DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI “Siiaaaaap grak! Ambil posisi push up!” “Siap, ambil posisi push up.” Terdengar suara lantang pemimpin barisan memberikan komado kepada pasukannya. Namaku Chaerul Amin, yang berarti seseorang yang baik untuk dipercaya. Aku terlahir di kota di mana sosok Pang Lima Besar Indonesia−Jenderal Soedirman−dilahirkan. Kau tau di mana itu? Yap, tepat sekali, di kota Purbalingga, tepatnya pada 17 Desember 1993. Aku terlahir dari cinta kasih sepasang buruh tani di desa Kebutuh. Diriku bukanlah anak semata wayang. Aku merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Kakakku−yang
kini
sudah
membangun
rumah
tangga−hanyalah seseorang yang berijazah MTs, sedangkan adikku kini sedang menimba ilmu di bangku kelas X MA. Tertegun diriku, sekilas menatap wajah sosok yang telah membawaku tuk bisa menghirup udara di bumi ini. Wajah yang berpeluh, wajah yang menyimpan beribu pemikiran yang tersimpan dalam otaknya, wajah yang hingga saat ini tetap tak henti membanting tulang membantu ayahku. Namun, di balik
semua itu, tersimpan derita yang tersembunyi dalam semburat senyumnya. Ibuku sering mengalami sakit yang tidak dirasa. Diagnosis dokter menyatakan bahwa ibuku mengalami penyempitan syaraf selepas melahirkan diriku. Beliaulah sosok yang berati bagiku. Menempatkanku pada kasur rahim di kala diriku masih dalam kandungan. Setia membawaku kemanapun beliau pergi selama sembilan bulan lamanya. Rintihannya, bertaruh dengan nyawa tatkala beliau berjuang tuk memperkenalkan diriku pada indahnya dunia. Sampai pada akhirnya, selain merawat, membesarkan, dan mendidikku, beliau pun harus berjuang melawan kejamnya penyakit yang menyerangnya. Perjuangannya untukku, begitu luar biasa bukan? “Latihan yang keras, tekad yang kuat dapat menjadikan kita berhasil. Tak perlu memandang siapa kita, tak usah melihat darimana kita berasal, dan tak perlu menengok latar belakang kita. Keseluruhannya menjadi dorongan otak tuk berfikir dan sikap tuk bertindak, akan jadi seperti apakah kita nantinya?” sebuah penggalan kata-kata yang kuperoleh dari perjalanan hidupku.
Masa kecilku kuanggap begitu suram. Gelap tanpa penerangan. Merintih karena tertindih. Sekolah dasar biasanya dilalui dalam kurun waktu enam tahun. Berbeda dengan diriku yang harus menempuh pendidikan di sekolah dasar selama delapan tahun. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena diriku pernah tinggal kelas pada saat kelas tiga dan kelas empat. Karena saat itu sistem imunku tak bekerja melawan virus kemalasan, yang pada akhirnya menjatuhkanku pada jurang keburukan, bukan hanya bagiku tapi juga bagi orang tuaku. Kemalasanku muncul bukanlah tanpa alasan. Rasa malas itu sudah menyatu dalam darahku saat itu dikarenakan aku menyibukkan diriku dengan ngarit−istilah Jawa mencari pakan/rumput untuk makan ternak−setelah pulang sekolah. Kebiasaan ngarit itu sudah mengakar dalam diriku. Selama tiga jam kugunakan waktuku untuk memenuhi satu karung rumput. Tapi di kala rahmat-Nya turun, hasil merumput tentunya tak sebanyak di saat matahari tersenyum indah. Semua itu demi seekor kambing, kusebut sebagai hewan kesayangan, yang kudapatkan di kala diriku usai sunatan, di saat diriku duduk di bangku kelas IV SD. Kebiasaan tersebut
tetap berlanjut, kutekuni hingga tak terasa diriku sudah mengenyam pendidikan kelas X MA. Delapan tahun di sekolah dasar usai sudah. Aku melanjutkan studiku di MTs NU 09 Kutawis. Bising suara orang mengatakan bahwa orang-orang yang sekolah di MTs NU 09 Kutawis merupakan siswa buangan. Buangan karena tidak diterima di sekolah tujuan, buangan karena kalah bersaing dengan mereka yang lebih cerdas, buangan karena tersisihkan. Terdengar menjijikkan dan menyakitkan bukan? Laksana kisah katak tuli. Aku pun tak menghiraukan kicauan itu. Bagiku, sekolah di manapun tiadalah perbedaan, yang terpenting adalah kemauan untuk berproses. Seperti buku yang pernah kubaca, “jadilah berlian dalam selokan”, tetap menjadi sosok yang begitu bernilai tinggi meskipun diriku berada dalam tempat yang tak layak. Bak angin yang kilat berhembus, begitu cepat. Tak terasa kini aku berada di penghujung studiku di MTs. Saat-saat yang menentukan pun sudah kulalui. Ya, ujian kelulusan. Hal yang menjadi
momok
ketakutan
siswa.
