Salam dari Cisadane Sekian lama tak berjumpa, namun pelanggaran HAM terus terjadi…. Dan maaf bila kita baru bisa mengabarkan berita tersebut sekarang… Pada edisi bulan Juli 2003, kami ingin mengangkat berita Aceh yang tidak lepas dari berita kekerasan. Hampir 3 bulan darurat militer diberlakukan di Aceh, namun hasilnya hanya menambah korban jiwa dan pengungsian terjadi dimana-mana. Dari tiga solusi yang ditawarkan pada Darurat Militer (DM) yakni operasi keamanan, operasi kemanusiaan dan penegakan hukum, hanya operasi keamanan yang melaju dengan pesat tanpa hasil yang jelas dan hanya memperpanjang penderitaan rakyat Aceh saat ini serta menambah jumlah korban. Sedangkan dua solusi lain sepertinya hanya dilakukan sebagai syarat saja. Hal ini terbukti dari banyaknya pengungsi yang terlantar dan ringannya hukuman bagi pemerkosa perempuan di Aceh pada masa DM. Selain mengupas Aceh pada masa DM, redaksi juga mengangkat kabar daerah yang berisi tentang maraknya penembakan misterius (petrus) di Poso, perkembangan kasus di Timika dan pengadilan koneksitas. Sedangkan untuk rempah-rempah kali ini, kita akan mengangkat isu silahturahmi korban dan keluarga korban Tanjungpriok yang dihadiri kurang lebih 60 orang. Selain itu acara rehabilitasi sosial
Berita Utama
Darurat Militer di Aceh Pesan itu datang melalui telepon satelit. Si pengirim pesan bertutur singkat: “Sebanyak 15 warga sipil ditembak tentara Indonesia, termasuk dua orang anak-anak. Lokasi: desa Tutut Sungaimas, Aceh Barat. Waktu: 19 Juli 2003”. Si pengirim pesan menambahkan, kejadian itu bermula pada pukul 10 pagi saat serombongan tentara memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Terjadi pertempuran singkat yang mengambil nyawa 1 orang tentara dan 3 orang anggota GAM. Tentara kemudian meninggalkan desa tersebut. Menurut sumber Time, satu setengah jam kemudian sebuah mobil ambulans datang ke desa itu. Karena penasaran penduduk desa pun keluar. Namun dari dalam ambulans yang keluar justru tentara. Mereka segera melepaskan tembakan secara acak. Lima belas orang tewas seketika termasuk dua anak-anak. Mereka semua bukan anggota GAM. Dua hari kemudian, 21 Juli 2003, beberapa tank masuk ke desa Alu Rambok. Melihat itu warga desa langsung berhambur lari menuju hutan. Lalu tentara mulai melakukan pengeladahan dari rumah ke rumah. Tiga sepeda motor hilang dicuri pada saat itu. Tak terkecuali alat-alat elektronik. Tapi warga menolak kembali ke desa karena takut. Mereka memilih bertahan di dalam hutan. Meski begitu menurut Lesley McCuloch dalam majalah Time edisi Asia tanggal 29 Juli 2003, informasi tersebut tak bisa dikonfirmasi. Pasalnya sejak pemberlakuan Darurat Militer (DM) di Aceh 19 Mei lalu, di daerah Barat Aceh, gerak wartawan dan koresponden asing dibatasi. Informasi jadi amat terbatas. Apalagi sinyal telepon seluler hanya bisa tertangkap di tiga kota. Internet tak bisa berjalan di Tapak Tuan. Satu-satunya hubungan hanya bisa dilakukan melalui telepon satelit. Karenanya Lesley mengaku sebagai reporter ia mengalami kesulitan mengkonfirmasi. Termasuk juga kematian 15 orang warga sipil di Tutuk Sungaimas, atau kabar diangkutnya 70 warga sipil oleh tentara di Alu Rambok. Tapi ada satu hal yang bisa dikonfirmasi. Tiga orang tentara kedapatan memperkosa empat wanita di desa Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakung, Aceh Utara. Tiga orang tentara ini berasal dari Yonif 411/Pandawa, Salatiga, Jawa Tengah. Pada tanggal 19 Juli 2003 lalu, Mahkamah Militer menjatuhkan hukuman dua tahun enam bulan sampai tiga tahun enam bulan penjara. Mereka adalah Prajurit Kepala Seprianus Lau Webang, Prajurit Satu Husni Dwila, dan Prajurit Satu Awaludin. Selain dihukum penjara, ketiga orang ini dipecat dari TNI.
