PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI ‘ADHOL (Dalam Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S 1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
AHMAD SYAIFURRIZAQ 231 06 051
JURUSAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2012
i
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: AHMAD SYAIFURRIZAQ
NIM
: 231 06 051
Jurusan
: Syariah (Ahwalus Syahsyiah)
Menyatakan
bahwa
karya
ilmiah
(skripsi)
yang
berjudul
”PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI „ADHOL” (Dalam Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang) Adalah benar-benar karya sendiri, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah penulis sebutkan sumbernya. Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Pekalongan, 22 Mei 2012 Yang Menyatakan
AHMAD SYAIFURRIZAQ 231 060 51
ii
M. Hasan Bisyri, M.Ag Perum Griya Sejahtera No. 1 Tirto Pekalongan
Achmad Muchsin, M.Hum Jl. Segaran Baru RT 04/11 Purwoyoso-Ngaliyan_______ Semarang
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (Empat) eksemplar Hal : Naskah Skripsi Sdr. Ahmad Syaifurrizaq
Pekalongan, 14 Mei 2012 Kepada : Yth. Ketua STAIN c/q Ketua Jurusan Syariah Di – PEKALONGAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah diadakan penelitian dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama
: AHMAD SYAIFURRIZAQ
NIM
: 231 06 051
Judul
: PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI „ADHOL (Dalam Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang)
Dengan
permohonan
agar
skripsi
saudara
tersebut
dapat
segera
dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi perhatian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing I
Pembimbing II
M. Hasan Bisyri, M.Ag NIP. 197311042000031002
Achmad Muchsin, M.Hum NIP. 197505062009
iii
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN Alamat : Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Telp. (0285) 412575-412572 Fax. 423418 E-mail : stainpkl@
[email protected]
PENGESAHAN Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan mengesahkan Skripsi Saudara : Nama
: AHMAD SYAIFURRIZAQ
NIM
: 231 06 051
Judul Skripsi : PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI ‘ADHOL (Dalam Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang).
Yang telah diujikan pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2012 dan dinyatakan berhasil, serta diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syariah. Dewan Penguji,
Dr. Makrum Kholil, M.Ag Ketua
Maghfur, M.Ag Anggota Pekalongan, 22 Mei 2012 Ketua STAIN Pekalongan
DR. Ade Dedi Rohayana, M.Ag NIP. 197101151998031005
iv
PERSEMBAHAN Dengan segenap rasa cinta dan ketulusan hati dengan mengharap ridhaNya, skripsi ini penulis persembahkan teruntuk orang-orang tersayang:
Orang tuaku yang senangtiasa mendoakan dan mencurahkan kasih sayangnya sepanjang hari, dan tiada dapat melukiskan betapa besar rasa cintaku kepadanya.
Semoga
Allah
menyayanginya
sebagaimana
mereka
menyayangiku diwaktu kecil.
Saudara-saudaraku, Noor Muhaimin,
Amin Rusyadi, Sukron Yazid,
Mokhamad Khamdani, semoga kasih sayang Allah selalu bersama kita.
Teman-teman jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2006, yang tak bisa kusebutkan satu-persatu, mudah-mudahan kesuksesan menyertai kalian semua.
v
MOTTO
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
ABSTRAK
vi
Di dalam hukum perdata Islam di Indonesia adanya wali nikah bagi mempelai perempuan dalam akad pernikahan mempunyai peran yang sangat penting, sebab semua perkawinan yang dilakukan harus ada wali nikah dari mempelai perempuan, sehingga akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah, sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 19. selain itu apabila wanita yang akan melangsungkan pernikahannya dan tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol maka pernikahanya tersebut menggunakan wali hakim sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 23 ayat (1) dan (2) Dalam pernikahan yang dicatatkan di KUA Kecamatan Batang yaitu antara tahun 2010 sampai 2012 terdapat 165 peristiwa nikah menggunakan wali hakim karena wali „adhol. Mengenai tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan dan dasar hukum yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bathsul masa‟il tentang perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kombinasi antara penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Yaitu melakukan wawancara langsung kepada sebagaian Ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il dan melakukan kajian terhadap Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terkait dengan perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol. Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan menggunakan wali hakim tetap sah hukumnya sepanjang pelaksanaannya tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari‟at, di samping itu wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila, keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (jarak untuk mengkosor sholat), keberadaan wali tidak diketahui, wali menolak untuk menikahkan (‘adhol), wali sulit dihubungi. Sedangkankan dasar hukum yang digunakan adalah berdasarkan pada kitab kitab Al-Muhadzab (Juz II, hal, 37), I'anah al- Thalibien (Juz III, hal. 307 dan 315), Nihayah al- Muhtaj (Juz VI, hal, 241), berdasarkan pada Al quran (surat Al Baqarah ayat 221), dan hadis. Berdasarkan dari pendapat dan dasar hukum yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan menggunakan wali hakim tetap sah hukumnya, sepanjang pelaksanaan pernikahannya tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari‟at, di samping itu wali hakim merupakan alternatif bagi mempelai wanita apabila dalam pelaksanannya pernikahannya tersebut tidak mempunyai wali atau walinya „adhol.
KATA PENGANTAR
vii
Alhamdulillahirobbil‟alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT. Semoga rahmat dan salam senangtiasa dilimpahkan kehadirat junjungan dan panutan kita, Nabi agung Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari‟at yang mudah, penuh rahmat dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat serta keluarga, shabat dan pengikut beliau yang setia. Dengan segala kemampuan yang ada dan penuh ketekunan telah diusahakan semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan serta memiliki faedah dan manfaat. Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunnya tidak terlepas dari beberapa pihak terkait yang telah banyak memberikan motivasi serta kritikan yang kostruktif dalam menyelesaikan skripsi, maka sudah semestinya menjadi suatu kewajiban bagi penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak DR. Ade Dedi Rohayana, M.Ag selaku Ketua STAIN Pekalongan. 2. Bapak Drs. A. Tubagus Surur, M.Ag selaku Ketua jurusan Syari‟ah. 3. Bapak H. Sam‟ani Sya‟roni, MAg selaku Ketua Prodi Ahwalus Syakhsyiyah. 4. Bapak Drs. H. Imam Suraji, M.Ag selaku wali studi. 5. Bapak M. Hasan Bisyri, M.Ag dan Bapak Achmad Muchsin, M.Hum selaku pembimbing dan asisten pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.
viii
6. Segenap dosen yang telah memberikan berbagai macam bidang keilmuan kepada penulis. 7. Semua pihak yang ikut membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karenanya penulis senantiasa mengharapkan masukan dan kritik yang konstruksi dari pembaca. Meski disadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, namun penulis tetap berharap bahwa tulisan ini bermanfaat. Amin. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan berserah diri, memohon ampunan dan rahmat-Nya.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN Dalam penyusunan skripsi ini, Transliterasi huruf-huruf arab ke dalam huruf-huruf latin menggunakan transliterasi dari Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0534 b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut: 1. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
ب
ba‟
b
be
خ
ta‟
t
te
ز
sa
s
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
je
ذ
kha
h
ha (dengan titik di bawah)
ش
dal
kh
ka dan ha
د
dal
d
de
ر
zal
z
zet (dengan titik di atas)
س
ra‟
r
er
ص
za
z
zet
ط
sin
s
es
ػ
syin
sy
es dan ye
ص
sad
s
es (dengan titik di bawah)
ض
dad
d
d (dengan titik di bawah)
ط
ta‟
t
te (dengan titik di bawah)
ظ
za‟
ع
ain
z
koma terbalik
غ
ghain
„
ge
ف
fa‟
f
ef
zet (dengan titik di bawah)
x
ق
qaf
q
qi
ن
kaf
k
ka
ي
lam
l
el
َ
Min
m
em
ْ
nun
n
en
ٚ
wawu
w
we
ٖ
ha‟
h
ha
ء
hamzah
„
ٞ
ya‟
y
tidak dilambangkan jika di awal kata ye
2. Vokal Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan rangkap atau diftong. a. Vokal tunggal Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
--- َ --
fathah
a
a
--- ِ --
kasrah
i
i
--- ُ --
dhomah
u
u
Contoh: ًفع
- Fa‟ala
ضشب٠ - Yadribu
ْا١ٕ ت- Bunyanun
روش
xi
- Zukira
b. Vokal rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ٞ--- َ --
Fathah dan ya
ai
a dan i
ٚ--- َ --
Fathah dan wawu
au
a dan u
Contoh: د١ – تBaitun
يٛ ز- Haula
3. Maddah Maddah
atau
vokal
panjang
yang
berupa
harakat
dan
huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda:
Huruf
Tanda
Nama
ا--- َ --
Fathah dan Alif atau alif maksurah
a
Kasrah dan ya
i
Dammah dan wawu
u
ٞ--- ِ ٚ--- ُ --
Nama
Latin a dengan garis di atas i dengan garis di atas
u dengan garis di atas
Contoh: ْصا
-
sana
ً١ٌد
-
ٝلٚ
-
Waqa
يٛم٠
- Yaqulu
Dalilun
4. Ta’Marbutah Transliterasi untuk ta‟marbutah ada dua: a. Ta‟ marbutah hidup Ta‟marbutah yang hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasinya adalah (t).
xii
Contoh : اٌّىرثحٟ ف- Fi al-Maktabat b.
Ta‟ marbutah mati Ta‟marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya
adalah (h). Contoh : طٍسح- Talhah c. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta‟marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al” serta bacaan kedua setelah kata itu terpisah maka ta‟marbutah itu ditranlsiterasikan dengan ha/h. Contoh : ِىرثح اٌّذسعح- Maktabah al-Madrasah 5. Syaddah Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Contoh : ّ ّذ٠ - Yamuddu ًّ ذعد- Ta‟ajjala 6. Kata Sandang a. Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (al). Namun, dalam transliterasi ini tidak dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan tanda (-). Contoh: اٌّذسعح- al-Madrasatu
ٕح٠ اٌّذ- al-Madinatu
اٌّمعذ
اٌثاب
- al-Maq‟adu
- al-Babu
b. Kata sandang dalam penulisan nama-nama surat al-Qur‟an dilambangkan sesuai kata sandang yag diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah. Contoh : إٌغئ
- an-Nisa‟
ً إٌس- an-Nahl
اٌثمشج
- al-Baqarah
دشاخٌٙ ا- al-Hujurat
xiii
7. Hamzah Sebagaimana dinyatakan di depan, hamzah ditranslitersikan dengan apostrof. Namun itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan, karena dalam tulisan arab berupa alif. Contoh : ءٟ ش- Syai‟un
اِشخ
ءٌٕٛ ا- al-Nau‟
ْٚ ذاخز- Ta‟khuzuna
- Umirtu
8. Penyusunan Kata atau Kalimat Pada dasarnya setiap kata, baik fi‟il (kata kerja), isim atau huruf , ditulis terpisah. Hanya ada kata-kata tertentu yang penyusunannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab atau harakat yang dihilangkan. Dalam transliterasi ini penyusunan kata tersebut ditulis dengan kata perkata. Contoh : تّماصذ٘اِٛاأل
-
al-Umuru bimaqa sidiha
اٌعادج ِس ّىّح
-
al-„Adatu muhakkamah
9. Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf capital seperti yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), seperti huruf kapital yang digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap harus wal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh : ّ يِٛا ِس ّّذ اال سعٚ
–
Wama Muhammadun illa Rasul
ّ ضع إٌاطٚ د١ّي تٚاْ ا
-
Inna awwala baitin wud i‟a linnasi.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................i LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN .........................................................................v HALAMAN MOTTO ........................................................................................vi ABTRAK .........................................................................................................vii KATA PENGANTAR ......................................................................................xiii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...............................................x DAFTAR ISI ....................................................................................................xv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 7 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ............................................... 7 D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 8 E. Kerangka Teori .......................................................................... 11 F. Metode Penelitian ...................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan ................................................................ 17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH A. Pengertian Wali Nikah ............................................................... 18 B. Dasar Hukum Wali Nikah ........................................................... 19 C. Syarat-Syarat Wali Nikah .......................................................... 27 D. Macam-macam Wali Nikah ....................................................... 28
xv
E. Wali Mujbir ............................................................................... 35 F. Wali „Adhol ............................................................................... 37 BAB III PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN
KARENA
WALI
„ADHOL
di
KABUPATEN
BATANG A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 39 B. Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam Forum Bahtsul Masa‟il tentang Pernikahan Menggunakan Wali Hakim ................................................................................... 47 BAB IV ANALISIS PANDANGAN ULAMA NU di KABUPATEN BATANG TENTANG PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI „ADHOL A. Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam Forum Bahtsul Masa‟il di Kabupaten Batang....................... 53 B. Pertimbangan Hukum yang digunakan oleh Ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum Bahtsul Masa‟il. .. 57 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 68 B. Saran-saran.................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. 1 Pengertian lain dari wali adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. 2 Sedangkan pengertian wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad pernikahan.3 Di dalam hukum perdata Islam di Indonesia adanya wali nikah bagi mempelai perempuan dalam akad pernikahan mempunyai peran yang sangat penting, sebab semua perkawinan yang dilakukan harus ada wali nikah dari mempelai perempuan, sehingga akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah. Hal ini dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam, (yang selanjutnya disebut dengan KHI) pasal 19 adalah Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Adanya wali dalam akad pernikahan mempunyai banyak manfaat di antaranya adalah wali tersebut
dapat
menetapkan pengakuan terhadap
perkawinannya dan juga menambah penegasan bahwa hubungan perkawinannya
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, Terj. Muhammad Tholib. (Bandung: PT. Al Ma‟arif, 1981),
hlm. 7. 2
Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 92. 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 69.