Ucap
puji
alhamdulillah, aku dapat melaluinya dengan baik.
suykur
Termenung diriku di malam yang seharusnya aku menyibukkan diri dengan buku-buku. Di malam saat ujian, aku tidak melepas lelahku di ranjang rumahku. Aku menghindar, meratapi diri yang tak berdaya. Mata pun tak mampu menahan bendungan air mata. Rasa kesal begitu mudahnya tumbuh dalam hatiku. Rasa kesal itu kian memuncak. Setan saat itu berfoya-foya atas keberhasilannya menghasut diriku dalam jebakannya. Kesal yang turut ditemani rasa kecewa mengamuk dalam diri yang lemah ini. Ya, karena perlakuan ayahku yang enggan menggantikan posisiku untuk merumput saat ujian. Dalam fikirku, bukanlah sikap yang bijak dari seorang ayah. Kuteguhkan hatiku pada agama-Mu. Kuterima semua perlakuan yang dilemparkan pada diriku. Karena hal tersebut merupakan secuil kisah yang menggembleng mental diriku. Proses yang panjang dan menantang kini membawaku pada perubahan yang baik. Diriku yang dahulu dirundung kemalasan, kini dapat memperoleh nilai baik−versi diriku sendiri−pada mata pelajaran Matematika dengan nilai 7,00 dan IPA dengan nilai 8,75.
Usahaku melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Tak semudah membalikan telapak tangan. Niatku yang ingin terus menerus menuntut ilmu kandas oleh ultimatum yang keluar dari mulut ayahku. Ayahku bersikukuh tak memberikan ijin padaku untuk tetap berjuang di kancah pendidikan. Sampai pada akhirnya, amarahku tak terbendung hingga menjebolkan kesabaran seorang anak buruh tani ini. Ketika itu, aku turut membantu ayahku memanen padi milik Lilikku−sebutan Paman dalam bahasa Jawa. Aku yang kecewa tehadap larangan ayahku memberontak di bawah sengatan matahari. Dengan tegas aku melontarkan kata-kata, “Aku tak mau lagi ke ladang!” “Tak mau pula diriku bekerja di tempat yang panas. Ayah, aku akan tetap melanjutkan sekolahku!” Mungkin saat itu ayahku tetap menutup telinganya, enggan mendengarkan suara hati anaknya yang menggebu ingin sekolah. Entah apa yang sudah merasuki fikiran ayahku, hingga beliau bertindak layaknya batu. Kaku.
Aku pun juga tak turun tangan begitu saja. Aku tak lemah oleh larangan, tak kalah oleh tantangan, dan tak menyerah melawan rintangan. Tanpa sepengetahuan ayahku, aku tetap mengikuti ujian masuk sekolah unggulan di MA Minhajut Tholabah. Sejumlah tiga puluh siswa lah yang akan diusung menuju kelas unggulan. Sangat disayangkan, berita kurang mengenakkan pun sampai juga di gendang telingaku. Aku gagal lolos ujian. Perjuanganku menakhlukkan soal menempatkanku pada ranking
ke-32.
membengkok.
