ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM (Studi Kasus di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung)
Skripsi Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : SAIFUR ROKHIM 072111022
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH Alamat: Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 (Kampus III) Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi A.n Sdra. Saifur Rokhim Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah Saudara: Nama
: Saifur Rokhim
NIM
: 072111022
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: ANALISIS TERHADAP PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM (Studi Kasus di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung)
Dengan ini saya dimunaqosahkan.
mohon
kiranya
naskah
tersebut
dapat
Demikian harap menjadikan maklum adanya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 13 Desember 2011 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Achmad Arief Budiman, M.Ag.
Anthin Latifah, M.Ag
ii
segera
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH GO W A L IS O N SEM ARANG
I A IN
Alamat: Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 (Kampus III) Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN Skripsi Saudara : Nama
: Saifur Rokhim
NIM
: 072111022
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: ANALISIS TERHADAP PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM (Studi Kasus di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung)
telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 28 Desember 2011 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012. Semarang, 28 Desember 2011 Penguji I,
Penguji II,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 19691031 199503 1002
Anthin Latifah, M.Ag NIP.19751107 200112 2002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 19691031 199503 1002
Anthin Latifah, M.Ag NIP.19751107 200112 2002
iii
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 28 Desember 2011 Deklarator,
Saifur Rokhim
iv
Abstrak Problem penentuan wali nikah bagi anak yang lahir kurang dari enam bulan atau bisa disebut anak dari hasil hubungan luar nikah dari kedua orang tuanya adalah landasan dari dilakukannya penelitian ini. Apabila masalah tersebut tidak diselesaikan, maka akan menjadikan masalah yang tidak akan ada hentinya. Seperti yang terjadi di KUA Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung, ada beberapa calon pengantin yang tersandung oleh problem tersebut akibat dari ulah kedua orang tuanya. Maka, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana KUA Parakan menyingkapi masalah seperti itu. Dengan judul “ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM” (Studi Kasus di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung). Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan peralihan wali nasab ke wali hakim di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung dan dasar hukum yang digunakannya serta sah atau tidaknya pernikahan yang pelaksanaannya menggunakan peralihan wali nikah menurut hukum Islam. Dalam menyelesaikan permasalahan ini, penulis melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang didasarkan pada obyek lapangan di daerah atau lokasi tertentu guna mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan analisis
yang bersifat “diskriptif” yang berusaha menggambarkan mengenai masalah tersebut. Metode ini digunakan untuk memahami pendapat dan dasar hukum yang dipakai dalam penerapan diskresi tentang peralihan wali nikah di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung.
Hasil penulis dalam menganalisa penerapan diskresi dalam penentuan wali nikah di KUA Parakan terhadap anak yang lahir kurang dari enam bulan adalah; Pertama, penerapan diskresi tentang peralihan wali nasab ke wali hakim belum dilaksanakan secara maksimal. KUA Parakan masih takut dengan sanksi hukum pemerintah apabila yang dilakukan oleh KUA Parakan dianggap melanggar hukum. Kedua, dasar yang digunakan oleh KUA Parakan dalam menerapkan diskresi tentang peralihan wali nasab ke wali hakim yaitu belum adanya undang-undang yang secara tegas menjelaskan tentang batas minimal usia kandungan bagi seorang wanita. Ketiga, Persoalan tersebut diselesaikan oleh KUA Parakan dengan tujuan kemaslahatan masyarakat umumnya dan khususnya pada masyarakat Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung. .
v
MOTTO
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman”. (QS. Al-Baqarah : 221)
vi
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati skripsi ini penulis persembahkan kepada : Bapak dan Ibu tercinta, atas kasih sayang serta do’anya dan atas segala dukungan yang diberikan, baik secara moril maupun materiil dengan tulus ikhlas demi kesuksesan putra tercintanya ini. Kawan-kawan senasib seperjuangan; kang judin, kang rofiq, kang koliq, kang bodong, kang wa’ju, kang kaka, kang namex dan semuanya yang tak mungkin disebutkan satu per satu.
Para Bapak dan Ibu dosen IAIN Walisongo yang membimbing penulis hingga menjadi mahasiswa yang berkarakter.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya yang telah melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau Baginda Nabi Muhammad SAW, semoga diakui sebagai umatnya yang setia hingga hari akhir nanti. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi izin penulis untuk membahas dan mengkaji permasalahan ini. 3. Bapak Achmad Arief Budiman, M.Ag. dan Ibu Anthin Latifah, M.Ag. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak membantu, dengan meluangkan waktu dan tenaganya yang sangat berharga semata-mata demi mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Ketua Jurusan, Sekjur Hukum Perdata Islam serta Stafnya kami sampaikan terima kasih. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah khusunya Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku dosen wali dan karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengajarkan
viii
ilmunya dengan ikhlas kepada penulis selama belajar di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 6. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini sesuai dengan kemampuan mereka. Atas semua kebaikan yang telah diberikan, penulis tiada dapat membalas jasa kalian, hanya mampu berharap dengan do’a, semoga Allah SWT menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semarang, 28 Desember 2011 Penulis,
Saifur Rokhim
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN DEKLARASI .................................................................................... iv HALAMAN ABSTRAK ........................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah .........................................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
6
D. Telaah Pustaka ..............................................................................
6
E. Metode Penelitian .........................................................................
8
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG NIKAH DAN WALI NIKAH A. Pengertian Nikah .......................................................................... 13 B. Pengertian Wali Nikah ................................................................... 17 C. Dasar Hukum Wali Nikah .............................................................. 19 D. Syarat-syarat Menjadi Wali Nikah ................................................. 23 E. Urut-urutan Menjadi Wali Nikah.................................................... 25 F. Kedudukan Wali dalam Pernikahan ............................................... 31
x
BAB III : PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DI KUA KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG A. Sekilas Tentang KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung ................. 34 B. Praktek Peralihan Wali Nikah Yang Dilakukan Oleh KUA Kec. Parakan ......................................................................................... 36 C. Dasar Hukum dan Argumentasi Yang Digunakan Oleh KUA Kec. Parakan dalam Praktek Peralihan Wali Nikah ................................ 42 BAB IV : ANALISIS
TERHADAP
PRAKTEK
PERALIHAN
WALI
NIKAH YANG DILAKUKAN OLEH KUA KEC. PARAKAN A. Analisis Terhadap Praktek Peralihan Wali Nikah Yang Dilakukan Oleh KUA Kec. Parakan ................................................................ 45 B. Analisis Terhadap Dasar Hukum dan Argumentasi Yang Digunakan KUA Kec. Parakan dalam Praktek Peralihan Wali Nikah ............................................................................................. 50 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 58 B. Saran-saran ................................................................................... 59 C. Penutup ......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi sunatullah seorang manusia diciptakan untuk hidup saling berdampingan dengan manusia yang lain sebagaimana sifat manusia sebagai makhluk sosial, juga telah menjadi kehendak Allah bahwa manusia akan mempertahankan dan mengembangkan keturunannya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk mempertahankan dan mengembangkan keturunannya yang dapat dilakukan oleh manusia kecuali melalui hidup bersama dengan manusia yang lain. Untuk itulah manusia membutuhkan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk membawa umat manusia itu sendiri pada kehormatan, sesuai dengan kedudukan manusia yang mulia disisi Allah diantara makhluk-makhluk yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan harus didasarkan atas rasa pengabdian kepada Tuhannya dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya. 1 Ikatan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan itu dituangkan dalam suatu perbuatan yang suci berupa perkawinan. Dalam pandangan Islam, pernikahan memiliki tujuan yang sangat penting. Disamping untuk meneruskan keturunan (at-tanasul) ia juga bertujuan untuk manusia
1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1990, hlm, 1.
1
2
supaya tidak terjerumus kedalam perbuatan tercela. Oleh sebab itu, jangkauan pernikahan lebih jauh dari pada hukum-hukum sosial yang lain. Persoalan yang muncul saat ini adalah fenomena yang akhir-akhir ini menunjukkan data peningkatan secara signifikan yaitu terjadinya praktik kumpul kebo akibat dari pergaulan yang terlalu bebas antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan yang sah. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan ketidakpahaman mereka terhadap aturan-aturan hukum baik itu bersumber dari nash maupun yang bersumber dari hukum positif, membuat mereka menganggap enteng masalah ini. Kasus ini dari hari ke hari semakin banyak kita temui. Keadaan ini jika dibiarkan saja tentu akan mengkhawatirkan bagi generasi mendatang, oleh karena itu perlu adanya solusi yang tepat bagi generasi muda pada umumnya agar tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Zina dapat menyebabkan si wanita hamil sebelum menikah atau sebelum mempunyai suami, dan anak yang dikandung apabila sudah lahir maka tidak tahu siapa ayah yang sebenarnya, tentu dikemudian hari akan membawa beban mental dan permasalahan baru. Permasalahan baru inilah yang menjadi problem dalam penentuan wali nikah dari anak yang lahir diluar nikah tersebut. Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam fiqh Sunni. Karena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Berbeda dengan
3
ulama Syi’i bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula ana k zina tidak bisa mewarisi keduanya.2 Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 42 menyebutkan bahwa: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah3. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan arti dari anak sah, yaitu dalam pasal 99: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut4. Akan tetapi, baik dalam undang-undang maupun kompilasi tidak mengatur batas minimal usia kandungan. Namun Ibnu Abbas dan disepakati para ulama menyebutkan batas minimal usia kandungan adalah 6 bulan atas dasar penafsirannya terhadap al-Qur’an ayat 15 surat al-Qaf yang berbunyi:
……. Artinya: “….Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”5. Dan al-Qur’an surat al-Luqman ayat 14:
..... Artinya:”….ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”6. 2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesi,Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 1997, hlm; 220. 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 4 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 824. 6 Ibid, hlm. 654.
