeruh hubungan diantara keduanya. Anggapan ada-tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan ini. Melalui standar ganda ini dapat disaksikan perang klaim kebenaran dan janji penyelamatan yang berlebihan dari suatu agama atas agama yang lain terus berjalan hingga sekarang. Kecenderungan umat beragama melakukan klaim kebenaran sendiri-sendiri dan bersifat sepihak ini dijelaskan dalam al-Qur’an, seperti ayat: Q.S. 2: 111, Q.S. 2: 111, Q.S. 3: 85, Q.S. 2: 120. Masih dipandangnya pluralitas agama sebagai barang haram tersebut sangat bertentangan dengan pesan universal al-Qur’an dan mengabaikan pluralitas dan inklusifitas yang digagasnya dan telah dipraktekkan oleh Nabi SAW pada periode Madinah. Atas dasar itu, tulisan ini akan menelusuri dan sekaligus memetakan sikap dan pandangan umat beragama terhadap adanya pluralitas agama dan usaha menjadikannya sebagai media integrasi sosial. sehingga salah-
3
pengertian antar umat beragama dapat dihindarkan. Pluralitas agama bukan menjadi momok yang menakutkan tetapi sebaliknya dapat dijadikan sebagai media integrasi sosial sebagai ikhtiar memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa kita, Indonesia. PEMBAHASAN A.
Pluralitas Agama, Realitas Sosial, dan Toleransi Ragam agama dengan berbagai kitab suci yang dimilikinya baik yang
bersifat ardhi maupun samawi merupakan bukti empiris adanya pluralitas agama. Pluralitas agama ini kemudian mewujud menjadi realitas sosial yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, secara historis dikenal banyak umat agama dan kepercayaan seperti: Sabi’ah, Yahudi, Nasrani, Islam, Budha, Hindu, Konghucu, Sinto, dan lainnya. Eksistensi pluralitas agama sebagai sebuah realitas sosial dengan demikian menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menolak nalar baku berarti menolak realitas dan ini berarti lari dari kenyataan hidup, lari dari ayat-ayat kawniyah yang diberikan oleh Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan orang lain. Karena itu, bagi umat manapun, pluralitas agama harus dikaji dan dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial. Pengalaman spiritual kita seringkali membuktikan ketika kedua realitas itu tidak mampu disatukan maka akan mudah sekali memicu terjadinya konflik antar umat beragama. Dalam konteks demikian, kemampuan dalam memposisikan dan memanfaatkan kedua realitas tersebut sebagai bagian obyektif dari pemenuhan kebutuhan dan kepentingan menjadi keharusan bagi setiap umat agama. Dengan metode ini setiap umat agama senantiasa mampu mengantisipasi cara terbaik untuk hidup bersama dalam keberagaman secara rukun dan damai. Kemampuan mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial dalam bingkai pluralitas agama menjadi sangat penting (urgent), sebab hubungan manusiawi biasanya sulit dilakukan antar individu-individu yang
4
berlainan keyakinan vertikalnya. Keberadaan agama biasanya merupakan variabel penyebab munculnya beragam rintangan komunikasi antar sesama umat manusia dalam melakukan interaksi sosial. Kenyataan di lapangan memperkuat asumsi ini, seperti kasus kekerasan yang menimpa Islam Ahmadiyah di Bandung dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di sekitar Tugu Monas Jakarta yang masih hangat dalam ingatan kita, kasus Ketapang, Kupang, Ambon, dan daerah-daerah lain di Indonesia serta kasus kekerasan di negara lain sebagaimana yang menimpa suku Uighur, Xinjiang, China, beberapa bulan yang lalu. Ketidakmampuan umat beragama dalam mengakui kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan pembudayaan sikap serta perilaku individual dan sosial
untuk
melakukan
pembenaran
terhadap
kepentingan
keyakinan
keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umat agama lain. Akibatnya terbentuk sikap individual dan sosial yang tidak siap menerima kehadiran umat dan agama lain yang bukan termasuk kelompok dan agamanya. Sikap seperti ini pada akhirnya akan merusak pranata sosial, politik, serta merobek-robek pluralitas—sebagai bagian dari hukum dan ketetapan Tuhan— yang bila dicermati secara mendalam akan melahirkan sikap toleransi terhadap sesama umat beragama. Bila kesadaran akan pluralitas agama naik, maka naik pula sikap toleransi yang dimiliki umat beragama. Demikian juga sebaliknya, bila kesadaran akan pluralitas agama turun, maka turunlah sikap toleransi tersebut. Kurangnya sikap tolerans terhadap sesama umat beragama akibat melemahnya kesadaran akan pluralitas agama di era global ini di duga kuat menjadi pemicu banyaknya konflik agama di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat asumsi sementara orang bahwa sikap toleransi dan relegiusitas bangsa ini sesungguhnya baru berada pada kulit luarnya saja, belum menyentuh
aspek
bathiniyah
(kesadaran
terdalam)-nya.