1
tidak terbatas pada hubungan cinta kasih antara orang laki-laki dan perempuan itu saja, melainkan juga merupakan jalinan hubungan yang kokoh antara dua keluarga sehingga perkawinan tersebut merupakan permulaan untuk merekatkan hubungan antara dua keluarga. Adapun mengenai seorang yang bertindak sebagai wali nikah diatur dalam KHI pasal 20 ayat (1) adalah yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil balig. Sedangkan orang yang berhak menempati kedudukan wali, secara umun dibagi menjadi tiga golongan yaitu: wali nasab nasab (segi keturunan), wali hakim (sultan atau penguasa) dan wali muhakkam (wali yang diangkat oleh mempelai perempuan). 4 1. Wali nasab Wali nasab yaitu wali nikah karena pertalian nasab atau pertalian darah dengan calon mempelai perempuan atau orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai perempuan yang berhak menjadi wali. 5 Mengenai tertib urutan wali nasab dalam KHI disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) adalah bahwa wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. a. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. b. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. 4
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 46. 5 Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 2003), hlm. 110.
2
c. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. d. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka 2. Wali hakim Wali hakim ialah wali yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.6 Perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. Tidak ada wali nasab. b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad. c. Wali aqrabya gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh + 92.5 km atau dua hari perjalanan. d. Wali aqrabnya di penjara. e. Wali aqrabnya ‘adhol. f. Wali aqrabnya sedang ihram. g. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah. h. Wanita yang dinikahi gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada. 3. Wali muhakam Wali muhakam adalah apabila wali nasab tidak dapat menjadi wali karena sebab-sebab tertentu dan wali hakim tidak ada maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakam yang diangkat oleh kedua calon mempelai. 7
6
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1. (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.
7
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press, 1996), hlm. 42.
92.
3
Dalam
pelaksanaan
perkawinan
adakalanya
semua
yang
telah
direncanakan oleh kedua calon mempelai, tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, manakala wali dari pihak mempelai perempuan menolak untuk menikahkan anaknya, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan materi, sifat-sifat lahiriyah calon suami, serta bukan atas pertimbangan agama dan akhlak. Sehingga dari keadaan tersebut orang tua enggan untuk menikahkan anaknya, dan dari keadaan itu pula, maka wali tersebut telah melakukan perbuatan ‘adhol. Wali ‘adhol ialah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi wali enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.8 Apabila wali nasab menolak untuk menjadi wali nikah dan tidak ada lagi wali dari keluarga mempelai perempuan yang bersedia untuk menjadi wali nikahnya, yakni dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syariat agama, maka kewenangan wali nasab akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga dari keadaan
tersebut
yang
memaksa
mereka
untuk
tetap
melangsungkan
pernikahannya walaupun menggunakan wali hakim. Ternyata fenomena-fenomena tersebut sering terjadi di Kabupaten Batang, bahkan dalam tahun 2010 sampai 2012, penulis mencatat bahwa di KUA Kecamatan Batang terdapat 165 peristiwa nikah menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol.
8
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 243.
4
Kabupaten Batang merupakan Kabupaten yang berada berdekatan dengan Kota Pekalongan, di mana Kabupaten Batang tersebut mayoritas penduduknya memeluk agama Islam yang di dalamnya terdapat banyak ormas-ormas Islam, salah satu ormas Islam di Kabupaten Batang adalah Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut NU). Menurut M.A Sahal Mahfud, 9 bahwa NU sebagai organisasi keagamaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senangtiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga Negara. Adapun tujuan NU adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan menjunjung tinggi martabat manusia. Di samping itu dalam kepengurusan NU di Kabupaten Batang tidak berbeda dengan kepengurusan NU di kota-kota lain yaitu mempunyai lembaga syuriah yang bertugas antara lain menyelenggarakan forum bahtsul masa‟il secara rutin, forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam yang bertalian dengan masa‟il fikihyah maupun masalah ketauhidan dan bahkan tasawuf. Yang diikuti oleh syuriah dan ulama-ulama NU baik yang berada di luar struktur organisasi, termasuk para pengasuh pesantren, yang kemudian dari hasil keputusan bahtsul masa‟il tersebut dipublikasikan ke cabang-cabang pengurus NU dengan maksud untuk kemaslahatan umat atau masyarakat.
9
M.A Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial. (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 228.
5
Dalam menanggapi tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol, bahwa ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa pernikahan tersebut tetap sah hukumnya selama pelaksanaanya tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, selain itu wali hakim dalam pernikahan merupakan alternatif apabila mempelai perempuan tersebut tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol. Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam suatu pernikahan karena wali ‘adhol dalam perspektif pandangan ulama NU di Kabupaten Batang. Penulis beralasan bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang masalah perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam suatu pernikahan kaitannya wali ‘adhol dalam pandangan ulama NU di Kabupaten Batang. Beranjak dari uraian di atas maka untuk itu penulis mengambil judul: PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI ‘ADHOL Studi Menurut Pandangan Ulama NU di Kabupaten Batang.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat memberikan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il dalam menanggapi tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol. 2. Bagaimana istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam bahtsul masa’il tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Adapun dalam tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il dalam menanggapi tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol. 2. Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam bahtsul masa’il tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol. Adapun kegunaan penelitian ini di antaranya adalah: 1. Memberikan kontribusi dalam pengembangan pemikiran islam terutama dalam bidang Ahwalusy Syakhsiyyah. 2. Sebagai bahan kepustakaan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan tentang hukum perkawinan terlebih mengenai perpindahan wali nasab ke wali
7
hakim karena wali ‘adhol dalam perspektif pandangan ulama NU di Kabupaten Batang. D. Tinjauan Pustaka Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, 10 mengungkapkan dalam tradisi pernikahan di Indonesia, wali nikah merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan. Sebagai cara pandang yang berkembang di masyarakat bahwa keharusan adanya wali nikah bagi mempelai perempuan berdasarkan argumentasi bahwa perempuan tidak memiliki hak bebas sebagaimana laki-laki. Konsep perwalian dalam pernikahan yang biasa digunakan di Indonesia, agaknya didasarkan kepada pendapat madhab fikih yang empat yaitu: Syafi‟i, Malaki, Hanafi dan Hambali. Dalam pandangan ke empat madhab fikih ini tedapat kesepakatan bahwa sebuah perkawinan dipandang sah menurut agama apabila disertai wali. Ahmad Rofiq, dalam bukunya yang berjudul, Hukum Islam di Indonesia, menyatakan bahwa pernikahan yang dihadiri atau diijabkan oleh wali hakim tetap sah hukumnya, sepanjang ketentuannya dipenuhi. Alternatif ini, dimaksudkan agar hukum Islam tetap responsif terhadap tuntutan situasi, dalam upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Terlebih bahwa keluarga merupakan satuan komunitas yang menjadi basis tersusunya masyarakat bangsa dan Negara, oleh karenanya, ia memerlukan topangan legitimasi yang jelas. 11
10 11
Jakarta: El Kahfi, 2008. Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
8
Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. 12 Menjelaskan bahwa keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali di tempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula orang yang diminta persetujuannya untuk melangsungkan pernikahannya. Apabila wanita tidak mempunyai wali, maka yang manjadi wali dalam pernikahannya adalah wali hakim, wali hakim dapat menjadi wali nikahnya apabila keseluruhan wali nasabnya sudah tidak ada, atau wali qarib dalam keadaan ‘adhol atau engan tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Slamet Abidin dan Aminudin dalam bukunya yang berjudul, fikih Munakahat 1,13 menjelaskan bahwa apabila tidak ada wali dalam pernikahanya tersebut, maka hakim dapat diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim. Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak ada nasab. 2. Tdak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad. 3. Wali aqrabya gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh + 92.5 km atau dua hari perjalanan. 12 13
Jakarta: Kencana, 2006. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
9
4. Wali aqrabnya di penjara. 5. Wali aqrabnya ‘adhol. 6. Wali aqrabnya berbelit-belit. 7. Wali aqrabnya sedang ihram. 8. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah. 9. Wanita yang dinikahi gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada. Amir Naruddin dan Azhar Akmal Tarigan dalam bukunya yang berjudul, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 /1974 sampai KHI).14 Pada dasarnya KHI dalam membahas perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fikih yang mengkaitkan rukun dan syarat dalam perkawinan. Walaupun berkenaan dengan dua rukun yaitu calon suami dan istri, KHI mengacu pada Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan tetapi rukun-rukun yang lain seperti wali, saksi dan akad, KHI kembali mengacu pada aturan-aturan fikih, bahkan ada kecenderungan yang kuat. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, 15 mengungkapkan dalam tradisi pernikahan di Indonesia, wali nikah merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan. Sebagai cara pandang yang berkembang di masyarakat bahwa keharusan adanya wali nikah bagi mempelai perempuan berdasarkan argumentasi bahwa perempuan tidak memiliki hak bebas sebagaimana laki-laki.
14 15
Jakarta: Kencana, 2004. Jakarta: El Kahfi, 2008.
10
Konsep perwalian dalam pernikahan yang biasa digunakan di Indonesia, agaknya didasarkan kepada pendapat madhab fikih yang empat yaitu: Syafi‟i, Malaki, Hanafi dan Hambali. Dalam pandangan ke empat madhab fikih tedapat kesepakatan bahwa sebuah perkawinan dipandang sah menurut agama apabila disertai wali. Dari beberapa literatur buku yang digunakan sebagai penunjang dalam penulisan skripsi ini, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tidak ada yang membahas atau meneliti mengenai perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam perspektif pandangan ulama NU di Kabupaten Batang. Sehingga dari beberapa literatur buku tersebut, untuk itu penulis mengkaji dan meneliti lebih jauh tentang perpindahan wali nasab ke wali ke wali hakim dalam perspektif pandangan ulama NU di Kabupaten Batang. E. Kerangka Teori Keberadaan wali dalam akad pernikahan merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dalam pernikahan dan tidak sah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali, dan apabila wanita tidak mempunyai wali untuk melangsungkan pernikahannya maka yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim. Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut ini:
ٛت
ّ
ال ٔىاذ اال:ٍُعٚ ٗ١ٍي هللا صً هللا عٛ لاي سع: لايٝعُِٛ ٝع َْٓ ات )ٜاٖ اٌرشِزٚ (سٌٝ
16
Artinya: Dari Abu Musa berkata: Rasulullah SAW bersabda, tidak sah nikah kecuali dengan wali. (HR. At-Tirmidzi). 16
At Tirmidzi, Al-jami’ al-Shohih. (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1988), Hadis no. 1101, hlm. 407.
