BAB V GERAKAN AGAMA DI TENGAH KONFLIK SOSIAL
Setelah menguraikan realitas Poso dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) sebagai latar belakang historis, maka bab ini terdiri dari deskripsi dan analisis tentang masyarakat desa Kele’i. Pada bagian pertama ada tiga pokok perhatian yaitu sejarah desa Kele’i, keterlibatannya dalam konflik Poso, dan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat pasca konflik Poso. Dengan perspektif historis ini maka bagian kedua ditampilkan, yaitu kemunculan gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i. Pokok perhatian diarahkan pada sejarah munculnya gerakan keagamaan di Kele’i dan kepercayaan fundamental serta nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial mereka. 1. Kele’i: Masyarakat Pemberani yang Bergolak 1.1. Gambaran Umum Desa Kele’i Jemaat Eli Salom terdapat di desa Kele’i kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso. Menurut pengetahuan umum penduduk setempat, penduduk desa Kele’i berasal dari sebuah wilayah pemukiman yang bernama Sepalemba Ondae. Wilayah pemukiman ini terdiri dari dua kawasan yaitu Onda’e ri wawonya dan Onda’e ri aranya. Yang disebut pertama menunjuk pada kawasan pemukiman di pegunungan, sedangkan yang terakhir menunjuk pada kawasan pemukiman lembah Rato nTjoka. Onda’e ri wawonya terdiri dari sejumlah klan yang masing-masing mendiami satu kawasan menurut keturunannya, yaitu Bomba, Wawondoda, Mara’ayo,
145
146 Redefinisi Tindakan Sosial…
Morengku, Tampadede, Paembo, Palawanga, Petirolemba, Pombaroini, Pantayo, Bategencu, dan Sandele.1 Pada pertengahan tahun 1893 terjadi ketegangan hubungan antara orang-orang-orang Onda’e di satu pihak dengan orang-orang Pebato dan Napu di lain pihak. Orangorang Onda’e adalah salah satu sub suku Pamona yang mendiami dataran sedang mulai dari pantai timur danau Poso sampai dengan lembah Walati yang berbatasan dengan wilayah Mori Atas. Orang-orang Pebato adalah juga salah satu sub suku Pamona yang mendiami dataran rendah mulai dari sebelah barat aliran sungai Poso hingga ke teluk Tomini. Sedangkan orang-orang Napu adalah kumpulan suku-suku Pekurehua yang mendiami dataran tinggi di sebelah barat daya danau Poso. Sampai dengan akhir tahun tersebut hubungan makin meruncing karena orang-orang Napu turun dari dataran tinggi dan memasuki wilayah perladangan di Onda’e. Akhirnya terjadilah perang antara orang-orang Onda’e dengan orang-orang Napu di muara sungai Poso yang merupakan daerah orang-orang Pebato.2 Perang itu menimbulkan banyak korban jiwa di kedua pihak. Perang berakhir melalui perjanjian perdamaian di Peladia pada tahun 1906 yang dimediasi oleh seorang tokoh masyarakat Pamona bernama Magido.3 Akan tetapi sesudah itu orang-orang Onda’e belum mendapatkan keadaan yang aman. Mereka tetap terancam oleh dua kerajaan Islam yaitu kerakaan Sigi di utara dan kerajaan Luwu di selatan. Daerah Onda’e menjadi rebutan dari kedua kerajaan ini karena letaknya yang strategis di tepi
1
Rantelemba Sipatu, Fenomena di Desa Kele’i (Palu: Untuk Kalangan Sendiri,
2008), 6. 2 J. Tanggerahi, “Albertus Christian Kruyt dan Pelayanannya di Tana Poso” dalam Majelis Sinode GKST, Wajah GKST (Tentena: Panitia Perayaan 100 tahun Injil masuk Tana Poso, 1992), 6. 3 M. Tara’u, Rekonsiliasi di Lamongi. Ceramah tertulis di desa Buyumpondoli, Mei 2010.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 147
Danau Poso di tengah pulau Sulawesi. Siapa yang menguasai Onda’e berarti memiliki kemungkinan untuk menyerang kerajaan saingannya. Dengan demikian Onda’e menjadi rebutan antara kerajaan Sigi dan Kerajaan Luwu atas alasan politis. Menyadari posisinya yang seperti itu, orang-orang Onda’e memperkuat pertahanan mereka dengan membangun koalisi antara klan dan membuat pemukiman bersama yang berkubu. Pada penghujung abad kesembilan belas klan-klan Onda’e tersebut di atas mencari satu wilayah pemukiman bersama di sekitar sungai Kalakia yang bernama Kambera. Di sana mereka membangun pemukiman dan benteng pertahanan bersama. Selama beberapa tahun keadaan cukup aman karena Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai mengawasi dan mengendalikan kekuasaan kedua kerajaan tersebut di atas. Akan tetapi pemukiman di Kambera ini kemudian dirasakan terlalu sempit untuk berladang, sehingga mereka mencari daerah pemukiman baru. Pada tahun 1906 mereka menemukan sebuah dataran yang luas di daerah sekitar aliran sungai Wimbi. Dataran ini memiliki sumber air yang cukup dan dikelilingi oleh bukit-bukit batu sehingga cocok untuk berladang dan menjadi kubu pertahanan.Tempat inilah yang sekarang disebut sebagai desa Kele’i.4 Untuk mengenang sejarah ini, di depan kantor desa Kele’i dibangun sebuah tugu atau monumen yang bertuliskan nama-nama klan yang bersepakat untuk hidup bersama di desa tersebut. Monumen ini mengingatkan seluruh warga desa Kele’i bagaimana mereka bersatu menghadapi ancaman yang datang dari luar sambil mengusahakan kesejahteraan melalui pertanian. Latar belakang sejarah ini turut membentuk karakter orang-orang Kele’i yang pemberani, pantang mundur 4
Sipatu, Fenomena di Desa…., 7.
148 Redefinisi Tindakan Sosial…
dan setia kawan ketika menghadapi bahaya dan ancaman dari luar.5 Secara administratif desa Kele’i masuk dalam wilayah pemerintahan kecamatan Pamona Timur yang berpusat di Taripa.6 Kecamatan Pamona Timur adalah hasil pemekaran dari kecamatan Pamona Utara yang berpusat di Tentena. Sampai dengan tahun 2013 desa Kele’i dihuni oleh 456 kepala keluarga yang terdiri dari 1643 jiwa dengan pembagian 846 jiwa laki-laki dan 796 jiwa perempuan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, baik petani sawah maupun petani tanaman tahunan seperti kakao dan cengkeh. Tabel 5: Penduduk Desa Kele’i menurut Usia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Usia (tahun) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 20 21 – 24 25 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 + Jumlah
Perempuan 59 68 53 96 58 56 119 124 90 65 796
Laki-laki 50 64 85 66 36 41 126 109 94 62 846
Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013. Dari Tabel 5 di atas nampak bahwa 69,5% penduduk desa Kele’i termasuk dalam kelompok usia kerja. Pekerjaan
Wawancara dengan Bapak Tologana, 25 Maret 2014 di Kele’i Sebelumnya Kele’i masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara. Akan tetapi ketika kecamatan Pamona Timur dibentuk sebagai pemekaran dari kecamatan Pamona Utara maka Kele’i masuk dalam wilayah Pamona Timur dengan pusat kecamatan di desa Taripa. 5 6
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 149
yang menonjol di desa ini adalah pertanian dengan sistem ladang dan sawah. Terbukanya jalur Trans Sulawesi yang melintas di ujung desa Kele’i membuat masyarakat melakukan diversifikasi tanaman pangan dengan tanaman industri tahunan seperti cengkeh, kakao, dan vanili.7 Selain itu masyarakat juga mulai mengembangkan peternakan dan perikanan air tawar. Hasil pertanian dan peternakan tersebut kemudian di pasarkan di kota kecil Tentena yang hanya berjarak 5 kilometer dari desa Kele’i. Tentena, yang terletak di tepi danau Poso dan menjadi daerah tujuan wisata alam, telah berkembang menjadi sebuah kota perdagangan sejak awal abad 20. Sejumlah besar pedagang yang berasal dari Bugis Makasar mendominasi pasar perdagangan di kota Tentena. Akan tetapi pada tahun 1998-2003, ketika kerusuhan dan konflik Poso terjadi para pedagang Bugis Makasar ini meninggalkan kota Tentena demi alasan keamanan dan pindah ke kota-kota lain di Sulawesi Tengah, seperti Kolonodale, Poso, dan Palu. Sementara sejumlah besar pengungsi korban kerusuhan Poso yang berasal dari Poso Kota, Poso Pesisir, dan Lage membanjiri kota Tentena. Tabel 5 tersebut menunjukan juga bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada usia 30–49 tahun, yaitu sebanyak 478 jiwa atau 29.09% dari seluruh populasi. Keadaan ini menjadi salah satu faktor penentu keterlibatan warga Kele’i dalam kerusuhan Poso. Pada waktu kerusuhan bulan April-Mei 2000, sejumlah orang Kele’i yang merasa dirinya muda dan kuat turun ke kota Poso untuk mengamankan beberapa pemukiman Kristen yang terancam oleh serangan kelompok Islam. Mereka ini berasal dari golongan usia tersebut di atas.8
7 8
Wawancara dengan Bapak Enos, 28 Maret 2014 di Kele’i Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
150 Redefinisi Tindakan Sosial…
Dari segi agama dan kepercayaan mayoritas penduduk desa Kele’i memeluk agama Kristen, yaitu sebanyak 1641 orang atau 99,8 % dari populasi. Sisanya yang 0.2 % memeluk agama Islam. Masyarakat yang beragama Kristen tersebut tersebar dalam empat denominasi, yaitu Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) sebagai yang dominan, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Betel, dan Gereja Pantekosta Tabernakel. Tabel 6: Penduduk Desa Kele’i menurut Agama No Agama Jumlah Jiwa 1 Buddha 2 Hindu 3 Kristen 1641 4 Katolik 5 Islam 2 6 Lain-lain Jumlah 1643 Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013 Keadaan ini membuat orang-orang di desa Kele’i kurang memiliki pengalaman pergaulan dengan orang-orang yang beragama lain, terutama Islam. Mereka tidak mempunyai pemahaman eksistensial tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Namun demikian kehadiran beberapa pedagang keliling yang beragama Islam di desa Kele’i dapat diterima dengan baik oleh warga masyarakat. Penerimaan ini didasari oleh nilai budaya pekasiwia yang mengharuskan orang-orang Poso Pamona bersikap terbuka terhadap orang asing dan menjadikan mereka setara (siwia) dalam pergaulan sosial. Namun demikian ketika kerusuhan dan konflik Poso berlangsung, nilai budaya pekasiwia terhadap orang asing atau
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 151
pendatang ini mengalami tantangan. Gangguan keamanan dan aksi-aksi teror berdarah membuat orang-orang Kele’i sangat berhati-hati dan bahkan curiga dengan kedatangan orang asing, apalagi jika ia beragama lain. Sejak kerusuhan itu, setiap orang yang akan masuk ke dalam desa akan diperiksa dan bila didapati hal-hal yang mencurigakan maka ia tidak diperkenankan memasuki desa.9 1.2.
Keterlibatan Kele’i dalam konflik Poso Episentrum kerusuhan dan konflik Poso yang terjadi sejak Desember 1998 sampai dengan tahun 2003 terletak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Poso Pesisir, dan Kecamatan Lage. Secara demografis ketiga kecamatan ini memilik penduduk yang berimbang antara yang beragama Islam dan Kristen.10 Penduduk yang beragama Islam berasal dari suku Bungku, Tojo, Bugis, Makasar, Gorontalo, Jawa, dan keturunan Arab. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pedagang dan nelayan. Oleh karena itu basis komunitas mereka terdapat di pusat-pusat perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Sementara penduduk yang beragama Kristen berasal dari suku Pamona, Mori, Bada, Pekurehua, Minahasa, Toraja, dan keturunan Tionghoa. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan pegawai pemerintah. Keadaan ini menunjukan bahwa sukusuku yang berasal dari luar Sulawesi tengah pada umumnya memeluk agama Islam sementara suku-suku asli di Poso memeluk agama Kristen. Selain itu, kesamaan suku berjalan sejajar dengan kesamaan agama. Fakta ini menjadi salah satu faktor pemberat menyebarnya aksi-aksi-kekerasan masa yang melanda kota Poso dan daerah sekitarnya. Solidaritas
9
Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, 26 Maret 2014 di Kele’i Lih. Tabel 5 pada Bab IV.
10
152 Redefinisi Tindakan Sosial…
kesukuan dan sentiment keagamaan yang melebur menjadi satu membelah masyarakat di dalam dua golongan, masyarakat asli dan masyarakat pendatang. Suasana bulan suci Ramadhan yang bersamaan waktunya dengan masa raya Natal di bulan Desember 1998 di kota Poso membuat awal kerusuhan Poso bagaikan gempa bumi yang melahirkan gelombang solidaritas dari daerahdaerah di pulau Sulawesi, bahkan dari pulau Jawa. Kerusuhan dan konflik Poso sendiri dapat diperiodisasi ke dalam tiga jilid: a. Konflik Jilid I: Desember 1998 Konflik ini dipicu oleh persoalan pribadi antara seorang pemuda Kristen dengan seorang pemuda Muslim. Persoalan pribadi itu berkembang menjadi sebuah perkelahian yang terjadi pada tanggal 24 Desember 1998. Menurut pihak keamanan, pemuda Muslim mengalami luka berdarah akibat perkelahian tersebut. Dalam keadaan seperti itu ia berlari ke arah Mesjid di kelurahan Sayo dan meminta pertolongan. Berita ini kemudian beredar dengan cepat ke seluruh kota Poso dan sekitarnya. Warga Muslim terprovokasi oleh persoalan pribadi tersebut dan termobilisasi untuk melakukan aksi kekerasan massa terhadap warga Kristen di kota Poso.11 Provokasi masa Muslim dilakukan melalui isu yang dikembangkan dan diedarkan secara sengaja bahwa Imam Masjid di kelurahan Sayo telah dibacok oleh warga Kristiani hingga harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Poso. Warga kristiani yang membacok itu adalah para pemuda yang telah mabuk oleh minuman beralkohol.12 Tentu saja isu ini membakar kemarahan dan sentimen keagamaan warga Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa di bulan Suci 11 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 53. 12Ibid.,54.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 153
Ramadhan. Maka keesokan harinya, tanggal 25 Desember 1998 terjadi mobilisasi masa muslim di beberapa Masjid di Poso Kota, seperti di Lawanga, Bonesompe, dan Kayamanya. Mobilisasi tersebut berlanjut dengan pengerahan massa untuk melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap rumahrumah warga Kristen yang ada di kelurahan Kasintuwu yang mereka anggap sebagai komunitas representatif dari pemuda Kristen yang mabuk tersebut.13 Akumulasi massa terus meningkat dengan cepat. Dari kelurahan Kasintuwu massa Muslim bergerak ke kelurahan Lombogia dan Sayo yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.14 Emosi massa yang tidak terkendali lagi mengakibatkan kerusakan massif di ketiga kelurahan tersebut. Selanjutnya penyerangan dan pengrusakan meluas ke seluruh penjuru kota Poso dengan sasaran rumah-rumah, gereja-gereja, dan usaha-usaha komunitas Kristen serta tempat-tempat yang dianggap maksiat.15 Massa Muslim yang terus bertambah dan emosi massa yang terus dibakar oleh provokasi dan issu sara membuat aparat keamanan kewalahan dalam mengendalikan situasi yang kacau dan penuh aksi kekerasan. Penyerangan dan pengrusakan massa ini mengakibatkan gelombang pengungsian warga Kristen dari ketiga kelurahan tersebut ke desa-desa kecil di sekitar kota Poso. Sementara pada saat yang sama mobilisasi massa Muslim terus berlanjut dan meluas sampai ke kota Parigi dan Ampana. Sejumlah besar truk yang
13
Kelurahan Kasintuwu berpenduduk mayoritas Kristen dari suku
Minahasa. 14 Kelurahan Lombogia berpenduduk mayoritas suku Pamona dan Mori. Penduduk Kelurahan Sayo sebagaian Muslim dari Makasar dan Jawa, sebagian lagi Kristen dari Pamona, Mori, Bada, dan Minahasa. 15 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso, … 54.