Berita Utama Akibat Darurat Militer Kematian, penghancuran desa di Aceh, perkosaan, memang menjadi konsekuensi logis setelah Darurat Militer diterapkan. Warga sipil adalah korban paling empuk dari dua pihak yang bersengketa. Darurat Militer juga memberi wewenang hampir tanpa batas ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Menurut pasal 23-34 UU No 23/Prp/1959, kewenangan penguasa darurat militer begitu luas. Bahkan, nyaris tanpa batas. Sejak memerintahkan penangkapan orang yang dicurigai hingga membatasi penerbitan media massa. Akibatnya pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Beberapa warga sipil dan aktivis HAM ditangkapi dengan tuduhan sebagai simpatisan maupun anggota GAM. Pada tanggal 6 Juni lalu misalnya, lima orang aktivis Aceh ditangkap. Mereka adalah relawan dari Palang Merah Indonesia (PMI) Langsa Kerun, Ketua Pos Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Muhammad Yusuf (Nek Suh), Ketua Pemberdayaan Harkat Inong (Perempuan) Aceh (PHIA) Nursyamsiah, serta dua staf PHIA Nadaria dan Fitriani. Penangkapan itu, menurut Kontras, terjadi sejak 6 Juni ketika aparat mendatangi PMI Langsa. Aparat langsung menangkap dan membawa Kerun. Esoknya, aparat mendatangi Kantor PB HAM Aceh Timur di Langsa dan menangkap ketuanya, Muhammad Yusuf, dan dua aktivis PHIA, Nursyamsiah dan Nadaria. Hari itu juga polisi mencari Fitriani, tapi yang dicari melarikan diri dan baru esoknya menyerahkan diri. Kelimanya kini masih diperiksa. Penangkapan itu, menurut Kordinator Badan Pekerja KontraS Usman Hamid, merupakan kelanjutan dari kebijakan Penguasa Darurat Militer yang mengembangkan stereotipe kepada sejumlah aktivis di Aceh. Sasaran operasi tidak lagi semata tertuju pada GAM, tetapi juga seluruh aktivis dan rakyat yang tidak terlibat konflik. "Penangkapan ini tampaknya merupakan upaya mengosongkan Aceh dari pantauan aktivis, sehingga tidak ada lagi kontrol atas darurat militer," ujar Usman. Perang 1,3 Trilyun Lewat peperangan berbiaya Rp 1,3 trilyun, pemerintah pusat optimis perang paling lama hanya berlangsung selama 6 bulan. Jumlah yang dikucurkan pemerintah pusat itu terasa ironis sebab APBD Aceh untuk tahun 2003 hanya 1,7 trilyun. Meski demikian Aceh bukan Irak. TNI juga bukan tentara Amerika yang berhasil merebut Irak dalam tempo 1,5 bulan. Perang diperkirakan akan lebih berjalan lama dari perkiraan awal. Namun pemerintah tetap berkeras. Sekitar 50.000 tentara dikerahkan menuju Aceh. Termasuk 13 tank Scorpion, 23 tank Amphibi, 12 tank reguler, 2 pesawat tempur F-16, 4 pesawat tempur Hawk 200s, dan 6 pesawat pembom ringan OV-10 Bronco. Mereka ditugaskan membasmi 5.000 anggota GAM
Berita Utama dengan kekuatan sekitar 2.000 pucuk senjata. Inilah pameran kekuatan tentara terbesar yang dikerahkan Indonesia setelah aneksasi Timor-Leste di tahun 1970an. Menurut catatan KontraS, sampai tanggal 20 Juni, korban sipil yang jatuh sudah berjumlah 157 jiwa, TNI/Polri berjumlah 27 jiwa, GAM berjumlah 215 jiwa. Selain itu Dinas Pendidikan Nasional Naggroe Aceh Darusalam (NAD) mencatat 507 gedung sekolah dibakar. Jumlah pengungsi ikut melonjak selama satu bulan pemberlakuan darurat militer di Aceh. Di wilayah Biereun tercatat 16.644 jiwa, Aceh Timur 4.099, Aceh Selatan 10.000 jiwa, Aceh Barat 4.000 jiwa, Aceh Tamiang 2.000 jiwa. Pidie 1.100 jiwa. Karenanya, Kordinator Badan Pekerja KontraS, Usman Hamid, mengecam pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Sebab, fasilitas publik seharusnya menjadi kewenangan Penguasa Darurat Militer. “Pembakaran sekolah dan rumah-rumah penduduk, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang serta kekerasan terhadap warga sipil harus dihentikan secepatnya,” ujar Usman. Karenanya KontraS mendesak agar TNI dan GAM kembali ke meja perundingan. KontraS tak berdiri sendiri. Kofi Annan selaku Sekretaris Jendral PBB, mengaku ikut prihatin melihat perkembangan Aceh. Kepada BBC News, Annan mengaku prihatin melihat terjadinya tindakan ekstra yudisial dan pelanggaran HAM warga sipil serta pembakaran sekolah di Aceh. Annan berharap lembaga internasional bisa diberikan akses seluasluasnya untuk menangulangi korban warga sipil selama Darurat Militer di Aceh. Celakanya, pemerintah RI berpandangan lain. Presiden Megawati Soekarnoputri bahkan menegaskan belum berniat meninjau ulang status Darurat Militer di Aceh. “Pemerintah belum berencana mencabut status darurat militer di Aceh,” tegas Megawati saat mengikuti Sidang Umum MPR tanggal 1 Agustus lalu. (T/BBC/RAA) “Pemuda Desa Kami Tewas Seketika” Ibarat pelanduk, warga sipil di Aceh kini terjepit dalam pertarungan dua gajah TNI dan GAM. Penduduk di desa Mapa Mamplam. Bireun, contohnya. Baru-baru ini warga desa ini menyatakan, tentara Indonesia melakukan pembantaian tehgadap delapan warga desa Mapa Mamplam. Kebetulan wartawan BBC Orlando de Guzman sempat mengunjungi desa tersebut. Berikut ini adalah cerita Orlando yang direlai di BBC News edisi 21 Mei 2003. Cerita Guzaman bermula saat ia tengah melewati desa-desa di Bireun. Di situ Guzman berpapasan dengan sekumpulan tentara yang tengah berpatroli. Seragam tentara itu menunjukkan mereka bergabung dalam pasukan khusus.