11
شار١ّّا اِشاج ٔىسد تغ٠َ ا.ي هللا صٛ لاٌشع:ا لاٌدٕٙ هللا عٝسض: ع َْٓ عَا ِئ ِشح ْا فاٙشتّااعرسًّ ِٓ فشخٌّٙا اٍٙا فٙا تا طً فاْ دخً تٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْ 17
) ٌٗ (أخشخٗ االستعح إال إٌغااٌٟٚال ِٓ ٌٟٚ ّ ّ ْا فاٌغٍّطاٚاشردش
Artinya:
Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i).
Pengertian hadis yang pertama dalam kitab At-taajul jaami’lil ushuuli fii ahaadistsir Rasull karya Sheikh Mansyur Ali Nashif, yang dinukilkan oleh Bahrun Abu bakar.18 adalah tidak ada nikah yang sah kecuali adanya seorang wali laki-laki yang merdeka lagi telah mukallaf. Pengertian ini berdasar kepada hadis lainnya yang di ketengahkan oleh Ibnu Majjah dan Daruquthni dengan syarat Syaikhain, yaitu wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena itulah jumhur ulama Salaf maupun Khalaf mengatakan, bahwa keberadaan seorang wali dalam suatu perkawinan merupakan suatu keharusan demi sahnya perkawinan tersebut. Sedangkan pengertian hadis yang kedua dalam kitab Subulus Salam III karya As Shan‟ani yang dinukilkan oleh Abu Bakar Muhammad adalah bahwa yang dimaksud kalimat pertengkaran dalam hadis yang kedua adalah penolakan atau pembangkangan mereka para wali untuk mengakad nikahkan perempuan di
17
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 428. 18 Mansyur Ali Nashif, Attaajul jaami’lil ushuuli fii ahaadistsir Rasull, Terj. Bahrun Abu Bakar. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hal. 887.
12
bawah perwaliannya, oleh karena penolakan para wali tersebut, maka perwaliannya berpindah kepada sultan atau hakim, jika wali terdekat menolaknya. 19 Ada ulama yang mengatakan bahwa perwaliannya pindah kepada wali yang jauh dan perpindahan perwalian itu kepada sultan berdasarkan larangan wali terdekat kepada wali yang jauh adalah sesuatu yang mungkin. Itu menunjukan bahwa sultan atau hakim tersebut menjadi wali karena tidak ada walinya, atau penolakan wali atau seperti keduanya, yaitu karena ketiadaan wali atau jauh tempatnya, kemudian yang dinamakan sultan ialah penguasa yang adil dan bertanggung jawab dalam mengurusi hamba Allah. 20 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kombinasi antara penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. a. Penelitian
hukum
empiris
adalah
penelitian
yang
dilakukan untuk
mendapatkan data primer.21 Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan cara wawancara langsung kepada ulama NU Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il.
19
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 430. Ibid. 21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 14. 20
13
b. Penilitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.22 Dalam hal ini penulis melakukan kajian terhadap Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terkait dengan perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, 23 yaitu pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh responden baik secara lisan atau tulisan. 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada dua macam sumber data yaitu: a. Sumber data primer Adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat. 24 dalam hal ini penulis melakukan wawancara terhadap ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il. b. Sumber data skunder Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. 25 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari:
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum … hlm. 13. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 250. 24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum … hlm. 12. 25 Ibid. 23
14
1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.26 Antara lain: Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. 27 Antara lain: Tafsir Alqur‟an, kitab fikih, bukubuku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.28 Antara lain: kamus bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab, serta kamus keilmuan lainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini berpedoman pada dua macam teknik pengumpulan data yaitu: a. Studi kepustakaan Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari dokumen, catatan, buku-buku, arsip dan peraturan perundang-undangan.29 Yang berkaitan dengan perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol. b. Wawancara Yaitu suatu kegiatan yang secara
langsung
dengan
dilakukan untuk mendapatkan
mengungkapkan
26
informasi
pertanyaan-pertanyaan
pada
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. hlm. 52. Ronny Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 12. 28 Ibid. 29 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. ke-12, hlm. 206. 27
15
responden. 30 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara kepada ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il. 5. Jalannya Penelitian a. Penelitian pustaka Yaitu sebelum mendapatkan data primer, penulis mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu menggunakan buku-buku, artikel, arsip dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian, dengan maksud untuk mengetahui lebih jauh tentang permasalahan yang diteliti. b. Penelitian lapangan Yaitu dalam pengumpulan data primer, penulis menggunakan wawancara bebas terpimpin. 31 Yaitu penulis dalam berwawancara hanya membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan terkait dengan obyek yang diteliti. 6. Teknik Analisis Data Berdasarkan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan maka penulis menggunakan metode deskriptif analitis. 32 Yaitu, dengan cara menganalisis data yang diteliti dan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh suatu kesimpulan.
30
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 129. 31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. hlm. 230. 32 Sudarto, Metode Penelitian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 47.
16
G. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk
mendapatkan
gambaran
yang
jelas
serta
mempermudah
pembahasan maka penulis membuat skripsi ini secara sistematis sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab II gambaran umum tentang wali nikah menurut Fikih, Undang-undang Perkawinan, dan KHI yang meliputi pengertian wali nikah, syarat-syarat wali nikah, macam – macam wali nikah, dan urutan wali nikah. Bab III menjelaskan tentang praktek pernikahan menggunakan wali hakim di KUA Kecamatan Batang dan pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il tentang pernikahan menggunakan wali hakim kerena wali ‘adhol. Bab IV merupakan analisis hasil penelitian terhadap pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il tentang pernikahan menggunakan wali hakim kerena wali ‘adhol. Bab V penutup.
17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH A. Pengertian Wali Nikah Kata wali berasal dari bahasa arab ( )و لىyang kemudian menjadi ()الو لى, merupakan isim fa‟il yang memiliki arti orang yang mencintai, orang yang menolong, orang yang mengurus perkara seseorang, jika kata ) (و لىdiubah mudhaf maka menjadi )(اولى االمر, artinya penguasa.33 Menurut Amir Syarifuddin, Pengertian wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap orang lain dengan alasan karena orang tersebut memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan untuk bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan harta atau dirinya. Sedangkan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 34 Sehingga dapat disimpulkan bahwa wali dalam perkawinan adalah orang yang mempunyai hak serta wewenang untuk menikahkan atas nama pihak mempelai perempuan dalam suatu akad pernikahan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya oleh calon mempelai laki-laki terhadap calon mempelai perempuan di bawah perwaliannya untuk kelangsungan pernikahannya.
33
Ahmad Warson Munawir, Kamus al- Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hal. 1690. 34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia … hlm. 69.
18
B. Dasar Hukum Wali Nikah 1. Menurut fikih Dalam kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad pernikahan. Adanya wali dalam akad pernikahan terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Yaitu terhadap mempelai perempuan baik ia sudah janda atau yang masih perawan, adanya perbedaan tersebut disebabkan karena tidak adanya dalil yang secara pasti yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan. 35 a. Jumhur ulama (selain Hanafiyah) Jumhur ulama berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun dalam perkawinan, dan tidak sah akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh sebab itu akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali maka nikahnya tidak sah atau batal.36 Adapun ayat Alquran yang dijadikan sebagai sebagai dasar hukumnya adalah:
Artinya: Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu,
lalu
habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya. (Al-Baqarah (1): 232).37 Menurut Imam Syafi‟i ayat tersebut adalah yang paling jelas tentang keharusan adanya wali dalam akad pernikahan, karena jika tidak, maka tidak ada 35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia …hlm. 69. Mohammad Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga Dalam Islam. hlm. 69. 37 Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. hlm.56. 36
19
untuk pencegahan mereka melakukan pernikahan. Sebab turunnya ayat tersebut adalah karena peristiwa ma‟qal bin yasar yang menikahkan saudara perempuan, lalu suaminya mentalaqnya dengan talaq raj’i dan suaminya itu membiarkan hingga habis masa iddahnya. Dia mau kembali lagi kepada bekas istrinya itu, tetapi maqal bin yasar (sebagai wali perempuan itu) bersumpah untuk tidak mau mengawinkan saudara perempuannya dengan bekas suaminya. Abu daud menambahkan bahwa ma‟qal bin yasar berkata: lalu saya mengkafaratkan sumpahku dan saya mengawinkan dia dengan bekas suaminya. 38 Selain Alquran, dalam hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum oleh golongan Jumhur ulama adalah:
ّ : ع َْٓ عَا ِئ ِشح ّّا اِشأج ٔىسد٠ ا,عٍُ لايٚ ٗ١ٍص ًَّ هللا ع َ ْ َي هللاُٛاْ َسع )ٜاٖ اٌرشِزٚا تا طً (سٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْ شار١تغ
39
Artinya: Dari Aisyah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: setiap perempuan manapun yang menikah tanpa seizin para walinya, maka nikahnya batal. (HR. At Tirmidzi). Menurut Jumhur ulama bahwa hadis tersebut terkandung dalil bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Tidak ada wewenang baginya dalam pernikahan baik ijab maupun kabul, wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seizin walinya atau orang yang selain walinya. Dia juga tidak boleh mengawinkan wanita lain sebagai wali atau sebagai wakilnya, dan wanita juga tidak boleh menerima pernikahan sebagai wali atau sebagai wakil. Jumhur ulama mengemukakan dalil hadis
38 39
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 435. At Tirmidzi, Al-jami’ al-Shohih. Hadis no. 1102, hlm. 407.
20
tersebut
berdasarkan pada firman Allah SWT (surat Al Baqarah, ayat: 232)
adalah janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka untuk menikah lagi dengan suaminya. 40 b. Abu Hanifah, Zuhar, Sya‟by dan Zuhri. Abu Hanifah, Zuhar, Sya‟by dan Zuhri berpendapat bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa wali, asal saja calon suami suami istri itu sekufu atau mempunyai kedudukan yang sederajat.41 Adapun ayat Alquran yang dijadikan sebagai dasar hukumnya adalah:
Artinya: Kemudia apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka 42 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS. Al Baqarah (1): 234).43 Dari ayat tersebut golongan Hanafiyah menyatakan bahwa perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin) dan meniadakan campur tangan kepada orang lain (wali), dari ayat tersebut pula golongan hanafiyah memahami bahwa fa‟il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan adanya wali. Dari ayat itu pula, golongan ulama Hanafiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri dalam pernikahannya dan tidak perlu adanya wali untuk mengakadkannya. Alasan rasionalnya adalah orang yang telah dewasa dan sehat
40
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 427 Mohammad Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga Dalam Islam. hlm. 74. 42 Berhias atau bepergian atau menerima pinangan. 43 Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. hlm.57. 41
21
akalnya dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya. 44 Selain Alquran dalam hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum oleh golongan Abu Hanifah adalah:
ّ ة از١اٌث: َ لاي. صٟث ّ ّإٙ عٌٝ هللا ذعاٝعٓ اتٓ عثاط سض اٙك تٕفغ ّ ٌّٕاْ ا )إٌغااٚ دٚداٛاٖ اتٚخ (سٛا اٌغّىٙٔارٚ اٌثىش ذغرأِشٚ اّٙ١ٌٚ ِٓ
45
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a (katanya): sesungguhnya Nabi SAW bersabda: perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, dan gadis dimintai izinnya, dan izinya adalah diamnya. (HR. Abu Dawud dan Nasa‟i). Dari hadis tersebut Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang berakal dan balig, boleh mengawinkan dirinya sendiri dan mengawinkan anak perempuanya yang di bawah umur serta mewakili orang lain, akan tetapi jika dia menyerahkan dirinya kepada lelaki yang tidak sekufu dengannya, maka para wali berhak menentangnya. Selain itu, menurut ulama hanafiyah bahwa sesungguhnya tidak disyaratkan wali secara mutlak dalam pernikahan, berdasarkan argumentasi qiyas pada jual beli, sesungguhnya orang perempuan itu bebas menjual barang dagangannya. Akan tetapi menurut para ulama menilai qiyas tersebut adalah qiyas rusak, batil, karena pada dasarnya qiyas harus disertai dengan nash Alquran atau hadis. 46
44
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ... hlm. 70. As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 432. 46 Ibid. hlm. 435. 45
22
Dari dua kubu yang berbeda tersebut, dalam hal mengenai keberadaan wali dalam akad pernikahan secara prinsip dapat dirinci sebagai berikut: 47 a. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal maupun tidak, diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali. b. Ulama Syafi‟i dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak dan tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya. c. Pendapat Imam Malik menurut riwayat Asyhab wali mutlak dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali, namun menurut riwayat Ibnu Qasim, keberadaan wali hanyalah sunnah dan hukumnya tidak wajib, dalam literatur lain dinukilkan bahwa keberadaan wali hanya diwajibkan bila perempuan yang kawin itu adalah perempuan yang bangsawan dan tinggi martabatnya, sedangkan selain itu tidak diperlukan wali. d. Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk melangsungkan perkawinan.