154 Redefinisi Tindakan Sosial…
dipenuhi pemuda masuk ke kota Poso dari kedua wilayah tersebut.16 Pengerahan masa Muslim ke kota Poso dari dua wilayah tersebut di atas memaksa seorang tokoh Kristen yang bernama Herman Parimo melakukan mobilisasi masa dari kecamatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, yaitu kecamatan Pamona Utara dengan ibu kotanya Tentena.17 Herman Parimo adalah seorang mantan fungsionaris dan aktivis Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang cukup terkenal keberaniannya dalam melawan pasukan Permesta dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Tengah.18 Pada tahun 1957 – 1960, ketika GPST membentuk sepuluh divisi militernya, Herman Parimo diangkat menjadi Komandan Sektor Pamona Utara dan kemudian menjadi komandan pasukan GPST.19 Herman Parimo berasal daerah Mangkutana Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Ia menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari desa Kele’i. Sesudah berakhirnya masa pergolakan politik di tahun lima puluhan, ia menjadi pengusaha kayu hitam dan tinggal di kelurahan Sayo kecamatan Poso Kota.20 Pada hari Senin, 28 Desember 1998, sebagai reaksi spontan terhadap gerakan dan mobilisasi massa Muslim di Poso, Parimo memobilisasi sejumlah kecil masa Kristen yang berasal dari Lage dan Tentena sekitarnya lalu memasuki kota
16 Rinaldy Damanik, Tragedi kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI, Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), 16. 17 Tentena adalah sebuah kota kecil berhawa sejuk yang terletak di tepi Danau Poso dan menjadi pusat Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. 18 Tentang gerakan-gerakan politik ini lihat kembali bab IV. 19 Haliadi Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), 115. 20 Karena pengerahan massa yang dilakukannya pada tanggal 27 dan 28 Desember 1998, Herman Parimo ditahan oleh aparat keamanan. Ia diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Ia meninggal di Makasar pada bulan April 2000 ketika masih menjalani masa penahanannya. Lih. Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 67.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 155
Poso serta melakukan unjuk rasa menentang penyerangan massa Muslim terhadap pemukiman warga Kristen di kelurahan Lombogia, Kayamanya, Sayo, dan Kasintuwu Poso.21 Aksi ini lebih mengobarkan situasi yang sudah panas di dalam kota Poso, sehingga keesokan harinya, 29 Desember 1998 kedua kelompok massa, yaitu massa Muslim dan massa Kristen mengambil posisi untuk saling menyerang. Melihat keadaan yang genting tersebut dan mempelajari kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi maka pada hari itu juga Gubernur Sulawesi Tengah, Bupati dan Muspida Kabupaten Poso mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin pemuda dari dua kelompok untuk berunding. Dalam perundingan itu muncul kesadaran bahwa telah terjadi kesalahpahaman akibat issu yang dikembangkan dan provokasi massa yang tidak beralasan. Hari itu juga dibuat kesepakatan bahwa aksi-aksi kekerasan massa akan dihentikan dan para provokator akan ditangkap dan diproses secara hukum.22 Salah satu akibat dari kesepakatan itu adalah ditangkapnya Herman Parimo dan dilaksanakannya proses hukum kepadanya. Ia diadili di Makasar dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Warga Kristen merasa diperlakukan tidak adil oleh peristiwa ini, karena dari massa Muslim tidak ada yang mendapat perlakuan seperti itu.23 Pada tanggal 30 Desember 1998 aparat keamanan dapat mengambil kendali atas keadaan di kota Poso dan sekitarnya. Masyarakat Muslim melanjutkan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan sementara warga Kristen kembali ke rumah-rumah mereka dan melanjutkan masa raya Natal dan Tahun Baru. Peristiwa kerusuhan massa Desember 1998 ini Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 55. Ibid., 56. 23 Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 21. 21 22
156 Redefinisi Tindakan Sosial…
tidak terselesaikan dengan baik. Rasa marah dan dendam di kedua belah pihak mengendap dan berkembang menjadi sentiment sara yang mudah diprovokasi. b. Konflik Jilid II: April 2000 Stabilitas keamanan di kota Poso pasca kerusuhan Desember 98 ternyata hanya di permukaan. Aksi-aksi kekerasan masa seperti pengrusakan dan pembakaran rumahrumah dan kendaraan bermotor, pencurian dan penjarahan, penganiayaan dan pembunuhan di bulan Desember 98, serta penegakan hukum yang tidak memberi rasa keadilan bagi masyarakat meninggalkan kemarahan, dendam, dan trauma bagi masyarakat. Salah satu gejala yang muncul akibat keadaan tersebut adalah membekunya hubungan sosial antara warga Muslim dan Kristen di kota Poso dan sekitarnya. Suasana damai dan harmoni yang selama bertahun-tahun sebelumnya dirasakan, berubah menjadi suasana waspada, curiga, dan intoleran satu terhadap yang lain.24 Pada tahun 1999 warga kabupaten Poso bersiap-siap akan melakukan pemilihan Bupati. Dalam proses seleksi calon Bupati muncul beberapa nama sebagai kandidat, yaitu Abdul Malik Syahadat, Damsyik Ladjalani, Akram Kamarudin, Abdul Muin Pusadan, Mas’ud Kasim, dan Ismail Kasim dari masyarakat Muslim. Dari masyarakat Kristen muncul dua nama yaitu Eddy F. Bungkundapu dan Yahya Patiro. Persaingan antara kedua kubu itu terseret ke isu sara. Namun demikian keadaan masih dapat dikendalikan oleh kesepakatan bahwa akan dilakukan power sharing. Apabila Bupatinya beragama Islam maka sekretarisnya (sekarang wakil Bupati) harus beragama Kristen, demikian sebaliknya. Pertimbangan ini berlaku juga untuk semua jabatan strategis dalam 24
Ibid.,20-21.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 157
pemerintahan.25 Pada tanggal 30 Oktober 1999 Pusadan terpilih menjadi Bupati Poso. Warga Kristiani menerima kenyataan tersebut secara sportif dan lapang dada. Akan tetapi warga Muslim berkeinginan untuk menempatkan Damsyik Ladjalani yang beragama Islam untuk menjadi Sekretarisnya.26 Pada umumnya warga Kristen tidak mempersoalkan hal tersebut selama pemeritah tetap memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan semua golongan masyarakat. Itulah sebabnya Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah sebagai representasi masyarakat Kristen di Poso tidak menyatakan dukungan secara kelembagaan terhadap calon-calon yang ada dan tidak melakukan intervensi terhadap proses pemilihan pemimpin wilayah. Pdt. Rinaldy Damanik dalam kapasitas sebagai Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST mengatakan: Bagi Sinode GKST, seorang pemimpin daerah, termasuk jabatan-jabatan pemerintahan lainnya, siapapun dia, dari suku dan agama apapun dia, yang terpenting dan terutama adalah dapat melaksanakan tugasnya untuk kepentingan semua warga masyarakat, tanpa diskriminasi, dan sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.27 Namun demikian keadaan politik di Poso tetap saja dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan golongan berdasarkan suku dan agama. Keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok agama radikal yang telah masuk ke Poso secara ideologis dan organisatoris dan berbasis di salah satu pondok pesantren di kelurahan Gebang
Ibid., 12. Ibid., 23. Lih. Harian Mercu Suar, Palu, edisi Sabtu, 15 April 2000. 27 Ibid., 12. 25 26
158 Redefinisi Tindakan Sosial…
Rejo kecamatan Poso Kota. Menurut Laporan Tim Satgas Investigasi Poso yang dibentuk oleh Kapolri bahwa keterlibatan jaringan Islam radikal di Poso nampak melalui kehadiran kelompok-kelompok Al Jamaah Al Islamiyah, Kompak, Lasykar Jundullah dll. dan menjadikan Poso sebagai daerah proyek Uhud. Di Poso mereka dikenal dengan kelompok Tanah Runtuh karena basis mereka ada di sebuah pondok pesantren di lokasi tanah runtuh Kelurahan Gebang rejo.28 Perkembangan keadaan sosial, politik, dan keagamaan tersebut di atas meletus menjadi kerusuhan dan konflik berdarah pada tanggal 15 April 2000. Pemicunya adalah perselisihan antara pemuda, masing-masing beragama Islam dan Kristen di Terminal Bus Kasintuwu Poso. Masyarakat Kristen menduga insiden ini telah direkayasa oleh kelompok Islam radikal di Poso. Seorang pemuda Islam bernama Dedy dari kelurahan Kayamanya dengan mengendarai sepeda motor datang dan memprovokasi beberapa pemuda Kristen yang sedang berada di depan Gereja GKST Pniel Lombogia, dekat terminal bus Poso.29 Para pemuda Kristen menjelaskan bahwa persoalan perkelahian di terminal bus tersebut adalah masalah pribadi dan telah ditangani oleh aparat keamanan dan tidak ada yang terluka dalam perkelahian tersebut. Tidak lama sesudah peristiwa itu, sejumlah besar pemuda Muslim dari kelurahan Lawangan dan Kayamanya bergerak ke kelurahan Lombogia dan langsung melempari rumah-rumah warga Kristen di sekitar Gereja GKST Peniel. Melihat keadaan tersebut warga Kristen menghindar, kecuali sekumpulan pemuda mengambil posisi berjaga-jaga dan siap siaga di depan Gereja untuk menjaga gereja dari pengrusakan dan
28 29
Karnavian, et.al.,Membongkar Konflik Poso…,177. Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 24.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 159
pembakaran. Aparat keamanan dapat mengendalikan situasi dengan mendesak massa Muslim kembali ke kelurahan Lawanga dan Kayamanya.30 Keberadaan kelompok pemuda Kristen di depan gereja Peniel Lombogia ternyata dipandang oleh kelompok Islam sebagai upaya untuk menggalang massa dan melakukan perlawanan serta serangan balik.31 Oleh karena itu pada keesokan harinya, 16 April 2000 terjadi mobilisasi massa Muslim di kelurahan Lawanga, Kayamanya, Bonesompe, dan Gebang Rejo. Pada pukul 20.00 WITA mobilisasi itu berkembang menjadi aksi penyerangan, pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran rumah-rumah warga Kristen di seluruh kota Poso. Melihat keadaan makin tidak terkendali oleh aparat keamanan, masa Kristen akhirnya terpancing untuk melakukan perlindungan diri dan perlawanan sehingga aksi-aksi pengrusakan berkembang menjadi bentrok fisik berdarah di kota Poso. Korban berjatuhan di kedua belah pihak, terutama di pihak massa Muslim karena mereka melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian yang hendak mengendalikan situasi.32 Sejak hari itu, bentrok fisik berdarah terus terjadi dan mengakibatkan sejumlah korban di kedua pihak. Sementara itu terjadi gelombang pengungsian terutama di kalangan warga Kristen yang rumah-rumahnya telah dirusak, dijarah, dan dibakar. Sebagian besar dari mereka mengungsi ke Tentena, Morowali, dan Palu. Menurut data pada Krisis Senter GKST jumlah pengungsi warga Kristen yang masuk ke kota Tentena mencapai dua puluh ribu jiwa atau kurang lebih empat ribu kepala keluarga.33 Kehadiran jumlah pengungsi Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 58. Fauzan Al-Anshari & Ahmad Suhardi (Ed.,), Tragedi Poso (Rawabunga: Departemen Data & Info MMI, 2006), 16. 32 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…,59. 33 Laporan Krisis Senter GKST kepada Majelis Sinode GKST dalam Sidang Sinode GKST tahun 2004. 30 31
160 Redefinisi Tindakan Sosial…
korban konflik tersebut mempertebal rasa solidaritas warga Kristen di Tentena dan sekitarnya. Rasa solidaritas itu ditunjukan melalui keterbukaan untuk menerima dan merawat para keluarga pengungsi. Akan tetapi ada sekelompok pemuda Kristen asal Poso yang melampiaskan rasa marah dan dendam dengan melakukan penyerangan terhadap warga Muslim yang ada di Tentena dan sekitarnya. Akibatnya mereka meninggalkan Tentena dan mencari perlindungan di Makasar dan Palu, bahkan ada yang kembali ke Jawa.34 c. Konflik Jilid III: Mei 2000 Setelah Herman Parimo dipenjarakan, munculah seorang tokoh pemberani baru dari desa Kele’i yang bernama Ir. Adven L. Lateka. Ia mempunyai hubungan kekeluargaan yang sangat dekat dengan Herman Parimo, karena saudara perempuannya menikah dengan Herman Parimo. Ir. Lateka mengawali aksinya melalui sejumlah tindakan protes terbuka dan tertulis kepada aparat penegak hukum dan Pemerintah berkaitan dengan ketidakadilan dalam penegakan hukum di Poso.35 Menyadari aksi-aksi protesnya tidak mendapat tanggapan dari aparat keamanan dan pemerintah, Ir. Lateka membentuk sekelompok kaum militan dari kalangan pemuda Kristen yang disebutnya sebagai Kelompok Pejuang Pemulihan Keamanan Poso. Sebagian anggota kelompok ini adalah kerabatnya yang berasal dari Poso Pesisir dan Pamona Utara, termasuk desa Kele’i. Mereka melakukan perjuangan melindungi desa-desa yang didiami oleh warga Kristen dan 34 Di Tentena ada dua desa yang penduduknya berasal dari Jawa, yaitu Posunga dan Sawidago. Orang-orang Jawa ini adalah transmigran yang ditempatkan di daerah Mori Atas. Akan tetapi karena mereka mempunyai jiwa dagang, maka mereka pindah ke Tentena untuk berjualan. Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Puselemba, tanggal 24 November 2013 di Tentena. 35 Damanik.,Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 29.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 161
melakukan aksi perlawanan dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok perusuh di kota Poso dengan memakai senjata-senjata tradisional dan sebagian senjata api.36 Dalam suratnya kepada Komisi Nasional HAM Republik Indonesia, Ir. Lateka menulis bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya adalah untuk memulihkan hak asasi masyarakat Poso yang diporakporandakan secara terencana dan untuk membebaskan warga masyarakat Poso dari penindasan para perusuh. Untuk itu sasarannya adalah menumpas dan menangkap para perusuh atau provokator kerusuhan dan konflik Poso yang menurut penilaiannya dilindungi oleh aparat keamanan dan pemerintah. Hal ini dilakukannya karena ia menilai bahwa pemerintah dan aparat keamanan tidak bersikap netral dan telah memihak kelompok muslim yang ada di Poso.37 Menurut penilaian Rinaldy Damanik, sikap keras Ir. Lateka disebabkan oleh akumulasi kekecewaannya terhadap tindakan para perusuh, ketidakpastian sikap Pemerintah, dan pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap para perusuh yang melakukan aksi pembunuhan, pembakaran, dan penjarahan terhadap warga kristiani di kota Poso.38 Emosi kerusuhan dan konflik yang terjadi di kota Poso terasa juga di kota Tentena dan Kele’i. Bukan saja karena adanya rasa solidaritas kesukuan dan keagamaan, tetapi juga karena sebagian besar warga gereja yang berasal dari kota Poso mengungsi di Tentena dan sekitarnya. Akibatnya bila terjadi aksi kekerasan masa terhadap warga Kristen di kota Poso maka akan terjadi aksi balasan di Tentena dan sekitarnya. Pada tanggal 16 Mei 2000 terjadi penyerangan terhadap warga Muslim di desa Taripa, tidak jauh dari Kele’i. 36 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso… 62-63. Ir. Lateka tewas secara menggenaskan pada tanggal 2 Juni 2000 dalam sebuah kontak senjata dengan pasukan Jihad di kota Poso. 37 Damanik, Tragedi kemanusiaan Poso…, 31-32. 38 Ibid.,61-62.
162 Redefinisi Tindakan Sosial…
Satu orang tewas dalam penyerangan itu. Pada tanggal 19 Mei 2000 warga Kristen di daerah Taripa dan Kele’i melakukan sweeping di jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan Makassar (Sulawesi Selatan) dengan Poso Palu (Sulawesi Tengah).39 Aksi ini nampaknya adalah aksi balasan terhadap serangan dan pembakaran perumahan warga kristiani oleh massa Muslim di kota Poso dan sekitarnya. Selama kerusuhan dan konflik Poso berlangsung, desa Kele’i cukup dikenal sebagai basis mobilisasi massa Kristen untuk melakukan perlawanan terhadap serangan massa Muslim di Poso dan sekitarnya. Dalam mobilisasi ini semangat perjuangan masyarakat di tahun limapuluhan ketika menghadapi PERMESTA dan Darul Islam TII Abdul Kahar Mazakar bangkit kembali. Ada beberapa orang yang pernah terlibat dalam kedua pergolakan itu masih ikut dalam mobilisasi tersebut. Mobilisasi ini melahirkan sebuah kelompok perlawanan Kristen yang oleh opini publik disebut Pasukan Merah. Di dalam kelompok ini terbentuk lagi sebuah kelompok kecil militan yang ofensif dan agresif melakukan aksi-aksi pembalasan dan penyerangan terhadap basis-basis pasukan Jihad Islam di kota Poso. Kelompok kecil militan ini dipimpin oleh Ir. Lateka dan seorang purnawirawan TNI. Lateka sendiri menamakan kelompoknya sebagai Pejuang Pemulihan Keamanan Poso. Akan tetapi masyarakat umum dan aparat keamanan menyebut kelompok ini sebagai Pasukan Kelelawar karena melakukan operasi gerilya pada waktu malam dengan memakai pakaian hitam, senjata api, senjata tradisional, dan ilmu-ilmu hitam. Salah satu aksi mereka yang tercatat dalam laporan pihak keamanan adalah serangan dini hari 24 Mei 2000. Puluhan orang dengan memakai pakaian hitam dan tutup muka berwarna hitam memasuki kota Poso 39
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 60.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 163
dari arah Barat dan melakukan penyerangan di kelurahan Kayamanya, salah satu basis mobilisasi pasukan Jihad Islam di kota Poso. Serangan ini mengakibatkan seorang anggota kepolisian tewas dan sejumlah warga Muslim menjadi korban.40 Mendengar bahwa warga Muslim di Poso diserang oleh Pasukan Kelelawar, maka warga Muslim dari Ampana dikerahkan untuk memberi bantuan. Mereka datang dengan menggunakan puluhan kendaraan mobil terbuka. Ketika melewati daerah Lage yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, massa Muslim dari Ampana ini dicegat oleh massa Kristen. Bentrokan fisik berdarah tidak terhindarkan. Massa Muslim dari Ampana tidak dapat melewati massa Kristen yang berasal dari lage, yaitu dari desa-desa Silanca, Sepe, Bategencu, dan Tagolu. Melihat massa Muslim mundur, massa Kristen maju dan menyerang sebuah desa Islam di Lage, yaitu Toyado. Sebaliknya Masa Muslim di Tojo, daerah perbatasan antara Lage dengan Ampana, bergerak menyerang beberapa desa Kristen di sana, seperti Tanamawau, Matako, dan Malei. Pada hari yang sama, sebuah dusun kecil di daerah Lage yang bernama Sintuwu Lemba dikepung oleh massa Kristen. Di dusun ini terdapat penduduk beragama Islam yang berasal dari Jawa dan terdapat sebuah Pondok pesantren. Penduduk desa Tagolu dan desa tetangga bernama Tambaro yang telah menganggap mereka siwia karena hidup bertetangga meminta mereka untuk segera mengungsi. Sebagian warga dusun itu mengungsi ke Poso melalui jalur Sungai Poso, tetapi sebagian lagi tetap tinggal dan bertahan di kompleks Pondok Pesantren. Keberadaan warga Muslim yang bertahan di Pondok Pesantren Sintuwu Lemba ini dipandang oleh kelompok Kristen yang militan bergaris keras sebagai bentuk 40
Ibid., 1.
164 Redefinisi Tindakan Sosial…
perlawanan dan persiapan untuk melakukan serangan. Atas anggapan itu, kompleks Pondok Pesantren tersebut diserang dan korban berjatuhan, terutama dari pihak Muslim.41 Pada saat inilah kerusuhan dan konflik Poso meluas dari kota Poso ke daerah-daerah sekitarnya. Aksi-aksi kekerasan, pengrusakan, penjarahan, pembakaran, penganiayaan, dan bentrok fisik berdarah tidak hanya terjadi di kota Poso tetapi dengan cepatnya menyebar ke kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya, terutama kecamatan Lage Tojo, Poso Pesisir, dan Pamona Utara. Aksi pembalasan massa Kristen terhadap massa Muslim berlanjut dengan gerakan dari beberapa desa di kecamatan Poso Pesisir, yaitu Sangginora, Dewua, Tangkura, Patiwunga, dan Kasiguncu. Mereka bergerak ke arah desa-desa berpenduduk Muslim yang ada tepi pantai dan melakukan pembakaran setelah seluruh warganya diperintahkan untuk mengungsi. Desa-desa berpenduduk Muslim yang dibakar adalah Tabalu, Bega, Tiwaa, Tokorondo, Tambarana, Mapane, dan Toini. Gerakan penyerangan ini berhenti di desa Moengko yang berbatasan dengan kelurahan Kayamanya Poso Kota. Upaya untuk memasuki kota Poso dan melakukan penyerangan berpuncak pada tanggal 2 Juni 2000. Ratusan massa Kristen yang dipimpin oleh Lateka bergerak hendak mengambil alih kota Poso dari massa Muslim. Namun massa Muslim yang sudah bergabung dari berbagai daerah dan pasukan keamanan dari Satuan Brimob Kelapa Dua Jakarta dan Pasukan TNI dari Batalyon Zipur Makasar dapat menghalau gerakan ofensif massa Kristen. Dalam bentrokan ini Lateka tewas diterjang peluru.42 41 Peristiwa penyerangan Pondok Pesantren ini menjadi issu pembantaian warga Muslim di Poso. Lih. Al-Anshari & Suhardi (Ed.,) Tragedi Poso (Poso: Majelis Mujahidin & Forum Perjuangan Umat Islam Poso, 2006). 42 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 64.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 165
Melihat keadaan yang makin tidak terkendali, Pemerintah dan aparat keamananan menggelar Operasi Pemulihan Keamanan dengan menggunakan sandi Operasi Sadar Maleo dan Operasi Cinta Damai. Sejak saat itu, massa Kristen mundur dan mengambil sikap pasif. Sementara di pihak lain, sekelompok massa Muslim mengambil sikap aktif dengan melakukan aksi-aksi teror berdarah, seperti penculikan dan pembunuhan, penembakan dan pemboman angkutan-angkutan umum, pemboman tempat-tempat umum seperti pasar dan rumah ibadah. Aksi-aksi teror berdarah ini berlangsung secara tersembunyi dan tidak terduga. Aksi-aksi itu antara lain, kasus pemenggalan kepala tiga siswa SMU Kristen Poso, kasus penculikan dan pembunuhan Bendahara Sinode GKST, Pnt. Oranje Tadjodja, kasus penembakan Pdt. Susianti Tinulele ketika sedang berkhotbah di Gereja GKST Efata Palu, kasus Penembakan Sekretaris Umum Sinode GKST, Pdt. Irianto Kongkoli, kasus penembakan Jaksa Silalahi, kasus pemboman Gereja GKST Imanuel Palu, kasus pemboman Pasar Tentena, dan sejumlah kasus-kasus teror berdarah lainnya. Sampai tahun 2002 tercatat 42 desa yang berpenduduk Kristen di kecamatan Poso kota, Poso Pesisir, dan Lage Tojo yang terbakar oleh aksi kerusuhan dan konflik. Kehancuran fisik bangunan diperkirakan lebih dari 6.523 unit, 17 sekolah, 1 asrama pelajar dan susteran Katolik, 1 pondok pesantren, 8 Puskesmas, 57 Mesjid, 70 gereja, dan 2 Pura.43 Penduduknya yang beragama Kristen mengungsi ke kecamatan Lore Utara, Pamona Utara, Morowali, Palu, dan Manado, sementara penduduk yang beragama Islam mengungsi ke Ampana, Parigi. Palu, Makasar, dan Jawa. Kecamatan Lage Tojo terletak di sebelah Timur kota Poso, dengan desa-desa yang menyebar di
43
Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 56.
