MAKALAH WORKSHOP PENYUSUNAN MODUL HAM, RESOLUSI KONFLIK DAN GERAKAN SOSIAL
Gerakan Advokasi Kelompok Islam: (Studi Kasus TPM, FKAM, dan LUIS di Solo, Jawa Tengah)
Oleh: Muh. Zuhdan
Yogyakarta, 2 - 4 Desember 2008
Gerakan Advokasi Kelompok Islam:1 (Studi Kasus TPM, FKAM, dan LUIS di Solo, Jawa Tengah) Pengantar Setuju atau tidak setuju demokrasi di sebuah negara memberikan sebuah tantangan sekaligus peluang bagi setiap kelompok masyarakat. Tantangannya adalah jika sebuah kelompok masyarakat tidak bisa mempengaruhi kebijakan publik maka kemungkinan besar akan termarginalkan dan tertindas secara sistematik serta akan menjadi “kambing hitam” dari setiap opini publik yang berkembang. Di lain pihak, sebuah kelompok masyarakat akan terpenuhi aspirasinya serta terlindungi hak-hak dan kepentingannya jika bisa mempengaruhi kebijakan publik. Untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik dan menguasai ranah publik, sebuah kelompok masyarakat mau tidak mau harus melakukan kerja-kerja advokasi. Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki atau merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal: Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku. Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen). Ketiga adalah budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran
1
Ditulis oleh Muh. Zuhdan , S.IP (Peneliti dari PUSHAM UII )
terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut
yang
dianggap
merupakan
titik-tolak
paling
menentukan.
Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh prosesproses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagaiberikut:2 a. Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
b. Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi,
negoisasi,
mediasi,
tawar
menawar,
kolaborasi
dan
sebagainya.
c. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
2
Roem Topasitang dan Mansour Fakih, Merubah Kebijakan Publik, Yogyakarta : Insist Press, 2003.
Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) . Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan hukum dan HAM bagi sebuah kelompok masyarakat. Penelitian ini mencoba mengelaborasi lebih jauh tentang kerja-kerja advokasi yang dilakukan kelompok Islam di Solo Jawa Tengah dalam rangka memperjuangkan keadilan hukum dan HAM. Ada tiga kelompok Islam yang menjadi subjek penelitian ini, yaitu Tim Pembela Muslim (TPM), Forum Komunikasi Angkatan Muda Masjid (FKAM), dan Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Masing-masing kelompok Islam tersebut memiliki konsen advokasi yang berbeda-beda, namun adakalanya sama-sama mengadvokasi isu atau kasus yang sama. TPM lebih konsen dalam isu advokasi hukum litigasi dan pelanggaran HAM yang dialami oleh para aktivis Islam, semisal : penculikan, penahanan, dan penyiksaan. Di pihak lain, FKAM dan LUIS lebih banyak bergerak dalam advokasi non litigasi, misalnya : isu penegakan Syariah Islam, isu stigmatisasi terorisme, isu Anti Amerika, isu penistaan agama, pemberantasan tempat-tempat maksiat, pemberdayaan umat Islam, isu
pembubaran Ahmadiyah, RUU Pornografi, dan
sebagainya. Tujuan melakukan penelitian ini adalah untuk melihat kinerja dan bentuk-bentuk advokasi yang dilakukan TPM, LUIS, dan FKAM dalam memperjuangkan HAM umat Islam. Selain itu, penelitian ini juga melihat pelanggaran HAM yang menimpa kalangan aktivis Islam. Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sebuah bahan referensi, evaluasi, dan panduan bagi pembuatan handbook advokasi bagi gerakan-gerakan Islam di masa mendatang. Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif. Data yang dibutuhkan oleh penelitian ini ada dua : data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode deep interview dan data sekunder diperoleh dengan metode dokumentasi, penggalian bahan pustaka, dan browsing internet.
Tim Pembela Muslim (TPM) : Garda Depan Advokasi Umat Islam ¾ Sejarah Berdirinya Orang yang saya temui untuk mengupas lebih banyak tentang eksistensi dan aktivitas Tim Pembela Muslim (TPM) Jawa Tengah adalah Kholid Syaifullah. Beliau adalah salah satu pengurus dan organiser-nya Tim Pembela Muslim (TPM) Jawa Tengah. Posisinya di TPM Jateng memang sangat strategis mengingat dia sebagai sekretaris jenderal (sekjennya). Status ini dia masih berstatus sebagai mahasiswa semester akhir fakultas hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dia juga aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Di samping masih mahasiswa dan aktif berorganisasi, dia sebenarnya juga seorang bisnisman yang sukses. Usaha dia adalah membuat industri cat dan membuka rental mobil. Dari usaha tersebut, Kholid mencoba untuk bisa menghidupi keluarganya, sembari untuk biaya operasional aktivitas organisasinya. Dari PII Kholid mulai belajar berorganisasi dan berpolitik praktis membangun popularitas dirinya. Ada sebuah momen yang membuat dirinya dikenal sebagi sosok aktivis muda Islam yang gigih membela dan mendampingi hak-hak hukum para korban penculikan dan penangkapan oleh Detasemen 88 (Densus 88)
yang dituduh terkait
jaringan teroris pasca Bom Bali I dan Bom Bali II di Solo dan sekitarnya. Kholid memang orang yang terjun langsung melakukan penyelidikan dan penggugatan atas kasus penculikan dan penangkapan para aktivis Islam yang dituduh terkait jaringan teroris. Merespon hal tersebut Kholid bersama beberapa temannya mendirikan posko pengaduan dan bantuan hukum bagi para keluarga korban penculikan dan penangkapan yang dilakukan oleh datasemen anti terror 88. Posko tersebut tidak hanya memberikan bantuan dan perlindungan hukum bagi para korban penculikan namun mereka juga melakukan penggalangan dana masyarakat untuk membantu para keluarga korban penculikan dan penangkapan densus 88. Penggalangan dana tersebut memang tak sia-sia dilakukan oleh oleh Kholid dan kawan-kawan karena setiap harinya bias meraup uang sekitar 2 (dua) juta rupiah. Agar usaha pembelaan para korbab penculikan dan penangkapan terhadap para aktivis masjid, santri, dan aktivis ormas Islam bias berjalan secara sistematis dan terorganisir maka diwadahi dengan organisasi bernama FPP (Front Perlawanan Penculikan). Organisasi ini didirikan oleh Kholid dan beberapa temannya sekitar tahun 2003-an di Kota Solo, Jawa Tengah.