47
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ... hal. 74.
23
2. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) tidak menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam bab II tentang syaratsyarat perkawinan pada pasal 6 adalah sebagai berikut: (1).Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2).Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3).Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4).Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5).Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
24
dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. (6).Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Dari pasal tersebut Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan. Yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan hanyalah orang tua, itu pun dalam kedudukan sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang demikian pun apabila calon mempelai berumur di bawah 21 tahun. Hal ini mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun peranan orang tua tidak ada sama sekali. 48 Dengan
demikian
walaupun
Undang-undang
Perkawinan
tidak
menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan, akan tetapi dalam Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa, perkawinan dikatakan sah apabila perkawinan tersebut telah dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat (1) adalah Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
48
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ... hlm. 79.
25
Berbeda dengan KHI, mengenai wali nikah dimasukan sebagai rukun dalam perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 adalah untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon istri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan kabul. Selain itu dalam KHI, adanya wali nikah bagi mempelai perempuan dalam akad perkawinan merupakan suatu rukun yang harus dipenuhi. Dalam KHI pasal 19 disebutkan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Dari pasal tersebut menunjukan bahwa keberadaan wali bagi mempelai perempuan dalam pernikahan merupakan suatu yang mesti dan tidak sah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya wali. 49 Dengan demikian walaupun KHI berbeda dengan Undang-undang Perkawinan dalam menentukan syarat atau rukun perkawinan, akan tetapi pada asalnya materi dalam KHI yang bersumber dari Undang-undang Perkawinan, yang disusun dengan maksud untuk melengkapi Undang-undang Perkawinan, dan dalam KHI ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan. 50 Sehingga disimpulkan bahwa berdasarkan KHI pasal 19 tersebut, maka dalam hukum perdata Islam di Indonesia mengenai pernikahan bahwa keberadaan wali dalam akad pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai perempuan yang akan melangsungkan akad pernikahan dan tidak sah akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. 49 50
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ... hlm. 69. Ibid. 31.
26
C. Syarat Wali Nikah Wali merupakan orang yang bertanggung jawab atas sah atau tidaknya dalam akad pernikahan, oleh sebab itu tidak semua orang dapat menjadi wali, akan tetapi seseorang dapat dikatakan sah menjadi wali nikah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Sayyid Sabiq dalam bukunya fikih Sunnah 7,51 mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut: Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa, baik itu penganut islam maupun bukan. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. Allah telah berfirman:
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orangorang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. AnNisa (5): 141).52 Dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, 53 syarat-syarat menjadi wali adalah: 1. Beragama Islam
51
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, Terj. Muhammad Tholib. hlm. 7 Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. hlm. 146. 53 Department Agama RI, Pedoman Pegawai Pencata Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, 1997/ 1998), hlm. 33. 52
27
2. Balig. 3. Berakal. 4. Tidak dipaksa. 5. Jelas laki-lakinya. 6. Adil (bukan Fasik). 7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh. 8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah). 9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya. Sedangkan syarat wali dalam KHI, disebutkan dalam pasal 20 ayat (1) adalah yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil balig. D. Macam-macam Wali Nikah dan Urutannya Dari beberapa orang yang dinyatakan berhak menjadi wali, dapat di golongkan menjadi tiga macam, yaitu wali nasab (segi keturunan), wali hakim (sultan atau penguasa) dan wali muhakkam (wali yang diangkat oleh mempelai perempuan).54 1. Wali nasab Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. 55 Adapun mengenai urutan-urutan wali nasab adalah sebagai berikut:56
54
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 46. 55 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I. hlm. 89.
28
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas. 2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak). 3. Saudara laki-laki sebapak. 4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung. 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah. 6. Paman (saudara dari bapak) kandung. 7. Paman (saudara dari bapak) sebapak. 8. Anak laki-laki paman kandung. 9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah. Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan yang di atas yang termasuk wali aqrab adalah ayah, sedangkan yang termasuk wali ab’ad yaitu kakek, akan tetapi jika ayah tidak ada maka kekek menjadi wali aqrab dan paman dari ibu menjadi wali ab’ad dan seterusnya. 57 Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah sebagai berikut: a. Apabila wali aqrabnya non muslim. b. Apabila wali aqrabnya fasik. c. Apabila wali aqrabnya belum balig. d. Apabila wali agrabnya gila. e. Apabila wali aqrabnya bisu atau tuli.
56
Mohammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), Cet. Ke-15, hlm. 55 57 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1.hlm.91.
29
Di sisi lain mengenai tertib urutan wali nasab dalam dalam KHI, disebutkan dalam pasal 21 adalah: (1).Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu di dahulukan dari pada kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yaitui ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka, Ketiga, kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka (2).Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang samasama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (3).Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang samasama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (4).Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kekerabatan seayah, mereka samasama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat wali.
30
2. Wali hakim Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah atau lembaga mayarakat yang biasa disebut dengan Ahlul Halli wal Aqdi untuk menjadi qadhi dan diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah dalam suatu perkawinan. 58 Rasulullah SAW bersabda:
ّّا اِشاج ٔىسد٠َ ا.ي هللا صٛ لاي سع:ا لاٌدٕٙ هللا عٝع َْٓ عَا ئِ ِشح سض اٙشتّااعرسًّ ِٓ فشخٌّٙا اٍٙا فٙا تا طً فاْ دخً تٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْشار١تغ ) ٌٗ (أخشخٗ االستعح إال إٌغااٌٟٚال ِٓ ٌٟٚ ّ ّ ْا فاٌغٍّطاٚفاْ اشردش
59
Artinya: Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i). Yang dimaksud pertengkaran dalam hadis tersebut adalah penolakan atau pembangkangan mereka para wali untuk mengakad nikahkan perempuan di bawah perwaliannya, oleh karena penolakan para wali tersebut, maka perwaliannya berpindah kepada sultan atau hakim, jika wali terdekat menolaknya. Ada ulama yang mengatakan: perwaliannya pindah kepada wali yang jauh dan perpindahan perwalian itu kepada sultan berdasarkan larangan wali terdekat kepada wali yang jauh adalah sesuatu yang mungkin. Itu menunjukan bahwa sultan atau hakim 58
Ahmad Zuhdi Mudhor, Memahami Hukum Perkawinan. (Bandung: Al Bayan, 1994), Cet. Ke-1, hlm. 63. 59 As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 428.
31
tersebut menjadi wali karena tidak ada walinya, atau penolakan wali atau sepadan keduanya, yaitu karena ketiadaan wali/ jauh tempatnya. 60 Adapun mengenai pernikahan menggunakan wali hakim, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:61 a. Tidak ada wali nasab. b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad. c. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh + 92, 5 km atau dua hari perjalanan. d. Wali aqrab di penjara atau tidak bisa ditemui. e. Wali aqrabnya ‘adhol. f. Wali aqrabnya mempersulit. g. Wali aqrabnya sedang dalam ihram. h. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah. i. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada. Wali hakim tidak berhak menikahkan apabila sebagai berikut: a. Wanita yang akan dinikahkan belum balig. b. Kedua belah pihak mempelai tidak sekufu (sederajat). c. Tanpa seizin wanita yang akan menikah (mantan istrinya). d. Di luar daerah kewenangannya.
60 61
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. hlm. 430. Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1. hal. 92.
32
Menurut Sayyid Sabiq,62 wewenang wali nasab berpindah ke wali hakim, apabila: a. Ada pertentangan di antara wali-wali misalnya: ada penolakan dari wali sehingga wali tersebut enggan untuk menjadi wali nikahnya. b. Bila mana walinya tidak ada, dalam pengertian tidak ada yang absolut (mati, hilang), atau karena ghaib. Apabila datang laki-laki yang sepadan dan melamar kepeda perempuan yang sudah balig dan ia menerimanya tetapi tak seorang pun dari walinya yang hadir waktu itu, misalnya karena ghaib sekalipun tempatnya dekat, tetapi di luar alamat pihak perempuan. Maka dalam keadaan seperti itu hakim berhak mengakadkannya. Kecuali kalau perempuan dan lakilaki yang akan kawin tersebut bersedia menanti kedatangannya walinya yang ghaib itu. Di samping itu, dalam hal mengenai wali hakim, dalam KHI diatur dalam pasal 23 sebagai berikut: (1). Wali hakim baru dapat betindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mengadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. (2). Dalam hal wali ‘adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
62
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, Terj. Muhammad Tholib. hlm. 29.
33
Sedangkan orang yang bertindak sebagai wali hakim, diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesi No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Bab III tentang Penunjukan Wali Hakim pada pasal 4 adalah sebagai berikut: (1). Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawa Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini. (2). Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota madya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/ Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam Wilayahnya. Pada asalnya wali hakim dalam hukum perdata di Indonesia khususnya mengenai perkawinan, berfungsi sebagai penyeimbang kedudukan wali dalam pernikahan, wali hakim digunakan ketika wali nasab ‘adhol dan tidak ada lagi wali dari keluarga mempelai perempuan yang bersedia untuk menjadi wali nikahnya maka pernikannya menggunakan wali hakim. Selain itu pernikahan yang diijabkan oleh wali hakim tetap sah hukumnya sepanjang ketentuan-ketentuannya dipenuhi. Alternatif ini dimaksudkan agar hukum Islam tetap responsif terhadap tuntutan situasi, dalam upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. 63
63
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. hlm. 94.
34
3. Wali Muhakam Wali muhakam adalah apabila wali nasab tidak dapat menjadi wali karena sebab-sebab tertentu dan wali hakim tidak ada maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam yang diangkat oleh kedua calon mempelai. 64 Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fikihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.65 E. Wali Mujbir Wali mujbir ialah wali yang dapat memaksakan perkawinan atas nama orang-orang yang ada di bawah perwaliannya, dan ia tidak memerlukan izin atau persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang di bawah perwaliannya itu untuk melaksanakan perkawinan mereka. 66 Yang dinamakan ijbar (mujbir) adalah hak seorang ayah (ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan dengan syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 67 1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang menjadi wilayat (calon pengantin wanita). 2. Calon suaminya sekufu dengan calon istri atau yang lebih tinggi. 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nkah.
64 65
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. hlm. 42. M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. Ke-2,
hlm. 25. 66 67
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. hlm. 100. Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1. hlm. 96.