4
Oleh sebab itu, jika kelak anak yang dilahirkan adalah seorang perempuan dan ingin menikah, maka menjadikan kendala dalam memilih wali nikahnya. Seperti halnya yang terjadi di KUA Kec. Parakan, penetapan wali nikah merupakan kendala bagi seorang Penghulu atau PPN (Pegawai Pencatat Nikah) terhadap calon pengantin yang lahir diluar nikah. Sebagai contoh, kesulitan penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari batas minimal dapat dilihat pada penentuan wali nikah pada calon pengantin yang bernama ER ini misalnya. Pada kutipan akta kelahiran dia dilahirkan pada tanggal 19-02-1994 dan pernikahan kedua orang tuanya dilangsungkan pada tanggal 09-10-1993. Sangat jelas sekali kalau ER lahir kurang dari 6 bulan dari pernikahan kedua orang tuanya, dia lahir 5 bulan setelah pernikahan kedua orang tuanya. Maka kejadian yang seperti ini menjadikan problem bagi seorang Penghulu atau PPN (Pegawai Pencatat Nikah) KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung dalam penentuan wali nikah bagi calon pengantin yang bernama Eka Ratnasari tersebut. Diluar contoh diatas, masih banyak kasus-kasus lain yang serupa. Untuk mengatasi kasus-kasus seperti diatas, maka kebijakan yang dilakukan oleh KUA Kec. Parakan adalah sesuai dengan data-data yang telah diperoleh, baik data itu dari Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) atau langsung menanyakan kepada kedua orang tuanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Setelah mengetahui data-data yang falid, KUA Kec. Parakan
5
akan menentukan wali nikah dari calon pengantin tersebut. 7 Dalam praktek yang terjadi, KUA Kec. Parakan menikahkan anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan menetapkan wali nikah berupa wali hakim. Padahal dalam ketentuan KHI masalah anak perempuan tersebut bisa tetap menggunakan wali nasab. Hal ini sesuai dengan pasal 99 KHI. Disini terlihat adanya diskresi yang dilakukan KUA Kec. Parakan. Karena kebijakan yang dilakukan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan KHI. Berdasarkan latar belakang di atas maka penyusun akan melaksanakan penelitian lapangan dengan judul “ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM” (Study Kasus di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung).
B. Rumusan Masalah Untuk menjadikan permasalahan lebih fokus dan spesifik maka diperlukan suatu rumusan masalah agar pembahasan tidak keluar dari kerangka pokok permasalahan. Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Apa dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Parakan untuk melaksanakan praktek peralihan wali nikah ? 2. Bagaimana status hukum pernikahan yang pelaksanaanya menggunakan peralihan wali nikah?
7
Hasil wawancara dengan Bpk. Sujari (Kepala KUA Kec. Parakan) pada tanggal 10 Agustus 2011, di Kantor KUA Kec. Parakan.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan diantaranya: 1. Untuk mengetahui bagaimana paktek penentuan wali nikah dan dasar hukum yang digunakan dalam penentuan wali nikah di KUA Kec. Parakan Temanggung. 2. Untuk mengetahui status hukum pernikahan yang pelaksanaanya menggunakan peralihan wali nikah. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan pengetahuan tentang penetapan wali nikah serta dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Parakan Temanggung. 2. Memberikan pemahaman tentang status hukum pernikahan yang pelaksanaanya menggunakan peralihan wali nikah oleh KUA Kec. Parakan Temanggung sebagai dasar acuan untuk umat Islam.
D. Telaah Pustaka Sudah banyak ilmuan-ilmuan yang membahas mengenai wali nikah. Beragam karya mereka dituangkan dalam berbagai macam jenis bentuk, mulai dari buku, karangan ilmiah, tesis, skripsi, bahkan mereka telah memposkan dalam link internet. Pemerintah Indonesia pun telah membahasnya dan dituangkan dalam berbagai macam jenis. Baik itu peraturan pemerintah (Kompilasi Hukum Islam) bahkan telah dicantumkan dalam sebuah undangundang. Penelitian yang dilakukan oleh Fatachudin Latif (20101086) dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Wali Nikah Bagi Anak Perempuan
7
Hasil Nikah Hamil ( Studi Kasus Di KUA Kec. Semarang Tengah Kota Semarang). Dalam penelitiannya berisikan tentang bagaimana KUA Kec. Semarang menentukan wali nikah dan apa dasar hukumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan kasus penentuan wali nikah terhadap wanita yang lahir akibat nikah hamil, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab). Dalam penelitian Siti Umu Kulsum (2102165) dengan judul Pengangkatan Anak Dan Implikasinya Pada Wali Nikah (Studi Kasus Di Desa Tangkisan Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga), yang berisikan tentang praktek, motif-motif dan tinjauan hukum Islam pengangkatan anak dan implikasinya pada wali nikah di Desa Tangkisan Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga. Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa di Desa Tangkisan
Kecamatan
mempraktekkan
Mrebet
pengangkatan
Kabupaten
anak
melalui
Purbalingga sistem
adat
cenderung setempat.
Implikasinya terjadi putusnya pertalian nasab antara anak angkat dengan orang tua kandung. (perwalian). Skripsi Inayatul Baroroh (2199003) dengan judul Studi Analisis Terhadap Pelaksanaan Perkawinan Dengan Wali Hakim Dikarenakan Pengantin Wanita Lahir Kurang Dari 6 Bulan Setelah Perkawinan orang tuanya (Studi Kasus di KUA Kec. Tulung Kab. Klaten). Skripsi tersebut berisikan tentang pendapat para fuqoha tetntang masa kehamilan minimal 6
8
bulan sebagai tolok ukur sah tidaknya hubungan ayah dengan anaknya. Tinjauan pasal 42 Undang-undang perkawinan dan pasal 99 KHI tentang anak sah. Serta pelaksanaan perkawinan dengan wali hakim dengan alasan pengantin lahir kurang dari 6 bulan setelah perkwinan orang tuanya. Pada dasarnya penyusunan skripsi ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Akan tetapi, obyek penelitian skripsi ini akan dilakukan di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung, serta isi dari skripsi ini akan dijelaskan mengenai cara mengetahui dan sumber data-datanya bahwa benarbenar calon pengantin tersebut kesulitan dalam menentukan wali nikahnya. Kemudian karya para ilmuan-ilmuan yang telah membahas mengenai wali nikah akan menjadi bahan acuan dalam penyusunan skripsi ini.
E. Metode Penelitian Metode merupakan rumusan cara-cara tertentu agar sistematis untuk menanggapi sesuatu, dimaksudkan agar suatu hasil karya ilmiyah (penelitian) tersebut dapat mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah, dengan menggunakan metode-metode ilmiyah. Adapun dalam menyelesaikan skripsi ini penyusun akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang didasarkan pada obyek lapangan di daerah atau lokasi tertentu guna mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu,
9
kelompok, lembaga atau masyarakat.8 Dalam hal ini Penulis mengadakan penelitian lapangan terkait dengan penerapan diskresi tentang peralihan wali nikah di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subyek dimana data dapat diperoleh.9 Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data sekunder. a.
Data Primer. Data yang digunakannya adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek yang akan diteliti. 10 Jadi data primer ini merupakan data dari penelitian di KUA Kec. Parakan Kab. Temnaggung.
b.
Data Sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu. Menurut pendapat yang lain, data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan untuk digunakan sebagai pendukung data primer. 11 Pada umumnya, data sekunder ini sebagai penunjang data primer. Dalam hal ini seluruh karya yang terkait dengan konsep wali nikah menjadi data sekunder.
8
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian Bidang, Jakarta, PT Bumi Aksara. Cet. 11, 2010 hlm. 46. 9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. ke-12, hlm. 120. 10 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 9, 1995, hlm. 84-85. 11 Ibid, hlm. 85
10
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu: a.
Metode Wawancara Metode wawancara (interview) adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responden. 12 Dalam hal ini Penyusun melakukan wawancara kepada: 1)
Kepala KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung, dengan maksud mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang menyangkut pada KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung terkait dengan pernikahan.
2)
Penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah dengan menanyakan bagaimana praktek pernikahan dan penentuan wali bagi calon pengantin.
3)
Orang-orang yang terkait dengan masalah ini. Yaitu orang tua calon pengantin dan calon pengantin dengan maksud mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penentuan wali nikah bagi calon pengantin tersebut.
b.
Metode Dokumentasi Yaitu cara memperoleh dengan menelusuri dan mempelajari
dokumen, catatan, buku-buku, peraturan perundang-undangan.13 Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data atau dokumen yang dapat 12
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990, hlm. 129. 13 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 202.
11
memberikan penjelasan tentang wali nikah yang berlaku di KUA Kec. Parakan. 4. Metode Analisis Data Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data-data yang terkumpul maka penulis memakai metode Deskriptif Analitik.14 Kerja dari metode deskriptif analitik adalah dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan. 15
F. Sistematika Penulisan Skripsi Penyusunan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: KEDUDUKAN WALI NIKAH DALAM ISLAM Membahas mengenai pengertian nikah, gambaran umum tentang wali nikah, yakni terdiri atas pengertian wali nikah, dasar hukum wali nikah, syarat-syarat menjadi wali nikah dan urut-urutan wali nikah, urgensi wali dalam persepektif filosofis dan sosiologis,
14
Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 47-59. 15 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 51.