Tugas utama FPP adalah melindungi dan membela korban penculikan dan penangkapan yang dilakukan oleh densus 88. Selain itu, FPP yang dipimpin oleh kholid tersebut juga berusaha mengadakan press release ke media massa terkait penangkapan dan penculikan para aktivis Islam di Solo. Namun, ada kisah ironis yang menimpa Kholid ini, beliau seringkali mendapatkan prasangka buruk dari beberapa kawannya yang aktif di gerakan-gerakan Islam karena dia sering dituding punya hubungan gelap dengan Badan Intelejen Nasional (BIN). Tudingan ini memang masuk akal dan wajar karena pada saat Kholid mengadakan pesta pernikahan, Kepala BIN Samsir Siregar beserta jajarannya juga ikut datang ke pesta pernikahannya. Kedatangan Kepala BIN ini menimbulkan polemic di kalangan gerakan-gerakan Islam di Solo. Kejadian tersebut membuat para aktivis gerakan Islam yang selama ini dibela oleh Kholid semakin hati-hati dan kurang percaya sama dia lagi, bahkan gerakan-gerakan Islam tersebut mencoba mengadakan forum bersama untuk menyidang dan meminta keterangan khusus dari Kholid. Permintaan tersebut tak pernah ditanggapi oleh Kholid karena dia merasa tidak pernah punya hubungan dengan BIN. Sangkal dia, wajar-wajar saja jika para pegiat hokum seperti saya ini punya hubungan dengan para penegak hokum karena mau-tidak mau dalam penyelesaian kasus kita harus sering bernegosiasi dengan para aparat penegak hokum. Berdirinya FPP bukan berarti bisa menghalau dan mengurangi aksi-aksi penculikan densus 88 terhadap aktivis muslim di Solo dan sekitarnya. Ketidakmampuan FPP dalam menangkal aksi densus 88 memang wajar dan masuk akal. Kata Kholid, perlu organisasi yang lebih mapan dan memiliki jaringan kerja yang kuat agar bias membela para aktivis Islam. Problem tersebut membuat kholid untuk bisa melebarkan jaringan kerja, salah satu rencana strategisnya adalah bergabung dengan Tim Pembela Muslim yang saat itu dikawal oleh Ahmad Michdan dan Mahendradata c.s. Dewan Pembina TPM saat itu diisi oleh para ustadz kondang yang sering dicap radikal mereka adalah Ustad Abu Bakar Ba’syir, Habib Riziek Shihab, dan K.H. Farid Ma’ruf. Pada saat itu TPM masih tersentralisasi di Jakarta sehingga Kholid dan beberapa pengacara Solo, semisal Anis (yang saat ini menjabat sebagai ketua TPM Jateng) mencoba untuk membuka cabang di Surakarta dan Jawa Tengah. Mengingat kasus-kasus penangkapan terhadap aktivis Islam yang dituduh teroris semakin banyak terjadi di Solo dan sekitarnya.
Kholid, Anis, beserta kawan-kawannya awalnya membuka kantor TPM di dekat Madrasah Aliyah Negeri I Surakarta atau sekitar daerah Kauman, Surakarta. Fungsi kantor TPM tersebut sehari-harinya sebagai sekretariat dan tempat transit saja jarang sekali para anggota TPM stand by di kantor tersebut. Atau bisa dikatakan, kantor TPM tersebut sebenarnya tiap harinya lebih banyak kosong, mungkin hanya ada satu atau dua orang staf pengurus saja karena para anggota TPM lebih banyak kerja di lapangan mendampingi para klien. Hal tersebut wajar karena kasus yang ditangani TPM semakin hari semakin padat. Satu kasus saja bisa berbuntut-buntut dan berlarut-larut penangananya sehingga mau tidak mau para anggota TPM harus aktif di lapangan. Saat ini personil TPM Jawa Tengah berjumlah sekitar 12 orang. Sebenarnya banyak pengacara yang ingin bergabung dengan TPM, namun untuk bisa masuk ke jajaran TPM para pengacara tersebut harus memiliki karakter tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam. Para pengacara yang kerja di TPM tersebut memang tidak dibayar atau tidak ada gajinya tapi lebih banyak menyumbangkan penghasilan mereka untuk menghidupi organisasi tersebut. ¾ TPM dan Korban Penculikan Densus 88 : Melacak Pelanggaran HAM Pasca terjadinya ledakan Bom Bali I, Bom Bali II, dan ledakan Bom di depan Kedubes Australia, aksi penangkapan dan penculikan terhadap para aktivis Islam marak dilakukan di mana. Aksi penangkapan dan penculikan semakin terlegitimasi pasca munculnya UU Terorisme tahun 2004. Dengan dalih memberantas terorisme sparat kepolisian semakin gencar melakukan kegiatan intelejen, intimidasi, penangkapan paksa, penculikan, penahanan, penyiksaan terhadap para aktivis Islam yang dituduh terkait jaringan teroris. Datasemen 88 sebagai satuan khusus Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang memiliki tugas khusus melakukan pemberantasan jaringan teroris di Indonesia sering melanggar HAM kalangan aktivis Islam. Bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh densus 88 diantaranya adalah dengan menggebrak pintu si tersangka, tanpa ada surat penangkapan dan penggeledahan, langsung mencokok si tersangka dalam keadaan masih tertidur lelap di kamar dan mendadak hilang bahkan anggota keluarganya tidak ada yang tahu dibawa kemana oleh
densus 88.3 Menurut Kholid, kadangkala keluarga setelah beberapa hari juga tidak tahu dimana tersangka ditahan oleh densus 88 bahkan polisi pun tidak memberikan surat keterangan pemberitahuan kepada keluarga. Tragisnya kadangkala densus 88 saat mau menangkap aktivis islam yang dituduh teroris juga melakukan penembakan dengan senjata api. Kasus yang paling nyata dan sempat menyebar lewat media massa, yaitu saat penangkapan Abu Dujana yang ditembak kakinya lebih dahulu bahkan hal itu terjadi di depan mata anak kecilnya yang masih balita. Tentang cara densus 88 yang sering menembak kaki para tersangka teroris, TPM memiliki bahasa tersendiri untuk menyebut tindakan tersebut, yaitu “sikile dibolongi” atau kakinya dilubangi.