Tekadku Bak
yang
dihantam
kini palu
telah
membaja,
raksasa
yang
membinasakan. Aku terpukul dengan berita duka kala itu. Kuasa Sang Ilahi tiada yang dapat menyandingi. Tak kusangka, keajaiban Allah jatuh padaku saat itu. Beberapa nama yang telah masuk dalam kelas unggulan mengundurkan diri karena orang tua mereka kontra dengan kontrak perjanjian dari pihak MA. Alhamdulillah, ucapku. Aku diterima di kelas unggulan MA Minhajut Thalabah. Ayahku, sosok yang bersikukuh melarangku bersekolah, tersentak kaget mendengar nama beliau dipanggil di MTs.
Sebuah panggilan tuk menerima kontrak perjanjian dari MA, dengan membubuhkan tanda tangan orang tuaku di atas selembar kertas bermaterai. Tak kusangka, ayahku tetap menolak. Penolakan tersebut akhirnya mendorongku tuk tetap melangkah maju, mengambil tindakan sebagai pemberontak. Pemberontakan atas kekejaman larangan dari sosok kepala keluarga. Aku tetap melangkahkan kakiku untuk daftar ulang di MA, yang pada akhirnya pemberontakan itulah yang mampu meluluhkan hati beku ayahku. Laksana es batu, aku bertindak sebagai matahari yang dengan tega menyengat es batu dengan pancaran sinarnya, hingga mencairkan es batu yang beku. Kala itulah hatiku membumbung tinggi, bahagia yang tiada tara. Sekolah unggulan MA Minhajut Thalabah. Terdengar fantastik bukan? Yap, fantastik bagi masyarakat desa Kebutuh. Perlu kau ketahui, sekolahku merupakan sekolah yang berada di pelosok desa pinggiran, yang sepi akan keramaian, pun jauh pula jangkauannya. Sekitar ±5 KM jarak yang membentang antara rumah kediamanku dengan sekolahku. Kutempuh dengan mengayuh sepeda. Di kala pagi, kesejukan embun memberikan semangat seiring upayaku mengayuh sepeda ke
sekolah. Matahari pun tak mau kalah. Di kala siang, di saat aku pulang sekolah, matahari memberikan kehangatannya melalui sinarnya yang menyengat. Alhasil, kehangatannya−sebagai bukti penyemangat kepadaku−mampu merubah warna kulit manusia,
terutama
diriku.
Sungguh,
sebuah
pancaran
kepedulian matahari kepadaku. Tak kalah miris, uang sakuku hanya sebesar Rp 5.000,00 per minggunya jikalau orang tuaku memiliki rejeki lebih. Terkadang pula, aku sering menahan uang di kantongku. Pasalnya, saat itu jok sepadaku membutuhkan perhatian lebih dariku. Tempat duduk sepeda yang dalam bahasa Jawa disebut sedel itu, tampak tak layak pakai. Uang yang kutahan itulah yang berjasa. Berjasa karena merelakan dirinya untuk diganti dengan jok sepeda yang baru. Merelakan dirinya demi kenyamanan diriku berjuang menuntut ilmu. Perjalanan yang kulalui untuk menuntut ilmu bukanlah suatu perjalanan yang mudah. Banyak lika-liku jalan yang harus kutempuh. Jalanan yang menanjak, jalanan yang penuh aral terus menghadang langkahku. Di masa diriku kelas X MA, suatu kisah tragis yang mengancam pendidikanku tejadi.