12
istinbat hukum yang terkait dengan keharusan wali dalam permikahan. BAB III : PRAKTEK PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DI KUA KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG Pada bab ini memaparkan sekilas tentang KUA Kec. Parakan, praktek peralihan wali nasab ke wali hakim di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung serta Dasar hukum yang digunakannya. BAB IV : ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERALIHAN WALI NIKAH DI KUA KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG Berisi tentang analisis praktek peralihan wali nikah, serta analisis dasar hukum yang digunakan oleh Penghulu KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung. BAB V
: PENUTUP Bab ini merupakan bab akhir yang menyajikan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran, dan diakhiri dengan penutup.
BAB II KEDUDUKAN WALI NIKAH DALAM ISLAM
A.
Pengertian Nikah Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam sebab hukum pernikahan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum pernikahan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah Rasul. 14 Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj. Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-Nikh ( ) النكاحdan azziwaj/az-zawj atau az-Zijah ( الزيجه-
الزواج- ) الزواج. Secara harfiah, an-
Nikh berarti al- wath'u () الىطء, adh-dhammu ( ) الضمdan al-jam'u ( ) الجمع. alWath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an ( وطاء- يطاء-) وطاء, artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. 15 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya Fath alMu‟in mengupas tentang pernikahan, syarat, rukun, talak dan macammacamnya, rujuk serta tentang wali. Pengarang kitab tersebut menyatakan 14
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 1-
2. 15
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461.
13
14
nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau menikahkan. Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan. 16 Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 dinyatakan; "Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 17 Dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 adalah salah satu dasar hukum pernikahan, yaitu :
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.18 Sebagai perbuatan yang dianggap sakral, maka pernikahan dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syarat serta rukun nikah yang telah ditentukan. Adapun syarat nikah adalah : Pertama; perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin menikahinya. Kedua; akad nikahnya dihadiri para saksi. 19 Sedangkan rukunnya nikah adalah:
16
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu‟in, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
hlm. 72. 17
Undang-undang no. 1 th. 1974, Tentang Perkawinan. Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Penafsiran Al-Qur’an, op.cit, hlm. 644. 19 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Kuwait: Darul Bayan, t.th. hlm. 78. 18
15
1. Calon mempelai pria, syaratnya : a. Beragama Islam. b. Jelas orangnya. c. Dapat memberikan persetujuan. d. Tidak mempunyai istri empat, termasuk istri yang masih dalam menjalani iddah talak raj‟iy. e. Bukan mahram calon istri. 2. Calon mempelai wanita, syaratnya : a. Beragama Islam. b. Perempuan. c. Jelas orangnya. d. Dapat dimintai persetujuannya. e. Tidak terdapat halangan pernikahan. f. Tidak sedang ihram haji/umrah. g. Telah memberi izin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk menikahkahnya. h. Bukan mahram calon suami. 20 3. Wali nikah, syaratnya: a. Beragama Islam. b. Laki-laki. c. Dewasa. d. Mempunyai hak perwalian. 20
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 64.
16
e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 4. Saksi nikah, syaratnya: a. Minimal dua orang laki-laki. b. Hadir dalam ijab qabul. c. Dewasa. d. Dapat mengerti maksud akad. e. Islam. 5. Ijab kabul, syaratnya; a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai pria. c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau saya perjodohkan - Fulanah" d. Antara ijab dan kabul bersambungan, tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan sebagainya. e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya, tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak diucapkan. f. Orang yang terkait dengan ijab dan qobul tidak sedang ihram haji/umrah. g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu; calon suami atau wakilnya, wali nikah, dan dua orang saksi. 21
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesi, hlm. 72.
17
B.
Pengertian Wali Nikah Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqan gholiidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perwalian, dalam literatur fiqih Islam disebut dengan al-walayah ()الىالية, seperti kata الضاللة. Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Diantaranya adalah cinta ( )المﺤﺒةالمﺤﺒةdan pertolongan ( )نشرةseperti dalam penggalan ayat
ُ وَ َمنْ يَتَىَّلَ اهللُ وَرَسُىْلَهdan ِ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاء بَ ْعضAyat 71 surat at-
Taubat (9); juga berarti kekuasaan/otoritas ( )السلطةوالقدرةseperti dalam ungkapan al-wali ( )الىالىyakni orang yang mempunyai kekuasaan". Hakikat dari الىاليadalah (" تىلى االmengurus/menguasaisesuatu).22 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Walaupun menurut Imam Hanafi perkawinan tanpa wali adalah boleh23, namun mayoritas ulama’ (jumhur) tetap menjadikan wali nikah sebagai syarat sahnya perkawinan. Menurut Djamaan Nur dalam bukunya yang berjudul Fiqih Munakahat, wali adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah.
22
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995,
23
Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsuth, Beirut, Dar al-Ma’rufah, juz V,1989,hlm. 10.
hlm. 40.
18
Nikah yang dilaksanakan tanpa wali adalah nikah tidak sah. Wali adalah suatu ketentuan hukum syara’ yang dapat dipaksakan kepada orang lain sssesuai dengan bidang hukumnya. Perwalian itu ada yang umum dan ada yang khusus.24 Perwalian yang khusus adalah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda. Pembicaraan disini dibatasi pada masalah perkawinan yang berkaitan dengan manusia dan masalah wali nikah. 25 Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Syarat menjadi wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum agama, seperti islam, baligh, dan cakap. 26 Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‟alan-nafs), perwalian terhadap harta (al-Walayah ‟alal-mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‟alan-nafsi waf-mali ma‟an). 27 Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‟alan-nafsi wafmali ma‟an, yaitu perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan. Perwalian ini bisa juga mencakup urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti pernikahan, pemeliharaan dan pendidikan
24
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 65. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kuwait: Darul Bayan, 1971, hlm. 111. 26 Djamaan Nur, Loc, Cit. 27 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 134-135 25
19
anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain. Wali nikah adalah seorang laki-laki yang dalam suatu akad pernikahan berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan. Dan sudah disepakati oleh jumhur ulama bahwa wali nikah merupakan rukun dalam pernikahan. C.
Dasar Hukum Wali Nikah Menurut jumhur ulama’ keberadaan wali dalam sebuah pernikahan didasarkan pada sejumlah nash al-Qur’an dan Hadist. Nash al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil adanya wali dalam pernikahan diantaranya adalah :
……. Artina: ”Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma'ruf”. (Q.S. al-Baqarah: 232).28 Asbabun nuzul ayat ini adalah berdasarkan suatu riwayat yang mengemukakan bahwa Ma’qil Ibn Yasar menikahkan saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian diceraikannya dengan satu talak, setelah habis waktu masa iddahnya mereka berdua ingin kembali lagi, maka datanglah laki-laki tadi bersama Umar bin Khattab untuk meminangnya. Ma’qil menjawab; Hai orang celaka, aku memuliakan kau dan
28
Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Penafsiran Al-Qur’an, op.cit, hlm. 56.
20
aku nikahkan dengan saudaraku, tapi kau ceraikan dia. Demi Allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu, maka turunlah ayat tersebut, al-Baqarah 232. Ayat ini melarang wali menghalang-halangi hasrat perkawinan kedua orang itu. Setelah Ma’qil mendengar ayat itu, maka dia berkata ; Aku dengar dan aku taati Tuhan. Dia memanggil orang itu dan berkata; Aku nikahkan engkau kepadanya dan aku muliakan engkau. (HR. Bukhori, Abu Daud dan Turmudzi).29 Mempelajari sebab-sebab turunnya ayat ini dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri tentunya dia akan melakukan itu. Ma’qil Ibn Yasar tentunya tidak akan dapat menghalangi pernikahan saudaranya itu andaikata dia tidak mempunyai kekuasaan itu, atau andaikata kekuasaan itu ada pada diri saudara wanitanya. Ayat ini merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali sebagai rukun atau syarat sah nikah, dan wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. 30 Ayat lain yang dijadikan pedoman mengenai pentingnya seorang wali dalam pernikahan adalah:
…… Artinya: ”Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia 29 30
Qamarudin Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1984, hlm. 78 Djamaan Nur, Op. Cit, hlm. 67
21
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,....” (Q.S An-Nisa: 25)31 Hubungan ayat di atas dengan wali nikah adalah kata fankihuu hunna bi idzni ahlihinna (karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka) artinya apabila ingin menikahi seorang hamba sahaya maka harus meminta izin terlebih dahulu oleh majikan hamba sahaya tersebut selaku wali. Sementara itu Hadis Nabi tentang wali nikah yang dijadikan pedoman adalah:
Artinya: ”Dari Abi Burdah Ibnu Abi Musa dari ayahnya, berkata dia: Bersabda Rosulullah SAW. : Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hiban dan Al-Hakim).
Artinya: ”Dari Aisyah r.a. beliau berkata : Rasulullah saw. bersabda: Mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah menganggap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak 31
Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Penafsiran Al-Qur’an, op.cit, hlm. 121. Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, juz 3, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 117. 33 Ibid, hlm. 117 – 118. 32
22
mempunyai wali baginya. Diriwayatkan oleh Al Arba'ah selain AnNasa'i. (berarti hanya Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah) dan dinilai shahih oleh: Abu Uwanah, Ibnu Hibban dan Al Hakim”.
Artinya : ”Jamil bin Hasan al-’Ataki, Muhammad bin Marwan al-’Uqaili dan Hisyam bin Hasan menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Sirrin bahwa Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan lain dan juga tidak boleh seorang perempuan menikahkan diri sendirinya. Sesungguhnya perempuan zina adalah seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Dari ketiga hadis diatas walaupun redaksinya berbeda, namun semua menunjukkan bahwa keberadaan seorang wali dalam pernikahan adalah mutlak harus ada. Pernikahan dianggap tidak sah jika tidak ada wali, seorang perempuan tidak sah menikahkan perempuan lain atau dirinya sendiri. Jika hal tersebut terjadi maka mereka dianggap telah berzina. Akan tetapi, Imam Hanafi mempunyai pendapat lain yaitu tidak menjadikan wali nikah sebagai rukun pernikahan oleh karenanya pernikahan tanpa wali dianggap sah. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali nikah merupakan rukun dari perkawinan. Sebagaiman tercantumkan dalam pasal 19: ”wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.35
34 35
Ibid, hlm. 119 – 120. Kompilasi Hukum Islam.