166 Redefinisi Tindakan Sosial…
sepanjang pesisir teluk Tomini.44 Kecamatan Lage menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota kecil yang berpenduduk mayoritas muslim, yaitu Ampana yang merupakan bekas pusat kerajaan Islam Tojo. Kota Ampana ini sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Touna. Kecamatan Poso Pesisir terdiri dari desa-desa yang menyebar di sepanjang pesisir Barat teluk Tomini. Kecamatan ini menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota pelabuhan yang penduduknya mayoritas muslim, yaitu Parigi. Kota ini sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Parimo. Sementara itu sejumlah besar pengungsi korban konflik Poso memilih tinggal di Tentena dan sekitarnya sehingga sejak tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk di kota Tentena dan sekitarnya.45 Keterlibatan warga Kele’i dalam konflik Poso tersebut di atas tidak saja disebabkan oleh adanya tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin perlawanan yang berasal dari Kele’i, seperti Herman Parimo dan Ir. Lateka, tetapi juga karena mengingat sejarah Kele’i yang berpengalaman dalam perang antara suku-suku di Poso sampai dengan akhir abad kesembilan belas dan perlawanan mereka terhadap dua kerajaan Islam yang bersaing menguasai teritori mereka, yaitu kerajaan Luwu dengan pusatnya di Palopo Sulawesi Selatan dan Kerajaan Sigi dengan pusatnya di Palu Sulawesi Tengah. Selain itu, warga desa Kele’i memiliki peran strategis pada masa perjuangan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) dalam melawan Permesta serta Darul Islam /Tentara IsIam Indonesia yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar di
44
Wawancara dengan Pdt. Ishak Pole, M.Si., tanggal 24 November 2013 di
Tentena. 45 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Puselemba, tanggal 24 November 2013 di Tentena.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 167
Sulawesi Selatan.46 Pengalaman-pengalaman historis dan eksistensial itu telah membentuk sifat dan karakter orangorang Kele’i sebagai orang-orang yang pemberani, pantang menyerah, tidak takut menghadapi ancaman, keras, dan setia kawan dengan orang-orang yang telah dianggap siwia47 dengan mereka. Salah satu identitas sosial yang membuat seseorang dianggap siwia dengan penduduk setempat adalah identitas agama. Oleh sebab itu, kekristenan telah menjadi salah satu alat perekat yang kuat antara orang-orang Pamona dengan para pendatang dari daerah lain. Di desa Kele’i terdapat beberapa keluarga yang berasal dari Minahasa, Morowali, Toraja dan lain-lain, tetapi dalam kehidupan seharihari mereka tidak dapat dapat lagi dibedakan dengan orangorang Kele’i sendiri. Selain itu, pengalaman-pengalaman perang dan konflik bersenjata di masa lalu telah membuat orang-orang Kele’i merasa perlu membekali diri dengan ilmuilmu hitam yang dapat dipakai untuk melindungi diri dan keluarga, seperti ilmu kebal dan ilmu pedukunan.48 Oleh latar belakang inilah kita dapat memahami keterlibatan orangorang Kele’i dalam kerusuhan dan konflik Poso sejak tahun 1998 hingga 2003. Jiwa pemberani dan setia kawan dengan orang-orang yang dianggap siwia dengan mereka sendiri telah membuat mereka tidak bisa berdiam diri ketika melihat orangorang Poso dan warga Kristen di kota Poso menjadi korban amuk masa dan akhirnya terlibat dalam konflik berdarah. 46 Lih. uraian sejarah sebelumnya dalam Bab IV Pasal 6.2 tentang Pergolakan Politik di Sulawesi Tengah. Lih. juga Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso…, 109. 47 Dalam budaya Pamona, orang asing atau pendatang yang hendak diterima menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya Pamona harus melewati sebuah ritual yang disebut Pekasiwia.Bila seseorang sudah mengikuti ritual tersebut maka dia sudah dianggap siwia (sama dan setara) dengan orang-orang Pamona. Kepadanya diberi hak-hak dan kewajiban masyarakat adat, seperti mosintuwu atau gotong royong. Wawancara dengan Bapak Kalingani, 28 Maret 2014 di Kele’i. 48 Wawancara dengan Ibu Ngkai Janggo, 28 Maret 2014 di Kelei. Wawancara dengan Bapak Henos, 28 Maret 2014 di Kele’i.
168 Redefinisi Tindakan Sosial…
Dari fakta-fakta dan opini-opini tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun Kele’i tidak mengalami secara langsung kerusuhan dan konflik Poso karena letaknya yang relatif jauh dari Poso, tetapi ia telah terlibat dalam aksi-aksi kekerasan dan pertikaian bersenjata di kota Poso dan sekitarnya. Keterlibatan tersebut bersifat langsung melalui keterlibatan orang-orang Kele’i dalam konflik dan secara tidak langsung melalui dukungan moril terhadap mereka yang terlibat. Dukungan itu antara lain nampak melalui penerimaan penduduk Kele’i terhadap relawan-relawan yang berasal dari desa lain yang ikut terlibat dalam konflik Poso. Menurut infomasi yang diperoleh, Fabianus Tibo49, salah seorang tokoh pemimpin gerakan perlawanan massa Kristen selama kerusuhan dan konflik Poso, sering melakukan konsolidasi dan mobilisasi dari desa Kele’i.50 Informasi ini semakin menegaskan keterlibatan Kele’i dalam kerusuhan dan konflik Poso. 1.3.
Masalah-Masalah Pasca Konflik Konflik Poso mulai mereda pada tahun 2003 menyusul dilakukannya Perjanjian Malino untuk Poso pada tanggal 20 49 Fabianus Tibo adalah warga masyarakat Morowali yang berasal dari Flores. Pada waktu konflik Poso berlangsung, ia bersama dua rekannya, yaitu Marianus Riwu dan Dominggus da Silva pergi ke Poso untuk melakukan evakuasi terhadap siswa-siswa SMA Katolik yang lokasinya berada di tengah pemukiman Muslim. Sejak saat itu mereka bertiga tidak dapat menghindarkan diri lagi dari aksiaksi perlawanan terhadap massa Islam di kota Poso dan sekitarnya. Keterlibatan mereka bertiga akhirnya dijadikan alasan untuk ditangkap pada tahun 2001, diadili dan divonis dengan hukuman mati. Masyarakat kristiani dan organisasi gereja di Poso melakukan perlawanan legal terhadap putusan hukum yang dianggap tidak adil itu. Tetapi semua upaya tidak berhasil membebaskan mereka bertiga. Pada dini hari 23 September 2006, mereka bertiga dieksekusi di hadapan regu tembak satuan Brimob Polda Sulteng di kota Palu. Peristiwa ini meninggalkan kekecewaan dan kemarahan serta trauma yang dalam bagi seluruh masyarakat Kristiani di kota Poso. Mereka bertiga dianggap sebagai martir dan korban ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat hukum dan pemerintah. Untuk lengkapnya lih. Yosef Tor Tulis, Kisah Tiga Martir dari Poso (Jakarta: Jetpress, 2007). 50 Wawancara dengan Ibu Bareta, 28 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara dengan Bapak Tologana, 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 169
Desember 2001 di Malino Sulawesi Selatan. Perjanjian dan deklarasi damai ini dipelopori oleh Yusuf Kalla sebagai Menteri Koordinator Kesejahateraan Rakyat pada waktu itu. Pertemuan Malino dihadiri oleh pihak-pihak yang berkonflik di Poso. Masing-masing pihak diwakili oleh empat belas orang delegasi. Dari pihak Kristen dihadiri oleh wakil GKST dua orang, wakil gereja Roma Katolik dua orang, wakil-wakil kelompok milisi seperti pasukan Kelelawar, Macan, KupuKupu, Amsimar dan Krisis Senter yang masing-masing dua orang. Dari pihak muslim dihadiri oleh MUI Sulteng dua orang, MUI Poso dua orang, dan wakil-wakil kelompok Hisbullah, Ahlussunah Waljamaah, Jundullah, Majelis Dzikir, dan Jamaah Tablig masing-masing dua orang. Keadaan yang relatif aman pasca Perjanjian Malino untuk Poso menyisakan sejumlah masalah bagi warga desa Kele’i pada umumnya dan mereka yang terlibat dalam kerusuhan dan konflik pada khususnya. Kehadiran Tentara dan Brimob di Poso dan Morowali dalam rangka pemulihan keamanan dan pengejaran serta penangkapan aktor-aktor kerusuhan menyebabkan masyarakat terintimidasi. Tentara dan Brimob melakukan rasia-rasia di beberapa desa di Pamona Utara dan Morowali untuk mengejar Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyerangan di Pondok Pesantern Wali Songo di Dusun Sintuwu Lemba Kecamatan Lage. Salah satu desa yang menjadi target operasi pengejaran adalah Kele’i karena dianggap menjadi basis mobilisasi massa Kristen selama konflik. Selain itu Tentara dan Brimob melakukan razia senjata berapi dan menangkap orang-orang yang kedapatan memiliki dan menyimpan senjata api. Raziarazia ini dilakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar sehingga menimbulkan rasa marah dikalangan warga
170 Redefinisi Tindakan Sosial…
masyarakat. Oleh sebab itu sering terjadi ketegangan hubungan antara aparat keamanan dengan warga masyarakat di beberapa tempat di kecamatan Pamona Utara dan Pamona Timur, seperti di Tentena, Kele’i, dan Taripa. Keteganganketegangan itu sering berakhir dengan penangkapan warga masyarakat dan penganiayaan. Keadaan mulai berubah ketika aparat keamanan berhasil menangkap Fabianus Tibo dan kedua rekannya di desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali pada pertengahan Juni 2000.51 Emosi-emosi negatif yang muncul ketika hubunganhubungan sosial dalam masyarakat dipenuhi dengan rasa curiga, marah, dendam, dan rasa bersalah karena melakukan aksi kekerasan bahkan pembunuhan serta pemakaian ilmuilmu hitam menghantui warga desa Kele’i. Emosi-emosi negatif itu mengendap di dalam perasaan mereka sehingga kehidupan sehari-hari menjadi terganggu oleh kegelisahan dan ketakutan. Seorang warga Kele’i yang berumur kurang lebih empat puluh tahun yang ikut secara langsung dalam kerusuhan dan konflik Poso mengatakan: Yaku maeka rayaku wawase’i. Bare’e rodo katuwuku mangaendo-endo poiwali anu mewali ri Poso. Tempo setu yaku malulu ngkai jela-jela ri Sangginora. Yaku ndariu sira Om Tibo danaka yaku mampotompu paincani anu danda pake moiwali. Roo nda riu, kuepe koroku maroso, magasi, pai beda tinja wa’a panaguntu ri koroku. Ince’e painaka maroso rayaku pai bare’e eka ndayaku mampositomu tau se’e anu lau ri Poso. Paikanya ri kapusanya poiwali setu, kuepe wa’a paincani setu marameda ri koroku. Bare’e lintu kayoreku sambengi-sambengi. Pepokonoku ja sambela da sengke pai mombeluku.52 Tulis, Kisah Tiga Martir…, 23-22. Bahasa Pamona, artinya: “Sekarang ini perasaan takut menyelimuti aku. Tidak tenang hidupku mengingat-ngingat apa yang telah terjadi di Poso. Waktu itu 51 52
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 171
Apa yang terjadi pada orang ini terdapat juga pada diri beberapa orang yang lain. Menurut Pendeta Bareta sebagai Gembala Jemaat Eli Salom Kele’i, sesudah kerusuhan dan konflik Poso berakhir ada sejumlah besar warga desa Kele’i dan sekaligus warga jemaatnya yang datang kepadanya menyerahkan benda-benda jimat yang telah dipakai selama kerusuhan tersebut. Mereka minta untuk dilepaskan dan dibebaskan dari kuasa dan pengaruh kekuatan-kekuatan magis yang pernah mereka pakai, karena kehidupan mereka tidak tenang dan panas. Pendeta Bareta kemudian mengumpulkan benda-benda jimat itu dan membakarnya.53 Selain karena pengalaman magis selama kerusuhan dan konflik Poso, ada juga orang yang terbeban dan merasa bersalah karena terlibat dalam aksi-aksi berdarah yang mengakibatkan kematian orang lain. Seorang informan yang masih muda, kurang lebih berumur 35 tahun membuat kesaksian sbb: Saya melihat aksi pengeroyokan di halaman kantor BRI Tentena. Waktu itu saya sedang berada di pasar. Tiba-tiba saya lihat orang banyak lari ke muka BRI. Saya ikut lari ke sana. Di sana saya lihat seseorang sedang melawan sejumlah besar orang. Saya kenal dia karena dia anak Pasar Tentena. Orang-orang mulai pukul dia pake kayu dan batu. Lalu Ibu Lumentut datang menghentikan aksi orang banyak itu dan bawa dia ke Rumah Sakit GKST. Waktu itu saya punya perasaan biasasaya mengikuti orang tua itu (Maksudnya Lateka) sampai di Sangginora. Sebelumnya saya dimandikan oleh Om Tibo agar saya memperoleh ilmu kebal yang akan dipakai dalam peperangan. Setelah dimandikan tubuh saya menjadi kuat, lincah gesit, dan kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Itulah sebabnya saya kuat hati dan tidak ada perasaan gentar sedikitpun untuk berperang di Poso. Tetapi setelah perang itu berakhir saya merasa ilmu itu panas membakar tubuhku. Saya tidak bisa tidur setiapmalam. Saya selalu dikejar oleh keinginan untuk marah dan berkelahi…” Wawancara dengan saudara “N” (samaran) 27 Maret 2014 di Kel’i. 53 Wawancara dengan Ibu Pendeta Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
172 Redefinisi Tindakan Sosial…
biasa saja. Ada sedikit takut waktu Brimob datang di Tentena. Tapi tidak ada apa-apa. Nanti waktu ikut-ikut persekutuan doa di tenda, saya sadar dan merasa berdosa… 54 Peristiwa yang dimaksud di atas adalah peristiwa pembunuhan oleh massa terhadap seorang warga Muslim asal Makassar yang pernah tinggal di Tentena dan berjualan di Pasar. Pada waktu kerusuhan ia meninggalkan Tentena dan pergi ke Poso. Ada kabar bahwa ia ikut dalam aksi-aksi pembakaran di Poso. Ketika keadaan relatif aman, ia datang ke Tentena untuk menarik tabungannya di BRI Kancab Tentena. Pada saat itu masyarakat mengenalnya dan mengeroyoknya hingga tewas di tempat. Pengaruh kuasa-kuasa magis, pengalaman-pengalaman traumatis, dan emosi-emosi negatif seperti di atas kemudian tereskpresi baik secara personal maupun kolektif dalam perilaku, hubungan-hubungan kekeluargaan dan sosial. Ketertiban dan keamanan di dalam desa sering mengalami gangguan oleh sikap-sikap keras, kasar, dan mabuk-mabukan dari warga masyarakat sendiri. Menurut salah seorang tokoh masyarakat, sesudah kerusuhan dan konflik Poso, warga desa Kele’i yang memang memiliki karakter pemberani dan keras sering terlibat dalam perkelahian antar warga di dalam desa. Orang-orang menjadi mudah tersinggung dan marah lalu bentrok fisik di dalam kampung, apalagi kalau sudah mabuk dengan saguer dan captikus.55 Proses penegakan hukum yang tidak jelas dan parsial terhadap sejumlah korban kerusuhan dan para pelaku kekerasan masa membuat masyarakat frustrasi dengan Wawancara dengan “R” (nama samaran), 25 November 2013 di Kele’i. Saguer dan cap tikus adalah nama minuman tradisional beralkohol yang diolah secara tradisional oleh penduduk dari tangkai buah pohon aren. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014 di Kele’i. 54 55
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 173
keadaan yang berkembang. Hal ini misalnya nampak dalam reaksi emosional warga masyarakat ketika terjadi pengejaran dan penangkapan terhadap Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva yang dituduh sebagai pemimpin pasukan merah dari komunitas Kristen dan yang dituduh melakukan pembantaian di sebuah pondok pesantren di desa Sintuwu Lemba Kecamatan Lage. Sementara pada saat yang sama para pelaku penyerangan dan aksi-aksi penculikan dan pembunuhan dari komunitas Muslim tidak diusut dan ditangkap. Keadaan menjadi semakin runyam ketika di kota Poso muncul sebuah kelompok teroris yang melakukan aksiaksi gerilya untuk menculik dan membunuh tokoh-tokoh masyarakat Kristen dan para pemimpin gereja. Masyarakat menjadi frustrasi karena tidak ada upaya yang serius dari aparat keamanan dan penegak hukum untuk mengejar dan menangkap para pelaku serta membawa mereka ke pengadilan. Rasa frustrasi itu kemudian muncul dalam sikap apatis dan curiga dalam hubungan-hubungan sosial. Dari kenyataan-kenyataan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah situasi menjadi relatif aman, masyarakat menghadapi masalah-masalah baru dalam kehidupan pribadi dan sosial. Menurut informasi yang berhasil dihimpun dari masyarakat, terutama para pemimpin masyarakat dan gereja ada beberapa masalah yang dirasakan oleh warga desa Kele’i sesudah konflik Poso, yaitu: a. Ketegangan dan konflik dalam Masyarakat Kerusuhan dan konflik Poso menyebabkan terjadinya fenomena gerakan mistik dan kebangunan rohani di kalangan masyarakat pada umumnya, dan Kele’i pada khususnya. Selama konflik berlangsung masyarakat diramaikan oleh ritual-ritual mistis dan praktek-praktek magis untuk
174 Redefinisi Tindakan Sosial…
mendapatkan paincani56 yang dapat dipakai untuk melindungi diri, misalnya ilmu menghilang dan ilmu kebal. Ritual-ritual mistik dan praktek-praktek magis ini sering dikombinasikan dengan konsep-konsep dan praktek-praktek keagamaan Kristen, misalnya memandikan orang di tengah malam dan mengucapkan doa Bapa Kami untuk memperoleh ilmu kebal. Selain itu masyarakat juga memakai benda-benda dan simbolsimbol keagamaan Kristen untuk menjadi jimat pelindung diri, misalnya kalung salib dan alkitab kecil untuk membuat diri berani dan kebal terhadap senjata tajam. Secara historis Kele’i cukup dikenal sebagai desa mistik karena adanya sejumlah orang yang dianggap memiliki paincani yang tinggi. Mereka merasa penting untuk memiliki paincani tersebut sebagai pelindung dan kekuatan dalam perang dan masa pergolakan. Menurut informasi yang ada, paincani-paincani ituberasal dari orang-orang tua yang ikut dalam perang melawan to Napu, to Pebato, to Luwu, dan to Sigi di abad ke sembilan belas. Pada waktu pergolakan politik melawan PRRI Permesta dan Darul Islam, Kele’i menjadi salah satu basis markas Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST). Hal ini dikarenakan letak desa Kele’i yang strategis untuk pertahanan dan karakter orang Kele’i yang pemberani. Pada waktu itulah orang-orang kembali mencari dan mempelajari paincani-paincani itu untuk dipakai menghadapi pasukan Permesta dan Darul Islam Tentara Islam Indonesia.57 Setelah masa pergolakan politik di Sulawesi Tengah berakhir, paincani-paincani itu mengendap dan tidak dipergunakan. Sesekali dipakai oleh orang-orang tertentu untuk mencoba orang-orang lain, terutama orang asing atau orang yang tidak disukai. Dalam bahasa setempat cara ini
56 57
Bahasa Pamona, artinya Ilmu dan kekuatan gaib. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 175
disebut mombewai.58 Ketika kerusuhan dan konflik Poso terjadi, orang-orang kembali menghidupkan fungsi paincanipaincani ini. Paincani itu bersumber dari agama dan kepercayaan nenek moyang yang disebut lamoa. Dalam kepercayan suku Pamona, kehidupan manusia dikelilingi oleh berbagai macam kekuatan yang tidak dapat diperkirakan. Kekuatan-kekuatan itu akan menjadi sebuah ancaman dan bahaya apabila tidak dapat dikendalikan. Kekuatan-kekuatan itu bisa datang dari gejala-gejala alam, situasi dan peristiwa, musuh-musuh sosial, serta roh-roh yang tidak kelihatan. Oleh sebab itu apabila orang-orang akan pergi ke hutan untuk mencari rotan dan berburu, atau pergi berperang melawan musuh maka orang tidak akan selamat kecuali kalau para tuatua memberikan paincani-paincani itu kepada mereka.59 Penggunaan paincani-paincani ini semasa konflik dan terlebih sesudah konflik menjadi pokok ketegangan antara masyarakat yang masih kental dengan pandangan tradisional dengan mereka yang berpikiran modern. Bagi kaum tradisional penggunaan paincani merupakan warisan nenek moyang dan kekayaan budaya yang harus dipertahankan dan dipergunakan. Sementara bagi kaum modern tindakan seperti itu tidak rasional, sinkretisme, dan bertentangan dengan pokok-pokok kepercayaan Kristen. Ekspresi-ekspresi kaum tradisional muda yang memiliki paincani tersebut tidak jarang muncul dalam bentuk perilaku keras dan tidak terkontrol, seperti berkelahi dan minum minuman beralkohol hingga mabuk. Kelanjutan dari ketegangan ini adalah terpinggirkannya kaum tradisional dari acara-acara formal kemasyarakatan, ibadah-ibadah ritual gereja, dan kepemimpinan-kepemimpinan desa.