Berita Utama Kepada Guzman, tentara itu menyatakan mereka baru saja terlibat dalam pertempuran dengan GAM di desa Mapa Mamplam. Karena penasaran Guzman mendatangi desa Mapa Mamplam yang baru saja ditinggalkan pasukan khusus tersebut. Setelah bertanya ke sana ke sini, Guzman akhirnya tiba ke tengah sawah di mana para tentara tadi mengaku menghabisi GAM. Bercak darah segar dari mereka yang tewas masih terdapat di tengah sawah. Guzman lalu mencari saksi mata. Tetapi di situ dia malah mendapat keterangan berbeda. Menurut keterangan beberapa saksi mata, insiden penembakan itu bermula dari pengedoran tentara ke rumah warga. Tentara itu tengah mencari anggota GAM. “TNI datang ke desa kami dan mengambil beberapa pemuda yang tengah bekerja di sawah,” ujar seorang warga desa. Desa Mapa Mamplam itu sendiri terdapat di Kabupaten Bireun. “Mereka lalu menembak. Mereka terus menembak hingga pemuda desa kami tewas seketika”. Guzman menemukan saksi mata lainnya. Saksi mata ini merupakan orang tua salah seorang pemuda yang tewas. Saat Guzman tiba di rumah orang itu, jasad pemuda itu sudah disarungi kain kafan sesuai tradisi muslim. Guzman mengaku tak bisa menyebut nama dia. Tetapi saksi mata itu adalah saksi penting. Sebab, saksi mata itu melihat langsung eksekusi tentara tadi dari balik pepohonan kelapa sawit. “Tentara meminta tawanan itu berdiri di tengah sawah dalam posisi membelakangi. Lalu tentara melepaskan tembakan satu persatu dari arah belakang. Dan, tubuh-tubuh pemuda itu bertumbangan ke tengah sawah...”, ujar laki-laki yang menjadi saksi mata tersebut. Guzman dan penterjemahnya kembali melakukan upaya pengecekan ulang. Dia kembali mendekati areal sawah pusat pembantaian tersebut. Mereka lalu bertanya kepada seorang wanita yang berdiri di dekat situ. Wanita ini mengungkapkan dia tak melihat langsung pembantaian itu. Tapi ia mengaku memiliki hubungan dengan salah seorang pemuda yang tewas. Dan, wanita itu menolak keras jika pemuda yang tewas itu anggota GAM. “Mereka bukan anggota GAM. Mereka hanya pemuda yang bekerja di sawah. Mereka bukan GAM. Usia korban masih terlalu muda,” ujar wanita tersebut. Tercatat 8 orang pemuda meninggal akibat pembantaian di tengah sawah tersebut. Yang termuda berumur 11 tahun, seorang korban berumur 13 tahun, satu lagi baru berumur 14 tahun. Lima korban lainnya berumur 20 tahun ke atas. Beberapa warga desa yang ditemui Guzman juga memberi keterangan senada. Kata mereka, bagian belakang kepala para korban itu koyak karena ditembak dari jarak dekat... (BBC/RAA)
Berita Utama Kronologi Aceh: dari Represi Ke Perlawanan Aceh memiliki sejarah panjang perlawanan. Ia seperti bom waktu yang tak habisnya bagi Pemerintah Indonesia. Berikut perjalanan singkat Aceh. Abad 12: Dipercaya Islam pertama kali masuk ke Aceh. 1871: Aceh merupakan propinsi terakhir yang tetap bebas dari penjajahan Belanda. 1873: Belanda mengumumkan perang dengan Aceh. Pertempuran hebat pecah hingga tahun 1942. 17 Agustus 1945: Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan dari penjajah. 17 Desember 1949: Propinsi Aceh berdiri dan Tengku Daud Beureueh terpilih menjadi Gubernur Aceh pertama. 27 Desember 1949: Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konsepsi federalisme berdiri di bawah pimpinan Sukarno. 8 Agustus 1950: Akibat RIS, Menteri Dalam Negeri membagi Indonesia menjadi 10 propinsi. Aceh dimasukkan ke Sumatera Utara. Ketenangan Aceh mulai terkoyak. 23 Januari 1951: Perdana Menteri Muhammad Natsir mengumumkan peleburan Aceh ke propinsi Sumatera Utara. 20 September 1953: Tengku Daud Beureueh mendeklarasikan pemisahan Aceh dari Indonesia. Penduduk Aceh berontak dari keputusan pusat. 1959 : Setelah meletus pemberontakan dari masyarakat Aceh, pemerintah memberi status Aceh sebagai “daerah khusus”. Aceh diberi otonomi penuh dalam keagamaan, pendidikan dan kebudayaan. 1965: Soeharto menggulingkan Soekarno dan menjadi Presiden ke II Republik Indonesia. 4 Desember 1976: Teungku Hasan Di Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tujuan menjadikan Aceh sebagai negara merdeka berbasis Islam. Pemerintah Pusat membalas dengan penangkapan besar-besaran para anggota dan simpatisan GAM. 1977: Tekanan secara ekonomi dan politik yang dilakukan rejim Soeharto membuat Golkar kalah di Aceh. 1982: Untuk kedua kalinya Golkar kalah dalam Pemilu di Aceh. 1989: GAM di bawah nama baru Front Pembebasan Nasional Aceh-Sumatera, berubah menjadi gerakan bawah tanah dengan aktivitas menyerang lembaga ke polisian dan militer di Aceh. 1990: Daerah Operasi Militer (DOM) di berlakukan di Aceh. Dalam 8 tahun sejak pemberlakuan DOM, tercatat 760 orang warga sipil yang dikabarkan meninggal dan hilang. Agustus 1998: Jatuhnya Seoharto membuat aktivis HAM dan mahasiswa memprotes pemberlakuan DOM.