Andaikan
telah
menyentuh aspek bathiniyahnya tentu tidak akan terjadi konflik di negeri ini. Negeri yang tidak hanya beragam agamanya tetapi juga beragam realitas sosialnya. B. Pluralitas Agama dan Konflik Kekerasan di Indonesia
5
Indonesia merupakan negara potensial karena pluralitas suku, agama, ras, golongan, dan bahasa yang dimilikinya. Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut dapat bernilai positif bila rakyat dan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam perbedaan dan keragaman. Di sini pulralitas agama dapat menjadi perekat bagi umat beragama bila penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya dilakukan secara bertanggungjawab. Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Tetapi sebaliknya, pluralitas tersebut dapat berubah menjadi potensi konflik dan bencana yang maha dahsyat bagi negara dan bangsa ini bila kita semua tidak mampu mengelolanya dengan baik. Di sini salah satu faktor pemicunya adalah bila agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir manusia
yang
ingin
mendapatkan
keuntungan
dan
kekuasaan
dengan
menggunakan media agama. Agama sekedar dijadikan kedok untuk mengelabui umat manusia. Ingat! Belajar dari tradisi postkolonial yang dikembangkan Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhaba, teks—termasuk di dalamnya tafsir agama—tidak hanya bersifat gendered (mendukung ideologi tertentu), tapi pada saat yang sama juga bersifat classed (mendukung kelas tertentu), racialised (mendukung ideologi ras dan bangsa tertentu), dan seterusnya. Dalam tafsir agama terdapat persimpangan berbahaya antara gender, ras, kelas, bangsa, dan seksualitas. Mengapa demikian? Lantaran manusia pada saat yang sama punya latar belakang gender, kelas, ras, bangsa dan seksualitas. Sebagai bangsa yang relegius, bangsa Indonesia dituntut untuk mempunyai kemampuan mengelola (manage) pluralitas agama menjadi perekat seluruh warga negaranya. Karena itu, pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia harus di kelola dengan baik oleh semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah. Sebab, semua itu merupakan realitas sosial sekaligus teologis yang tidak dapat dipungkiri. Pluralitas agama yang ada di negeri ini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Secara historis nenek moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang percaya adanya kekuatan yang ada di luar dirinya. Oleh karena itu sebelum agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, serta lainnya datang ke kepulauan
6
nusantara ini, nenek moyang bangsa Indonesia telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kondisi inilah yang menyebabkan agama-agama baru tersebut mudah masuk, diterima secara damai, dan berkembang dengan subur tanpa adanya perlawanan dan unsur-unsur kekerasan. Gambaran keadaan tersebut memberikan asumsi bahwa pluralitas agama di negeri ini terjadi akibat beragamnya keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan Islam yang menyatakan bahwa Tuhan (Allah SWT) menciptakan makhluknya dalam kondisi beragam. Banyak ayat yang mendukung pernyataan ini. Tuhan memang sengaja membuat mereka berbeda (heterogen) dan tidak seragam.