35
Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak ijbar menjadi gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan. Sedangkan mengenai wali yang tidak mujbir adalah: 68 1. Wali selain ayah, kakek dan terus ke atas. 2. Wilayatnya terhadap wanita-wanita yang sudah balig, dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Bila calon pengantin wanitanya janda maka izinnya harus jelas baik lisan maupun tulisan. 4. Bila calon pengantin wanitanya gadis, maka cukup dengan diam. Adapun pendapat para fuqoha mengenai wali mujbir adalah sebagai berikut sebagai berikut:69 1. Menurut Syafi‟i wali mujbir itu ialah bapak, kekek, dan seterusnya ke atas, sedangkan wali-wali yang lain bukanlah wali mujbir. Di samping itu imam syafi‟i menyatakan dasar perwalian mujbir ialah bagi orang laki-laki, apabila ia belum balig, perempuan apabila ia belum kawin dan orang gila baik lakilaki maupun perempuan. 2. Imam Hanafi berpendapat bahwa semua wali dapat menjadi wali mujbir, sesuai dengan pengertian wali itu sendiri, selain itu menurut Imam Hanafi orang-orang yang termasuk di bawah wali mujbir adalah anak-anak dan orangorang gila laki-laki atau perempuan, wanita-wanita yang balig dan berakal baik gadis ataupun janda tidak termasuk di bawah wali mujbir. 68 69
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1. hlm. 96. Ibid.
36
3. Menurut Imam Hambali dan Maliki pada asasnya wali mujbir itu hanyalah bapak saja, orang lain boleh diangkat menjadi wali mujbir apabila telah mendapatkan wasiat dari bapak. Walaupun pada dasarnya wali mujbir mempunnyai kewenangan penuh terhadap orang di bawah perwaliannya untuk memaksakan pernikaannya, akan tetapi tidak boleh di sampingkan bahwa prinsip dari perkawinan tersebut adalah adanya kerelaan, serta persetujuan dari keduanya. Sehingga alangkah baiknya jika wali tersebut memusyawarahkan terlebih dahulu kepada mempelai perempuan yang ada dibawah perwaliannya. F. Wali ‘Adhol Wali ‘adhol ialah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi wali enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik. 70 Terjadinya wali ‘adhol memang tidak dapat dipungkiri, hal ini dikarenakan adanya perselisihan atau perbedaan pendapat antara anak dan orang tuanya atau walinya mengenai pernikahannya, baik dari segi jalan pikiran, maupun kebijaksanaan yang mereka miliki. Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak beralasan, apabila orang tua tidak menyetujui perkawinan anaknya dan menolak untuk menjadi wali dalam pernikahannya, misalnya, orang tua menolak atas pertimbangan materi, pangkat, sifat-sifat lahiriyah calon suami, dan bukan atas pertimbangan agama dan akhlak maka dianggap telah melakukan ‘adhol.
70
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. hal. 243
37
Selain itu apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang seimbang (sekufu) dan walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan maka wali tersebut ‘adhol, dengan demikian hakim berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya sekufu, dan telah memberi nasihat kepada wali agar mencabut keberatannya tersebut.71 Adapun mengenai penetapan wali ‘adhol diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.2 Tahun 1987 tentang wali hakim, dalam Bab II mengenai penetapan ‘adhol nya wali, pada pasal 2 dan 3 adalah sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1). Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim. (2). Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. (3). Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calonmempelai wanita. Pasal 2 adalah pemeriksaan dan penetapan adalnya Wali bagi calon mempelai wanita warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.
71
Sulaiman Rasjid, Fikih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004) hal. 38
38
BAB III PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI ‘ADHOL di KABUPATEN BATANG. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. KUA Kabupaten Batang Salah satu dari berberapa Kantor Urusan Agama (KUA) yang ada di Kabupaten Batang adalah KUA Kecamatan Batang, yaitu bertempat di Jl. Jend A. Yani No.13 Kauman Batang, dan mempunyai ruang lingkup kerja di 21 Desa/ Kelurahan. Penulis beralasan bahwa di KUA Kecamatan Batang mempunyai ruang lingkup kerja paling banyak dari pada KUA lain yang berada di Kabupaten Batang, selain itu di Kecamatan Batang jumlah penduduknya paling banyak dari pada di kecamatan-kecamatan yang lain, sehingga dari keadaan tersebut memungkinkan terjadinya pernikahan menggunakan wali hakim di KUA Kecamatan Batang. Adapun mengenai tugas dan fungsi dari KUA Kecamatan Batang adalah mengacu pada KMA Nomor 373 th 2002 pasal 88 adalah: a. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan di bidang nikah dan rujuk serta pemberdayaan Kantor Urusan Agama. b. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan di bidang pengembangan keluarga sakinah dan pemberdayaan keluarga terbelakang. c. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan serta perlindungan konsumen di bidang produk halal.
39
d. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan di bidang pemberdayaan masyarakat dhuafa dan bantuan sosial keagamaan. e. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan serta prakarsa di bidang ukhuwah islamiyah,jalinan kemitraan dan pemecahan masalah umat. f. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan di bidang wakaf, zakat, infak dan shodaqoh. g. Melaksanakan pelayanan dan bimbingan di bidang kemasjidan. 2. Forum Bahtsul Masa’il NU di Kabupaten Batang. Batang adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terletak di jalur pantura 84 km sebelah barat kota Semarang, Kabupaten Batang terbagi atas wilayah pantai atau dataran rendah dan pegunungan serta dataran tinggi, yang terbagi atas 15 Kecamatan, 235 Desa, dan 9 Kelurahan. 72 Selain itu di Kabupaten Batang merupakan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam yang di dalamnya terdapat banyak ormas-ormas Islam, salah satu ormas Islam di Kabupaten Batang di antaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senangtiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga Negara. Adapun tujuan NU adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan
72
http://www.batangkab.go.id/index.php dikutip tanggal, 25 maret 2012.
40
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan menjunjung tinggi martabat manusia.73 Menurut Ustad Khabib Ghozi selaku sekretaris forum Bahtsul Masa‟il di Kabupaten Batang, mengatakan bahwa dalam kepengurusan NU di Kabupaten Batang tidak berbeda dengan kepengurusan NU kota-kota lain, yang di dalamnya terdapat berberapa macam lembaga di antaranya adalah:74 a. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). b. Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nahdlatul Ulama (LP Ma‟arif NU). c. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPKNU). d. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU). e. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU). f. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI). g. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU). h. Lembaga Takmir Masjid Indonesia Nahdlatul Ulama (LTMI). i.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU.
j.
Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI).
k. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH). l.
Lembaga Bathsul Masa‟il (LBM-NU). Salah satu dari lembaga tersebut di antaranya adalah Lembaga Bathsul
Masa‟il (LBM-NU)
yaitu lembaga syuriah yang bertugas antara lain
menyelenggarakan forum bahtsul masa‟il secara rutin. Adapun mengenai tugas dari forum bahtsul masa‟il di Kabupaten Batang menurut Ustad Khabib Ghozi 73 74
M.A Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial. hlm. 228. Wawancara dengan Ustad Khabib Ghozi, tanggal 17 April 2012.
41
adalah melakukan pengkajian terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang diikuti oleh syuriah dan ulama-ulama NU baik yang berada di luar struktur organisasi, termasuk para pengasuh pesantren, yang kemudian dari fatwa atau keputusan hukum yang dibahas tersebut dipublikasikan ke cabangcabang pengurus NU dengan maksud untuk kemaslahatan umat.75 Di samping itu menurut beliau bahwa dalam struktur kepengurusan bahtsul masa‟il Kabupaten Batang tidak dibuat secara rinci mengenai struktur kepengurusanya, hanya saja di dalam struktur kepengurusannya tersebut terdapat ketua dan sekretaris saja, adapun mengenai ketua bahtsul masa‟il Kabupaten batang adalah KH. Zaenal Iroqi dan sekretarisnya adalah Khabib Ghozi. Menurut beliau bahwa walaupun tidak dibuat struktur kepengurusan secara rinci, akan tetapi penyelenggaraan forum bahtsul masa‟il Kabupaten Batang sering dilakukan. Adapun mengenai madhab yang dianut oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menurut KH. Zaenal Iroqi yang juga sebagai ketua forum bahtsul masa‟il NU di Kabupaten Batang di antaranya adalah menganut madhab Syafi‟I, akan tetapi dimungkinkan untuk beralih ke madhab yang lain sesuai dengan kebutuhan (hajah) yang dimungkinkan terjadi, meski pun kenyataannya sehari-hari para ulama NU menggunakan fikih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi‟i. 76 Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk hukum dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber
75 76
Wawancara dengan Ustad Khabib Ghozi, tanggal 17 April 2012. Wawancara dengan KH. Zaenal Iroqi, tanggal 18 April 2012.
42
dari mazhab Syafi‟i, hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak selalu melawan budaya konvensional berpaling ke madhab yang lain. Dalam mengambil keputusan hukum yang dilakukan oleh ulama NU yang tergabung dalam forum bathsul masa‟il menurut Ustad Abdullah Mudji yang juga sebagai selaku pengurus forum bahtsul masa‟il Kecamatan Limpung menyatakan bahwa dalam pengambilan suatu keputusan hukum di forum bahtsul masa‟il di Kabupaten Batang bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu Alquran dan hadis. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan cara men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam hal ini Syafi‟iyah dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. 77 Adapun mengenai prosedur pengambilan keputusan hukum khususnya di forum bahtsul masa‟il Kabupaten Batang, menurut beliau adalah: 1. Apabila masalah yang di cari hukumnya sudah ada jawabannya dalam kitabkitab standard78 dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qaul atau wajah, maka qaul atau wajah tersebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan. 2. Apabila dalam kitab-kitab standard tersebut terdapat bebrapa qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqriri jama’i untuk menetukan pilihan salah satu qaul atau wajah. Yaitu dengan cara sebagai berikut: a. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (Imam Nawawi dan Rafi‟i). b. Pendapat yang berpegang pada al-Nawawi saja. c. Pendapat yang berpegang pada al-Rafi‟i saja. 77
Wawancara dengan Ustad Abdullah Mudji, tanggal 16 April 2012. Anatara lain: al-Muhadzdzab, Bughyah al-Mustarsyidin, I‟anah al-Thalibin, Nihayah alMuhtaj, Nihayah al-Zein, Al-Syarqawy ala al-Tahrir, Ghoyatu Talkhisil Murod, dsb. 78
43
d. Pendapat ulama yang paling wara‟. e. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. 3. Apabila masalah yang di cari hukumnya tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab-kitab standard (baik qaul maupun wajah), langkah yang dilakukan adalah ilhaq79 ( )ئرها بنظا المسائل إلحاقyang dilakukan oleh ulama (ahli) secara jama‟i (kolektif). Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih, wajh al-ilhaq. 4. Apabila tidak terdapat jawabannya (sama sekali) dalam kitab-kitab standard (baik qauli maupun wajah), dan tidak memungkinkan untuk melakukan Ilhaq, maka langkah yang ditempuh adalah istinbath secara kolektif dengan prosedur bermadzhab secara manhajy. 80 Istinbath hukum tersebut merupakan alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak memungkinkan (ulama) untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih dan wajh al-ilhaq. Ia (istinbath) dilakukan secara jama’i dengan mempraktekkan (mengaplikasikan) kaidah ushul dan kaidah fikih.
79
Adalah menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya). 80 Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh oleh Lajnah Bahtsul Masa‟il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh para imam madhab.