Orang tuaku yang hanya seorang buruh tani, tak mampu melunasi uang gedung sekolah yang bernilai Rp 750.000,00. Aku terancam putus sekolah. Sampai pada saat itu tiba. Saat di mana namaku sudah tercantum dalam data siswa yang akan dipanggil di sekolah untuk di drop out. Diriku dirundung gelisah. Semangatku yang dulu menjulang tinggi, kini seakanakan terpendam oleh ancaman putus sekolah. Pun aku jarang berceloteh dan bersenda gurau dengan ayahku. Tak ada orang yang mau menghapus pilu deritaku dan tak seorang pun mampu menegakkan semangatku kembali, terkecuali sosok pahlawanku saat itu. Ya, beliaulah pa’Deku. Sosok yang perduli kepadaku. Kehendak beliau sangat berati untukku. Tanpa sepengetahuan ayahku, beliau membiayai uang gedung sekolahku. Bahagiaku tak bisa terwakilkan oleh kata-kata yang terucap dan tak terlukiskan oleh gambaran tiga dimensi. Dari situlah harapanku yang layu, tumbuh segar kembali. Semangatku yang terkekang, kini bergelora kembali. Duniaku
bersekolah
tidak
hanya
diwarnai
oleh
kesibukanku mengulas buku pelajaran. Aku juga melibatkan
diriku dengan berbagai aktivitas non-akademik, di antaranya pramuka−yang sangat kugemari, voli, dan paskibraka. Keaktifanku di bidang non-akademik tak berpengaruh kala itu. Tetap berjalan seimbang, beriringan mesra antara akademik dan non-akademik tanpa ada yang dinomorduakan. Ku
berproses
melalui
tantangan-tantangan
dan
organisasi yang kuikuti. Keterlibatanku dalam bidang nonakademik membawaku dalam sederetan ajang perlombaan. Kelas X, aku mengikuti seleksi atletik lari jarak jauh 10 Km, namun sangat disayangkan aku hanya menempati posisi ke-3, Alhamdulillah guru olahragaku sekaligus pemilik jabatan tertinggi di madrasah sebagai kepala madrasah kala itu. Beliau menawarkan kepadaku untuk bergabung dalam tim voli dan akhirnya aku ditunjuk untuk mengkuti lomba bola voli mewakili kabupaten menuju tingkat Provinsi. Sebuah kebanggan yang tiada tara. Kemampuan yang kumiliki, yang kuasah sedemikian rupa, diakui hingga di kancah kabupaten. Merasa bangga pada diriku, telah dipercaya oleh untuk menjadi delegasi yang membawa nama harum kabupaten. Sangat disayangkan, usaha timku pupus. Timku gugur pada
babak penyisihan. Laksana pohon jati yang mengugurkan daunnya di musim kemarau, hatiku gugur oleh kekalahanku dalam
perlombaan.
Namun,
hatiku
tetap
bersabar
menjelaskan, masih banyak peluang dan kesempatan yang menanti di depan sana. Tahun 2011 menjadi tahun yang penuh kebanggaan yang bercampur kisah haru pilu. Kala itu, aku dinobatkan menjadi siswa pertama kali yang masuk dalam Tim Pakibraka Kabupaten. Aku memberitahu perihal ini pada ayahku. Diriku berharap, jiwa ayahku yang keras layaknya batu, akan segera lunak oleh kabar gembira ini. Aku memberitahu ayahku untuk datang pada acara pengukuhanku sebagai Paskibraka. Berharap berita ini membuat rasa bangga dan bahagia membumbung tinggi dalam dada ayahku. Ketika acara pengukuhan dimulai, mataku menyelinap memandang sekeliling. Tak kutemukan wajah ayahku berada di tempat acara pengukuhanku. Hatiku merasa kecewa atas ketidakhadiran ayahku saat itu. Pikiran kotorku mulai berbicara, “apa ayahku malu memiliki buah hati sepertiku? Apakah ayahku malu karena profesinya yang hanya sebagai
buruh
tani?”