Berita Utama Mei 2000: Presiden Abrudaraah Wahid membubarkan KODAM Iskandar Muda di Aceh. 12 Mei 2000 : Presiden Abrurrahman Wahid menandatanagni gencatan senjata dengan wakil GAM di Genewa. Tujuannya untuk mengakhiri kekerasan di Aceh. 18 Mei 2000 : Pengadilan HAM mendakwa 24 prajurit TNI membunuh 57 penduduk kampung saat sengketa Aceh tahun 1999. 2 Juni 2000: Gencatan senjata selama tiga bulan diterapkan di Aceh. Desember 2000: Presiden Abdurrahman Wahid datang ke Banda Aceh selama dua jam. Namun pimpinan GAM menolak bertemu Wahid. 19 Januari 2001 : Gencatan senjata selama tujuh bulan diberlakukan berdasar perundingan perdamaian antara RI dan wakil GAM di Swiss. Maret 2001 : Puluhan tentara yang marah menjarah 15 toko, dua rumah, dan rumah kepala desa dengan alasan mencari pemberontak. Amnesti Internasional mengungkapkan tentara menggunakan para militer untuk menjadi pembenaran memulai peperangan baru di Aceh. 12 Mei 2001 : Nota kesepakatan (MOU) ditanda-tangani. Pemerintah RI dan GAM sepakat menlanjutkan gancatan sejata untuk mencari solusi perdamaian di Aceh. Agustus 2001 : Pemimpin RI yang baru, Megawati Sukarnoputri meminta maaf pada rakyat Aceh untuk pekanggaran HAM selama DOM. Ia berjanji akan memberi jalan keluar terbaik bagi warga Aceh. Agustus 2001 : Ditemukan kuburan massal berisi 48 jasad di desa Lhong, sebelah barat Propinsi Aceh. September 2001 : Presiden Megawati berkunjung ke Aceh. Januari 2002 : Pimpinan militer GAM tertembak mati dalam insiden antara GAM dan TNI. Juli 2002 : Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Ryamizard Ryacudu menyatakan tentara dan polisi akan mengambil tindakan tegas pada GAM, seraya membandingkan gerakan separatis GAM sebagai “teroris”. Juli 2002 : Menkopolkam Bambang Yudhono menyatakan Henry Dunant Center berbasis di Genewa, tempat tinggal Hasan Di Tiro dkk. Agustus 2002 : Pemerintah RI memberikan ultimatum selama 3 bulan bagi GAM untuk meletakan senjata. November 2002 : TNI mengepung GAM di desa Paya Cot Trieng di Utara Aceh dengan kekuatan 500 sampai 1000 tentara. Tentara sempat melontarkan mortar dari helikopter. Desember 2002 : Penandatanganan kesepakatan perdamaian antara GAM dan RI, meski demikian ada beberapa hal yang belum terpecahkan. Januari 2003 : Pemerintah pusat di Jakarta memberikan Aceh status daerah khusus –khususnya untuk menerapkan syariat Islam dan bagi hasil kekayaan alam di Aceh.
Berita Utama 19 Mei 2003 : Pemerintah RI memberlakukan Darurat Militer di Aceh menyusul kegagalan pertemuan GAM dan RI di Tokyo.
Berita Daerah
Ada Petrus di Poso Aksi teror kembali merebak di Poso, Sulawesi Tengah. Kali ini modus teror mirip-mirip dengan cara penembak misterius (petrus). Baru-baru ini sang ‘petrus’ menembak seorang polisi dan seorang guru di Poso. Meski demikian insiden tersebut tak berhasil memprovokasi penduduk yang pernah terlibat dalam peperangan dengan isu agama tersebut. Menurut laporan media massa, aksi petrus itu terjadi tanggal 11 Juli 2003 lalu. Sasarannya adalah seorang polisi yang tengah membonceng seorang guru di pinggiran kota Poso. Korbannya bernama Briptu Fetril Malangi, 45 tahun, dan Maslian Lapono, 43 tahun. Akibatnya kedua orang yang kebetulan beragama kristiani itu langsung dilarikan ke Rumah Sakit. “Mereka kehilangan banyak darah,” kata Kapolda Sulawesi Tengah, Taufik Ridha. Meski demikian Ridha menafikkan kemungkinan aksi petrus tersebut adalah upaya provokator untuk menyulut kerusuhan SARA untuk kali ke dua di Poso. Ia hanya mengangap itu perbuatan kriminal biasa. Meski demikian aksi petrus di Poso sudah terjadi berkali-kali. Dua hari sebelum penembakan polisi dan guru tersebut, hari Rabu (9/7/2003), di Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir, aksi penembak petrus tersebut berhasil menewaskan Johanis Lolo Pamini, 32 tahun. Sehari setelah Johanis tewas, ledakan bom sempat menguncang Kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota, Kamis (10/7/2003). Insiden peledakan itu membuat empat warga luka parah. Mereka adalah Melki, 42 tahun, Trisno, 40 tahun, Tini Alimin, 38 tahun, dan Rista, 2,5 tahun. Selain itu pada hari Minggu (13/7/2003) silam, pistol penembak misterus kembali menyalak. Kali ini sasarannya adalah Ponex Tandawuya, 50 tahun. Menurut kesaksian warga kelurahan Lomobogia, Poso Kota, ini, saat itu ia tengah mengemudi mobil. Kecepatan cepatan mobilnya saat itu sedangsedang saja. Tiba-tiba dari arah depan melintas pengendara sepeda motor bermerek RX King. Seorang pembonceng lalu menghunus pistol dan mengarahkan moncongnya ke Ponex. Ponex langsung mengerem mobil dan mendorong tubuhnya ke belakang. Untung bagi Ponex. Timah panas hanya mengenai dasbor mobil. “Kalau saya tak bersandar ke belakang kemungkinan sayalah yang tertembak,” ujar Ponex. Menurut Ponex, petrus tersebut berbadan kekar, berambut gondrong, bertubuh tinggi, dan berpakaian warna gelap. Hingga kini motif petrus tersebut belum terungkap.