Bukan karena Tuhan tidak
mampu untuk membuatnya seragam (homogen), tetapi Tuhan ingin mengetahui siapa di antara mereka yang terbaik dalam menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi sebagaimana kontrak premordial yang telah disepakati oleh keduanya (Tuhan dan Manusia). Heterogenitas oleh Tuhan tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justeru diberi ruang untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi. Tetapi ingat! Saling bekerjasama tidak akan pernah terjadi begitu saja tanpa ada usaha (ikhtiar). Bekerja sama di antara umat beragama dapat terwujud bila tercipta kondisi saling mengenal, saling menghormati, dan saling menerima. Saling mengenal artinya adalah lebih dalam dari sekedar tahu, tetapi berlanjut kepada mengerti, saling menghargai, memberi ruang dan peluang yang proporsional dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Kondisi demikian harus selalu diusahakan, baik oleh individu-individu maupun oleh lembagalembaga, termasuk juga pemerintah. Sayangnya, pesan Tuhan yang agung seperti itu sering terabaikan. Manusia lebih cenderung memilih homogenitas dan pengelompokan (polarisasi) demi untuk membedakan dirinya dengan yang lain. Heterogenitas, dengan demikian, merupakan bagian dari hukum Tuhan, yang dalam Islam dikenal dengan istilah sunnatullah. Dengan perbedaan dan keberagaman, kehidupan menjadi dinamis dan disinilah implementasi fastabiq alkhayrat benar-benar memerlukan pembuktian secara nyata bagi setiap individu maupun beragam kelompok, tidak hanya sekedar menjadi slogan kosong tanpa
7
makna. Di sini pula perbedaan dan keberagaman (pluralitas) menjadi rahmat bagi manusia. Bukan justeru dinilai sebagai bencana. Karena itu, pluralitas agama (sebagai bagian dari wujud heterogenitas) yang dianut oleh umat manusia di tempat dan negara manapun mesti dan harus dimaknai sebagai realitas vertikal yang mengajarkan hubungan antara makhluk dengan Sang Khaliq dan sekaligus sebagai realitas horisontal yang mengajarkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Agama sebagai jembatan penghubung antara penyembah (’abid) dengan yang disembah (ma’bud) dan juga mengatur bagaimana cara bermu’amalah antar sesama penyembah (baina alibad). Secara teoritis, setiap agama oleh penganutnya diyakini mengajarkan sikap toleran, penghormatan, dan pengakuan atas eksistensi agama-agama lain. Dalam konteks pluralitas agama, empat belas abad yang lalu, Islam (dan juga mungkin agama lain) telah menegaskan toleransi, penghormatan, serta pengakuannya terhadap agama lain sebagaimana ditegaskan sendiri oleh al-Qur’an: Lakum dinukum waliadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Bahkan tidak hanya itu, Islam juga mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap bentuk perbedaan amaliah yang bersifat furu’iyah dikalangan intern umat Islam dengan prinsip Lana a’maluna walakum a’malukum (bagi kami amaliah kami dan bagi kalian amaliah kalian). Tetapi secara praktis, pluralitas agama ini belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang multi etnis dan multi agama. Mereka masih enggan menerimanya secara total. Kecenderungan homogenitas dalam arti sebenarnya masih tampak dimana-mana. Masih banyak kesulitan melakukan dialog diantara kelompok-kelompok yang ada. Andaikan ada dialog, hal itu masih bersifat ceremonial dan formalistik yang belum menyentuh pada problem initi (core problem) yang dihadapi. Kecenderungan homogenitas tersebut di luar kesadaran para penganut agama ternyata menimbulkan anggapan dan bahkan mungkin
pandangan: in
group lawan out group, nahnu lawan hau-ulaa’; kami atau mereka, aku atau dia. Pandangan in group lawan out group ini, dalam banyak hal mumudahkan timbulnya peruncingan-peruncingan yang mengarah pada konflik serta tindakan
8
kekerasan (violence). Peruncingan yang mengarah pada konflik serta tindakan kekerasan seperti itu, akan memeperoleh lahannya secara luas ketika diantara mereka terjadi kompetisi dalam memperebutkan hal-hal yang bersifat prinsipil, strategis, dan perspektif. Dalam kondisi seperti itu, mereka umumnya ingin mengutamakan pihaknya lebih awal. Dalam kerangka kompetisi itu pula, bisa terjadi kondisi-kondisi yang sering negatif, seperti: prasangka, penolakan, dan saling membenci. Di sini pula rendahnya kesadaran akan pluralitas agama sering menghadirkan persikapan, dan perlakuan yang mengarah kepada timbulnya konflik dan tindakan kekerasan dari satu penganut agama kepada penganut agama lain. Dalam kehidupan sosial, gejala-gejala seperti itu bisa berlangsung atau tetap akan berlangsung dengan berbagai alasan diantara para penganut agama, antar suku, dan juga kelompok-kelompok keagamaan. Drama konflik dan tindakan