44
B. Pernikahan menggunakan wali hakim karena wali ‘Adhol. 1. Praktek pelaksanaan pernikahan menggunakan wali Hakim di KUA Kecamatan Batang. Dalam pelaksanaan pernikahan yang dicatatkan di KUA Kecamatan Batang, tidak semuanya menggunakan wali nikah dari wali nasabnya, akan tetapi ada juga yang menggunakan wali hakim. Dari data catatan peristiwa nikah yang terjadi di KUA Kecamatan Batang antara tahun 2010 sampai 2011 terdapat 2791 peristiwa nikah, yang terdiri 2626 peristiwa nikah dengan wali nasab dan 165 peristiwa nikah dengan wali hakim karena wali „adhol. Tabel Peristiwa Nikah di KUA Kecamatan Batang – Kabupaten Batang Tahun 2010 - 2011 Wali Nasab
Hakim
Jumlah Peristiwa Nikah
2010
1282
80
1362
2011
1344
85
1429
Jumlah
2626
165
2791
No
Tahun
1 2
Sumber: Arsip KUA Kecamatan - Batang Menurut Muhammad Ali Ma‟ruf,81 selaku kepala KUA Kecamatan Batang menuturkan bahwa, pelaksanaan pernikahan di KUA Kecamatan Batang masih ada pernikahan yang dilakukan menggunakan wali hakim karena wali „adhol, pelaksanaan pernikahan menggunakan wali hakim kebanyakan didasari karena wali dari mempelai perempuan tersebut menolak untuk menikahkan anaknya
81
Wawancara dengan Muhammad Ali Ma‟ruf, tanggal 3 April 2012 di kantor KUA Kecamatan Batang
45
dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam, sehingga dari keadaan itu maka wali tersebut enggan untuk menjadi wali nikah dalam pernikahannya. Adapun mengenai sebab-sebab wali „adhol dalam pernikahan yang tangani oleh KUA Kecamatan Batang, menurut beliau adalah adanya penolakan yang dilakukan oleh wali dengan alasan sebagai berikut: 1. Wali merasa sakit hati terhadap anaknya, yaitu manakala dalam proses peminangan wali tersebut tidak diberitahu oleh kedua calom mempelai, sehingga wali tersebut sakit hati dan enggan untuk menjadi wali nikahnya. 2. Menilai dari status ekonomi calon mempelai laki-laki. Misalnya, calon mempelai laki-laki tidak berkerja, calon mempelai laki-laki miskin, dan lain sebagainya. 3. Karena calon mempelai perempuan sudah hamil sebelum pernikahan. 4. Sebelumnya hubungan antara anak dan walinya sudah tidak harmonis lagi, sehingga dalam permohonan untuk menjadi sebagai wali nikahnya, wali tersebut meminta beberapa syarat atau imbalan yang bersifat materi dan alasan yang lain yang tidak berhubungan dengan syariat Sedangkan praktek pernikahan menggunakan wali hakim di KUA Kecamatan Batang, menurut beliau adalah: 1. Sebelumnya calon mempelai terlebih dahulu mengajukan permohonan pernikahan menggunakan wali hakim di PA setempat dan setelah PA setempat memutuskan wali dari mempelai wanita ‘adhol maka PA setempat memberikan surat keputusan ke KUA Kecamatan Batang yang isinya
46
menyatakan permohonan untuk dilakukan pernikahan menggunakan wali hakim 2. Setelah mendapatkan surat keputusan dari pengadilan agama Kabupaten Batang tentang permohonan untuk melaksanakan pernikahan menggunakan wali hakim yaitu kepada pihak-pihak yang terkait, maka dari surat tersebut KUA Kecamatan Batang melaksanakan pernikahanya dengan menggunakan wali hakim. 3. Dalam pelaksanaan pernikahan menggunakan wali hakim di KUA Kecamatan Batang, dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Kepala KUA dan setelah pelaksaan perikahan tersebut selesai dan telah dikatakan sah oleh para saksi, maka KUA Kecamatan Batang mengeluarkan akta nikah untuk kedua mempelai tersebut dengan keterangan di akta nikahnya menggunakan wali hakim. 2. Pandangan Ulama NU di Kabupaten yang tergabung dalam forum Bathsul Masa’il tentang Perpindahan wali Nasab ke wali Hakim. a. Menurut KH. Zaenal Iroqi,82 KH Zaenal Iroqi yang juga sebagai pimpinan pondok pesantren darul ulum kandeman, dalam hal mengenai pernikahan menggunakan wali hakim, beliau berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan menggunakan wali hakim tetap sah hukumnya, sepanjang pelaksanaanya tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Selain itu bahwa wali hakim dalam pernikahan merupakan alternatif
82
Wawancara dengan KH. Zaenal Iroqi, tanggal 18 April 2012.
47
apabila mempelai perempuan tersebut yang akan melangsungkan pernikahnya tidak mempunyai wali atau walinya „adhol. Selain itu beliau menyatakan bahwa wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila: 1. Keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (jarak untuk mengqasar waktu sholat). 2. Keberadaan wali tidak diketahui. 3. Wali menolak untuk menikahkan )ٌٌٟٛ)عضً ا. 4. Wali sulit dihubungi. Adapun yang dijadikan sebagai dasar hukumnya adalah kitab muhadzab juz II sebagai berikut:
ْا اٌغٍطاٙخٚ ا صٍٙ وفؤ فعضٍٝ إْ دعد إٌّىسح عٚ Menurut beliau dalam kitab tersebut menunjukan bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah untuk menikah dan meminta dinikahkan dengan laki-laki yang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Sedangkan dalam Al quran
yang dijadikan sebagai dasar hukumnya
adalah
إُِِٛ ُْؤ٠ ََّٝٓ َزر١ا ْاٌ ُّ ْش ِش ِوُٛالَ ذُٕ ِىسَٚ Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.(QS.Al Baqarah: 221) 83
83
Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. hlm.53.
48
Di samping itu beliau menyatakan bahwa apabila wali tersebut menggunakan hak ijbarnya yakni memaksa untuk menikahkan kepada laki-laki yang lain yang dapat dikatakan keduanya belum tentu sama-sama mencintai, maka yang demikian ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perkawinan yakni adanya kerelaan dan persetujuan kedua mempelai. b. Menurut Ustad Abdullah Mudji. 84 Ustad Abdullah Mudji selain sebagai pengurus bahtsul masa‟il kecamatan limpung beliau juga sebagai pengasuh pondok pesantren radlotul muhtadin desa dlisen limpung, dalam hal memberikan pendapatnya tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali „adhol beliau berpendapat bahwa, pada dasarnya wali hakim digunakan ketika mempelai perempuan yang akan menikah tidak mempunyai wali sama sekali atau keseluruhan wali nasabnya telah sepakat menolak menjadi wali nikahnya terhadap anaknya atau orang yang ada di bawah perwaliannya yaitu dengan alasan bukan pertimbangan syar‟I, maka dengan demikian hakim yang menjadi wali nikahnya. Adapun yang dijadikan sebagai dasar hukumnya adalah kitab I'anatut Tholibin, Juz III hal, 307 dan 315.
ٌَٗ الَٛ) ل ْ واٌَٛٚ لشتاء ٍي ِ ِٓ ْاألٌٟٚ د ٍيٛخٚ ا ٌٍِساوُ ِعٍٕٙم٠ الٌَٞساوُ( أ دٛخِٛ ٕ٘اٌٌٟٛاٚ ٌٗ ٌَٟٚ ِٓ الٌٟٚ ّ ّ ٛ٘ رٌه ِ َْ اٌساوُ ّ إِّٔاٚ ذا١تع Bahwa dalam kitab tersebut menunjukan bahwa, tidak boleh pindah kepada hakim artinya (perwalian itu tidak boleh pindah kepada hakim beserta wujud dari wali dari kerabat meskipun jauh). Yang demikian itu karena
84
Wawancara dengan Ustad Ahmad Mudji, tanggal 16 April 2012.
49
sesungguhnya hakim itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak ada wali baginya, sedangkan di sini wali itu ada.
ٓ١ا ِشزٍرٙائ١ٌٚ الشب اٞ غاب اٚالء اٚ ٚا اٌخاص تٕغة اٙ١ٌٚ َعذٚ ْ اٌغٍطاًٍٝ زاضش لذَ ع١وٚ ٌٗ ْح (فاْ وا٠ٚ اٌرضًٝ زاضش ف١وٚ ٌٗ ظ١ٌٚ )ٟٕ اٌّعرّذ خالفا ٌٍثٍمٍٝع Dalam kitab tersebut menunjukan bahwa, apabila tidak ada wali khos (sebab nasab) atau wali wala’ dan wali aqrabnya pergi pada radius dua marhalah maka pernikahanya menggunakan wali hakim. Dengan demikian pernikahan yang di ijabkan menggunakan wali hakim menurut beliau bahwa pernikannya tersebut tetap sah hukumnya, dengan catatan pelaksanaanya tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat. c. Menurut KH. Rasimin Abdul Aziz.85 Bahwa pernikahan yang dilakukan menggunakan wali hakim karena wali ‘adhol tetap sah hukumnya, sepanjang pelaksanaan pernikahannya tersebut dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Adapun yang dijadikan sebagai dasar hukumnya adalah kitab I'anatut Tholibin, Juz III hal, 307.
ٓ١ا ِشزٍرٙائ١ٌٚ الشب اٞ غاب اٚالء اٚ ٚا اٌخاص تٕغة اٙ١ٌٚ َعذٚ ْ اٌغٍطاًٍٝ زاضش لذَ ع١وٚ ٌٗ ْح (فاْ وا٠ٚ اٌرضًٝ زاضش ف١وٚ ٌٗ ظ١ٌٚ )ٟٕ اٌّعرّذ خالفا ٌٍثٍمٍٝع Apabila tidak ada wali khos (sebab nasab) atau wali wala’ dan wali aqrabnya pergi pada radius dua marhalah, maka pernikahanya menggunakan wali hakim.
85
Wawancara dengan KH. Rasimin Abdul Aziz, tanggal 18 April 2012.
50
Selain itu kaitanya dengan pernikahan menggunkan wali hakim beliau juga menilai dari aspek kemaslahatan yaitu bahwa apabila kedua mempelai tersebut yang akan melangsungkan pernikahannya dan terdapat penolakan dari wali dan tidak ada lagi wali dari pihak mempelai perempuan yang bersedia untuk menjadi sebagai wali nikahnya maka seandainya tidak nikahkan menggukan wali hakim maka dengan demikian dikhawatirkan akan mengacu keduanya untuk mengarah ke perbuatan zina. Sebagaimana dalam kaidah fiqiyah sebagai berikut:
خٍة اٌّصاٌرٍٝدسء اٌّفاعذ ِمذَ ع Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Adapun dalam hadis yang dijadikan sebagai dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
شار١ّّا اِشاج ٔىسد تغ٠َ ا.ي هللا صٛ لاٌشع:ا لاٌدٕٙ هللا عٝسض: ع َْٓ عَا ِئ ِشح ْا فاٙشتّااعرسًّ ِٓ فشخٌّٙا اٍٙا فٙا تا طً فاْ دخً تٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْ 86
) ٌٗ (أخشخٗ االستعح إال إٌغااٌٟٚال ِٓ ٌٟٚ ّ ّ ْا فاٌغٍّطاٚاشردش
Artinya: Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i). d. Menurut Ustad Khabib Ghozi.87 Dalam menanggapi tentang pernikahan menggunakan wali hakim karena wali „adhol, menurut beliau pernikahan yang dilakukan menggunakan wali hakim 86
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 428. 87 Wawancara dengan Ustad Khabib Ghozi, tanggal 19 April 2012.