Berita Daerah Hanya saja, kota Poso sendiri sebenarnya sudah relatif aman setelah diguncang perseteruan dengan isu agama pada tahun 2001-2002. Tercatat 1.000 orang tewas dalam perang tersebut. Akibat konflik tersebut Pemerintah pusat telah mengerahkan sekitar 3.000 petugas polisi di Poso. Teror ini bisa jadi akan membuat pemerintah mengurungkan niatnya menarik pulang para polisi. Padahal rencananya 3.000 polisi tersebut pada tanggal 30 Juli 2003 akan ditarik kembali ke Jakarta karena keamananan Poso dirasa sudah membaik. (AA)
Berita Daerah
Mimpi Buruk Emma di Timika 31 Agustus 2002. Steve Emma tengah duduk santai di kursi paling belakang Toyota Land Cruiser. Emma ikut berceloteh ringan setelah pulang dari piknik yang diadakan para guru Tembagapura International School. Di mile 62-63, mendadak Emma mendengar berondongan senjata mesin otomatis. Ia melihat ke depan. Ia melihat Rick Spier yang mengemudi mobil telah terkulai tak bernyawa. Begitu juga dengan Edwin “Ted” Burcon yang duduk di sebelahnya. Darah membanjir di bangku depan dan kotak tissue. “Merunduk, merunduk,” jerit Emma panik ke dua perempuan yang duduk di belakang supir. Ia mencoba melihat keluar, tapi pandangan matanya terhalang oleh kaca depan yang retak akibat berondongan peluru. “Siapa kalian? Apa yang kalian mau?,” teriak Emma seperti dikutip The Washington Post edisi Minggu, 22 Juni 2003. Tapi tak ada jawaban sama sekali. Kini, setelah 11 bulan insiden penyergapan itu berlalu, pemerintah Amerika Serikat belum tahu siapa yang berada di balik serangan tersebut. Yang jelas, tiga orang tewas seketika. Mereka adalah Rick Spier (AS), Edwin “Ted” Burcon (AS), dan Bambang Riwanto (WNI). Penyergapan itu juga melukai 12 orang, yang terdiri dari sembilan WNA dan tiga WNI. Kongres AS hanya mendapat kesimpulan awal. Berdasar laporan kepolisian Indonesia “kemungkinan besar” penyergapan itu dilakukan oleh tentara Indonesia. “Berdasarkan penyelidikan awal, ada indikasi anggota TNI bertanggungjawab atas pembunuhan di Papua,” ujar Matthew P Daley, Deputy Assistant Secretary of State untuk urusan Asia Timur dan Pasifik. Persoalannya, lanjut Daley, “Setinggi apa keterlibatannya, dan apa motifnya,” ujarnya. Keterlibatan TNI itu juga menjadi kesimpulan Senat Komite Urusan Luar Negeri pada sidang tanggal 20 Mei 2003. Diskusi itu juga yang menyebabkan bantuan militer AS untuk Indonesia sebesar 600.000 dolar AS ditunda. Namun di sisi lain AS ternyata menyuntikkan 4 juta dolar AS untuk program melawan terorisme. Dua agen FBI yang dikirim ke Papua juga mengaku merasa frustasi. Pasalnya setiap kali mewawancarai saksi mata, mereka terus dikuntit oleh pemerintah. Bahkan bukti forensik menurut sumber The Washington Post tak diijikan di bawa ke Amerika tanpa didampingi pihak kepolisian Indonesia. Yang menarik, temuan awal Polri setelah melakukan pemeriksaan intensif kepada 30 tentara dan 44 sipil bahwa insiden Timika diduga melibatkan TNI. Apalagi jenis peluru yang digunakan adalah peluru M-16, senjata standar TNI. Di lokasi pembantaian tersebut tercatat 130 peluru dihamburkan di Mile 62-63 tersebut. Ironisnya tempat pembataian hanya berjarak 450 meter dari pos penjagaan militer. Menurut catatan Freeport McMoRan Copper & Gold, sejak tahun 1996 Freeport mengeluarkan 35 juta dolar AS untuk jasa keamanan. Tapi pada tahun
Berita Daerah 2001 bantuan itu menurun menjadi 5,8 juta dolar AS. Dan tahun 2002 tinggal 7 juta dolar AS. Soalnya memang belum jelas, apakah motif penyergapan itu merupakan alat tawar untuk menaikkan biaya pengamanan. Karenanya, Steve Emma mengaku geram melihat pemerintah Bush masih mengucurkan dana bantuan sebesar 4 juta dolar AS ke Indonesia untuk melawan terorisme. Terlebih lagi Bush pada tahun ini dikabarkan akan mengucurkan bantuan militer IMET sebesar 400.000 dolar AS. “Bantuan itu hanya membuat para teroris girang,” kecam Emma. (TWP/AA)
Rempah-rempah
