1. TENTANG CINTA Aku tak pernah mengerti pun memahami cinta. Kami tak pernah saling mengenal. Dan aku tak punya cerita tentangnya. Tapi itu datang, ketika aku sedang bergegas dengan hidup dan segala rutinitasnya. Ia datang saat aku sibuk dengan segala rencanaku akan esok. Dan aku, lupa mengunci hatiku. Di suatu pagi, ditemani rintik hujan, aku masuk ke sebuah kedai kopi, terburu-buru dan memesan kopi favorit dengan tergesa-gesa. Lalu secepat kilat mengambil pesananku ketika barista menaruhnya. Baru dua langkah, sebuah tangan mencengkram bahuku. Tak sabaran aku berbalik dan siap untuk menghardik, namun seorang pemuda di depanku memegang cangkir kertas dan berkata, “Pesanan Anda tertukar, nona!” Kami tak pernah saling berjabat tangan pagi itu. Tapi kemudian, kedai kopi ini menjadi tempat kami saling bertemu, setiap pagi. Hari demi hari berlalu, minggu menjelma bulan. Dan aku mendapati, cinta mulai mengetuk hatiku, perlahan. Ketukannya menggangguku. Dan rasa itu membuatku tak nyaman. Rasa yang membuatku ingin berlari dan sembunyi. Rasa yang diam-diam membuatku bergidik. Angin, terbangkanku ke tengah belantara Laut, hanyutkanku ke dasar samudra Tanah, rengkuhku ke perut bumi Api, lahapku hingga jadi debu Hujan, basahiku hingga luruh Agar dapat kupalingkan wajah Agar dapat kuacuhkan Agar dapat kusembunyi Dari Sang Cinta...
(Tak Sanggup)
Tapi suatu malam, aku mendapati diriku tersenyum memikirkannya. Rambut hitam pekatnya. Senyum tipisnya. Tatapannya yang tajam. Lalu suaranya yang rendah, yang selalu sanggup menenangkanku dari semua gundah. Dan perlahan akupun mulai memahami arti klise dari: ‘ketika bersamanya waktu seakan terhenti’. Perlahan, aku dapat mengerti bagaimana ketika ia hadir, sepi dan rindu lalu menjelma. Lalu akupun mulai mengharapkannya. Satu persatu anak pikiranku meniti temali tipis asa, Menyebrangi jurang ragu, lalu mengukir tanya di penghujung penantian ini Sebutir rasa menggelinding jatuh dari sudut hati, menggetarkan sukma, menggelitik hasrat Menghadirkan sensasi itu, pedih bercampur senyum, Dibalut rindu dan dihias cemburu Dan semuanya membumbung naik, menguap ke angkasa, menyatu bersama udara dan menyelimuti seluruh bumi. Semoga alam menyampaikannya padamu... (Mantra)
Suatu sore, di taman kita duduk bersisian. Aku menatap kamera DSLR di tanganmu. Tersenyum tipis, kau memberikannya padaku. Itu aku di sana, tersenyum dan tertawa, mengejar burung dara, menatap air mancur dan membaca buku. Kau menangkapku dengan lensamu.
Apakah kau juga menangkap rasaku? Seolah menjawab pertanyaan hatiku, kau menggengam tanganku, erat. Dan cinta berhasil menerobos pintu hatiku... Biarkan aku membuat adonan ini menjadi kalis: Campuran asa, rasa dan cinta Ditambah sejumput sepi, sekerat sedih dan setetes ragu Lalu membakarnya di dalam api hasrat, melapisinya dengan coklat memori Dan akan kuhidangkan di hadapanmu, Seluruh isi hatiku, kekasih. (Kue Cinta)
Lalu aku dan dia menjadi kita. Dan hari-hari kita pun dimulai. Hari-hari penuh cinta dan hasrat. Hari-hari penuh janji dan harap akan masa depan. Engkau ingat piknik kita di taman pada akhir minggu, ditemani kamera dan roti lapis keju? Tapi kemudian kita lebih memilih tahu gejrot dan batagor kaki lima. Lalu kunjungan kita ke setiap pameran fotografi yang ada. Aku tak pernah benar-benar mengerti fotografi, tapi aku selalu ingin melihatmu membuat pameranmu sendiri. “Tidak segampang itu” kau selalu mengatakan itu, tiap kali . Atau hari-hari kita menghabiskan waktu di kedai kopi dan berbicara tentang apa saja, sambil sesekali aku menggambar dengan pinsil dan charcoal ku. Dan festival film yang tak pernah absen kita kunjungi. Dengan rakus kita menikmati tiga sampai empat film dalam sehari. Hari-hari aku dan kamu. Hari-hari kita. Harimu, itu aku.
Aku ingin menjadi pagimu, Awal dari segalamu Sesuatu yang kau nanti dan tak terelakkan, Dengan kecupan embunku dan belaian hangat mentariku
Aku ingin menjadi siangmu Medan perangmu untuk memperjuangkan segala mimpi Menjelajahi penatmu dan meneteskan peluhmu Menampung setiap keluh dan ragu Sekaligus oase harapan akan esok
Aku ingin menjadi petangmu Membelaimu lewat sepoi angin, memanjakanmu dalam rehat sejenak, Membebaskan bebanmu lewat tiap helaan napas dan menghadiahimu lukisan senja di angkasa
Aku ingin menjadi malammu, Menyelimutimu dengan beludru hitam berhias gemintang Akhir dari semua awalmu, sesuatu yang membawamu pulang Dengan segenap kerinduan akan rumah (Harimu Itu Aku)
Serta malam-malam penuh hasrat, gelora dan debar jantung. Malam-malam yang membuat alam cemburu pada kita. Seperti di suatu malam yang berhujan deras, di kamarku. Guntur yang menggelegar tidak menghentikan kehangatan kita. Langit menyetubuhi bumi dalam redup mendung Gelinjang air menggelitik tanah, membuatnya rekah, tengadah Lalu cipratannya menggerayangi, meraba setiap benih di bawahnya Sesekali gemuruh menyuarakan kejantanan langit, menggelegar, mengaum Dan bumi mendesah lewat desir angin yang menggoda, merayu Mentaripun menyisih, memalingkan muka dari nafsu pengantin alam, Yang begitu menggelora, bergetar liar Awan melingkupi mereka dengan lembut, agar deras cinta dapat bebas merengkuh bumi, Menggila mengecupnya lewat titik air Dan tanah mereguk setiap cinta yang diberikan langit, Dalam getar nikmat yang sunyi... (Ketika Alam Bercinta)
Namun entah kenapa, aku selalu merasakan jarak denganmu. Seerat apapun engkau mendekapku tiap malam, jarak itu selalu di sana, terentang di antara kita. Dan aku selalu merasa tak pernah benar-benar bisa menjangkaumu. Dan sang rasa, yang dari awal membuatku bergidik, selalu berhasil membuahkan takut. Lalu suatu hari, ketakutanku terbukti. Pelan tapi pasti, engkau mulai menjauh. Aku bisa merasakannya.