kekerasan yang diakibatkan oleh masih rendahnya kesadaran pluralitas agama terus menghiasi lembaran dari sejarah kehidupan bangsa yang konon sangat toleran dan akomodatif hingga hari ini. Drama konflik dan tindakan kekerasan tersebut dapat di saksikan di Indonesia dan daerah-daerah yang dulunya masuk wilayah Indonesia dari mulai konflik Baucau Timor-Timur pada Januari 1995 sampai konflik Kupang pada Desember 1998. Kesemuanya merupakan ragam konflik yang dipicu oleh SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Konflik-konflik berbasis isu agama terjadi pada beberapa kerusuhan di Surabaya pada 9 Juni 1996, Situbondo pada 10 Oktober 1996, Tasikmalaya pada 26 Desember 1996, Bekasi pada 18 September 1996, Rengas Dengklok pada 31 Januari 1997. Konflik antar etnik terjadi antara Dayak dan Madura di Sanggau Ledo Kalimantan Barat pada 30 Desember 1996 dan pada 30 Januari 1997 dan juga di Kota Waringin Timur pada 1999 (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia: 227). Kemudian konflik yang dipicu oleh isu hubungan antar kelompok juga dapat dilihat pada kasus di Timor-Timur pada 1 Januari 1995, Pekalongan pada 24 Nopember 1995, Timika dan Nabire, Irian Jaya pada 12 Maret 1996 dan 3 Juni 1996, Banjarmasin pada 23 Mei 1997, Ujung Pandang pada September 1997, dan Ketapang pada 22 Nopember 1998 (Profetika, 1999: ii, iii). Tidak hanya itu,
9
konflik dan kerusuhan juga terjadi di Mataram pada Januari 2000 (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003: 53). Kekerasan demi kekerasan -sebagaimana telah digambarkan tersebut- yang terjadi di negeri ini dengan mengatasnamakan agama terus diputar oleh kelompok-kelompok agama tertentu. Sehingga masyarakat menjadi terkotak-kotak dan integarsi sosial masyarakat kian melemah sementara pemilahan masyarakat (segregasi sosial) semakin menguat. Dan ini tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. C. Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai Media Integrasi Sosial
Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini: Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu harus diketahui gambaran mengenai sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh umat beragama. Mengingat sikap keberagamaan yang ditampilkan umat beragama sangat menentukan bagaimana pandangan mereka terhadap agama-agama yang di anut oleh umat lain. Terkait dengan sikap keberagamaan ini, Budhi Munawar Rahman, menulis bahwa dalam penelitian ilmu agama-agama setidaknya ada tiga sikap keberagamaan yang dapat disebutkan, yaitu: sikap eksklusivisme, inklusivisme, dan paralelisme (Rahman, 2001: 44). Pertama, sikap eksklusif. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut sampai saat ini. Bagi agama Islam inti pandangan ini adalah bahwa agama yang paling absah dan diterima di sisi Tuhan (Allah) adalah Islam. Beberapa ayat yang dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam antara lain: “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. 3: 85); “Sungguh, agama pada Allah adalah
10
Islam (tunduk pada kehendaknya)” (QS. 3: 19); “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku sempurnakan bagimu agamamu dan kucukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku ridhokan Islam menjadi agamamu” (QS. 5: 3). Sedangkan bagi agama Kristen inti pandangan model ini adalah bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah Jalan dan Kenaran dan Hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14: 6). Kedua, sikap inklusif. Pandangan ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus. “Menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus”. Teolog terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl Rahner. Ia memunculkan satu pertanyaan: Bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum dokumen Konsili Vatikan II yang memuat pandangan inklusif itu hadir, atau orang-orang yang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh injil? Untuk menjawabnya ia memunculkan istilah inklusif, the anonymous christian, yaitu orang-orang non Kristiani. Dalam pandangannya, mereka selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar kabar baik. Tetapi pandangan ini dikritik oleh pandangan pluralis, sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri (Rahman, 2001: 46). Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan bahwa agama semua Nabi adalah satu. Mereka adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu. Kalangan Islam inklusif menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya titik temu agama-agama (QS. 3: 64), dimana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode menuju kebenaran). Menurut kalanagan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (QS. 5: 48).