Surat Dari Senator: Impunity di Indonesia Bulan lalu harian ini (Washington Post, red) memuat tulisan yang bagus dari Dana Priest tentang penyergapan di Indonesia yang menyebabkan tiga orang tewas, termasuk dua orang pengajar asal Amerika Serikat (AS). Meski kepolisian Indonesia melaporkan bahwa ada indikasi keterlibatan militer Indonesia dalam serangan itu, penyelidikan belum berhasil mengungkap jati diri pelaku. Dan, sama sekali tak mengejutkan jika militer Indonesia tidak menunjukkan kehendak baik untuk bekerja sama dengan FBI. Artikel Priest sempat mengutip pendapat Deputy Asistant Secretary of State Matthew Daley yang mengatakan, “Berdasar penyelidikan awal bukti-bukti menunjukkan keterlibatan tentara Indonesia dalam pembunuhan di Papua”. Artikel itu juga menyebut salah satu korban Patsi Spier, yang kehilangan suaminya, Rick Spier, dalam penyergapan tanggal 31 Agustus 2002 itu. Patsi sendiri lolos dari penyergapan tersebut. Saya sendiri pernah bertemu Patsi Spier yang meminta pemerintah AS membekukan akses pemerintah Indonesia dalam program IMET –International Military Education and Training— sampai pemerintah AS mendapat kerjasama penuh dari Indonesia untuk penyelidikan pembantaian tersebut. Termasuk juga menemukan penangungjawab pembataian tersebut. Permintaan ini saya rasa wajar datang bagi korban yang selamat dari pembantaian tersebut. Indonesia sendiri sudah tidak menerima asistensi IMET dalam satu dekade terakhir akibat sejarah panjang pelanggaran HAM yang dilakukan TNI. Namun IMET sendiri bukanlah program yang populer di Pentagon, dan di masa depan bisa jadi asistensi itu akan dikurangi jika tidak dibatalkan sama sekali. IMET kini tidak lagi membawa keuntungan bagi keamanan nasional di AS. Ini menjelaskan mengapa program yang dibuat sebagai bantuan ini berguna di masa lalu, saat perwira yang mendapat kesempatan belajar umumnya bisa bekerjasama dengan pemerintah AS. Faktanya, pembenaran untuk IMET adalah kita berharap dapat membangun kader pimpinan masa depan yang akan “menjadi orang terakhir yang berbicara melalui telepon” pada masa krisis. Ini barangkali benar. Tetapi hal ini tidak terjadi saat Timor-Leste dibakar tahun 1999. Perwira senior Indonesia, termasuk juga alumni IMET di Indonesia, tak merespon secara serius telepon dari kita. Inilah sebabnya mengapa kita bisa menegaskan bahwa militer Indonesia belum melakukan reformasi. Pada poin ini, adalah wajar jika komitmen di level tertinggi akhirnya meninjau ulang kerjasama tersebut. Pada bulan Mei lalu saya mengajukan amandemen undang-undang otoritas asistensi luar negeri saat Komite Senat Hubungan Luar Negeri menganggap penting undang-undang ini. Amandemen saya menyerukan agar tidak sepeser dolar pun dari pembayar pajak digunakan bagi program IMET khusus dengan Indonesia hingga 2004 sampai Presiden dan tentara indonesia secara serius bekerja sama, termasuk dengan FBI, guna memberi keadilan bagi korban pembantaian bulan Agustus lalu. Sebab saya menghormati kompleksitas
Rempah-rempah hubungan antar ke dua negara, dan saya amat peduli untuk menghentikan kerjasama dengan tentara Indonesia. Amandemen saya tak mendapat tentangan di Komite, dan parlemen juga mengajukan amandemen serupa, yakni dari Joe Hefley (Partai Republik). Tetapi sekarang pemerintah mencoba mengambil posisi untuk meluncurkan kembali kerjasama IMET. Keinginan itu tentu saja mengakibatkan konsekuensi nyata bagi kasus pembunuhan warga negara Amerika. Celakanya, lanjutan program IMET, dengan dana 400.000 US Dolar di tahun 2003, akan menunjukkan perbedaan kita melihat persoalan. Saya percaya isu ini akan memicu dari atas ke bawah hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika. Namun untuk terakhir kali, kita harus mendesakkan tanda yang tidak kabur. Sinyal dari pemerintah sudah jelas –tetapi ini salah. Sebab, kerjasama itu hanya meracuni dan menunjukkan Amerika Serikat memandang tak ada yang perlu dicemaskan, karena “business as usual” dengan kekuatan konspiratif pembunuh warga Amerika, dan “business as usual” dari kekuatan yang seharusnya mendorong penyelidikan serius pada pembunuhan tersebut. Terus-terang saya gagal melihat bahwa sinyal ini akan membuat warga Amerika Serikat akan merasa lebih aman. >* dimuat di Washington Post edisi 28 Juli, penulis adalah senator Demokrat dari Winconsin.