58 59
Wawancara dengan Bapak Tologana, 27 Maret 2014 di Kele’i. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso…, 55.
176 Redefinisi Tindakan Sosial…
b.
Penyalahgunaan Minuman Beralkohol Salah satu kebiasaan yang sudah ada secara turun temurun di kalangan suku-suku yang ada di Poso adalah mengolah minuman beralkohol dari bahan air pucuk buah pohon aren. Pohon aren adalah salah sau jenis tanaman liar yang banyak tumbuh di lereng lereng bukit pedalaman Sulawesi tengah. Penduduk mengolah secara tradisional air yang keluar dari pucuk bakal buah menjadi minuman beralkohol yang dalam bahasa setempat disebut saguer. Minuman beralkohol ini menjadi konsumsi kaum lelaki dewasa ketika mereka berada di ladang dan telah selesai mengerjakan pekerjaan harian. Minuman ini sering juga dijadikan sebagai minuman perayaan dalam acara-acara budaya dan pesta rakyat, seperti pesta panen, pesta perkawinan, dan pesta duka. Kadang juga minuman ini dipakai untuk acara-acara penyambutan tamu dalam pesta rakyat. Saguer termasuk dalam jenis minuman berkadar alkohol rendah, namun penduduk sering menyulingnya lagi dengan cara tradisional untuk mendapatkan minuman beralkohol dengan kadar tinggi yang disebut cap tikus. Jenis yang terakhir inilah yang dapat menimbulkan keadaan mabuk bagi yang mengkonsumsinya.60 Menurut informan yang diwawancarai, pada waktu kerusuhan dan konflik Poso berlangsung di tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, masyarakat bersepakat untuk bersiaga dan waspada terhadap gangguan keamanan dan serangan kelompok perusuh. Oleh sebab itu mereka menghindari konsumsi minuman beralkohol. Bila kedapatan ada warga yang minum cap tikus atau saguer ketika sedang terjadi konflik maka akan dikenai sanksi berupa perendaman
60
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 2 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 177
di salah satu sungai pada waktu malam hingga dini hari.61 Selama berlangsung kerusuhan dan konflik Poso orang-orang patuh pada kesepakatan itu. Mereka sepakat untuk memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaga pada kondisi keamanan, baik di dalam desa maupun di daerah sekitarnya. Orang-orang yang akan pergi ke Poso untuk melakukan evakuasi dan pembelaan terhadap masyarakat Kristen di sana diharuskan berada dalam kondisi mental dan fisik yang baik, tanpa dipengaruhi oleh alkohol. Akan tetapi ketika kerusuhan dan konflik fisik berdarah usai di tahun 2003, terjadi titik balik dalam perilaku masyarakat. Keadaan yang relatif aman dan waktu luang yang cukup tersedia menjadi kesempatan untuk berkumpul dan mengkonsumsi saguer dan captikus. Seorang pemuda yang berhasil diwawancarai mengatakan: Saya masih terbayang-bayang dengan mukamuka yang panik waktu kami ada di Tagolu. Waktu itu pasukan Jihad menyerang Buyungkatedo. Kami lalu ke desa Sepe untuk jaga-jaga jangan sampai pasukan jihad masuk ke Silanca. Kalau Silanca dimasuki Jihad, Tagolu juga akan akan dimasuki. Saya punya bale satu orang yang berasal dari Pamona, mati di dekat Tongko karena tertembak. Mayatnya tidak ada yang berani ambil. Tiga hari kemudian baru Brimob evakuasi jenazahnya ke Tagolu dan dibawa ke Pamona. Wajahnya hancur, jenasahnya bau busuk sekali. Kalau ingat itu saya ngeri, tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Tetapi kalau sudah duduk manginu62 dengan teman-teman saya bisa lupakan itu. Tapi waktu ada ibadah-ibadah tenda yang dipimpin Liana, saya sadar, sekarang saya tidak minum lagi, bahkan merokok juga tidak lagi.63 Wawancara dengan Ibu Pendeta Bareta, 27 Maret 2014. Bahasa Pamona, artinya minum. 63 Wawancara dengan saudara “Y”, 18 November 2013 di Kele’i. 61 62
178 Redefinisi Tindakan Sosial…
Pengalaman yang hampir sama diceritakan oleh seorang pemuda lain yang juga tidak mau disebutkan namanya, Torang mau evakuasi orang-orang yang masih tinggal di kebun-kebun di Buyumboyo. Torang jalan dari Sepe melewati kebun-kebun. Waktu sudah dekat Buyumboyo, ketemu laskar Jihad yang dari Madale mau pulang ke Lawanga. Torang ada kurang lebih dua puluh orang, ada yang dari Tentena, Tagolu, dan Silanca. Tetapi kami hanya bawa parang dan senjata rakitan. Laskar Jihad tembak torang lalu torang balas, tapi kurang peluru. Satu teman kena langsung jatuh. Torang tidak berani balik untuk ambil dia waktu itu. Dua hari kemudian torang balik ke tempat itu, adoh….. kasihan jenazahnya so busuk, dorang ikat dan bakar di pohon bambu….. kita kalu inga ini rasa muntah dan pusing…64 Para informan ini adalah pelaku sejarah kerusuhan Poso. Kesaksian mereka menunjukan bahwa mereka memiliki pengalaman-pengalaman traumatis yang tidak dapat terlupakan. Pengalaman-pengalaman itu terus membayangi dan menghantui pikiran dan perasaan mereka sehingga setelah keadaan relatif aman mereka tidak dapat kembali hidup secara normal. Mereka terus diganggu oleh memorimemori dan emosi-emosi yang meninggalkan luka di dalam batin mereka. Menurut informasi dari salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh jemaat bahwa orang-orang yang dulunya ikut dalam kerusuhan dan konflik Poso menjadi 64 Buyumboyo adalah nama desa yang dikenal umum oleh masyarakat Poso. Nama resmi desa ini adalah Bukit Bambu. Terletak di sebuah bukit yang tinggi di dekat kota Poso. Penduduknya mayoritas Kristen dari suku pamona lage. Dari desa inilah berasal tiga siswa SMU Kristen Poso yang dipenggal kepalanya pada saat berjalan menuju sekolah. Waktu kerusuhan dan konflik penduduk desa ini mengungsi ke Tentena. Wawancara dengan “A”, 20 November 2013.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 179
orang-orang yang tidak terkendali, apalagi ketika mereka telah minum saguer dan cap tikus. Namun demikian, setelah terjadi fenomena Marliana, sebagian besar dari mereka telah bertobat dan sekarang tidak minum lagi, bahkan merokokpun tidak.65 Konsumsi alkohol yang berlebihan dan perilaku mabuk-mabukan di kalangan warga yang mengalami masalah emosional karena memori-memori negatif dan pengalaman traumatis kerusuhan membuat pekerjaan warga masyarakat dan ekonomi keluarga merosot. Banyak pemuda tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak mempunyai biaya dan akhirnya putus sekolah. Para pemuda yang putus sekolah ini menjadi masalah bagi desa Kele’i karena mereka tidak produktif. Bila malam mereka kumpul dan minum-minum sampai mabuk, lalu siang hari mereka hanya tidur dan tidak bekerja.66 Keadaan ini membuat para pemimpin masyarakat dan pemimpin gereja prihatin. Keadaan aman dan tanpa bentrokan pasca kesurusahan dan konflik Poso ternyata membawa masalah dalam kehidupan warga desa Kele’i. c. Bunuh Diri Sepanjang hidupnya orang-orang Poso Pamona merasa dirinya termasuk dalam persekutuan di mana ia lahir. Ini tidak berdasarkan pilihannya sendiri, tetapi suatu keadaan yang telah ditentukan yang memungkinkan seseorang menjadi bagian dari kehidupan orang lain. Oleh sebab itu kebersamaan adalah kehidupan itu sendiri dan kesendirian adalah kematian.67 Apa yang paling menakutkan bagi orang Poso Pamona adalah kematian, karena kematian itu akan dijalani Wawancara dengan Bapak Lumaya, 27 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara dengan Yulni Wendur, 28 Maret 2014 di Kele’i. 67 J. Kruyt, Kabar keselamatan di Poso( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), 65 66
44.
180 Redefinisi Tindakan Sosial…
sendirian tanpa orang lain. Dalam kepercayaan nenek moyang, ketika orang mati maka jiwanya akan mengadakan perjalanan ke suatu tempat yang tidak dikenalnya dan ia harus membiasakan diri kepada suatu keadaan baru. Inilah yang menjadi katakutan utama bagi orang-orang berkaitan dengan kematian. Jadi bukan kematian itu sendiri yang mengerikan, tetapi kesendirian dalam perjalanan setelah kematian, itulah yang mengerikan. Dengan latar belakang kepercayaan ini maka nyaris tidak ditemukan dalam sejarah orang-orang Poso Pamona kasus bunuh diri. Bunuh diri adalah sebuah konsep dan tindakan yang sama sekali asing dan tidak dikenal dalam struktur pikiran dan perilaku orang Kele’i. Namun demikian terjadi keanehan dan kegemparan ketika setelah kerusuhan dan konflik Poso berakhir pada tahun 2003, secara berturutturut dalam kurun waktu empat tahun terjadi empat kasus bunuh diri di desa Kele’i yang melibatkan warga masyarakat setempat. Semua kasus itu terjadi dengan cara menggantung diri.68 Keempat kasus bunuh diri tersebut menimbulkan ketakutan dan kepanikan di dalam masyarakat. Seorang pemudi mengatakan, Kami menjadi takut sekali. Sering kali kalau sudah terjadi bunuh diri lagi maka orang-orang langsung berbisik-bisik, sesudah ini siapa lagi. Kami merasa ini seperti giliran. Tinggal tunggu waktu siapa lagi yang akan bunuh diri. Kami tidak bisa menduga siapa yang akan melakukannya. Karena orang-orang yang bunuh diri itu adalah orang-orang yang tidak kami perkirakan akan melakukannya. Hidup mereka biasa-biasa saja. Ini semua gara-gara orangorang Kele’i mau dimandikan supaya kebal dan 68 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 28 Maret 2014 dan Yulni Wendur, 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 181
berani waktu kerusuhan. Laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, setiap subuh jam lima dimandikan.69 Mereka menghubungkan praktek bunuh diri itu dengan ilmu-ilmu magis dan kuasa-kuasa jahat yang pernah dipakai saat kerusuhan dan konflik Poso berlangsung. Mereka mulai memahami kasus-kasus bunuh diri dengan logika mistik bahwa ini semua adalah dampak dari praktek magis pada tahun 2000 ketika hampir setiap tengah malam menjelang subuh orang-orang Kele’i mengikuti ritual magis, yaitu dimandikan agar memiliki keberanian dan kekebalan tubuh. Setelah kuasa-kuasa itu sudah membantu mereka selama kerusuhan dan konflik Poso berlangsung maka akhirnya mereka harus membayar dengan nyawa mereka sendiri. Tentu saja hal ini tidak dapat dibuktikan secara empirik. Klarifikasi rasional tidak dapat masuk dalam ranah mistis seperti ini. Struktur berpikir masyarakat tidak menyediakan ruang bagi penjelasan-penjelasan psikologis terhadap keempat kasus bunuh diri tersebut. Hal yang pasti adalah bahwa telah terjadi keresahan, kepanikan, dan ketakutan di dalam masyarakat. d. Kerasukan Hantu dan Roh Jahat Bersamaan dengan kasus-kasus bunuh diri tersebut di atas, masalah lain yang muncul dalam kehidupan masyarakat Kele’i adalah kejadian-kejadian gangguan-gangguan hantuhantu, roh-roh orang yang meninggal, dan kerasukan roh jahat. Menurut kisah beberapa informan, kejadian-kejadian itu biasanya terjadi menjelang malam. Sering terjadi ketika matahari mulai tenggelam, bahasa setempat soyomo eo, ada sejumlah orang yang mengalami gangguan hantu-hantu yang mereka sebut renggeana. Hantu ini dipercayai sebagai roh 69
Wawancara dengan YW (nama samaran), 28 Maret 2014 di Kele’i.
182 Redefinisi Tindakan Sosial…
orang yang meninggal secara tidak wajar dan tidak layak, termasuk orang-orang yang meninggal dalam keadaan mengandung atau hamil. Renggeana ini akan menyerang siapa saja yang ditemuinya, terutama kaum lelaki. Seorang warga memberi informasi, Kalau renggeana menyerang perempuan maka perempuan itu akan merasakan sakit yang luar biasa di bagian pohon perut. Kalau renggeana menyerang laki-laki maka dia punya tatare.70 Hampir tiap malam ada orang yang kena renggeana dan kalau tidak diobat mati. Untung di Kele’i ini ada Tante Santi yang bisa mengobati orang-orang yang kena renggeana. Tante Santi bisa mengobati orang-orang yang kena renggeana sampe sembuh. Kalau tidak berobat bisa mati.71 Mencari orang-orang yang pernah diserang oleh renggeana ternyata mengalami kesulitan. Mereka cenderung bersifat tertutup dan menghindari percakapan tentang pengalaman itu. Menurut keterangan dari Pendeta setempat mereka malu karena dalam pandangan masyarakat orangorang yang kena renggeana dianggap sebagai orang-orang yang mosalara.72 Kepercayaan terhadap renggeana dan kejadiankejadian mistik di mana orang mengalami gangguan hantuhantu membuat kehidupan di Kele’i menjadi muram dan warga masyarakat dilanda ketakutan. Bila malam hari warga masyarakat tidak berani keluar rumah karena takut diserang renggeana, kecuali mereka yang memiliki paincani. Pemerintah desa dan para pelayan gereja tidak dapat berbuat Bahasa sehari-hari di Poso yang artinya kemaluannya akan hilang. Wawancara dengan Yulni Wendur 28 Maret 2014 di Kele’i. 72 Bahasa Pamona yang artinya orang-orang cabul. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 28 Maret 2014. 70 71
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 183
banyak karena orang-orang lebih memilih pergi ke dukun untuk berobat ketimbang pergi kepada Pendeta. Selain renggeana masyarakat juga dihantui oleh kepercayaan terhadap apa yang mereka sebut tau mepongko.73 Masyarakat kele’i percaya pada keberadaan orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk menjelma menjadi seekor binatang yang mengerikan dan menakutkan. Bila orang tersebut menjelma menjadi binatang maka ia akan mencari mangsa dan membuatnya pingsan. Setelah korbannya pingsan tau mepongko itu akan merobek perut korbannya dan memakan isi perutnya. Sesudah itu tau mepongko akan menjilat luka diperut korbannya sehingga perut itu tertutup kembali dan korban itu sadar atau hidup kembali, tetapi dengan membawa rasa sakit dan perih yang luar biasa hingga mengalami kematian secara perlahan-lahan. Yang paling menggelisahkan masyarakat ialah bahwa tidak seorangpun yang mengenal dengan pasti siapa yang menjadi tau mepongkodi desa itu. Ketakutan dan kegelisahan yang hebat melanda setiap orang, di satu pihak mereka bertanya “Siapa yang menjadi tau mepongko itu?” Tetapi di lain pihak ketakutan yang tidak kalah hebatnya melanda semua orang adalah pertanyaan, “Mungkinkah orang-orang menganggap saya sebagai tau mepongko itu?” Dalam tradisi orang Poso Pamona bila ada orang yang tertuduh sebagai tau mepongkomaka untuk membuktikan hal itu sang tertuduh dipanggil ke dewan hadat dan diminta mencelupkan ujung jari tengahnya ke dalam damar yang sedang dilebur dengan suhu yang sangat panas. Jari itu dicelupkan sampai damar itu mengental kembali. Apabila damar itu telah mengental maka 73 Bahasa pamona yang secara hurufiah berarti manusia jadi-jadian atau manusia hantu. Masyarakat juga biasa menyebut manusia macan karena mengicar isi perut manusia untuk dimakannya. Tentang konsepsi ini lih. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso…, 59-60.