11
Ketiga, sikap paralelisme. Pandangan ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kriten) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh utama yang mengemukakan pandangan pluralis ini adalah John Harwood Hicks dalam karyanya, God and the Universe Faiths [1973]( Rahman, 2001: 48). Sementara tafsir Islam Pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Banyak upaya yang ditempuh untuk mengembangkan paham Islam pluralis ini. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen serta agama lain diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara perumusan iman dan pengalaman iman. Menurut kalangan Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Sayyed Hussein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh kedua hal tersebut. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam pembedaan ini, sikap pluralis bisa diterima, karena misalnya antara Islam dan Kristen perbedaannya terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antara kedua hal tersebut. Islam mendahulukan perumusan iman (dalam hal ini adalah tawhid) dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Smentara Kristen, mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini, sebagaimana ungkap Nasr (1994: 4) yang dikutip oleh Budhi Munawar Rahman, dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. Jadi pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai di depan adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan mengenai pluralisme agama berdiri diantara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik, seperti kata Raimundo Panikkar (Rahman, 2001: 49). Berdasarkan klasifikasi tiga sikap dan pandangan keberagamaan sebagaimana telah diuraikan di atas, sikap dan pandangan keberagamaan
12
masyarakat Indonesia menurut saya masuk dalam kategori sikap dan pandangan yang pertama, yaitu sikap dan pandangan eksklusif dengan klaim bahwa agama saya-lah yang paling benar di sisi Tuhan sedangkan agama lain adalah salah/sesat, dan berarti pula anti pluralitas agama. Karena nalar yang dikembangkan oleh sikap dan pandangan ini adalah nalar agama yang tidak toleran, tidak akomodatif terhadap segala perbedaan, serta lebih suka mencari titik perbedaan. Dan berarti pula menegasikan integrasi sosial. Pengkategorian ini di dasarkan pada fakta-fakta empiris, seperti: ketegangan, konflik, kekerasan, memberikan fonis sesat terhadap kelompok lain, sampai kepada pengkafiran terhadap sesama agama. Beberapa kasus ketegangan, konflik, kekerasan, telah disinggung pada paragraf terdahulu yang ternyata jumlah mencapai puluhan kasus. Untuk kasus pengkafiran misalnya telah dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Forum Umat Islam (FUI) Indonesia terhadap saudara Ulil Absar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), yang dianggapnya murtad, kafir, dan melenceng dari ajaran Islam sehingga darahnya halal ditumpahkan. Padahal sama-sama membaca syahadat, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain yang diwajibkan. Selain itu juga ada buku yang dikarang oleh Hartono Ahmad Jaiz yang intinya menuduh ada pemurtadan di IAIN. Kecenderungan keberagamaan yang monolitik seperti itu akhir-akhir ini semakin gencar dipropagandakan oleh mereka yang mempunyai sikap dan pandangan keberagamaan yang eksklusif yang selalu memancing kerusuhan, keonaran, dan bahkan memakan korban orang-orang yang tidak berdosa. Meledaknya dua hotel di Jakarta (JW. Marriot dan Ritz Carlton) baru-baru ini disinyalir juga akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan model ini. Akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan model ini, pluralitas agama akhirnya menjadi sesuatu yang terkorbankan. Mestinya keberadaan pluralitas agama menjadi inspirasi bagi setiap pemeluk agama berlomba menampilkan kualitas amal terbaiknya dan menjadi media integrasi sosial. Bukan sebaliknya, menjadi momok yang manukatkan bagi setiap umat beragama kerena menjadi sumber perpecahan, konflik, dan kekerasan. Kondisi demikian, mempunyai implikasi yang luar biasa terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kasatuan masyarakat (integrasi sosial) semakin lama semakin
13
melemah atau bahkan mungkin hilang sama sekali. Tidak hanya antar umat beragama saling curiga, umat seagama pun juga melakukan hal yang sama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok yang saling berhadap-hadapan dan mudah tersulut amarahnya. Harmonisasi kehidupan menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Dan bila ini diarkan, maka bangsa dan negara ini ada diambang kehancuran. Nah, untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus ada upaya-upaya merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis. Sikap dan pandangan ini cocok untuk dijadikan sebagai alat dalam menyikapi pluralitas agama untuk kemudian mengelolanya menjadi media integrasi sosial masyarakat bangsa Indonesia. Sikap dan pandangan pluralis ini meyakini bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri dan tidak harus seragam, yang berarti pro pluralitas agama. Karena itu lebih menitikberatkan pada adanya upaya pembentukan nalar agama yang toleran, akomodatif terhadap