Batinku
mulai
berkecamuk,
amarahku
memuncak. Dan rasa kecewa itu kian menyesakkan dada ketika pemasangan sabuk pengukuhan. Sosok yang kuharap memasangkan sabuk pengukuhan saat itu tidak hadir untuk memasangkan sabuk pada wajah yang penuh harap ini. Upacara pengukuhan pun usai. Pandanganku terus berlari mengelilingi seluruh sudut ruangan, mencari-cari di mana keberadaan ayahku. Tangkapan mata pun menemukan sosok yang kuharapkan kehadirannya. Kudatangi beliau dengan hati yang terluka karena sayatan rasa kekecewaan yang teramat mendalam. Namun, seketika luka itu terobati oleh sikap dan pengakuan pilu ayahku. Tatapan ayahku bak orang yang sedang mengarap belas kasihan orang lain. Tak kusangka, ayahku telah berada di lokasi pengukuhan setalah dzuhur, sedangkan acara itu dimulai pukul 16.00 WIB. Ketika ayahku melihatku berada di pendopo, beliau berlari hendak menemui Sang Kebangaannya. Namun, langkah ayahku dihadang oleh satpam yang berjaga. Hanya karena ayahku mengenakan sendal jepit, kakinya tak diperbolehkan menginjakkan
kaki
di
tempat
pengukuhan
tersebut.
Pengakuan kesalahan terucap tulus dari bibir ayahku. Hatiku tertusuk oleh tajamnya pengakuan kasih sayang ayahku padaku, menikam rasa kecewa yang membalut hatiku. Rasa kecewa yang menguasai diriku kini berganti haru pilu. Merasa bersalah karena tak memberitahu ayahku untuk tidak menggunakan sandal jepit di acara pengukuhan. Tubuh yang memberikan pengakuan padaku, berpamit pulang. Tak menungguku hingga selesai, aku pun membiarkan beliau pulang seorang diri. Diri yang tak mencegah kepergian ayah ke rumah ini, tak kuasa menahan jebolnya bendungan air mata, tatkala sesi foto bersama orang tua. Hanya seorang diri, ya dirikulah yang tak bisa foto bersama ayahku. Batinku memanas. Pandangan merasa iri melihat kebahagiaan anakanak lain, yang memiliki foto bersama orang tua, yang akan dikenang dalam bingkai nan apik. Berbeda dengan diriku yang hanya mengenangnya dalam ingatan dan jepretan mata saja. Sejarah
mencatat,
paskibraka
angkatan
2011−paskibraka angkatanku−menjadi paskibraka terbaik di Kabupaten Purbalingga. Berawal dari titik itulah, ada perubahan pandangan ayahku kepadaku. Beliau jarang
meneriakkan suara lantang beliau kepadaku lagi. Beliau larut dalam senang melihatku mampu bersaing dengan yang lain. Dan semenjak itulah ijinku aktif dalam kegiatan terbuka lebar dari ayahku. Aku merasa senang, mampu melebarkan sayapku untuk memulai terbang. Aku sedari dahulu menyuakai kegiatan kepramukaan. Menurutku
pramuka
bukan
sekedar
permainan
atau
penyiksaan belaka. Bila kita menikmati prosesnya, pengalaman yang luar biasa bisa kita peroleh. Sebuah kesimpulan dari pengalaman yang kurasakan. Karena keaktifan diriku dalam pramuka aku ditunjuk sebagai delegasi untuk mengikuti perkemahan
santri
mewakili
kabupaten
di
Jepara.
Perjuanganku dan teman-teman satu tim terbayarkan oleh juara yang kami peroleh. Perkemahan pun berlanjut pada tingkat nasional yang dilaksanakan di Kepri Kota Batam pada tahun 2012. Girang, merasa senang, akhirnya diriku mampu membawa tubuh ini terbang. Manisnya berkegiatan membuatku lupa diri. Lupa akan kewajibanku yang utama menuntut ilmu di sekolah. Saat aku mampu
terbang
tinggi,
diriku
tak
mampu
menjaga
keseimbangan
hingga
membuatku
jatuh.