Impunity in Indonesia By Russell Feingold Monday, July 28, 2003; Page A21 Last month this newspaper printed a powerful article by Dana Priest relating the story of an ambush last summer in Indonesia that left three dead, including two American schoolteachers. Although police reports indicated that the Indonesian military was very likely involved in the attack, the investigation was turned over to that same military. Not surprisingly, the Indonesian military proved unwilling to implicate itself and unwilling to cooperate with the FBI. The Priest article quoted Deputy Assistant Secretary of State Matthew Daley as saying that "the preponderance of evidence indicates to us that members of the Indonesian army were responsible for the murders in Papua." It also tells the story of one of the ambush victims, Patsy Spier, who lost her husband, Rick, in that attack of Aug. 31, 2002, and who was seriously wounded herself. I have
Rempah-rempah
met with Patsy Spier and have heard her story and her plea that the U.S. government deny Indonesia access to a small military assistance program known as IMET -International Military Education and Training -- until the United States gets full cooperation in investigating these murders, and until those responsible are held accountable for their actions. This request, which has been echoed by other survivors, is a modest one. Indonesia has not received IMET assistance for a decade, because its military has a long history of abusive practices. But IMET is an extraordinarily popular program within the Pentagon, and over time the conditions for resumption of assistance have been weakened or abandoned. IMET is not intended to deliver any benefits to our national security today. It is always explained as a program intended to create bonds that will be useful years later, when officers who were exposed to American training at early stages of their careers rise to positions of authority with a special understanding of the United States. In fact, justifications for IMET often suggest that we are hoping to develop a cadre of future leaders who will "be on the other end of the phone" in times of crisis. This may be true. But it is hard to forget that when East Timor burned in 1999, Indonesia's senior military officials, including alumni of the decades-long U.S. IMET effort in Indonesia, weren't terribly interested in taking our calls. There appears to be no interest in meaningful reform within the Indonesian military. At this point, commitment at the highest levels is what it takes to turn this relationship around. In May I offered an amendment to the Foreign Assistance Authorization Act when the Senate Foreign Relations Committee took up this important bill. My amendment stated that no taxpayer dollars would be used to provide IMET to Indonesia in 2004 until the president had determined that the government of Indonesia and the Indonesian armed forces had begun taking effective measures, including cooperation with the FBI, to bring to justice those responsible for the August ambush. Because I appreciate the complexity of our bilateral relationship, I took care to ensure that nothing in the amendment would restrict ongoing counterterrorism training or any other element of our extensive training and military contacts with the Indonesian armed forces. My amendment met with no opposition in committee, and the House of Representatives recently approved a similar amendment, authored by Rep. Joel Hefley (R-Colo.). But now the administration is taking precisely the opposite approach and apparently intends to release IMET assistance to Indonesia for the current year.
Rempah-rempah
There must be real consequences for the murder of American citizens. Frankly, the IMET program, worth $400,000 in 2003, is insignificant in comparison with the magnitude of this outrage. I believe that this issue should trigger a top-tobottom review of our bilateral relationship with Indonesia and a fundamental change in approach. But at the very least, we should start with a clear and unambiguous signal. The administration's signal is clear -- but it is the wrong one. It is poised to signal that the United States is willing to conduct "business as usual" with forces that may have conspired to murder Americans, and "business as usual" with forces that have obstructed the U.S. investigation into those murders. I fail to see how such a signal could possibly make Americans more secure. The writer is a Democratic senator from Wisconsin. © 2003 The Washington Post Company
Rempah-rempah
IKOHI Tanyakan Penghilangan Paksa Mahasiwa Unair Surabaya, KontraS Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menuntut kejelasan korban penghilangan paksa. Apalagi dua orang itu adalah mahasiswa asal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Demikian diungkapkan aktivis IKOHI Surabaya, Dandik Katjasungkana usai dialog “Penghilangan Paksa Aktivis Prodemokrasi” di Surabaya, Selasa (20/5/2003). Nampak hadir Kordinator KontraS Usman Hamid dan Agung Putri dari Elsam. “Sayangnya hingga saat ini belum ada platform bersama untuk melawan penghilangan paksa,” sesal Dandik. Dua orang mahasiswa Unair yang dihilangkan secara paksa itu adalah Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah. Mahasiswa Unair itu dilaporkan hilang pada bulan Maret 1998. Keduanya adalah aktivis Partai rakyat Demokratik yang sampai sekarang belum ditemukan. Sementara Kordinator KontraS Usman Hamid meragukan pengungkapan kasus penghilangan paksa dalam waktu dekat. “Rejim saat ini lahir dari kompromi politik. Akibatnya pemerintah tak memiliki kekuatan politik untuk membuka kejahatan di masa lalu,” ujar Usman. Karena itu, Usman berharap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan segera terbentuk dan disahkan oleh undang-undang. Sebab dengan mandat itu Komisi tersebut diharapkan dapat membuka kejahatan masa lalu. Tak terkecuali penculikan dua mahasiswa Unair tersebut. (RAA)
Rempah-rempah