23
Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga mensyaratkan perkawinan menggunakan wali nikah. Sesuai dengan pasal 6 ayat 2 : ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.36 Oleh karena itu, jelas sudah bahwa wali nikah dalam pernikahan harus lah ada demi kebaikan rumah tangga yang akan dibanagun kelak setelah menikah. Janganlah rumah tangga yang baru itu tidak ada hubungan lagi dengan rumah tangga yang lama, lantaran si anak menikah dengan laki-laki yang tidak disetujui oleh orang tuanya. D.
Syarat – syarat Menjadi Wali Nikah Wali merupakan persyaratan yang mutlak dalam suatu akad nikah. Sebagian fukaha menamakannya sebagi rukun nikah, sedangkan sebagian yang lain menetapkan sebagai syarat sah nikah. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar para ulama. Mereka beralasan dengan dalil al-Qur’an dan hadits. Menurut Syafi’i dan Hambali, perkawinan harus dilangsungkan dengan wali laki-laki muslim, balig, berakal dan adil. 37 Menurut Dr. Peunoh Daly dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, menjelaskan mengenai gugurnya hak kewalian yaitu: a.
Masih kecil, atau masih dibawah umur.
b.
Gila, apabila wali akrab gila maka berpindah kewalian kepada wali ab’ad.
c.
Budak. 36
Undang-undang no. 1 th. 1974, tentang perkawinan. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983, hlm. 21. 37
24
d.
Fasik, kecuali ia sebagai imam a’zam (sultan).
e.
Masih berada dibawah pengawasan wali (mahjur ’alayh) karena tidak cerdas (dungu).
f.
Kurang normal penglihatan dan tutur katanya, karena lanjut usia atau lainnya, sehingga tidak dapat melakukan penyelidikan sesuatu yang patut diselidiki.
g.
Berbeda Agama. Kalau terdapat salah satu dari hal-hal yang tersebut pada seseorang
wali, maka berpindahlah hak kewalian itu kepada wali ab’ad. Wali akrab yang sedang berihram tidak boleh mengawinkan dan tidak boleh pula mewakilkan kepada orang lain. Dikala itu Sultan lah yang menjadi walinya, bukan wali ab’ad yang berikutnya, karena wali akrab itu tidak gugur kewaliannya ketika ihram, hanya tidak sah melakukan akad. 38 Anak kecil, budak dan orang gila tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.39 Dalam pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa: ”Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.40 Dalam undang-undang no. 1 th. 1974 pasal 6 ayat 3 dan 4, dijelaskan bahwa seorang wali harus masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya. Apabila orang tuanya sudah meninggal atau tidak mampu menyatakan 38
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 76-77. Djamaan Nur, Op. Cit, hlm. 68. 40 Kompilasi Hukum Islam. 39
25
kehendak maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat menjadi wali nikah adalah: beragama Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, tidak sedang berihram, tidak dipaksa, belum pikun atau hal-hal yang menyebabkan hilang ingatannya, tidak fasik dan tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewaliannya). E.
Urut – urutan Menjadi Wali Nikah Wanita tidak boleh melaksanakan akad nikah walaupun dengan izin walinya, baik akad itu untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Seorang wanita yang tidak mempunyai wali boleh menunjuk seorang laki-laki yang adil untuk menikahkannya. Apabila seorang wanita tidak mampu membayar ongkos nikah yang diminta hakim setempat, maka ia boleh menunjuk seorang laki-laki yang adil untuk menikahkan dirinya tanpa bayar. 41 Pada dasarnya wali nikah dibagi menjadi dua, yaitu; wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah seorang wali nikah yang masih ada hubungan darah lurus ke atas dari wanita yang ingin menikah. Sedang wali hakim adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak („adal), atau tidak ada, atau karena sebab lain. Dalam KHI, wali nasab terdiri dari empat kelompok, yang termuat dalam dalam pasal 21 ayat 1 yaitu: “Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat 41
Peunoh Daly, Op. Cit. hlm. 74.
26
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat saudara laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.42 Urutan kedudukan kelompok tersebut diatas dituruti, apabila dalam satu kelompok wali terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Jika dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali adalah kerabat kandung dari pada kerabat selain kandung atau kerabat seayah. Kalau dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah, maka mereka sama-sama berhak menjadi wali dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali, misalnya wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali yang lain menurut urutan derajat berikutnya.43 Secara keseluruhan, urutan wali nasab adalah sebagai berikut: 1. Ayah kandung. 2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki. 3. Saudara laki-laki sekandung.
42 43
Kompilasi Hukum Islam. Djamaan Nur, Op. Cit, hlm. 66.
27
4. Saudara laki-laki seayah. 5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung. 6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah. 7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung. 8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah. 9. Saudara laki-laki seayah kandung (paman). 10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah) 11. Anak laki-laki paman sekandung. 12. Anak laki-laki paman seayah. 13. Saudara laki-laki kakek sekandung. 14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung. 15. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.44 Apabila wali-wali tersebut diatas tidak ada atau ada hal-hal lain yang menghilangkan hak kewaliannya, maka hak perwalian tersebut pindah kepada wali hakim. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 23 KHI: 1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. 2. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.45
44 45
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali press, 1998, hlm. 87 Kompilasi Hukum Islam.
28
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang berhak menjadi wali hakim?. Dalam hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah”. KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan Menteri Agama yang menjelaskan hal ini. Pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 menyebutkan: 1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini. 2.
Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya. Menurut madzhab Syafi’i urut-urutan wali nikah seperti diatas tidak
boleh dilanggar. Artinya tidak dibenarkan seseorang dari mereka bertindak sebagai wali nikah, sementara masih ada wali yang lebih dekat dalam uruturutannya. Maka jika seseorang dari mereka bertindak sebagai wali nikah dengan melanggar urut-urutan itu, nikah tersebut dianggap tidak sah.
29
Sebaliknya, menurut madzhab Maliki, urutan wali yang paling berhak seperti diatas hanya berlaku bagi seorangayah saja. Selain ayah, urutan wali tersebut tidak merupakan hal yang wajib melainkan hanya sebagai anjuran (sunnah). Sehingga seandainya seorang saudara seayah saja menikahkan adik perempuanya sedangkan saudaranya sekandung masih ada, maka pernikahan tersebut tetap dianggap sah. Disamping itu, madzhab Maliki juga menambahkan lagi jumlah para wali nikah, selain yang disebutkan diatas, dengan “pengasuh” (dalam istilah fiqh disebut kafil). Karenanya barang siapa mengasuh seorang anak perempuan yang telah kehilangan kedua orang tua serta keluarganya, lalu ia mengasuhnya dalam waktu yang cukup lama, seperti seorang ayah kandung kepada anak kandungnya sendiri, dengan menunjukan kepadanya kasih sayangnya yang penuh, sedemikian sehingga merasa seperti anaknya sendiri, dan si perempuan juga menganggapnya sebagai ayahnya sendiri, maka kepadanya dapat diberikan hak perwalian dalam menikahkan si perempuan tersebut. Bahkan jika yang mengasuhnya itu seorang perempuan sekalipun, maka ia berhak menjadi walinya dalam pernikahan, meskipun tidak memiliki hak untuk menikahkan secara langsung, tetapi mewakilkan hal itu kepada seorang laki-laki yang ia tunjuk. 46 Sementara menurut madzhab Hanafi, urutan wali yang paling berhak untuk menikahkan ataupun menghalangi pernikahan adalah sama seperti dalam madzhab Syafi’i. Namun ada perbedaan ketika dalam keadaan para kerabat dekat yang disebut wali (dari pihak ayah) tersebut tidak ada. Jika 46
IV, hlm. 26
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala al-Madzahib al-Arba‟a, Beirut: Dar al-Fikr, Juz
30
menurut madzhab Syafi’i, jika terjadi kondisi seperti diatas maka kewaliannya pindak kepada wali hakim, namun menurut madzhab Hanafi, sebelum pindah ke wali hakim masih ada wali lain yaitu para kerabat terdekat dari pihak ibu si perempuan yang akan menikah. 47 Secara berurutan mereka adalah: 1. Ibunya (yakni ibu dari perempuan yang akan menikah) 2. Neneknya (ibu dari ayah, kemudian ibu dari ibu) 3. Anak perempuanya 4. Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki) 5. Cucu (anak perempuan dari anak perempuanya) 6. Saudara perempuan seayah seibu 7. Saudara perempuan seayah. 8. Saudara perempuan seibu 9. Kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuanya) 10. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah) 11. Paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu) 12. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
Begitulah seterusnya, yang terdekat hubungan kekerabatanya. Baru setelah ketiadaan mereka semua, hak perwalian tersebut berpindah kepada hakim. Alasanya adalah bahwa mereka ini (para kerabat dari pihak ibu) juga sangat berkepentingan dalam mengupayakan kebahagian dan keharmonisan dalam kehidupan perkawinan anggota keluarganya, disamping menjaga 47
Ibid. hlm. 27
31
kehormatan keluarga secara keseluruhan, serta ikut merasa prihatin apabila salah seorang dari mereka menikah dengan laki-laki yang tidak kufu. F.