184 Redefinisi Tindakan Sosial…
jari sang tertuduh ditarik keluar damar itu. Jika kulit jari yang terbenam itu tidak mengelupas maka orang itu dianggap bukan tau mepongko. Tetapi apabila kulit jarinya yang masuk ke dalam damar panas itu mengelupas maka itu berarti dia adalah taumepongko. Bila proses ini telah dilalui maka tau mepongko akan dibunuh tanpa ampun dengan penai.74 Di sini kita melihat bahwa kepercayaan terhadap hantu dan kejadian-kejadian mistik seperti tergambar di atas memiliki dampak yang nyata dalam kehidupan sosial. Inilah juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kele’i pasca konflik. Ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang bersumber pada kepercayaan-kepercayaan tradisi nenek moyang dan kejadian-kejadian mistis melahirkan kegelisahan sosial. e. Praktek Perdukunan Keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang telah diuraikan di atas menjadi faktor utama berkembangnya praktek perdukunan secara sembunyi-sembunyi. Ketakutan dan kegelisahan sosial menjadi lahan yang subur bagi munculnya orang-orang yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kekuatan mistik untuk menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit atau kelemahan tubuh akibat kuasa dan roh jahat. Hal yang mengherankan adalah alih-alih mereka pergi kepada Pendeta atau Majelis Gereja untuk didoakan dan disembuhkan, masyarakat lebih memilih untuk menempuh cara-cara tradisional, yaitu pergi ke dukun dan minta disembuhkan dengan cara-cara mistik. Menurut salah seorang yang dituakan dalam masyarakat bahwa 74 Penai adalah pedang yang dipakai oleh pemimpin desa dalam perang melawan musuh. Penai ini dipercayai memiliki kekuatan gaib sehingga bagi orangorang yang memiliki ilmu kebal apapun, penai itu dapat melukai dan membunuhnya. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 185
kenyataan itu terjadi karena orang-orang Kele’i masih molamoa.75 Istilah Lamoa bagi orang Kele’i mengingatkan kepada seluruh ruang dan waktu sebagai suatu kehampaan yang diisi oleh kuasa-kuasa dan roh-roh yang tidak kelihatan. Manusia juga berada dalam ruang itu dan dikendalikan oleh roh-roh dan kuasa-kuasa yang tidak kelihatan itu. Kelahiran, nasib, dan kematian setiap orang ditentukan oleh roh-roh dan kuasa itu. Jadi, kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya berada dalam genggaman Lamoa.76 Dalam pemahaman ini terkandung ide tentang kekuasaan mutlak yang impersonal yang berkuasa atas seluruh keberadaan dalam ruang dan waktu. Ide ini masih begitu kuat berakar dalam kehidupan masyarakat setempat, sehingga ketika mereka mengalami halhal seperti yang digambarkan dalam bagian-bagian sebelumnya, mereka membutuhkan seseorang yang memahami dan memiliki kekuatan molamoa. Praktek molamoa ini menjadi masalah bagi masyarakat dan menimbulkan ketegangan ketika itu dicampurkan dengan beberapa konsep kepercayaan keagamaan Kristen. Beberapa orang yang pernah menyaksikan hal tersebut mengatakan bahwa dalam beberapa kesempatan penyembuhan, orangorang yang datang diminta untuk mengucapkan doa Bapa Kami.77 Hal ini cukup menarik karena di satu pihak sebuah konsepsi keagamaan yang cenderung bersifat animistik dan dinamistik dan dipihak lain ada konsepsi keagamaan yang bersifat monoteistik dapat dipadukan. Apakah ini hasil dari pendekatan yang dilakukan oleh para penginjil dahulu yang masih memberi ruang bagi masyarakat untuk memelihara tradisi budaya nenek moyang mereka sementara itu mereka 75 Wawancara dengan Mama Nanto anak Ngkai Janggo yang dianggap sebagai Ayam Jantan Sulawesi karena Ilmu Mistiknya yang tinggi, 29 maret 2014. 76 Untuk lebih jelasnya lihat: Kruyt, Keluar dari Agama Suku masuk ke Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 54 – 66. 77 Hasil percakapan dalam Focus Group Discussion, 30 Maret 2014 di Kele’i.
186 Redefinisi Tindakan Sosial…
menerima iman Kristen? Ataukah hal ini menandakan bahwa secara batiniah orang-orang tersebut masih molamoa walaupun secara legal formal telah menjadi Kristen? Mungkin juga konsepsi-konsepsi Kristen dianggap tidak fungsional dalam konteks permasalahan yang sedang mereka hadapi. Ketika diminta klarifikasi dari beberapa warga setempat, mereka mengatakan bahwa dalam menyebut dan menyapa Tuhan, baik dalam molamoa maupun dalam gereja mereka memakai istilah yang sama, yaitu Pue. Bahkan dalam ibadahibadah gereja mereka memakai sapaan Pue mPalaburu bagi Allah Bapa Pencita, Pue Yesu bagi Yesus Kristus, dan Inosa Magali bagi Roh Kudus.78 Konsepsi-konsepsi ini adalah terminologi molamoa, sehingga batas-batas antara molamoa dengan moagama79 menjadi kabur, tipis, dan tidak jelas. Masyarakat pada umumnya tidak dapat melakukan abstraksi tentang perbedaan molamoa dengan moagama. Mungkin saja kepercayaan dan praktek keagamaan yang sinkretis seperti di atas adalah akibat dari hal yang disebutkan terakhir ini. 2. Sejarah Munculnya Gerakan Keagamaan di Kele’i Jemaat Eli Salom secara resmi berdiri menjadi sebuah organisasi keagamaan yang formal pada tanggal 25 Oktober 2011. Namun demikian keberadaan dan perkembangannya telah dimulai sejak tahun 2008, lima tahun setelah kerusuhan dan konflik Poso berakhir. Nama jemaat ini ditentukan berdasarkan sebuah pengalaman mistik keagamaan yang dialami oleh seorang anak remaja bernama Marliana Pulanga. Berikut adalah deskripsi historis munculnya jemaat Eli Salom Kele’i. 78
Hasil percakapan dalam Focus Group Diskcussion, 30 Maret 2014 di
Kele’i. 79 Istilah moagama adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat setempat untuk menunjukan kepercayaan dan praktek keagamaan Kristen yang berbeda dengan molamoa.Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 187
2.1.
Pengalaman Keagamaan Marliana Pulanga Kurang lebih tiga puluh kilometer arah Barat dari desa Kele’i terdapat sebuah desa lain yang bernama Meko. Perjalanan dari Kele’i ke Meko dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dengan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Desa Meko menjadi sangat terkenal di seluruh Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau lain di Indonesia. Di desa kecil yang terletak tidak jauh dari pantai Danau Poso ini seorang anak kecil berusia delapan tahun yang bernama Selvin Bungge membuat gempar seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang suku dan agama. Ia mempunyai karunia untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Sejak tahun 2007 orang-orang pun datang membanjiri desa Meko di kecamatan Pamona Barat tersebut. Mereka datang dari berbagai daerah di Sulawesi dan dari berbagai latar belakang suku dan agama. Tujuannya mereka yang terutama adalah memperoleh kesembuhan. Si kecil Selvin menerima kehadiran orang banyak tersebut dengan keluguannya. Ia mengajak orangorang untuk menyanyi dan berdoa selama mereka ada di Meko. Pada saat itulah orang-orang mengaku mengalami kesembuhan dari berbagai penyakit. Fenomena mujizat penyembuhan di Meko mampu mempertemukan secara damai komunitas Kristen dan Islam untuk pertama kali sejak konflik berdarah 1998 – 2003. Selvin dipandang sebagai nabi kecil untuk semua orang. Rumah dan desanya dibanjiri orang. Perkataan-perkataannya didengar dan diikuti oleh banyak orang. Pendeta Ishak Pole, M.Si selaku Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah menulis: Kita harus mengakui bahwa fenomena spiritual Meko ini adalah Missio Dei, pekerjaan Allah yang bersifat supra-rasional, mengatasi penalaran dan cara kita berpikir. Kita hanya bisa menerimanya dengan rendah hati sambil
188 Redefinisi Tindakan Sosial…
mengucap syukur, bahwa Allah berkenan mengaruniakan peristiwa ini terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Pesannya jelas, agar iman dan pengharapan kita lebih diteguhkan…. Tidak perlu diragukan lagi bahwa peristiwa ini hendak menegaskan kepada kita semua bahwa Allah masih mengendalikan keadaan, di tengah krisis multi dimensi yang kita alami selama ini. Allah tetap peduli terhadap penderitaan umatNya. Kita semua perlu penyembuhan dan pemulihan.80 Menurut kesaksian Selvin seperti yang dicatat oleh Tertius Lantigimo, fenomena Meko berawal dari satu peristiwa pada bulan Januari 2007. Suatu hari di bulan itu Selvin mengusap-ngusap kaki ibunya yang sakit bertahun-tahun sehingga tidak dapat berjalan. Keesokan harinya ibunya kaget karena kakinya sembuh dan ia dapat berjalan seperti biasanya. Dia ingat apa yang dilakukan oleh Selvin anaknya sehari sebelumnya dan bertanya kepada Selvin apa yang telah dilakukan Selvin terhadap kakinya. Selvin, anak kecil yang lugu berkata kepada ibunya bahwa pada suatu malam dia melihat cahaya masuk ke dalam kamarnya dan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Yesus berkata kepadanya bahwa dia akan diberikan karunia menyembuhkan semua orang, tanpa kecuali.81 Sejak tahun 2007 sampai 2010 femonena Meko beredar ke seluruh wilayah di Sulawesi bahkan tempat lain yang lebih jauh sehingga orang-orangpun datang ke Meko untuk menyaksikan mujizat itu secara langsung dan pribadi. Peristiwa Meko menyadarkan seorang anak berusia 12 tahun, bernama Marliana Pulanga di desa Kele’i, bahwa ia tidak boleh merahasiakan pengalamannya yang hampir 80 Lih. Tertius Y. Lantigimo, Fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi di Meko (Tentena: Pamona Pro, 2007), 7. 81 Ibid., 9.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 189
serupa. Anak ini mengalami penglihatan yang berulang-ulang di tembok gereja GKST Yerusalem Kele’i setiapkali mengikuti ibadah minggu dan pada malam hari sering mengalami mimpimimpi yang mempertemukannya dengan sesorang yang memperkenalkan diri sebagai Yesus Kristus. Puncaknya adalah pada bulan Mei 2008, setiap kali mengikuti ibadah remaja jam 08.00 iamelihat sejumlah garis-garis seperti huruf-huruf yang membentuk sejumlah kalimat yang muncul di tembok depan gereja Yerusalem Kele’i, di belakang mimbar utama. Ia tidak memahami huruf-huruf itu, sampai suatu malam di bulan Juni ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendapat pengertian tentang apa yang dilihatnya di tembok depan Gereja.82 Dalam kesaksian tertulisnya, huruf-huruf dan kalimat-kalimat aneh di tembok gereja itu berarti: Bertobat dan balik pada Allahmu. Ini perintah yang kusampaikan kepadamu. Mengapa masih banyak orang yang tidak percaya akan mujizatmujizat yang telah terjadi di Tentena dan sekitarnya? Anak-anak-Ku, kalian adalah orangorang munafik. Tubuh yang Ku berikan padamu janganlah pernah menodainya dengan dosadosa kalian yang telah tercatat. Bersatulah kalian untuk melawan Iblis…. Bertobatlah dan bersatulah menjadi orang yang percaya sepenuhnya kepada-Ku dan menyerahkan hidupnya hanyalah kepada-Ku, sebab tidak ada Allah lain di dunia ini selain Aku…. Semua tulisan yang telah kutunjukan kepadamu adalah peringatan yang Ku tulis untuk semua orang, agar mereka bertobat. Edarkanlah tulisan-tulisan ini yang telah Ku perlihatkan kepadamu…. Ingatlah apa yang telah kuperlihatkan kepadamu melalui tulisan dan melalui mujizat-mujizat yang kuberikan kepada 82
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu.
190 Redefinisi Tindakan Sosial…
anak-anak pilihan-Ku. Sekali lagi ini perintah… Bertobatlah dan balik kepada Bapa.83 Sejak bulan Juni 2008 itu ia mulai menceritakannya kepada orang lain, mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan gereja dan masyarakat di desanya.84 Anak kami ini biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Dia anak yang kakak. Dua adiknya laki-laki. Memang Liana pendiam dan tidak suka banyak bicara. Hanya kepada neneknya ia sering bacerita.85 Karena itu walaupun kami ada di sini, Liana lebih suka tinggal sama neneknya di sini. Di sekolah Liana biasa-biasa saja. Tetapi dia anak yang baik, jujur, dan sopan. Dia tahu metubunaka86 pada orang tua. Di ibadah Minggu dia lihat itu tulisan. Antara yakin dan tidak. Pulang dari Gereja dia bilang ke nenek. Minggu berikutnya begitu lagi. Pulang dari gereja, bilang ke nenek. Minggu berikutnya begitu lagi. Pulang ke rumah ia bilang ke nenek dan saya. Saya bilang: “Tulis!”. Minggu selanjutnya Liana tulis, tapi tidak tahu artinya. Kami cari Pendeta Tertius di Tentena untuk tanya karena di Kele’i tidak ada yang tahu artinya. Pendeta Tertius juga tidak tahu huruf apa itu. Dia copy dan fax ke teman-temannya untuk tanya. Akhirnya petunjuk datang langsung ke Liana lewat mimpi. Kami percaya ia tidak kalopu-lopu.87Apalagi dia memang anak yang tekun berdoa dan rajin pergi ibadah di gereja. Sesudah itu Liana panggil saya dan 83
Kesaksian tertulis Marliana Pulanga dalam Sipatu, Fenomena Desa kele’i…,
2. Wawancara dengan Bapak Pulanga 30 Maret 2014 di Kele’i. Bahasa hari-hari di Poso, artinya Bercakap-cakap. 86 Bahasa Pamona yang artinya menghormati. 87 Bahasa Pamona yang artinya menceritakan atau menyampaikan yang tidak benar. 84 85
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 191
bilang, “Papa, bikin tenda, mo ibadah mulai malam ini.” Sejak saat itu dilaksanakan ibadah di tenda di depan rumah ini. Liana bersaksi danmenyerukan pertobatan.88 Keluarga dan masyarakat Kele’i yang sedang frustrasi dan berada dalam ketegangan oleh masalah-masalah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya percaya dengan apa yang dikatakan dan dituliskan oleh remaja tersebut. Penerimaan keluarga terhadap pengalaman-pengalaman keagamaannya membuat Marliana menceritakan semua hal yang telah dialaminya selama ini, yaitu bahwa ia sering mengalami penglihatan dan mimpi-mimpi bertemu dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Yesus Kristus. Waktu itu saya kelas dua SMP. Saya biasanya ikut ibadah remaja jam delapan pagi di gereja GKST Yerusalem Kele’i. Biasanya sementara renungan Firman di dalam ibadah di gereja, tiba-tiba saya lihat ada seorang yang pakai jubah putih dengan wajah yang berkilau di dekat mimbar. Ia menatap ke saya sambil tangannya tunjuk ke dinding yang ada di belakang mimbar gereja. Saya lihat ke dinding ada tulisan. Tapi saya tidak tau artinya. Saya tidak tahu itu tulisan bahasa apa. Karena terjadi berulang-ulang, saya tulis itu semua. Tetapi saya tidak tau apa artinya. Satu malam saya mimpi dan diberitahu apa arti tulisan itu.89 Pengalaman-pengalaman keagamaan yang seperti ini muncul secara berulang-ulang sejak tahun 2008 sampai saat ini dengan berbagai pesan yang harus dia teruskan kepada Wawancara dengan Bapak Pulanga 30 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu. Ketika wawancara ini dilakukan Marliana Pulanga telah menjadi Mahasiswa di salah satu Sekolah Tinggi Teologi di kota Palu, Sulawesi Tengah. 88 89
192 Redefinisi Tindakan Sosial…
orang lain, terutama warga Kele’i. Pesan utama yang harus disampaikannya adalah pertobatan dari semua aksi kekerasan, penggunaan ilmu-ilmu hitam atau paincani, dan cara hidup yang mabuk-mabukan.90 Setelah mengalami penglihatan dan mimpi secara berulang-ulang Marliana mulai melaksanakan puasa. Menurut pamannya, Marliana sering melakukan puasa sambil tetap melaksanakan kegiatan harian, seperti ke sekolah dan membantu nenek di rumah. Puasa itu dilakukannya secara rutin setiap minggu, ada puasa sehari semalam, ada puasa tiga hari tiga malam, dan ada puasa lima hari lima malam.91 Setelah melakukan puasa Marliana mengaku selalu mendapat petunjuk dari Tuhan tentang apa yang harus disampaikan kepada warga Kele’i dan apa yang harus dilakukannya. Dengan demikian penglihatan, mimpi, petunjuk, dan puasa menempati tempat yang sentral dalam pengalaman keagamaan Marliana. Pengalaman keagamaan inilah yang memotivasi dan menyemangatinya orang-orang di sekitarnya untuk mengadakan perkumpulan-perkumpulan ibadah setiap malam. 2.2. Persekutuan Doa Malam Setiap malam orang-orang datang berkumpul di rumah sang remaja tersebut dan mendengarkan perkataanperkataannya yang berdasarkan penglihatan dan mimpimimpinya itu. Perkumpulan pada setiap malam hari ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan ritual doa dan penyembuhan. Di depan rumah nenek Liana, tidak jauh dari Gereja GKST Yerusalem Kele’i, dibangun sebuah tenda besar sampai menutupi jalan desa untuk tempat melaksanakan persekutuan doa setiap malam yang dimulai
90 91
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu. Wawancara dengan Bapak Pulanga, 30 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 193
jam 19.00 WITA. Semula yang hadir di dalam ibadah persekutuan doa ini hanyalah keluarga-keluarga dekat dan beberapa majelis Gereja. Akan tetapi lama kelamaan jumlah orang yang datang bertambah, bahkan ada yang datang dari Tentena, Poso, Palu, dan sekitarnnya. Dalam ibadah itu Marliana bersaksi, menyerukan pertobatan, memberikan petunjuk, dan melakukan penjamahan untuk penyembuhan.92 Dalam focus group discussion dengan beberapa orang yang bergabung dengan persekutuan doa ini ditanyakan apa yang membuat mereka tertarik untuk mengikuti persekutuan doa malam itu, beberapa di antara mereka menjawab: a. “Yang membuat saya tertarik untuk bergabung dengan persekutuan doa itu adalah persekutuannya yang baik, banyak hal positif yang patut dicontoh dari mereka yang ikut persekutuan doa itu. Orang-orang yang ikut di sana adalah orang-orang yang telah dipulihkan dari berbagai pikiran dan sikap yang jahat.”93 b. “Persekutuan dan kerja sama yang baik di antara jemaat. Semangat hidup dan semangat kerja yang kuat. Banyak orang yang mengikuti persekutuan doa itu berubah menjadi orang baik, membuang jimat-jimat, tidak takut kuasa jahat, dan sudah bertobat.”94 c. “Cara hidup jemaat tidak memandang bulu, saling menghormati, menghargai, dan mengasihi. Kehidupan jemaatnya sederhana dan tidak mengusik keberadaan orang lain di sekitar.”95 d. “Mengajarkan sikap hidup yang baik di rumah dan lingkungan masyarakat. Tidak ada pembedaan kedudukan dalam jemaat, semuanya sederajat. Membuat orang Wawancara dengan Bapak Aris, 29 Maret 2014 di Kele’i. Melki Chandra Baloga, usia 25 tahun. 94 Roy Marto Perory, usia 30 tahun. 95 Fredrik Tanggola, usia 38 tahun. 92 93
194 Redefinisi Tindakan Sosial…