Tabel 1. Data Korban dan Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM Polisi yang ditangani TPM
No
Nama Korban
Terkait Kasus
TKP
Bentuk Pelanggaran HAM
1
Abu Dujana
Tuduhan Terorisme
Jawa Tengah
Ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan, penangkapan paksa yang disertai unsur kekerasan seperti perusakan, penggertakan, penggebrakan pintu , penggeledahan paksa, ditembak kakinya
3
Menurut Zainudin Paru, Direktur Pusat Advokasi dan HAM (PAHAM), ada beberapa alasan mengapa tindakan para aparat tersebut masuk sebagai tindakan penculikan dan berpotensi menghilangkan secara paksa seseorang (enforces disapperearance). Pertama, semua korban diciduk di tengah jalan. Kalau penangkapan, seharusnya polisi menunjukan surat tugas dan surat penangkapan. Kedua, semua aktivis Islam ditangkap dalam keadaan matanya ditutup pakai kain hitam. Ketiga, setelah ditangkap lalu dibawa ditempat rahasia dan disiksa. Lihat, Artawijaya “Ketika Penguasa Menebar Teror”. Dalam Sabili. Edisi Khusus Juli 2004: hal. 142. Jakarta
tanpa terlebih dahulu diberi tembakan peringatan, ditahan tanpa didampingi pengacara, tidak diberitahu tempat penahanannya, penyiksaan selama ditahan 2
Abu Fida’
Tuduhan
Solo
Terorisme
Penangkapan tanpa
paksa
ada
surat
perintah, penculikan, penyiksaan fisik dan psikologis,tidak diberitahu oleh polisi keberadaannya 3
Lutfi Haidaroh dan Tuduhan temannya
Solo
(santri Terorisme
secara
paksa, diculik, dan
pondok pesantren Al
disiksa, tidak boleh
Mukmin
dijenguk
Ngruki,
Solo) 4
Ditangkap
pengacara
selama 2x24 Jam
Sonhadi, Ismael, dan
Tuduhan
Candra (ketiganya
Terorisme
Surabaya
Diculik atau ditangkap paksa
aktivis Majelis
tanpa ada surat resmi
Mujahidin
penangkapan,
Indonesia/MMI)
keluarganya tidak diberitahu keberadaanya, disiksa selama diculik, tidak boleh didampingi
pengacara selama 2x24 jam selama ditahan 5
Amrozi, Imam
Tuduhan
Jawa
Samudra, dan Ali
Terorisme
Banten,
Imron
Cilacap
Timur, Ditangkap paksa dan tanpa ada surat penangkapan, disiksa secara fisik dan mental, tangan dan kaki diborgol, mata ditutup pakai kain hitam, dijerat UU Terorisme padahal UU tersebut muncul setahun sesudahnya padahal asas hukum negara kita tidak menganut asas berlaku surut
6
Ustad Abu Bakar
Tuduhan
Ba’syir
Terorisme
Solo
Ditangkap paksa saat dia masih opname di rumah sakit, diinterogasi dengan paksaan, dua tahun ditahan ternyata dia tidak terbukti melakukan kesalahan, dicemarkan nama baiknya, diintimidasi gerak aktivitasnya
Selain itu sebenarnya ada banyak kasus penangkapan dan penculikan Densus 88 terhadap aktivis Islam di Solo pasca terjadinya Pengeboman di depan Kedubes Australia. Contoh saja kasus penculikan dan penyiksaan yang menimpa Ustad Syaifudin Umar Alias Abu Fida’. Kasus tersebut sempat membuat marah para aktvivis Islam Solo karena beliau ditangkap tanpa prosedur hukum serta mendapatkan penyiksaan fisik di sekujur tubuhnya. TPM yang dikawal oleh Mahendrata pada waktu itu sempat menggugat Mabes Polri atas tindakan aparat polisi yang tidak mengindahkan kaidah hukum dan HAM serta terkesan tidak manusiawi. Tidak hanya TPM yang mencoba mengecam dan menggugat kasus penculikan dan penyiksaan Abu Nida’, namun kecaman juga datang dari Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Surabaya dan Anggota Dewan DPRD Jawa Timur dari Fraksi Gabungan yang diwakili oleh Tamat Anshori. Selain itu, Abu Fida’ juga mendapat bantuan pembelaan hukum dari Divisi Hukum DPW PBB (Partai Persatuan Pembangunan) Jawa Timur yang dikawal Achmad Yulianto c.s. , kebetulan kakak Abu Fida’ adalah adik sepupu Achmad Yulianto. Mereka membela Abu Nida’ tidak hanya dikarenakan si korban adalah warga Jawa Timur, melainkan ada indikasi kuat terjadinya bentuk-bentuk kekerasan negara atau bisa dikategorikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri dan BIN.4 Kronologis kasus dan bentuk penyiksaan yang menimpa Abu Fida’ seperti yang dilansir oleh Tempo Interaktif (20/8/04) sebagai berikut : Ustad Muhammad Saifuddin Umar atau Ustad Syafuddin alias Abu Fida' ditangkap berdasarkan pengakuan dari Adung atau Sunarto bin Kartodiharjo, tersangka kasus Bom Bali yang ditangkap di Sukoharjo Juli 2004. Lalu, Syaifudin alias Abu Fida ditemukan pada tanggal 11 Agustus pukul 23.40 WIB di halaman IRD RSU dr. Soetomo dalam keadaan linglung, tidak berpakaian dan hanya mengenakan celana panjang yang lusuh dan kotor. Sekujur tubuh Syaifudin memar, dipenuhi irisan luka yang masih basah dan kering serta beberapa goresan seperti