Kedudukan Wali dalam Pernikahan Sayyid Sabiq dalam kitabnya menjelaskan bahwa wali merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum yaitu berkenaan dengan manusia, sedangkan yang khusus ialah berkenaan dengan manusia dan harta benda. Di sini yang dibicarakan wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam pernikahan. 48 Imam Malik ibn Anas dalam kitabnya mengungkapkan masalah wali dengan penegasan bahwa seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan seorang gadis harus meminta persetujuan walinya. Sedangkan diamnya seorang gadis menunjukkan persetujuannya. 49 Dalam Fiqih Tujuh Madzhab yang dikarang oleh Mahmud Syalthut. diungkapkan bahwa terdapat perbedaan pendapat nikah tanpa wali. Ada yang menyatakan boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada lagi pendapat yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lainnya.
48
Sayyid Sabiq, Fihkus Sunnah, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tt, hlm.
49
Imam Malik Ibn Annas, al-Muwatha‟, Beirut Libanon: Dar al-Kitab Ilmiyah tt,
240. hlm.121.
32
Dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Ibnu Rusyd menerangkan:
Artinya : “Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Imam al-Syafi'i”. Sedangkan Abu Hanifah Zufar asy-Sya’bi dan Azzuhri berpendapat apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh. 51 Yang menjadi alasan Abu Hanifah membolehkan wanita gadis menikah tanpa wali adalah dengan mengemukakan alasan dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi:
… Artinya : ”Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para Wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 234).52
50
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, juz II, 1409H/1989M, hlm. 6 51 Ibid., hlm. 6 52 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op.cit.,, hlm 57
33
Imam Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda. 53 Dia mensyaratkan adanya wali pada gadis, dan tidak mensyaratkan pada janda. Dengan demikian dalam perspektif Imam Dawud bahwa seorang janda boleh menikah tanpa wali karena janda sudah mengetahui dan mengalami kehidupan berumah tangga sehingga dia akan lebih berhati-hati dalam memilih seorang suami.
53
Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 6
BAB III PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DI KUA KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG
A. Sekilas tentang KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Parakan adalah salah satu dari 20 KUA Kecamatan yang ada di Kabupaten Temanggung, 42 yang bertempat di Jl. Kosasih No. 23 Kauman Parakan Temanggung, dengan jarak tempuh + 9.8 KM dari ibu kota Kabupaten Temanggung dan + 47.4 KM dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah (Semarang).
KUA Parakan mempunyai lingkup kerja 16 Desa/Kelurahan dan 50.906 jiwa, yang terdiri atas 46.413 jiwa memeluk Agama Islam, 2.113 jiwa memeluk Agama Protestan, 776 jiwa pemeluk Agama Katolik, 45 jiwa pemeluk Agama Hindu serta 44 jiwa memeluk Agama Budha. Didukung pula oleh sarana tempat ibadah seperti Masjid 54 buah, Langgar/Musholla 99 buah, Gereja Kristen 6 buah, gereja Katholik 1 buah, Wihara 1 buah, Pura 1 buah.43 Dari sisi jumlah pendidikan dan tradisi keagamaan yang ada di wilayah Kecamatan Parakan dapat dikatakan sebagai daerah yang Agamis dengan tumbuhnya tradisi kehidupan keagamaan seperti pengajian antar masjid dan antar pesantren yang setiap hari dan setiap saat bisa dipastikan ada kegiatan 42
Dua puluh wilayah kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bansari, Kecamatan Bejen, Kecamatan Bulu, Kecamatan Parakan, Kecamatan Kledung, Kecamatan Temanggung, Kecamatan Tlogomulyo, Kecamatan Tembarak, Kecamatan Selopampang, Kecamatan Kranggan, Kecamatan Pringsurat, Kecamatan Kaloran, Kecamatan Kandangan, Kecamatan Kedu, Kecamatan Ngadirejo, Kecamatan Jumo, Kecamatan Gemawang, Kecamatan Candiroto, Kecamatan Tretep, Kecamatan Wonoboyo. 43 Data Form Instrumen Data KUA Kecamatan Parakan tahun 2010.
34
35
pengajian bagi masyarakat Parakan. Sehingga dari tradisi yang telah tumbuh sejak puluhan bahkan ratusan tahun lamanya itu membuat masyarakat Parakan dikenal dengan wilayah santri di daerah Kabupaten Temanggung. Sebagai daerah yang terkenal dengan sebutan daerah santri, tidak menjamin masyarakatnya selalu patuh pada aturan agama yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Hal tersebut, sejalan dengan adanya kasus nikah hamil yang mengakibatkan kesulitan bagi para PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dalam menentukan wali nikah bagi anak yang dilahirkan akibat nikah hamil. Dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Oleh karena itu, sebuah Kantor Urusan Agama tidak cukup hanya seorang pegawai saja. Seperti halnya Kantor-kantor Urusan Agama yang lain, KUA Parakan mempunyai beberapa pegawai yang mempunyai jabatan masingmasing. Tabel Formasi Pegawai KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung No. Nama, NIP 1. Sujari, S.Ag. 150 220 867 2. Machfut Arifin, S.Ag. 150 321 404 3. Mirza Ahmadi 150 206 928 4. Eko Yuli Saputro 5. Ortri Mauraya Taulita
Pangkat/GOL Penata ( 3 c )
Jabatan Kepala / PPN
Penata Muda Tk. I ( 3 b )
Penghulu
Penata Muda Tk. I ( 3 b )
Staf
-
Wiyata Bakti Wiyata Bakti
36
B. Praktek Peralihan Wali Nikah Yang Dilakukan Oleh KUA Kec. Parakan Dari catatan peristiwa pernikahan yang terjadi di KUA Kecamatan Parakan pada bulan Januari sampai bulan Juli 2011, tercatat sebanyak 261 peristiwa, yang terdiri atas 250 peristiwa nikah dengan wali nasab dan 11 peristiwa nikah dengan wali hakim. Tabel jumlah peristiwa nikah Kec. Parakan Kabupaten Temanggung Januari-Juli 2011
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Satuan Organisasi Parakan Wetan Wanutengah Campursalam Nglondong Parakan Kauman Dangkel Mandisari Tegalroso Bagusan Traji Watukumpul Ringinanom Depokharjo Caturanom Sunggingsari Glapansari Jumlah
Wali Nasab 23 17 16 9 56 12 27 13 6 17 12 12 2 13 6 9 250
Hakim 1 0 0 1 4 0 2 1 0 1 0 0 0 1 0 0 11
Sumber: Laporan Bulanan (Januari-Juni 2011) KUA Parakan
Dari jumlah peristiwa nikah yang tercatat di KUA kec. Parakan tidak semuanya berjalan lancar, ada beberapa peristiwa nikah yang pada awalnya ada kendala-kendala hukum yang membutuhkan kearifan dan kejelian para penghulu untuk menyelesaikanya. Apalagi pelayanan masyarakat di bidang pernikahan membutuhkan pelayanan yang tepat, cepat dan sesuai dengan
37
aturan hukum yang ada. Belum lagi tuntutan pelayanan yang harus sesuai dengan kehendak masyarakat dan adat istiadat yang mereka yakini termasuk masalah waktu pelaksanaan. 44 Satu hal yang menjadikan tidak lancarnya pernikahan tersebut adalah penentuan wali nikah bagi anak yang lahir kurang dari batas minimal usia kandungan. Penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan adalah problem tersendiri. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim. Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya, dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian para penghulu untuk menentukanya. Penentuan wali nikah terhadap anak yang lahir kurang dari 6 bulan adalah problem yang sangat besar bagi seorang PPN (Pegawai Pencatat Nikah). Karena apabila salah
44
Hasil wawancara dengan Sujari (Kepala KUA Kec. Parakan) pada tanggal 10 Agustus 2011, di Kantor KUA Kec. Parakan
38
menentukan wali terhadap calon istri tersebut, itu akan mengakibatkan tidak sahnya perkawinan mereka. Seorang wanita berinisial ER bertempat tinggal di Ngodoringin RT/RW 03/02 Ringinanom Parakan, mengalami problem penunjukan wali nikah, ketika ingin menikah dengan AM (nama samara) yang beralamat Nglorog Wetan RT/RW 04/03 campursalam Parakan. Ketika diperiksa oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) wanita tersebut lahir empat bulan setelah pernikahan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menikah pada tanggal 09 Oktober 1993 yang tercatat dalam kutipan akta nikah, sedangkan ER dalam akta kelahiran tercatat lahir pada tanggal 19 Februari 1994.45 Dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh PPN, kedua orang tuanya mengakui sudah melakukan hubungan sebelum menikah. Masalah susahnya penunjukan wali nikah juga dialami oleh SFK (inisial) yang tinggal di Besaran RT/RW 02/07 Kauman Parakan, ketika ingin menikah dengan AC (inisial) dengan alamat Perum Telaga Mukti Temanggung. Dalam kutipan akta nikah, tercatat 11 Agustus 1988 kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan. Lima bulan tujuh belas hari kemudian Safurok lahir yaitu pada tanggal 09 Februari 1989. 46 Kedua orang tuanya juga mengakui kalau sudah melakukan hubungan sebelum menikah. Daftar pemeriksaan nikah dari kedua calon pengantin tersebut, tertulis wali nasab yang bertindak sebagai wali nikahnya. Hal ini yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian tetang bagaimana Penghulu 45 46
Kutipan akta nikah dan akta kelahiran terlampir. Data terlampir.