meninggalkan kebiasaan lama minum mabuk-mabukan, berkelahi, ilmu hitam, berjudi, dan jemaatnya bergaul sederhana, tidak menonjolkan kepentingan sendiri.”96 e. “Adanya hidup dalam kesatuan dan persaudaraan dan dalam kebersamaan yang kuat. Adanya kehidupan yang rukun, damai satu dengan yang lain dan penuh sukacita. Tidak ada dengki, dendam, perbantahan, dan perselisihan.”97 f. “Kami ingin hidup aman, damai, dan tanpa beban.”98 g. “Adanya rasa persatuan dan kebersamaan yang tulus. Tidak ada kebencian dan perselisihan di antara jemaat.”99 Dari jawaban-jawaban ini kelihatan bahwa tindakan mereka untuk mengikuti persekutuan doa malam itu adalah tindakan yang rasional karena mereka mempunyai harapan dan tujuan yang jelas. Harapan dan tujuan itu berkaitan dengan sikap hidup, relasi sosial, dan ketenangan batin. Dalam ibadah-ibadah persekutuan doa itu seruan pertobatan sangat ditekankan oleh Liana. Ibadah dilakukan di tenda di depan rumah nenek Liana. Seruan pertobatan itu menyangkut praktek molamoa, ilmu hitam, minum captikus dan mabuk-mabukan, merokok, judi, aborsi, dan perselingkuhan. Sembilan puluh persen warga kele’i mengikuti seruan itu dan meninggalkan praktek hidup yang dulu. Buktinya antara lain banyak orang yang mengaku memakai ilmu hitam dan menyerahkan jimat-jimat untuk dibakar oleh Pendeta di hadapan masyarakat. Bukti lain, banyak orang mengaku telah melakukan selingkuh dan aborsi serta mempraktekan Fonny Elsiana Lasana, usia 33 tahun. Arlin lamako usia 45 tahun. 98 B. Penanta, usia 42 tahun. 99 B. Buriko usia 46 tahun. 96 97
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 195
paincani selama konflik Poso. Ada yang mengaku telah membunuh orang waktu konflik dan kerusuhan dan minta ampun dosa.100 Sang remaja tersebut mulai dipandang sebagai seorang nabi kecil karena dalam perkataan-perkataannya terkandung nilai-nilai keagamaan, ajaran-ajaran moral, dan nubuat-nubuat tentang hari depan. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkannya berpusat pada perdamaian dan rekonsiliasi persekutuan hidup berdasarkan kasih dengan Tuhan dan sesama manusia. Ajaranajaran moralnya berkisar pada sikap hidup sehari-hari yang suci, damai dan anti kekerasan. Berdasarkan petunjuk yang diterima oleh Marliana, dalam waktu-waktu tertentu ibadah doa dilakukan dua kali atau tiga kali dalam semalam. Ibadah doa pertama dilaksanakan pada pukul 19.00–21.00. Setelah itu orang-orang dapat pulang ke rumah masing-masing. Ibadah doa kedua dilaksanakan pada pukul 12.00–14.00 di tempat yang sama. Dan ibadah doa ketiga dilaksanakan pada pukul 03.00–05.00 subuh. Menurut Marliana sendiri pelaksanaan dua kali ibadah doa dalam semalam itu adalah berdasarkan petunjuk yang diterimanya.101 Orang-orang mengikuti petunjuk itu karena mereka percaya ada petunjuk baru yang disampaikan kepada Marliana yang perlu untuk disampaikan kepada seluruh warga. Seringkali petunjuk itu berkaitan dengan terjadinya aksi terror berdarah seperti penculikan dan pengeboman di Poso, Tentena, dan Palu yang dilakukan oleh kelompok teroris di Poso.102 Persekutuan doa setiap malam ini dilaksanakan sejak tahun 2008 sampai saat ini. Dari tahun 2008 sampai dengan
Wawancara dengan Pendeta Y. Bareta 27 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Kele’i. 102 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 28 Maret 2014 di Kele’i. 100 101
196 Redefinisi Tindakan Sosial…
tahun 2010 ibadah doa malam itu dilaksanakan di tenda depan rumah. Mereka tidak melakukannya di gedung gereja karena persekutuan doa malam ini bersifat terbuka untuk semua orang dari golongan apapun. Yang lebih penting lagi bahwa pembuatan tenda itu berdasarkan petunjuk yang diperoleh Marliana sendiri.103 Hal ini membuat masyarakat merasa lebih bebas dan leluasa untuk menghadiri doa malam tersebut tanpa merasa curiga satu terhadap yang lain. Dalam persekutuan doa tersebut Marliana tampil menyampaikan kesaksiannya atau memberi petunjuk tentang apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan, melakukan penjamahan bagi orang-orang yang sakit, dan menerima pengakuan-pengakuan dosa. Suatu petunjuk diterimanya yang mengharuskan dia memakai secara bergantian tiga warna jubah, yaitu putih yang dipakai bila selesai melakukan puasa dan mendapat petunjuk yang harus disampaikan, jubah ungu yang dipakai kalau hendak melakukan penjamahan, dan jubah merah kalau hendak menyerukan pertobatan.104 Dalam perkembangan ini sudah mulai kelihatan pemakaian simbol-simbol berupa warnawarna liturgis. Akan tetapi warna-warna itu memiliki pemaknaan yang berbeda dengan pemaknaan gereja. Hal ini menandakan bahwa Marliana memiliki kebebasan dalam memaknai simbol-simbol tersebut dan yang menarik adalah orang-orang menerima dan mempercayainya. 2.3. Konflik dan Perpecahan dari Jemaat Induk Penduduk desa Kele’i mayoritas beragama Kristen, yaitu 99,8% dari seluruh populasi. Dari prosentasi ini 91,1% adalah anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Mereka semua tergabung dalam sebuah jemaat yang bernama Jemaat GKST
103 104
Wawancara dengan Bapak Pulanga, 30 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 197
Yerusalem Kele’i. Jemaat ini adalah Jemaat GKST terbesar kedua di Kecamatan Pamona Timur dan sekaligus Klasis Pamona Timur. Jemaat terbesar pertama adalah Jemaat GKST Taripa yang terdapat di Ibu Kota Kecamatan Pamona Timur. Oleh sebab itu Jemaat Yerusalem Kele’i dipandang sebagai satu jemaat yang potensial dan strategis dari segi sumber daya manusia yang dimilikinya.105 Marliana Pulanga berserta orang tua dan seluruh keluarganya adalah anggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Penglihatan-penglihatan huruf yang dialaminya terjadi di dalam gedung gereja GKST Yerusalem Kele’i. Orang-orang yang hadir dalam ibadah-ibadah doa malam yang dilakukan di tenda di depan rumah nenek Marliana dihadiri oleh anggotaanggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Sejak dilaksanakannya ibadah doa malam Marliana didampingi oleh pendeta dan anggota Majelis dari Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Faktafakta ini menunjukan bahwa pada mulanya gerakan keagamaan ini adalah bagian dari kehidupan dan pelayanan Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Persoalannya adalah mengapa kemudian gerakan keagamaan ini mengarah pada pembentukan sebuah jemaat baru yang terpisah dari jemaat asal dan menamakan dirinya Jemaat Eli Salom Kele’i. Pengalaman keagamaan Marliana Pulanga pada mulanya diterima dan dipercayai oleh seluruh anggota jemaat bahkan seluruh warga masyarakat di Kele’i. Hal ini seiring merebaknya fenomena Meko yang berawal dari pengalaman keagamaan seorang anak berusia delapan tahun yang bernama Selvin Bungge. Masyarakat dan jemaat-jemaat GKST di seluruh wilayah Pamona bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain menerima dan mempercayai pengalaman keagamaan itu sebagai yang berasal dari Tuhan. Apa lagi ketika Ketua Majelis 105
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 26 Maret 2014 di Kele’i.
198 Redefinisi Tindakan Sosial…
Sinode GKST Pdt. Ishak Poleh, M.Si memberi sambutan yang positif terhadap pengalaman itu. Menjelang akhir tahun 2009, setelah tiga tahun menjadi pusat perhatian, fenomena Meko mulai pudar. Ritualritual penyembuhan yang dilakaukan oleh Selvin mulai kurang dikunjungi oleh orang-orang. Menurut pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dan jemaat-jemaat hal itu disebabkan oleh sikap dari Ibu Selvin yang mulai ingin mengambil alih kharisma Selvin dan menonjolkan diri. Ia melarang orang-orang yang datang ke Meko untuk bertemu dengan Selvin. Menurutnya bahwa ia sendiri dapat melakukan penyembuhan itu sama seperti Selvin.106 Keadaan inilah yang membuat Fenomena Meko mulai pudar. Pada pertengahan tahun 2011 Selvin dan orang tuanya pindah ke Pendolo di Pamona Selatan dan fenomena Mekopun tidak terdengar lagi. Gerakan Mujizat Penyembuhan Ilahi di Meko tidak berkembang menjadi sebuah gerakan keagamaan yang terlembagakan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kele’i. Bila di Meko penekanannya ada pada penyembuhan ilahi untuk segala jenis penyakit, maka di Kele’i penekanannya ada pada pesan-pesan moral yang berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan dasar keagamaan dan tindakantindakan sosial. Fakta ini dapat diasumsikan sebagai faktor utama yang menyebabkan fenomena Meko tidak berkembang menjadi satu kelompok keagamaan sedangkan fenomena Kele’i mengalaminya. Di Meko tidak terjadi aksi mobilisasi perilaku kolektif berdasarkan kepercayaan keagamaan tertentu, sementara di Kele’i mobilisasi itu sangat kelihatan melalui perilaku kolektif berorientasi nilai dan norma. Apa yang terjadi di Kele’i dapat dikatakan sebagai sebuah redefinisi
106
Salukaia.
Wawancara dengan Pendeta Klasis Pamona Barat 24 November 2013 di
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 199
tindakan sosial pasca konflik Poso dengan melibatkan komponen-komponen perilaku kolektif seperti nilai-nilai, norma-norma, dan mobilisasi. Ketika fenomena Meko mulai surut, fenomena Kele’i mulai mekar dan dikenal oleh banyak orang di Sulawesi Tengah, seluruh Sulawesi bahkan sampai ke tempat lain, terutama bagi mereka yang mengharapkan jamahan untuk peyembuhan luka-luka batin akibat kerusuhan dan dan aksiaksi kekerasan masa. Sejak saat itu Marliana Pulanga dikenal oleh banyak orang. Sejumlah pengkhotbah dari tempat-tempat lain di Indonesia datang ke Kele’i untuk turut bersaksi dalam ibadah-ibadah malam di tenda. Marlianapun semakin berani dalam menyampaikan petunjuk-petunjuk yang diterimanya dari Tuhan. Di antara petunjuk-petunjuk itu ada yang menjadi kontroversi di kalangan jemaat, yaitu larangan untuk merokok, larangan untuk mengolah minuman tradisional saguer dan pongas,107 larangan untuk menjemur padi dan biji coklat dihari-hari tertentu, terutama di hari Minggu, larangan mempercayai tradisi sincala108, dan yang paling kontroversi adalah adanya petunjuk kepadanya bahwa apa yang dikatakannya mempunyai kewibawaan yang sama dengan Alkitab.109 Unsur yang terakhir ini secara konseptual telah memasuki area mistisisme yang percaya bahwa pemahaman dan pengetahuan tentang Tuhan dapat terjadi secara langsung dan batiniah tanpa dimediasi oleh teks-teks suci dan doktrindoktrin agama. Apakah Marliana Pulanga telah menjadi seorang mistikus dalam pengertian ini dan apakah gerakan 107 Pongas adalah minuman beralkohol yang disaring dari beras ketan hitam yang difermentasi dengan ragi tape. Minuman ini menjadi salah satu hidangan dalam perayaan pesta panen atau yang disebut Padungku. 108 Tradisi ini mengharuskan masyarakat untuk menjaga padiyang sudah ditumbuk menjadi beras agar tidak kena darah. Wawancara dengan Bapak Tologana, 28 Maret 2014 di Kele’i. 109 Wawancara dengan Pdt. Y. Pasambaka 24 November 2013 di Kele’i.. Pdt. Pasambaka adalah Pendeta Jemaat Yerusalem Kele’i.
200 Redefinisi Tindakan Sosial…
keagamaan yang dimulainya merupakan sebuah gerakan keagamaan mistikal, hal ini akan dibahas dalam bab yang akan datang. Perkembangan tersebut di atas mulai mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu di dalam masyarakat di Kele’i. Kelompok penentang yang pertama datang dari beberapa tokoh masyarakat dan tokoh jemaat di desa Kele’i.110 Menurut Kepala Desa Kele’i, ketika mobilisasi perilaku kolektif ini mulai mengarah pada sejumlah larangan yang berkaitan dengan tindakan sehari-hari maka sering terjadi ketegangan dan konflik antara kelompok pendukung Marliana Pulanga dengan kelompok yang menolak kepercayaan dan praktek hidup sosial keagamaan yang diharuskan oleh Marliana. Dalam konflik itu kelompok pendukung Marliana mengambil sikap defensif sementara kelompok penentang mengambil sikap ofensif. Menjelang akhir tahun 2008 kelompok penentang menghembuskan isu bahwa Marliana Pulanga adalah nabi palsu dan ajaran-ajarannya sesat karena bertentangan dengan ajaran gereja GKST. Issu ini dimunculkan oleh para penentang karena ajaran-ajaran tersebut di atas dan bentuk-bentuk peribadatan yang mengarah pada gaya kelompok kharismatik, seperti bahasa lidah dan kepenuhan Roh. Kecurigaan para penentang makin bertambah ketika Marliana Pulanga mengatakan bahwa atas petunjuk Tuhan dia harus memilih dan menetapkan sembilan anak yang dipilihnya untuk menjadi pendampingnya sekaligus mewakili sembilan buah roh yang dikatakan dalam Surat Galatia. Marliana sering mengumpulkan ke sembilan anak itu untuk berdoa di rumah neneknya sepanjang malam untuk mohon petunjuk Tuhan. Dalam doa sepanjang malam itu mereka mengalami kepenuhan roh. Selanjutnya dikatakannya bahwa atas petunjuk Tuhan ia harus 110
Wawancara dengan Kades Kele’i, 17 Juni 2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 201
pergi ke Bali dan mengingatkan orang-orang Bali bahwa mereka akan ditunggangbalikan oleh Tuhan karena telah menyembah patung-patung. Atas semuanya ini para penentangnya mengatakan, “Bemo mayoa rayanya.”111 Tetapi di pihak lain para pendukungnya tetap setia mengikuti ajaran dan mengatur hal-hal yang diperlukan untuk semua kegiatan keagamaan di Kele’i maupun hal-hal yang berkaitan dengan kunjungannya ke Bali atau tempat lain. Seorang Ibu yang setia melayani Marliana mengatakan, “ Lawi kudongemo kojo panto’o wa’a ntau mangkono Liana. Panto’o ntau se’e “Bemo mayoa rayanya.” Paikanya ane kukita, kudonge, pai kunawa-nawa, moncoo anu natoo i Liana. Pai wou kuepe kojo kadago ndaya wa’a ntau anu malulu nuntu I mPue mampoliu Liana. Timama pompaunya ane mampombambarika nuntu I mPue. Mesua ri nawa-nawaku. Mewali, yaku kuaya kojo.112 Para pendukung Marliana tidak berkurang dengan pandangan sinis para penentangnya. Mereka tetap yakin bahwa apa yang dikatakan, diajarkan oleh Marliana adalah benar. Mereka makin simpati kepada Liana karena ia selalu menenangkan para pengikutnya yang mulai terpancing untuk melakukan perlawanan, baik secara verbal maupun fisik. Setelah ditunjuk sembilan anak buah-buah roh itu, salah satunya cucu saya yang sekarang sudah kuliah di Palu, mereka sering berkumpul 111 Bahasa Pamona yang artinya sudah tidak waras lagi dia. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i. 112 Wawancara dengan Ibu Pembeu 30 Maret 2014 di Kele’i. Bahasa Pamona yang artinya: “Memang sudah saya dengar apa kata orang tentang Liana. Kata mereka bahwa dia sudah tidak waras lagi. Tetapi kalau saya perhatikan dan simak dengan baik, apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Liana adalah benar. Lagi pula saya sungguh mersakan kebaikan hati orang-orang yang mengikuti petunjuk Tuhan yang disampaikan Liana. Caranya berbicara ketika menyampaikan firman Tuhan baik dan dapat saya pahami. Jadi, saya tidak ragu untuk percaya…”
202 Redefinisi Tindakan Sosial…
dan tidak tidur malam karena berdoa dan bergumul dengan Tuhan. Tetapi esok harinya mereka seperti biasa dan pergi ke sekolah. Lalu sore hari mereka berkumpul lagi. Malam hari mereka menyampaikan firman Tuhan dalam ibadah doa malam. Kesembilan anak buah roh itu biasa kemasukan roh. Kalau mereka sudah kemasukan roh maka roh-roh itu akan masuk juga kepada orang-orang lain yang datang dalam ibadah doa itu, sementara itu mujizat betul terjadi. Banyak orang sakit yang dijamah Liana sembuh. Rumah saya tidak pernah kosong, selalu ada tamu dari Makasar, Palu, Ampana, dan Poso yang membawa orang sakit. Ada seorang ibu dari Silanca gagal ginjal. Kata dokter ibu itu tidak punya harapan hidup lagi. Saya tampung di rumah. Lalu Liana datang ke rumah dan berdoa. Saya dengar dalam doanya Liana bukan minta kesembuhan bagi ibu itu tapi doa penyerahan. Dua jam kemudian ibu itu meninggal dengan tenang.113 Kesaksian ini membuktikan bahwa para pendukung dan pengikut Marliana memakai logika pragmatis yang dalam istilah psikologi sosial dan mistisisme disebut dengan kriteria empiris. Dalam logika ini sebuah kebenaran pengalaman dan pemahaman keagamaan hanya dapat diverifikasi melalui kegunaan praktis dalam tindakan sosial.114 Para pendukung Marliana mempercayai kebenaran ajaran dan petunjuk Marliana sebagai yang dari Tuhan karena mereka melihat nilai-nilai kebaikan dalam tindakan sosial Marliana. Hal ini berbeda dengan cara pandang para penentangnya yang melihat kebenaran ajaran dan petunjuk Marliana dengan
Wawancara dengan ibu Pembeu, 30 Maret 2014 di Kele’i. Lih. William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia (Bandung: PT Mizan Pustaka., 2004), 505 – 508 113 114
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 203
kacamata ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin gereja. Dengan demikian konflik antara para pendukung Marliana dengan para penentangnya secara sosiologis keagamaan adalah konflik antara orang-orang yang berpikir pragmatis dengan orang-orang yang berpikir dogmatis. Kelompok yang berpikir pragmatis datang dari kalangan masyarakat biasa yang tidak memiliki jabatan-jabatan publik dalam jemaat dan masyarakat. Sedangkan kelompok dogmatis datang dari masyarakat kelas atas yang memiliki jabatan atau pernah menduduki jabatan dalam gereja dan masyarakat. Ketegangan ini berkembang menjadi konflik dalam jemaat dan masyarakat. Kelompok pendukung Marliana yang juga adalah anggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i mengundurkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah di gereja, termasuk ibadah umum Minggu jemaat. Di pihak lain kelompok penentang melakukan aksi-aksi pelemparan batu terhadap tenda di mana dilaksanakan ibadah-ibadah doa malam. Konflik itu mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat secara umum di desa Kele’i, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Poso turun tangan menyelesaikan ketegangan dan konflik tersebut.115 Berita perkembangan kelompok ibadah doa malam tersebut sampai ke Majelis Sinode GKST Tentena. Melihat semakin banyaknya orang yang bersimpati dan berpartisipasi dalam kelompok Eli Salom, maka pada tanggal 15 Desember 2010 Majelis Sinode GKST mengeluarkan Keputusan No. 02/AKTA/2010 tentang Penolakan terhadap Ajaran tentang Mimpi, Penglihatan, Bisikan, dan Petunjuk. Dalam butir 3 & 4 dari akta tersebut Majelis Sinode GKST menegaskan: Akhir-akhir ini warga gereja diperhadapkan dengan fenomena supranatural seperti MIMPI, 115 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Timur, Bapak Penyami, 22 November 2012 di Taripa..