bekas cambukan. Juga ditemukan beberapa luka bakar berdiameter 0.5 cm lazimnya akibat sundutan rokok. Dan yang lebih memprihatinkan, menurut bunyi surat itu adalah bahwa kuku ibu jari kaki kiri terlepas semuanya, sedangkan kuku jari kelingking tangan kanan terkelupas setengahnya. Surat pemberitahuan mengenai penangkapan Syaifudin, menurut surat itu, baru diterima dua hari kemudian, tepatnya Jumat (13/8) pukul 13.00 WIB. Surat pemberitahuan itu dikirim lewat pos dari Badan Reserse Kriminal Datasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri dengan nomor Pol: B/358/VIII/2004/Densus88AT. Pasca penculikan tersebut Abu Fida’ mengalami depresi berat atau setengah gila.
4
Tempo Interaktif, 19 Agustus 2004
TPM Pusat ( Mahendradata cs) berkoordinasi dengan TPM Jawa Timur yang dipimpin oleh Fahmi M. Bachmid menggugat Mabes Polri atas kasus tersebut. TPM meminta Mabes Polri mengusut tuntas kasus tersebut. Gugatan dan permintaan pengusutan dari TPM ini direspon oleh pihak Mabes Polri dengan mengirimkan Tim Ahli Divisi Profesi dan Pengamanan yang dipimpin oleh Kombes Triadi Koni ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur untuk bergabung dengan Tim Propam Polda Jatim. Di lain pihak, Komandan Satuan Tugas Khusus Anti Teror Bom Brigjen Polisi Gorris Mere meminta pihak keluarga korban untuk menghentikan penggugatan dan pengusutan kasus ini. Adanya permintaan penghentian pengusutan kasus ini dari Komandan Satuan Tugas Khusus Anti Teror Bom tersebut, pihak keluarga dan TPM merasa ada intimidasi negara terhadap korban. Kasus tersebut memang dilanjutkan pengusutannya, Tim Propam Mabes Polri dan Tim Propam Polda Jatim meminta keterangan sedetail-detailnya dari pihak keluarga dan polisi. Namun keterangan yang didapat dari kedua belah pihak tersebut hanya menjadi laporan formal saja karena tidak ada penindakan dan penyidikan selanjutnya. Lalu korban penculikan yang lain adalah Lutfi Haidaroh (25) dan seorang temannya yang tidak diketahui identitasnya. Tim Densus 88 menangkap kedua aktivis Islam dari pondok pesantren pada senin (26/7/08). Lokasi penangkapan hanya beberapa meter dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo tepatnya di rumah kontrakan Hawin Murtadho, Kampung Cemani RT 04/RW 15, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, JawaTengah. Kedua korban penculikan Tim Anti Teror Mabes Polri tersebut disinyalir adalah santri dari Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo pimpinan Ustadz Abu Bakar Ba’syir yang sering disebut-sebut sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) atau organisasi teroris versi Amerika dan sekutunya. Nasib kedua santri tersebut juga mengalami kondisi serupa dengan Abu Fida’. Mereka ditangkap dan diculik dengan tiba-tiba tanpa ada surat penangkapan sebelumnya. Cara penangkapannya tergolong anarkhis karena santri tersebut tahu-tahu ditodong pistol dan langsung dipaksa masuk ke mobil oleh beberapa pria (sekitar 6-7 personil) berbadan tegap, rambut gondrong, berpakain preman dan bersenjata api yang mengaku dari kepolisian. Menurut saksi mata yakni Hawin Murtadho atau kakak kandung dari Lutfi
Haidaroh, bahwasanya penculikan tersebut begitu cepat tapi ada sedikit keributan. Tandas Hawin bahwasanya penangkapan adik dan temannya tersebut telah melanggar kaidah hukum dan HAM karena tidak ada surat resmi pemberitahuan dan surat penangkapan dari kepolisian sebelumnya.5 FPP dan TPM mengecam keras tindakan penculikan tersebut. Kedua organisasi bantuan hukum yang selama ini mengadvokasi korban-korban penculikan yang menimpa aktivis muslim tersebut menyatakan bahwa kasus penangkapan kedua santri itu sangat menyalahi prosedur hukum yang berlaku karena tanpa ada surat penangkapan sebelumnya. Lebih lanjut, Kholid yang pada waktu itu menjadi juru bicara FPP dan TPM menyatakan bahwa itu adalah penculikan bukan penangkapan karena kalau penangkapan harus ada surat resmi penangkapan sebelumnya.6 FPP dan TPM mencoba menangani masalah ini, namun mengalami kesulitan karena harus berhadapan dengan sistem informasi di birokrasi kepolisian yang sangat kaku dan tertutup sehingga keterangan tentang keberadaan dan kondisi korban penculikan tidak bisa diketahui. Selain itu, Hawin Murtadho kakak Lutfi Haidaroh (si korban penculikan) datang juga ke LBH Jakarta untuk meminta perlindungan hukum sekaligus meminta kepada LBH Jakarta untuk bisa menyelidiki tentang siapa yang menangkap si Lutfi dan mencari tahu keberadaan dan kondisi terakhir si Lutfi.