segala perbedaan, tidak menghakimi umat agama lain, dan lebih menitikberatkan pada aspek pencarian titik temu agama-agama, yang berarti pula ingin mewujudkan integrasi sosial. Upaya-upaya merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis sebagai prasarat menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial sebagaimana dijelaskan di atas dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Selama ini studi agama lebih banyak dilakukan dengan hanya menggunakan metode dan pendekatan tertentu, seperti pendekatan teologis. Pendekatan teologis adalah pendekatan yang normatif, subyektif terhadap agama, yang bisa dilakukan oleh seorang penganut suatu agama dalam memahami agama orang lain dengan perspektif agama yang dianutnya. Kajian pendekatan teologis model seperti ini, menurut Amin Abdullah, mengarah kepada
14
keberpihakan kepada agama tertentu, lebih bersifat eksoteris, tertutup, dan finalkongkrit (Abdullah, 1997: 56-57). Contoh model studi dengan pendekatan ini tampak pada pengkajian al-Qur’an yang dilakukan secara tekstual yang menyimpulkan bahwa pembahasan agama-agama yang ada di dalamnya tidak lain dalam kerangka mencapai kebenaran agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW, sementara agama lain dinilai palsu dan telah diselewengkan para penganutnya. Kesimpulan ini didukung oleh adanya fakta tekstual bahwa alQur’an selalu mengajak kepada din al-Islam dan aqidah tawhid dan menyatakan dengan tegas bagi mereka yang beragama selain Islam dan menyimpang dari aqidah tawhid maka mereka tidak akan selamat dan termasuk orang yang rugi di akherat nanti. Al-Qur’an juga menyimpulkan bahwa diutusnya Nabi Mahammad SAW dengan membawa petunjuk dan din al-haq adalah untuk mengalahkan semua agama yang ada (QS. 2: 28; 3: 19,85; 6: 19; 18: 110; 22: 34; 9: 33; 48: 28; dan 61: 9). Selain pendekatan teologis perlu juga disampaikan di sini pendekatan falsafati yang oleh M. Amin Abdullah dinyatakan sebagai pendekatan tekstual hermeneutis dengan pola pikir kualitatif, sehingga pesan teks dapat dilihat secara lebih mendalam dari apa yang ditampilkan oleh teksnya selama tidak menyalahi prinsip-prisip universal yang diusungnya (Abdullah, 1997). Sehingga dapat diperoleh pandangan yang terbuka, inklusif, dan abstrak, karena lebih menitikberatkan pada aspek ide-ide fundamental, yang kemudian dapat membentuk pola berfikir kritis dalam mencari esensi dan semangat suatu pesan atau data dan fakta, dan akhirnya membawa pada mentalitas, kepribadian, dan alam pikiran yang mengutamakan kebebasan intelektual, sekaligus memiliki sikap toleran terhadap berbagai pandangan yang berbeda dan terbebas dari dogmatisme dan fanatisme. Contoh model studi dengan pendekatan ini misalnya tampak pada studi agama dalam al-Qur’an yang juga merujuk pada pesan yang sama dengan pandangan teologis di atas. Hanya saja berbeda dalam mencermati pesan tersebut. Bahwa missi al-Qur’an yang membawa kepada Islam dan tawhid dan din al-haq, bukanlah Islam dalam arti agama resmi yang diakui secara historis, tetapi lebih dititikberatkan pada makna Islam dan tawhid itu sendiri, yaitu ketundukan,
15
kepasrahan, dan komitmen tunggal hanya kepada Tuhan. Makna inilah yang merupakan petunjuk dan din al-haq yang dibawa setiap rasul dan terdapat dalam setiap agama. Jadi al-Qur’an memang berpihak dan melakukan truth claim, tetapi keberpihakannya kepada ide-ide dasar keberagaman yang benar yaitu: kepasrahan, ketundukan, dan komitmen tunggal hanya kepada Allah. Imbas masih menonjolnya pendekatan teologis dalam studi agama di Indonesia, sangat wajar bila kemudian menimbulkan truth claim oleh penganut agama tertentu, tidak toleran, apologis, dan tidak terbuka, seperti yang terjadi hingga hari ini. Selain dua pendekatan di atas, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Hidayat mengenai visi al-Qur’an tentang metode dan pendekatan studi agama-agama, setidaknya masih ada tujuh pendekatan. Kedelapan pendekatan itu adalah pendekatan historis, pendekatan kritik, pendekatan rasional intuitif, pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis, pendekatan dialogis, dan pendekatan perbandingan (Hidayat, 1999: 136). Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut agama. Dialog antar agama yang selama ini dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut. Dialog yang dilakukan ketika telah terjadi ketegangan telah mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 antara etnis Dayak dan Bugis yang hampir saja terjadi pertumpahan darah, pada saat melakukan penelitian mengenai integrasi sosial masyarakat Kalimantan Timur. Beruntung pertumpahan darah batal terjadi berkat dialog yang diprakarsai semua pihak termasuk tokoh agama dan aparat penegak hukum di sana. Berdasarkan investigasi yang saya lakukan terhadap penduduk di sana ternyata memang dialog antar penganut agama jarang bahkan mungkin tidak pernah terjadi sebelum ketegangan tersebut terjadi. Para pemimpin agama kurang berperan dalam membangun kesadaran akan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat. Baru setelah ketegangan itu terjadi penggalakan dialog di antara umat agama dilakukan secara intensif.