204 Redefinisi Tindakan Sosial…
PENGLIHATAN, BISIKAN, dan PETUNJUK, yang muncul kepada seseorang dan menarik perhatian bagi orang lain kemudian mereka membentuk satu kelompok terpisah... Fenomena seperti ini mempengaruhi banyak warga gereja sehingga ada kecenderungan untuk mengidolakan orang yang katanya punya “karunia” khusus seperti itu, dan mensejajarkannya dengan wibawa (otoritas) Alkitab…. Gereja Kristen Sulawesi Tengah menolak semua bentuk penyataan yang tidak bersumber dari Alkitab…. GKST menolak fenomen MIMPI, BISIKAN, PENGLIHATAN, PETUNJUK yang terjadi pada orang-orang tertentu jika itu disetarakan/disejajarkan dengan otoritas (wibawa) Alkitab. Keputusan Majelis Sinode GKST ini dikirimkan ke seluruh jemaat GKST. Sasaran utamanya adalah kelompok doa malam yang dipimpin oleh Marliana Pulanga di Kele’i. GKST sebagai sebuah lembaga mengambil posisi sebagai pemilik otoritas dalam menentukan apa yang harus diterima dan dipercaya oleh warga gereja. Secara tidak langsung dengan hal ini GKST menunjukan kecederungan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang legalistik formal dan dogmatis. Hal ini wajar mengingat salah satu peran otoritas lembaga keagamaan adalah menjaga keutuhan umat melalui konsolidasi ajaran. Namun demikian hal ini melemahkan salah satu elemen penting dalam kehidupan keagamaan manusia, yaitu elemen mistikal. Sebuah agama yang kehilangan elemen ini akan menjadi agama yang mapan secara kelembagaan, satu secara doktrinal, tetapi intoleran dan legalistik formal. Corak keagamaan seperti akan melahirkan orang-orang yang beragama tetapi tanpa spiritualitas. Keagamaan seperti ini sebetulnya sedang mengalami tantangan dewasa ini. Agama-
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 205
agama mapan dan terlembagakan yang menghadirkan dirinya secara kaku, sentralistik, dogmatis, dan legalistik mulai ditinggalkan orang karena kekeringan dimensi spiritual. Sebaliknya orang lebih menyukai agama-agama yang longgar, terbuka, reflektif, demokratis karena memberi ruang yang cukup bagi setiap untuk mengembangkan spiritualitasnya secara eksistensial dan sekaligus fungsional. 2.4. Mobilisasi Sumber Daya untuk Pembentukan Jemaat Setelah berjalan selama kurang lebih dua tahun sejak 2008, orang-orang yang setiap malam berkumpul untuk beribadah doa malam di tenda depan rumah nenek Liana tersebut mulai terorganisir. Penolakan sebagian jemaat GKST Yerusalem Kele’i terhadap keyakinan dan praktek keagamaan mereka menjadi pertanda bahwa sudah ada perbedaan di antara mereka dan perpecahan tidak mungkin dihindarkan lagi. Sejak pelemparan batu pada waktu ibadah dan pemukulan serta penganiayaan salah seorang anggota persekutuan doa, kami sepakat memutuskan untuk keluar dari Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Sejak saat itu kalau hari minggu kami tidak ke gereja. Kami hanya di rumah saja. Ada beberapa orang yang pergi bergereja di Sawidago, Tentena, Didiri, dan Taripa. Tetapi pada malam hari kami tetap berkumpul dan beribadah di tenda. Selama dua tahun kami seperti ini. Ada beberapa yang pada hari minggu pergi bergereja ke gereja Pantekosta dan Tabernakel karena merasa tidak enak kalau tidak bergereja. Tetapi di sana mereka merasa tidak cocok juga. Akhirrnya kami putuskan untuk mencari lahan dan membangun rumah ibadat darurat. Kebetulan saya punya kintal di ujung kampung. Saya
206 Redefinisi Tindakan Sosial…
bilang ke Ibu Pendeta, saya rela memberikan tanah itu untuk dibangunkan gereja kita. Tetapi kata Ibu Pendeta, tidak bisa ngkai hanya serahkan seperti itu. Lalu Ibu Pendeta bicara dengan beberapa tokoh pimpinan persekutuan dan mereka setuju membayar ganti rugi.116 Konflik yang berujung dengan perpecahan jemaat tersebut menjadi momentum bagi aktor-aktor kolektif untuk memobilisasi berbagai sumber daya dan fasilitas serta menentukan peran-peran fungsional dalam meredefinisi tindakan sosial mereka dan merekonstruksi identitas mereka di tengah ragam masalah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Komunitas yang pada awalnya berkumpul hanya untuk berdoa sekarang mulai mengambil bentuk sebuah organisasi sosial. Di satu pihak keadaan ini menjadi tantangan yang berat bagi mereka karena mereka tidak punya pengalaman dan sumber daya yang memadai untuk mengupayakan hal tersebut. Sebagian besar anggota persekutuan doa ini hanyalah petani biasa yang pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Akan tetapi di lain pihak keadaan ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk melakukan mobilisasi sumber daya dan menggalang solidaritas yang lebih kuat. Mereka mulai membagi peran-peran fungsional untuk mengatur jalannya persekutuan doa dan merintis jalan untuk memperoleh dana bagi pembangunan rumah ibadat sementara. Untuk mengumpulkan dana mereka mencari pekerjaan di luar desa Kele’i dan digarap secara bersamasama. Pekerjaan-pekerjaan tersebut antara lain menggali saluran kabel PT. Indosat di tepi jalan yang menghubungkan Poso dan Tentena. Mengerjakan pengecoran bangunan116
Wawancara dengan Bapak Kalingani 26 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 207
bangunan besar di kota Tentena. Mengerjakan pemarasan tepi jalan Trans Sulawesi. Mengerjakan proyek pembuatan kolam ikan di desa Sawidago kecamatan Pamona Utara dan mengerjakan pengolahan batu gunung untuk keperluan bangunan.117 Pekerjaan-pekerjaan ini menuntut mereka untuk meninggalkan desa Kele’i dan bermalam di tempat di mana mereka bekerja dengan membangun pondok-pondok dari kayu dan daun daunan. Di situlah mereka berisitirahat pada malam hari dan pada siang hari mereka bekerja. Hanya anakanak sekolah yang tidak ikut dalam perkejaan-pekerjaan itu. Semua orang dewasa, baik laki-laki dan perempuan turun bekerja. Dalam mobilisasi ini muncullah aktor-aktor kunci yang mengkordinir dan mengatur peran-peran fungsional di antara mereka. Salah satu aktor kunci adalah Pdt. Y. Bareta yang telah memutuskan untuk melepaskan tugas pelayanan dari Jemaat GKST Yerusalem Kele’i dan bergabung dengan kelompok persekutuan doa ini. Kehadiran Pdt. Y. Bareta menjadi motivasi bagi mereka untuk terus memobilisasi semua sumber daya yang ada bagi pembentukan sebuah komunitas yang lebih terstruktur dan fungsional. Pada saat inilah Marliana kembali mendapat petunjuk bahwa persekutuan doa mereka harus diberi nama Jemaat Eli Salom yang artinya Allah memberkati. Pada tahun 2010 mobilisasi perilaku kolektif ini mulai mengarah pada pembentukan sebuah organisasi kegerejaan yang disebut kelompok kebaktian. Orang-orang yang ikut dalam mobilisasi perilaku kolektif ini mulai membangun fasilitas tempat pertemuan dan melepaskan diri dari organisasi-organisasi kegerejaan mereka yang semula serta dengan tegas menyatakan diri sebagai anggota dari kelompok kebaktian ini. Setahun kemudian, yaitu di tahun 2011, 117
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i.
208 Redefinisi Tindakan Sosial…
kelompok kebaktian ini menciptakan struktur internal organisasi kegerejaan mereka dan menyebut diri mereka sebagai Jemaat Eli Salom Kele’i. Menurut data pada tahun 2013, jumlah anggotanya terdiri dari 254 kepala keluarga dan 887 jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah warga masyarakat yang pernah terlibat dalam kerusuhan dan konflik Poso yang telah mengalami pemulihan secara spiritual, terutama mereka yang pada waktu konflik menggunakan paincani.118 Mereka menjalankan ibadah ritual dan sikap hidup sehari-hari yang terdiferensiasi dari masyarakat di sekitarnya berdasarkan kepercayaan dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Marlyana Pulanga, antara lain kewajiban melakukan ritual doa dan penyucian diri setiap malam di rumah ibadah mereka, mempercayai dan menjadikan penglihatan dan mimpi-mimpi sebagai sumber ajaran iman yang setara dengan Alkitab, dan melarang anggota-anggotanya untuk mengkonsumi jenis-jenis makanan dan minuman tertentu. 3. Kepercayaan-Kepercayaan Fundamental dan Praktek Mistik Keagamaan Ketegangan dan konflik yang terjadi antara pendukung dan penentang Marliana berakhir dengan perpecahan jemaaat. Kelompok penentang adalah mereka yang pada awalnya ikut juga dengan persekutuan doa malam yang dipimpin oleh Marliana tetapi kemudian merasa tersinggung dengan khotbah-khotbah dan larangan-larangan yang diberikan oleh Marliana seperti tidak boleh merokok, tidak boleh mengolah saguer, cap tikus, dan pongas, tidak boleh minum minuman beralkohol, tidak boleh menjemur padi dan coklat serta hasil
118 Wawancara dengan Pdt. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom Kele’I, 15 Juni 2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 209
pertanian lainnya pada hari minggu, tidak boleh melaksanakan beberapa tradisi dan adat istiadat nenek moyang. Mereka kemudian mundur dari persekutuan doa malam dan berbalik menentang keberadaannya. Menurut mereka pengalaman iman, petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Marliana adalah sesat dan cara beribadah di tenda menyimpang dari ajaran gereja GKST. Oleh sebab itu mereka memandang kelompok persekutuan doa ini adalah kelompok ajaran dan persekutuan yang sesat. Dalam bagian sebelumnya kelompok penentang ini dikategorikan sebagai kelompok dogmatis, sementara para pendukung dikategorikan sebagai kelompok pragmatis. Mereka mengatakan ibadah tenda sesat. Tapi kami tidak tahu apa yang mereka sebut sesat. Mereka hanya tidak mau mengikuti seruan pertobatan dan pemulihan yang dikatakan Marliana karena merasa benar dan suci. Sementara sebagian besar orang lain sangat mendapat berkat dari ibadah tenda ini. Orangorang yang dulunya mabuk-mabukan, suka berkelahi, memiliki dan menggunakan paincani, terlibat dalam konflik dan membunuh orang, orang-orang yang kena renggeana bahkan taumepongko sudah bertobat dan setia mengikuti doa malam. 119 Sikap kelompok penentang mendapat legitimisasi dari surat Keputusan Majelis Sinode GKST tentang penolakan mimpi, bisikan, petunjuk, dan pengalaman-pengalaman keagamaan lain yang tidak bersumber dari Alkitab. Akan tetapi kelompok pendukung tetap pada keyakinan bahwa apa yang dialami dan dikatakan oleh Marliana adalah benar dan berasal dari Tuhan. Mereka semakin yakin karena orang-orang yang
119
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 26 Maret 2014 di kele’i.
210 Redefinisi Tindakan Sosial…
ikut dalam doa malam tersebut bertobat dan mengalami pemulihan dalam kehidupan batin dan perilaku mereka. Kehadiran sebagian besar warga desa Kele’i dalam persekutuan doa malam dan kesetiaan mereka mengikuti petunjuk Tuhan melalui Liana didorong oleh kebutuhan dan panggilan hati mereka pribadi. Tidak ada yang memaksa. Tetapi kalau mereka tidak hadir dalam persekutuan doa malam di tenda bahkan sampai sekarang ini mereka merasa rugi dan berhutang. Jadi walau setiap hari mereka pergi ke kebun, mereka selalu berusaha kembali ke kampung pada sore hari karena rindu ikut persekutuan pada malam hari. Biar hujan mereka selalu datang. Tidak perlu pakai baju yang bagus. Mereka datang dengan apa adanya, ada yang pakai sarung saja. Jemaat ini jemaat yang sederhana orang-orangnya. Apa yang mereka cari adalah ketenangan batin dan pemulihan kehidupan.120 Perkataan-perkataan tersebut di atas menunjukkan bahwa keanggotaan dalam persekutuan jemaat Eli Salom Kele’i ini bersifat sukarela. Namun demikian ada sebuah kondisi batiniah dan situasi sosial yang kondusif bagi mobilisasi perilaku kolektif mereka menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan. Perilaku kolektif ini nampaknya berorientasi pada nilai-nilai dan norma-norma kehidupan seperti kesucian, pengampunan, kesederhanaan, dan pemulihan. Mobilisasi ini terbangun di atas satu keyakinan umum bersama bahwa pengalaman mistik keagamaan Marliana telah dipakai Tuhan untuk memulihkan kehidupan
120
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014. Di kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 211
mereka. Dari sini kita dapat berbicara tentang kepercayaankepercayaan utama dan praktek-praktek keagamaan mereka. Secara kelembagaan dan ajaran Jemaat Eli Salom Kele’i tidak ingin disebut sebagai sebuah gereja baru di luar Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Mereka tidak ingin mendirikan sebuah lembaga gereja yang baru atau pindah dan bernaung di salah satu lembaga gereja lain seperti gereja Pantekosta atau Bethani. Mereka tidak menganggap diri sebagai sebuah denominasi baru di dalam masyarakat yang mayoritas beragama Kristen. Mereka menganggap masih merupakan bagian dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Oleh sebab itu mereka mengajukan permintaan kepada Majelis Simode GKST untuk diterima dan ditetapkan sebagai salah satu jemaat GKST dan diperbolehkan untuk mengembangkan kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan mereka sendiri. Apa yang mereka harapkan adalah penerimaan dan pengakuan terhadap pengalaman-pengalaman keagamaan mereka yang asli. Hal ini menimbulkan persoalan bagi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) karena di satu pihak GKST telah menyatakan sikapnya yang menolak kepercayaan-kepercayaan dan praktek kegamaan seperti yang ada di Jemaat Eli Salom Kele’i, tetapi di pihak lain jemaat ini ingin tetap menjadi jemaat GKST dengan corak tersendiri. Terhadap persoalan ini Majelis Sinode GKST mengambil jalan tengah yaitu menerima dan menetapkan jemaat Eli Salom Kele’i sebagai jemaat GKST dan mengharuskan Jemaat tersebut untuk mengikuti dan mantaati Tata Gereja GKST. Kami tidak melanggar Tata Gereja GKST. Kami tetap percaya pada Allah Tritunggal, kami percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, kami tetap melaksanakan baptisan dengan cara percik. Kami melaksanakan perjamuan kudus dengan menggunakan roti dan anggur dengan
212 Redefinisi Tindakan Sosial…
pemahaman yang sama seperti dulu. Kami melaksanakan katekisasi sidi dengan cara yang sama di jemaat Yerusalem Kele’i. Kami menerima dan masih mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli di dalam ibadah-ibadah kami. Tidak ada ajaran GKST yang kami rubah. Kalau ibadah minggu kami masih memakai liturgi GKST. Jemaat hanya menganggap bahwa apa yang terjadi pada Marliana Pulanga adalah berasal dari Tuhan, bahwa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Tuhan kepada Marliana adalah benar. Dan kami mulai berusaha menghayati doa dan nyanyian-nyanyian pujian kami. Jemaat membutuhkan ketenangan batin dalam beribadah dan pemulihan perilaku hidup sehari-hari. Karena di desa Kele’i ini ada suasana panas dan kacau sejak kerusuhan dan konflik Poso. Orang-orang sudah diliputi ketakutan dan kehilangan gairah hidup. Jemaat yang kebanyakan terdiri dari orang-orang sederhana dan kebanyakan bekas terlibat dalam konflik Poso ini hanya ingin mendapat penghormatan sedikit dari para orang besar di desa ini.121 Kegelisahan sosial di tengah masyarakat desa Kele’i sejak konflik Poso 1998 -2003 telah menyebabkan ketidakpastian nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dalam masyarakat. Di satu pihak konflik mendesak masyarakat untuk melakukan mekanisme pertahanan diri. Mereka melakukannya dengan membekali dan melindungi diri melalui ilmu-ilmu yang mereka sebut paincani. Dengan ilmu tersebut mereka melakukan perlawanan secara fisik dan sosial terhadap kekuatan-kekuatan lain yang mengancam eksistensi mereka. Memori historis dan tradisi yang telah membentuk 121
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 213
karakter mereka telah mendukung perilaku perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan sosial yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap kolektifitas mereka. Ketika konflik berakhir, emosi-emosi negatif, sentimensentimen sosial, dan pengalaman-pengalaman traumatis mengendap dalam diri mereka dan ketika tidak dapat tertampung lagi maka semua itu terekspresi dalam bentuk perilaku yang tidak terkendali. Kehidupan sosial menjadi terganggu dan stabilitas keamanan terusik. Latar belakang ini menjadi penting untuk melihat kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang menjadi komponenkomponen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka. a. Kepercayaan Utama Dulu siapa tidak kenal dengan namanya Kele’i. identik dengan ilmu hitam. Sekalipun setiap minggu beribadah tetapi masih saja mengandalkan kuasa-kuasa kegelapan, bahkan banyak orang yang berpantang masuk gereja karena paincani yang mereka miliki. Karena itu Tuhan menyatakan fenomena Kele’i melalui Liana agar bisa bertobat dan kembali pada sikap hidup yang baik dan damai.122 Kepercayaan seperti ini sangat menonjol dalam kehidupan seluruh anggota Jemaat Eli Salom. Mereka tidak meragukan pengalaman-pengalaman keagamaan Marliana yang terjadi di luar konsepsi-konsepsi keagamaan yang selama ini mereka ketahui dan miliki. Mereka yakin bahwa apa yang terjadi pada Marliana Pulanga adalah merupakan sebuah pewahyuan Tuhan kepada mereka.