39
KUA Parakan memutuskan atau menetukan wali nikah bagi calon pengantin yang bermasalah tersebut. Keputusan menentukan wali nasab terhadap calon pengantin tersebut di atas tidak semata-mata ditentukan oleh penghulu. Namun, penetuan tersebut diambil setelah melalui proses pemeriksaan berkas administrasi kehendak nikah dari calon istri dan wali nikah.47 PPN atau Penghulu tidak hanya memeriksa berkas administrasi semata, pemeriksaan juga dilakukan kepada kedua calon pengantin dan wali nikahnya. Setelah dilakukan pemeriksaan baik secara administrasi maupun secara individual, maka PPN baru biasa menentukan siapa wali nikah dari calon pengantin yang lahir kurang dari 6 bulan tersebut. Penentuan apakah calon pengantin wanita adalah anak hasil nikah hamil kedua orang tuanya pada waktu itu adalah pekerjaan yang paling sulit. Hal ini dikarenakan tidak ada catatan khusus dalam kutipan Akta Nikah ketiganya yang menunjukkan bahwa mereka dulunya menikah dalam keadaan hamil, bahkan dalam Register Nikah pun tidak tertulis peristiwa tersebut. Di samping itu, kebanyakan orang tua calon pengantin putri akan merasa malu bila peristiwa terdahulu akan diungkit-ungkit lagi, apalagi jika orang tuanya tersebut adalah orang penting di desanya atau seorang pejabat negara. Oleh karenanya mereka akan menutupi serapat munkin. 48
47
Depag RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid,1992, hlm.6. 48 Penjelasan dari Sujari dan Machfut Arifin saat diwawancarai, pada tanggal 10 Agustus 2011.
40
Cara yang bisa dilakukan penghulu untuk mengetahui apakah calon pengantin wanita adalah hasil dari hubungan luar nikah hanya dengan cara mencocokkan antara tahun kelahirannya yang tertera pada Akta Kelahiran dengan tahun menikahnya kedua orang tuanya yang tertera pada Kutipan Akta Nikah. Ditambah dari proses pemeriksaan dengan calon pengantin wanita dan walinya yang datang ke Kantor Urusan Agama saat mendaftar untuk melakukan pernikahan, yang dilakukan dengan cara mewawancarainya. Menurut penghulu KUA Parakan (Machfut), keputusan yang diambilnya adalah sesuai dengan undang-undang yang menyatakan anak tersebut adalah anak sah dari bapaknya. Disamping itu, jika anak tersebut tidak bisa intisab kepada bapaknya mengapa fiqih dan undang-undang memperbolehkan nikah hamil?. Menurutnya jika nikah hamil diperbolehkan maka konsekuensinya anak yang lahir pun bisa intisab kepada bapaknya. 49 Berbeda dengan pengakuan Sujari (Kepala/PPN KUA Kec. Parakan), wali dari kedua pengantin tersebut adalah wali hakim. Ia lebih memilih pandangan fiqh dari pada undang-undang. Menurut pandangan Jumhur Ulama’, apabila bayi yang lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Akan tetapi, penulisan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah adalah wali nasab, ini hanya untuk menutupi agar tidak menjadikan masalah administrative dan menyalahi peraturan 49
Hasil wawancara dengan Machfut Arifin (Penghulu KUA Kec. Parakan) yang pernah menikahkan seorang wanita yang lahir dari peristiwa nikah hamil orang tuanya dan menentukan wali nikahnya adalah wali nasab.
41
undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah.50 Akan tetapi, hal tersebut sudah dimusyawarahkan dengan wali dan kedua calon pengantin yang akan melangsungkan akad nikah. Melihat dari uraian di atas maka timbullah pertanyaan baru, mengapa dalam satu instansi pemerintahan yaitu KUA terdapat 2 keputusan?. Setelah diwawancarai,
Machfut
Arifin
menjelaskan
bahwa
seorang
pejabat
pemerintahan itu harus mematuhi aturan-aturan dari Negara oleh sebab itu penentuan wali nikah terhadap calon pengantin wanita hasil nikah hamil tersebut adalah wali nasab. Hal ini sesuai dengan UUP dan KHI. Berbeda dengan Sujari yang lebih memilih aturan fiqih dalam pelaksanaan akad nikah dari calon pengantin wanita hasil nikah hamil yaitu wali hakim. Beliau menjelaskan bahwa pertanggung jawaban di akhirat itu lebih berat dari pada pertanggung jawaban di dunia. Akan tetapi, agar tidak terjerat hukum maka saya menutupinya dengan cara menulis wali nasab, jelasnya.
50
2011.
Pengakuan Sujari (Kepala KUA Parakan) saat diwawancarai, pada tanggal 10 Agustus
42
C. Dasar Hukum dan Argumentasi Yang Digunakan Oleh KUA Kec. Parakan dalam Praktek Peralihan Wali Nikah Penentuan wali nikah bagi anak perempuan hasil nikah hamil adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim. Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian para penghulu untuk menentukanya. Penetapan wali nasab dari calon pengantin yang lahir dari hasil nikah hamil itu tidak semata ditetapkan oleh Penghulu yang mempunyai kebebasan mengambil keputusan sendiri. Disamping itu, penentuan wali nikah terhadap pengantin hasil nikah hamil ditentukan sesuai aturan-aturan yang telah berlaku. Menurut Machfut Arifin (Penghulu KUA Parakan),51 wali nikah dari SFK yang lahir lima bulan setelah kedua orang tuanya menikah adalah tetap
51
Penghulu yang menetapkan wali nasab dari wanita hasil nikah hamil. (Penjelasannya saat diwawancarai).
43
bapaknya bukan wali hakim. Jika undang-undang menganggap sah nikah hamil maka konsekwensinya anak yang dilahirkan pun juga dianggap sah. Hal ini sesuai dengan UUP No.1/1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lebih lanjut pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa “asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”. Berpijak dari aturan undang-undang di atas maka mereka mengambil keputusan bahwa meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan sebagaimana dijelaskan oleh fiqh, namun selama bayi yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Oleh karenanya wali nikahnya tetap bapaknya bukan wali hakim. Berbeda dengan Sujari selaku Kepala KUA Kec. Parakan, yang mengambil dua keputusan yaitu melangsungkan pernikahan antara ER dengan AM menggunakan wali hakim dan menulis di Daftar Pemeriksaan Nikah dengan wali nasab. Keputusan ini diambil karena berpegang pada aturan fiqh yang menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila bayi lahir
44
kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Oleh karenanya jika anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah seorang gadis maka wali nikahnya adalah wali hakim bukan bapaknya. Dan penulisan wali nasab di Daftar Pemeriksaan Nikah itu semata untuk menutupi kesalahan administrative agar tidak menyalahi aturan pemerintah karena seorang pejabat pemerintahan itu harus mematuhi aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. 52
52
2011.
Keterangan dari Sujari saat penulis melakukan wawancara, pada tanggal 10 Agustus
BAB IV ANALISIS PRAKTEK PERALIHAN WALI NIKAH DI KUA KEC. PARAKAN KAB. TEMANGGUNG
A. Analisis terhadap Praktek Peralihan Wali Nikah yang Dilakukan oleh KUA Kec. Parakan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir kurang dari enam bulan adalah problem tersendiri dari diperbolehkanya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik antara aturan fiqh dan undang-undang. Polemik ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Apakah anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim. Menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah adalah hal yang sangat penting bagi sebuah perkawinan. Oleh karenanya dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian para penghulu untuk menentukanya. Seperti kasus yang dialami oleh ER bertempat tinggal di Ngodoringin RT/RW 03/02 Ringinanom Parakan, mengalami problem ketika ingin menikah dengan AM yang beralamat Nglorog Wetan RT/RW 04/03 campursalam Parakan. Ketika 45
46
diperiksa oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) wanita tersebut lahir empat bulan setelah pernikahan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menikah pada tanggal 09 Oktober 1993 yang tercatat dalam kutipan akta nikah, sedangkan ER dalam akta kelahiran tercatat lahir pada tanggal 19 Februari 1994. Setelah hal ini ditanyakan kepada kedua orang tuanya ternyata dibenarkan bahwa ketika mereka melangsungkan perkawinan sang isteri telah mengandung dengan kata lain kedua orang tuanya telah melakukan hubungan diluar nikah. Masalahnya sekarang adalah siapa yang harus menjadi wali nikah ER? Apakah tetap bapaknya sebagai wali nikah sesuai dengan akta kelahiran atau menggunakan wali hakim karena kehamilan ibunya ketika menikah sudah lebih dari enam bulan sesuai aturan fiqh? SFK yang tinggal di Besaran RT/RW 02/07 Kauman Parakan, mengalami kesulitan untuk menunjuk wali nikahnya ketika ingin menikah dengan AC dengan alamat Perum Telaga Mukti Temanggung. Dalam kutipan akta nikah, tercatat 11 Agustus 1988 kedua orang tuanya melangsungkan pernikahan. Lima bulan tujuh belas hari kemudian SFK lahir yaitu pada tanggal 09 Februari 1989.51 Kedua orang tuanya juga mengakui kalau sudah melakukan hubungan sebelum menikah. Dalam menyelesaikan kasus seperti ini, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh Penghulu KUA Parakan, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali nasab; (2) Wali nikahnya adalah wali hakim. Dengan kata lain, Penghulu (KUA) Parakan berbeda pendapat dalam mensikapi masalah ini. 51
Data terlampir.