Hasilnya pun sama saja karena LBH Jakarta juga harus
dihadapkan pada birokrasi kepolisian yang sangat tertutup dan rahasia. Masih terkait dengan tuduhan terorisme, TPM juga menerima laporan lagi tentang kasus penculikan aktivis Islam yang menimpa pada tiga orang anggota Majelis Mujahidin Jawa Timur, yang masing-masing bernama Sonhadi, Ismael, dan Candra. Kasus penculikan ketiga aktivis Majelis Mujahidin terjadi pada 12/8/08 di kawasan Ngagel, Surabaya antara pukul 09.30 – 10.00 WIB. Kronologis kasus penculikan Densus 88 terhadap Sonhadi seperti yang dilansir oleh Tempo Interaktif (19/08/04) sebagai berikut : Sonhadi yang sehari-hari penjual susu kedelai dari rumah ke rumah, hari itu mengantarkan dagangannya ke sejumlah pelanggan. Menurut Zulkarnain ( Ketua Lajnah Daerah MMI Surabaya), ia sempat mengantarkan susu ke rumahnya di Jalan Tanjung Pura 3 Surabaya, kemudian juga sempat ke Tropodo, dekat Bandara Juanda dan ke Nagel. Setelah mengantarkan susu kedelai di seorang langganannya di Ngagel inilah ia diperkirakan hilang. Menurut pengakuan istri Sonhadi kepada Zulkarnain, hari itu, seperti lazimnya, menjelang saat zuhur suaminya biasanya telah kembali ke 5 6
Tempo Interaktif, 26 Juli 2004 Tempo Interaktif, 26 Juli 2004
rumahnya di Simolawang. Sang istri yang penasaran terhadap keberadaan suami karena hingga usai zuhur belum pulang, tiba-tiba mendapatkan telepon. Setelah diangkat, telepon itu ternyata berasal dari Sonhadi. Dari ujung telepon, Sonhadi memberi kabar keselamatan. Selanjutnya, ia berpesan kepada istrinya bahwa ia belum bisa pulang karena sedang ada bisnis. Usai berkata bahwa Sonhadi sedang menjalankan urusan bisnis, telepon mendadak ditutup.
Berbagai Strategi Advokasi Gerakan Islam di Solo a. Demontrasi Pada bulan-bulan berikutnya terjadi lagi banyak penculikan para aktivis Islam di daerah Surakarta yang mencapai 24 orang.7 Penculikan, penyiksaan, dan penghilangan orang oleh Densus 88 ini akhirnya menuai protes dan demontrasi dari MMI dan FPP yang menuntut dibubarkannya Tim Anti Teror Bom tersebut karena tindakan Densus 88 bukan seperti penegak hukum tapi justru menyebar terror bagi masyarakat. Demontrasi ratusan massa MMI dan FPP diadakan di depan Mapolwiltabes Surakarta. Tuntutan mereka adalah pembubaran Densus 88 dan menuntut para pelaku penculikan agar dikenai pelanggaran HAM berat.8 Pada tahun berikutnya digelar juga demontarsi besar-besaran pengusutan kasus penculikan dan pembubaran Densus 88. Demontrasi kali ini diikuti oleh gabungan elemen-elemen Islam di Surakarta. Mereka menamakan diri Umat Islam Surakarta (UIS) yang didalamnya tidak hanya para aktivis dari berbagai organisasi Islam Surakarta tapi juga diikuti oleh para pengacara yang tergabung dalam TPM. Rencananya aksi demontrasi tersebut akan digelar di depan Mapolwiltabes Surakarta, namun kali ini pengamanan dari pihak kepolisian semakin ketat sehingga massa tidak bisa merangsek sampai depan kantor Mapolwiltabes Surakarta.9 Usaha-usaha demontrasi dilakukan oleh para organisasi Islam dan TPM sebagai salah satu bentuk advokasi non formal atau extra judikatif. Sebenarnya telah banyak aksi protes dan demontrasi yang dilakukan oleh ormas Islam dan TPM di Solo sebagai bentuk advokasi dan perlawanan terhadap aksi-aksi penculikan dan penyiksaan para aktivis Islam yang ditangkap dan ditahan oleh polisi dan Densus 88.
7
Suara Merdeka, 5 Juli 2005 Tempo Interaktif, 20 Agustus 2004 9 Suara Merdeka, 5 Juli 2005 8
Gambar 1. Salah Satu Aksi Demontrasi Umat Islam Surakarta dan TPM di Depan Mapolwiltabes Surakarta
Namun, demontrasi sebagai salah satu bentuk advokasi yang dilakukan oleh ormas Islam beserta TPM ini selalu mengalami kegagalan dalam mengartikulasikan aspirasi dan gugatannya kepada pihak kepolisian. Misalnya saja, Apel Akbar Solidaritas Umat Islam Surakarta bagi Muslim Kupang, Ambon, dan Poso, demontrasi pembebasan Ustad Abu Bakar Ba’syir, demontrasi penculikan para aktivis Islam ( kasus penculikan dan penyiksaan Abu Fida’ dan 24 aktivis Islam Solo lainnya), serta yang terakhir aksi demontrasi pembubaran Ahmadiyah.