51
tetap sah hukumnya, apabila keduannya sama-sama sekufu atau sederajat dan keduanya telah memenuhi syarat untuk melakukan pernikahanya. Adapun dasar hukum yang hukum yang digunakan adalah: 1. I‟anah al-Thalibin, Juz III, Hal. 315
ٓ١ا ِشزٍرٙائ١ٌٚ الشب اٞ غاب اٚالء اٚ ٚا اٌخاص تٕغة اٙ١ٌٚ َعذٚ ْ اٌغٍطاًٍٝ زاضش لذَ ع١وٚ ٌٗ ْح (فاْ وا٠ٚ اٌرضًٝ زاضش ف١وٚ ٌٗ ظ١ٌٚ )ٟٕ اٌّعرّذ خالفا ٌٍثٍمٍٝع 2. Al-Muhadzab, Juz II, Hal. 37
ْا اٌغٍطاٙخٚ صٌٌٝٛا اٍٙ وفؤ فعضٍٝ إْ دعد إٌّىسح عٚ Dalam kitab yang pertama menunjukan bahwa apabila tidak ada wali khos (sebab nasab) atau wali wala’ dan wali aqrabnya pergi pada radius dua marhalah maka pernikahanya menggunakan wali hakim. Sedangkan dalam kitab yang kedua menyatakan bahwa apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan dengan laki-laki yang seimbang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Di samping itu wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila: 1. Jika kepergiannya mencapai masafatil qashri. 2. Ta'adzurul murji'ah (tidak bisa meminta izin wali seperti karena takut). 3. Sekufu. 4. Tidak mempunyai wali sama sekali. 5. Atas kemauan perempuan sendiri.
52
BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN ULAMA NU di KABUPATEN BATANG TENTANG PERPINDAHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN KARENA WALI ‘ADHOL A. Pandangan ulama NU tentang pernikahan menggunakan wali Hakim karena wali ‘Adhol. Dalam akad pernikahan wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula orang yang diminta persetujuannya untuk melangsungkan pernikahannya. Selain itu dalam hukum perdata Islam di Indonesia, adanya wali nikah bagi mempelai perempuan dalam akad pernikahan mempunyai peran yang sangat penting, sebab semua perkawinan yang dilakukan harus ada wali nikah dari mempelai perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 19 adalah Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Sehingga akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali, maka nikahnya tidak sah atau batal. Walaupun demikian, dalam mengenai wali nikah para fukoha masih terdapat perbedaan pendapat tentang adanya wali dalam akad pernikahan, dari pendapat yang berbeda tersebut secara prinsip dapat dirinci sebagai berikut:88 1. Ulama Syafi‟i dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil,
88
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ... hal. 74.
53
janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak dan tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya. 2. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal maupun tidak, diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali. 3. Pendapat Imam Malik menurut riwayat Asyhab wali mutlak dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali, namun menurut riwayat Ibnu Qasim, keberadaan wali hanyalah sunnah dan hukumnya tidak wajib, dalam literatur lain dinukilkan bahwa keberadaan wali hanya diwajibkan bila perempuan yang kawin itu adalah perempuan yang bangsawan dan tinggi martabatnya, sedangkan selain itu tidak diperlukan wali. 4. Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk melangsungkan perkawinan. Dalam pelaksanaan perkawinan adakalanya semua yang telah di rencanakan oleh kedua calon mempelai, tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, manakala wali dari pihak mempelai perempuan menolak untuk menikahkan anaknya, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan materi, sifat-sifat lahiriyah calon suami, serta bukan atas pertimbangan agama dan akhlak,
54
sehingga dari keadaan tersebut orang tua enggan untuk menikahkan anaknya, dan dari keadaan itu pula, maka wali tersebut telah melakukan perbuatan ‘adhol. Apabila mempelai wanita yang akan melangsungkan pernikahannya tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol, maka yang manjadi walinya adalah wali hakim, wali hakim dapat menjadi wali nikahnya apabila keseluruhan wali nasabnya sudah tidak ada, atau wali aqrab dalam keadaan ‘adhol atau engan tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh agama, maka kewenangan wali nasab tersebut berpindah ke wali hakim. Sedangkan orang yang bertindak sebagai wali hakim, dalam hukum perdata Islam di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesi No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Bab III tentang Penunjukan Wali Hakim pada pasal 4 adalah sebagai berikut: 1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawa Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini. 2. Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota madya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/ Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam Wilayahnya.
55
Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa, walaupun pernikahannya tersebut dilakukan menggunakan wali hakim akan tetapi pernikahannya tersebut tetap sah, sepanjang ketentuan-ketentuannya dipenuhi dan tidak bertentangan dengan syariat. Mengenai penggunaan wali hakim sebagai wali dalam pernikahan, para ulama mempunyai alasan dan pertimbangan masing-masing yaitu ada yang berpendapat bahwa, wali hakim digunakan ketika mempelai perempuan yang akan menikah tidak mempunyai wali sama sekali atau keseluruhan wali nasabnya telah sepakat menolak menjadi wali nikahnya, dan ada juga yang berpendapat bahwa wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila: 1. Keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (jarak untuk mengqasar waktu sholat). 2. Keberadaan wali tidak diketahui. 3. Wali menolak untuk menikahkan )ٌٌٟٛ)عضً ا. 4. Wali sulit dihubungi. Disisi lain, ada yang mengatakan bahwa wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila: 1. Jika kepergiannya mencapai masafatil qashri. 2. Ta'adzurul murji'ah (tidak bisa meminta izin wali seperti karena takut). 3. Sekufu. 4. Tidak mempunyai wali sama sekali. 5. Atas kemauan perempuan sendiri.
56
Menurut pandangan penulis bahwa pernikahan menggunakan wali hakim merupakan alternatif apabila mempelai perempuan yang akan melangsungkan pernikahannya tidak mempunyai wali atau wali dari keseluruhan wali nasabnya telah sepakat menolak untuk menjadi wali nikahnya (‘adhol), sehingga dengan demikan maka pernikahannya menggunakan wali hakim. B. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum Bahtsul Masa’il. Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa, walaupun pernikahannya tersebut dilakukan menggunakan wali hakim akan tetapi pernikahannya tersebut tetap sah, sepanjang ketentuan-ketentuannya dipenuhi dan tidak bertentangan dengan syariat. Wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila, keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (jarak untuk mengqasar waktu sholat), keberadaan wali tidak diketahui, wali menolak untuk menikahkan, wali sulit dihubungi. Adapun mengenai analisis terhadap pertimbangan hukum yang digunakan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bathsul masa‟il terhadap perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol di antaranya adalah: 1. Pertimbangan berdasarkan kitab. a. Al-Muhadzab, Juz II, hal, 37
ْا اٌغٍطاٙخٚ ا صٍٙ وفؤ فعضٍٝ إْ دعد إٌّىسح عٚ
57
Apabila seorang perempuan yang layak nikah untuk menikah dan meminta dinikahkan dengan laki-laki yang derajatnya (sekufu) lalu wali nikahnya menolak, maka wali Hakim yang akan menikahkan. Dalam kitab tersebut menunjukan bahwa ukuran pernikahan menggunakan wali hakim adalah telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan dan keduanya telah sekufu. b. I'anah al- Thalibin, Juz III, hal, 307
ٌَٗ الَٛ) ل ْ واٌَٛٚ لشتاء ٍي ِ ِٓ ْاألٌٟٚ د ٍيٛخٚ ا ٌٍِساوُ ِعٍٕٙم٠ الٌَٞساوُ( أ دٛخِٛ ٕ٘اٌٌٟٛاٚ ٌٗ ٌَٟٚ ِٓ الٌٟٚ ّ ّ ٛ٘ رٌه ِ َْ اٌساوُ ّ إِّٔاٚ ذا١تع Tidak boleh pindah kepada hakim artinya (perwalian itu tidak boleh pindah kepada hakim beserta wujud dari wali dari kerabat meskipun jauh). Yang demikian itu karena sesungguhnya hakim itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak ada wali baginya, sedangkan di sini wali itu ada. Dari kitab tersebut menunjukan wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila wali dari keseluruhan wali nasab sudah tidak atau telah sepakat untuk menolak menjadi wali nikahnya (‘adhol) c. I'anah al- Thalibin, Juz III, hal. 315
ٓ١ا ِشزٍرٙائ١ٌٚ الشب اٞ غاب اٚالء اٚ ٚا اٌخاص تٕغة اٙ١ٌٚ َعذٚ ْ اٌغٍطاًٍٝ زاضش لذَ ع١وٚ ٌٗ ْح (فاْ وا٠ٚ اٌرضًٝ زاضش ف١وٚ ٌٗ ظ١ٌٚ )ٟٕ اٌّعرّذ خالفا ٌٍثٍمٍٝع Apabila tidak ada wali khos (sebab nasab) atau wali wala’ dan wali aqrabnya pergi pada radius dua marhalah maka pernikahanya menggunakan wali hakim.
58
Menurut penulis bahwa dari berberapa kitab yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il dalam menentukan hukum tentang pernikahan menggunakan wali hakim telah sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a, sebagai berikut:
شار١ّّا اِشاج ٔىسد تغ٠َ ا.ي هللا صٛ لاٌشع:ا لاٌدٕٙ هللا عٝسض: ع َْٓ عَا ئِ ِشح ْا فاٙشتّااعرسًّ ِٓ فشخٌّٙا اٍٙا فٙا تا طً فاْ دخً تٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْ 89
) ٌٗ (أخشخٗ االستعح إال إٌغااٌٟٚال ِٓ ٌٟٚ ّ ّ ْا فاٌغٍّطاٚاشردش
Artinya: Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i). Dari hadis tersebut penulis berpendapat bahwa wanita yang menikah tanpa sezin walinya maka pernikahannya tersebut tidak sah atau batal, dan apabila mempelai perempuan tersebut yang akan melangsungkan pernikahnnya tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol maka pernikahannya tersebut menggunakan wali hakim. Di samping itu mengenai kitab yang dijadikan sebagai bahan rujukannya oleh besar para ulama adalah merujuk kepada kitab I’anah Al-Tholibin, menurut penulis bahwa kitab tesebut mempunyai kapasitas lebih tinggi dibandingkan dengan kitab-kitab yang syafi‟iyah lainnya, yang dimungkinkan karena kitab I‟anah Al-Tholibin adalah sudah memuat berbagai pendapat ulama masa lalu dan memuat dinamika perkembangan hukum islam antara generasi, sehingga diyakini 89
As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 428.
59
masih sanggup menjawab berberapa masalah kontemporer yang dikaji dan dibahas oleh lajnah bahsul masa‟il. 2. Pertimbangan berdasarkan Al quran Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 221
إُِِٛ ُْؤ٠ ََّٝٓ َزر١ا ْاٌ ُّ ْش ِش ِوُٛالَ ذُٕ ِىسَٚ Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.(QS.Al Baqarah: 221) 90 Menurut penulis bahwa ayat tersebut adalah yang paling jelas menyatakan tentang syarat atau keharusan adanya wali bagi wanita ketika akan menikah, selain itu ayat tersebut ditujukan kepada para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. 3. Pertimbangan berdasarkan hadis.
شار١ّّا اِشاج ٔىسد تغ٠َ ا.ي هللا صٛ لاٌشع:ا لاٌدٕٙ هللا عٝسض: ع َْٓ عَا ِئ ِشح ْا فاٙشتّااعرسًّ ِٓ فشخٌّٙا اٍٙا فٙا تا طً فاْ دخً تٙا فٕىا زّٙ١ٌٚ ْ 91
) ٌٗ (أخشخٗ االستعح إال إٌغااٌٟٚال ِٓ ٌٟٚ ّ ّ ْا فاٌغٍّطاٚاشردش
Artinya: Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i). Dari hadis tersebut menyatakan bahwa wanita yang menikah tanpa sezin walinya maka pernikahannya tersebut tidak sah atau batal, dan apabila mempelai
90
Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. hlm.53. As Shan‟ani, Subul Al Salaam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 428. 91
60
perempuan tersebut yang akan melangsungkan pernikahnnya tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol maka pernikahannya tersebut menggunakan wali hakim. 4. Pertimbangan berdasarkan aspek kemaslahatan. Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il, menyatakan bahwa apabila kedua mempelai yang akan
melangsungkan
melangsungkan
pernikahan
pernikahannya
dan
dan
telah
tidak
ada
memenuhi larangan
syarat
untuk
syar‟I
yang
menghalanginya dan seandainya tidak di nikahkan menggunakan wali hakim, maka hal ini akan menimbulkan mudarat dengan demikian dikhawatirkan akan mengacu keduanya untuk mengarah ke perbuatan zina. Sehingga kekhawatiran atau bahaya yang akan timbul dapat segera dicegah dengan jalan pernikahan, sebagaimana dalam kaidah fikiyah yaitu:
خٍة اٌّصاٌرٍٝدسء اٌّفاعذ ِمذَ ع Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. Selain itu apabila wali tersebut menggunakan hak ijbarnya yakni memaksa untuk menikahkan mempelai wanita tersebut kepada laki-laki yang lain yang dapat dikatakan keduanya belum tentu sama-sama mencintai, maka dikhawatirkan nantinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga keduanya tidak dapat menjalankan perannya sesuai dengan perannya masing-masing, sehingga yang demikian ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam yakni adanya kerelaan dan persetujuan kedua mempelai.