47
Menurut Machfut Arifin (Penghulu), pada waktu itu memeriksa calon pengantin SFK dan AC. Keputusan yang diambilnya adalah sesuai dengan undang-undang yang menyatakan anak tersebut adalah anak sah dari bapaknya. Disamping itu, jika anak tersebut tidak bisa intisab kepada bapaknya mengapa fiqih dan undang-undang memperbolehkan nikah hamil?. Menurutnya jika nikah hamil diperbolehkan maka konsekuensinya anak yang lahir pun bisa intisab kepada bapaknya.52 Berbeda dengan pengakuan Sujari (Kepala/PPN KUA Kec. Parakan), wali dari pengantin ER dan AM adalah wali hakim. Ia lebih memilih pandangan fiqh dari pada undang-undang. Menurut pandangan Jumhur Ulama’, apabila bayi yang lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Akan tetapi, penulisan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah adalah wali nasab, ini hanya untuk menutupi agar tidak menjadikan masalah administrative dan menyalahi peraturan undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah.53 Akan tetapi, hal tersebut sudah dimusyawarahkan dengan wali dan kedua calon pengantin yang akan melangsungkan akad nikah. Cara yang bisa dilakukan penghulu untuk mengetahui apakah calon pengantin putri adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan adalah 52
Hasil wawancara dengan Machfut Arifin (Penghulu KUA Kec. Parakan) yang pernah menikahkan seorang wanita yang lahir dari peristiwa nikah hamil orang tuanya dan menentukan wali nikahnya adalah wali nasab. 53 Pengakuan Sujari (Kepala KUA Parakan) saat diwawancarai, pada tanggal 10 Agustus 2011.
48
mencocokkan antara tahun kelahirannya yang tertera pada Akta Kelahiran dengan tahun menikah kedua orang tuanya yang tertara pada Kutipan Akta Nikah. Dari penilitian ini para penghulu bisa menentukan apakah calon pengantin putri lahir sebelum enam bulan atau sesudah enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya. Jika ia lahir sebelum enam bulan maka sebagaimana aturan fiqh, para penghulu mengambil keputusan untuk menggunakan wali nasab dalam hal ini adalah bapaknya. Namun, jika ia lahir setelah enam bulan maka keputusanya adalah menggunakan wali hakim dalam hal ini kepala KUA. Jika kebijakan/keputusanya adalah harus menikah dengan wali hakim maka para penghulu harus hati-hati menyampaikan hal ini kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Jangan sampai ada pihak tersinggung terutama ayah dari calon pengantin putri mengenai keputusan ini. Oleh karena itu, untuk menutupi aib keluarga para penghulu sering membuat kesepakatan dengan calon pengantin, yaitu, menikahkan mereka terlebih dahulu dengan wali hakim, setelah itu di hadapan orang banyak ia menikahkan keduanya dengan wali bapaknya. 54 Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa Pandangan fiqh berkenaan dengan anak sah ini daptlah dipahami bahwa anak dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang
54
Informasi ini penulis dapatkan dari Sujari (Kepala KUA Parakan). Ia pernah menikahkan seorang wanita yang lahir dari peristiwa nikah hamil orang tuanya. Keputusan ini ia ambil setelah melakukan pemeriksaan sebelum hari pernikahan. Dari hasil pemeriksaan akhirnya diputuskan bahwa wali nikah calon pengantin putri adalah wali hakim. Pada awalnya sang bapak tidak bisa menerima keputusan tersebut, namun setelah diberi penjelasan akhirnya bisa menerimanya. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2011.
49
terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan. Dengan demikian fiqh menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Oleh karenanya, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatanya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. 55 Oleh karenanya sang bapak tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuannya sehingga wali nikahnya adalah wali hakim (Kepala KUA). Menurut penulis, tindakan yang dilakukan oleh Sujari tersebut bisa dikatakan belum yakin, karena dia belum yakin dengan apa yang dilakukannya. Tindakan tersebut tidak bisa dijadikan pedoman apabila lain waktu ada kasus yang serupa. Dalam menyingkapi kasus seperti itu, sebaiknya dia memaksimalkan kebebasan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kasus tersebut dalam undang-undang perkawinan belum dijelaskan secara terperinci, oleh karena itu Sujari dapat menggunakan diskresi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
55
Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut: Dar al-Fikr, ttp, Juz II, hlm. 130
50
Namun, apabila ada kesalahan penelitian yang dilakukan para penghulu atas peristiwa tersebut di luar jangkauan mereka. Mereka telah berusaha
untuk
melakukan
penelitian
semaksimal
mungkin
secara
administratife dan individual. Nikah sirri yang dilakukan orang tua sang anak tidak dapat dibuktikan ketika pemeriksaan, siapa yang menjamin sah tidaknya pernikahan sirri mereka? Karena untuk menelitanya perlu bukti-bukti atas peristiwa nikah enam belas atau dua puluh tahun sebelumnya. Menurut penulis, tentu saja hal ini sulit dilakukan. Oleh karena itu dalam menentukan masalah tersebut kita berpegang kepada hadis nabi “Nahnu nahkumu bi aldhawahir”(kita hanya bisa menghukumi yang nampak saja) B. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Argumentasi yang Digunakan KUA Kec. Parakan dalam Praktek Peralihan Wali Nikah Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III bahwa dalam pelaksanaan hukum perkawinan di Indonesia, eksistensi seorang penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Oleh karenanya Penghulu sangat identik dengan Kantor Urusan Agama (KUA). Jika kita melakukan penelitian tentang KUA maka sebenarnya sama dengan penelitian dengan penghulu. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan yang dilakukan oleh seorang Penghulu, menyebabkan perkawinan itu bisa dilaksanakan atau tidak. Penghulu bisa menggagalkan perkawinan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihakpihak yang terkait dalam perkawinan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum perkawinan.
51
Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 474 tentang Pencatatan Nikah, Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundan-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Tugas pokok penghulu
adalah:
melakukan
perencanaan
kegiatan
kepenghuluan,
pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasehatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantuan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk dan pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah.56 Bagi seorang penghulu, Undand-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 57 adalah sumber utama pelaksanaan hukum perkawinan Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya seorang penghulu harus berpegang kepada aturan-aturan yang ada dalam UUP, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan kepenghuluan. Dalam hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan
56
Tanya jawab seputar kepenghuluan, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta. 2003. hlm. 1. 57 Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang mengarah kepada univikasi mazhab dalam hukum Islam. Ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia.Hukum Islam yang dimaksud dalah aturan-aturan hukum yang ada dalam kitabkitab fiqh yang banyak didalamnya terdapat perbedaan pendapat, kemdian dicoba diunivikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Lihat Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, cet 2, 1993, hlm 25. Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) disahkan melalui Instruksi Persiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni. Kemudian ditindaklanjuti keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991, dan disebarluaskan melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694 / EV / HK.003 / AZ / 91 tanggal 25 juli 1991. Lihat A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995. Hlm. 51.
52
pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan istilah asas legalitas. Oleh
karena
itu,
undang-undang
dijadikan
sebagai
sendi
utama
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen dari Negara hukum. Untuk itu, penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan aturan perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya. Namun dalam praktiknya tidak semua masalah perkawinan itu bisa diselesaikan dengan aturan tersebut. Poblematika hukum akan selalu muncul, seiring dengan perkembangan zaman, begitu juga dengan problematika hukum perkawinan. Tidak semua problematika hukum perkawinan itu diatur didalam Undang-Undang dan KHI. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum apapun sifatnya adalah terbatas, sedangkan masalah-masalah sosial yang muncul di masyarakat itu sifatnya tidak terbatas. Kadang-kadang pada kasus tertentu aturan tersebut ternyata tidak bisa diterapkan. Disisi lain seorang penghulu juga mengalami dilema ketika menghadapi perbedaan pendapat atau konflik antara KHI sebagai hukum Islam Indonesia dengan fiqh- kitab-kitab fiqh munakahat yang dipegangi oleh masyarakat Indonesia. Kenyataan ini jelas menjadi problem tersendiri bagi para penghulu dalam melaksanakan tugasnya. Pada awalnya al-Qur’an diwahyukan sebagai respon terhadap terhadap masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang lebih luas lagi. Seiring dengan berkembngnya Islam keberbagai penjuru, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang berbeda dengan persoalan-persoalan yang
53
dihadapi kaum muslimin dimasa Rasulullah. Sedangkan al-Qur’an hanya memuat sebagian hukum-hukum yang terperinci, sementara sunnah hanya terbatas pada kasus-kasus masa Rasulullah, maka untuk memecahkan persoalan-persolan baru itu diperlukan adanya ijtihad. Meminjam ungkapan al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal bahwa teks-teks nash ituterbatas, sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi itu tidak terbatas, bagaimana nash-nash hukum yang terbatas itu mampu memecahkan problematika hukum yang tidak terbatas, oleh karenaya diperlukan ijtihad untuk menginterpertasikan nash yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit dalam nash dapat dicari pemecahanya.58 Oleh karenanya untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan ini dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. Dalam perspektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum itu di kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad memegang peranan yang sangat penting (signifikan) dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Ijtihad sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khasanah Islam, merupakan aktifitas daya nalar yang dilakukan oleh para fuqaha dalam menggali hukum Islam.
58
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut, Dar al-Fikr, 1967, hlm. 199.