16
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk oleh pemerintah dalam konteks demikian harus terus ditingkatkan perannya yang menurut hemat saya selama ini dirasakan masih sangat kurang, karena lebih bersifat ceremonial dan keberadaannya secara praksis masih terbatas pada daerah perkotaan (di tingkat kabupaten) belum menyentuh masyarakat pedesaan yang secara kultur masih berwawasan sempit sehingga mudah dipengaruhi, digiring, dimobilisasi, untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Melalui forum tersebut, dapat disampaikan berbagai pandangan mengenai kemajemukan (pluralitas) yang menjadi bagian dari realitas masyarakat dunia, yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat kebiasaan dan sebagainya. Kemajemukan itu menimbulkan kesan keunikan dan karena keunikannya itu diperlukan yang unik pula yaitu perlakuan berdasarkan paham kemajemukan. Dalam suasana kemajemukan seperti ini diharapkan tumbuh sikap saling menerima sebagaimana adanya, komunikasi semakin intensif, tumbuh sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain dan mendorong sama-sama melakukan kebajikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam
kerangka
perbedaan
atau
setuju
dalam
perbadaan
(agree
and
disagreement). Pada akhirnya, pluralitas yang menjadi bagian dari masyarakat dunia dipandang sebagai sesuatu yang wajar sebab telah menjadi hukum Tuhan, tidak ada hidup tanpa pluralitas, dalam arti antar ummat, kecuali kota-kota tertentu seperti Vatikan, Makkah dan Madinah. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbudaan, serta pluralis, harus ditanamkan mulai sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini tidak semata-mata menjadi tugas orang tua tetapi juga menjadi tugas pemerintah dengan cara mengevaluasi kembali terhadap proses pendidikan dan pengajaran akidah/keyakinan baik ditingkat sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, menyangkut materi pelajaran/perkuliahan, guru, dan dosen yang mengampu mata pelajaran/mata kuliah tersebut. Guru dan dosen yang mengampu mata pelajaran/mata kuliah tersebut harus benar-benar mempunyai wawasan yang luas dan keahlian dibidang
17
tersebut. Dengan kata lain, guru dan dosen diwajibkan dapat membentuk sikap sebagaimana dimaksud bagi siswa/mahasiswa yang diajar dan dididiknya. Reevaluasi terhadap proses pendidikan dan pengajaran akidah/keyakinan ini sangat penting mengingat selama ini telah terjadi kesalahan dalam proses pendidikan dan pengajarannya sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam membentuk sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan belum sepenuhnya berhasil. Misalnya guru mata pelajaran akidah adalah lulusan syari’ah bukan lulusan ushuludin dengan konsentrasi akidah filsafat. Menurut saya ini juga termasuk dari kesalahan kebijakan yang diwakili Departemen Agama sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Mestinya perekrutan guru itu harus terbuka, yang diterima mendaftar tidak hanya mereka yang lulusan tarbiyah, tetapi juga lulusan lain seperti syari’ah, dakwah, dan juga ushuluddin, disesuaikan dengan keahlian masing-masing. Karena mata pelajaran agama Islam itu tidak hanya satu melainkan banyak jumlahnya. Jika ini dilakukan, maka konsekwensinya adalah harus ada kebijakan baru mengenai kurikulum yang di ajarkan di fakultas-fakultas yang ada di lingkup Perguruan Tinggi Agama (PTA), yakni dengan menambah mata kuliah tentang cara dan model pengajaran di fakultas lain selain fakultas tarbiyah. Sehingga lulusan selain tarbiyah juga mempunyai wawasan tentang kependidikan dan kepengajaran yang baik. Menurut hemat saya, karena pentingnya pendidikan dan pengajaran akidah/keyakinan mestinya guru atau dosen yang diserahi tugas mengajar mata pelajaran/matakuliah tersebut paling tidak kalau di perguruan tinggi harus bergelar doktor sedangkan di bangku sekolah dasar/menengah haruslah bergelar magister, sebagai parameter bahwa memang mereka ahli dalam bidang tersebut dan dianggap mempunyai kemampuan untuk mantransformasikan sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbedaan, kepada peserta didiknya. Keempat,