Mendesak, UU Perlindungan Saksi Jakarta, KontraS Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi. Pasalnya, sejak tahun 1965 sampai 2003, IKOHI dan KontraS mencatat terjadinya serangkaian perisitiwa penghilangan orang secara paksa. Jumlah korbannya telah mencapai 1.292 orang. Korban tersebut terdiri dari aktivis politik, sosial, agama, maupun petani. “Berbagai upaya telah dilakukan keluarga korban,” ujar Ori Rahman dari KontraS, Senin (26/5/2003). Khususnya untuk mendesak pemerintah melakukan pengusutan. Namun kata Ori, upaya itu terbentur karena keenganan pemerintah. Menurut KontraS dan IKOHI, praktik penghilangan secara paksa termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, praktik penghilangan orang secara paksa harus diselesaikan di pengadilan HAM Ad Hoc dengan didahului adanya sebuah penyelidikan pro justisia yang dibentuk oleh Komisi Nasional HAM. (RAA)
Rempah-rempah
Kantor KontraS Diserbu PPM Jakarta, KontraS Setelah diguncang teror bom, Kantor KontraS kini kembali diluruk massa. Kali ini massa yang datang menyerbu adalah Pemuda Panca Marga (PPM). Mereka tak cuma mengumbar cacian, melainkan juga menganiaya aktivis Kontras serta merusak sekretariat KontraS yang terletak di Jalan Cisadane No 9, Menteng, Jakarta Pusat. Dari poster yang mereka bawa, mereka agaknya gusar karena sikap kritis KontraS yang terus mendesak pemerintah menghentikan perang di Aceh. “Mereka menuding kami tidak nasionalis,” kata Mouvty Makarim, anggota Presidium KontraS. Aksi itu sendiri terjadi dalam dua gelombang. Gelombang aksi pertama bermula tanggal 26 Juni 2003. Saat itu massa yang datang hanya 30 orang. Namun massa sempat menggembok kantor KontraS dengan lem besi. Esoknya, massa PPM yang datang lebih besar dan beringas. Kali ini Ketua Presidium Kontras Ori Rahman yang menjadi sasaran. Ia dipaksa berdialog di depan massa PPM seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saat menyanyi, Ori sedikit terpeleset. Ia salah menyanyikan bait ‘jadi pandu ibuku’ menjadi ‘sebagai pandu ibuku’. Namun itu dirasa cukup bagi PPM untuk mencap alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung ini tidak nasionalis. Akibatnya pukulan dan tendakan terpaksa diterima Ori. Amuk massa PPM tak berhenti di situ. Mereka juga menghancurkan kaca, membalik meja, dan merusak barang-barang lain milik KontraS. Setelah puas mengamuk, massa PPM pun cabut. Beberapa pengurus Kontras mengaku cedera akibat kekerasan PPM tersebut. Ori Rahman, misalnya, mengalami benjol di kepala dan badan. Usman Hamid memar mukanya, dan Gianmoko tergores di bagian bawah matanya. Tak lama berselang, Ori menerima panggilan telepon dari Inspektur Jenderal Makbul Padmanagara, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya. ''Makbul berjanji mengusut tuntas kasus itu,'' kata Ori. Toh Ori tetap bertanya-tanya, mengapa polisi saat penyerbuan tersebut tak satu pun yang menampakan wajahnya. Petugas Kepolisian Sektor Menteng sendiri baru datang setelah penyerangan selesai. Kata Ori, mustahil polisi tak tahu akan ada penyerangan. Meski demikian polisi akhirnya bertindak. Hingga Kamis pekan lalu, polisi menahan tiga aktivis PPM: William, Rinaldi, dan Furqon. Mereka dibidik dengan Pasal 170 KUHP tentang penyerangan beramai-ramai. Menurut catatan, bukan kali ini saja KontraS diteror. Pada tanggal 27 September 2000, di kantor KontraS yang saat itu masih berada di Jalan Mendut Nomor 3, Jakarta Pusat, terjadi teror ledakan. Peristiwa itu terjadi sehari menjelang persidangan mantan Presiden Soeharto. Kemudian, tanggal 13 Maret 2002, kantor KontraS juga dirusak massa. (RAA)
Rempah-rempah
Berawal Dari Artha Graha Jakarta, KontraS Nama Artha Graha kembali disebut-sebut. Kali ini gedung milik taipan Tomy Winata ini bukan disebut dalam pemberitaan penyerbuan majalah Tempo, melainkan karena terkait penyerbuan kantor PDI tanggal 27 Juli 1996. Keterlibatan itu ditegaskan dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) Bastian Hutabarat dalam sidang pertama perkara “27 Juli” di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/6/2003). Para terdakwa pada kasus ini adalah Kolonel (Purn) Budi Purnomo (mantan Danden Intel Kodam Jaya), Lettu Inf Sunarto (mantan Dan Intel Kodam Jaya), Rahmi Ilyas, Mohamad Tanjung, dan Jonathan Marpaung. Sedang terdakwa Joni Magisaya tak bisa hadir karena sudah meninggal dunia. “Sekitar 1.000 orang massa berangkat dari Gedung Artha Graha ke kantor PDI di Jalan Dipenogoro No 58,” kata Bastian. Menurut Bastian, para pelaku penyerbuan itu terbagi dalam beberapa kelompok. Keberangkatan kelompok penyerbu itu tidak datang dari satu tempat, tapi dari beberapa lokasi berbeda. Penyerangan itu bermula dari Kongres ke IV PDI di Medan yang mengangkat Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Namun kantor DPP PDI saat itu justru diduduki pengurus PDI hasil Munas pimpinan Megawati Soekarnoputri. Maka pengambilalihan kantor tersebut menjadi agenda utama. Ketua Umum PDI Soerjadi memerintahkan Alex Widya Siregar untuk mengambil alih kantor PDI tersebut. Alex lalu berkordinasi dengan Brigjen Zacky Anwar Makarim. Hasil dari pertemuan itu terjadi pada tanggal 26 Juli 1996. Terdakwa Mohamad Tanjung memimpin 300 orang dari Cengkareng, sementara terdakwa Lettu (Inf) Sunarto membawa ratusan orang dari Johar Baru, dan Jonathan Marpaung mengelandang massa dari Kramatjati. Massa tadi lalu menginap di gedung Artha Graha. Di situ massa diberikan kaus dan ikat kepala bertulis ‘Kongres IV Medan’. Mereka juga dibekali kayu maupun rotan sebelum melakukan penyerbuan ke Jalan Dipenogoro 58 pada pagi hari tanggal 27 Juli 1996. “Pada saat massa dengan atribut PDI Pro Soerjadi melakukan penyerangan, Mayor Jendral Sutiyoso (Pangdam Jaya), Mayor Jendral Polisi Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya)...berada di tempat kejadian,” kata Bastian. Namun di sini anehnya. Jaksa sama sekali tak menyebut-nyebut Sutiyoso sebagai terdakwa. Alhasil pada saat pembacaan eksepsi terdakwa, ruang sidang sempat kacau akibat demo korban 27 Juli. “Terdakwa yang diajukan hanyalah pion-pion para Jendral,” gusar Sandra Toral, Wakil Ketua Cabang PDI P Jakarta Pusat. Argumen Sandra, arsitek Kongres IV Medan seperti Syarwan Hamid tak ada dalam dakwaan. Begitu juga dengan Sutiyoso.
Rempah-rempah Alhasil sebuah spanduk besar sempat dibentangkan para korban 27 Juli: ‘Tolak Persidangan Rekayasa. Sutiyoso Diumpetin di Mana?’. (RAA)