122
Wawancara dengan Bapak B. Buriko usia 46 Tahun di Kele’i.
214 Redefinisi Tindakan Sosial…
Ada yang mengatakan bahwa kami telah menjadikan Liana sebagai dewa kecil dan menyembah dia. Mungkin karena mereka melihat Liana selalu pake jubah. Ada tiga warna jubah itu. Dan kalau dia sudah pakai jubah kami tidak boleh pegang dia. Tapi kami tidak menyembah dia. Liana tetap seorang anak. Dia makumpu123 saya. Kalau saya bicara dengan dia seperti biasa. Begitu juga orang lain. Liana tetap ke sekolah dan bermain seperti biasa dengan teman-temannya. Di rumah dia tetap kerja, sama seperti yang lain. Kami hanya percaya bahwa Tuhan mau menyatakan apa yang Dia mau kami lakukan melalui Liana. Tuhan telah memilih Liana untuk memberi petunjuk karena dia anak yang baik, tau metubunaka124, dari keluarga yang baik-baik.125 Jadi kepercayaan utama Jemaat Eli Salom adalah bahwa Tuhan dapat menyatakan kehendakNya di luar teksteks suci seperti Alkitab, di luar ritual-ritual formal keagamaan seperti ibadah gereja, dan tanpa melalui orang-orang yang diurapi secara khusus seperti Pendeta. Kepercayaan ini membuat mereka sangat peka terhadap perasaan keagamaan mereka sendiri dan pengalaman keagamaan orang lain yang mereka pandang asli. Semua orang dapat menjadi representasi Tuhan dalam dunia. Pokok kepercayaannya adalah bahwa Tuhan dapat bertemu dan berbicara dengan semua orang tanpa dimediasi oleh konsep-konsepsi dan fungsi-fungsi formal keagamaan. Lalu bagaimana memastikan kalau pengalaman itu benar-benar dari Tuhan? Para pendukung Liana memakai kriteria empiris dalam melihat kebenaran 123 124
Bahasa Pamona yang artinya cucu. Bahasa Pamona yang artinya menghormati orang lain, terutama yang
lebih tua. 125
Wawancara dengan Bapak Penanta 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 215
suatu pengalaman keagamaan. Dalam kriteria empiris logika yang dipakai adalah logika pragmatis. Sebuah pengalaman keagamaan dapat dianggap benar ketika terekspresi dalam tindakan-tindakan yang rasional, bermoral, dan etis. Kriteria dan logika ini banyak dipakai dalam menganalisis fungsi sosial pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat mistikal. Dengan cara pandang seperti ini dapat dikatakan bahwa tindakan-tindakan sosial para aktor kolektif di jemaat Eli Salom Kele’i adalah buah dari kepercayaan mereka terhadap ragam pengalaman keagamaan yang bersifat batiniah. Pada tataran inilah kita dapat mengatakan bahwa fenomena keagamaan di Kele’i adalah sebuah fenomena mistisisme, di mana orang memahami dan mengalami Tuhan secara batiniah dan otentik tanpa harus dimediasi oleh obligasi-obligasi organisasi dan abstraksi-abstraksi teoritis dogmatis. Pemahaman ini mengandung komponen utama mistisisme. Secara historis mistisisme adalah reaksi terhadap hancurnya struktur sosial akibat konflik di dalam suatu masyarakat. Orang-orang mencari pemahaman dan pengalaman akan Tuhan secara eksistensial untuk melengkapi pengetahuan teoritis konseptual mereka yang sudah ada. Pengetahuan teoritis dan konseptual mereka tentang Tuhan ternyata tidak dapat menerangkan dan menjelaskan kepada mereka tentang persoalan-persoalan sosial yang terjadi di dalam masyarakat di mana mereka hidup. Ibadah-ibadah ritual juga terasa kering dan tidak relevan karena tidak mengekspresikan kondisi batin dan kehausan spiritual mereka. Dalam pandangan Ernst Troeltsch mistisisme tiak lain adalah salah satu tipe perkembangan sosiologis gereja. Artinya kemunculan dan perkembangan ragam pengalaman dan perilaku keagamaan yang bersifat mistis sangat ditentukan juga oleh faktor-faktor sosio historis seperti krisis sosial. Oleh
216 Redefinisi Tindakan Sosial…
sebab itu ketika Liana mengatakan bahwa Tuhan telah datang dan berbicara kepadanya maka mereka tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang aneh. Bahkan mereka sadar bahwa hal tersebut bisa terjadi juga pada diri mereka. Kesadaran ini disebut kesadaran intuisi dalam mistisisme. Setiap orang memiliki benih ilahi (divine seed) di dalam dirinya. Inilah yang membuat setiap orang selalu terhubung secara langsung dengan Tuhan. Dengan pemikiran seperti ini maka pemahaman dan pengalaman keagamaan yang otentik tentu saja bukan reartikulasi pengalaman-pengalaman keagamaan orang lain, tetapi perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Dalam pendekakatan seperti kita dapat mengatakan bahwa secara teologis kepercayaan keagamaan para aktor kolektif jemaat Eli Salom kele’l masuk dalam kategori mistisime. Sebaliknya penolakan keberadaan Jemaat Eli Salom yang dilakukan oleh kelompok lain dapat dipandang sebagai refleksi ketakutanakan melemahnya atau hilangnya pengaruh dominasi dan kendali representasi otoritas keagamaan terhadap sebuah kolektifitas. Majelis Sinode GKST dengan Surat Edaran yang memfatwakan penolakan terhadap ragam jenis pengalaman keagamaan yang bersifat mistik seperti yang terjadi di Jemaat Eli Salom adalah bagian dari ketakutan tersebut. Pada posisi inilah agama seringkali menjadi episentrum konflik sosial. Sebuah pengalaman yang diyakini sungguh-sungguh berasal dari Tuhan tidak akan pernah mungkin disangkali oleh yang mengalami dan mempercayainya sekalipun berhadapan dengan otoritas yang berkuasa. Sebaliknya setiap otoritas keagamaan selalu akan mencurigai pengalaman-pengalaman dan pemahamanpemahaman keagamaan yang terjadi di luar konsepsi-konsepsi yang disepakati bersama karena akan melemahkan pengaruh yang berkuasa terhadap suatu kolektifita sosial.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 217
b. Nilai-nilai Utama Elemen mistik dalam pemahaman keagamaan seperti yang disebutkan di atas menjadi kepercayaan umum bagi mobilisasi perilaku kolektif anggota Jemaat Eli Salom dalam mengartikan kembali tindakan sosial mereka. Pemahaman dan perilaku keagamaaan yang muncul di dalam kehidupan kolektif mereka tidak dapat dipandang secara sederhana sebagai sebuah upaya dan rencana untuk menyimpangkan dan menyesatkan pemahaman dan ajaran-ajaran agama yang terlembagakan atau pengaruh dari para pengkhotbah kharismatik yang datang dari luar. Apa yang harus dikatakan ialah bahwa para aktor mengkonstruksi secara teologis pemahaman mereka tentang kehidupan dan dunia sosial yang ada di depan mereka. Kami tidak mau meninggalkan GKST. Kalau GKST menolak kami kami akan tetap meminta agar Majelis Sinode menerima kami. Yang jadi masalah sebenarnya adalah isi Surat Edaran Majelis Sinode GKST tentang penolakan mimpi, penglihatan, bisikan, dan petunjuk itu. Kami tidak mungkin menyangkali bahwa apa yang terjadi pada Liana adalah sungguh-sungguh dari Tuhan dan kami akan mengikutinya. Bukan hanya Liana saja yang mengalami itu. Banyak anggota jemaat yang datang kepada saya dan cerita mimpi dan penglihatan mereka. Saya selaku pendeta juga sering menguji apakah itu benar-benar dari Tuhan. Saya berdoa dan bertanya kepada Tuhan. Lalu saya yakin demikian. Liana juga apabila menerima petunjuk, sebelum menyampaikan kepada Jemaat selalu berbicara dulu dengan saya. Tapi sejauh ini, tidak ada petunjuk yang sesat. Buktinya orang-orang masih dapat hidup dengan baik, tidak aneh-aneh. Malahan mereka
218 Redefinisi Tindakan Sosial…
mengaku merasa makin tenang, damai, dan bersukacita. Sudah tidak ada lagi dendam, beban batin, dan bapak lihat sendiri, jemaat tidak ada lagi yang minum alkohol sampai mabuk-mabukan seperti dulu. Merokok saja tidak ada lagi. Orang rajin beribadah. Persembahan jemaat meningkat. Gedung gereja ini kami bangun dengan keringat dan kerja sama, tanpa bantuan pihak lain, dan sudah mau selesai. Ekonomi anggota jemaat makin baik karena sudah teratur hidup dan tau pake uang. Sudah jarang yang sakit parah lalu tengah malam dibawa ke Tentena. Semua anak-anak di jemaat ini tidak ada yang putus sekolah, bahkan banyak yang sudah kuliah di Palu.126 Pemahaman bahwa Tuhan dapat menjumpai dan berbicara langsung dengan setiap orang membuat mereka dapat menghargai setiap orang dan berlaku hormat kepada siapa saja. Perilaku ini mencerminkan nilai yang menjadi salah satu komponen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka, yaitu nilai mombetubunaka dan mosintuwu. Mombetubunaka Mombetubunaka adalah sebuah konsepsi budaya Pamona. Secara hurufiah konsepsi ini berakar pada dua kata, yaitu tubu yang artinya ukur, hormat, menghargai dan kata naka yang artinya agar atau supaya. Dalam struktur bahasa Pamona kata naka ini jarang dipakai sendiri terlepas dari kata lain. Ia selalu menjadi kata perangkai.127 Tubunaka berarti supaya mengukur, menghormati dan menghargai. Dalam konteks pergaulan sosial kata tubunaka diberi awalan mombe yang artinya saling. Jadi secara hurufiah mombetubunaka 126 127
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 28 Maret 2014 di Kele’i. Misalnya Sawanaka, linjanaka, tumbunaka, dll.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 219
berarti agar saling mengukur, saling menghormati, atau saling menghargai.128 Dalam konsepsi budaya Pamona semua orang diakui lahir di dunia dalam keadaan setara, tidak ada yang lebih tinggi satu terhadap yang lain. Orang Poso Pamona membedakan antara kelompok kabosenya dengan watua. Kabosenya adalah kelompok orang yang memiliki pengaruh dalam kehidupan kelompok. Sedangkan watua adalah kelompok orang yang membantu kabosenya dalam menjalankan tugas atau dalam kehidupan rumah tangganya. Adalah keliru apabila kita menyamakan konsepsi ini dengan konsepsi kasta. Yang benar adalah kedua kelompok itu mencerminkan struktur sosial masyarakat pedesaan di Poso Pamona, bahwa masyarakat Pamona tersusun dari dua strata sosial, yaitu kelompok yang memiliki kuasa, yaitu mereka yang ditunjuk menjadi pemimpin, dan kelompok yang dipimpin. Perbedaan di antara kedua kelompok ini adalah perbedaan status dan peran sosial, bukan perbedaan derajat kemanusiaan. Konsepsi mombetubunaka dalam konteks struktur sosial tersebut di atas adalah bahwa masing-masing kelompok supaya saling mengukur status dan perannya satu sama lain. Pengertian mengukur di sini mengandung makna menilai, mengawasi, mengevaluasi, menghormati, dan menghargai. Kandungan makna ini sesuai dengan sifat kolektif yang kental dalam masyarakat Pamona. Para watua harus mantubunaka para kabosenya. Anak-anak harus mantubunaka para orang tua. Penghormatan dan penghargaan tersebut diberikan bukan karena derajat kemanusiaan mereka yang lebih tinggi, tetapi karena status dan peran mereka yang penting di dalam kelompok.
128 Lih. Alber Badjadji (Et.al.), Kamus Bahasa Pamona (Tentena: Percetakan VIBRA, 2011), 270.
220 Redefinisi Tindakan Sosial…
Konsepsi ini diinterpretasi dan diaktualisasikan secara teologis oleh jemaat Eli Salom. Setiap orang memiliki napas Tuhan di dalam dirinya (Kejadian 2:7). Tidak ada manusia yang diciptakan untuk menjadi orang jahat atau menjadi penindas bagi yang lain (Kejadian 1:26). Semua anak manusia akan mendapat curahan Roh Tuhan sehingga mereka bisa bernubuat (Yoel 2:28). Semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus adalah Imam (I Petrus 2: 9). Berdasarkan itu para aktor menjadikan konsepsi mombetubunaka sebagai komponen utama dalam tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka. Mombetunuka dalam pemahaman Jemaat Eli Salom adalah mengukur dan menghormati kehadiran Roh Tuhan dalam diri dan kehidupan setiap orang. Liana itu masih anak-anak ketika mendapat penglihatan. Sekarang dia sudah mahasiswa. Kami ini sudah orang tua. Saya sendiri pendeta. Kami metubunaka kepada Liana karena di dalam diri dan kehidupan Liana ada Roh Tuhan. Demikian juga ke sembilan orang pendamping Liana yang mewakili buah-buah roh. Mereka semua masih anak-anak waktu itu. Kami metubunaka kepada mereka karena ada buahbuah roh pada mereka. Tidak hanya kepada Liana dan sembilan temannya. Kepada semua orang yang kami harus metubunaka karena roh Tuhan ada di sana. Liana juga harus metubunaka kepada kami, bukan karena kami lebih tua, bukan karena saya pendeta. Tapi kami juga punya Roh Tuhan. Malah saya mengajarkan kepada jemaat sebelum orang lain metubunaka ke kita, kita sendiri harus metubunaka diri sendiri.129
129
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 30 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 221
Nilai mombetubunaka ini terimplementasi dalam norma-norma seperti tidak merokok dan minum minuman beralkohol dan membuang semua ilmu hitam (paincani) sebagai implementasi metubunaka diri sendiri, tidak berkata bohong kepada orang lain dan menipu, tidak berkata kasar atau menghina, tidak menyakiti orang lain dengan kata atau tindakan, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan sebagai implementasi metubunaka terhadap orang lain.130 Nilai dan norma ini menjadi elemen-elemen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka. Berdasarkan sudut pandang ini maka dapat dikatakan bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom dapat diidentifikasi sebagai sebuah tipe gerakan sosial berorientasi nilai. Gerakan ini bertujuan untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi nilai-nilai berdasarkan suatu kepercayaan umum. Oleh karena itu semua komponen tindakan ikut terlibat, seperti rekonstitusi nilai, redefinisi norma, reorganisasi motivasi, dan redefinisi situasi sosial. Mosintuwu Secara etimologis mosintuwu berasal dari kata kata tuwu yang berarti hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah kata sifat dan sekaligus juga sebuah kata kerja intransitif. Pemberian imbuhan mosin hanya mungkin dalam keadaannya sebagai kata kerja. Dalam komposisi bahasa Pamona, pemberian imbuhan sin terhadap sebuah kata kerja merupakan kasus khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan mendapat imbuhan sin maka kata kerja itu menunjuk pada perilaku timbal balik dari dua subjek yang berhadap-hadapan. Sehingga kata sintuwu berarti saling menghidupkan.131 Kata Wawancara dengan Bapak Aris, 31 Maret 2014 di kele’i. Imbuhan “sin” dapat kita bandingkan dengan kata “baku” dalam kosa kata bahasa Indonesia yang artinya “saling”. Misalnya baku tolong atau saling tolong 130 131
222 Redefinisi Tindakan Sosial…
ini menjadi bermakna bila dipahami dalam suatu kehidupan sosial yang melibatkan beberapa individu. Dari sini kemudian dikenal juga kata mosintuwu yang artinya terlibat secara aktif dalam pekerjaan atau urusan-urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau masyarakat. Dengan demikian sintuwu mengandung makna kesediaan untuk berbagi kehidupan dengan orang lain demi kehidupan bersama itu sendiri. Hal ini didasarkan pada pola kehidupan kolektif yang menyebabkan setiap orang harus berjalan bersama, menangung beban bersama, menghadapi ancaman dan tantangan bersama, dan bahkan memiliki perasaan yang sama. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan yang sekaligus membentuk identitas kolektif mereka. Pada waktu kerusuhan dan konflik Poso item budaya ini mengalami pembiasan makna dari sintuwu maroso menjadi sintuwu molonco. Sintuwu maroso berarti bahwa dengan berbagi kehidupan maka kehidupan itu akan semakin berkualitas. Sementara sintuwu molonco dimunculkan oleh masyarakat untuk menunjuk pada gejala perilaku masyarakat yang sangat mengutamakan keselamatan diri mereka masing-masing dan tidak peduli dengan keselamatan orang lain.132 Setelah kerusuhan dan konflik berakhir maka masyarakat ingin merekostruksi konsepsi budaya ini secara teologis. Dengan merujuk pada beberapa bagian Alkitab, seperti Mazmur 133 tentang persaudaraan yang rukun, I Korintus 12 tentang macam karunia tetapi satu roh, Galatia 6: 2 tentang saling membantu, Filipi 2: 1–4 tentang kesatuan roh dan saling membantu, para aktor memahami kehidupan mereka sebagai
menolong, baku tembak atau saling menembak dan , baku pukul atau saling memukul satu dengan yang lain. 132 Wawancara dengan Bapak Kalingani tanggal 27 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 223
satu sistem organ dengan peran dan fungsi yang berbeda.133 Nilai ini dapat disebut sebagai nilai gotong royong yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi atau keterlibatan aktif dan kreatif dalam semua kegiatan bersama, baik itu ritual maupun sosial kemasyarakat. Pengerjaan penggalian tanah dan penanaman kabel PT. Indosat di sepanjang jalan Poso Tentena, pemarasan tepi jalan Trans Sulawesi, pembuatan kolam ikan di Sawidago, pembangunan rumah gereja, dll. dapat dipandang sebagai implementasi nilai mosintuwu dan sekaligus rekonstruksi identitas kolektif mereka. Nilai-nilai inilah yang menjadi komponen dasar kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom sebagai sebuah gerakan sosial berorientasi nilai. Kepercayaankepercayaan dan nilai-nilai tersebut di atas terbentuk dari item-item kultural pribumi yang kemudian diinterpretasikan secara teologis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah respon perilaku kolektif terhadap perubahan sosial dan kehancuran struktur sosial akibat kerusuhan dan konflik Poso berada di jalur restorasi, proteksi, modifikasi, dan resistensi nilai-nilai kultural berdasarkan suatu kepercayaaan umum berbasis pengalaman mistik keagamaan.
---
133
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 28 Maret 2014 di Kele’i.