membuka
forum
kajian
mengenai
agama-agama
yang
melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri ini. Dalam forum ini dapat dikembangkan kajian mengenai teologi agama-agama di dunia yang selama ini mungkin masih dianggap tabu, karena sudah masuk dalam ranah dasar agama. Dengan adanya dialog teologi ini para pengikut agama
18
semakin memahami dan mengerti konsep dasar teologi agama masing-masing dan pada saat yang sama juga mengenal dan memahami konsep dasar teologi agama lainnya. Dengan cara ini sikap saling pengertian dan hormat menghormati semakin bertambah. Dari keempat hal tersebut, diharapkan sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat bangsa Indonesia yang secara umum dinilai eksklusif dapat berubah menjadi sikap dan pandangan yang pluralis, sehingga pluralitas agama di Indonesia dapat dijadikan sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
KESIMPULAN
Sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat Indonesia masuk dalam kategori sikap dan pandangan eksklusif karena nalar yang dikembangkan oleh sikap dan pandangan ini adalah nalar agama yang tidak toleran, tidak akomodatif terhadap segala perbedaan, serta lebih suka mencari titik perbedaan, yang lebih cenderung menegasikan integrasi sosial. Akibat dari sikap dan pandangan keberagamaan model ini, pluralitas agama akhirnya menjadi sesuatu yang terkorbankan. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, harus dilakukan upayaupaya kongkrit untuk merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis. Sikap dan pandangan ini diyakini mampu alat dalam menyikapi pluralitas agama untuk kemudian mengelolanya menjadi media integrasi sosial masyarakat bangsa Indonesia. Di antara upaya-upaya itu adalah pertama, kaharusan menggunakan metode dan pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar pengikut agama. Dialog antar agama yang selama ini dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut.
19
Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala perbudaan, serta pluralis, harus ditanamkan mulai sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini tidak semata-mata menjadi tugas orang tua tetapi juga menjadi tugas pemerintah dengan cara mengevaluasi kembali terhadap proses pendidikan dan pengajaran akidah/keyakinan baik ditingkat sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, menyangkut materi pelajaran/perkuliahan, guru, dan dosen yang mengampu mata pelajaran/mata kuliah tersebut. Guru dan dosen yang mengampu mata pelajaran/mata kuliah tersebut harus benar-benar mempunyai wawasan yang luas dan keahlian dibidang tersebut. Keempat, membuka forum kajian mengenai agama-agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Ulumul Qur’an No.5, VII/1997 Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Konflik Sosial Bernuasa Agama di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Seri II, 2003. Hidayat, Syamsul, Profetika No.1, I/1999 Jurnal Studi Islam, Profetika, Vol. 1, No. 1. Januari 1999. Mischkowski, Gabriela., Propaganda Perang dan Media di Negara Bekas Yugoslavia dalam Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan [LSPP], 1999. Munawar Rahman, Budhi., Islam Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2001. Nasr, Sayyed Hussein, The One and The Many, dalam Parabola terbitan 22/3/94. Watt, W. Montgomery., Islamic Political Thought, Edinburg: Edinburg University Press, 1980. Woods, Alan, George w. Bush and The Crusades, London, 8 Mei 2003.
20
21