61
Sedangkan di dalam Undang-undang Perkawinan menentukan salah satu syarat perkawinan di antaranya adalah persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) adalah perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Menurut
penulis
bahwa
apabila
kedua
mempelai
yang
akan
melangsungkan pernikahan telah memenuhi syarat dan tidak ada larangan syar‟I yang menghalanginya maka seandainya tidak di nikahkan menggunakan wali hakim, hal ini dikhawatirkan akan mengacu keduanya untuk mengarah ke perbuatan zina. Dengan demikian maka pernikahannya tersebut menjadi wajib hukumnya. 5. Pertimbangan berdasarkan walinya ‘Adhol. Wali ‘adhol ialah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi wali enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik. 92 Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa apabila wali tersebut menolak untuk menikahkan anaknya dengan alasan bukan atas pertimbangan syariat agama, misalnya wali tersebut menolak untuk menjadi wali nikahnya dengan alasan atas pertimbangan materi, sifat-sifat lahiriyah calon suami, serta bukan atas pertimbangan syariat agama, maka yang demikian wali tersebut telah melakukan perbuatan „adhol dan tidak ada lagi wali dari keseluruhan wali nasab yang
92
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. hal. 243
62
bersedia untuk menjadi wali nikahnya, sehingga dari keadaan tersebut pernikahanya boleh menggunakan wali hakim. Sedangkan dalam hukum perdata Islam di Indonesia mengenai penetapan wali ‘adhol diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.2 Tahun 1987 tentang wali hakim, dalam Bab II mengenai penetapan ‘adhol nya wali, pada pasal 2 dan 3 adalah sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1). Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim. (2). Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. (3). Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calonmempelai wanita. Pasal 2 adalah pemeriksaan dan penetapan adalnya Wali bagi calon mempelai wanita warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. Menurut pandangan penulis, pada asalnya wali hakim dalam hukum perdata Islam di Indonesia khususnya mengenai perkawinan, berfungsi sebagai penyeimbang kedudukan wali dalam pernikahan, wali hakim digunakan ketika wali nasab ‘adhol dan tidak ada lagi wali dari keluarga mempelai perempuan yang
63
bersedia untuk menjadi wali nikahnya, maka pernikahanya menggunakan wali hakim. 6. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat pernikahan Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il, menyatakan bahwa apabila kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan dan telah telah memenuhi syarat dan tidak ada larangan syar‟I yang menghalanginya. Akan tetapi dalam pelaksanaan pernikahan tersebut mendapat penolakan dari wali mempelai perempuan dengan alasan bukan atas pertimbangan syariat, maka pernikahannya tersebut boleh menggunakan wali hakim. Adapun mengenai syarat-syarat perkawinan Dalam Undang-undang Perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam bab II tentang syarat-syarat perkawinan pada pasal 6 adalah sebagai berikut: (1).Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2).Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3).Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4).Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
64
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5).Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. (6).Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Di samping itu dalam Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dikatakan sah apabila perkawinan tersebut telah dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat (1) adalah Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Menurut pandangan penulis, khususnya bagi bagi umat Islam bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah pelaksanaan perkawinannya tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat atau pelaksanaanya tersebut dilakukan menurut hukum Islam, dengan kata lain bahwa ketentuan agamalah yang menjadi penentu sah atau tidaknya pernikahan.
65
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dari analisis pertimbangan hukum yang digunakan oleh ulama NU di kabupaten batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il tentang perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol, bahwa pernikahan yang diijabkan oleh wali hakim tetap sah hukumnya sepanjang pelaksanaan pernikahannya tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak bertentangan dengan syariat Di samping itu wali hakim merupakan alternatif bagi mempelai perempuan yang akan melangsungkan pernikahannya akan tetapi tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol, alternatif tersebut dimaksudkan agar hukum Islam tetap responsif terhadap tuntutan situasi dalam upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat.
66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan skripsi ini yaitu tentang perpindahan wali nasab ke wali hakim dalam pernikahan karena wali ‘adhol menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan yang diijabkan oleh wali hakim tetap sah hukumnya sepanjang pelaksanaan pernikahannya tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak bertentangan dengan syariat. Pernikahan menggunakan wali hakim merupakan penyeimbang kedudukan wali dan juga sebagai alternatif bagi wanita yang akan melangsungkan pernikahan akan tetapi tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol maka pernikahannya tersebut menggunakan wali hakim. Di samping itu menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bathsul masa‟il menyatakan bahwa wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila: a. Keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (jarak untuk mengqasar sholat) b. Keberadaan wali tidak diketahui. c. Wali menolak untuk menikahkan )ٌٌٟٛ)عضً ا. d. Wali sulit dihubungi.
67
Adapun mengenai istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bathsul masa‟il di anataranya adalah sebagai berikut: 1. Pertimbangan berdasarkan kitab. a. Al-Muhadzab, Juz II, hal, 37 Menurut pandangan ulama NU yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il,
dalam
kitab
tersebut
menunjukan
bahwa
ukuran
pernikahan
menggunakan wali hakim adalah telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan dan keduanya telah sekufu. b. I'anah al- Thalibin, Juz III, hal, 307 Dari kitab tersebut menunjukan wali hakim dapat menjadi sebagai wali nikahnya apabila wali dari keseluruhan wali nasab sudah tidak atau telah sepakat untuk menolak menjadi wali nikahnya (‘adhol) c. I'anah al- Thalibin, Juz III, hal. 315 Apabila tidak ada wali khos (sebab nasab) atau wali wala’ dan wali aqrabnya pergi pada radius dua marhalah maka pernikahanya menggunakan wali hakim. 2. Pertimbangan berdasarkan Al quran Surat Al Baqarah ayat 221 Bahwa ayat tersebut adalah yang paling jelas menyatakan tentang syarat atau keharusan adanya wali bagi wanita ketika akan menikah, selain itu ayat tersebut ditujukan kepada para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali.
68
3. Pertimbangan berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW Dari Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah mengangap halal farajnya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.(HR. Imam Empat kecuali Nasa‟i). Dari hadis tersebut menyatakan bahwa wanita yang menikah tanpa sezin walinya maka pernikahannya tersebut tidak sah atau batal, dan apabila mempelai perempuan tersebut yang akan melangsungkan pernikahnnya tidak mempunyai wali atau walinya ‘adhol maka pernikahannya tersebut menggunakan wali hakim. 4. Pertimbangan berdasarkan aspek kemaslahatan. Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il, menyatakan bahwa apabila kedua mempelai yang akan
melangsungkan
melangsungkan
pernikahan
pernikahannya
dan
dan
telah
tidak
ada
memenuhi larangan
syarat syar‟I
untuk yang
menghalanginya dan seandainya tidak di nikahkan menggunakan wali hakim, maka hal ini akan menimbulkan mudarat dengan demikian dikhawatirkan akan mengacu keduanya untuk mengarah ke perbuatan zina. Sehingga kekhawatiran atau bahaya yang akan timbul dapat segera dicegah dengan jalan pernikahan, sebagaimana dalam kaidah fikiyah yaitu:
خٍة اٌّصاٌرٍٝدسء اٌّفاعذ ِمذَ ع
69
Artinya: Menolak kerusakan itu harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. 5. Pertimbangan berdasarkan walinya ‘Adhol. Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il menyatakan bahwa apabila wali tersebut menolak untuk menikahkan anaknya dengan alasan bukan atas pertimbangan syariat agama dan tidak ada lagi keseluruhan wali nasab yang bersedia untuk menjadi wali nikahnya, maka pernikahannya tersebut boleh menggunakan wali hakim. 6. Pertimbangan berdasarkan sudah terpenuhinya syarat-syarat pernikahan Menurut pandangan ulama NU di Kabupaten Batang yang tergabung dalam forum bahtsul masa‟il, menyatakan bahwa apabila kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan dan telah telah memenuhi syarat dan tidak ada larangan syar‟I yang menghalanginya. Akan tetapi dalam pelaksanaan pernikahan tersebut mendapat penolakan dari wali mempelai perempuan dengan alasan bukan atas pertimbangan syariat, maka pernikahannya tersebut boleh menggunakan wali hakim.
70
B. Saran-saran Dari beberapa uraian di atas, maka untuk itu penulis memberikan saransaran di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Bagi orang tua hendaknya tidak menghalang-halangi anaknya atau orang yang ada di bawah perwaliannya untuk melangsungkan pernikahanya apabila telah ada kerelaan, keserasian, dan kecocokan di antara keduanya untuk melangsungkan pernikahanya. 2. Bagi mempelai yang akan melangsungkan pernikahan alangkah lebih bijaksana
apabila
sebelum
melangsungkan
perkawinan
tersebut
di
musyawarahkan terlebih dahulu terhadap orang tua atau walinya dan keluarganya. 3. Bagi
ulama-ulama
hendaknya
lebih
kritis
dalam
menyikapi
suatu
permasalahan hukum yang terjadi di dalam masyarakat sehingga dengan hal ini fatwa atau hasil keputusan yang di buat oleh ulama -ulama bisa dapat di jadikan sebagai bahan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat.
71
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 1996. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 1995. Ahmad Zuhdi Mudhor, Memahami Hukum Perkawinan. Bandung: Al Bayan, 1994. Al Bassan Abdullah bin Abdurrahman, Tauhid Al Ahkam min Bulugh Al Maram, Terj. Thahirin Suparta. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. Amir Naruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. 1 /1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006. At Tirmidzi, Al-jami’ al-Shohih. Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1988. As Shan‟ani, Subul Al Salam III, Terj. Abu Bakar Muhammad. Surabaya: Al Ikhlas, 1995. Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo, 2003. Departement Agama RI, Al Qur’an dan terjemahanya. Tanpa kota: PT Bumi Restu, 1978. Department Agama RI, Pedoman Pegawai Pencata Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf, 1997/ 1998. Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990. Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. M.A Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994. Mansyur Ali Nashif, Attaajul jaami’lil ushuuli fii ahaadistsir Rasull, Terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
72
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Mohammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996. Ronny Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, Terj. Muhammad Tholib. Bandung: PT. Al Ma‟arif, 1981. Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1986. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998. Sudarto, Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004. Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: El Kahfi, 2008.
73
74
75
76
77
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. IDENTITAS PRIBADI Nama Lengkap
: Ahmad Syaifurrizaq
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat Lahir
: Batang
Tanggal Lahir
: 20 Desember 1987
Alamat
: Jl. Jend. A.Yani III/2 Kauman - Batang
RIWAYAT PENDIDIKAN MI Darul Ulum
2000
MTS. Muhammadyah
2003
MAN 3 Pekalongan
2006
STAIN Pekalongan jurusan Syar‟ah AS Tahun masuk 2006 B. DATA ORANG TUA Ayah Kandung Nama Lengkap
: Cholidin (ALM)
Pekerjaan
:-
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Jend. A.Yani III/2 Kauman - Batang
Ibu Kandung Nama
: Eloq Faeqoh
Pekerjaan:
: Dagang
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Jend. A.Yani III/2 Kauman - Batang
78