Jatuh
yang
menyisakan rasa sakit yang membekas. Sayapku patah sebelah. Aku terpuruk pada ujian kelulusan. Nilai UN yang kuperoleh membuatku
shock
ketika
mengetahuinya.
Hasil
ujian
menempatkanku pada peringkat terendah. Suatu hal yang buruk bukan? Ya, hal itu terulang kembali. Kejadian buruk yang berantai. Kecerobohanku yang teledor akan komposisi akademik mengakibatkan diriku tak lolos ujian SNMPTN dan SBMPTN. Kepala madrasah pun tak mampu
menyembunyikan
amarahnya.
Merasa
terhadapku, sehingga membuatku menerima
kecewa rambatan
getaran amarah dari kepala madrasah. Kejadian itu lantas tak membuatku jera. Aku kembali mengikuti UMBPTN atau lebih dikenal dengan SPMB Nusantara kala itu, dan sekarang sudah dihapus dan langsung berlanjut pada ujian SPMB Universitas Jenderal Soedirman. Hal tersebut kulakukan tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku pun tak mampu menghindar dari ketetapan-Nya. Aku dinyatakan lolos ujian dan diterima di Jurusan D3 Peternakan Fakultas Peternakan Unsoed.
Aku merupakan mahasiswa regular kala itu, yang membuatku dituntut untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Puji syukur kupanjatkan karena biaya UKT yang kuperoleh merupakan UKT terendah. Melihat hal tersebut, aku menengok kembali. Otakku berfikir akan kesangguapan orang tuaku untuk membiayai
kuliahku. Mampukah mereka?
Sanggupkah mereka? Aku tak boleh diam begitu saja, kecamku. Aku tak ingin kembali menambah beban yang harus dipikul orang tuaku. Aku berusaha mencari informasi mengenai besasiwa untuk kuliah. Pernah kudengar beasiswa Bidikmisi dari Kemenristek Dikti. Beasiswa yang ditujukan untuk membidik anak-anak yang lemah dalam ekonomi akan tetapi memiliki prestasi
yang
membanggakan.
Dengan
tekad
dan
kesungguhanku, aku mengajukan diri sebagai penerima bidik misi. Tak mengecewakan. Hal itu pun berhasil. Menjadi salah satu mahasiswa bidikmisi bukanlah hal yang mudah. Tantangan untuk terus berprestasi baik akademik maupun non akademik terus digencarkan. Hal tersebut memacu semangatku untuk memberikan yang terbaik
bagi diriku, orang tuaku dan pemerintah. Ya kepada pemerintah yang telah menyediakanku jalan untuk menikmati pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Melalui bidikmisi ini putra putri bangsa di Indonesia akan terselamatkan.
Terselamatkan
dari
pedihnya
tindasan
kemiskinan yang menjerat mereka, yang menahan mereka sehingga tak mampu meloncat meraih impian. Aku pun sangat bersyukur dengan adanya bidikmisi, yang memacu semangat tuk terus berprestasi. Saat diriku sebagai pemula dalam kuliah, aku enggan berkecimpung dalam kegiatan. Akan tatapi ada hal yang mendorongku sehingga aku menjadi aktivis seperti saat madrasah dulu. Aku mengikuti organisasi Islam di Fakultas Peternakan yang bernama Salam (Persaudaraan Islam) dan di universitas aku turut ikut serta dalam Racana Soedirman dan UKMPR (Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset). Keaktifanku di Salam tak bertahan lama, begitupula di UKMPR. Akan tetapi diriku yang mendalami dunia pramuka di perguruan tingggi ini, turut serta memberikan sumbangsih kepada universitas. Aku ditunjuk sebagai delegasi Racana Soedirman dalam ajang
SRSC (Senior Rover Scout Creativity) se-Indonesia yang dilaksanakan di Universitas Negeri Semarang. Hasil yang membanggakan, timku memeperoleh juara umum dalam ajang perlombaan tersebut. Dan yang tidak terbayangkan kala itu, ketika aku berhasil menorehkan mendali mas pada bidang Putra-Putri SRSC dan sekaligus mematahkan harapan ITB dan UI sebagai pesaing terdekat. Selain itu aku juga terpilih menjadi Anggota Berprestasi Racana Soedirman dan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Peternakan 2015 dan berlanjut pada juara ketiga Mahasiswa Berprestasi Universitas Jenderal Soedirman. Sejarah
hidupku
yang
pernah
robek
karena
keterpurukanku, dapat kusulam kembali dengan prestasiprestasi yang kuperoleh. Aku yang dahulu pernah tidak naik kelas dua kali, peringkat terendah dalam kelas, dan ulangan biologi yang memeperoleh nilai 0,1. Ibarat jamu temu ireng, kesemuanya itu memberikan rasa pahit di lidah dan tenggorokan, akan tetapi pada akhirnya akan menyehatkan tubuh. Begitulah jalan yang penuh rintangan yang kualami.