C. Perang Opini Melalui Media Massa Kegagalan aksi-aksi umat Islam dalam demontrasi mengekspresikan pendapatnya ini merupakan salah satu tantangan umat Islam yang selama ini belum ditemukan akar masalah dan solusinya. Media massa kadangkala malah melihat aksi-aksi demontrasi umat Islam sebagai bentuk radikalisme Islam yang berpotensi pada tindak kekerasan. Demontrasi umat Islam kadangkala dipublikasikan media massa nampak seperti laskar atau paramiliter yang hendak mau berperang karena pakaian para pendemo mirip dengan para gerilyawan perang atau Mujahidin di Afganistan dan Irak. Dari style pakaian tersebut media massa mudah-mudah saja menyimpulkan bahwa demontrasi aktivis Islam
cenderung anarkhis dan tidak simpatik. Apalagi jika demontrasi para aktivis Islam berujung pada bentrok dengan aparat kepolisian atau pihak lain, semua media massa pasti akan memblow up habis-habisan bahwasanya para aktivis Islam adalah gerakan radikal yang pro-kekerasan dan anti demokrasi. Pencitraan opini publik yang buruk dari media massa terhadap demontrasi-demontrasi ormas Islam ini bisa dijadikan salah satu jawaban mengapa pemerintah dan masyarakat luas kurang respon dan memberikan dukungan politik yang luas terhadap aktivis-aktivis Islam yang selama ini dicap sebagai gerakan radikal atau jaringan teroris. Kholid sebagai juru bicara TPM Jateng menuturkan bahwasanya sudah saatnya ormas-ormas Islam mulai membangung networking dengan media massa agar tidak terjadi pemberitaan yang tidak seimbang tentang aktivis Islam. Bahkan Kholid menyatakan bahwa penciptaan opini publik melalui media massa menjadi salah satu kunci keberhasilan advokasi.10 Dia menambahkan bahwasanya media massa menjadi salah satu jaringan kerja yang sangat strategis bagi upaya-upaya advokasi kasus-kasus yang menimpa aktivis Islam. Oleh sebab itu, berteman dengan dunia pers adalah bagian mutlak aktivis Islam ke depan.
c. Membangun Jaringan Kerja dengan Lembaga Lain Kasus penculikan para aktivis Islam ini sempat dilaporkan oleh FPP dan TPM ke Komnas HAM tapi hasilnya tetap nihil. Selain itu, TPM dan FPP juga pernah mangajak YLBHI, LBH Jakarta, PAHAM dan lembaga-lembaga pejuang HAM yang lain. Namun, juga tidak mendapatkan hasil yang optimal. Kholid menilai bahwa lembaga-lembaga hukum dan pembela HAM, semisal Komnas HAM, Kontras, YLBHI, PUSHAM dan lainnya tidak memiliki kekuatan hukum apapun, kewenangan mereka hanya menyelidiki dan rekomendasi tapi tidak sampai bisa ke arah tindakan penyidikan seperti jaksa atau polisi. Di samping itu, Kholid juga menilai pesimis terhadap lembaga-lembaga hukum dan HAM dalam membela hak-hak umat Islam karena mereka dianggap telah menjadi antek-antek asing ( baca : didanai oleh asing) sehingga suara mereka kurang keras dan memihak jika ada pelanggaran HAM yang menimpa umat Islam. Sebaliknya jika ada
10
Wawancara dengan Kholid Syaifullah (Jubir TPM Jateng), 5 November 2005
kasus pelanggaran HAM yang menimpa orang-orang non-muslim dan orang-orang kiri mereka sangat lantang dan kritis.11
d. Penyebaran Pamflet dan Pemasangan Spanduk Salah satu aksi massa besar untuk menggugat pembantaian umat Islam di Kupang, Ambon, dan Poso pernah dilakukan oleh FKAM12 di Kota Solo pada 19 Januari 2000.13 Banyak yang menamakan aksi massa tersebut sebagai Rapat Akbar atau Apel Siaga I Umat Islam Surakarta menentang dan menggugat pembantaian muslim di Ambon dan Poso. M. Kalono pada saat itu menjadi organizer Apel Siaga tersebut. Apel Siaga Umat Islam tersebut diadakan di lapangan Kota Barat, Solo. Keadaan mencekam sempat terjadi di Kota Solo saat Apel Siaga Umat Islam Surakarta itu berlangsung. Semua gereja-gereja dijaga oleh polisi. Massa menuntut dan menggugat pemerintah agar segera menyelesaikan dan mengusut kasus pembantaian muslim di Ambon. Tidak hanya itu massa juga meminta kepada pemerintah agar hukum benar-benar ditegakan bagi pelaku pembantaian muslim di Ambon. Apel Siaga Umat Islam tersebut semakin menggelora ketika lagu nasyid perjuangan yang berjudul “Panggilan Jihad” dibunyikan di tengah-tengah kerumunan massa. Muh. Kalono menuturkan bahwa lagu tersebut sebenarnya dilarang keras oleh pemerintah pada saat itu karena sangat syarat dengan gerakan Islam radikal, namun Kalono bersama kawan-kawan seperjuangannya justru sengaja memutar lagu jihad tersebut untuk membangkitkan ghiroh (baca : semangat perlawanan) para pemuda Islam agar berani membela umat islam yang dibantai di Ambon. Salah satu yang menarik disini , Kalono dan teman-teman membuat dan menyebar pamflet sekitar 50.000 lembar yang isinya untuk mengutuk dan menggugat kasus pembantaian muslim di Ambon. Penyebaran pamflet ini merupakan bentuk advokasi untuk meraih dukungan publik yang lebih luas. Pamflet ini disebarkan tidak 11