54
Menurut Qodri, wujud hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya menemukan hukum terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada. Bermula dari pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan metode, kemudian dikuti oleh orang lain atau murid-murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan ini kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain, kemudian menjadi baku. Pendapat-pendapat inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Fiqh. Oleh karenanya berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara fiqh. Dan berbicara mengenai fiqh tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai mazhab. 59 Sedangkan menurut Rofiq, hukum Islam adalah totalitas religious yang mengatur prilaku kaum muslimin. Jika hal itu difahami sebagai produk pemikiran Fuqaha, maka lazimnya disebut al-fiqh. Namun bila dipahami sebagai aturan-aturan hukum yang diwahyukan Allah, maka disebut Syari’ah. Fiqh adalah formula yang dipahami dari Syari’ah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fiqh. Namun hukum Islam tidak selalu diasosiasikan sebagai fiqh, karena dalam perkembnganya setidaknya masih ada tiga jenis produk hukum Islam yaitu : Fatwa, Keputusan Pengadilan dan Undang-Undang.60
59
Qodri A. Azizi, The Concept of Mazhab and The question of ItsBoundary, al-Jami’ah, 59. 1996, hlm 77-92 60 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 7-8
55
Berijtihad memang bukan persoalan yang sederhana, seorang yang akan
melakukan
ijtihad
harus
memiliki kemampuan khusus,
yang
memungkinkan dirinya dapat melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya itu dapat diakui dan diterapkan dikalangan ummat. Dan karena terlalu beratnya syaratsyarat ijtihad itu ada anggapan seakan-seakan orang tidak bisa melakukan ijtihad. Selama ini otoritas ijtihad seorang penghulu memang tidak sekuat otoritas ijtihad seorang hakim. Sejauh ini ketika kitab-kitab fiqh membahas mengenai hakim (Qadhi) pada setiap lembaga peradilan, kemampuan berijtihad
menjadi salah satu syarat. Al-muzani
misalnya, didalam
mukhtasarnya61 menjelaskan bahwa jika seorang yang akalnya tidak mampu untuk melakukan qiyas (analogi) atau tidak mampu memilah dan memilih perbedaan- perbedaan maka ia sebaiknya tidak menjadi hakim dan orang lain hendaknya tidak mengangkatnya sebagai hakim. Al-Syairazi mengatakan bahwa seseorang yang bodoh atau tidak mengetahui cara-cara (metodologi) pengambilan hukum Islam tidak dapat menjadi hakim. 62 Dalam konteks hukum Indonesia, seorang
hakim
mempunyai kewenangan untuk melakukan ijtihad. Ketentuan pasal 14 ayat (1) Undang-undang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimaan menjelaskan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan pasal ini 61 62
Al-Muzani, Mukhtasar, didalam Al-Syafi’i, Al-Umm, IX, hlm 315 Al-Shirazi, Al-Muhazzab, Beirut, Dar al- Fikr, Juz II, hlm 290
56
mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum mengaturnya, maka hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut (ijtihad). Seorang Penghulu juga diperbolehkan berijtihad, bahkan bisa juga dikatakan harus. Akan tetapi, sejauh ini praktek-praktek ijtihad mereka tidak begitu nampak dilihat. Hal ini mungkin bisa di mengerti karena UUP dan KHI hanya menempatkan Penghulu sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tugasnya mencatat peristiwa nikah dan mendokumentasikanya, atau dengan istilah lain Penghulu hanyalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Walaupun dalam prakteknya Penghulu itu tidak hanya sebagai pencatat nikah. Justru dari seorang Penghululah problematika hukum perkawinaan itu harus segera diselesaikan, karena ia orang yang paling dekat dengan kasus-kasus perkawinan yang terjadi pada masyarakat. Selama ini kecenderungan masyarakat adalah semaksimal mungkin menghindari lembaga pengadilan. Mereka biasanya datang ke KUA untuk mencari solusi pemecahan masalahmasalah yang berhubungan dengan perkawinan. Dan perlu juga diketahui bahwa proses peradilan membutuhkan waktu, tenaga dan ongkos/biaya yang tidak sedikit. Seorang pejabat pemerintahan diberi sarana yang memberikan ruang bergerak untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
57
undang-undang (Diskresi).63 Begitu pula seorang Penghulu yang merupakan pejabat Negara yang memiliki sarana tersebut untuk digunakan dalam memecahkan sebuah masalah. Menurut penulis, untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan yang terjadi dimasyarakat maka dibutuhkan kemampuan para penghulu untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan. Dalam prespektif hukum Islam usaha untuk memecahkan/menemukan masalah hukum itu di kenal dengan istilah ijtihad. Masalahnya adalah apakah seorang penghulu memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad? Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Qodri64 bahwa memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab hukum yang ada kemudian mentarjihnya adalah sudah merupakan ijtihad walaupun itu kecil. Oleh karenanya apa yang dilakukan para penghulu walaupun hanya memilih diantara dua pendapat atau madzhab hukum adalah sudah merupakan bagian dari sebuah usaha untuk berijtihad walaupun kecil. Pada kasus penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang lahir kurang dari enam bulan yang dilakukan oleh Macfut penghulu KUA Parakan belum bisa dikatakan ijtihad karena masih menggunakan dasar hukum yang sudah ada. Takut akan sanksi melanggar undang-undang masih ada dalam 63
Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.
64
Loc. Cit
177
58
benaknya. Apalagi Sujari yang menggunakan dua tindakan dalam menentukan satu masalah, ketentuan tersebut belum bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan kasus penentuan wali nikah atas calon istri dari hasil hubungan diluar nikah.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis memaparkan segala persoalan yang berkaitan dengan Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung, maka pada bab ini penulis berusaha untuk memberikan satu konklusi. Dalam hal ini kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan masalah.
1. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Parakan untuk melaksanakan praktek peralihan wali nikah adalah tidak adanya undang-undang yang secara
terperinci mengenai batas minimal usia kandungan dan keputusan yang dilakukan akan membawa maslahat kepada masyarakat Parakan. Masalah penentuan wali nikah terhadap wanita yang lahir kurang dari enam bulan atau bisa dikatakan wanita yang lahir dari hasil hubungan diluar nikah oleh kedua orang tuanya, jika tidak diselesaikan akan menjadikan problem terhadap wanita tersebut. Oleh sebab itu KUA Kec. Parakan mengambil keputusan sendiri dalam menentukan wali nikah terhadap wanita yang lahir kurang dari 6 bulan, dengan cara mencocokkan antara tahun kelahirannya yang tertera pada Akta Kelahiran dengan tahun menikahnya kedua orang tuanya yang tertera pada Kutipan Akta Nikah. Ditambah dari proses pemeriksaan dengan calon pengantin wanita dan walinya yang
59
60
datang ke KUA saat mendaftar untuk melakukan pernikahan, yang dilakukan dengan cara mewawancarainya. 2. Tindakan yang dilakukan oleh KUA Kec. Parakan tersebut, belum bisa dijadikan pedoman untuk menyelesaikan problem terhadap wanita yang lahir dari hasil hubungan luar nikah orang tuanya. Karena kebijakan yang dilakukan KUA Kec. Parakan masih menggunakan dua keputusan, yaitu (1) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab); (2) Wali nikahnya
adalah wali hakim. Keputusan tersebut yang menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam satu instansi pemerintahan dalam hal ini KUA Kec. Parakan Kab. Temanggung terdapat dua keputusan. Namun, pernikahan wanita tersebut sudah sesuai dengan syarat rukun pernikahan menurut Hukum Islam. Oleh sebab itu, pernikahan wanita tersebut sudah bisa dikatkan sah secara Hukum Islam yang beracuan terhadap definisi nikah yaitu menghalalkan hubungan seseorang.
B. Saran Dengan dilandasi oleh kerendahan hati, setelah penulis menyelesaikan pembahasan sekripsi ini penulis akan memberikan saran-saran. Hal ini dimaksudkan sebagai kritik konstruktif yang penulis lihat dilapangan yang berkaitan dengan penentuan wali hikah bagi anak perempuan yang lahir kurang dari enam bulan. Saran yaitu masalah penentuan wali nikah dari kasus diatas agar kelak diatur didalam perubahan KHI menjadi Undang-undang, seperti telah dibahas dalam tulisan ini bahwa jika konsepsi anak sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fiqh menjadi ukuran dalam menentukan status nasab
61
mestinya UUP dan KHI memasukkan aturan tersebut dalam pasal-pasalnya, sehingga ada kejelasan hukum status anak yang lahir kurang dari enam bulan.
C. Penutup Tiada kata yang pantas terucap dan tertulis kecuali Al-hamdulillah atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. Tiada yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan penelitian penulis. Masih banyak kekurangan disana-sini dalam penulisan skripsi ini. Oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad bin umar ad-dairabi, Fiqih Nikah, Jakarta: Mustaqiim, 2003. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’a, Beirut: Dar alFikr, Juz IV, tt. Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997. Al-Syairazi, al-Muhazzab, Beirut: Dar al-Fikr, ttp, Juz II. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. ke-12. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1990. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian Bidang, Jakarta: PT Bumi Aksara. Cet. 11, 2010. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Depag RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid,1992. Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Direktorat Agama Islam Jakarta,1997. Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta: Gema Insane Press, 2002. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990. Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, 2001. Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, juz 3, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950. Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993. Rahman, Mustofa, Anak Luar Nikah Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003. Ramulyo, Moh. idris, Hukum Perkwinan, Hukum Kewrisan, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Agama Islam, Jakarta: Sunar grafika, tt. Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali press, 1998. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Kuwait: Darul Bayan, 1971. Sabiq, Sayyid, Terjemah Fiqih Sunnah Jilid VII, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1986. Sabiq, Sayyid, Terjemah Fiqih Sunnah, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1986. Saleh, Qamarudin, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1984. Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004. Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 9, 1995. Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in, Beirut: Dar alFikr, t.th. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1983.
RIWAYAT HIDUP
NAMA
: SAIFUR ROKHIM
Tempat, tanggal lahir : Temanggung, 05 Oktober 1989 Alamat
: RT/RW 02/07 Kembangsari Kandangan Temanggung Jawa Tengah 56281
Pendidikan : 1. MI Ma’arif Kembangsari Kandangan Temanggung lulus tahun 2001 2. Mts N Model Parakan Temanggung lulus tahun 2004 3. MA N Temanggung lulus tahun 2007 4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Masuk tahun 2007 (Semester IX)
Demikian keterangan ini dibuat dengan sebenar-benarnya untuk digunakan sebagaimana mestinya.