Keterpurukanku
menjadi
tonggak
pemacu
semangat
berprestasi. Tiga tahun sudah. Terasa lama saat kubayangkan dahulu, tapi terasa begitu cepat saat ini, ketika kutengok ke belakang kisah yang telah kurajut dalam sulaman hari-hariku selama di perguruan tinggi. Puji syukur alhamdulillah gelar A. Md. Pt telah disematkankan pada namaku di hari Rabu, 23 Agustus 2016 Rasa senang memebalut hatiku saat itu, akan tetapi rasa kecewa pun turut menyelip dalam balutan rasa senang yang tercipta. Ya, kecewa akan kegagalanku dalam menggapai target menjadi salah satu mahasiswa berprestasi saat kelulusan. IPK yang kutargetkan melenceng dari perkiraan yang telah kuperhitungkan.
Batinku
menyabarkan
emosi
diri,
mengingatkan akan keagungan perhitungan dan renana Allah, yang tak satu pun manusia mampu menyandingi-Nya. Kegagalanku
tak
lantas
menggugurkan
semangat
juangku. Masih banyak target yang telah kusemai dan kusiapkan diri untuk memelihara dan memetiknya pasca wisuda nanti. Meskipun mimpi-mimpi itu berada di tempat nan jauh dan teramat tinggi, akan kujemput dengan segenap usaha
yang kutunai dan doa yang mengalun dalam kerendahan hati. Percayalah bahwa kita bermimpi tidak pernah ada yang melarang dan mimpi itupun tidak pernah dijual dan dibeli dengan harga yang mahal, namun dengan mimpi kita bisa meraih sesuatu yang tak ternilai harganya Kini, diriku menunggu saat yang kunantikan. Yap, tepat di hari Rabu, 21 September 2016, saat di mana nantinya aku mengenakan pakaian toga dan resmi dinyatakan lulus dari Universitas
Jenderal
Soedirman.
Ucapan
terima
kasih
kusembahkan pada seluruh elemen yang telah membantu proses belajarku selama di almamater tercinta. Dan saat itu pula diriku berada pada garis start kehidupan dunia yang sesungguhnya, memulai untuk berusaha menggapai impianimpianku serta menggerakkan diri untuk mengemban amanah, mengabdi pada masyarakat. Selama lidah ini mampu melafalkan, selama kaki masih dapat melangkah, dan selama jiwa ini masih melekat pada raga, akanku teruskan perjuanganku menakhlukkan kehidupan demi tertatanya kehidupan yang lebih baik. Tak hanya
untukku, tapi jua untuk kedua orang tuaku serta masyarakat. Tetap semangat, bekerja keras! Jadilah yang terbaik di mana pun kita berada. Karena kesuksesan itu adalah ketika kita mampu menciptakan sejarah yang bernilai positif bagi diri sendiri.