Wawancara, Kholid Syaifullah (FPP dan TPM), 5 November 2008 Muh Kalono beserta teman-temanya sekitar tahun 1998 mendirikan Forum Komunikasi Angkatan Muda Masjid (FKAM) di Surakarta, Jawa Tengah. Organisasi massa Islam berbasis masjid ini didirikan sebagai salah satu jawaban untuk menjadikan kader-kader muda masjid agar memiliki keberanian dan kepercayadirian memimpin sebuah organisasi atau kekuasaan. FKAM sebagai organisasi pemuda Islam berbasis masjid memiliki amanah untuk menjadi pionir dalam percepatan pencerdasan umat 12
13
Kompas, 20 Januari 2008
hanya pada hari H saat aksi itu dilakukan tapi sebelum dan sesudahnya. M. Kalono menggunakan pamflet untuk kampanye advokasi pembantaian muslim Ambon sebagai salah satu aksi untuk menangkal opini publik yang menyudutkan Islam. Selain itu, ada juga gerakan Islam yang menggunakan spanduk untuk mengadvokasi isu-isu tertentu misalnya : isu pembubaran Ahmadiyah, Isu Penegakan Syariah Islam, isu anti pornografi, isu anti kemaksiatan. Gerakan Islam tersebut adalah Laskar Umat Islam (LUIS).14 Spanduk-spanduk tersebut dipasang di tempat-tempat umum yang sering dilalui oleh masyarakat luas, misalnya : pinggir jalan, depan masjid, dan sebagainya. yang mengkampanyekan penegakan Syariah Islam, pembubaran Ahmadiyah, pemberantasan tempat-tempat kemaksiatan.
e. Menggelar Aksi Sweeping Cara-cara advokasi sebenarnya tidak hanya dengan cara-cara yang lunak tapi juga radikal sebagai bentuk show force dan pressure terhadap pihak yang digugat. FKAM dan LUIS pernah melakukan aksi sweeping warga Amerika sebagai bentuk perlawanan kepada kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang menyerang Afganistan dan Irak. Akibat tindakan invasi negara adiadaya itu ke negeri-negeri Islam, LUIS dan FKAM beserta berbagai ormas Islam di Surakarta melakukan aksi sweeping I dan II warga Amerika di Surakarta sebagai bentuk protes dan perlawanan kepada Amerika. Selanjutnya mereka bergerak bersama untuk menentang kedatangan George Bush ke Indonesia tahun 2003 yang melibatkan 5000-an massa.15 Pada saat aksi sweeping warga Amerika Serikat ini memang sempat mendapatkan reaksi keras dari Gedung Putih yang
14
LUIS, berdiri pada awal yahun 2000-an. Didirikan oleh Ustad Choirul dan kawan-kawan. Organisasi gabungan dari berbagai ormas Islam ini mencoba menyatukan aspirasi dari berbagai elemen Islam di Surakarta untuk bersama-sama menyuarakan penegakan Syariah Islam di Indonesia. Struktur LUIS memang berasal dari perwakilan berbagai ormas Islam di Solo. Disitu ada perwakilan Muhammadiyah, Persis, ormas berbasis masjid, FPI, laskar-laskar pemuda Islam, laskar pesantren. Para perwakilan ormas Islam Surakarta tersebut, sepakat membentuk LUIS biar bisa lebih mudah berkoordinasi jika umat Islam sedang mengalami masalah. Visi ke depan LUIS adalah Tegaknya Syariah Islam di Indonesia. Misinya adalah merapatkan kembali gerakan atau ormas Islam dalam satu wadah organisasi tanpa mereduksi organisasi asal sebelumnya. LUIS memang cukup keras dalam melakukan aksi-aksi di lapangan sebagai salah satu bentuk upaya penegakan Syariah Islam di level akar rumput, yaitu melakukan pemberantasan tempat-tempat maksiat di daerah Surakarta, melawan gerakan penistaan agama dan sekitarnya. 15
Tempo Interkatif, 23 Oktober 2003
membuat George W. Bush mengeluarkan travel warning bagi warganya yang ingin pergi ke Indonesia.
f. Strategi Lobbying Akibat adanya aksi sweeping warga Amerika tersebut, M. Kalono sebagai pimpinan FKAM ditangkap polisi karena dituduh sebagai aktor organiser aksi dibalik itu. Kalono melakukan pembelaan saat mau disuruh membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi. Dia mengatakan kepada polisi, bahwasanya dia sebagai tersangka, korban, atau saksi atas penangkapan dirinya. Kalono mengatakan kepada polisi untuk memeriksa dirinya harus kontak pengacaranya terlebih dulu. Proses hukum tetap dilanjutkan oleh polisi, namun di tengah jalan proses hukum tersebut Kalono dibebaskan. Selidik punya selidik ternyata Kalono me-lobby Ibu Sumilah yang dikenalnya saat massa FKAM ikut mengamankan persidangan
kasus penghinaan Nabi Muhammad yang
dilakukan oleh warga Belanda di Kantor Kejaksaan Tinggi Surakarta. Ibu Sumilah yang pada waktu itu menjadi jaksa merasa berhutang budi kepada Kalono karena telah membantu mengamankan persidangan tersebut.16 Para anggota FKAM lainnya sebenarnya juga banyak yang kena tangkap oleh polisi tekait aksi-aksi demontrasi dan sweeping warga asing tersebut tersebut. Para anggota FKAM memang sering berurusan dengan polisi, namun hal itu sudah menjadi hal yang biasa buat mereka. Kalaupun ditangkap pasti akan ada pembelaan dari ketua mereka yang akan mendatangi kantor polisi untuk bernegosiasi dan lobbying dengan komandan polisi pembebasan diri mereka. Bentuk-bentuk negosiasi non formal semacam ini biasa dilakukan oleh para ketua ormas Islam untuk membela para anak buahnya.
g. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid FKAM sebagai organisasi pemuda Islam berbasis masjid memiliki amanah untuk menjadi pionir dalam percepatan pencerdasan umat. Melalui organisasi inilah sebenarnya anak-anak muda akan mendapatkan ilmu di luar formal. Kalau di sekolah-sekolah formal pendidikan hanya bersifat text book tapi melalui masjid sebagai miniature organisasi para pemuda akan bisa belajar lebih banyak tentang realita kehidupan bermasyarakat. Dari 16
Wawancara, M. Kalono (Ketua FKAM), 5 November 2008
organisasi para pemuda bisa belajar tentang ilmu-ilmu yang lebih praktis guna menjawab permasalahan kehidupan, semisal ilmu kepemimpinan, kewirausahaan, dan tentu saja agama. Di samping itu, untuk mengenyam ilmu kehidupan melalui organisasi masjid tentunya tidak sesulit mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah formal karena gratis dan terbuka bagi siapa saja dari golongan kelas apapun. Percepatan kecerdasan umat tidak bisa ditempuh dengan hanya melalui pendidikan formal, tapi harus ada media pendidikan non formal yang materinya fokus pada pemecahan masalah-masalah umat.17 Percepatan kecerdasan umat menjadi bagian penting bagi anggota FKAM sebelum mengambil langkah untuk menjadi pemimpin di masa datang. Dengan melakukan pengorganisasian kaum muda masjid ini diharapkan umat Islam nantinya jangan sampai diperalat, ditipu, dan diadu domba oleh musuh-musuh Islam. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini umat Islam hanya dijadikan alat legitimasi para elit kekuasaan untuk meraih dukungan politik guna mempertahankan status quo, namun setelah itu umat Islam dicampakan, dimarginalkan, dan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan aspirasinya. Pendapat ini dipertegas oleh Emha Ainun Najib, bahwa umat Islam mudah sekali dipolitisasi, dimobilisasi oleh elit-elit politik demi kepentingan serta ambisi kekuasaan mereka.18 Itulah alasan pemikiran M. Kalono menjadikan masjid sebagai basis gerakan advokasi pemberdayaan umat. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari pemaparan di atas, ada beberapa point kesimpulan yang menjelaskan tentang problem advokasi hukum dan HAM yang dihadapi oleh TPM, FKAM, dan LUIS. Problem pertama yaitu, dalam hal advokasi mereka masih mengandalkan pimpinan dan belum memberdayakan para anggota dibawah agar memiliki keahlian advokasi hukum dan HAM. Problem kedua,
kerja advokasi yang dilakukan oleh TPM dan kedua
organisasi tersebut masih bersifat ad hoc, bukan secara sistematik menjadi agenda rutin dan wajib bagi organisasi tersebut mengingat mereka sering berurusan dengan hukum yang ada. Problem Ketiga, strategi advokasinya masih mengandalkan lewat jalan formal saja ( baca : pengadilan), dan kurang mengadakan advokasi dalam bentuk pembentukan 17
Wawancara, M. Kalono ( Ketua FKAM Surakarta), 5 November 2008 Ahma Suhami. “Eksploiitasi Simbol Islam untuk Kekuasaan”. Lihat Sabili Edisi Khusus Juli 2004 : 150155. Jakarta 18
opini publik melalui media massa sehingga merekalah yang selama ini justru menjadi “kambing hitam” atas kasus-kasus yang ada. Problem keempat, jaringan kerja advokasi yang mereka lakukan masih bersifat internal dan kurang menggandeng kekuatankekuatan politik lain sehingga setiap isu dan wacana yang mereka angkat kurang mendapat simpati dan dukungan dari publik. Problem kelima, masing memandang isu-isu HAM, instrumen dan lembaga-lembaganya adalah produk Barat yang harus disingkiri sehingga ketika mereka menjadi korban pelanggaran HAM akhirnya merasa tidak berdaya. Berdasarkan masalah di atas ada empat rekomendasi yang perlu segera dilakukan oleh TPM, FKAM, dan LUIS. Pertama, menciptakan kesadaran tentang arti pentingnya pengetahuan dan kemampuan advokasi bagi para anggota mengingat mereka adalah kelompok yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara. Kedua, perlu membuka jaringan kerja advokasi yang lebih luas dengan berbagai kekuatan civil society yang lain, misalnya : LSM, Gerakan Mahasiswa, Paguyuban Masyarakat,
Organisasi
Pemuda,
Kaum Intelektual,
dan
media
massa
guna
mempermudah mengartikulasikan aspirasi dan didengar oleh penguasa. Ketiga, membentuk sebuah pokja advokasi yang ditindak lanjuti dengan pelatihan-pelatihan advokasi di setiap organisasi agar bila suatu saat nanti menghadapi masalah hukum dan HAM para anggota sudah pada tahu apa yang mereka harus lakukan. Keempat, mengadakan pelatihan jurnalistik di setiap pokja organisasi tersebut yang dipersiapkan untuk mengcounter wacana, opini publik, dan isu yang menyudutkan umat Islam.